Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Pulau Es 34


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 34



"Engkau benar, mereka itu tentu bukan orang-orang sembarangan. Mungkin juga mereka itu menjadi pengawal-pengawal rahasia muda-mudi mewah itu, akan tetapi aku khawatir jangan-jangan mereka itu malah mempunyai niat yang tidak sehat terhadap rombongan pertama itu. Aku melihat kekejaman membayang pada pandang mata dua orang kakek itu, terutama sekali si tosu. Ketika dia melirik ke sini dan memandang kita, aku merasa serem.!

   "Hemm, biarkan saja, urusan mereka sendiri. Tujuh orang pengawal itupun congkak sekali, bukan watak orang-orang baik, maka biarkan mereka itu saling hantam sendiri dengan dua orang kakek itu.!

   "Akan tetapi aku tetap curiga, Gangga. Jangan-jangan dua orang kakek itu mempunyai niat buruk terhadap muda-mudi itu dan biarpun mereka itu dikawal oleh orang-orang congkak, mereka sendiri adalah remaja-remaja yang tidak berdosa. Mari kita bayangi mereka dan lihat apa yang akan terjadi.!

   "Bagaimana kalau encimu muncul nanti?!

   "Jangan khawatir, kami sudah saling berjanji untuk saling menanti di sini selama sepekan terhitung hari ini, menjaga kalau-kalau seorang di antara kami akan terlambat. Kalau nanti ia datang, tentu ia akan menungguku.!Keduanya lalu bangkit dan melakukan pengejaran ke arah lenyapnya rombongan muda-mudi berpakaian mewah tadi. Akan tetapi bayangan mereka sudah tidak nampak lagi. Ketika Ganggananda dan Ciang Bun sedang mencari dengan mata dan telinga mereka dan bingung karena tidak tahu harus melakukan pengejaran ke arah yang mana, tiba-tiba mereka mendengar lapat-lapat suara orang berkelahi di sebelah barat. Keduanya lalu cepat lari menuju ke arah itu dan tak lama kemudian mereka melihat perkelahian yang sungguh berat sebelah.

   Kakek pendeta Lama berkepala gundul itu sedang dikepung dan dikeroyok oleh tujuh orang pengawal itu! Para pengawal mempergunakan senjata golok atau pedang, sedangkan pendeta Lama itu hanya bertangan kosong saja menghadapi mereka. Akan tetapi, sekali pandang saja tahulah Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu lihai luar

   biasa dan sedang mempermainkan tujuh orang lawannya yang kelihatan galak dan garang. Sambaran pedang dan golok berkelebatan dan bergulung-gulung menyilaukan mata, akan tetapi tubuh kakek pendeta Lama itu seperti melayang-layang di antara gulungan sinar pedang dan golok, dan jika ada sinar senjata yang menyambar terlalu dekat, dia cukup mengebutkan ujung lengan bajunya dan senjata itupun terpental! Adapun kakek ke dua yang seperti tosu itu hanya berdiri di pinggir, menonton. Dia sama sekali tidak membantu temannya karena kakek ini tentu yakin pula bahwa temannya akan menang dengan mudah menghadapi tujuh orang pengeroyok yang hanya mengandalkan senjata tajam dan tenaga kasar itu.

   "Lama tua, jangan main-main seperti anak kecil. Lekas bereskan mereka!! kata tosu yang sudah kita kenal sebagai Pek-bin Tok-ong itu.

   "Ha-ha-ha!! Thai Hong Lama tertawa sambil menyampok sebuah golok dengan lengan bajunya sehingga golok itu terpental dan hampir terlepas dari tangan pemegangnya.

   "Agaknya kau sudah tidak sabar lagi, Tok- ong? Lihat, sepasang burung dara remaja yang lunak dagingnya itu takkan dapat terbang ke manapun juga, ha-ha!!

   Akan tetapi, biarpun berkata demikian, agaknya pendeta Lama itupun sudah jemu mempermainkan tujuh orang pengeroyoknya. Tiba-tiba saja tangannya menyentuh tasbeh yang tergantung di lehernya dan sekali tarik, dia sudah mengambil tasbeh itu keluar dari lehernya dan dan nampaklah sinar hitam berguung-gulung ketika tasbeh iu diputar-putar. Dan terdengarlah suara nyaring berdentangan ketika pedang dan golok tujuh orang itu terlempar karena benturan tasbeh, disusul teriakan mereka yang roboh satu demi satu dengan kepala pecah terpukul tasbeh! Berturut-turut dengan masing-masing sekali serangan saja, lama itu telah merobohkan dan menewaskan tujuh orang pengeroyoknya.

   Melihat ini, Ciang Bun dan Gangga terkejut sekali. Tadinya, melihat perkelahian itu mereka tidak mau turut campur, karena mereka tidak tahu apa urusan mereka yang sedang berkelahi itu. Apalagi melihat betapa pendeta Lama itu dikeroyok tujuh. Bagaimana mungkin mereka turun tangan. Pendeta itu tidak terdesak dan jelas akan menang, dan mereka berdua enggan membantu tujuh orang pengawal yang kasar, congkak dan yang kini secara curang mengeroyok seorang lawan dengan tujuh orang.

   Akan tetapi, sungguh tidak disangka oleh Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu akan menurunkan tangan maut seganas itu, sekaligus membunuh tujuh orang lawannya. Juga mereka berdua terkejut, maklum bahwa sesungguhnya pendeta Lama itu lihai bukan main dan merekapun dapat menduga bahwa temannya, si tosu itu, tentu lihai pula.

   Kini, dua orang muda yang agaknya kakak dan adiknya itu memandang terbelalak dan dara remaja itu menangis dalam rangkulan kakaknya. Mereka memandang pucat dan ketakutan melihat betapa para pengawal mereka terbunuh. Keduanya lalu membalikkan tubuh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, dua orang kakek itu tertawa dan sekali berkelebat, mereka sudah meloncat dan di lain saat, Thai Hong Lama sudah menyambar tubuh gadis kecil itu sedangkan Pek-bin Tok-ong menyambar tubuh pemuda remaja. Mereka menyambar bagaikan dua ekor burung rajawali menyambar dua ekor burung dara yang ketakutan dan sambil tertawa-tawa, keduanya memondong korban mereka dan berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.

   Ciang Bun dan Gangga sejak tadi bengong saja. Mereka masih terkejut melihat betapa kakek pendeta itu membunuh tujuh orang dengan ganas, akan tetapi ketika mereka melihat dua orang kakek itu menangkap dan melarikan muda-mudi, mereka berdua masih ragu-ragu dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan dua orang kakek itu.

   "Kita kejar mereka!! kata Ciang Bun. Akan tetapi sebelum dia bergerak, Gangga menyentuh tangannya.

   "Apa gunanya kita mengejar mereka? Mungkin dua orang kakek lihai itu hendak mengambil mereka sebagai murid! Kalau kita mengejar dan dapat menyusul, habis kita mau apa? Perkelahian mereka dengan tujuh pengawal itu bukan urusan kita dan kalau mereka hendak mengambil murid, itupun tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Kenapa kita harus mencampuri urusan orang dan hanya mencari permusuhan dengan orang-orang lihai?!

   "Bukan demikian, Gangga. Akan tetapi hatiku tidak enak. Apakah engkau tidak melihat betapa kakek gundul itu ketika menangkap gadis cilik, telah mengelus pipi gadis itu? Dan aku melihat jelas betapa tosu itupun mencium pipi si pemuda remaja! Begitukah sikap orang yang akan mengambil murid? Aku curiga sekali dan mari kita kejar mereka, dan kita lihat dan dengan teliti apa yang akan mereka lakukan. Kalau memang benar mereka berniat baik terhadap muda-mudi itu, tentu saja kita tidak usah mencampuri. Akan tetapi kalau mereka itu mempunyai niat busuk, seperti yang kukhawatirkan, kita harus menolong dua orang remaja itu.!

