Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 2


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



"Hemm, apa kau kira di dalam tanah tidak ada binatang buasnya? Kulit dagingnya akan digerogoti tikus dan cacing-cacing sampai habis!"

   Mendengar ucapan si gendut itu, Bi Lan bergidik.

   "Biarlah, mereka hancur dikubur dan kalau kalian tidak mau, akan kulakukan sendiri dan aku tidak akan sudi menjadi murid kalian."

   Tiga orang kakek itu saling pandang dan menggaruk-garuk kepala. Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat disertai suara berkerotokan dan Iblis Mayat Hidup sudah lenyap dari tempat itu. Tak lama kemudian dia datang kembali membawa mayat Can Kiong, Ayah Bi Lan yang sudah penuh luka itu.

   Dan tanpa banyak cakap lagi, tiga orang kakek itu lalu menggali sebuah lubang besar. Cepat sekali pekerjaan ini dilakukan oleh tiga orang sakti itu, mempergunakan golok-golok para korban amukan mereka tadi. Setelah mengubur dua orang suami isteri itu dan menutupi lubang dengan tanah, kemudian atas permintaan Bi Lan mereka menaruh sebuah batu bundar sebesar gajah di tempat kuburan, mereka lalu berdiri berjajar dan menuntut agar Bi Lan suka menjadi murid mereka dan memberi hormat seperti layaknya seorang yang mengangkat guru. Kini Bi Lan tidak ragu-ragu lagi. Kalau bukan tiga orang kakek aneh ini, siapa lagi manusia di dunia ini yang memperdulikannya? Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki tiga orang itu, memberi hormat dengan sungguh-sungguh.

   "Suhu.... suhu.... suhu....!"

   Katanya setiap kali ia menyembah di depan kaki seorang kakek. Tiga orang itu girang bukan main.

   "Muridku yang baik!"

   Kata Raja Iblis Hitam dan tiba-tiba Bi Lan merasa tubuhnya melayang jauh tinggi di udara. Anak itu tentu saja terkejut bukan main, sama sekali tidak menyangka bahwa raksasa hitam yang menjadi seorang di antara gurunya itu akan melakukan hal seperti itu, melemparkan tubuhnya tingi ke udara! Ia teringat betapa tadi suhunya yang ini melempar-lemparkan tubuh lawan ke atas dan tubuh itu terbanting jatuh dengan kepala pecah berantakan. Tentu saja ingatan ini mendatangkan rasa takut yang hebat dalam batinnya yang sehari itu sudah mengalami guncangan-guncangan luar biasa. Akan tetapi justeru guncangan-guncangan hebat itu membuat Bi Lan kehilangan rasa takut, atau andaikata ada rasa takut, ia berani menghadapinya dan mendatangkan suatu kenekatan besar.

   Maka, betapapun ngerinya, ia mengatupkan bibirnya yang kecil dan tidak mau mengeluarkan suara yang membayangkan ketakutan! Ketika tubuhnya melayang turun berputaran tangan Iblis Akhirat sudah menyambutnya dan kembali ia dilemparkan ke atas oleh kakek itu yang terkekeh senang. Ketika merasa betapa tubuhnya tidak terbanting melainkan disambut hendak di lemparkan lagi ke atas, mengertilah Bi Lan bahwa tiga orang gurunya itu bermain-main atau mungkin hendak menguji ketabahannya. Hal ini membesarkan hatinya. Ia akan memperlihatkan kepada tiga orang kakek aneh itu bahwa ia tidak takut! Maka, ketika untuk kedua kalinya tubuhnya terlempar ke atas, ia mengeluarkan suara ketawa cekikikan sebagai tanda bahwa iapun senang dilempar-lemparkan seperti itu. Akan tetapi terdengar suara Iblis Mayat Hidup mencela.

   "Apa ketawa-ketawa! Dalam setiap keadaan, engkau harus belajar karena setiap peristiwa mengandung bahan baik untuk dipelajari!"

   Dan ketika tubuhnya meluncur turun, ia disambut pula oleh kakek kurus kering itu dan dilontarkan pula ke atas. Bi Lan menghentikan ketawanya, takut kalau ketiga orang gurunya marah.

   Gila, pikirnya, dilempar-lempar ke udara seperti itu dapat mempelajari apakah? Lalu teringatlah ia betapa kalau meluncur lagi ke bawah, tubuhnya berputaran tidak karuan. Mengapa ia tidak mau belajar agar luncurannya itu nyaman dengan kaki di bawah dan kepala di atas ? Bukankah kalau ia terpaksa terbanting ke atas tanah, akibatnya tidak begitu parah kalau kakinya lebih dulu dari pada kepalanya? Mulailah ia menggerak-gerakkan kaki tangannya, mengatur keseimbangan agar tubuhnya tidak jungkir balik atau berputaran. Agaknya tiga orang gurunya girang melihat ini, dan begitu ia meluncur turun, ia disambut lagi bergantian untuk dilontarkan pula ke atas. Akhirnya setelah puluhan kali dilontarkan ke atas, Bi Lan berhasil mengatur luncuran tubuhnya sehingga kakinya selalu meluncur di bawah,

   Kedua tangan dikembangkan dan kedua kaki dipentang seperti orang menunggang kuda. Melihat ini, tiga orang gurunya bergantian memberi petunjuk, bagaimana harus mengatur tangan atau kaki, bagaimana harus mengatur napas dan gerakan-gerakan lain. Bi Lan yang tahu bahwa tiga orang gurunya ini adalah orang-orang aneh dan begitu ia mengangkat mereka sebagai guru, langsung saja mereka itu menguji dan memberi pelajaran yang begitu aneh! Maka iapun memperhatikan dengan tekun dan tanpa mengenal lelah ia terus berusaha, walaupun tubuhnya yang memang sudah amat lelah, apa lagi baru saja mengalami hal-hal yang amat hebat itu, terasa sakit-sakit. Bahkan ia menahan rasa lapar dan kantuknya sampai akhirnya ia tertidur selagi tubuhnya dilemparkan lagi ke atas oleh Iblis Mayat Hidup.

   Melihat betapa murid mereka itu meluncur turun dengan tubuh lunglai, tiga orang kakek itu terkejut setengah mati, khawatir kalau-kalau murid mereka yang masih lemah dan amat lelah itu tidak kuat dan mati di udara! Mereka menyambutnya dan legalah hati mereka melihat bahwa murid mereka itu hanya tertidur pulas! Meledaklah suara ketawa mereka dan hati mereka puas dan bangga. Dilempar-lemparkan seperti itu, murid mereka ini malah bisa tidur nyenyak, dan itu di-anggap oleh mereka sebagai tanda nyali yang amat besar, ketabahan yang jarang dimiliki seorang anak kecil, apa lagi anak perempuan. Tiga orang Sam Kwi itu lalu meninggalkan hutan itu menuju ke timur. Mereka melakukan perjalanan cepat sekali, mengambil jalan melalui bukit-bukit dan rawa-rawa, melalui sungai dan hutan yang liar, yang jarang didatangi manusia.

   Mereka mengambil jalan memotong, menerjang jalan yang betapa sukar sekalipun, dengan kepandaian mereka yang tidak lumrah manusia. Kalau mereka melalui perjalanan yang amat sukar, yang tidak dapat dilalui manusia biasa, mereka memondong Bi Lan bergantian, akan tetapi kalau melalui jalan biasa sambil menikmati pemandangan alam, mereka membiarkan Bi Lan berjalan kaki di belakang mereka. Dasar orang-orang aneh, kadang-kadang mereka meninggalkan Bi Lan begitu saja, membuat gadis cilik itu berlari-larian setengah mati mengejar mereka dan kalau Bi Lan sudah hampir putus asa karena tidak mampu mengejar dan guru-gurunya lenyap, barulah mereka muncul!
(Lanjut ke Jilid 02)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02
Dan di sepanjang perjalanan, mereka melatih Bi Lan dengan dasar-dasar ilmu silat, dan menggemblengnya dengan latihan-latihan untuk menghim-pun tenaga sin-kang.

