Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 19


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



Mula-mula Sim Houw melihat dengan merasa lucu dan karena kasihan dia menyimpan pedang pusakanya kembali, ingin menghadapi dan mengalahkan gadis itu dengan tangan kosong saja, kecuali kalau dia terdesak lagi. Tiba-tiba dengan suara bentakan panjang dan nyaring, tubuh gadis itu bergerak, bagaikan seekor naga saja, langsung tubuh yang tadinya hampir tiarap itu menerjang ke depan, seperti terbang saja menyerang lawan! Bukan main terkejut rasa hati Sim Houw karena dia seperti pernah mendengar tentang ilmu ini, bahkan pernah melihat dimainkan orang. Dia cepat mengelak dan memutar lengan untuk menangkis, namun demikian hebatnya serangan itu sehingga tubuhnya sendiri terpelanting ke kiri! Hampir saja dia terbanting roboh kalau dia tidak cepat-cepat membuang dirinya dan membuat gerakan jungkir balik! Dia dapat berdiri kembali dan memandang dengan mata terbelalak!

   "Rasakan kau sekarang!"

   Seru Bi Lan dengan girang dan kembali ia menerjang maju, kini gerakannya semakin aneh dan dari kedua telapak tangannya keluar angin berdesir. Itulah Ban-tok Ciang-hoat yang pernah dipelajarinya dari nenek Wan Ceng, isteri pendekar Kao Kok Cu yang berlengan satu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu! Kembali Sim Houw terkejut dan cepat-cepat dia melompat lagi ke belakang karena sekarang dia teringat akan gerakan ilmu-ilmu aneh tadi.

   "Heiii, berhenti dulu. Kau hebat! Apakah engkau atau Sam Kwi telah mencuri ilmu dari Istana Gurun Pasir?"

   Bi Lan bertolak pinggang, matanya hampir bulat karena dibelalakkan marah, kedua pipinya merah sekali karena selain marah ia juga telah bekerja keras tadi sehingga denyut darahnya berjalan cepat, keringatnya membasahi dahi dan leher.

   "Kau sendiri pencuri perampok bajak copet maling!"

   Ia memaki-maki marah.

   "Selama hidup aku tak pernah mencuri! Jangan menuduh yang bukan-bukan kau!"

   Sim Houw tidak dapat marah dimaki-maki karena cara memaki itu nampak lucu. Dalam keadaan marah sekalipun gadis ini masih nampak lucu dan mulai Sim Houw menduga bahwa memang pembawaan, pribadi gadis ini yang lincah jenaka dan lucu, sama sekali bukan suatu permainan sandiwara. Andaikata semua tadi hanya rayuan atau sandiwara, tentu setelah berkelahi, sikap pura-pura itu akan hilang. Akan tetapi gadis ini tetap saja lucu!

   "Apa anehnya kalau menuduh mencuri kepada Sam Kwi? Bukankah mereka terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat, raja-raja iblis di antara para penjahat?"

   "Sam Kwi boleh melakukan apa saja, akan tetapi aku bukan Sam Kwi dan Sam Kwi bukan aku! Aku memang pernah menjadi murid mereka, akan tetapi aku menjadi murid untuk belajar silat, bukan belajar mencuri!"

   "Kalau begitu, dari mana engkau bisa memainkan ilmu silat dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?"

   "Huh! Itu masih belum, sobat!"

   Kata Bi Lan mengejek.

   "Kalau saja Ban-tok-kiam masih berada di tanganku, pasti akan kubikin buntung pedang pusakamu dari kayu itu!"

   "Ban-tok-kiam! Itu milik dari isteri pendekar majikan Istana Gurun Pasir!"

   Teriak Sim Houw semakin heran.

   "Bagaimana pula bisa menjadi milikmu?"

   Kembali Bi Lan tersenyum mengejek, bibirnya yang
(Lanjut ke Jilid 18)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18
merah basah dan mungil itu berjebi.

   "Kau ingin mendengar penjelasanku mengenai keluarga Istana Gurun Pasir dan aku?"

   "Tentu saja.... tentu saja, apa hubunganmu dengan mereka?"

   "Kau boleh minta maaf dulu, baru aku mau menceritakan!"

   "Minta maaf?"

   Sim Houw memandang heran. Ada-ada saja permintaan gadis ini yang aneh-aneh dan di luar dugaan.

   "Untuk apa?"

   "Karena kau tadi menuduh aku mencuri."

   Hampir Sim Houw tertawa bergelak, akan tetapi dia menahan rasa gelinya dan diapun tersenyum.

   "Baiklah, aku minta maaf atas tuduhanku tadi. Akan tetapi, usap dulu keringatmu, lihat, dahi dan lehermu basah semua!"

   Dia merasa risi dan kasihan melihat betapa peluh mengalir membasahi leher baju dan yang dari dahi juga mulai menetes ke bawah membasahi pipi. Bi Lan tercengang. Baginya, lawannya ini juga aneh sekali dan iapun lalu menyeka keringatnya dengan saputangan biru yang dikeluarkannya dari saku bajunya.

   "Dengarlah, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir atau majikan Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, dengan isterinya yang bernama nenek Wan Ceng, adalah guru-guruku!"

   "Wah, mana mungkin....!"

   "Mungkin saja! Buktinya begitu kok tidak mungkin. Buktinya mereka telah mengajarkan ilmu silat kepadaku selama satu tahun, bahkan subo Wan Ceng meminjamkan Ban-tok-kiam kepadaku, akan tetapi pedang itu dirampas oleh orang lain."

   Sukar untuk tidak percaya kepada omongan seorang gadis seperti ini, akan tetapi agaknya tidak masuk di akal pula kalau murid Sam Kwi bisa menerima pelajaran silat dari pendekar sakti itu dan isterinya.

   "Nona, ketahuilah bahwa aku menganggap keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir itu sebagai para locianpwe yang kuhormati dan kukagumi di samping keluarga dari Pulau Es. Mereka adalah keluarga sakti yang gagah perkasa. Kalau engkau menjadi murid suami isteri pendekar Kao itu, maka tentu saja aku tidak berani mengangkat tangan melawanmu dan bagiku engkau bukan seorang musuh. Marilah kita duduk dan ceritakan kepadaku bagaimana di satu pihak engkau dapat menjadi murid Kao locianpwe, hal yang memang patut kulihat pada dirimu, akan tetapi di lain pihak engkaupun menjadi murid Sam Kwi dan bahkan menjadi utusan Bi-kwi untuk merampas Liong-siauw-kiam."

   Sim Houw sudah mengambil tempat duduk lagi di atas batu yang tadi dipakainya bersila ketika dia meniup suling dan mempersilahkan Bi Lan untuk duduk pula di atas batu-batu di depannya. Akan tetapi Bi Lan menolak.

   "Nanti dulu! Enak saja engkau mengajak aku mengobrol begitu saja. Aku datang untuk merampas pedang pusaka Suling Naga, bukan untuk kongkouw (ngobrol-ngobrol) denganmu!"

   "Kita bukan hanya bicara tentang dirimu, akan tetapi juga tentang pedang pusaka ini. Percayalah, aku tentu akan membantumu agar engkau tidak sampai hidup sebagai orang yang tidak memenuhi janji dan sumpah sendiri."

   "Benar? Tidak bohong?"

   Sim Houw menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak pernah berbohong."

   "Kalau perlu kau akan memberikan pusaka itu kepadaku?"

   "Kalau perlu, boleh saja."

   Sim Houw tersenyum.

   "Sumpah dulu kau tidak bohong, baru aku mau duduk mengobrol!"

   Sim Houw tersenyum lebar. Kini dia mengerti. Gadis ini pada dasarnya adalah seorang gadis yang berjiwa pendekar, yang baik budi, jauh dari watak kejam dan jahat dan mungkin karena melihat sifat-sifat baik inilah maka seorang sakti seperti majikan Istana Gurun Pasir mau mengajar-kan ilmu-ilmu kepadanya. Akan tetapi karena menjadi murid Sam Kwi hidup dalam lingkungan para datuk sesat, tentu saja iapun ketularan watak-watak yang aneh dan mau enaknya sendiri saja. Watak-watak yang buruk dari Sam Kwi dan watak-watak pendekar dari suami isteri Istana Gurun Pasir itu agaknya bercampur dan menciptakan watak yang lucu dan aneh pada diri gadis ini.