   Gangga terpaksa harus membenarkan pendapat sahabatnya dan mereka cepat meninggalkan tempat itu dan melakukan pengejaran ke arah larinya dua orang kakek yang menculik dia orang muda-mudi itu. Dan ternyata mereka harus berlari cepat dan mencari ke sana-sini karena dua orang kakek itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Setelah menjelajahi hutan kecil itu tanpa hasil, Gangga menjadi putus harapan dan hendak membujuk sahabatnya untuk menyudahi saja pencarian yang sia-sia itu. Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala.

   "Gangga, entah bagaimana, akan tetapi perasaanku mengatakan bahwa dua orang kakek itu adalah datuk- datuk sesat yang mampu melakukan segala macam hal yang mengerikan dan jahat sekali. Aku mengkhawatirkan keselamatan dua orang remaja itu. Kita harus cari dan susul sampai dapat.!

   "Akan tetapi, ke mana kita harus menyusul dan mencari? Mereka tidak berada di dalam hutan ini, dan ternyata mereka mampu berlari cepat sekali sehingga kita kehilangan jejak mereka.!

   Ciang Bun berpikir keras sambil menundukkan mukanya. Kemudian dia mengangkat muka dan memandang wajah sahabatnya.

   "Gangga, di waktu siang seperti ini, mereka tidak akan dapat melakukan perbuatan jahat di tempat umum. Maka, kalau mereka memang berniat jahat, tentu mereka akan mencari tempat sunyi dan satu- satunya tempat sunyi tentu saja keluar dari kota raja ini. Tempat ini paling dekat dengan pintu gerbang kota raja sebelah barat, maka kurasa mereka lari melalui pintu gerbang itu. Mari kita kejar ke sana.!

   Perhitungan Ciang Bun memang tepat sekali. Ketika mereka tiba di pintu gerbang dan melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, mereka mendengar bahwa memang tadi ada dua orang kakek yang menurut penggambarannya adalah benar dua orang yang mereka kejar, memondong pemuda remaja dan seorang gadis cilik.

   Menurut keterangan dua orang kakek pendeta itu, dua orang remaja itu menderita sakit lumpuh dan kini mereka hendak membawa muda-mudi itu ke gunung untuk diobati. Adapun muda-mudi itu selain lumpuh, nampaknya payah sekali karena seperti orang pingsan dan lemas. Melihat bahwa dua orang kakek itu adalah pendeta-pendeta yang kelihatannya alim, tidak ada yang menaruh curiga dan dengan mudah dua orang pendeta itu keluar dari kota raja melalui pintu gerbang sebelah barat ini.

   Mendengar keterangan ini, makin besar keyakinan hati Ciang Bun bahwa dua orang kakek itu tentulah mempunyai niat yang busuk terhadap dua orang muda-mudi yang mereka tawan. Bahkan kini Gangga sendiripun menanuh curiga dan dengan penuh semangat iapun bersama Ciang Bun melakukan pengejaran ke barat.

   Setelah matahari condong ke barat, tiba-tiba Ciang Bun memegang lengan Gangga dan menudingkan telunjuknya ke arah sebuah kuil tua yang terletak di lereng bukit di depan.

   "Lihat, kuil tua itu berada di tempat terpencil, jauh dari desa dan agaknya kosong. Merupakan tempat yang baik sekali untuk melakukan perbuatan busuk, bukan?!

   "Entahlah, aku tidak pernah melakukan perbuatan busuk sih!!

   Mendengar jawaban ini, Ciang Bun menatap wajah Gangga dan tersenyum lebar.

   "Akupun belum pernah. Apa kau kira aku biasa melakukan perbuatan busuk?! Pertanyaan yang dimaksudkan untuk melayani kelakar Gangga itu tanpa disengaja telah menusuk hatinya sendiri. Apakah kelainannya itu termasuk sesuatu yang busuk?!Nah, kalau kita belum pernah melakukan, mana bisa tahu apakah tempat seperti kuil itu baik untuk melakukan perbuatan busuk.!

   "Gangga, maaf, bukan waktunya bergurau. Mari kita cepat ke sana, aku khawatir kalau-kalau kita terlambat!!

   Mereka berlari lagi menuju ke lereng bukit itu. Di waktu mereka berlari cepat, Gangga masih sempat bertanya.

   "Ciang Bun, aku tidak mengerti. Kejahatan apa yang dapat dilakukan dua orang kakek itu terhadap muda- mudi remaja itu?!

   "Kejahatan apa? Mungkin mereka.... akan diperkosa, seperti yang telah menimpa diri enciku.!

   "Hemm, mungkin saja. Akan tetapi mana bisa hal itu menimpa si pemuda remaja? Mengapa pula dia ikut diculik? Mau diapakan?!

   "Mungkin mau dibunuh!!

   "Tidak mungkin, kalau memang dua orang kakek itu berniat membunuh mereka, tentu sudah dilakukannya di hutan itu, tidak usah repot-repot diculik.!

   "Atau bisa jadi untuk disiksa, dijadikan sandera, untuk minta uang tebusan. Nampaknya dua orang muda- mudi itu anak-anak orang kaya atau pejabat tinggi.!

   "Itupun kecil kemungkinannya. Dua orang kakek itu andaikata benar penjahat, tentu bukan penjahat- penjahat kecil yang suka menculik dan melakukan pemerasan.!

   Ciang Bun kehabisan akal. Dia mempunyai dugaan lain di dalam hatinya terhadap diri pemuda itu, akan tetapi dia tidak dapat menceritakan dugaannya itu kepada Gangga. Seorang pemuda seperti Gangga tentu akan tidak percaya dan merasa heran, juga jijik kalau dia mengatakan bahwa mungkin kakek-kakek itu akan memperkosa pula diri pemuda itu.

   "Barangkali dua orang kakek itu mempunyai bibit permusuhan dan dendam dengan keluarga muda-mudi itu.!

   Mendengar ini, Gangga terkejut.

   "Ah, kenapa aku tidak memikirkan hal itu? Mungkin sekali tepat dugaanmu terakhir ini. Mari kita percepat lari kita!! Dan kini Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya karena begitu Gangga mempercepat larinya, dia tertinggal jauh di belakang. Dia merasa khawatir sekali.

   "Gangga tunggu....! Jangan sembrono, mereka itu lihai sekali!!

   Setelah tiba di depan kuil mereka bersembunyi dan mengintai. Sebuah kuil tua yang memang kosong dan sudah tidak dipergunakan atau ditinggali orang lagi. Pintunya sudah jebol, temboknya penuh lumut dan dijalari tanaman-tanaman liar. Atapnya sebagian juga sudah jebol. Ciang Bun memberi isyarat kepada Gangga dan mereka lalu berindap menghampiri kuil dari dua jurusan. Mereka berpencar untuk mengintai dan mengelilingi kuil dan bertemu di belakang kuil. Gangga mengambil jalan sebelah kiri kuil dan Ciang Bun sebelah kanan.

   Dengan cekatan Ciang Bun meloncat mendekati dinding kuil yang berlumut, kemudian berjalan menuju ke belakang dan mengintai melalui jendela-jendela jebol. Tiba-tiba dia menahan kakinya dan mengintai dari celah-celah dinding yang retak. Dia mendengar suara di dalam dan ketika mengintai, matanya terbelalak dan mukanya berobah merah sekali. Dia melihat hal yang memang dikhawatirkan terjadi di balik dinding retak itu. Pemuda remaja itu nampak terbelalak ketakutan, wajahnya pucat sekali, pakaiannya awut-awutan dan dia dipangku oleh kakek tinggi kurus seperti tosu yang menciumi dan menjilati seluruh tubuhnya yang sebagian banyak sudah telanjang karena pakaiannya direnggut lepas.