   Ada kalanya tiga orang itu berebut untuk melatih Bi Lan yang ternyata memiliki bakat yang hebat, tepat seperti dugaan mereka. Setiap pelajaran yang diberikan guru-gurunya, dapat ditangkap dengan mudah oleh Bi Lan dan hanya dalam latihan sajalah gadis cilik itu perlu memper-oleh tekanan. Dan gadis cilik itupun cerdik bukan main. Segera ia dapat merasakan betapa tiga orang gurunya yang aneh itu amat menyayanginya, bahkan berlumba dalam menyayangnya. Hal ini dipergu-nakannya sebagai senjata untuk menguasai tiga orang kakek itu! Pada suatu hari, tiga orang kakek itu terlibat dalam ketegangan dan perbantahan ketika mereka akan mulai menurunkan ilmu silat tinggi kepada murid mereka. Mereka memperebutkan, ilmu silat siapakah yarig harus diutamakan sebagai dasar.

   "Siapa yang mampu menandingi ilmuku Hek-wan Si-pat-ciang (Ilmu Silat Delapan belas Jurus Lutung Hitam)?"

   Bentak Raja Iblis Hitam.

   "Aku akan mengajarkan ilmu lebih dulu kepada Bi Lan!"

   "Ha-ha-ha, sombongnya. Apa artinya pukulan-pukulanmu bagi, orang yang memiliki kekebalan seperti ilmuku Kulit Baja? Sebaiknya Bi Lan kulatih lebih dulu dalam ilmu tendanganku yang tiada bandingan, yaitu Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin). Dan untuk kematangannya, ia perlu memiliki dasar tenaga sin-kang yang amat kuat seperti aku,"

   Bantah Iblis Akhirat.

   "Ah, tidak! Seorang wanita seperti Bi Lan harus memiki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) seperti aku sebagai dasar, sambil mempelajari ilmu silatku Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot)!"

   Bentak Iblis Mayat Hidup. Tiga orang kakek itu tidak mau saling mengalah. Di atas padang rumput yang sunyi di sebuah lereng bukit itu, mereka ngotot tidak mau saling dan akhirnya mereka menentukan bahwa harus diuji lebih dulu ilmu siapa yang paling kuat dan dialah yang berhak memberi bimbingan pertama kali kepada Bi Lan. Dan terjadilah perkelahian di antara mereka!

   Bukan perkelahian sembarangan, bukan sekedar adu otot dan adu ilmu melainkan perkelahian sungguh-sungguh dengan serangan-serangan mematikan. Bukan main hebatnya serang-menyerang yang terjadi di antara mereka bertiga dan karena memang tingkat mereka seimbang, tentu saja sukarlah bagi seorang di antara mereka untuk memperoleh keunggulan. Kalau ada seorang di antara mereka yang nampaknya memperoleh angin dari orang ke dua, orang ke tiga lalu turun tangan mendesak sehingga yang tadinya nampak memperoleh angin sebaliknya terdesak kembali. Dan perkelahian itu bukan hanya mempergunakan ilmu pukulan biasa, melainkan mempergunakan sin-kang yang membuat tempat di sekitarnya dilanda angnin pukulan yang bersiutan dan berdesingan.

   Juga mereka saling mengerahkan khi-kang, mengeluarkan bentakan-bentakan melengking nyaring. Penonton dan satu-satunya orang yang paling menderita di antara mereka. Angin pukulan yang dahsyat dan menyambar-nyambar itu tadi telah membuat ia jatuh bangun dan terguling-guling seperti sehelai daun kering dilanda badai dan ia yang cerdik cepat menggerakkan tubuhnya bergulingan di atas padang rumput sampai agak jauh. Akan tetapi, setelah angin pukulan tidak mampu meraihnya karena jauh, suara-suara yang mengandung tenaga khi-kang itu menyiksanya. Anak itu merasa betapa suara itu menusuk-nusuk anak telinganya dan biarpun ia sudah menutupi kedua telinga dengan kedua tangan, tetap saja suara itu membuat isi perutnya jungkir balik dan menyiksanya dengan hebat.

   "Sudahlah, biar kalian bunuh saja aku!"

   Akhirnya ia berteriak dan berlari ke tengah medan perkelahian, berloncatan dan dengan nekat terjun di antara mereka bertiga. Tiga orang kakek yang lihai itu tentu saja dapat melihat munculnya murid mereka yang meloncat ke tengah medan perkelahian. Kalau orang lain yang berbuat demikian, tentu mereka bertiga akan menjatuhkan pukulan maut sehingga tubuh orang yang berani mengganggu mereka itu akan hancur lebur. Akan tetapi melihat bahwa yang datang adalah Bi Lan, ketiganya tiba-tiba saja menghentikan gerakan mereka, masing-masing menarik diri dan mundur, berdiri dengan tubuh berkeringat dan tak bergerak seperti patung, tidak tahu harus berbuat apa.

   "Kenapa suhu semua berhenti? Hayo teruskan perkelahian itu!"

   Kata Bi Lan dengan suara marah.

   "Ah, berbahaya untukmu. Menyingkirlah, Bi Lan, agar kami melanjutkan untuk menentukan siapa yang berhak lebih dulu mengajarmu."

   Iblis Akhirat berkata.

   "Tidak perlu teecu menyingkir. Sejak tadi teecu sudah tersiksa. Biarlah kalau teecu mati juga, menemani, seorang atau dua orang di antara suhu yang akhirnya tentu akan kalah dan mati pula!"

   Baru mereka tahu bahwa Bi Lan marah karena perkelahian mereka tadi.

   "Kami.... kami berkelahi memperebutkan hak mengajarmu lebih dulu."

   Kembali Iblis Akhirat berkata memberi keterangan.

   "Teecu (murid) telah mengangkat suhu bertiga menjadi guru semua, kenapa mesti berebutan lagi? Kenapa suhu bertiga tidak memberi pelajaran bersama saja?"

   Ia berhenti sebentar untuk melihat tarikan muka mereka, lalu melanjutkan,

   "Kalau suhu bertiga berebutan dan berkelahi lagi, teecu tidak akan mau belajar dari yang paling menang!"

   Mendengar ancaman dari murid yang mereka tahu amat keras hatinya ini, tiga orang kakek itu saling pandang.

   "Bergabung....?"

   Raja Iblis Hitam berkata bingung.

   "Ilmu ketiga orang disatukan?"

   Iblis Mayat Hidup menyambung ragu.

   "Wah, mengapa tidak? Kita ajarkan bersama ilmu-ilmu kita dan karena ilmu-ilmu itu amat tinggi, tentu sukar baginya untuk menerima semua.

   "Justeru karena menerima setengah-setengah inilah maka ia akan dapat menggabung ilmu-ilmu itu menjadi satu ilmu yang tentu hebat karena mengandung dasar dan kelihaian ilmu kita masing-masing!"

   "Bagus!"

   Kata Raja Iblis Hitam girang.

   "Tepat sekali!"

   Kata pula Iblis Mayat Hidup.

   "Sama sekali tidak bagus dan tidak tepat!"

   Tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita. Bi Lan terkejut dan merasa heran ada orang berani mencampuri percakapan tiga orang gurunya. Ketika ia menengok, ia melihat seorang wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, berpakaian rapi dan mewah, berwajah cantik sekali dengan sinar mata yang tajam. Kecantikannya aneh mengandung hawa dingin, akan tetapi ada kecabulan membayang dalam senyum dan kerlingnya. Hati Bi Lan merasa khawatir sekali.

   "Wanita ini sudah bosan hidup,"

   Pikirnya. Ia sudah mulai mengenal watak tiga orang gurunya yang aneh dan kadang-kadang amat kejam, apa lagi setelah ia mendengar julukan guru-gurunya yang memperkenalkan diri sebagai Sam Kwi dengan julukan yang serem-serem itu. Ia malah dapat menduga bahwa gurunya adalah orang-orang yang amat kejam dan jahat, akan tetapi yang amat baik kepadanya karena sayang kepadanya. Karena takut kalau-kalau tiga orang gurunya itu menurunkan tangan secara tiba-tiba membunuh gadis itu, Bi Lan mendahului, meloncat dan menghadap tiga orang gurunya.

