Kisah Pendekar Pulau Es 15
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
"Aihhh....!! Wan Ceng setengah menjerit ketika mendengar keterangan puteranya itu, matanya terbelalak dan mukanya berobah.
"Puteri.... paman Suma Kian Lee? Cin Liong, lupakah engkau siapa adanya Suma Kian Lee itu? Dia adalah paman kakekmu sendiri dan puterinya itu berarti masih bibimu sendiri!!
Cin Liong menarik napas panjang dan mengangguk.
"Hal itu telah kami sadari sepenuhnya, ibu. Akan tetapi, ia jauh lebih muda dariku, baru berusia delapan belas tahun.!
"Tapi.... engkau tahu ia bibimu dan engkau masih nekat?! teriak Wan Ceng.
Cin Liong tersenyum menenangkan hati ibunya yang terguncang.
"Bukan nekat, ibu. Aku jatuh cinta dengan bibi sendiri, itulah kenyataannya, dan iapun cinta kepadaku. Hubungan keluarga antara kami sudah sangat jauh, kalau ada hubungan keluarga, itupun hanya keluarga tiri saja, sudah berlainan nama keluarga.!
"Tapi.... tapi puteri paman Kian Lee...., ya Thian Yang Maha Kuasa!!
Sejak tadi Kao Kok Cu diam saja, hanya mendengarkan dan melihat isterinya mengeluh seperti itu, diapun memejamkan mata, teringat akan riwayat isterinya di waktu muda dahulu. Bukankah Suma Kian Lee pernah jatuh cinta kepada Wan Ceng? Dan setelah mengetahui bahwa Wan Ceng adalah keponakan sendiri, Suma Kian Lee mundur! Ini berarti bahwa Suma Kian Lee masih memegang teguh adat istiadat tentang larangan berjodoh antara keluarga sendiri!
"Tapi.... tapi.... bagaimana mungkin engkau menikah dengan bibimu sendiri, Cin Liong? Apakah sudah tidak ada lagi wanita di dunia ini yang pantas menjadi isterimu kecuali seorang bibimu?! Suara Wan Ceng terdengar seperti hampir menangis.
Cin Liong mengerutkan alisnya.
"Ibu, harap jangan persoalkan itu karena kalau sekali ini aku gagal berjodoh dengan Hui-moi, selamanya aku tidak mau menikah! Aku tidak mau gagal sampai ketiga kalinya. Terserah kepada ayah dan ibu apakah suka melamarkan Suma Hui untukku atau tidak.! Suara pemuda itu tegas akan tetapi tidak mengandung kemarahan.
"Cin Liong, aku mengenal benar perangai ibumu dan ia bukan bermaksud menentang kehendakmu. Hanya aku tahu bahwa ibumu khawatir kalau-kalau pinangan itu ditolak oleh paman Suma Kian Lee yang kami tahu masih memegang teguh adat-istiadat kekeluargaan.!
"Benar apa yang dikatakan ayahmu, Cin Liong. Apakah orang tua gadis itu juga sudah menyetujui ikatan jodoh ini?!
Cin Liong menggeleng kepala.
"Mereka belum tahu, jadi akupun tidak dapat menduga bagaimana sikap mereka terhadap hubungan kami.!
"Aihhh.... kalau mereka belum menyetujuinya, bagaimana kami berani mengajukan pinangan? Anakku yang baik, sungguh aku merasa amat sungkan, baru menghadap dan meminang saja aku sudah merasa takut. Kalau sampai ditolak, akan kutaruh ke mana mukaku?! Wan Ceng berkata sambil mengepal tangan kanannya, hatinya merasa bingung dan gelisah sekali. Rasa gelisahnya jauh lebih besar daripada rasa gembira karena akhirnya putera mereka minta dilamarkan seorang gadis.
"Ibu, kalau tidak melamar lebih dahulu, mana mungkin kita bisa tahu apakah mereka itu setuju ataukah tdak? Pula, kenapa mesti takut mengajukan pinangan? Meminang anak gadis orang merupakan suatu hal yang terhormat dan menghormati keluarga gadis yang dilamar. Menerima atau menolak adalah hak mereka, seperti juga meminang adalah hak kita. Kalau ibu tidak berani melamarkan, apakah aku yang harus melamarnya sendiri?!
"Liong-ji, engkau tidak boleh mendesak ibumu seperti itu!! Tiba-tiba Kao Kok Cu berkata, suaranya halus namun penuh wibawa dan Cin Liong merasa akan kesalahannya, maka diapun cepat menghampiri ibunya dan berlutut.
"Ibu, maafkan aku....!
Wan Ceng merangkulnya.
"Aku tidak marah, anakku, hanya aku mengkhawatirkan perasaan hatimu kalau sampai kami ditolak.!
"Sudahlah, bagaimanapun juga, kita harus berani menghadapi kenyataan yang bagaimana pahitpun. Cin Liong, kapan kami harus berangkat ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan itu?!
"Sebaiknya dua bulan mendatang, ayah. Aku akan kembali dulu ke kota raja dan kuharap ayah dan ibu suka singgah dulu di kota raja sebelum melanjutkan perjalanan ke Thian-cin.!
Demikianlah, dua bulan kemudian, suami isteri ini melakukan perjalanan ke selatan. Mereka singgah di kota raja, akan tetapi ternyata gedung Jenderal Muda Kao Cin Liong kosong dan menurut keterangan para pengawal, jenderal muda itu sedang melakukan tugas dan sudah beberapa pekan meninggalkan kota raja. Seperti kita ketahui, Cin Liong pergi ke Thian-cin, kemudian terjadi peristiwa dia hampir dibunuh oleh kekasihnya, kemudian dia berusaha mencari jejak Jai-hwa Siouw-ok, maka dia tidak sempat kembali ke kota raja sehingga gedungnya kosong ketika orang tuanya datang. Melihat betapa putera mereka tidak berada di rumah dan agaknya tentu sedang melaksanakan tugas penting, Kao Kok Cu dan Wan Ceng tidak lama berdiam di kota raja dan melanjutkan perjalanan mereka ke Thian-cin.
Pada sore hari itu, mereka memasuki pintu gerbang kota Thian-cin dan sepasang suami isteri yang gagah perkasa, dalam kesederhanaan mereka, masih saja menarik perhatian banyak oramg yang hanya menduga-duga bahwa suami isteri itu tentulah pendekar-pendekar yang lihai. Apalagi ketika mereka nnendengar sepasang suami isteri ini menanyakan di mana letak rumah keluarga Suma, dugaan bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang lihai lebih meyakinkan lagi.
Dengan mudah suami isteri ini dapat memperoleh keterangan tentang rumah keluarga Suma Kian Lee dan pada sore hari itu mereka sudah berada di pekarangan depan rumah keluarga Suma, disambut oleh seorang pelayan yang segera melapor ke dalam.
Tak lama kemudian, keluarlah keluarga Suma selengkapuya, yaitu Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun. Suma Kian Lee dan isterinya menyambut dengan ramah, sedangkan kedua orang anak mereka menyambut dengan sikap hormat walaupun dengan pandang matanya yang tajam Wan Ceng melihat betapa gadis kekasih puteranya itu, walaupun cantik dan gagah, namun sikapnya seperti orang marah ataugalak. Juga Kao Kok Cu dapat melihat bahwa di balik keramahan sikap Suma Kian Lee, terdapat sinar mata yang tajam dan keras, maka diam-diam hatinya merasa tidak enak sekali. Hanya Kim Hwee Li seorang yang sikap ramahnya tidak dibuat-buat.
"Aih, Si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang gagah perkasa! Angin baik dari manakah yang meniup kalian sampai terbang ke sini?! tegur Kim Hwee Li dengan gembira.
Suami isteri tamu itu memberi hormat kepada tuan rumah dengan menyebut "paman! dan "bibi!.