   Pemuda remaja itu tidak melawan, hanya menggigil ketakutan dan hampir pingsan. Ciang Bun mengepal tinju. Hatinya merasa muak dan jijik. Kini dia melihat sendiri seorang kakek yang agaknya mempunyai kelainan seperti dia, yaitu suka kepada sama-sama lelaki, sedang melampiaskan nafsu birahinya kepada seorang pemuda remaja. Dia merasa malu dan muak, juga jijik. Dia merasa seolah-olah dia sendiri yang melakukan itu, karena melihat pemuda tampan itu hampir telanjang, harus diakuinya bahwa ada semacam gairah menyesak di dadanya. Gairah itu segera ditekannya dan jiwa pendekarnya bangkit.

   Pada saat yang sama, Gangga juga mengepal tinju dan terbelalak melihat betapa dara cilik yang usianya baru tiga belas atau empat belas tahun itu, menangis dan menggeliat-geliat di atas pangkuan pendeta Lama yang tinggi besar dan yang menggunakan kedua tangannya yang besar dan berbulu untuk membelai dan menggerayangi seluruh tubuh anak itu sambil menyeringai lebar menjijikkan.

   "Iblis tua bangka cabul!! Gangga membentak marah.

   Teriakan Gangga ini terdenggar oleh Ciang Bun yang juga membentak.

   "Kakek iblis tak tahu malu!! Mendengar bentakan-bentakan dari kanan kiri, dua orang kakek itu terkejut sekali, juga marah. Mereka merasa betapa kesenangan mereka terganggu dan mereka mendorong tubuh korban masing-masing dari atas pangkuan, kemudian keduanya berloncatan keluar dari dalam kuil untuk melihat siapa yang berani menentang mereka.

   Baru saja mereka tiba di halaman depan kuil tua itu, Gangga sudah menyerang Thai Hong Lama yang tinggi besar dan yang diintainya tadi dengan pukulan kilat dan dahsyat. Juga Ciang Bun sudah menerjang dan memapaki Pek-bin Tok-ong dengan pukulan mautnya.

   "Haiiiiittt....!! Gangga mengeluarkan suara melengking nyaring dan terkejutlah Thai Hong Lama melihat serangan yang amat cepat ini.

   "Hahh! Ehhh....!! Dia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya, akan tetapi demikian cepatnya gerakan tangan Gangga sehingga sebelum tangan itu tertangkis, gerakannya sudah berobah lagi dan kini mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Thai Hong Lama. Untuk dapat menyerang ubun-ubun kepala lawan yang tinggi besar ini, Gangga meloncat dengan amat ringan seperti seekor burung terbang saja.

   "Hemm....!! Thai Hong Lama tidak berani memandang ringan lawannya. Dia tahu bahwa biarpun lawan ini masih amat muda, namun telah memiliki kepandaian hebat, terutama sekali gin-kangnya sungguh amat luar biasa dan berbahaya. Maka diapun tidak bersikap sungkan dan malu lagi. Dikeluarkannya senjata tasbeh hitam yang melingkari lehernya, juga dicabutnya sebatang suling bambu dari saku jubahnya. Inilah senjata istimewa kakek itu. Seuntai tasbeh hitam dan sebatang suling! Dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, terdengar suara berkerotokan dari tasbeh dan suara melengking sulingnya. Kedua senjata itu melakukan serangan dahsyat yang membuat Gangga terpaksa mengandalkan gin-kangnya untuk meloncat jauh ke belakang. Ia kaget sekali karena biarpun gerakannya cepat, namun serangan tadi hampir melukainya.

   "Ha-ha-ha-ha....! Tok-ong, ini namanya ikan mendarat ke penggorengan, ha-ha-ha. Kita disuguhi calon makanan yang lezat.! Thai Hong Lama tertawa dan dia sudah bergerak maju lagi menerjang Gangga. Sulingnya melakukan totokan-tatokan yang mengarah jalan darah yang melumpuhkan, dan dari serangan-serangan ini saja maklumlah Gangga bahwa lawannya tidak bermaksud mengalahkannya dengan membunuh, melainkan menangkapnya hidup-hidup. Teringat akan penglihatan di dalam tadi, ia dapat membayangkan bagaimana nasibnya kalau sampai tertawan hidup-hidup. Mukanya berobah semakin merah dan kemarahannya memuncak. Iapun mengeluarkan suara melengking-lengking dan tubuhnya berkelebatan membuat lawannya terkejut sekali.

   Di lain pihak, Pek-bin Tok-ong juga sudah menyambut serangan Ciang Bun dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaga.

   "Dukkk!! Mereka mengadu sin-kang dan ternyata kakek itu cukup kuat menahan pukulan Ciang Bun dengan lengannya, walaupun diam-diam kakek ini terkejut ketika merasakan betapa ampuh dan kuatnya pukulan orang muda yang tampan ini. Dia tidak mau kalah lagak dengan temannya. Mendengar suara temannya dia pun tertawa.!Bagus, orang muda yang tampan. Engkau boleh menemaniku untuk beberapa malam lamanya. Engkau tentu lebih kuat daripada pemuda hartawan itu, ha-ha-ha!!

   Akan tetapi, kakek tinggi kurus ini tidak dapat melanjutkan sikapnya memandang remeh kepada lawannya. Cian Bun sekarang bukanlah Ciang Bun beberapa tahun yang lalu. Dia telah menerima gemblengan dari ayah ibunya selama tiga tahun ini dan telah mewarisi ilmu- ilmu Pulau Es! Dan kini, menghadapi seorang lawan tangguh, pemuda ini segera mengerahkan tenaga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Biarpun tentu saja latihannya belum matang karena ilmu- ilmu Pulau Es adalah ilmu-ilmu tinggi yang membutuhkan banyak waktu untuk berlatih, namun karena ilmu-ilmunya memang ilmu pilihan, sebentar saja kakek Pek-bin Tok- ong merasa repot menghadapi pemuda ini.

   "Heiiiiittt....!! Dia membentak dan kini dia mengeluarkan pukulan-pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Kedua tangannya seperti dua batang golok saja membacok dan menyambar-nyambar, mengeluarkan suara bersiutan mengerikan ketika bergerak.

   "Plakk! Dukk....!! ketika dua kali lengan Ciang Bun bertemu dengan tangan yang dimiringkan itu, dia tidak kalah tenaga, akan tetapi kulitnya terasa perih seperti terbacok senjata tajam. Kedua lengannya untung terlindung oleh sin-kang yang amat kuat, kalau tidak tentu otot-ototnya putus dan tangannya terlepas! Pemuda ini berhati-hati dan memainkan Toat-beng Bian-kun yang membuat kedua tangannya lembut dan lunak seperti kapas namun mengandung kekuatan yang dapat mencabut nyawa, dan melengkapianya dengan ilmu silat aneh Cui-beng Pat-ciang yang dipelajarinya dari ibunya. Menghadapi ilmu campuran yang serba aneh dan tinggi ini, beberapa kali Pek-bin Tok-ong mengeluarkan seruan kaget dan heran.

   Kalau Ciang Bun dapat menguasai keadaan dengan ilmu silatnya yang pada dasarnya memang jauh lebih menang mutunya ketimbang lawan, sebaliknya Gangga repot sekali menghadapi desakan Thai Hong Lama. Suling dan tasbeh hitam di tangan kakek gendut itu benar-benar amat berbahaya dan pendeta Lama ini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, juga tubuhnya kebal sehingga beberapa kali tamparan tangan Gangga yang mengenai perut atau dadanya mental kembali seperti bola karet yang amat kuat saja.