   "Suhu sekalian harus dapat memaafkan cici ini!"

   Teriaknya. Akan tetapi kini terjadi hal yang amat mengherankan hati Bi Lan. Iblis Akhirat yang gendut pendek itu berteriak kegirangan,

   "Aha, Bwi-kwi (Iblis Cantik), kau baru muncul? Waah, aku sudah kangen sekali padamu! Dan si gendut langsung memeluk pinggang wanita cantik itu dan menariknya. Anehnya, gadis itu tersenyum lalu merendahkan kepalanya dan kakek gendut itu lalu mencium mulutnya dengan bernapsu sekali sampai mengeluarkan bunyi "ceplok!". Tentu saja Bi Lan menjadi bengong melihat ini, apalagi melihat dua orang suhunya yang lain juga menghampiri gadis itu, Raja Iblis Hitam mengelus rambut gadis itu, dan si Iblis Mayat Hidup mencolek dadanya! Dan gadis cantk itu hanya tersenyum manis saja, sama sekali tidak marah.

   "Suhu, siapakah bocah itu?"

   Gadis itu bertanya dan kini tahulah Bi Lan bahwa gadis itu adalah murid tiga orang suhunya.

   "Ha-ha-ha-ha, ia adalah murid kami yang baru. Bakatnya bagus sekali, melebihimu, Bi-kwi. Namanya Can Bi Lan, heh-heh, dua orang murid kami semua cantik-cantik. Kami menyebutmu Bi-kwi, biarlah mulai sekarang Bi Lan kami sebut Siauw-kwi (Iblis Cantik). Ha-ha!"

   Tiba-tiba sepasang mata yang indah dan bersinar tajam itu berkilat memandang ke arah Bi Lan.

   "Murid suhu? Hemm, sejak dahulu murid suhu bertiga hanya aku, dan setiap ada orang berani merobah keadaan ini harus dibunuh. Anak ini pun harus kubunuh!"

   Berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan tangan kanannya dan lengan kanan yang montok itu tiba-tiba mulur panjang dan dua jari yang mungil menotok ke arah dada Bi Lan! Akan tetapi, biar baru beberapa bulan lamanya, Bi Lan sudah menerima latihan-latihan dasar dari tiga orang sakti, maka begitu ada tangan menyerangnya, gadis cilik itu mampu melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik dengan sigapnya.

   "Ehh....! Ia malah sudah-belajar dari suhu!"

   Bentak Bi-kwi dan iapun menyerang lagi, kini kakinya melangkah ke depan. Akan tetapi tiba-tiba pinggangnya dipeluk dari belakang oleh Raja Iblis Hitam, dan kedua tangannya dipegang masing-masing oleh Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup.

   "Hemm, suhu bertiga menghalangi? Berarti suhu bertiga tidak lagi cinta kepadaku!"

   "Ehh? Tenang.... sabar, sabar....! Kami sudah menjelajah dunia ramai dan melihat perobahan-perobahan hebat terjadi di dunia persilatan. Engkau seorang diri tidak akan kuat menghadapi mereka, oleh karena itu kami sengaja memilih Bi Lan untuk menjadi murid kedua. Apa salahnya itu?"

   "Hanya murid?"

   Gadis cantik itu menegaskan.

   "Heh-heh, cemburu? Hanya murid karena bagi kami sebagai laki-laki, engkau seorang sudah lebih dari cukup dan memuaskan. Nah, maukah engkau berbaik dengan Bi Lan? tanya Iblis Akhirat. Bi-kwi mengangguk.

   "Baiklah, tadipun ia sudah berusaha menolongku. Tidak apa mengampuni nyawa anjingnya. Akan tetapi kalau kelak ada tanda-tanda bahwa suhu bertiga.... hemm, aku pasti akan membunuhnya."

   Bi Lan mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu apa sebenarnya maksud percakapan aneh itu dan iapun masih tertegun menyaksikan adegan aneh ketika gadis cantik itu menerima ciuman Iblis Akhirat dan belaian-belaian dua orang suhunya yang lain. Akan tetapi ia tahu bahwa gadis itu berbahaya bukan main, dan agaknya tidak kalah jahatnya dibandingkan dengan tiga orang kakek itu. Ia harus berhati-hati menghadapi gadis ini, pikirnya.

   "Ha-ha-ha, bagus sekali. Bi Lan, lekas berterima kasih kepada sucimu (kakak seperguruanmu) yang baru saja mengembalikan nyawamu,"

   Kata Iblis Akhirat. Sam Kwi kelihatan gembira sekali dengan pertemuan itu dan Bi Lan, walaupun hatinya tidak senang, namun anak ini mempergunakan kecer-dikannya. Ia tahu bahwa gadis ini mempunyai kekuasaan atas tiga orang gurunya agaknya tiga orang gurunyapun tidak akan dapat menyelamatkannya atau menjamin keselamatannya kalau sampai ia dimusuhi gadis ini. Sebaiknya ia bersiasat dan menyenangkan hati gadis ini sebelum mengenal benar keadaannya. Maka iapun lalu bangkit dan menjura kepada gadis itu, berkata dengan suara manis dan tersenyum. Ia, oleh tiga orang gurunya, diingatkan betapa manisnya kala tersenvum, betapa timibul sepasang lesung pipit kanan kiri mulutnya.

   "Suci yang cantik dan gagah perkasa, aku menghaturkan terima kasih kepadamu."

   Gadis cantik itu menjebikan bibirnya.

   "Huh, baiknya engkau tadi berusaha melindungiku dari kemarahan suhu, kalau tidak. Baiklah, kalau selanjutnya engkau tunduk dan taat kepadaku, mulai saat ini engkau adalah sumoiku."

   "Terima kasih, suci."

   "Bi-kwi, kenapa tadi engkau mengatakan bahwa pendapat kami untuk menggabungkan ilmu dan diajarkan kepada Siauw-kwi tidak betul dan tidak tepat?"

   Iblis Akhirat bertanya sambil menggandeng tangan wanita cantik itu dengan sikap yang kangen sekali.

   "Tentu saja tidak tepat, karena di sini ada aku yang dapat mewakili suhu bertiga untuk mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada sumoi. Kalau seorang anak kecil seperti sumoi itu sekaligus menerima pelajaran dari suhu bertiga, mana kuat menerimanya? Serahkan saja kepadaku dan suhu bertiga tidak perlu susah-susah."

   Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira.

   "Ha-ha, lihat, betapa berun-tnngnya kita bertiga mempunyai seorang murid seperti Bi-kwi,"

   Kata Iblis Akhirat.

   "Bi-kwi, bagaimana dengan tugasmu"

   Tiba-tiba Raja Iblis Hitam bertanya, dan Bi Lan merasa heran mendengar suara kakek raksasa hitam ini. Biasanya dia pendiam dan kalau bersuara terdengar keras, parau dan bengis, akan tetapi kini suaranya terdengar lembut dan mengandung kemesraan. Gadis yang disebut Bi-kwi (Iblis Cantik) itu sebenarnya bernama Ciong Siu Kwi yang sejak berusia lima tahun sudah menjadi murid Sam Kwi. Seperti juga Bi Lan, Siu Kwi atau yang kini disebut Bi-kwi ini yatim piatu. Ayah ibunya dibunuh oleh Sam Kwi sendiri yang ingin menguasai anak ini dengan bebas.