"Perkenalkan, inilah anak-anak kami, Suma Hui dan Suma Ciang Bun. Anak-anak, ketahuilah bahwa yang datang ini adalah kakak-kakak kalian, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang terkenal itu.! Kim Hwee Li melanjutkan sambutannya. Suma Hui dan Ciang Bun segera memberi hormat selayaknya dibalas pula oleh Kao Koh Cu dan isterinya.
"Silahkan masuk, kita bicara di ruangan dalam,! Suma Kian Lee berkata, sikapnya ramah akan tetapi wajahnya dingin. Suami isteri itu mengikuti mereka masuk ke dalam dan segera mereka semua duduk di ruangan tamu menghadapi meja yang panjang dan besar.
"Sungguh kami sekeluarga merasa gembira sekali melihat datangnya Kao-taihiap berdua dan kami mengucapkan selamat datang. Akan tetapi di samping kegembiraan itu, kami juga dipenuhi rasa heran karena kalau sampai Kao-taihiap meninggalkan Istana Gurun Pasir dan datang ke rumah kami, tentu ada keperluan yang sangat penting.! Demikian Suma Kian Lee memulai percakapan mereka, setelah pelayan datang menghidangkan minuman.
Kao Kok Cu saling pandang dengan isterinya dan dalam pertemuan pandang mata ini mengertilah Wan Ceng bahwa suaminya minta agar ia yang bicara. Nyonya ini tersenyum memandang tuan rumah dan menilai betapa Kian Lee kini telah banyak berobah, lebih serius dan selain nampak agak tua juga agaknya kelembutannya yang biasa itu kini menyembunyikan kekerasan di baliknya. Maka, dengan hati-hati iapun berkata.
"Kami datang untuk membicarakan suatu hal yang amat penting dengan paman dan bibi berdua, maka kami harap kedua adik ini....! Ia memandang kepada Suma Hui dan Suma Ciang Bun.
"Mereka adalah dua orang anak kami yang sudah dewasa. Tidak ada rahasia di antara keluarga kami, maka engkau boleh bicarakan kepentinganmu itu di depan mereka.! Kian Lee sengaja memotong kata-kata Wan Ceng karena dia sudah tahu kepentingan apa yang hendak dibicarakan itu. Tiada lain tentu tentang perjodohan antara puterinya dan Cin Liong! Mengingat akan pelanggaran adat kekeluargaan ini saja sudah dianggapnya melanggar susila dan membuatnya marah. Maka, dia sengaja menahan anak-anaknya, terutama sekali Suma Hui, agar ikut mendengarkan sehingga gadisnya itu akan sekaligus mendengar keputusannya yang tentu saja akan menolak keras.
Mendengar ucapan tuan rumah yang memotong itu, kembali Wan Ceng saling lirik dengan suaminya. Sikap suaminya tetap tenang dan pandang mata suaminya mengisyaratkan agar ia melanjutkan bicaranya. Maka setelah menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya, Wan Ceng melanjutkan.
"Sesungguhnya, kedatangan kami berdua ini selain ingin berjumpa dan menengok karena sudah lama sekali tidak jumpa, juga ada keperluan penting yang menyangkut diri adik.... eh, Suma Hui ini.! Sukar rasanya menyebut "adik! kepada seorang gadis yang akan dilamar menjadi mantunya.
"Tentu paman dan bibi sudah mengetahui akan adanya hubungan yang amat erat antara Suma Hui dan Cin Liong, putera tunggal kami.! Sampai di sini ia berhenti seperti kehabisan keberanian dan akal, bahkan lalu menundukkan mukanya ketika bertemu pandang mata dengan Suma Kian Lee dan melihat sepasang mata pamannya itu mencorong tanda kemarahan.
Melihat keadaan isterinya itu, hati Kao Kok Cu merasa tidak tega dan diapun cepat menyambung keterangan isterinya.
"Terus terang saja, betapa berat rasa hati kami untuk melaksanakan tugas ini, akan tetapi sebagai orang tua yang ditangisi anak, kami memberanikan diri menghadap paman dan bibi yang mulia untuk mengajukan pinangan atas diri Suma Hui untuk dijodohkan dengan anak kami Kao Cin Liong.!
"Tidak.... tidak pantas....!! Hanya itulah yang keluar dari mulut Suma Kian Lee, namun sudah lebih dari cukup apa yang dimaksudkan. Kim Hwee Li yang lebih bebas dalam hal adat keluarga, lebih mementingkan hati puterinya, segera memperhalus sikap suaminya itu dengan kata-kata yang lunak.
"Kao-taihiap berdua tentu maklum betapa mengejutkan pinangan ini terdengar oleh suamiku. Puteri kami adalah adik kalian, berarti puteri kami adalah bibi putera kalian. Kalau mereka dijodohkan, apa akan kata orang-orang terhadap kita?!
Kao Kok Cu menarik napas panjang.
"Kami bukan tidak mengerti akan hal itu. Akan tetapi, sudah lama sekali kami membebaskan diri dari pendapat orang sedunia. Yang penting adalah benar bagi kami dan karena mereka berdua saling mencinta, maka kami memberanikan diri untuk meminang, hanya untuk melancarkan tali perjodohan yang telah mereka ikat sendiri. Harap paman dan bibi suka memaafkan dan memaklumi keadaan kami.!
"Brakkkk!! Tiba-tiba Suma Kian Lee menggebrak meja, mukanya merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan.
"Tidak! Ini penghinaan namanya!!
Pada saat itu, Suma Hui meloncat bangkit dari tempat duduknya. Mukanya merah sekali dan perobahan sudah terjadi pada dirinya sejak dua orang tamu tadi datang tanpa ada yang memperhatikannya. Ia seperti mengalami ketegangan yang makin lama makin memuncak dan sekarang agaknya kemarahannya telah mencapai puncaknya dan ia tidak dapat menahannya lagi.
"Akupun tidak sudi menikah dengan jahanam Kao Cin Liong! Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darahnya!!
Semua orang meloncat bangkit dari tempat duduk masing-masing dengan hati merasa kaget sekali.
Bukan hanya Kao Kok Cu dan isterinya saja yang terkejut mendengar kata-kata itu, bahkan Suma Kian Lee, Kim Hwee Li dan juga Suma Ciang Bun sendiri merasa kaget sekali.
"Enci Hui....!! Suma Ciang Bun berteriak kaget.
"Hui-ji, sikapmu ini sungguh tidak patut!! Kim Hwee Li menegur puterinya.
"Hui-ji, engkau harus mempertanggungjawankan ucapanmu dan mengemukakan alasan mengapa engkau mengeluarkan pernyataan itu!! Suma Kian Lee juga terkejut sekali karena dia merasa yakin puterinya tidak akan mengeluarkan ucapan seperti itu kalau tidak ada alasanuya yang kuat sekali.
"Dia.... dia telah menodaiku....!! Hanya sekian saja Suma Hui dapat bicara karena ia sudah menangis sesenggukan.
"Ahhhh....!! Seruan ini terdengar keluar dari semua orang yang hadir di situ, dan Kim Hwee Li sudah meloncat dan merangkul puterinya. Belum pernah ia melihat puterinya menangis sesedih ini.
"Anakku.... apakah yang telah terjadi....?! tanyanya penuh kegelisahan.
"Hui-ji, ucapanmu itu harus dijelaskan!! bentak Suma Kian Lee sambil mengepal sepasang tinjunya. Adapun Kao Kok Cu dau isterinya hanya saling pandang, akan tetapi wajah merekapun berobah agak pucat karena tuduhan yang dilontarkan terhadap putera mereka itu terlalu hebat, terlalu keji!
Suma Hui menyembunyikan mukanya di dadaibunya. Ia mengerahkan tenaga melawan tangisnya, kemudian dengan isak tertahan ia bercerita.
"Malam itu aku sudah hampir tertidur ketika aku mencium bau harum. Aku sadar bahwa ada bau asap pembius, akan tetapi terlambat. Ketika aku meloncat bangun, kepalaku pening dan pada saat itu, ada orang menyerbu kamar dan aku ditotoknya. Kemudian.... aku.... aku tidak berdaya ketika dia memperkosaku....!