   "Baiklah, kalau perlu aku akan memberikan pusaka Suling Naga kepadamu dan aku akan membantumu, aku bersumpah bahwa aku tidak berbohong."

   Bi Lan tertawa dan Sim Houw merasa luar biasa sekali, seolah-olah sinar matahari di pagi hari itu tiba-tiba saja menjadi semakin cerah, suara burung-burung di dalam pohon menjadi semakin merdu dan bau-bau rumput dan daun pohon dan bunga di sekitar tempat itu menjadi semakin harum!

   Demikianlah keadaan hati yang tidak dibebani rasa duka! Kalau segala macam rasa duka, kecewa, sesal dan sengsara hati lenyap dari batin kita, maka panca indera kita akan bekerja lebih peka lagi dan kita akan lebih dapat menikmati segala keindahan di dalam kehidupan ini! Bi Lan yang tersenyum cerah karena hatinya merasa lega itu kini duduk di atas batu hitam, dekat dengan Sim Houw sehingga pria itu mampu menangkap bau badan gadis yang berkeringat itu. Bau yang aneh dan terasa sampai ke jantungnya, yang menggerakkan semua kejantanan dalam dirinya, yang tiba-tiba menimbulkan gairah, mendorong perasaan ingin sekali semakin dekat dengan gadis itu dan kalau mungkin, selamanya tidak akan terpisah darinya dan akan selalu dapat mencium bau yang khas itu!

   "Nah, sebelum aku mulai bercerita, sebagai tuan rumah yang baik, engkau harus lebih dulu, menceritakan kepadaku, apakah benar namamu Sim Houw dan bagaimana engkau bisa memperoleh pedang pusaka itu dan sebagainya lagi mengenai dirimu."

   Kembali Sim Houw tersenyum. Dia sudah lupa lagi bahwa selama bertahun-tahun ini dia hampir tak pernah atau jarang sekali tersenyum dan di pagi hari sekali, seolah-olah sinar matahari dan di pagi hari ini, semenjak bertemu dengan gadis itu, entah sudah berapa kali dia tersenyum, bahkan tertawa. Senyum yang langsung keluar dari perasaan hatinya, bukan sekedar senyum pengantar sopan santun seperti yang nampak pada senyum kebanyakan orang.

   "Namaku Sim Houw dan tentang pedang ini...."

   "Nanti dulu! Namamu Sim Houw dan usiamu tadi kau katakan tiga puluh tahun? Siapa isterimu?"

   Tiba-tiba saja muka pendekar itu menjadi merah sekali, kemudian agak pucat dan dia menundukkan mukanya, memejamkan sebentar kedua matanya lalu setelah dia mengangkat mukanya memandang gadis itu wajahnya sudah pulih kembali dan senyumnya sudah membayang lagi di bibirnya,

   "Aku tidak punya isteri...."

   "Ahh....! Sudah.... sudah matikah ia? Atau.... bercerai?"

   Sim Houw menggeleng kepalanya perlahan-lahan.

   "Aku belum pernah beristeri."

   "Aneh, seusia engkau ini belum beristeri? Tapi.... sucikupun usianya sudah sebaya denganmu dan belum bersuami pula. Cuma.... ia mempunyai banyak sekali pacar! Berganti-ganti, apakah.... apakah engkaupun begitu?"

   "Begitu bagaimana maksudmu!"

   Tanya Sim Houw hampir membentak.

   "Seperti suciku itu? Berganti-ganti pacar?"

   Kalau bukan gadis itu yang berkata demikian, ingin rasanya Sim Houw menampar mulut itu.

   "Tidak! Dan jangan engkau samakan semua orang seenakmu saja. Bukankah engkau sendiri, yang menjadi sumoinya, tidak sama dengan sucimu itu, berganti-ganti pacar?"

   "Aku sih tidak sudi! Aku benci laki-laki mata keranjang!"

   "Nah, dengarkan saja, kalau begini terus ceritaku tidak akan ada habisnya! Aku bernama Sim Houw, belum punya isteri, dan kedua ayah ibuku sudah meninggal dunia. Guruku bernama Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas dan tinggal di Istana Khong-sim Kai-pang, di puncak Bukit Nelayan, tak sangat jauh dari sini. Cukup bukan tentang diriku?"

   Bi Lan yang tadi dibentak, kini mengangguk-angguk.

   "Sudah cukup jelas, terutama bahwa selain belum pernah beristeri, engkau tidak pernah berganti-ganti pacar...."

   Ia tersenyum memandang kepada Sim Houw yang juga tersenyum senang.

   "Dan bagaimana tentang Liong-siauw-kiam itu?"

   "Seorang kakek pertapa di Himalaya yang bernama Pek-bin Lo-sian, aku yakin engkau tentu mengenal nama itu karena dia masih terhitung susiok (paman guru) dari Sam Kwi, telah merasa tua dan ingin mewariskan pedang pusaka Suling Naga kepada seseorang yang dianggapnya pantas untuk memilikinya. Dia tidak suka kepada tiga orang keponakannya, yaitu Sam Kwi dan dia mulai mencari orang yang akan mampu mengalahkan dirinya, karena dia hanya akan memberikan pusaka ini kepada orang yang dapat mengalahkannya. Entah berapa banyak sudah orang yang roboh di tangannya, luka atau mati, ketika dia mencari calon pemilik baru dari Liong-siauw-kiam ini. Akhirnya dia bertemu denganku dan kebetulan aku dapat mengalahkannya maka dia menyerahkan senjata pusaka ini kepadaku."

   Bi Lan mengangguk-angguk.

   "Jadi engkau tidak merampasnya atau mencurinya dari kakek itu? Aku percaya ceritamu. Dan tidak aneh kalau engkau menang, karena ilmu kepandaianmu memang hebat. Aku sendiripun bukan lawanmu. Kalau kau mau membunuhku dengan senjata itu tentu mudah saja. Heiii....! Mengapa....?"

   Tiba-tiba gadis itu meloncat dari tempat duduknya dan gerakannya yang tiba-tiba itu mengejutkan Sim Houw sehingga pemuda inipun terloncat bangun.

   "Mengapa....apa....?"

   Tanyanya bingung karena gadis itu kembali sudah memandang kepadanya dengan mata melotot marah.

   "Mengapa engkau tidak membunuhku atau setidaknya merobohkan aku? Padahal jelas bahwa kedatanganku ini untuk merampas Liong-siauw-kiam? Ehh, engkau.... engkau.... bukan sebangsa jai-hoa-cat, ya?"

   Kembali Sim Houw menjadi gemas dan ingin menampar mulut itu kalau saja yang bicara orang lain.

   "Kenapa kau bertanya begitu?"

   Balasnya, tentu saja mendongkol karena jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita) adalah kejahatan yang paling dibencinya.

   "Karena sudah banyak sekali kulihat orang-orang yang ilmunya tinggi, bersikap baik kepada wanita hanya untuk maksud-maksud tertentu yang rendah dan hina. Tapi.... tapi.... ahh, engkau tentu bukan orang macam mereka itu. Aku percaya padamu, maafkan pertanyaanku tadi, ya?"

   Ucapan yang disertai senyum ini sekaligus menghapus bersih kedongkolan hati Sim Houw.

   "Sekarang ceritakan tentang dirimu dan tentang hubunganmu dengan keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir."

   "Sam Kwi bukan saja guru-guruku, melainkan juga penolongku dan penyelamat nyawaku. Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku dan ayah ibuku meninggalkan kampung halaman kami di selatan untuk lari mengungsi karena adanya perang pemberontakan dan serbuan dari orang-orang Birma. Di tengah perjalanan, kami dihadang pasukan orang Birma. Ayah ibuku tewas dan aku hampir celaka. Kalau tidak ada Sam Kwi yang tiba-tiba muncul, tentu aku mengalami nasib seperti ibuku, diperkosa oleh mereka sampai mati."

   Gadis itu memejamkan kedua matanya untuk mengusir pemandangan tentang ibu dan ayahnya itu yang membayang dalam ingatannya. Diam-diam Sim Houw merasa terharu sekali dan juga kasihan. Pantas gadis ini memiliki watak aneh. Begitu kecil su-dah mengalami musibah yang demikian hebat.