   Memang pada mulanya, Sam Kwi mengambil murid ini hanya untuk menurunkan ilmu karena melihat bakat baik pada diri Siu Kwi, juga agar anak ini dapat menemani mereka dalam persembunyian dan pertapaan mereka di puncak pegunungan Thai-san. Akan tetapi, makin dewasa, Bi-kwi atau Siu Kwi ini makin nampak watak aselinya, watak yang genit dan cabul, di samping wajahnya yang cantik. Gadis ini mempelajari ilmu-ilmu tinggi, akan tetapi juga melayani Sam Kwi, mencuci pakaian, memasak dan segala macam kebutuhan tiga orang kakek itu. Setelah ia berusia hampir Delapan belas tahun, tiga orang kakek itu tidak tahan melihat kegenitannya. Mulailah mereka bertiga itu, tertarik sebagai pria terhadap wanita kepada murid sendiri dan mulailah terjadi hubungan perjinaan antara ketiga Sam Kwi dengan murid tunggal mereka itu!

   Luar biasa-nya, gadis yang sejak kecil hidup di tempat pengasingan di Thai-san itu, menyambut tiga orang kakek buruk rupa yang menjadi suhunya itu dengan tangan dan hati terbuka! Dan sejak berusia delapan belas tahun itulah, Siu Kwi menjadi murid dan merangkap kekasih Sam Kwi dan mulai pula ia menguasai tiga orang kakek itu yang namanya saja guru-gurunya, akan tetapi dalam banyak hal mereka bertiga itu tunduk dan taat kepada Siu Kwi! Mendengar pertanyaan Hek-kwi-ong tentang tugasnya tadi Siu Kwi melepaskan tangan Iblis Akhirat, dan mengerutkan alisnya, kemudian ia duduk di atas sebuah batu yang bersih. Tiga orang kakek itupun duduk di depannya dan Bi Lan yang ingin mendengarkan juga duduk di dekat Siu Kwi. Gadis ini menarik napas panjang beberapa kali, lalu berkata dengan suara jengkel.

   "Dua urusan yang suhu serahkan kepadaku itu semua gagal! Yang pertama mengenai Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, ternyata telah tewas belasan tahun yang lalu!"

   "Wah, sialan!"

   Raja Iblis Hitam berseru kecewa sambil mengepal tangannya yang besar.

   "Pengecut! Mampus lebih dulu!"

   Iblis Mayat Hidup juga berseru kecewa.

   "Ha-ha, biarlah dia mampus, kelak di akhirat kita masih dapat mencarinya untuk membuat perhitungan!"

   Kata Iblis Akhirat yang lalu memandang Siu Kwi.

   "Dan bagaimana dengan urusan yang lain?"

   "Urusan Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga) lebih menjengkelkan lagi. Dengan susah payah selama berbulan-bulan aku mencari kakek Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih) di sekitar Pegunungan Himalaya dan belum kutemukan jejaknya. Akan tetapi, akhirnya dari para pertapa aku mendengar bahwa kakek tua bangka itupun sudah meninggal dunia."

   "Dan pusakanya?"

   Raja Iblis Hitam memotong.

   "Itulah yang menjengkelkan hatiku. Menurut keterangan para pertapa yang mengenal Pek-bin Lo-sian, sebelum kakek itu meninggal dunia, mereka sering kali melihat kakek itu berbincang-bincang dengan seorang pendekar sakti dan menurut mereka, sangat boleh jadi kakek itu mewariskan Liong-siauw-kiam kepada pendekar itu."

   "Wah-wah, siapa pendekar jahanam itu?"

   Bentak Iblis Akhirat dengan marah.

   "Mereka tidak tahu, akan tetapi, dalam penyelidikanku selanjutnya, ada sebuah berita yang amat menarik, yaitu munculnya seorang pendekar yang dijuluki Pendekar Suling Naga yang kabarnya membawa senjata sebatang suling naga...."

   "Itulah orangnya!"

   Bentak Iblis Mayat Hidup.

   "Di mana dia?"

   Gadis itu menggerakkan pundaknya.

   "Menurut penyelidikanku, pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga itu merantau ke selatan, dan karena aku ingin mendengar keputusan suhu dalam hal ini, maka aku lalu mencari suhu untuk melapor."

   Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Iblis Akhirat yang biasa menjadi juru bahasa mereka, berkata,

   "Tugasmu menjadi semakin berat, Bi-kwi. Pendekar Super Sakti sudah mati, akan tetapi keturunan Suma tentu masih banyak berkeliaran. Karena itu kita harus berusaha membasmi semua keturunan Suma Han si Pendekar Super Sakti yang pernah membuat kami bertiga harus menyembuyikan diri selama puluhan tahun. Akan tetapi, di samping itu juga kita harus mencari orang yang menguasai Pedang Suling Naga untuk merampasnya. Tak mungkin tugas-tugas berat itu kau pikul sendiri. Maka, sebaiknya kita melatih Siauw-kwi ini sampai pandai agar kelak dapat membantumu menunaikan tugas-tugas itu. Kami sendiri sudah terlalu tua untuk berkeliaran mencari orang."

   Bi-kwi menoleh ke arah Bi Lan dan mengerutkan alisnya. Ia adalah seorang cerdik.

   Mewakili suhu-suhunya bermusuhan dengan keturunan Pendekar Super Sakti adalah tugas yang amat berat dan tidak menarik hatinya. Ia sudah mendengar bahwa Pendekar Super Sakti adalah seorang tokoh besar yang amat tinggi ilmu kesaktiannya dan sukar dilawan. Bahkan tiga orang gurunya yang pernah mengeroyok pendekar itupun tidak mampu menang. Tentu keturunannya juga amat lihai dan bagaimana kalau keturunannya itu banyak jumlahnya? Dan urusan balas dendam guru-gurunya karena pernah dikalahkan ini, tidak ada apa-apanya yang menarik hatinya karena tidak ada yang menguntungkan. Sebaliknya, mencari pusaka Suling Naga itu lebih menarik baginya. Karena itu, menghadapi dua tugas ini memang sebaiknya kalau ia ditemani orang yang dapat dipercaya, dan agaknya Bi Lan inilah orangnya.

   "Hemm, aku meragukan apakah anak ini akan sanggup. Siauw-kwi, sanggupkah engkau mem-bantuku kelak dalam dua urusan itu?"

   Bi Lan sejak tadi mendengarkan dan kini ia menghadap ketiga orang suhunya.

   "Urusan suhu dengan keluarga Pendekar Super Sakti itu mudah teecu mengerti. karena tentu urusan dendam pribadi yang melibatkan keluarga Pendekar Super Sakti yang sudah mati. Akan tetapi urusan ke dua, teecu kurang jelas. Apakah pusaka Suling Naga itu dan mengapa dijadikan rebutan?"

   "Ha-ha-ha, engkau memang anak cerdik yang ingin memasuki suatu urusan tidak secara membuta. Baiklah, akan kuceritakan padamu mengenai pusaka itu."

   Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat yang bertubuh pendek bundar itu lalu dengan ringkas bercerita tentang pusaka yang dinamakan Pedang Suling Naga itu.

   Benda pusaka itu telah ribuan tahun usianya, terbuat dari pada semacam kayu yang tumbuh di Pegunungan Himalava, dan kayu itu diukir dan dibuat menjadi sebuah suling yang amat indah oleh seorang abi di Pegunungan Himalaya kurang lebih seribu tahun yang lalu. Benda itu lalu direndam dalam obat-obatan rahasia yang membuat kayu itu menjadi keras membaja, bahkan kabarnya lebih keras dari pada baja. Pusaka yang indah itu, yang dapat ditiup sebagai sebatang suling yang suaranya merdu, juga dapat dipegang sebagai sebatang pedang, kepala naga menjadi gagang dan badan serta ekornya menjadi pedangnya. Ukiran naga itu sedemikian hidupnya, sepasang mata di bagian kepalanya dibuat dari batu permata sehingga nampak bernyala dan hidup sekali. Selama ratusan tahun, benda itu menjadi pusaka dan menjadi lambang, kekuasaan raja-raja Khitan.