"Engkau tahu benar siapa pelakunya?! Suma Kian Lee bertanya, suaranya gemetar penuh nafsu amarah yang ditahan-tahan.
"Dia adalah jahanam Kao Cin Liong!!
Terdengar suara menggeram seperti seekor harimau dan sepasang mata Suma Kian Lee seperti mengeluarkan api ketika dia memandang kepada kedua orang tamunya.
"Hemmmm, pantas Louw-kauwsu menuduhnya jai-hwa-cat dan menyerangnya sampai tewas di tangan keparat itu. Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa!!
Wan Ceng melangkah maju menghadapi Suma Kian Lee. Semangatnya timbul seketika mendengar puteranya diancam dan mukanya menjadi merah, sikapnya penuh tantangan ketika ia berhadapan dengan Suma Kian Lee.
"Bohong! Aku tidak percaya! Tidak mungkin puteraku melakukan perbuatan hina seperti itu.!
Menghadapi seorang wanita yang nampaknya juga marah sekali itu Suma Kian Lee agak tercengang. Kalau saja yang menentangnya itu Kao Kok Cu, tentu sudah diserangnya, akan tetapi dia tidak mungkin mau menyerang seorang wanita, apalagi wanita itu Wan Ceng yang pernah menghuni dalam hatinya. Akan tetapi Kim Hwee Li yang tadi merangkul anaknya, mendengar ucapan Wan Ceng itu, meloncat dan menghadapi wanita itu.
"Keterangan anakku kau katakan bohong?! bentaknya marah.
"Kalau tidak bohong ia tentu salah lihat!! Wan Ceng membantah "Suma Hui, apakah engkau benar-benar berani sumpah melihat sendiri bahwa yang melakukan perbuatan terkutuk itu adalah Cin Liong?!
"Kamar gelap, aku tidak dapat melihat wajahnya, akan tetapi suaranya.... dan bicaranya.... dia adalah Kao Cin Liong, tak salah lagi.!
"Fitnah....!! Wan Ceng membentak.
"Wan Ceng! Kao Kok Cu! Kalian dua orang tua yang tak tahu malu, tidak becus mendidik anak, sehingga melakukan perbuatan hina terhadap anak kami yang malang, dan sekarang kalian malah hendak menuduh anakku membohong? Untuk apa anakku membohong? Sungguh tak tahu malu!! Kim Hwee Li marah sekali dan ia sudah menerjang maju untuk menampar muka Wan Ceng. Akan tetapi, wanita ini tentu saja tidak mau ditampar dan cepat iapun sudah menangkis dan membalas dengan menampar pula.
"Dukkk....! Wuiiitttt!! Balasan tamparan itu luput karena dielakkan oleh Kim Hwee Li dan tumbukan kedua lengan mereka itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Kim Hwee Li sudah menerjang lagi, kini mengirim pukulan-pukulan berantai yang dahsyat. Namun lawannya bukanlah seorang wanita biasa. Isteri dari Naga Sakti Gurun Pasir itu dapat mengelak, menangkis bahkan membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Kim Hwee Li kehilangan lawannya. Kiranya tubuh Wan Ceng telah disambar oleh suaminya dan dibawa keluar lapangan perkelahian itu dan kini pendekar lengan satu itu menjura dengan sikap tenang.
"Segala urusan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah. Mempergunakan kekerasan bukanlah jalan baik untuk mengatasi persoalan. Kami berdua datang karena tidak mengetahui adanya persoalan itu, kalau kami tahu tak mungkin kami berani datang sebelum membikin terang persoalan ini. Juga agaknya kedua paman dan bibi baru tahu sekarang. Tidak mungkin putera kami melakukan perbuatan tidak senonoh itu, juga agaknya tidak mungkin kalau puteri paman berdua bicara bohong. Oleh karena itu, tentu ada apa-apa di balik semua ini, rahasia inilah yang harus diselidiki dan dipecahkan.!
Melihat sikap pendekar sakti itu yang mengalah, sabar dan tenang, Suma Kian Lee juga menahan dirinya, walaupun hatinya sudah terbakar oleh pengakuan puterinya bahwa puterinya telah diperkosa oleh Cin Liong.
"Kalian sebagai orang tua tentu dapat merasakan bagaimana hebatnya penderitaan kami mendengar pengakuan puteri kami. Tepat seperti dikatakan puteri kami tadi, penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darah!!
"Hemm, paman Suma Kian Lee. Kao Cin Liong masih mempunyai ayah ibu, dan kami sebagai orang tuanya berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi benarkah dia melakukan perhuatan itu? Hal ini yang harus kami selidiki lebih dahulu. Kalau memang benar putera kami yang melakukan perbuatan biadab itu, kami berani mempertanggungjawabkannya dan kami yang akan menghukumnya.! Berkata demikian, pendekar berlengan satu ini saling pandang dengan isterinya dan wajah keduanya menjadi merah.
Teringatlah oleh pendekar ini betapa dahulu, di waktu mudanya, karena rangsangan racun, dia sendiripun melakukan pemerkosaan atas diri Wan Ceng yang kini menjadi isterinya. Apakah ada sesuatu yang mendorong putera mereka melakukan perbuatan yang sama? Apakah ini hukum karma? Ataukah ada hal-hal yang serba rahasia di balik ini? Bagaimanapun juga, mereka menjadi prihatin sekali.
Setelah menjura ke arah fihak tuan rumah tanpa dibalas, Kao Kok Cu lalu menarik lengan isterinya yang masih marah-marah itu dan meninggalkan rumah keluarga Suma. Betapa jauh bedanya dengan ketika mereka datang tadi. Tadi mereka datang dengan gembira dan dengan hati mengandung penuh harapan. Kini mereka pergi dengan hati sedih, penasaran dan juga marah.
Setelah kedua orang itu pergi, Suma Hui lalu menangis dan menjambak-jambak rambutnya sendiri.
"Aku akan membunuhnya.... aku akan membunuhnya....!! Hatinya hancur berkeping-keping. Ia mencinta Cin Liong, bahkan sampai saat itupun ia tidak dapat melupakan pemuda itu. Akan tetapi, pemuda itu telah menghancurkan semua harapan dan kebahagiaannya dengan perbuatan yang keji itu! Kim Hwee Li dapat merasakan kehancuran hati anaknya, maka ibu inipun merangkulnya sambil menangis pula.
Suma Kian Lee terduduk dengan muka pucat dan tubuh lemas. Tak disangkanya telah terjadi malapetaka seperti itu! Kini jelas tak mungkin puterinya menjadi jodoh Cin Liong yang masih keponakan puterinya sendiri itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin pula puterinya dapat melanjutkan perjodohannya dengan Tek Ciang setelah dirinya ternoda? Bagaimana dia dapat menyampaikan hal itu kepada pemuda itu? Dan bagaimana pula kalau Tek Ciang menolak? Dia merasa pening memikirkan hal ini dan hatinya semakin jengkel melihat isteri dan puterinya bertangisan.
"Kalau kalian hendak bertangisan, ajaklah ia ke kamarnya dan biarkan aku sendiri di sini. Ciang Bun, keluarlah engkau!! kata pendekar itu dengan wajah lesu.
Kim Hwee Li mengerti bahwa suaminya sedang menahan nafsu amarah yang menggelora, maka iapun lalu menuntun puterinya masuk ke kamar Suma Hui di mana gadis itu melempar diri di atas pembaringan dan menangis sesenggukan, dipeluk oleh ibunya. Sedangkan Ciang Bun, dengan tubuh terasa lesu, pergi ke taman belakang di mana dia melihat Tek Ciang duduk termenung seorang diri.
Dia menahan langkahnya dan memandang pemuda itu dari belakang. Sampai sejauh manakah pengetahuan Tek Ciang tentang encinya itu? Bukankah ketika ayah ibunya pergi mencarinya, di rumah ini hanya ada encinya, pelayan dan Tek Ciang? Tentu pemuda yang menjadi suhengnya itu tahu, atau setidaknya mengetahui hal-hal yang ada hubungannya dengan peristiwa itu. Dia sendiri masih belum dapat percaya begitu saja bahwa Cin Liong telah melakukan hal yang sedemikian rendahnya. Memperkosa encinya!