   "Nah, sejak itulah aku menjadi murid Sam Kwi setelah mereka bertiga membunuh semua anggauta pasukan Birma itu. Aku berhutang budi dan mereka baik sekali kepadaku. Akan tetapi suciku Bi-kwi, tidak baik kepadaku. Ia yang mewakili Sam Kwi melatihku, akan tetapi latihan-latihan itu diselewengkan sehingga aku keracunan dan hampir tewas kalau tidak pada suatu hari, di dalam hutan, aku bertemu dengan suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir itu. Merekalah yang mengobatiku sampai sembuh dan mengajarkan ilmu-ilmu silat sampai setahun lamanya."

   Sim Houw mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan semakin kagum. Sejak berusia sepuluh tahun gadis ini menjadi murid Sam Kwi, akan tetapi tidak tumbuh dewasa menjadi seperti Bi-kwi, hal itu sungguh mengagumkan, tanda bahwa memang gadis ini memiliki dasar watak yang baik dan kuat.

   "Lalu bagaimana engkau sampai bisa hutang budi kepada Bi-kwi, padahal ia yang hampir mencelakaimu dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang sengaja disesatkan itu?"

   "Bi-kwi bertempur denganmu dan kalah, lalu Sam Kwi bertapa selama satu tahun untuk menciptakan ilmu silat baru yang hebat untuk kami paksa menghadapimu...."

   "Ah, ilmu silat yang hebat tadi? Bukan main, memang Sam Kwi lihai...."

   "Itulah Ilmu Sam Kwi cap-sha-ciang. Setelah mereka berhasil menciptakan ilmu baru itu, mereka mengajarkannya kepada aku dan Bi-kwi, lalu kami berdua menerima tugas untuk mencarimu dan merampas Liong-siauw-kiam. Sam Kwi mengadakan pesta makan minum untuk mengucapkan selamat jalan kepada kami dan dalam kesempatan itu, aku di-bikin mabok, ditawan oleh Sam Kwi untuk diperkosa...."

   "Ahhh....! Betapa kejinya!"

   Sim Houw hampir meloncat saking marah dan kagetnya.

   "Hal seperti itu biasa saja bagi mereka. Bi-kwi juga sudah mereka perlakukan demikian sehingga selalu menjadi murid juga menjadi kekasih mereka. Aku tidak sudi melayani mereka. Mereka bermaksud menundukkan aku seperti Bi-kwi, akan tetapi aku tidak mau. Mereka mengancam akan memperkosa, dan ketika itulah Bi-kwi turun tangan, membebaskan aku dan kami melarikan diri. Akan tetapi aku lalu harus membuat janji dan sumpah bahwa aku akan membantunya mendapatkan kembali Liongsiauw-kiam."

   Sim Houw mengangguk-angguk dan tertarik sekali. Diam-diam dia semakin kagum kepada Bi Lan. Gadis ini sudah pernah hampir tewas oleh Bi-kwi, akan tetapi sekali ditolong, ia bersumpah membalas budi itu dan sekali bersumpah ia akan melaksanakan walau bertaruh nyawa. Sukar mencari seorang gadis berhati baja seperti ini, juga yang bernasib malang sekali terjatuh ke dalam lingkungan kaum sesat.

   "Kemudian bagaimana?"

   Dengan singkat Bi Lan lalu menceritakan perjalanannya dengan Bi-kwi sampai ia hampir pula menjadi korban dan hampir diperkosa oleh Bhok Gun, cucu murid Pek-bin Lo-sian.

   "Karena dua kali mengalami peristiwa seperti itu, hampir diperkosa oleh Sam Kwi yang mula-mula baik kepadaku, kemudian oleh Bhok Gun yang bekerja sama dengan suci, maka tadi aku teringat dan terkejut karena jangan-jangan engkau juga seorang seperti mereka itu!"

   "Hemmm, tidak semua orang jahat, nona. Akan tetapi, engkau belum menceritakan sesuatu yang paling penting padaku."

   "Apa itu?"

   "Namamu!"

   Bi Lan tertawa dan ketawanya juga bebas, tanpa menutupi mulut karena kadang-kadang ia lupa akan sedikit pelajaran tentang sopan santun yang pernah ia terima dari nenek Wan Ceng. Ia memang merupakan seekor kuda betina yang tadinya liar atau setangkai bunga mawar hutan yang tak pernah terawat dengan baik, walaupun hal itu tidak mengurangi ke-indahan dan keharumannya.

   "Aku lupa dan engkau tidak menanyakan sih! Namaku Can Bi Lan, mendiang ayah bernama Can Kiong, seorang petani biasa dari Yunan."

   "Dan sekarang, adik Bi Lan, boleh aku menyebut adik kepadamu, bukan?"

   "Tentu saja, dan aku akan menyebut twa-ko (kakak besar) kepadamu. Tidak pantas menyebut paman karena usiamu hanya sebaya dengan Bhok Gun yang masih terhitung suheng dariku. Sim-twako, nah, itulah sebutanku untukmu. Kau tadi hendak bicara apa?"

   "Begini Lan-moi (adik Lan), bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku berada di Pegunungan Tai-hang-san dan bisa menemukan aku di sini?"

   "Aku bertemu dengan seorang pemuda bernama Cu Kun Tek. Dialah yang memberi tahu kepadaku bahwa mungkin aku dapat menemukanmu di Pegunungan Tai-hang-san."

   "Cu Kun Tek?"

   Sim Houw berseru girang.

   "Wah, dia itu masih terhitung pamanku!"

   "Apa? Bagaimana ini? Dia masih muda, sebaya denganku, mana bisa menjadi pamanmu?"

   "Ayahnya yang bernama Cu Kang Bu adalah paman mendiang ibuku. Bukankah dengan demikian Cu Kun Tek itu pamanku? Tentu dia sudah dewasa sekarang. Aku tidak bertemu dengan dia sejak aku mengunjungi lembah keluarga Cu dan di sanalah aku bertemu dengan kakek Pek-bin Lo-sian. Jadi engkau bertemu dengan Kun Tek? Bagaimana dapat berkenalan dengan dia?"

   "Dia penolongku, ketika aku memasuki perangkap Bhok Gun. Tiba-tiba ketika aku dalam keadaan luka dikeroyok oleh Bhok Gun dan kawan-kawannya, muncul Kun Tek yang mengamuk sehingga kami berdua berhasil lolos dari kepungan. Kami berkenalan dan dialah yang memberi tahu aku bahwa engkau mungkin berada di sini."

   Tentu saja hati Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Kun Tek yang dulu baru berusia duabelas tahun itu kini telah menjadi seorang pendekar yang boleh dibanggakan! Pantas menjadi keturunan keluarga Cu yang gagah perkasa dan pantas pula menjadi pemilik Koai-liong Po-kiam! Dia merasa gembira bahwa dia telah mengembalikan pedang pusaka itu kepada keluarga Cu. Dengan demikian, terhapuslah sudah semua rasa tidak enak yang pernah ada antara keluarga Cu dan keluarga Kam, yaitu Pendekar Suling Emas yang menjadi gurunya. Tiba-tiba Bi Lan bangkit berdiri.

   "Sudah terlalu banyak kita ngobrol dan terlalu lama aku di sini. Sekarang, seperti janji dan sumpahmu tadi, serahkan Liong-siauw-kiam kepadaku untuk kuberikan kepada suci."

   Ia menengadahkan tangan kanannya yang diulur untuk menerima pemberian pedang.

   "Nanti dulu, Lan-moi. Aku tidak akan menarik kembali janjiku. Akan tetapi engkau tahu betapa berbahayanya kalau pusaka seperti ini menjadi milik seorang jahat seperti Bi-kwi atau Sam Kwi. Tentu seperti harimau buas yang tumbuh sayap."

   "Jadi kau tidak mau memberikan?"

   Bi Lan mengerutkan alisnya, mulai marah.

   "Nanti dulu, jangan tergesa mengambil kesimpulan. Aku akan menyerahkannya kepadamu, akan tetapi akupun akan ikut menyaksikan ketika engkau menyerahkannya kepada sucimu, dan pada saat itu, setelah engkau menyerahkan pedang berarti engkau.... engkau?"