   Sebaliknya, senjata-senjata di tangan kakek itu harus selalu dielakkannya, karena Gangga tidak berani menangkis dengan tangan. Terlampau berbahaya baginya untuk mencoba-coba menyambut kedua senjata itu dengan tangan, walaupun ia sudah pernah mempelajari dan menghimpun tenaga Inti Bumi dari ayahnya. Maka, ia hanya mengandalkan gin-kangnya yang menang jauh ketimbang lawan untuk mengelak, berlompatan ke sana-sini seolah-olah ia sedang menari-nari di antara dua gulungan hitam dan putih dari tasbeh dan suling kakek itu.

   Biarpun Ciang Bun dapat mendesak lawan, akan tetapi dia maklum bahwa untuk menjatuhkan lawannya ini membutuhkan waktu, sedangkan dari tempat dia berkelahi dilihatnya bahwa keadaan Gangga tidak menguntungkan. Maka, diapun cepat mencabut sepasang siang-kiam dari punggungnya.

   "Sringggg....!! Nampak dua gulungan sinar dan begitu Ciang Bun maikan pedang di kedua tangannya, Pek-bin Tok-ong yang bermuka putih ini menjadi pucat. Menghadapi pemuda ini bertangan kosong saja sudah membuat dia kewalahan, apalagi pemuda itu kini menggunakan sepasang pedang dan ternyata ilmu pedang pemuda ini hehat bukan main! Dia cepat meloncat mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciang Bun untuk meloncat ke tempat Gangga berkelahi dan pedangnya meluncur menyerang Thai Hong Lama yang mendesak sahabatnya itu dengan suling dan tasbeh.

   "Tringgg.... trangg....!! Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika sepasang pedang bertemu dengan dua senjata di tangan Thai Hong Lama itu, dan Thai Hong Lama terkejut merasa betapa kedua telapak tangannya menjadi panas dan tergetar hebat. Pada saat itu Pek-bin Tok-ong menerjang maju disambut Gangga dan kini mereka bertukar lawan! Ciang Bun dengan sepasang pedang di tangan melawan Thai Hong Lama yang bersenjata tasbeh dan suling sedangkan Gangga yang bertangan kosong berhadapan dengan Pek-bin Tok-ong yang juga bertangan kosong.

   "Dukk! Plakk....!! Kembali kecepatan gerakan Gangga menolongnya. Ia beradu lengan dengan Pek-bin Tok-ong, merasa betapa lengan kakek kurus ini kuat sekali dan begitu lengan beradu, tangan kakek itu sudah mencengkeram ke arah dadanya dengan ganas sekali. Akan tetapi, kembali kehebatan gin-kang Gangga menyelamatkannya. Ia dapat berkelebat ke belakang seperti seekor burung walet saja, membuat penyerangnya bengong saking kagumnya. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-bin Tokong tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, Lama, tak usah repot-repot lagi, mereka segera roboh, ha-ha. Tok-ciang (Tangan Beracun) yang kupergunakan tentu akan segera bekerja!!

   Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ciang Bun yang sedang mendesak Thai Hong Lama dengan sepasang pedangnya terkejut bukan main. Sejak tadi dia sudah merasa betapa kedua lengannya gatal-gatal dan kini bahkan mulai terasa kesemutan pada persendian kedua tangannya.

   "Celaka....!! Teriaknya sambil melompat ke belakang.

   "Gangga, jangan biarkan tangannu bersentuhan dengan tangan iblis itu!!

   Akan tetapi sahabatnya itupun sudah merasa betapa lengannya yang tadi beradu dengan tangan lawan gatal- gatal. Marahlah Ganggananda.

   "Iblis tua curang!! Dan iapun sudah menyerang dengan cepatnya. Dara ini adalah anak tunggal Wan Tek Hoat seorang pendekar perkasa yang pernah dijuluki Si Jari Maut. Dari ayahnya, selain ilmu-ilmu silat yang tinggi, juga ia telah mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa).

   Kini, mendengar bahwa lawan telah mempergunakan jari beracun untuk mencelakai ia dan Ciang Bun, ia menjadi marah dan tubuhnya sudah menyambar seperti terbang cepatnya, dan ia menyerang Pek-bin Tok-ong dengan totokan Toat-beng-ci yang dilanjutkan dengan pukulan-pukulan tangan miring. Bertubi-tubi datangnya serangan kedua tangan ini, apalagi dilakukan dengan tubuh yang demikian cepat gerakannya seperti terbang saja. Pek-bin Tok-ong sudah berusaha mengelak, bahkan menangkap tubuh lawan atau menangkis, namun tetap saja dia kalah cepat.

   "Plakk.... aduhhh....!! Tubuhnya terpelanting dan kalau saja tubuhnya tidak begitu kebal penuh kekuatan, atau kalau saja yang menamparnya tadi bukan Gangga melainkan ayahnya, tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Tamparan tangan Gangga yang kecil halus tadipun hanya mengenai pundak kirinya, akan tetapi akibatnya membuat sambungan tulang pundaknya terlepas dan nyeri bukan kepalang. Dia yang sudah terkenal dengan ilmu pukulan memutuskan otot dan melepaskan tulang, kini terpaksa mengakui keunggulan seorang dara dengan tamparan yang membuat tulang pundaknya terlepas. Dia masih mampu meloncat bangun dan menyerang membabi-buta dengan tangan kanannya, menggunakan pukulan beracun. Terpaksa Gangga kembali mengelak ke sana-sini berloncatan cepat.

   Pada saat itu, Ciang Bun sudah menyerang Thai Hong Lama lagi dan biarpun dia merasa kedua tangannya gatal-gatal dan kesemutan, pemuda ini masih terlalu tangkas untuk dapat dikalahkan lawan.

   "Iblis-iblis tua bangka, berani kalian mengganggu adikku?! Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang menyerang Thai Hong Lama dari samping. Biarpun pendeta Lama itu masih mencoba untuk meloncat mundur, tetap saja sebuah kaki menyambar pinggangnya dan diapun terlempar ke belakang. Ketika dia bergulingan sambil menyabetkan tasbehnya dan meloncat berdiri, memandang dan melihat seorang wanita cantik gagah perkasa berdiri dengan sikap marah, tahulah dia bahwa dia dan kawannya berada dalam bahaya. Menghadapi dua orang muda pertama saja mereka sudah kewalahan, apalagi kini muncul kakak si pemuda yang agaknya lebih galak lagi.!Mari kita pergi....!! Teriaknya dan Pek-bin Tok- ong yang sudah terluka tidak menanti ajakan kedua kalinya. Mereka berloncatan dan melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu.

   "Iblis-iblis busuk, ke mana kalian hendak lari?! Suma Hui, yang baru saja datang dan menendang Thai Hong Lama sampai terpental, bergerak hendak melakukan pengejaran.

   "Enci, jangan kejar.... aku.... kami.... keracunan....!!

   Ucapan adiknya ini membuat Suma Hui menghentikan larinya dan cepat ia menghampiri adiknya.

   "Bun-te, apa yang terjadi? Engkau keracunan?! tanyanya dengan khawatir sambil memandang adiknya penuh perhatian. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada diri adiknya yang menunjukkan bahwa adiknya terluka. Iapun menoleh kepada pemuda langsing yang berdiri pula di dekat adiknya dan juga ia tidak melihat pemuda ini terluka.

   "Lenganku.... iblis itu telah mempergunakan Tok- ciang (Tangan Beracun)!! kata Ciang Bun, akan tetapi dia tidak memperdulikan kedua lengannya sendiri yang terasa kesemutan dan gatal-gatal, melainkan cepat menghampiri Gangga.

   "Gangga, engkau tadi beradu lengan dengannya. Apakah engkau tidak merasakan sesuatu yang tidak wajar?!

   "Lengan kananku bertemu satu kali dan kini terasa gatal-gatal.! jawab Gangga.

   "Coba kuperiksa.! kata Ciang Bun sambil menyingkap lengan baju Gangga. Akan tetapi jantungnya berdebar ketika jari-jari tangannya menyentuh kulit lengan yang putih halus itu sehingga terpaksa dia melepaskannya kembali, khawatir akan gejolak berahi yang tiba-tiba saja bergelora di dalam hatinya.