   Sampai akhirnya, di jaman Kaisar Jenghis Khan, Raja Mongol ini dalam penyerbuannya ke barat berhasil merampas benda itu dan karena amat kagum dan suka, benda itu menjadi pusaka kesayangan Kaisar Jenghis Khan. Akan tetapi pada suatu hari, pusaka itu lenyap dari dalam gudang pusaka. Kaisar Jenghis Khan marah sekali akan tetapi urusan itu dirahasiakan karena kaisar akan merasa malu kalau terdengar rakyat bahwa pusaka yang paling disayang itu dapat lenyap begitu saja dari dalam gudang pusaka. Saking marahnya, Kaisar Jenghis Khan menghukum mati tiga puluh orang pengawal dan pelayan yang dicurigai! Dan semenjak saat itu, pusaka Suling Naga dianggap lenyap dan tak pernah dapat ditemukan kembali walaupun Kaisar Jenghis Khan telah mengeluarkan banyak sekali biaya dan mengerahkan banyak orangnya untuk mencarinya.

   "Sebenarnya yang mencuri benda pusaka itu adalah seorang sakti yang menyembunyikan dirinya di pegunungan sebelah utara. Benda itu menjadi kebanggaannya karena tentu saja orang yang mampu mencuri benda dari gudang pusaka Kaisar Jenghis Khan adalah seorang yang sakti. Benda itu turun temurun menjadi milik murid-murid keturunannya dan akhirnya jatuh ke tangan suhu dan susiok kami yang bertapa di Pegunungan Himalaya. Ketika suhu meninggal dunia, pusaka itu oleh suhu diserahkan kepada susiok Pek-bin Lo-sian yang bertapa di Pegunungan Himalaya. Kami memintanya, akan tetapi susiok mengatakan bahwa pusaka itu tidak pantas menjadi milik kami. Tentu saja kami berusaha merampasnya, akan tetapi susiok Pek-bin Lo-sian terlalu tangguh bagi kami. Tidak ada lain jalan kecuali menanti sampai kakek yang sudah tua renta ini mampus. Akan tetapi, sungguh tak terduga sekali halnya kami dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti sehingga kami terpaksa mengundurkan diri bertapa sampai dua puluh tahun dan ketika kami mengutus Bi-kwi, ternyata kakek tak tahu malu itu telah mampus dan mewariskan pusaka itu kepada orang lain!"

   Iblis Akhirat menghentikan ceritanya dan tiga orang kakek itu nampak beringas dan marah sekali.

   "Bagaimana, Siauw-kwi, maukah engkau membantu sucimu dalam mencari pusaka itu dan mem-balas dendam terhadap keturunan Suma?"

   Tiba-tiba Iblis Mayat Hidup bertanya. Cerita itu amat menarik hati Bi Lan. Bagaimanapun juga, tiga orang suhunya memang berhak mendapatkan kembali pusaka itu dan pendekar yang menerimanya dari Pek-bin Lo-sian tidak berhak.

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Baik, suhu. Teecu akan belajar giat agar kelak mampu membantu suci."

   Mereka berlima lalu meninggalkan tempat itu, kembali ke puncak Pegunungan Thai-san.

   Di sepanjang perjalanan, dengan hati kaget dan heran, juga muak, Bi Lan melihat betapa tiga orang gurunya itu mengadakan hubungan amat mesra dengan sucinya. Ia belum begitu mengerti tentang hubungan perjinaan seperti itu, Akan tetapi nalurinya membuat ia selalu membuang muka dan menyingkir kalau melihat pertunjukan tak tahu malu di sepanjang perjalanan itu. Karena perbuatan ini saja, diam-diam Bi Lan merasa amat tidak suka kepada sucinya dan kepada tiga orang suhunya, walaupun dengan cerdik ia dapat menyembunyikan perasaan ini di lubuk hatinya. Demikianlah, setelah tiba di puncak Pegunungan Thai-san, di tempat terpencil sunyi, Bi-kwi atau Su Kwi mulai melatih sumoinya dengau ilmu silat. Akan tetapi, dasar orang yang licik, curang dan juga hatinya diliputi penuh kebencian,

   Bi-kwi yang tidak rela kalau ada orang kelak lebih pandai atau setidaknya mengimbangi kepandaiannya, ia melatih dengan cara yang kadang-kadang dibalikkan, dengan harapan agar sumoinya tentu mewarisi ilmu yang keliru cara melatihnya menjadi ilmu sesat yang akan membahayakan sumoi itu sendiri. Ilmu bersamadhi dan menghimpun tenaga sin-kang misalnya, kalau dilatih dengan cara yang keliru, amat membahayakan, dapat membuat orang menjadi menderita luka dalam, atau dapat membikin orang menjadi gila, atau bahkan mati keracunan! Kita tinggalkan dulu Bi Lan, anak berusia hampir sebelas tahun yang kini sedang digembleng secara keliru oleh Bi-kwi atau Siu Kwi itu, di tempat terasing, satu di antara puncak Thai-san dan mari kita menengok peristiwa yang terjadi di lain tempat, jauh dari Thai-san.

   Peristiwa pemberontakan yang berkembang di perang saudara antara para pemberontak dan pasukan pemerintah, yang dicampuri pula oleh pasukan asing Birma yang bersekutu dengan para pemberontak, membuat seluruh negeri menjadi tidak aman. Karena pemerintah pusat mencurahkan perhatian terhadap pemberontakan pemberontakan itu, maka pengurusan keamanan di daerah-daerah tidak terlalu diawasi. Hal ini membuat para pembesar setempat seolah-olah menjadi raja yang berdaulat, tidak ada yang menentang, tidak ada yang mengawasi. Akan tetapi, juga tidak ada yang melindungi dan pembesar-pembesar itu hanya mengandalkan pasukan keamanan setempat. Oleh karena inilah, maka para penjahatpun muncul dan merajalela di wilayah masing-masing, mengganggu rakyat jelata.

   Mungkin karena mempunyai kepentingan yang sama dan keduanya mengganggu dan menentang rakyat jelata, banyak terjadi persekongkolan antara para gerombolan penjahat yang kuat dan para pembesar setempat. Tidaklah mengherankan apabila ada sebagian rakyat bangkit melawan penjahat- penjahat itu, mereka akan berhadapan dengan pasukan keamanan yang akan menentang mereka dan membantu para penjahat! Ada kalanya, agar perbuatan mereka tidak me nyolok, petugas keamanan menangkapi para penjahat dan juga rakyat yang menentang penjahat! Beberapa hari kemudian, para penjahat yang di tangkapi itu telah berkeliaran kembali melakukan kejahatan mereka, sedangkan orang-orang yang ditangkap ketika melawan penjahat itu tetap di tahan, bahkan dihukum dengan tuduhan pemberontak!

   Dalam keadaan negara kacau seperti ini terjadilah apa yang dinamakan "pagar makan tanaman", para petugas keamanan yang seharusnya menjaga keamanan hidup rakyat, Sebaliknya malah membuat kehidupan rakyat menjadi tidak aman! Kalau petugas keamanan sudah bersekongkol dengan penjahat, dapat dipastikan bahwa keadaan pemerintahannya lemah, dan yang celaka adalah rakyat jelata pula. Keadaan semacam itupun melanda kota kecil Siang-nam yang terletak tidak jauh dari kota besar Siang-tan, di Propinsi Hunan. Kepala daerah kota Siang-nam seperti boneka saja. Hanya pakaian dan kursinya saja yang menandakan dia seorang kepala daerah, akan tetapi sikap dan perbuatannya sama sekali tidak mencerminkan seorang pemimpin. Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Bong-ciangkun, komandan pasukan keamanan kota Siang-nam.

   Dan di atas Bong-ciangkun ini, sebagai penguasa yang tidak terlihat, adalah kepala penjahat yang menguasai seluruh Siang-nam dan daerahnya. Selalu terjadi persekutuan antara kepala penjahat dan Bong-ciangkun dalam menghadapi perkara apapun dan Bong-ciangkun lalu tunduk karena kepala penjahat itu memberi sogokan yang berlebihan, yang membuat komandan itu menjadi kaya raya. Lebih celaka lagi, Bong-ciangkun terkenal sebagai seorang pria congkak, menyombongkan kedudukannya, bengis dan yang paling buruk, mata keranjang dan selalu ingin mendapatkan wanita mana saja yang menarik hatinya! Dia dikenal sebagai srigala kota Siang-nam dan semua penduduk merasa takut kepadanya. Pada suatu pagi, di antara orang-orang yang sibuk pergi ke pasar, ada yang hendak berjualan dan ada pula yang hendak berbelanja, nampak seorang wanita bersama seorang anak laki-laki berjalan menuju ke pasar.