   Bi Lan berpikir sejenak lalu mengangguk-angguk.

   "Aku mengerti. Memang akupun tidak suka kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan suci. Ia amat jahat dan tentu ia akan menjadi semakin jahat kalau mempunyai pusaka yang dapat diandalkan. Baik, mari kita serahkan pusaka itu kepada suci dan kau boleh merampasnya kembali dari tangannya, terserah."

   "Di mana dia sekarang?"

   "Menurut rencana mereka, yaitu suci dan Bhok Gun, mereka akan pergi ke kota raja untuk bekerja membantu guru Bhok Gun yang sudah berada di kota raja pula."

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Di kota raja?"

   "Ya, di istana kaisar. Guru Bhok Gun itu sudah mengabdi kepada seorang pembesar bernama Hou Seng, dan mereka akan menggabung ke sana mencari kedudukan. Kebetulan sekali akupun harus pergi ke kota raja untuk mencari orang yang telah merampas Ban-tok-kiam dari tanganku."

   "Ah, kau tadi pernah bercerita tentang Ban-tok-kiam. Siapa yang merampasnya?"

   Menurut keterangan seorang hwesio bernama Tiong Khi Hwesio, perampas yang amat lihai itu berjuluk Sai-cu Lama dan pendeta Lama itu tentu berada di kota raja, karena kabarnya pendeta Lama itu pun bersekongkol dengan persekutuan di kota raja. Aku harus merampasnya kembali, betapapun lihai Lama itu, karena Ban-tok-kiam hanya dipinjamkan saja kepadaku oleh subo di Istana Gurun Pasir."

   "Aih, begitu banyak masalah yang kau hadapi, Lan-moi. Biarlah aku akan membantumu kelak mendapatkan kembali Ban-tok-kiam. Pedang pusaka itu harus kembali kepada pemiliknya, majikan Istana Gurun Pasir."

   "Terima kasih, toako. Kau baik sekali!"

   Kata Bi Lan dengan hati girang. Hari itu juga mereka turun dari puncak itu setelah Sim Houw mengajak Bi Lan makan lebih dulu di tempat tinggalnya, sebuah gubuk darurat di puncak itu. Dia masih menyimpan bahan makanan dan Bi Lan dengan girang lalu memasak dan mereka berdua makan dulu sebelum meninggalkan puncak. Sedikit ucapan dari Bi Lan pada waktu mereka makan bersama, membuat hati Sim Houw merasa terharu, akan tetapi anehnya, juga mendatangkan rasa duka walaupun hanya tipis saja perasaan duka ini. Kata-kata itu adalah,

   "Sim-toako, aku merasa seolah-olah engkau ini benar-benar kakakku sendiri! Betapa bahagianya hatiku kalau mempunyai seorang kakak seperti engkau yang selalu akan membimbing dan membantuku!"

   Kedukaan tipis yang menyelubungi hati Sim Houw itu timbul karena dia sendiri sudah tahu akan keadaan hati sendiri. Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini! Untuk kedua kalinya dalam hidupnya dia jatuh cinta. Pertama kali kepada Kam Bi Eng dan dia gagal karena cintanya bertepuk tangan sebelah. Kam Bi Eng mencinta Suma Ceng Liong yang kini sudah menjadi suaminya. Dan sekarang dia jatuh cinta kepada Bi Lan.

   Akan tetapi, usianya sudah tiga puluh tiga tahun sedangkan Bi Lan baru berusia paling banyak delapan belas tahun. Sekarang saja gadis itu sudah mengatakan bahwa dia dianggap sebagai kakak! Mungkinkah gadis ini kelak dapat membalas cintanya? Ataukah dia harus mengalami nasib seperti cinta pertamanya, mengulang kembali kegagalan cintanya? Dia hanya menarik napas panjang dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Ternyata dua orang itu tidak usah mencari terlalu jauh sampai ke kota raja untuk menyerahkan pedang Liong-siauw-kiam kepada Bi-kwi! Ketika mereka berdua, Sim Houw dan Bi Lan, berjalan perlahan-lahan menuruni pegunungan itu sambil bercakap-cakap gembira karena kelincahan Bi Lan mendatangkan suasana yang amat gembira dalam hati Sim Houw, dan mereka tiba di kaki puncak, di lereng bawah,

   Tiba-tiba saja Bi-kwi muncul di depan mereka bersama Bhok Gun dan dua puluh orang lebih anggauta Ang-i Mo-pang yang berpakaian serba merah! Kiranya Bi-kwi dan Bhok Gun, setelah yang terakhir ini gagal menangkap Bi Lan karena pertolongan Cu Kun Tek, dapat mengikuti jejak Bi Lan yang menuju ke Tai-hang-san dan diam-diam mereka mengikuti terus. Ketika dalam penyelidikan mereka kepada para penduduk dusun mereka tahu bahwa Pendekar Suling Naga berada di puncak yang kini didaki oleh Bi Lan, mereka lalu bersembunyi dan hendak menanti kembalinya Bi Lan. Kalau Bi Lan berhasil merampas pedang pusaka itu, mereka tinggal memintanya dan merampas dari tangan Bi Lan kalau gadis ini tidak menyerahkannya. Atau kalau Bi Lan gagal, mereka akan mengajak Bi Lan membantu mereka menyerbu ke puncak.

   Bi-kwi yakin bahwa ba-gaimanapun juga, Bi Lan yang keras hati tidak akan mau melanggar janjinya dan tentu akan mau membantunya merampas pedang pusaka itu. Karena itu, betapa kaget dan heran akan tetapi juga girang rasa hati mereka ketika pada siang hari itu, mereka melihat Bi Lan turun dari puncak bersama sang pendekar yang dicari-cari! Akan tetapi dalam suasana yang demikian akrab, berjalan berdam-pingan sambil bercakap-cakap. Bi-kwi dan Bhok Gun tidak khawatir kalau Bi Lan akan membantu Pendekar Suling Naga, karena Bi Lan terikat oleh sumpahnya untuk membantu merampas kembali pedang itu! Dan dengan bantuan Bi Lan, bahkan tanpa bantuannyapun, mereka berdua yakin bahwa mereka akan mampu mengalah-kan Sim Houw, apa lagi di situ ada dua puluh orang lebih anak buah mereka.

   "Suci....!"

   Bi Lan berseru heran.

   "Engkau di sini....?"

   Dan alisnya berkerut ketika ia melihat Bhok Gun dan anak buahnya berada pula di situ. Bi-kwi tersenyum mengejek.

   "Aha, sumoiku yang manis. Kau kira aku begitu bodoh, membiarkan engkau sendirian menemui si Pendekar Suling Naga? Kiranya dia malah telah memikat hatimu sehingga engkau lupa akan tugasmu merampas pusaka itu, malah kini menjadi pacarnya. Hemm, kulihat kau mulai pandai berpacaran...."

   "Bi-kwi, tutup mulutmu yang kotor!"

   Sim Houw membentak marah.

   "Ha-ha-ha, siapa yang kotor? Sumoi, agaknya adik kecil kita itu belajar asmara dari Pendekar Suling Naga, ha-ha!"

   Bhok Gun juga tertawa, padahal di dalam hatinya dia merasa panas melihat betapa Bi Lan yang dirindukannya itu nampak demikian akrab dengan Sim Houw.

   "Bhok Gun, Sim-toako bukanlah laki-laki hina dina dan rendah kotor macam kamu!"

   Bi Lan tiba-tiba membentak dan memandang dengan sinar mata berapi-api.

   "Jangan kalian ini manusia-manusia cabul menuduh orang-orang lain serupa saja dengan kalian yang tak tahu malu!"

   "Cukup, Siauw-kwi!"

   Kini Bi-kwi mulai mempergunakan pengaruhnya sebagai pelatih dan suci.

   "Bagaimana dengan janjimu dahulu ketika aku membebaskanmu dari Sam Kwi? Engkau berjanji akan membantu-ku sampai berhasil mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam dan membantu aku merebut kedukan jagoan nomor satu di dunia persilatan!"