   Gangga melanjutkan pekerjaan yang tertunda itu. Ia menyingkap lengan bajunya memeriksa dan ternyata pada lengannya nampak bekas-bekas jari yang kemerahan, bahkan agak membiru, tanda bahwa kulit lengannya keracunan. Juga Ciang Bun sibuk menyingkap kedua lengan bajunya dan pada kulit kedua lengannya terdapat pula bekas-bekas jari tangan lawan yang membuat kulit lengannya keracunan. Suma Hui ikut memeriksa dan gadis ini mengerutkan alisnya.

   "Memang kulit lenganmu telah keracunan, akan tetapi karena engkau telah mempergunakan sin-kang, kurasa racun itu tidak akan menembus ke dalam dan tidak akan meracuni darah. Gunakan bubuk anti racun gigitan serangga, tentu sembuh.!

   Suma Hui mendahului adiknya, mengeluarkan obat bubuk itu dari buntalannya dan iapun lalu mengobati dengan menggosok-gosok kulit yang keracunan dengan bubuk putih. Obat ini adalah satu di antara obat-obat buatan keluarga Pulau Es dan mereka selalu membawa bekal obat-obat yang penting dan praktis kalau melakukan perjalanan. Dan memang tepat ucapan gadis itu. Setelah di gosok obat bubuk putih, maka hilanglah rasa gatal-gatal dan tak lama kemudian warna merah itupun menghilang.

   Kakak beradik itu saling pandang dan tahulah Ciang Bun bahwa encinya kecewa dan hal ini tentu karena ia tidak berhasil mencari musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang.

   "Bagaimana, Hui-ci, apakah ada hasilnya perjalananmu?!

   Suma Hui menggeleng kepala.

   "Iblis itu tidak dapat kutemukan, jejaknyapun tidak. Ketika aku tiba di kota raja, aku langsung menemui ke taman yang menjadi tempat pertemuan seperti yang kita janjikan. Akan tetapi aku tidak melihat engkau di sana. Untung aku melihat coretanmu di batang pohon dekat kolam akan emas itu, maka aku segera menyusul ke barat secepatnya. Kiranya engkau dan kawanmu ini sedang berkelahi melawan dua orang kakek yang lihai. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dua orang kakek itu? Siapa pula temanmu ini?!

   "Nanti dulu, Hui-ci. Di dalam kuil terdapat dua orang muda-mudi yang nyaris menjadi korban dua orang kakek iblis cabul itu, mari kita tolong mereka lebih dulu.! kata Ciang Bun. Ketika kakak dan adik ini bicara, Gangga hanya memandang dan diam-diam ia merasa kagum sekali kepada gadis yang cantik dan gagah itu, juga merasa kasihan karena ia telah mendengar cerita Ciang Bun tentang Suma Hui yang menjadi korban kejahatan seorang laki-laki yang pernah diserang oleh Ciang Bun di telaga hutan dalam taman di kota raja itu.

   Mendengar ucapan Ciang Bun, mereka bertiga lalu melangkah menuju ke kuil kuno dan di dalam kuil itu mereka melihat muda-mudi itu saling rangkul di sudut dengan tubuh gemetar dan muka pucat. Kiranya muda-mudi yang kakak beradik telah saling bertemu sesudah dua orang kakek itu melepaskan mereka untuk menghadapi lawan.

   Mereka hanya dapat saling rangkul dan menangis ketakutan. Ketika Ciang Bun, Suma Hui dan Gangga mumcul, mereka tadinya terkejut dan gadis cilik itu hampir menjerit ketakutan, akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul bukanlah dua orang kakek iblis yang mereka takuti, keduanya menghentikan tangis mereka dan memandang kepada tiga orang yang masuk itu dengan mata terbelalak.

   "Jangan takut,! kata Gangga.

   "Dua orang kakek iblis itu telah dapat kami usir dari sini dan kami datang untuk menolong kalian.!

   Mendengar ucapan ini, kakak beradik itu mengeluarkan seruan girang dan sang kakak lalu menarik tangan adiknya diajak menjatuhkan diri berlutut di atas lantai.

   "Terima kasih, terima kasih....! kata mereka berulang-ulang.

   "Bangkitlah dan ceritakan siapa kalian dan mengapa kalian sampai diculik oleh dua orang kakek itu.! kata Ciang Bun.Kakak beradik itu bangkit berdiri dan sang kakak lalu menceritakan bahwa mereka berdua adalah putera dan puteri keluarga hartawan Ciok di kota raja. Hari itu mereka pagi-pagi sekali pergi pelesir di dalam taman itu, dikawal oleh tujuh orang pengawal atau tukang pukul mereka.

   "Kami tidak pernah mengenal dua orang kakek itu. Ketika kami tiba di dekat hutan buatan yang sunyi itu, tiba-tiba saja dua orang kakek itu menyerang dan tujuh orang pengawal kami tewas oleh seorang di antara mereka. Lalu kami ditangkap dan dilarikan ke sini.!

   Ciang Bun dan Gangga sudah tahu akan hal itu dan mereka dapat menduga bahwa tentu kedua orang kakak beradik ini telah ditotok ketika dibawa keluar pintu gerbang sebelah barat.

   "Hemm, kalau begitu mari kami antar kalian pulang.! katanya dan mereka bertiga lalu mengantar dua orang kakak beradik itu kembali ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap.

   "Bun-te, siapakah kawanmu ini?! tanya Suma Hui sambil memandang kepada Gangga. Di dalam suara gadis ini terdapat keheranan yang disembunyikan. Memang ia merasa heran sekali. Ia sudah tahu akan kelainan yang diderita adiknya, yaitu kecondongan untuk lebih suka pria daripada wanita. Akan tetapi, kini ia melihat betapa Ciang Bun memandang amat mesra dan bersikap amat manis, bahkan agaknya menjadi sahabat akrab sekali dengan seorang gadis, walaupun gadis itu menyamar sebagai seorang pria! Dan ketika ia tahu, dari logat bicara gadis yang menyamar pria itu, bahwa gadis itu bukan orang Han, melainkan seorang asing, ia merasa lebih heran lagi.

   "Dia bernama Ganggananda, enci.!

   "Ah, seorang Nepal?!

   "Bukan, saya seorang berbangsa Bhutan.! kata Gangga.

   Suma Hui mengangguk-angguk dan memandang tajam. Seorang gadis yang amat cantik, pikirnya, akan tetapi penyamarannya juga baik sekali. Ia hanya dapat mengenal penyamaran itu melalui perasaan kewanitaannya saja. Kalau jarak jauh sedikit saja, ia sendiripun tidak akan dapat mengetahui bahwa pemuda ini adalah seorang wanita.

   "Dan bagaimanakah kalian dapat berkenalan dan bersahabat?! tanyanya ingin tahu sekali.

   "Enci, saudara Gangga ini telah menyelamatkan nyawaku dan aku berhutang budi besar sekali kepadanya. Kalau tidak ada dia yang telah menolongku secara mati- matian, kiranya engkau takkan dapat bertemu lagi dengan adikmu ini.!

   "Aih, itu terlalu dilebih-lebihkan.! Gangga merendahkan diri walaupun hatinya girang sekali oleh pujian ini.

   Suma Hui terkejut mendengar betapa adiknya nyaris tewas.

   "Apakah yang telah terjadi denganmu, Bun-te?!

   "Aku nyaris tewas di tangan.... Tek Ciang, Hui-ci.!

   Suma Hui terkejut bukan main, sampai meloncat dan memegang tangan adiknya.

   "Apa? Dia? Kau bertemu dia? Di mana jahanam itu sekarang?!