Dia mengenal betul jenderal muda itu, seorang pendekar yang gagah perkasa, yang telah membela Pulau Es mati-matian, bahkan telah menyelamatkan encinya dari malapetaka ketika encinya dilarikan oleh penjahat keji Jai-hwa Siauw-ok. Mana mungkin kemudian Cin Liong sendiri yang memperkosa encinya? Akan tetapi, diapun tahu bahwa encinya adalah seorang yang keras hati dan jujur, yang sampai mati rasanya tidak akan mau membohong. Kalau encinya mengatakan dengan yakin bahwa pemerkosanya adalah Cin Liong, maka hal itupun sukar untuk diragukan lagi. Sungguh membingungkan!
Tek Ciang agaknya merasa akan kedatangannya, karena pemuda itu menoleh dan begitu melihat Suma Ciang Bun, dia bangkit dari bangku taman.
"Ah, sute, apakah tamunya sudah pulang?!
Ciang Bun masih termenung dan hanya mengangguk.
"Siapakah tamunya, sute?!
"Tamunya adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya dan mereka datang untuk meminang enci Hui!! Suma Ciang Bun berkata dengan tegas sambil menatap wajah suhengnya itu dengan tajam.
"Mereka meminang enci Hui untuk dijodohkan dengan Cin Liong.!
"Ahhh....!! Pemuda itu nampak terkejut akan tetapi tidak berkata apa-apa, hanya alisnya berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang. Ciang Bun mengerti bahwa tentu suhengnya ini tidak suka kepada Cin Liong karena Cin Liong telah menyebabkan kematian ayahnya.
Ciang Bun lalu menghampiri suhengnya.
"Suheng, mari kita duduk, aku ingin bicara denganmu.!
Tek Ciang duduk kembali. Mereka duduk berdampingan dan Tek Ciang memandang wajah sutenya dengan heran.
"Bicara apakah, sute?!
Tentang.... Cin Liong!!
"Ada apa dengan.... dengan Kao-taihiap?!
"Dia telah membunuh ayahmu, bukan? Apakah engkau telah bicara dengan dia setelah peristiwa matinya ayahmu?!
Pemuda itu menarik napas panjang, nampak bersedih.
"Sudah, dan Kao-taihiap mengakui telah berkelahi dengan mendiang ayah. Dia diserang oleh ayah dan dia hanya membela diri saja. Tentu saja ayah bukan tandingannya dan.... dan menurut keterangan Kao-taihiap, ayah.... membunuh diri setelah kalah.!
"Engkau percaya akan keterangan itu?!
"Bagaimana tidak? Dia adalah seorang pendekar sakti, seorang jenderal malah.!
"Engkau tidak mendendam?!
Tek Ciang nampak bingung.
"Tentu saja aku berduka sekali karena kematian ayah, akan tetapi akupun tidak dapat menyalahkan Kao-taihiap karena dia lebih dahulu diserang oleh ayah, yang menyangkanya seorang jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini.
"Apakah engkau percaya bahwa Cin Liong pantas menjadi jai-hwa-cat, suheng?!
"Apa....? Ah, entahlah, sute, aku menjadi bingung....!
Hening sejenak. Suma Ciang Bun memutar otaknya bagaimana untuk dapat membongkar rahasia terpendam yang mungkin diketahui oleh suhengnya ini, sedangkan Tek Ciang bersikap waspada, kini tidak gugup lagi dan dia sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pertanyaan sutenya.
"Louw-suheng, dahulu sebelum kami pulang, engkau seoranglah yang menemani enci Hui di rumah. Maukah engkau menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya?!
Diam-diam Tek Ciang terkejut dan dia memandang kepada sutenya yang masih remaja dan yang sikapnya halus itu dengan curiga di hati. Akan tetapi dia mengangguk tanpa menjawab.
"Suheng, apakah engkau melihat terjadinya sesuatu yang aneh antara enci Hui dan Cin Liong?!
"Sesuatu yang aneh? Apakah yang kaumaksudkan, sute?!
"Ketika Cin Liong datang berkunjung ke sini, bagaimanakah hubungan antara mereka?!
"Baik sekali! Mereka kelihatan akrab sekali, dan sikap Kao-taihiap amat manis.!
"Suheng, kenana engkau menyebutnya Kao-taihiap? Tidak tahukah engkau bahwa dia adalah keponakanku? Jadi dapat disebut murid keponakanmu juga!!
Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia tersenyum.
"Ah, bagaimana mungkin aku berani menyebutnya sebagai keponakan apalagi murid keponakan? Usianya lebih tua dariku dan ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku.!
"Dan dia sendiri menyebut apa padamu, suheng?!
"Itulah yang membuat hatiku tidak enak sekali, sute. Dia menyebut susiok kepadaku!! Tek Ciang tersenyum malu-malu dan Ciang Bun terpaksa tertawa juga. Memang aneh kalau seorang pendekar sakti seperti Cin Liong itu menyebut susiok (paman guru) kepada Tek Ciang. Sungguh merupakan keadaan yang terbalik, melihat usianya maupun tingkat kepandaiannya.
"Sekarang harap kau jawab sebenarnya, suheng. Pernahkah engkau melihat mereka bertengkar?!
Ditanya demikian, Tek Ciang menjadi ragu-ragu dan agaknya merasa sungkan sekali untuk menjawab. Hal ini memang disengaja sehingga dia nampak seolah-olah merasa tidak enak hati kalau harus menceritakan sesuatu yang hendak dirahasiakan. Ciang Bun yang masih hijau dalam hal menilai sikap orang tentu saja menjadi tertarik.
"Suheng, katakanlah. Engkau sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Kalau ada terjadi sesuatu, sepatutnya kalau suheng berterus terang kepada kami. Kalau suheng tidak berani bicara kepada ayah, katakanlah saja kepadaku dan aku yang akan menyampaikan kepada ayah. Apakah pernah terjadi pertengkaran antara enci Hui dan Cin Liong?!
Tek Ciang menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah-olah dia terpaksa untuk bicara.
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa boleh buat, mungkin engkau benar, sute, bahwa aku harus menceritakan segala yang kuketahui. Sesungguhnyalah, aku pernah melihat mereka berkelahi!!
"Berkelahi?!
"Sehenarnya bukan berkelahi, melainkan sumoi yang menyerang Kao-taihiap mati-matian dengan pedangnya, dan Kao-taihiap hanya menghindarkan semua serangan itu. Terjadi pada pagi hari dan akhirnya Kao-taihiap melarikan diri dan dikejar oleh sumoi. Aku mencoba melerai akan tetapi dengan kepandaianku yang tidak seberapa, aku dapat berbuat apa? Tak lama kemudian sumoi kembali dan agaknya ia tidak berhasil menyusul Kao-taihiap yang amat lihai itu.!
"Hemm, begitukah? Apakah enci Hui menyerang sungguh-sungguh? Ataukah hanya main-main saja ataukah hanya untuk menguji?!
"Kurasa sungguh-sungguh, sute, karena aku melihat sumoi marah sekali dan benar-benar ia bermaksud hendak membunuh Kao-taihiap.!
"Hemm, sungguh aneh. Apa sebabnya enci Hui marah-marah dan hendak membunuhnya?!
Tek Ciang menggeleng kepala dan wajahnya kelihatan seperti orang menyesal dan ikut bersedih.
"Aku tidak tahu mengapa, sute. Ketika kutanya, sumoi juga tidak mau menceritakan.!
"Apakah tidak terjadi sesuatu di rumah ini pada malam hari sebelumnya?! Tek Ciang menggeleng kepala.
"Malam itu engkau berada di mana, suheng?!