   "Aku hanya berjanji akan merampaskan kembali Liong-siauw-kiam, dan tentang merebut kedudukan jagoan nomor satu itu, kalau kebetulan aku menyaksikan tentu aku membantumu. Aku tidak akan mengingkari janji. Lihat, Liong siauw-kiam sudah berada di tanganku!"

   Gadis itu menyingkap bajunya dan memang benar, Liong-siauw-kiam dengan sarung pedangnya telah terselip di ikat pinggangnya. Memang pedang ini diserahkan oleh Sim Houw kepadanya ketika mereka hendak berangkat tadi, untuk penjagaan kalau sewaktu-waktu Bi-kwi muncul. Melihat betapa pedang pusaka itu benar-benar telah berada pada Bi Lan, Bi-kwi dan Bhok Gun saling pandang dan mereka nampak terkejut dan heran akan tetapi Bi-kwi menjadi girang sekali.

   "Bagus sekali, sumoi! Kiranya engkau memang telah memenuhi janjimu. Berikan Liong-siauw-kiam itu kepadaku, adikku!"

   Suaranya menjadi manis sekali, dan ia mengulurkan tangan.

   "Nanti dulu, suci. Aku akan menyerahkan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini kepadamu, akan tetapi dengan demikian berarti aku sudah terbebas dari ikatan janjiku kepadamu! Aku tidak akan hutang budi apa-apa lagi darimu dan kalau pedang ini sudah kuberikan kepadamu, berarti tidak ada ikatan apa-apa lagi antara kita. Berarti bahwa janji dan sumpahku telah kupenuhi dan kelak engkau tidak berhak untuk menekan aku lagi berdasarkan janji sumpah yang sudah kupenuhi dengan penyerahan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini. Benarkah begitu?"

   "Benar, dan mana pedang itu kesinikan!"

   Kata Bi-kwi tak sabar lagi.

   "Katakan dulu bahwa kalau engkau sudah menerima pedang ini dariku, maka aku sudah tidak terikat dengan janji apa-apa lagi!"

   Kata Bi Lan sambil mencabut sarung pedang itu dari ikat pinggangnya, akan tetapi belum mau menyerahkannya.

   "Baik. kalau pedang itu sudah kuterima, engkau tidak terikat janji apa-apa lagi. Nah, berikan Liong-kiam itu padaku."

   Bi Lan menanti dua detik dan seperti telah direncanakan oleh Sim Houw, tidak ada tanda apa-apa dari Sim Houw. Hal ini berarti bahwa ia sudah boleh menyerahkan pedang itu kepada sucinya. Menurut rencana itu, kalau belum tiba saatnya menyerahkan pedang, Sim Houw tentu akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi Sim Houw kini diam saja, hal ini merupakan isyarat dari Sim Houw bahwa pedang itu sudah boleh diberikan kepada Bi-kwi.

   "Nah, terimalah ini sebagai pembayar janji dan sumpahku kepadamu dan aku sudah bebas dari ikatan apapun dengan dirimu,"

   Katanya sambil mengulurkan tangan yang memegang pedang dengan sarungnya itu tanpa melangkah ke depan. Dengan demikian, terpaksa Bi-kwi yang melangkah ke depan dan ia menerima pedang itu dari tangan sumoinya. Sebagai seorang yang cerdik dan ahli silat yang lihai, cara mengambil pedang itu dari tangan sumoinya dilakukan seperti orang merampas. Disambarnya pedang itu dan begitu sudah berada di tangannya, ia melompat ke belakang. Hal ini untuk menghindarkan kalau-kalau sumoinya bertindak curang dan menyerangnya pada saat ia menerima pedang. Akan tetapi ia kalah cepat, atau memang sama sekali tidak mengira bahwa pada saat ia menerima pedang, tubuh Sim Houw sudah meluncur ke depan.

   "Sumoi, awas....!"

   Teriak Bhok Gun yang melihat gerakan Sim Houw dan diapun sudah meloncat ke depan. Bi-kwi terkejut sekali ketika tiba-tiba tubuh Sim Houw, bagaikan seekor garuda terbang menyambar ke bawah, tangan kanan mencengkeram ke atas ubun-ubun kepalanya sedangkan tangan kiri menyambar ke arah pedang! Serangan itu hebat bukan main dan kalau ia terlambat sedikit saja melindungi tubuhnya, tentu kepalanya menjadi sasaran. Jangankan sampai dicengkeram, terkena totokan satu kali pada ubun-ubun kepalanya, ia akan mati konyol! Cepat Bi-kwi membuang diri ke belakang sambil menangkis pukulan itu, kakinya sambil membuang diri menendang ke depan. Akan tetapi, betapapun cepat reaksi gerakannya, tetap saja tiba-tiba ia merasa lengan kanannya lumpuh dan tahu-tahu pedang itu telah terampas oleh Sim Houw.

   "Bukkk....!"

   Pada saat itu, hantaman Bho Gun tiba menimpa punggung Sim Houw. Dalam usaha membantu sumoinya tadi, Bhok Gun sudah mengerahkan tenaga dan memukul punggung Sim Houw. Sim Houw maklum akan serangan ini, akan tetapi dia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada usahanya merampas kembali Liong-siauw-kiam karena kalau sekali serangan itu dia gagal, akan semakin sukarlah untuk mendapatkan kembali pusakanya itu. Maka, sambil melanjutkan usahanya merampas pedang, dia menerima saja hantaman pada punggungnya itu sambil menggunakan sebagian dari sin-kangnya saja untuk melindungi punggung. Terkena hantaman yang amat kuat itu, tubuh Sim Houw terpelanting dan bergulingan sampai jauh,

   Akan tetapi pedang Liong-siauw-kiam sudah berada kembali ke tangannya. Dengan marah sekali Bi-kwi dan Bhok Gun mengejar dan mereka berdua sudah menyerang dengan bertubi-tubi untuk merampas kembali pedang itu. Bhok Gun mempergunakan pedangnya, dan Bi-kwi sudah mengeluarkan Ilmu Silat Sam Kwi cap-sha-ciang yang hebat itu. Baru saja Sim Houw yang terkena hantaman tadi meloncat berdiri dan dari mulutnya mengalir darah segar sebagai bukti bahwa pukulan tadi telah melukainya sebelah dalam tubuh atau setidaknya membuat sebelah dalam tubuhnya terguncang, kini dia sudah diserang lagi dengan dahsyatnya. Dia mengelak dari sambaran pedang Bhok Gun, akan tetapi sebuah tamparan dengan jurus Ilmu silat Cap-sha-ciang yang ampuh itu kembali membuatnya terpaksa melempar diri dan bergulingan.

   Akan tetapi sambil bergulingan dia mencabut pedang Liong-siauw-kiam dan begitu dia meloncat bangun dan memutar pedangnya, terdengar suara berkerintingan dan beberapa belas buah paku beracun yang disambitkan Bhok Gun berjatuhan tertangkis oleh sinar pedang. Setelah pedang Liong-siauw-kiam berada di tangannya, kini Sim Houw menghadapi mereka berdua dan terdengarlah bunyi senjatanya itu yang melengking-lengking seperti suling ditiup, akan tetapi mengandung ketajaman pedang pusaka yang sakti, bahkan sinar pedang itu saja bersama suaranya sudah mampu membuat lawan menjadi repot. Terjadilah perkelahian mati-matian. Tanpa diperinah lagi, dua puluh lebih anak buah Bhok Gun itu sudah mengurung arena perkelahian itu dengan senjata golok atau pedang di tangan. Melihat ini, sejak tadi Bi Lan sudah memperhatikan.

   "Siauw-kwi, hayo kau bantu kami!"

   Bentak Bi-kwi dengan suara penuh wibawa kepada adik seper-guruannya itu. Akan tetapi dengan tenang Bi Lan menjawab,

   "Bi-kwi, ingat bahwa sejak kau terima pedang itu, di antara kita sudah tidak terdapat ikatan apa-apa!"

   Berkata demikian, gadis ini lalu menerjang maju dan menyerang dua puluh lebih anak buah Bhok Gun itu!

   "Kau pengkhianat....!"

   Bhok Gun berteriak marah melihat betapa dua orang anak buahnya roboh terguling oleh serangan Bi Lan yang segera dikeroyok oleh semua anak buah itu.

   "Bukan pengkhianat macam engkau yang curang!"