   "Teranglah, enci, aku akan ceritakan semuanya. Akan tetapi sebaiknya kata antarkan dulu dua orang anak ini ke rumah mereka.! jawab Ciang Bun. Suma Hui maklum betapa pentingnya hal yang akan diceritakan adiknya, maka ia menahan gejolak hatinya dan mengangguk. Setelah tiba di kota raja dan mengantarkan muda-mudi itu sampai ke pekarangan gedung keluarga mereka, tiga orang pendekar ini segera pergi, tidak mau menerima undangan dua orang muda-mudi kaya-raya itu untuk singgah.

   "Ceritakan saja semua yang terjadi dan menimpa diri kalian kepada orang tua kalian, agar jenazah tujuh orang pengawal kalian itu dapat diambil dan diurus. Kami akan pergi sekarang juga.! Ciang Bun tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda-mudi itu untuk banyak cakap. Dia lalu pergi bersama Suma Hui dan Gangga, dan tak lama kemudian mereka bertiga telah berada di atas sebuah perahu kecil di atas telaga dalam taman itu.

   Mereka membiarkan perahu itu terapung-apung di sudut yang sunyi dan Ciang Bun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya ketika dia tiba di telaga itu, mencari encinya. Diceritakannya pertemuannya dengan Gangga dan mereka bersahabat lalu berperahu berdua, kemudian betapa Tek Ciang dan seorang pria lain muncul. Betapa mereka berkelahi dan dia telah terpukul oleh Tek Ciang dengan Hoa-mo-kang yang hampir saja menewaskannya kalau tidak saja Gangga yang mempergunakan gin-kangnya yang luar biasa untuk mencarikan obat penawarnya.

   Mendengar penuturan adiknya secara panjang lebar itu, Suma Hui mengepal tinjunya.

   "Sayang sekali aku tidak bertemu ketika jahanam itu muncul. Keparat, belum juga aku berhasil membunuhnya, dia telah melukai dan hampir saja membunuhmu, Untung ada.... sahabatmu ini. Saudara Ganggananda, saya ikut merasa bersyukur dan menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu kepada adik saya.!

   Melihat Suma Hui memberi hormat kepadanya, Gangga cepat membalas.

   "Ahh.... nona, harap jangan sungkan. Ciang Bun telah menjadi sahabat baikku, di antara sahabat mana ada istilah tolong-menolong? Sudah sewajarnya dan selayaknya kalau ada seorang di antara sahabat kesukaran, yang lain membantunya, bukan?!

   Suma Hui mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa suka kepada gadis yang menyamar sebagai pria ini. Juga ia dapat menyelami hati gadis ini. Apa lagi kalau bukan cinta yang mendekatkan gadis itu dengan Ciang Bun? Anehnya kini ia tahu benar bahwa Ciang Bun menganggap gadis itu sebagai seorang pria. Mengapa begitu?

   "Ahhh....! Tiba-tiba Suma Hui menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan dua orang muda yang lain.

   
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada apakah, Hui-ci?!

   Suma Hui tertegun dan menjadi bingung, tidak mengira bahwa jalan pikirannya membuat ia lupa diri tadi.

   "Ah, tidak, hanya aku masih merasa kecewa tidak dapat bertemu sendiri dengan jahanam itu.!

   "Biarpun demikian, pertemuanku dengan dia di telaga ini menunjukkan bahwa dia tidak berada jauh dari kota raja. Kita akan mencari lagi sampai dapat, enci. Akan tetapi, sebaiknya kalau kita minta bantuan kanda Kao Cin Liong. Kita cari dia di kota raja dan kita ceritakan tentang jahanam itu....!

   Mendengar adiknya menyebut "kanda! kepada Cin Liong, diam-diam Suma Hui merasa girang dan berterima kasih. Adiknya sebetulnya masih terhitung paman dari Cin Liong, akan tetapi adiknya itu memandang kepadanya dan menyebut "kanda!.!Baiklah, usulmu memang baik dan tanpa bantuan banyak tenaga, agaknya sukar menemukan jahanam yang licik itu.!

   Karena hari sudah menjelang malam, mereka mengambil keputusan untuk mencari Cin Liong pada keosokan harinya dan malam hari itu mereka bermalam di sebuah rumah penginapan. Melihat betapa Ciang Bun tidak sekamar dengan Ganggananda, Suma Hui mengerutkan alisnya. Bagaimanakah adiknya ini? Benarkah adiknya belum tahu akan keadaan Gangga sebenarnya, bahwa Gangga adalah seorang gadis?

   Akan tetapi kalau Ciang Bun mengira bahwa Gangga seorang pemuda, mengapa pula mereka berpisah kamar? Barangkali Gangga yang tidak mau tidur sekamar, pikirnya. Andaikata ia menjadi Gangga, dalam penyamaran sebagai seorang pria, iapun tentu tidak mau tidur sekamar dengan seorang kawan pria, dan akan mencari dalih apapun agar mereka tidur berpisah. Betapapun juga, untuk menghilangkan keraguannya apakah adiknya itu tahu atau tidak akan keadaan Gangga, ia lalu mendatangi kamar adiknya dan bertanya.

   "Bun-te, di mana Gangga?!

   "Dia berada di kamarnya, di sudut lorong ini.!

   "Eh, kenapa tidak di sini saja, sekamar denganmu? Bukankah tempat tidur ini cukup besar untuk kalian berdua?!

   Wajah Ciang Bun berobah merah dan dia lalu menyuruh encinya duduk, kemudian menutupkan daun pintu.

   "Hui-ci, aku mau bicara denganmu.! katanya serius.

   "Bicara apa? Katakanlah.! kata Suma Hui sambil duduk di tepi pembaringan dan memandang adiknya dengan sinar mata penuh kasih sayang. Ia tahu akan kesulitan yang berkecamuk di dalam hati adiknya dan ia merasa kasihan karena keadaan adiknya sungguh membuat ia sendiri menjadi bingung.

   "Enci, maukah enci andaikata harus tidur sepembaringan dengan seorang pemuda seperti halnya Gangga?!

   "Eh? apa maksud pertanyaanmu ini? Aneh-aneh saja engkau. Tentu saja aku tidak mau!! Suma Hui berkata tegas dan heran.

   "Nah, begitulah perasaanku, enci. Mana mungkin aku tidur sekamar dengan seorang pemuda seperti Gangga kalau aku mempunyai perasaan wanita seperti engkau itu? Dan aku.... aku takut kepada diriku sendiri, dan aku.... tidak ingin kehilangan Gangga, Hui-ci. Aku cinta padanya, aku cinta padanya dan aku tidak ingin kehilangan dia, tidak ingin berpisah darinya. Karena itulah aku selalu berusaha menjauhkan diri.... aku khawatir dia akan merasa jijik dan membenciku kalau dia tahu akan keadaanku, dan aku.... aku tidak ingin kehilangan dia, Hui-ci.!

   Melihat adiknya yang gagah perkasa itu kini duduk menundukkan muka, dengan kedua pundak bergantung ke depan, gambaran seorang yang patah semangat dan penuh kegelisahan, Suma Hui merasa kasihan sekali. Hal ini sudah diduganya ketika mereka bertiga berada dalam perahu, yang membuat ia menepuk paha sendiri mengejutkan Ciang Bun. Di dalam perahu itu iapun teringat bahwa Ciang Bun tentu jatuh cinta kepada Gangga sebagai seorang pria! Teringat ia akan kelainan adiknya. Tak dapat dibayangkan bagaimana akan jadinya kalau adiknya tahu bahwa Gangga bukan pria, melainkan wanita! Dan tiba-tiba saja ia seperti memperoleh ilham!

   Inikah cara pengobatan untuk memulihkan keadaan adiknya sehingga batinnya akan seirama dengan badannya? Ingin ia melihat Ciang Bun pulih seperti seorang laki-laki biasa, bertubuh pria dan juga berselera dan berbatin pria agar adiknya tidak akan mengalami rintangan dan kesulitan-kesulitan di dalam hidup selanjutnya. Dan kini Suma Hui melihat cahaya berkilat yang agaknya akan dapat memberi penerangan dalam kehidupan adiknya. Ia tidak ingin melihat adiknya mengalami derita hidup seperti yang pernah dialaminya.