"Aku? Ah, aku meronda keliling kota. Aku hendak menyelidiki jai-hwa-cat yang tadinya dicari-cari oleh mendiang ayah. Dan aku melihat Kao-taihiap berkelahi melawan seorang yang amat lihai. Mereka sama-sama lihai sehingga aku yang menonton dari tempat persembunyian tidak dapat membedakan mana Kao-taihiap dan mana lawannya. Akhirnya mereka berkejaran dengan amat cepat. Aku ikut mengejar akan tetapi tertinggal jauh dan malam itu aku mencari-cari tanpa hasil. Menjelang pagi baru aku pulang. Hanya itulah yang kuketahui, sute. Akan tetapi, sute bertanya-tanya ini, sebenarnya ada terjadi apakah? Aku sendiri bertanya-tanya dalam hati mengapa sumoi begitu membenci Kao-taihiap dan hendak membunuhnya, padahal tadinya hubungan mereka sedemikian akrabnya?!
Kini Ciang Bun yang menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
"Tidak tahulah, suheng, tidak tahulah....! dan pemuda remaja inipun meninggalkan suhengnya dengan hati yang tidak puas karena semua keterangan Tek Ciang itu tidak membuat terang persoalannya. Benarkah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian keji, memperkosa encinya, kemudian setelah mereka bertemu pagi itu, encinya lalu mati-matian menyerangnya? Dia menjadi bingung sendiri dan mengepal tinju kalau mengingat akan nasib encinya yang malang.
"Sudahlah, Hui-ji. Tahan air matamu dan bersikaplah gagah....! Kim Hwee Li mencoba untuk menghibur hati puterinya.
Suma Hui mengangkat muka memandang kepada ibunya. Wajahnya pucat dan basah air mata, sepasang matanya merah membendul karena tangis. Hati ibu ini hancur rasanya. Belum pernah puterinya yang keras hati ini menangis seperti ini. Ciang Bun lebih sering menangis daripada encinya di waktu kecil. Bahkan diam-diam ia sering merasa heran mengapa puterinya berhati baja seperti seorang jantan sedangkan puteranya bahkan berhati lembut.
"Ibu.... ibu.... rasanya aku ingin mati saja....!
Mendengar ini, Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bertangisan. Baru sekarang Hwee Li benar-benar menangis karena iapun dapat merasakan betapa hancur hati puterinya karena kehilangan keperawanannya, apalagi kalau diingat bahwa yang menodainya itu adalah pria yang dicintanya!
"Aku tahu betapa hancur hatimu, anakku. Akan tetapi engkau adalah seorang wanita gagah, tidak semestinya kalau orang-orang seperti kita ini menghadapi sesuatu dengan tangis. Betapapun besar malapetaka itu, harus kita hadapi dengan gagah! Masih ada pedang kita untuk dapat menebus semua penghinaan yang dilakukan orang atas diri kita, bukan?!
Ucapan ini membangkitkan semangat Suma Hui. Ia bangkit duduk dan menyusut air matanya. Hwee Li membereskan rambut kepala anaknya yang kacau dan kusut. Setelah kedukaan dan keharuan hati mereka mereda, dengan halus Hwee Li lalu berkata.
"Sekarang coba kau ceritakan kepadaku apa yang sebenarnya telah terjadi, agar aku dapat ikut memikirkan.!
Suma Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya pada malam jahanam itu. Karena kini yang mendengarkannya hanya ibunya, ia lebih berani bercerita dengan jelas. Tentu saja Hwee Li mendengarkan dengan muka merah karena marahnya, dan beberapa kali wanita ini mengepal kedua tinju tangannya dan mengeluarkan suara kutukan perlahan. Setelah puterinya selesai bercerita, ia bertanya.
"Begitu gelapkah cuaca malam itu dalam kamar sehingga engkau tidak mengenali wajahnya?!
"Selain gelap sekali, juga kepalaku masih pening oleh pengaruh obat bius itu, ibu.!
"Asap yang berbau harum seperti hio?!
"Benar.!
"Itulah dupa harum pembius yang biasa dipergunakan kaum jai-hwa-cat! Sungguh heran sekali bagaimana seorang jenderal muda seperti Cin Liong itu dapat berobah menjadi seorang jai-hwa-cat! Padahal, kalau dia menghendaki, wanita manapun kiranya akan bisa dia dapatkan!!
"Mungkin itu suatu penyakit, ibu! Jahanam itu bukan hanya menodai tubuhku, akan tetapi juga menodai cintaku, menghancurkan kebahagiaan hidupku!!
"Tapi, bagaimana engkau bisa begitu yakin bahwa orang itu adalah Cin Liong?!
"Mana aku bisa salah, ibu. Suaranya sudah kukenal baik, dan bisikan-bisikannya ketika merayu.... ah, ibu.... sungguh dia bukan manusia....! Gadis itu mengusap kedua matanya yang menjadi basah kembali.
"Aku.... aku mencintanya, dan diapun kelihatan begitu cinta padaku...., akan tetapi, mengapa dia melakukan perbuatan keji itu terhadapku? Mengapa....? Mengapa, ibu....?!
Gadis itu menangis lagi. Kim Hwee Li hanya duduk bengong terlongong, bingung tak tahu harus menjawab bagaimana. Akan tetapi otaknya bekerja mencari jalan keluar yang baik bagi puterinya yang tertimpa malapetaka itu. Ia tahu bahwa kalau tidak dicarikan jalan yang terbaik, peristiwa ini akan menjadi luka batin yang takkan dapat disembuhkan lagi.
Tiba-tiba ia mendapatkan akal yang dianggapnya cukup baik. Ia sendiri pernah menjadi puteri seorang datuk sesat, biarpun hanya puteri angkat dan iapun pernah menjadi seorang tokoh sesat yang kejam dan liar, bahkan tidak memperdulikan sama sekali apa artinya kegagahan atau jiwa pendekar. Ia baru berobah betul-betul setelah bertemu dengan Suma Kian Lee yang kini menjadi suaminya (bacaKisah Jodoh Sepasang Rajawali).
Apa yang dilakukan oleh Cin Liong itu memang jahat sekali, akan tetapi, bukankah perbuatan itu mungkin mempunyai suatu dasar yang ia tidak mengerti? Apakah dengan perbuatannya itu lalu Cin Liong dianggap seorang manusia yang tidak dapat menjadi baik kembali? Dan mereka saling mencinta! Setelah kini Cin Liong menggauli puterinya dengan paksa, maka jalan satu-satunya hanyalah merangkapkan mereka berdua menjadi suami isteri!
"Anakku, dengarkan baik-baik. Hanya satu jalan untuk menebus penghinaan dan aib yang menimpa dirimu dan keluarga kita, Hui-ji.!
"Aku tahu, ibu! Hanya darah keparat itulah yang mampu mencuci bersih noda ini dan hanya nyawanya sajalah yang mampu menebus penghinaan ini!!
"Bukan, ada jalan yang lebih baik lagi, anakku. Dengar, bukankah engkau amat mencintanya?!
"Itu dulu sebelum....!
"Dan diapun mencintamu....?!
"Aku tidak percaya lagi! Kalau dia mencinta, tak mungkin dia melakukan....!
"Perbuatannya itu tentu terdorong oleh sesuatu, anakku. Akan tetapi, apapun yang mendorongnya, hal itu sudah terjadi dan satu-satunya jalan untuk membersihkan namamu dan nama keluarga kita hanyalah kalau engkau menjadi isteri Cin Liong....!
"Tidak....! Tidak....!!
"Mengapa tidak? Dengar, aku akan memaksa pihak keluarga Kao untuk menerimamu sebagai mantunya. Kalau mereka menolak, aku akan mengamuk dan menganggap mereka semua sehagai musuh besar dan aku akan menyatakan perang antara keluarga Suma dan keluarga Kao! Cin Liong hanya dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menikahimu....!
"Tidak....! Sekali lagi tidak, ibu. Lebih baik mati bagiku daripada harus menjadi isteri seorang jahanam keparat yang telah memperkosaku! Tanggung jawab jahanam itu hanyalah kematiannya. Cintaku sudah hancur dan berobah benci oleh perbuatannya yang keji itu!!