   Balas Bi Lan dan gadis ini dengan enaknya membagi-bagi pukulan dan tendangan kepada dua puluh lebih pengeroyok yang bukan merupakan tandingan yang berat baginya.

   "Celaka! Kita tertipu....!"

   Tiba-tiba Bi-kwi berseru.

   "Mereka sudah merencanakan ini....!"

   Menghadapi lawan seperti Sim Houw, walaupun mengeroyok dua, sama sekali tidak boleh membagi perhatian. Begitu Bi-kwi berteriak demikian sambil melirik ke arah sumoinya, sinar pedang Suling Naga menyambar dibarengi lengkingan mengerikan. Ia menangkis dengan lengannya, akan, tetapi ternyata ujung suling pedang itu berkelebat ke atas dan terdengar kain robek disusul jerit tertahan Bi-kwi yang terluka pada pundaknya! Melihat betapa Bi-kwi terluka dan anak buahnya kocar-kacir diamuk Bi Lan, Bhok Gun menjadi gugup dan diapun berseru nyaring.

   "Mari kita pergi....!"

   Betapa dongkol rasa hatinya, terpaksa Bi-kwi menuruti nasihat suhengnya itu dan bersama Bhok Gun, iapun meloncat dan melarikan diri, diikuti terpincang-pincang oleh dua puluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang saling menopang kawan yang terluka.

   Bi Lan berdiri sambil bertolak pinggang, tertawa terbahak-bahak melihat mereka. Sim Houw juga tersenyum, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan cepat dia duduk bersila, sambil memejamkan kedua matanya. Melihat kawannya itu diam saja dengan tiba-tiba lalu duduk bersila, Bi Lan teringat bahwa Sim Houw tadi terkena pukulan Bhok Gun pada punggungnya sampai mulutnya mengeluarkan darah. Ia cepat mendekati pemuda itu dan melihat betapa Sim Houw mengatur pernapasan untuk mengumpulkan hawa murni mengobati lukanya sendiri, iapun lalu duduk agak menjauh. Ingin sekali ia membantu pemuda itu dengan penyaluran tenaganya, akan tetapi ia tidak berani melakukannya dan tidak mau mengganggu Sim Houw yang sedang samadhi. Ia kagum bukan main kepada pemuda itu.

   Tadi ia melihat cara Sim Houw merampas kembali pedang pusaka dan karena itu iapun melihat bahwa Sim Houw sengaja membiarkan punggungnya terpukul karena dia memaksa diri harus dapat merampas pedang itu dalam satu serangan, dan ternyata usahanya itupun berhasil dengan baik! Ia percaya bahwa pendekar itu sudah membuat perhitungan dengan masak sehingga pukulan yang mengenai punggung itu, biarpun mengguncang hebat dan menimbulkan luka dalam sampai muntahkan sedikit darah, namun tentu tidak berbahaya. Buktinya, dalam keadaan terluka tadi Sim Houw telah mampu mendesak dan melukai pundak Bi-kwi, biarpun sucinya tadi mempergunakan Ilmu Cap-sha-kun dan Bhok Gun yang tingkat kepandaiannya sama dengan Bi-kwi mempergunakan pedangnya. Bahkan membuat kedua orang itu kemudian terpaksa melarikan diri! Sambil menunggui Sim Houw yang sedang mengobati luka dalam di tubuhnya, Bi Lan kini mulai memperhatikan pria itu.

   Bukan pemuda remaja lagi, melainkan seorang laki-laki, seorang jantan yang berwatak lemah lembut dan sederhana, tak pernah tinggi hati dan tidak suka berlagak walaupun jelas bahwa ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan namanya terkenal sebagai seorang pendekar sakti. Seorang yang pada wajahnya membayangkan bekas kedukaan yang membuatnya menjadi pendiam dan lebih suka menyendiri di tempat-tempat sunyi. Dan tiba-tiba saja hatinya merasa kasihan sekali. Laki-laki yang baik budi ini, agaknya juga tidak mempunyai siapapun di dunia ini, seperti dirinya. Ah, mengapa ia mendadak saja termenung? Mengapa membiarkan pikiran dikelabukan awan yang hanya akan membuatnya bersedih? Wataknya yang gembira dan jenaka sudah sejak lama terlatih untuk mengatasi segala duka.

   Bahkan ketika ia menderita sakit keracunan yang membuatnya seperti orang gila, hanya sebentar saja ia menangis, kemudian ia sudah bergembira kembali, dengan alam, dengan sekitarnya. Iapun sudah melenyapkan kesedihan yang tadi terseret oleh rasa kasihan yang timbul terhadap Sim Houw dan kini wajahnya sudah berseri kembali. Tugas pertama sudah dilaksanakannya dengan baik. Ia sudah berhasil menemukan kembali Liong-siauw-kiam dan membebaskan dirinya dari ikatan janjinya terhadap Bi-kwi. Budi kebaikan Sam Kwi telah lunas ketika Sam Kwi hampir saja mem-perkosa dirinya. Budi kebaikan itu telah ditebus dengan perbuatan mereka yang hina itu. Ia tidak akan mendendam sakit hati atas perbuatan Sam Kwi yang terakhir terhadap dirinya, biarlah perbuatan itu sebagai pembayar semua budi mereka terhadap dirinya sejak ia bertemu dengan mereka.

   Kemudian, iapun tidak lagi berhutang budi kepada Bi-kwi karena sudah ditebusnya dengan menyerahkan Liong-siauw-kiam tadi. Soal ia tidak mampu mempertahankan pusaka itu ketika dirampas kembali oleh Sim Houw, itu adalah masalah Bi-kwi sendiri dan ia tidak perlu mencampurinya. Kini tinggal satu tugas lagi. Mencari Ban-tok-kiam! Dan Sim Houw telah berjanji untuk membantunya. Ia percaya kepada pria ini. Ia merasa aman, merasa begitu pasti akan berhasil karena ada Sim Houw di sampingnya. Bahkan ia hampir merasa yakin, begitu besar percayanya kepada sahabat baru ini, bahwa ia akan mampu mendapatkan kembali Ban-tok-kiam untuk dikembalikan kepada subonya di Istana Gurun Pasir. Setelah berhasil, ia akan mengunjungi suhu dan subonya itu di sana!

   "Lan moi, kau sedang melamun apa?"

   Tiba-tiba Bi Lan menoleh dan ia melihat Sim Houw sedang memandang kepadanya dan wajah Sim Houw sudah nampak segar, tanda bahwa pria itu sudah sehat kembali.

   "Kau tersenyum-senyum seorang diri."

   "Sim-toako, bagaimana dengan lukamu? Sudah sembuhkah?"

   Ia cepat menghampiri ketika Sim Houw bangkit berdiri. Sim Houw meraba-raba dadanya dan mengangguk.

   "Pukulan orang itu amat kuat, hal yang sama sekali tidak kusangka. Dia amat lihai. Dia itukah yang bernama Bhok Gun itu, cucu murid dari mendiang Pek-bin Lo-sian?"

   "Benar, akan tetapi jangan kau memuji-mujinya. Buktinya, dia dan suci yang mengeroyok engkau dalam keadaan sudah terlukapun tidak mampu menang, malah mereka lari seperti dua ekor tikus dipotong ekornya."

   Sim Houw tersenyum. Dia sudah sering mendengar orang mengambil perumpa-maan "anjing dipukul", akan tetapi baru sekarang mendengar orang membuat perumpamaan dua orang lari seperti tikus-tikus dipotong ekornya.

   "Adik Lan, apakah engkau pernah melihat tikus dipotong ekornya lalu melarikan diri?"

   "Belum, akan tetapi bisa kubayangkan. Kalau tidak percaya, coba saja tangkap tikus, potong ekor-nya lalu dilepaskan. Lihat apakah dia tidak akan lari secepatnya karena ketakutan!"

   Setelah keduanya ketawa, Sim Houw lalu bertanya,

   "Lan-moi, orang she Bhok itu murid siapakah?"

   "Biarpun aku pernah bertemu dan menerima pusaka dari mendiang Pek-bin Lo-sian, akan tetapi aku tidak tahu siapa muridnya. Apakah engkau pernah mendengar dari sucimu siapa gurunya itu?"