   "Adikku yang baik,! katanya sambil memegang kedua pundak Ciang Bun dan menegakkannya.

   "Seorang gagah tidak pernah putus asa dan tunduk terhadap nasib! Aku sudah tahu akan keadaanmu dan aku dapat ikut merasakan betapa hebat penderitaan batinmu. Akan tetapi, janganlah kau membiarkan kedukaan mengotori batinmu. Duka dan putus asa hanya permainan orang lemah. Engkau harus berani melihat kenyataan dirimu sendiri, berani menghadapinya dan berusaha mengatasinya. Segala yang tidak wajar berarti suatu keadaan yang tidak seimbang, katakanlah suatu penyakit. Karena itu, engkau tidak perlu merasa malu. Bersikaplah wajar saja namun dengan penuh kesadaran dan tertib diri, tidak hanya menurutkan dorongan nafsu yang timbul dari ketidakwajaran atau penyakitmu itu.!

   "Aku tahu akan hal itu, Hui-ci dan selama ini, akupun sudah bertahan dan menentang dorongan hasrat nafsuku sendiri yang tidak wajar. Akan tetapi, aku jatuh cinta kepada Gangga, bukan semata karena dorongan nafsu birahi, bukan hanya karena gairah, akan tetapi segala-galanya pada diri Gangga menarik hatiku, menimbulkan rasa cinta dan aku tidak mau kehilangan dia, Hui-ci.!

   Suma Hui menarik napas panjang. Ia dapat merasakan apa yang terkandung dalam hati adiknya. Seperti itulah agaknya perasaannya sendiri terhadap Cin Liong. Mencinta, sayang dan mesra, ingin sekali berdekatan dan selamanya tidak ingin berpisah lagi.

   "Adikku, engkau pun tahu dan tentu ingat akan semua pelajaran ayah. Cinta adalah sesuatu yang suci. Jangan sekali-kali salah kira dan mencampuradukkan cinta dengan cinta birahi. Gejolak hatimu yang timbul dari gairah berahi itu bukanlah cinta yang sesungguhnya. Itu hanya berahi yang timbul dari pikiran dan badan, dan bagi dirimu yang mempunyai kelainan, berahimu timbul kalau engkau melihat seorang pria yang tampan atau yang menyenangkan hatimu. Maka, sekarang aku hendak bertanya, adikku. Engkau bilang bahwa engkau cinta kepada Gangga, apakah cintamu itu semata-mata timbul karena kenyataan bahwa Gangga adalah seorang pemuda tampan dan gagah?!

   "Kurasa kesemuanya itu mengambil bagian, Hui-ci. Bukan hanya karena dia seorang pemuda tampan dan gagah, akan tetapi juga karena dia berhati mulia, karena semua gerak-geriknya amat menarik dan menyenangkan hatiku, karena dia pernah menolongku dan mati-matian menyelamatkan diriku. Pendek kata, aku cinta padanya karena pribadinya, bukan semata karena dia seorang pemuda tampan.!

   "Kalau begitu, bersikaplah wajar saja dalam cintamu, adikku. Anggap dia seorang sahabat yang baik sekali. Dan sekali waktu, kalau keadaan mengijinkan, lebih baik engkau berterus terang kepadanya tentang keadaan dirimu, tentang kelainanmu.!

   "Ah, aku tidak berani, enci! Dia tentu akan marah dan jijik dan membenciku....!!

   "Belum tentu, adikku. Apalagi kalau dia mencintamu sebagai seorang sahabat baik yang sudah dibuktikannya ketika dia mencarikanobat untukmu. Dia, seperti aku, tentu akan dapat memaklumi kelainanmu sebagai suatu penyakit dan dia tidak akan membencimu, malah akan merasa kasihan kepadamu.!Setelah menghibur adiknya, Suma Hui lalu meninggalkannya untuk pergi tidur. Akan tetapi, gadis ini tidak pergi ke kamarnya, melainkan diamdiam ia pergi ke kamar Ganggananda di sudut lorong. Ia bersikap hati-hati sekali dan menjaga agar adiknya jangan sampai mengetahui perbuatannya.

   Setelah tiba di depan pintu kamar Gangga, ia mengetuk pintu perlahan.

   "Siapa....?! terdengar suara Gangga dari dalam.

   "Adik Gangga, bukalah, aku ingin bicara.! kata Suma Hui lirih.

   Daun pintu terbuka dan Ganggananda muncul, memandang kepada Suma Hui dengan sinar mata penuh selidik. Tentu saja Ganggananda merasa heran mengapa malam-malam begini seorang gadis seperti Suma Hui mengetuk pintu kamar seorang "pemuda!.

   "Ah, kiranya nona Suma Hui. Ada keperluan apakah....?!

   Belum habis Gangga bicara, Suma Hui sudah melangkah masuk dan menutupkan daun pintu kamar itu. Gangga memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Suma Hui tersenyum dan berkata.

   "Adik yang manis, tak perlu lagi bersandiwara. Kita sama-sama perempuan, apa salahnya bicara dalam kamar tertutup?!

   Ganggananda atau Gangga Dewi terkejut, lalu menarik napas panjang dan tersenyum.

   "Ah, enci Suma Hui, kiranya engkau sudah tahu? Lupa aku bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan bermata tajam. Maafkan penyamaranku.!

   "Sstt, adik Gangga. Mari kita keluar dari kamarmu, melalui jendela saja agar jangan sampai ketahuan Ciang Bun. Aku ingin bicara empat mata denganmu.! kata Suma Hui yang segera menghampiri jendela kamar Gangga Dewi yang menembus ke kebun samping rumah penginapan. Ia memberi isyarat dan tak lama kemudian dua orang gadis itu telah meloncat keluar pagar setelah menutupkan daun jendela kamar itu.

   "Kita ke taman dan bicara di tempat sepi....! kata Suma Hui dan merekapun lalu berloncatan naik ke atas genteng-genteng bangunan rumah di sepanjang jalan. Suma Hui sudah mendengar penuturan Ciang Bun betapa dengan mengandalkan gin-kangnya, Gangga telah menyelamatkannya dan berhasil mencari obat penawar racun Hoa-mo-kang. Maka kini Suma Hui memperoleh kesempatan untuk menguji kehebatan gin-kang dari gadis Bhutan itu.

   Ia sengaja mengerahkan gin-kang dan berlompatan dengan cepat sekali, melompati rumah-rumah dan kadang-kadang melayang turun dan berlari cepat menuju ke taman besar di mana siang tadi ia mencari adiknya kemudian melihat coretan-coretan di batang pohon. Memang pemuda ini dengan cerdik telah membuat coretan-coretan di batang pohon dengan harapan encinya akan dapat menemukannya kalau encinya datang. Coretan-coretan itu dibuatnya dengan kuku jari tangan sebelum dia bersama Gangga berangkat mencari dua orang kakek yang melarikan muda- mudi itu. Dan ternyata Suma Hui yang cermat itu dapat menemukan coretan itu yang berisi pesan bahwa adiknya itu pergi keluar kota melalui pintu barat.

   Suma Hui harus mengakui kehebatan Gangga karena betapapun ia mengerahkan tenaga untuk meninggalkan Gangga, ia tetap tidak berhasil. Gadis Bhutan itu seperti bayangannya sendiri saja, selalu di belakang atau sampingnya, tidak pernah tertinggal jauh. Bahkan dari gerakan Gangga kalau berkelebat di sampingnya ia maklum bahwa kalau gadis itu menghendaki tentu akan dengan mudah mendahuluinya. Percayalah ia kini akan kehebatan ilmu gin-kang gadis ini.