"Tapi, ini demi membersihkan noda dan aib yang menimpa dirimu! Demi membersihkan nama keluarga kita.!
"Tidak, aku harus mencarinya dan aku akan membunuhnya. Setelah itu, akupun tidak mau lagi hidup lebih lama di dunia ini.!
"Jangan bodoh. Kepandaiannya amat tinggi, engkau bukan lawannya!!
"Kalau begitu, biar aku mati di tangannya. Diapun sudah membunuhku sekarang ini, membunuh cintaku, membunuh kebahagiaanku, membunuh harapanku....!!
"Hui-ji! Yangan putus asa seperti itu, anakku....!! Kim Hwee Li merangkul dan hatinya berduka sekali. Akan tetapi ia maklum bahwa dalam keadaan yang masih panas ini, akan sukarlah membujuk hati Suma Hui. Ia harus bersabar menanti sampai beberapa lama. Mungkin kalau kemarahan anak itu sudah mereda dan kepalanya sudah agak dingin, ia akan mau mengerti dan dapat diajak berunding mengenai masalah yang mereka hadapi.
Ketika Kim Hwee Li mengajukan pendapatnya agar Suma Hui dijodohkan saja dengan Cin Liong untuk menebus aib yang menimpa keluarga mereka itu, Suma Kian Lee termenung dan mukanya menjadi merah, alisnya berkerut. Sampai lama dia tidak bicara dan dia memikirkan pendapat isterinya itu dengan hati yang tidak karuan rasanya. Kenyataan bahwa Cin Liong adalah keponakan dari Suma Hui saja sudah membuatnya tidak setuju dan menentang perjodohan itu, apalagi setelah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian keji terhadap Suma Hui.
Akan tetapi, pendapat isterinya itu harus diakuinya sebagai jalan keluar yang satu-satunya dan yang terbaik. Kalau Suma Hui menjadi isteri Cin Liong, berarti penghinaan itupun tertebus dan aibpun terhapus. Hanya satu hal saja yang memberatkan, yaitu bahwa Suma Hui menikah dengan keponakan sendiri. Akan tetapi kalau tidak begitu, puterinya itu akan menderita selama hidupnya sebagai seorang gadis yang ternoda, dan nama keluarga mereka akan tercemar, sedangkan keluarganya sudah pasti akan berhadapan dengan keluarga Kao sebagai musuh besar yang dia sendiri merasa ngeri membayangkan akibatnya kelak.
Akan tetapi, masih ada satu jalan lain lagi. Kalau Tek Ciang mau menerima Suma Hui, biarpun gadis itu sudah ternoda! Tentu lebih baik lagi kalau begitu. Aib itu terhapus dan diapun tidak usah malu mendapatkan seorang cucu keponakan sebagai mantu! Dan tentang dendam itu, tentu saja tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa balas.
"Pendapatmu itu baik sekali, akan tetapi hanya merupakan jalan ke dua. Aku masih mempunyai jalan pertama yang lebih baik, yaitu mengawinkan anak kita dengan Tek Ciang. Ingat, dialah tunangan anak kita yang sebenarnya.!
"Tapi....!! Isterinya membantah dengan kaget.
"Mana mungkin itu terjadi setelah....? Apakah dia perlu diberitahu tentang aib itu? Ah, dia tentu menolak dan sebaiknya kalau hal itu tidak diketahui orang lain kecuali keluarga kita sendiri. Kita bisa saja membatalkan pertalian jodoh itu setelah kini ayahnya meninggal.!
Akan tetapi, dengan alis berkerut Suma Kian Lee menggeleng kepalanya.
"Aku tahu bahwa Tek Ciang mempunyai hati yang baik. Dia pasti akan mau mengerti dan akan mau melanjutkan perjodohan itu, apalagi dia telah menjadi muridku yang akan mewarisi ilmu-ilmuku kelak.!
"Apa? Ilmu keluarga kita akan kauwariskan kepada orang lain? Bagaimana dengan Ciang Bun dan Hui-ji?! isterinya bertanya, penasaran.
"Ingat, isteriku. Kalau dia sudah menjadi mantu kita, dia bukan orang lain lagi namanya! Kulihat Ciang Bun tidak memiliki kekerasan hati, dia terlalu lembut bagi seorang pria, dan Hui-ji.... biarlah dia belajar dari suaminya kelak.!
Kim Hwee Li tidak dapat membantah lagi. Dianggapnya percuma saja berbantahan dengan suaminya mengenai persoalan ini, karena iapun mengerti betapa kukuh suaminya memegang peraturan keluarga. Suaminya ini berbeda sekali dengan Suma Kian Bu, yang lebih bebas dan liar, seperti dirinya sendiri dahulu. Akan tetapi ia tidak mengeluh, bahkan watak suaminya itulah yang mampu menundukkannya, mampu menjinakkan keliarannya.
"Terserah kepadamu. Akan tetapi kalau dia menolak?!
"Kalau dia menolak, dia tidak akan mewarisi ilmu-ilmuku, hanya belajar sekedarnya saja, dan barulah kita memperbincangkan usul dan pendapatmu tadi.! Jawaban ini melegakan hati Hwee Li yang mengharapkan pemuda yang tidak begitu disukanya itu tentu menolak dan suaminya akan terpaksa menerima Cin Liong sebagai mantu. Hal ini bukan berarti bahwa ia sendiri lebih senang memilih Cin Liong sebagai mantu, melainkan karena ia tahu bahwa puterinya tidak mencinta Tek Ciang, melainkan mencinta Cin Liong. Andaikata puterinya mencinta Tek Ciang, ia sendiri tentu tidak keberatan karena yang tidak disukainya akan diri Tek Ciang hanya sikapnya yang terlalu sopan, terlalu merendah dan terlalu kelihatan baik itulah.
"Sekarang juga kita hadapi dia,! kata pula Kian Lee dan dia memanggil Tek Ciang untuk datang menghadap. Suami isteri ini sengaja memilih ruangan dalam untuk mengadakan pembicaraan dengan pemuda itu dan ketika Tek Ciang datang bersama Ciang Bun, Kian Lee segera minta kepada puteranya untuk keluar dari dalam ruangan itu.
"Bun-ji, ayah dan ibumu ingin bicara sesuatu yang penting dengan Tek Ciang, maka biarkanlah kami bertiga sendiri dan larang siapapun juga memasuki ruangan ini tanpa ijin kami,! demikian katanya dengan sikap tegas.
Ciang Bun menoleh sejenak kepada suhengnya, kemudian keluar dari ruangan itu dan segera menemui encinya, yang berada di ruangan belakang.
Dengan jantung berdebar-debar akan tetapi muka tetap tenang dan hormat, Tek Ciang memasuki ruangan itu dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suhu dan suhonya.
"Bangkitlah dan duduklah di atas kursi itu, Tek Ciang,! kata Kian Lee sambil menunjuk sebuah kursi di seberang meja.
"Teecu tidak berani....!
"Diperintah guru berani membantah masih mengatakan tidak berani?! Kim Hwee Li membentak dan pemuda itu terkejut, lalu bangkit dan duduk di atas kursi itu, berhadapan dengan guru-gurunya terhalang meja. Kikuk sekali rasanya duduk semeja dengan gurunya, apalagi dengan ibu gurunya yang galak, yang sekarang menatap wajahnya dengan penuh perhatian dan seperti orang menyelidik. Kalau saja Hwee Li tahu betapa jantung pemuda tu berdegup keras, tentu ia sendiri akan merasa heran mengapa pemuda ini menjadi begitu gelisah dipanggil menghadap gurunya. Akan tetapi, Tek Ciang memang memiliki keahlian menyembunyikan perasaan hatinya. Wajahnya yang tampan itu nampak tenang saja, penuh rasa hormat.
"Tek Ciang, kami ada urusan penting sekali untuk dibicarakan denganmu.! Kian Lee mulai bicara.