   Bi Lan menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, Sim-twako, akupun tidak pernah tahu atau mendengar siapa gurunya. Hanya dari percakapan antara mereka aku tahu bahwa Bhok Gun mengajak anak buahnya untuk pergi ke kota raja, bergabung dengan gurunya untuk mengabdi kepada pembesar yang bernama Hou Seng itu."

   Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja, karena seperti yang pernah dijanjikan oleh Sim Houw, mereka akan menyelidiki tentang Sai-cu Lama yang merampas Ban-tok-kiam di kota raja. Setelah terjadi peristiwa pengeroyokan itu di antara kedua orang ini terjadi hubungan yang semakin akrab.

   Biarpun ketika dikeroyok oleh Bi-kwi dan Bhok Gun, Sim Houw tidak membutuhkan bantuan Bi Lan, akan tetapi maju dan mengamuknya Bi Lan terhadap dua puluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang mengepung tempat itu menimbulkan semacam kepercayaan baru dalam hati Sim Houw terhadap Bi Lan. Ternyata dan terbuktilah dari pertempuran ini bahwa Bi Lan berwatak baik dan bersih, berjiwa pendekar dan menentang kejahatan walaupun ia mengaku murid Sam Kwi. Sebaliknya, Bi Lan semakin suka dan percaya kepada Sim Houw karena di sepanjang perjalanan, Sim Houw tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar. Selalu sopan, ramah, bahkan memandang kepadanya dengan sinar mata yang begitu lembut. Ia merasa suka bercakap-cakap dengan pria yang dari percakapannya saja sudah diketahui mempunyai pengetahuan luas itu.

   Dan kalau ada waktu, Sim Houw selalu memberi petunjuk-petunjuk kepadanya tentang cara-cara menghimpun tenaga sin-kang, mengumpulkan hawa murni dengan cara yang benar. Ia yang hanya mendapat tuntunan selama setahun dari suami isteri Istana Gurun Pasir, kini dapat melihat dengan lebih jelas perbedaan antara latihan yang benar dan latihan-latihan dari kaum sesat sehingga perlahan-lahan ia kini dapat mengusir sisa-sisa tenaga sesat yang didapatnya ketika ia berlatih di bawah ajaran Sam Kwi dan Bi-kwi. Sudah dua pekan lebih mereka meninggalkan Tai-hang-san dan pada suatu sore, di luar kota Thian-cin, tiba-tiba hujan lebat turun dari atas yang sejak siang tadi telah dipenuhi awan mendung. Terpaksa Sim Houw mengajak Bi Lan untuk berlari dan mencari tempat yang baik untuk berlindung dari serangan air hujan.

   Sim Houw ingat bahwa tak jauh dari situ, di luar sebuah hutan, terdapat sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Biarpun kuil itu sudah tua dan rusak, namun atapnya masih ada dan dapat dipakai untuk meneduh. Di dalam perantauannya, pernah dia beberapa kali bermalam di kuil tua itu, maka kini dia mengajak Bi Lan lari ke tempat itu. Mereka akhirnya tiba di kuil itu dan berlarian masuk dengan tubuh basah. Betapapun pandainya kedua orang ini, mereka tetap saja basah kuyup ketika berlari-larian tadi, tak mungkin dapat menghindar dari siraman air hujan. Akan tetapi keduanya merasa gembira, tertawa-tawa ketika memasuki kuil, seperti dua orang anak kecil yang habis bermain di bawah siraman air hujan. Berbahagialah orang-orang yang masih bisa bergembira ria sehabis kehujanan, karena itu merupakan pertanda bahwa tubuh dan batinnya masih sehat.

   Sebaliknya, orang yang tertimpa air hujan sedikit saja lalu sakit, dia seorang yang lemah dan mereka yang mengeluh dan jengkel karena kehujanan, berarti batin mereka yang lemah. Orang yang dapat merasakan kembali kegembiraan kanak-kanak, dia seorang beruntung. Sambil tertawa-tawa Bi Lan memeras rambutnya yang panjang, yang basah kuyup. Sim Houw juga melakukan hal yang sama. Memang, hal yang paling mengganggu kalau kehujanan kalau rambut panjang basah kuyup. Air akan terus mengalir dan menetes dari kumpulan air hujan yang diserap oleh rambut. Setelah memeras rambut dan ujung-ujung pakaiannya, Sim Houw lalu mengumpulkan kayu kering yang banyak terdapat di dalam kuil itu, sisa dari mereka yang pernah bermalam di situ dan dibantu oleh Bi Lan, dia membuat api unggun.

   Buntalan berisi pakaian yang basah lalu diperas dan dipanaskan dekat api unggun agar cepat kering. Bi Lan sendiri lalu memeriksa tempat itu, selagi Sim Houw sibuk mengeringkan pakaian di dekat api unggun. Kuil itu dahulunya merupakan sebuah kuil yang cukup besar dan agaknya bekas terbakar sehingga sebagian besar bangunan samping dan belakang, tempat dulu merupakan kamar-kamar para pendeta, juga dapur dan lain-lain bagian, sudah runtuh. Kini yang tinggal hanya ruangan sembahyang di luar dan beberapa ruangan sebelah dalam, yang masih tertutup atap walaupun bocor di sana-sini. Lantainya cukup bersih karena di tempat ini sering ada juga orang-orang yang kemalaman di jalan atau mungkin kehujanan seperti yang mereka alami sore hari ini.

   Ada pula jerami-jerami kering bertumpuk di sudut, tentu untuk alas tidur di lantai karena lantainya tentu dingin sekali kalau malam, apa lagi malam hujan. Setelah memeriksa tempat itu dan ternyata hanya mereka berdua yang sore hari itu meneduh di tempat itu dari serangan hujan, Bi Lan kembali ke depan dan duduk pula dekat api unggun agar pakaian dan rambutnya lekas kering. Setelah ada pakaian yang dibentangkan dekat api dan sudah kering lebih dulu, Bi Lan lalu membawa satu stel pakaiannya ke bagian belakang dalam kuil itu yang gelap, terhalang dinding dan iapun berganti pakaian. Setelah ia selesai, lalu Sim Houw juga berganti pakaian, kemudian mereka berdua duduk kembali dekat api. Enak setelah berganti pakaian kering dan terkena hawa panas api unggun, membuat tubuh terasa hangat. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lan tertawa.

   "Kenapa kau tertawa?"

   "Hi-hik, apakah kau tidak mendengar apa yang kudengar?"

   "Apa itu?"

   "Engkau memang terlalu sopan. Kokok ayam dalam perut kita!"

   Sim Houw tersenyum. Gadis ini sungguh polos. Akan tetapi, tidak seharusnyakah kita semua bersikap demikian, pikirnya. Segala peraturan sopan santun yang kita buat sendiri demi "kehormatan"

   Sudah sedemikian berlebih-lebihan sehingga mencetak kita menjadi manusia-manusia palsu, munafik-munafik besar yang selalu berbeda lahir dengan batinnya,

   Kepura-puraan yang hanya menguntungkan perasaan si aku yang menganggap diri agung dan terhormat, akan tetapi kadang-kadang merugikan bagi diri sendiri maupun orang lain. Betapa seringkali kita lebih mengutamakan si aku yang hanya angan-angan belaka ini, demi nama baik dan demi kehormatan si-aku, biarlah badan ini menderita! Aneh memang, bodoh memang, akan tetapi kenyataannya demikianlah. Sampai di jaman inipun kita semua menjadi hamba dari pada pengagungan si aku ini. Lihat saja di kanan kiri, lihat saja pada diri kita sendiri. Sepasang kaki kita menjerit dan mengeluh oleh sempitnya sepatu yang menekan demi untuk kehormatan! Peluh kita bercucuran oleh gerah dan panasnya pakaian "sopan"

   Demi untuk kehormatan! Perut kita kalau perlu kita tekan dan kelaparan demi untuk kehormatan.