   Tak lama kemudian dua orang gadis itu telah duduk di atas batu-batu yang disusun secara nyeni sekali di tepi kolam ikan yang sunyi. Sepi sekali malam itu di taman karena tidak ada orang mengunjunginya di waktu malam. Dan dua orang gadis itu memang memilih tempat yang sunyi dan terbuka agar mereka dapat melihat kalau ada orang lain mendekat.

   "Nah, enci Hui. Apakah yang akan kau bicarakan denganku?! tanya Gangga sambil memandang wajah yang cantik dan gagah itu. Sepasang mata Suma Hui yang cerdik itu memandang kepada Gangga penuh selidik, kemudian ia berkata dengan suara yang penuh kesungguhan.

   "Adik Gangga, sekarang ceritakanlah siapa sebetulnya dirimu, siapa namamu yang sebenarnya dan dari mana kau datang.!

   Gangga Dewi mengerutkan alisnya. nada suara Suma Hui seperti orang menyelidik! Hal ini membuat hatinya merasa tidak senang. Mengapa Suma Hui curiga kepada dirinya? Bukankah sudah jelas bahwa ia adalah sahabat baik Ciang Bun yang bahkan sudah membuktikan dengan usahanya menyelamatkan pemuda itu? Kenapa kini encinya malah seperti orang menaruh curiga dan bertanya dengan nada menyelidik?

   "Enci Suma Hui, sebelum aku menjawab, katakanlah dulu kenapa engkau kelihatan seperti orang sedang menyelidiki diriku? Apakah engkau curiga kepadaku?!

   Suma Hui mengangguk. Di bawah sinar bulan, Gangga Dewi dapat melihat betapa sepasang mata gadis itu seperti mengeluarkan cahaya mencorong, membuatnya bergidik kagum. Gadis ini tentu memiliki sin-kang yang hebat, pikinrya, teringat bahwa gadis ini adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!

   "Terus terang saja, aku memang merasa heran dan curiga. Engkau seorang gadis cantik menyamar sebagai pria dan engkau membiarkan adikku mengira engkau seorang pria tulen. Kenapa begitu? Dan engkau datang dari Bhutan. Semua ini merupakan teka-teki yang mencurigakan hatiku. Karena itulah maka kini, sebagai sama-sama wanita, aku ingin mendengar sendiri darimu tentang keadaan dirimu.!

   "Engkau adalah seorang wanita yang lihai, gagah perkasa dan juga amat jujur dan cerdik, enci Hui. Baiklah, aku berterus terang saja karena akupun sudah tahu bahwa engkau dan Ciang Bun adalah cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang terkenal itu. Sudah sejak kecil aku mendengar nama keluarga Pulau Es, dan Ciang Bun sedemikian percayanya kepadaku sehingga dia telah ceritakan semua tentang keadaan keluargamu. Bahkan tentang semua peristiwa menyedihkan yang menimpa keluarga kalian dan dirimu.!

   "Hemmm, dia cerita tentang aku?! Suma Hui bertanya kaget dan semakin yakin hatinya bahwa adiknya tentu sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya dan benar-benar amat mencinta gadis yang menyamar sebagai pria ini.

   "Ya, dan maafkan dia, enci Hui. Aku sudah mendengar semuanya, maka tidak adillah kalau aku tidak mengaku terus terang siapa diriku. Aku bernama Gangga Dewi atau juga Wan Hong Bwee....!

   "Kau.... peranakan....?!

   "Benar, ayahku bernama Wan Tek Hoat dan ibuku bernama Syanti Dewi....!

   "Ah, Puteri Bhutan yang terkenal itu?!

   "Enci, engkau sudah mengenal ibuku?!

   "Sejak kecil, seperti engkau pula, aku sudah mendengar tentang bibi Puteri Syanti Dewi. Ah, adik Gangga, kiranya engkau puterinya? Kalau begitu.... kita bukan orang lain. Engkau masih adikku sendiri....!! Suma Hui lalu merangkul Gangga dan puteri Bhutan ini juga membalas pelukan gadis itu walaupun hatinya merasa heran.

   "Enci Hui, menurut ibu dan ayah, memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga yang dekat dengan mereka, dan ayah ibuku amat menghormati keluarga Pulau Es. Akan tetapi, tentang hubungan keluarga, aku belum tahu....!

   "Memang antara keluarga kita tidak ada hubungan langsung, akan tetapi ketahuilah hahwa ayahmu itu, Wan Tek Hoat, adalah cucu kandung dari mendiang nenekku Lulu....! Nah, bukankah dengan demikian di antara kita masih ada hubungan keluarga, walaupun jauh?!

   Gangga Dewi mengangguk-angguk dan hatinya merasa girang bukan main.

   "Setelah engkau mengenal keadaanku, tentu engkau tidak menaruh hati curiga lagi kepadaku, bukan?!

   Suma Hui menggeleng kepala dan tersenyum.

   "Sejak tadipun aku tidak menaruh curiga, hanya aku ingin merasa yakin tentang hubunganmu dengan Ciang Bun. Engkau seorang gadis, dan engkau menyembunyikan keadaanmu, menyamar sebagai pemuda. Akan tetapi engkau membela adikku mati-matian. Hal ini hanya mempunyai arti, yaitu bahwa engkau.... engkau jatuh cinta kepada adikku Suma Ciang Bun. Tidak benarkah dugaanku, adik Gangga?!

   Sekatika wajah Gangga Dewi menjadi kemerahan dan menundukkan mukanya.

   "Enci Hui, aku tidak tahu.... akan tetapi sesungguhnya aku amat suka kepadanya aku merasa kasihan melihat dia menghadapi maut ketika terluka. Tentang cinta.... aku tidak tahu....!

   "Adikku yang baik,! Suma Hui memegang tangan Gangga dan menggenggamnya.

   "Biarlah berterus terang saja kepadamu. Memang, kejujuranku ini mungkin akan menyakitkan, akan tetapi demi kebaikanmu, demi kebaikan adikku, demi kebahagiaanmu berdua, aku harus berterus terang. Gangga, ketahuilah bahwa Ciang Bun juga mencintamu, dia sudah mengaku kepadaku bahwa dia jatuh cinta padamu....!

   "Ahhh....!! Gangga Dewi memandang wajah Suma Hui dengan mata terbelalak.

   "Tidak mungkin! Dia mengira bahwa aku seorang pria! Ataukah.... jangan-jangan dia sudah tahu akan keadaanku, bahwa aku seorang wanita?!

   Suma Hui menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. Bagian tersukar dari tugasnya kini harus ia lalui. Maka iapun duduk mendekat dan merangkul pundak Gangga Dewi karena apa yang akan diceritakannya adalah rahasia adiknya yang amat gawat dan tidak boleh sampai terdengar orang lain. Dengan suara lirih iapun berkata setelah menengok ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tempat itu sunyi tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua.

   "Adik Gangga, dari sikapmu dan juga pertolonganmu terhadap Ciang Bun aku merasa yakin bahwa engkau sungguh mencinta dia seperti juga dia mencintaimu. Oleh karena itu, jika kuberitahu kepadamu bahwa Ciang Bun menderita suatu penyakit yang amat gawat, sudikah kiranya engkau membantuku untuk menyembuhkannya kembali?!

   Gangga terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya yang cerah itu berobah agak pucat, alisnya berkerut penuh kekhawatiran.

   "Sakit? Dia sakit? Akan tetapi, ketika tabib itu memeriksa, penyakitnya hanya keracunan pukulan Hoa-mo-kang, tidak ada penyakit lain. Dan dia kelihatan begitu sehat dan segar!!

   

Suling Emas Naga Siluman Eps 4 Suling Emas Naga Siluman Eps 6 Suling Emas Naga Siluman Eps 14

Cari Blog Ini