"Teecu siap mendengarkan dan mentaati, suhu,! jawab Tek Ciang dengan sikapnya yang selalu teramat baik itu. Hwee Li mengerutkan alisnya. Kalau ia yang mempunyai murid seperti ini, tentu sudah dijewernya dan dilarangnya bersikap demikian terlalu amat baik yang berbau kepalsuan itu.
"Beginilah, Tek Ciang. Sebelum ayahmu meninggal dunia, antara dia dan aku telah ada suatu perjanjian mengenai dirimu. Apakah ayahmu pernah bercerita tentang hal itu kepadamu?!
Tek Ciang tahu betapa kedua orang itu, terutama sekali subonya, memandang kepada wajahnya dengan sinar mata penuh selidik, maka dia menarik muka bodoh seperti orang yang benar-benar tidak tahu-menahu apa-apa dan dia menggeleng kepala.
"Teecu tidak pernah diceritakan apa-apa oleh mendiang ayah, suhu.!
"Bagus! Sudah kuduga bahwa ayahmu tentu akan memegang dan memenuhi janjinya kepadaku. Karena ayahmu meninggal tanpa kita duga sama sekali, sekarang aku terpaksa yang memberitahu kepadamu tentang janji kami itu. Ayahmu dan aku telah mengikatkan perjodohan antara anakku Suma Hui dan engkau, Tek Ciang.! Berkata demikian, Suma Kian Lee menatap wajah yang tampan itu dan di sampingnya, Kim Hwee Li juga memandang dengan penuh perhatian. Demikian pandainya Tek Ciang bersandiwara sehingga dia mampu membuat wajahnya nampak kaget sekali, agak pucat, kemudian berobah merah dan dia menundukkan mukanya, tidak berani memandang kepada suhunya atau subonya! Sungguh seperti seorang perjaka tulen yang masih hijau mendengar dirinya akan dikawinkan!
Melihat ini, Suma Kian Lee bertanya.
"Bagaimana tanggapanmu tentang janji ikatan kami itu, Tek Ciang?!
"Apa.... apa yang dapat teecu katakan, suhu? Apa lagi selain rasa terima kasih dan keharuan yang sedalamnya bahwa suhu dan subo sudah begitu baik terhadap diri teecu? Teecu tidak mungkin dapat membalas kebaikan ini dan biarlah kelak pada lain penjelmaan teecu akan menjadi anjing atau kuda peliharaan suhu berdua....!
Kalau tidak ada suaminya di situ, tentu Kim Hwee Li akan tertawa geli mendengar ucapan pemuda ini yang mengingatkan ia akan adegan sandiwara wayang saja! Betapapun juga, diam-diam ia mengagumi pemuda ini yang amat pandai membawa diri dan pandai pula mengatur kata-kata menyenangkan hati orang.
"Jadi engkau setuju menjadi calon jodoh Suma Hui?! tanya pula Kian Lee menegaskan.
Tiba-tiba Tek Ciang menjatuhkan diri berlutut terhadap mereka dan menangis! Kim Hwee Li tadinya sudah hendak menggunakan kepandaian untuk melempar kembali pemuda yang berlutut itu ke atas kursinya, akan tetapi melihat pemuda itu menangis dan bercucuran air mata, iapun tercengang.
"EH, kenapa engkau menangis?! bentaknya heran sedangkan Suma Kian Lee juga memandang dengan heran.
"Teecu.... teecu adalah seorang anak yatim piatu yang tak berguna.... akan tetapi di dunia ini muncul ji-wi suhu dan subo yang begini baik terhadap diri teecu.... ah, teecu tidak dapat menahan keharuan hati teecu....!
Agak terharu juga hati Hwee Li. Apakah selama ini ia terlalu memandang ringan kepada anak ini? Apakah benar-benar anak ini memang merupakan seorang pemuda yang pandai membawa diri, sopan santun, mengenal budi orang dan berhati lembut dan berbudi luhur?
"Tek Ciang, engkau duduklah kembali dan dengarkan kata-kataku lebih lanjut. Belum habis aku bicara dan ada hal-hal yang lebih penting lagi untuk kau dengar selanjutnya.!
Suara Kian Lee terdengar penuh kegelisahan dan pemuda itu menyusut air matanya dan duduk kembali, sambil menundukkan muka. Pipinya masih basah dan matanya agak merah.
"Jadi engkau setuju menjadi calon suami anak kami?! tanya Kian Lee.
"Teecu berterima kasih sekali dan merasa terhormat sekali tentu saja teecu setuju dengan sepenuh hati teecu.!
"Baik, sekarang dengarkan hal yang amat penting. Kami bukanlah orang-orang curang seperti pedagang yang menjual kucing dalam karung. Kami akan bicara sejujurnya dan kemudian terserah kepadamu untuk mengambil keputusan. Kami hanya menghendaki kepastian bahwa kalau engkau menjadi mantu kami, engkau bukannya karena terpaksa melainkan karena suka rela. Mengertikah engkau, Tek Ciang?!
"Teecu mengerti dan siap mendengarkan.!
"Tek Ciang, menurut penuturan Ciang Bun, engkau tahu bahwa sumoimu, atau juga tunanganmu itu, pernah menyerang dan hendak membunuh Cin Liong. Benarkah itu?!
"Benar, suhu. Teecu mencoba melerai namun tidak berhasil.!
"Tahukah engkau mengapa tunanganmu itu menjadi marah, membenci dan hendak membunuh Cin Liong pada pagi hari itu?! tanya pula Kian Lee, suaranya lirih.
"Teecu tidak tahu dan sudah lama teecu bertanya- tanya di hati. Sumoi juga tidak mau memberitahu kepada teecu.!
Suara Suma Kian Lee semakin lirih dan agak gemetar ketika dia bicara lagi.
"Malam itu ada seorang jai-hwa-cat memasuki kamar sumoimu dan jai-hwa-cat itu ternyata adalah Kao Cin Liong dan....!
"Ahhh....!! Pemuda itu terbelalak, mukanya pucat.
"....dan.... dan sumoimu terkena asap pembius dan.... sumoimu diperkosa olehnya....!
"Tidak....! Jahanam itu....! Keparat keji itu....! Teecu bersumpah akan membunuhnya kalau teecu ada kemampuan!! Kini Tek Ciang bangkit berdiri, mukanya merah sekali penuh geram, matanya mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangannya dikepal kuat-kuat. Kim Hwee Li melihat ini semua dan Suma Kian Lee juga.
"Tenang dan duduklah, Tek Ciang. Bukan itu yang penting bagi kami,! kata pendekar sakti itu.
"Maaf, suhu....! Tek Ciang lemas kembali dan duduk, mukanya masih keruh dan bengis membayangkan kebencian yang mendalam.
"Tek Ciang, setelah engkau mengetahui bahwa sumoimu, tunanganmu itu kini telah ternoda, apakah.... apakah engkau masih mau untuk melanjutkan ikatan perjodohan ini? Apakah engkau masih mau menerima Suma Hui menjadi calon isterimu?! Di dalam suara pendekar itu terkandung kegelisahan yang membuat hati isterinya terharu.
Hwee Li tahu bahwa kalau pemuda ini menolak, suaminya tidak akan dapat berbuat sesuatu dan tentu suaminya akan mengalami kehancuran hati yang hebat. Maka, biarpun tadinya ia ingin pemuda ini menolak saja agar ia dapat mengusahakan perjodohan antara putrinya dan Cin Liong, kini hatinya bercabang. Kalau pemuda ini nenolak, perasaan suaminya akan hancur dan ia sendiri akan ikut merasa berduka. Sebaliknya kalau pemuda ini menerima, ia akan ikut membujuk Suma Hui agar mau menjadi calon isteri Tek Ciang. Tidak ada jalan lain yang lebih baik!
Hening sejenak, kemudian terdengar suara Tek Ciang, lantang dan tegas.