   Mulut kita dipaksa senyum-senyum walau hati sedang berduka demi untuk kehormatan dan masih banyak lagi contoh-contoh yang membuat kita kadang-kadang menjadi heran sendiri karena kelakuan kita, demi kehormatan itu, seperti tidak normal lagi. Si aku yang gila kehormatan ini membuat kita menjadi manusia-manusia yang gila atau tidak normal lagi! Sopan santun dan tata-susila memang perlu bagi kita manusia yang hidup bermasyarakat, namun tata-susila dan sopan-santun ini kita adakan bersama demi menjaga perasaan orang lain, agar tidak menyinggung dan untuk pelaksanaan dari pengertian kita tentang kesopanan dengan menggunakan akal budi. Akan tetapi kalau sudah menjurus ke arah kecondongan mencari pujian, lalu menjadi berlebih-lebihan bahkan tidak praktis lagi!

   "Sayang roti keringku yang tinggal sedikit sudah habis karena terkena air hujan."

   Kata Sim Houw.

   "Akan tetapi kalau hujan berhenti, kita dapat pergi ke kota Thian-cin, dan kita membeli makanan di sana."

   Akan tetapi hujan tak juga mau berhenti sampai malam tiba! Sim Houw melihat betapa gadis itu, walaupun tidak bicara lagi tentang lapar dan makanan, namun semakin menderita karena menahan lapar. Hawa yang nyaman karena dingin dilawan kehangatan api unggun memang membuat perut menjadi lapar sekali, lebih lagi karena baru saja mereka tadi mengeluarkan banyak tenaga untuk berkelahi. Perut mereka membutuhkan isi, akan tetapi dari mana bisa didapatkan makanan? Kuil itu berada di ujung hutan dan tempat itu sunyi, jauh dari rumah orang. Tiba-tiba Sim Houw bangkit dari tempat duduknya dekat api unggun.

   "Kau di sini sebentar, Lan-moi, aku akan pergi mencari bahan makan untuk kita."

   "Tapi, hujan masih begitu lebat di luar dan gelap pula!"

   Bi Lan membantah.

   "Kau akan kehujanan dan basah kuyup lagi. Pula, ke mana mencari bahan makanan malam-malam hujan begini?"

   Sim Houw tersenyum.

   "Kau tunggu sajalah. Pakaianku sudah kering semua, nanti dapat berganti lagi. Pula, bukankah sejak jaman nenek moyang kita dahulu, kaum pria yang bertugas mencari bahan makanan untuk kita yang kelaparan? Nah, aku pergi sebentar!"

   Sim Houw berkelebat dan lenyap dari situ. Bi Lan tidak mau menganggur.

   Ia menambahkan kayu pada api unggun, kemudian dengan teliti ia mencari-cari di sekitar kuil yang bocor di sana-sini itu dan menemukan dua buah panci butut, akan tetapi belum bocor. Lumayan, pikirnya dan dengan dua panci itu, ia menadah air hujan yang langsung turun dari langit sehingga dua panci itu dapat menampung air yang jernih. Siapa tahu kalau-kalau Sim-toako benar-benar bisa mendapatkan bahan makanan, pikirnya. Tanpa panci tempat masak, lalu bagaimana? Dan mereka juga membutuhkan air minum, dan air hujan itu cukup bersih. Tak lama kemudian muncullah Sim Houw dari luar kuil, menggendong seekor kijang muda yang su-dah mati! Tubuh dan rambutnya basah kuyup, juga pakaiannya kotor terkena lumpur, akan tetapi dia tersenyum lebar dengan wajah gembira sekali. Dia menurunkan kijang itu dari pundaknya dan memeras rambutnya.

   "Wah, bagaimana kau bisa mendapatkan....eh, lekas kau tukar pakaian dulu, toa-ko, kau basah semua dan pakaianmu kotor. Jangan-jangan kau bisa masuk angin!"

   Kata Bi Lan dengan girang akan tetapi juga khawatir, lupa bahwa orang yang memliki kepandaian seperti Sim Houw tentu memiliki pula kesehatan yang baik dan daya tahan yang jauh lebih kuat dari pada orang-orang biasa. Akan tetapi Sim Houw menurut, menyambar satu stel pakaian kering dan berlari ke belakang. Ketika dia kembali dengan pakaian yang kering dan rambutnya sudah diperas dari air hujan, dia melihat bahwa Bi Lan sudah mulai menguliti kijang itu dengan menggunakan kedua tangannya, menarik dan merobeknya begitu saja!

   "Lan-moi, kita pergunakan alat, jangan hanya dengan tangan begitu. Bagaimana kau akan memotong-motong dagingnya?"

   "Aku tidak punya pisau...."

   "Suling ini dapat dipakai sebagai pedang dan...."

   "Hushh, jangan pandang rendah benda pusaka, toako. Sudahlah, kita kuliti binatang ini, kita patahkan saja keempat kakinya dan kita panggang pahanya. Kita tidak mungkin dapat memasaknya karena tidak ada bumbu."

   "Wah, sayang, bumbu-bumbuku juga habis dalam buntalan pakaian oleh air hujan. Tapi tunggu, dahulu aku pernah menyimpan sisa garam di ujung sana. Tanpa garam, akan seperti apa rasanya?"

   Diapun mencari-cari dan akhirnya dengan girang menemukan garam itu yang berada dalam sebuah poci kecil sehingga masih bersih dan utuh. Sibuklah kedua orang itu kini memanggang empat buah paha kijang yang sudah digarami dan tak lama kemudian, terciumlah bau sedap yang membuat perut mereka terasa semakin lapar! Habislah daging paha kijang yang empat buah banyaknya itu oleh mereka, ditambah minum air hujan yang sudah dimasak sampai mendidih. Dan perut kenyang mendatangkan kantuk! Mulailah mereka bekerja untuk membuat tempat tidur dengan menumpuk jerami kering di lantai.

   "Kau tidurlah, Lan-moi, biar aku duduk di sini. Engkau terlalu lelah dan malam ini kita tidak mungkin dapat mencari tempat bermalam lain lagi. Hujan masih terus turun. Kau tidurlah."

   "Dan kau, Sim-toako?"

   "Aku sudah biasa beristirahat sambil duduk, dan aku perlu mengulang kembali pengobatan dalam tubuhku."

   Kepercayaan Bi Lan terhadap Sim Houw sudah demikian mendalam sehingga biarpun mereka hanya berdua saja malam itu di satu ruangan, di tempat yang gelap dan sunyi, namun tidak ada sedikitpun kekhawatiran di dalam hatinya.

   Bahkan membayangkan yang bukan-bukan saja sama sekali tidak pernah memasuki benaknya, maka segera ia dapat tidur dengan pulasnya, rebah miring meringkuk karena terasa hawa dingin yang dihembus angin dari luar. Diam-diam Sim Houw yang duduk dekat api unggun memandang kepadanya. Ada rasa haru yang besar sekali dan mendalam di dasar hatinya melihat gadis itu tidur meringkuk dengan bibir tersenyum, begitu pasrah, begitu lemah dan tak berdaya. Seorang gadis yatim piatu, seperti dia, seorang gadis yang secara aneh muncul dalam kehidupannya. Sama sekali tak pernah dia menyangka bahwa dalam hidupnya, dia akan berduaan dengan seorang gadis seperti pada malam hari ini. Melakukan perjalanan bersama, kehujanan bersama, makan berdua dan kini dia memandangi gadis yang tidur pulas itu.

   Timbul rasa kasihan di hatinya melihat Bi Lan meringkuk, menekuk kaki dan menjepit tangan di antara pahanya. Dia mempunyai sebuah baju mantel yang lebar dan yang kini sudah kering. Diambilnya mantelnya itu dan diselimutkannya pada tubuh Bi Lan, menutupi tubuh dari leher sampai ke kaki. Dia melakukannya begitu hati-hati dan perlahan-lahan agar tidak membangunkan Bi Lan dari tidurnya yang nyenyak. Akan tetapi, tubuh yang terlatih sejak kecil itu amat peka terhadap sentuhan dari luar dan urat syaraf tubuh itu selalu dalam keadaan siap terhadap bahaya dari luar sehingga dalam tidur sekalipun, agaknya syaraf-syaraf itu tetap bersiap siaga. Maka begitu merasa tubuhnya tersentuh kain, walaupun tadinya tidak berprasangka yang bukan-bukan, sentuhan ini cukup membuat Bi Lan sadar dari tidurnya.

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 41 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 34 Suling Emas Naga Siluman Eps 36

Cari Blog Ini