   Ibu dan anak ini masing-masing membawa keranjang berisi telur. Mereka memelihara banyak ayam di rumah dan kini mereka hendak menjual hasilnya ke pasar. Biasanya, yang menjual telur adalah suami wanita itu, akan tetapi pada pagi hari itu, si suami rebah pembaringan karena masuk angin dan walaupun enggan keluar rumah dalam suasana kacau seperti itu, terpaksa si isteri mengajak putera tunggalnya untuk menemaninya membawa telur dan menjualnya ke pasar. Wanita itu berwajah lumayan, dengan kulit kuning bersih sehingga usianya yang sudah tiga puluh tahun itu belum menghilangkan daya tariknya yang memikat. Puteranya, seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun, juga wajahnya mirip ibunya sehingga dia nampak tampan dan bersih, wajahnya cerah. Anak ini bernama Gu Hong Beng, dan ayahnya yang sedang sakit itu bernama Gu Hok, seorang tukang kayu yang pandai. Selain memiliki penghasilan sebagai tukang kayu,

   Juga isterinya dibantu oleh putera mereka memelihara atau beternak ayam yang hasilnya lumayan pula. Kehidupan mereka yang tidak kaya akan tetapi juga tidak miskin itu cukup bahagia, dengan seorang putera yang baik dan penurut, rajin bekerja membantu ibunya merawat ayam, bahkan sudah dapat melakukan beberapa pekerjaan tukang kayu yang ringan-ringan. Karena semua pedagang di pasar tahu bahwa telur dari ternak ayam milik tukang kayu itu selalu baru dan segar, maka dengan mudah mereka dapat menjual semua telur mereka di pasar dan dengan wajah berseri keduanya membawa uang hasil penjualan itu untuk berbelanja keperluan bumbu-bumbu masakan dan bahan-bahan makanan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan agar semua orang minggir dan memberi jalan kepada seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut sekali.

   Mukanya buruk hitam dan kulitnya tebal dengan mata lebar bundar yang memandang penuh keangkuhan. Dia berjalan dengan dada dibusungkan, akan tetapi karena perutnya yang luar biasa gendutnya, yang makin membusung adalah perutnya itu. Pakaiannya indah dan gagah, pakaian seorang perwira dengan pedang besar panjang tergantung di pinggang kiri. Kepalanya terhias topi perwira Mancu yang memakai hiasan bulu. Dengan langkah dibuat-buat perwira yang bukan lain adalah Bong-ciangkun ini menoleh ke kanan kiri, sikapnya sombong sekali ketika dia memandangi orang-orang di dalam pasar. Sudah diketahui umum bahwa kaum wanita amat lemah terhadap harta, kedudukan dan nama kehormatan. Oleh karena itu, biar melihat bentuk perut dan mukanya laki-laki yang bernama Bong-ciangkun ini sama sekali tidak dapat dibilang ganteng atau menarik,

   Namun kedudukannya, pangkatnya, pakaiannya yang gagah, kehormatannya dan hartanya tentu sekali membuat banyak wanita di pasar itu berlumba untuk bergaya dan menarik hati sang perwira dengan berbagai gaya. Ada yang suaranya tiba-tiba saja meninggi dan nyaring, ada yang tiba-tiba menjadi genit sekali, terkekeh, ada yang matanya lalu menjadi lincah mengerling tajam, ada yang senyum-senyum manis, ada pula yang memperbaiki letak rambut dan merapikan pakaian. Akan tetapi, Bong-ciangkun hanya mengangkat hidung memandang rendah. Empat orang perajurit pengawal yang berada di depan perwira itu untuk membuka jalan bersikap kasar sekali. Ada beberapa orang laki-laki yang memukul keranjang, karena kurang cekatan menyingkir, ditendang keranjangnya sehingga isinya berantakan.

   "Minggir! Minggir! Komandan kami akan lewat!"

   Demikian mereka membentak-bentak. Pada saat mereka tiba dekat dengan Gu Hong Beng dan ibunya yang sedang berbelanja, empat orang pengawal itu membentak-bentak dan mendorong-dorong. Seorang kakek tua kena dorong dan terhuyung menabrak ibu Hong Beng. Wanita ini menahan jerit, terjatuh dan kacang yang dibelinya dan dipondongnya tadi terlepas, bungkusannya pecah dan kacang itupun berserakan di atas tanah.

   "Ahhh kacangku....!"

   Ibu muda ini cepat berjongkok dan mengumpulkan kacang yang tumpah-tumpah itu. Tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan ia ditarik dengan lembut ke atas. Nyonya itu ter-paksa bangkit dan menoleh. Terkejutlah ia ketika melihat bahwa yang menariknya itu adalah seorang laki-laki tinggi besar berpakaian perwira yang kelihatannya galak dan bengis. Akan tetapi pada saat itu, laki-laki tinggi besar yang bukan lain adalah Bong-ciangkun itu menyeringai, maksudnya untuk tersenyum manis akan tetapi hasilnya sama sekali tidak manis bahkan menyeringai menakutkan.

   "Nyonya yang manis, harap jangan kaget dan takut. Maafkan pengawalku bersikap kasar sehingga kacangmu tumpah. Marilah engkau ikut denganku, nyonya, dan aku akan mengganti kerugianmu sepuluh kali lipat."

   Tentu saja wajah wanita itu menjadi merah sekali. Ia pernah mendengar tentang perwira yang bernama Bong-ciangkun ini dan jantungnya berdebar tegang dan takut. Ia lalu menggandeng tangan Hong Beng dan berkata kepada anaknya itu,

   "Hong Beng, mari kita pulang tanpa menoleh ia menggandeng dan menarik tangan anaknya untuk diajak pergi. Akan tetapi kembali lengannya dipegang orang dan kini pegangannya itu agak keras membuat ia merasa nyeri.

   "Nyonya, aku adalah Bong-ciangkun. Jangan takut, aku suka sekali padamu. Engkau manis, mari ikut denganku sebentar. Engkau akan senang, marilah.. Bong-ciangkun menarik lengan itu dan senyumnya melebar, matanya yang besar bundar itu berkedip-kedip penuh kegenitan dan kekurangajaran. Nyonya Gu Hok menarik dan merenggutkan tengannya sampai terlepas dari pegangan perwira itu.

   "Tidak, biarkan kami pulang....!"

   Katanya lirih.

   "Ah, itu anakmukah, nyonya? Ajaklah dia, aku akan menjamu kalian dengan hidangan yang lezat. Marilah, dan nanti pulangnya akan kuantar dengan kereta."

   Kembali Bong-ciangkun membujuk dengan sikap ramah

   "Tidak...., terima kasih, ciangkun, akan tetapi kami mau pulang, sudah siang...."

   "Marilah, nyonya. Apakah engkau akan menolak uluran tangan dan undanganku?"

   Kembali perwira itu memegang lengan wanita yang tidak mampu melepaskan tanyannya lagi.

   "Lepaskan ibuku....!"

   Tiba-tiba Hong Beng berseru dan dia membantu ibunya menarik tangannya dari pegangan perwira itu. Kalau sang perwira menghendaki, tentu mereka berdua tidak mampu melepaskan tangan itu, akan tetapi melihat betapa banyaknya orang di pasar menyaksikan peristiwa itu, dia terpaksa melepaskan pegangannya. Mukanya menjadi semakin hitam. Dia merasa malu sekali! Ada wanita berani menolaknya! Bahkan terang-terangan didepan begitu hanyak orang. Dia tentu akan menjadi bahan tertawaan orang sepasar! Dan kalau dia bertindak di situ juga, dia merasa malu karena banyak orang menyaksikan dan bagaimanapun dia adalah seorang pembesar, komandan pasakan keamanan.