"Kenapa teecu tidak mau, suhu? Kejadian terkutuk itu bukanlah kesalahan sumoi, melainkan kesalahan manusia terkutuk itu. Tentu saja teecu mau melanjutkan ikatan perjodohan ini dan mau menerima sumoi sebagai calon isteri teecu.!
Wajah Suma Kian Lee yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri dan diam-diam Hwee Li juga merasa terharu. Pemuda ini memang benar-benar tidak mengecewakan! Pemuda yang berhati lapang, berpemandangan luas dan bijaksana. Ya, bijaksana! Jarang ada pemuda seperti ini.
"Terima kasih, Tek Ciang! Engkau lah yang telah dapat menerangkan persoalan yang mengeruhkan hati kami sekeluarga. Engkau lah yang telah menjadi penolong kami dan menghapuskan aib dari nama kami. Engkau tidak akan menyesal, Tek Ciang, karena dengan demikian, aku telah menentukan sejak saat ini bahwa kelak engkau yang akan mewarisi ilmu keluarga kami!! Ucapan Suma Kian Lee keluar dari hati yang setulusnya dan Tek Ciang kelihatan gembira sekali, lalu pemuda ini kembali menjatuhkan dirinya berlutut.
"Terima kasih, suhu, terima kasih!!
Hwee Li kini tidak lagi ingin melempar pemuda itu ke kursinya. Ia malah bangkit dan menyentuh pundak pemuda itu.
"Anak bodoh, apakah engkau masih juga menyebut suhu kepada ayah mertuamu?!
"Tek Ciang, bangkit dan duduklah kembali,! kata Suma Kan Lee.
Tek Ciang bangkit dan duduk, mukanya merah karena malu mendengar ucapan subonya tadi, malu akan tetapi girang. Subonya yang biasanya bersikap galak itupun kini bersikap manis kepadanya!
"Suhu dan subo, teecu belum berani lancang merobah sebutan sebelum teecu yakin betul bahwa sumoi akan.... akan mau.... menjadi....! Dia tidak melanjutkan dan menundukkan mukanya kembali.
Hwee Li saling pandang dengan suaminya dan ucapan pemuda itu seperti mengingatkan dan menyadarkan mereka! Sungguh mereka hampir lupa bahwa orang yang bersangkutan bahkan belum tahu. Bagaimana mereka dapat memastikan kalau Suma Hui belum diberi tahu dan belum ditanya pendapatnya? Membayangkan kemungkinan puterinya menolak, Suma Kian Lee sudah marah. Anak perempuan itu sungguh mendatangkan banyak pusing saja. Petama jatuh cinta kepada keponakan sendiri, ke dua peristiwa perkosaan itu, dan kalau sampai sekarang menggagalkan segala-galanya dengan menolak perjodohannya dengan Tek Ciang, dia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
"Panggil dia ke sini sekarang juga!! katanya memerintah kepada Tek Ciang.
"Baik, suhu.! Pemuda itu lalu keluar dengan cepat mencari Suma Hui. Dia mendapatkan sumoinya itu sedang duduk di ruangan belakang bercakap-cakap dengan Ciang Bun.
"Sumoi, suhu memanggilmu agar menghadap sekarang juga,! katanya dengan sikap halus seperti biasa, sama sekali tidak memperlihatkan perobahan sehingga Suma Hui tidak mencurigai sesuatu.
"Ada urusan apakah ayah memanggilku, suheng?!
"Suhu tidak memberitahu, hanya minta sumoi datang menghadap sekarang juga. Suhu dan subo menanti di ruangan dalam,! jawab Tek Ciang dengan suara biasa.
Suma Hui saling bertukar pandang dengan adiknya, mengerutkan alisnya, menarik napas panjang lalu bersama Tek Ciang masuk ke dalam. Tadi ia sudah mendengar dari Ciang Bun bahwa ayah ibunya berada di dalam ruangan dalam bertiga saja dengan Tek Ciang, agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting sehingga ayahnya memerintahkan Ciang Bun untuk keluar dan tidak memperkenankan siapapun juga masuk tanpa ijin. Selain itu, Ciang Bun juga menceritakan kepadanya tentang cerita Tek Ciang kepada adiknya itu dan ia dapat melihat bahwa suhengnya itu memang baik sekali. Dan kini suhengnya disuruh memanggilnya menghadap orang tuanya!
Agak berdebar jugalah hati Suma Hui melihat wajah ayah bundanya yang serius, bahkan ibunya kini juga nampak serius dan pendiam sekali, tidak seperti biasa terhadap dirinya. Ia dapat menduga bahwa yang akan dibicarakan tentulah hal yang teramat penting.
"Duduklah di situ, Hui-ji,! kata Suma Kian
Lee menunjuk ke kursi di samping kiri Tek Ciang.
Suma Hui duduk tanpa mengeluarkan kata-kata.
"Hui-ji, ketahuilah engkau bahwa lama sebelum Tek Ciang kuterima menjadi muridku, diantara ayahnya, yaitu mendiang Louw-kauwsu dan aku telah ada perjanjian untuk mengikat keluarga kami berdua dengan perjodohan antara engkau dan Tek Ciang....!
"Ayah....!!
"Dengar dulu!! Ayahnya memotong dan Suma Hui menunduk sebentar, lalu mengangkat muka lagi, dengan muka pucat akan tetapi sepasang mata menentang ia memandang ayahnya.
"Hal itu hanya kami berdua yang mengetahui, bahkan Tek Ciang pun baru tadi kuberitahu tentang perjodohan itu. Memang belum kami resmikan karena tadinya aku hendak menanyakan lebih dulu pendapatmu.!
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Legalah hati Suma Hui. Kiranya ayahnya tidaklah begitu lancang mengikatkan dirinya menjadi calon isteri orang tanpa bertanya kepadanya.
"Perlu apa dibicarakan lagi, ayah? Hal itu sudah berlalu dan kini tidak mungkin dilanjutkan!! katanya singkat, dengan maksud agar ayahnya mengerti bahwa setelah dirinya ternoda, mana mungkin ia dijodohkan dengan orang? Hal itu berarti akan mencemarkan nama sendiri karena akhirnya akan ketahuan bahwa ia bukanlah perawan lagi dan tentu akan menimbulkan keributan dan mengakibatkan tercemarnya nama dan kehormatan keluarga Suma. Sama dengan membongkar dan memperlihatkan aib sendiri.
"Hui-ji, dengarkan baik-baik. Tek Ciang bukanlah orang lain. Selain dia calon suamimu, juga dia adalah muridku yang akan mewarisi semua ilmu keluarga kita. Oleh karena itu, akupun telah terang-terangan menceritakan kepadanya tentang malapetaka....!
"Ayah....!! Kembali Suma Hui menjerit dan sekali ini mukanya menjadi pucat sekali.
Akan tetapi Suma Kian Lee mengangkat tangan kanan ke atas menyuruhnya tenang.
"Tenang dan lapangkan dadamu, anakku. Tek Ciang bukanlah seorang manusia busuk. Dia adalah seorang gagah yang dapat menghadapi kenyataan yang betapa pahitpun juga. Dia tidak menyalahkanmu, Hui-ji. Manusia keparat itulah yang terkutuk dan dia memaklumi keadaanmu, dan dia dengan suka rela hati suka menerimamu menjadi calon isterinya dan melupakan hal yang telah terjadi.!
"Tidak mungkin....!! kata Suma Hui.
"Hui-ji, ingatlah. Urusan itu telah terlanjur diketahui Tek Ciang dan dengan bijaksana dia mau melanjutkan perjodohan itu. Seharusnya engkau berterima kasih. Bukankah itu merupakan jalan terbaik untuk menghapus noda dan aib dari nama keluarga kita? Bukankah engkau sendiri menolak jalan lain yang kutawarkan kepadamu? Nah, hanya inilah jalannya, bahwa engkau harus menjadi isteri Louw Tek Ciang, seorang isteri yang terhormat.!
Suling Emas Naga Siluman Eps 35 Suling Emas Naga Siluman Eps 9 Suling Emas Naga Siluman Eps 19