   Maka, dengan uring-uringan dia lalu mengajak para pengawalnya keluar dari pasar dan terus pulang. Setibanya di rumah, Bong-ciangkun menjadi semakin penasaran ketika mendengar bahwa nyonya manis tadi adalah isteri tukang kayu Gu Hok. Hanya isteri tukang kayu! Dan berani menolaknya! Padahal, isteri orang orang yang lebih kaya dan lebih tinggi kedudukannya sekalipun akan masuk ke dalam pelukannya dengan suka rela! Dia lalu menghubungi Coa Pit hiu, kepala penjahat yang menguasai dunia hitam di daerah Siang-nam. Setelah mengadakan pertemuan dan menceritakan perasaan hatinya yang tergila-gila kepada isteri Gu Hok dan merasa penasaran karena ditolak mentah-mentah oleh wanita itu di tengah pasar sehingga diketahui banyak orang, Coa Pit Hu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Pria berusia empat puluhan yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit, hidungnya lebar dan pesek.

   "Untuk urusan kecil seperti itu, kenapa ciangkun menjadi marah-marah? Kalau pada waktu kemarin itu ciangkun menyuruh pengawal menangkapnya dan menyeretnya ke sini, siapa yang akan melarang dan siapa berani menghalangi tindakan ciangkun?"

   "Ah, enak saja! Di depan begitu banyak orang, bagaimana aku bisa melakukan hal itu? Tentu tidak enak dan tidak baik. Sekarang, bantulah aku bagaimana baiknya agar aku dapat menebus rasa malu itu. Wanita itu menarik sekali, kaupun tentu akan setuju kalau sudah melihatnya!"

   "Ha-ha, bunga simpanan dalam taman yang dipelihara tentu saja cantik menarik. Jangan khawatir, sekarangpun aku dapat menculiknya, kalau suaminya ribut-ribut akan kubunuh saja!"

   "Jangan!"

   Bong-ciangkun mencegah.

   "Peristiwa di pasar itu telah diketahui banyak orang. Kalau sekarang isterinya diculik, tentu semua orang akan menuduh aku. Sebaliknya diambil jalan halus agar wanita itu mau datang ke sini dengan suka rela, dan akan lebih menyenangkan lagi kalau ia mau melayani aku dengan suka rela. Aku sudah bosan dengan cara paksaan dan perkosaan."

   "Beres!"

   Kepala penjahat itu membual.

   "Ciangkun katakan tadi bahwa wanita itu mempunyai seorang anak laki-laki? Nah, anak buahku akan menculik anak itu, kemudian kami akan minta kepada ibu anak itu datang sendiri menjemput anaknya ke sini. Nah, bukankah dengan ditangkapnya anak itu, si ibu akan dengan suka rela melayani segala hasrat ciangkun? Ha-ha-ha!"

   Komandan itu tertawa bergelak dengan hati senang, sampai perutnya bergoyang-goyang naik turun dan ke kanan kiri.

   "Bagus, bagus! Laksana-kanlah dan hadiah-hadiahnya sudah menanti untuk anak buahmu."

   "Aih, kenapa ciangkun berkata demikian? Biarlah wanita itu merupakan hadiah dari kami untuk ciangkun! Malam ini juga ia tentu akan datang menyembah-nyembah kaki ciangkun dan minta diajak tidur. Sebagai tebusan nyawa anaknya, ha-ha-ha!"

   Mereka berdua tertawa-tawa dan Coa Pit Hu, kepala penjahat itu, segera berpamit untuk mempersiapkan rencananya. Siang hari itu, Cu Hak dan isterinya menjadi gelisah sekali ketika mendengar dari beberapa orang anak tetangga bahwa Hong Beng yang sedang bermain-main dengan mereka, tiba-tiba ditangkap oleh empat orang laki-laki yang tidak dikenal, mulutnya disumbat dan dibawa lari oleh mereka!

   "Hong Beng diculik penjahat!"

   Demikian Gu Hok berpendapat dengan muka pucat, merasa heran sekali.

   "Mengapa? Kita adalah keluarga miskin, perlu apa orang menculik anak kita?"

   Isterinya juga merasa khawatir sekali dan sedikitpun tidak menghubungkan diculiknya anaknya itu dengan peristiwa pagi tadi di dalam pasar. Ia tidak menceritakan peristiwa itu kepada suaminya karena merasa tidak enak, takut suaminya akan marah dan ia tahu bahwa mereka tidak mampu berbuat sesuatu terhadap kekurangajaran seorang perwira seperti Bong-ciangkun.

   "Apa yang harus kita lakukan? Ke mana kita harus mencari anak kita?"

   Dengan wajah pucat ibu yang kehilangan anaknya itu mengeluh. Selagi ayah dan ibu ini kebingungan, seorang petani yang menjadi tetangga mereka tergopoh datang memberi tahu bahwa selagi bekerja di ladang, dia didampingi seorang laki-laki tinggi kurus bermata sipit yang mengatakan bahwa kalau keluarga Gu Hok menghendaki anaknya kembali dengan selamat, mereka harus menyediakan uang tebusan seratus tail perak dan yang mengantar uang itu untuk menebus anaknya haruslah ibu anak itu sendiri. Tidak boleh dikawali orang dan tidak boleh diantarkan orang lain atau ditemani orang lain. Kalau melanggar, anak itu akan dibunuh! Uang itu harus diantar malam nanti di tanah kuburan yang berada di tepi kota, tempat yang amat sunyi! Tentu saja suami isteri itu menjadi kebingungan.

   "Celaka!"

   Kata Gu Hok.

   "Orang miskin seperti kita mana mampu menyediakan uang seratus tail perak?"

   Akan tetapi sambil menangis isterinya membujuk-bujuknya agar mengumpulkan uang dari manapun juga.

   "Biarpun tidak cukup seratus tail, cari dan kumpulkanlah uang itu, aku akan memohon kepada mereka agar suka meringankan beban itu, dan kalau anak kita sudah dikembalikan, biarlah kita cari kekurangan itu sedapat kita."

   Karena khawatir akan keselamatan anaknya. Gu Hok lalu mencari pinjaman ke sana-sini dan akhirnya dia dapat mengumpulkan uang sebanyak dua puluh tail perak. Isterinya, lalu membungkus uang itu dengan kain dan segera pergi meninggalkan rumah. Suaminya khawatir dan hendak menemaninya, akan tetapi isterinya melarang dengan keras.

   "Suamiku, anak kita terancam nyawanya, jangan main-main,"

   Katanya.

   "Bukankah mereka itu hanya menginginkan aku sendiri yang mengantarkan uang? Tentu mereka curiga, takut kalau engkau membawa kawan-kawan dan menggerebek. Biarlah aku yang mengantarkan dan aku akan mohon kasihan kepada mereka."

   "Tapi, apakah tidak berbahaya kalau engkau pergi sendiri? Malam-malam begini ke kuburan yang begitu sunyi?"

   Suaminya meragu.

   "Jangankan ke kuburan, biar ke neraka aku bersedia kalau untuk menyelamatkan anakku!"

   Terpaksa Gu Hok membiarkan isterinya pergi sendiri dan dia menanti di rumah dengan hati tidak karuan rasanya. Melarang isterinya pergi, berarti dia menaruh nyawa anak tunggalnya dalam bahaya, sedangkan membiarkan isterinya pergi, membuat hatinya merasa khawatir dan tidak enak sekali.

   Juga dia tidak berani secara diam-diam membayangi isterinya karena dia mengerti bahwa penjahat-penjahat itu amat berbahaya dan tentu akan tahu kalau dia mengintai. Hal ini bukan hanya dapat membahayakan keselamatan anaknya yang berada dalam cengkeraman penjahat, melainkan juga membahayakan isterinya karena mereka merasa dikhianati. Dengan perasaan serem ketika memasuki kuburan yang gelap itu, nyonya Gu Hok memberanikan hatinya demi anaknya, dan ia menoleh ke kanan kiri di tempat yang amat sunyi itu. Tiba-tiba ia terkejut dan hampir menjerit ketika tiba-tiba muncul sesosok bayangan orang tinggi kurus dari belakang sebuah batu kuburan. Kalau saja ia tidak tahu sebelumnya bahwa tentu ada orangnya gerombolan penjahat yang menyambutnya, tentu ia sudah menjerit ketakutan dan menyangka setan.

   "Apakah engkau nyonya Gu Hok?"

   Tanya laki-laki tinggi kurus itu.

   "Be.... benar.... aku ibu dari anakku Hong Beng.... aku.... aku mohon kepadamu, di mana anakku?"

   "Engkau datang sendirian saja?"

   Tanya suara itu dengan galak.

   "Benar...."

   "Membawa uang itu?"

   "Ampunkan aku kami tidak mampu mengumpulkan uang seratus tail dan hanya berhasil terkumpul dua puluh tail saja...."

   "Hemm, mana bisa....?"

   Tiba-tiba wanita itu menjatuhkan dirinya berlutut.

   "Ampunkan kami, ampunkan anak kami, aku mohon kepadamu, bebaskanlah anakku dan aku berjanji bahwa kekurangannya kuanggap hutang dan kelak akan kubayar dengan cicilan...."

   "Wah, mana bisa?"

   "Aku mohon kepadamu, kasihanilah kami...."

   "Begini, nyonya. Kalau pembayarannya kurang, aku tidak dapat memutuskan. Engkau harus minta sendiri kepada pimpinan kami."

   "Mana dia? Aku akan mohon kepadanya, dan mana anakku?"

   "Anakmu dalam keadaan sehat, bersama pimpinan kami. Mari kita ke sana dan kau boleh bicara sendiri dengan dia dan mengambil anakmu."

   Tentu saja nyonya itu merasa girang sekali dan dengan penuh harapan disertai kecemasan, iapun mengikuti laki-laki tinggi kurus itu pergi ke sebuah rumah yang agak terpencil,

   Sebuah rumah pondok kecil. Ia terus mengikuti ketika laki-laki tinggi kurus itu memasuki rumah dari pintu belakang dan hatinya gentar bukan main melihat belasan orang laki-laki yang bersenjata tajam berada di sekitar rumah pondok itu. Setahunya, pondok ini adalah rumah milik pembesar yang jarang dipakai, dan ia tidak mengerti mengapa ia dibawa ke pondok milik pembesar. Dan ketika ia bersama orang tinggi kurus itu memasuki sebuah kamar yang besar, dan penerangan yang besar menerangi seluruh kamar itu, membuat ia dengan jelas dapat melihat laki-laki tinggi besar yang duduk di situ sambil menyeringai, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Laki-laki itu bukan lain adalah Bong-ciangkun, laki-laki muka hitam berperut gendut yang matanya besar itu, yang pagi tadi mengganggunya di tengah pasar!

   "Ibuuu...."

   "Hong Beng, anakku....!"

   Ibu itu berteriak girang melihat anaknya berada pula di sudut kamar. Akan tetapi ketika ia hendak lari menghampiri, pergelangan tangannya dicengkeram oleh si tinggi kurus.

   "Jangan bergerak....!"

   "Ibu....!"

   Hong Beng meloncat dan berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dan si tinggi kurus tidak mampu mencegah ibu dan anak itu saling rangkul. Wanita itu berlutut dan berangkulan dengan anaknya, si ibu menangis akan tetapi Hong Beng tidak menangis, melainkan memandang ke arah si tinggi kurus dan perwira brewokan itu dengan sirar mata berapi-api.

   "Kalian telah meculikku, sekarang membawa ibuku ke sini. Sebetulnya kalian ini orang-orang jahat mau apakah?"

   Tadi ketika ibunya belum dibawa ke situ, Hong Beng memperlihatkan sikap takut-takut, akan tetapi kini melihat ibunya juga diculik, kemarahannya meluap dan dia melupakan rasa takutnya.

   "Plakkk...."

   Sebuah tamparan dari si tinggi kurus membuat Hong Beng terpelanting dan ibunya menjerit.

   "Anak lancang, apa kau bosan hidup?"

   Si tinggi kurus membentak anak yang kini merangkak bangun dengan pipi kiri merah membiru dan agak membengkak itu. Akan tetapi sebelum anak itu dapat bergerak, si tinggi kurus sudah meloncat dan sekali pegang sudah mencengkeram tengkuk anak itu sehingga tidak mampu bergerak lagi.

   "Jangan.... jangan pukul anakku.... ah, jangan bunuh anakku.... ini, tai-ciangkun, aku sudah membawa uangnya, tetapi kurang.... kami hanya mampu mengumpulkan dua puluh tail saja.... ampunkanlah kami dan anakku, kekurangannya akan kucicil...."

   Wanita itu bicara dengan air mata bercucuran dan mengeluarkan buntalan berisi uang dua puluh tail perak. Ia berlutut di depan kaki perwira Bong yang tersenyum menyeringai karena setelah berdekatan, ternyatalah olehnya bahwa wanita ini memang mulus dan manis sekali.

   "Nyonya, kalau saja sikapmu di pasar tadi tidak kasar dan lunak seperti sekarang ini, tentu aku tidak perlu membawa anakmu ke sini. Sekarang, bagaima-na? Engkau pilih anakmu mati di depanmu ataukah melayani aku dan menyenangkan hatiku?"

   Perwira brewok itu mengajukan pertanyaan ini tanpa malu-malu, di depan Hong Beng yang belum mengerti apa yang dimaksudkan laki-laki buruk rupa itu dan didepan si tinggi kurus Coa Pit Hu yang hanya menyeringai. Kedua lengan Hong Beng masih ditelikungnya ke belakang sehingga anak ini tidak mampu meronta. Dapat dibayangkan betapa kaget, takut dan bingungnya hati ibu Hong Beng mendengar ucapan itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa ke situlah tujuan perwira ini menculik anaknya, yaitu untuk memaksanya melayani perjinaan dengan penwira itu. Tentu saja ia tidak sudi! Akan tetapi melihat puteranya dalam cengkeraman si tinggi kurus, ia tidak berani menolak secara kasar dan hendak mencari jalan lain.

   "Tai-ciangkun, ampunkanlah aku, ampunkan anakku...."

   Ia berlutut sambil menangis.

   "Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk memenuhi tuntutan seratus tail itu.... asal anakku dibebaskan.... aku mau bekerja keras, aku mau melakukan apa saja demi keselamataan anakku.... akan tetapi.... jangan itu...."

   "Setan!"

   Si perwira brewok membentak. Hatinya tersinggung sekali, harga dirinya runtuh mendengar ada wanita berani menolaknya mentah-mentah.

   "Coa-sicu, bunuh anak itu sekarang juga di depan matanya!"

   Si perwira brewok mengedipkan matanya dan Coa Pit Hu terkekeh, lalu meloloskan, sebatang golok besar yang tajam mengkilat. Golok itu ditempelkannya ke leher Hong Beng. Melihat ini, tentu saja ibu anak itu menjadi pucat, matanya terbelalak lebar dan saking takutnya ia hanya menggeleng-geleng kepalanya dan memegang lehernya sendiri seolah-olah ia dapat merasakan bagaimana leher anaknya itu dipenggal.

   "Tidak.... tidak.... jangan....!"

   "Mau kau melayaniku?"

   Kembali perwira itu. membentak dengan senyum mengejek. Ibu muda itu mengang-guk-angguk, akan tetapi, matanya masih terus memandang anaknya sambil bercucuran air mata. Ia tidak mampu mengeluarkan suara, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tidak dapat memilih lain. Yang terpenting baginya adalah keselamatan anak tunggalnya. Biar harus mengorbankan nyawa sekalipun ia rela asal anaknya selamat.

   "Ha-ha-ha!"

   Perwira itu tertawa penuh kemenangan.

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 7 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 14 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 12

Cari Blog Ini