Suling Emas Naga Siluman 42
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 42
"Teecu mentaati perintah Suhu."
"Untuk menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan sulingnya
(Lanjut ke Jilid 39)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 39
sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk latihan itu. Pertandingan ini hanya merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu cukuplah,"
Kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira bukan main.
Kakek yang menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat mewarisi ilmu-ilmunya, maka kini memperoleh kesempatan mencoba tingkat kepandaian muridnya, tentu saja dia merasa gembira. Apalagi dia tadi sudah menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia merasa kagum kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik jelita itu. Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya serasi benar. Pemuda itu bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan dikuasai oleh rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai pula, menjadi seorang di antara korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng. Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang wanita cantik, kini menjadi selir Kaisar!
Dalam keadaan menderita batin, karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai murid oleh Ketua Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmuilmu yang tinggi dari gurunya, melainkan juga menerima petunjuk-petunjuk sehingga cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya. Memang di lubuk hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan disebabkan oleh keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu. Seperti yang terdapat dalam batin aetiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu itu, Cia Han Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan tenaganya demi kebebasan tanah air dan bangsanya dari-pada penjajahan bangsa Mancu.
Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan keluarga ayahnya yang tertimpa malapetaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biarpun api dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu bersikap pendiam dan selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam hidupnya. Mendengar ucapan suhunya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia meng-hampiri rak senjata di mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia mengambil sebatang pedang kayu yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu, dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura seperti sikap seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata,
"Nona, silakan....!"
Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia itu. Diam-diam Ci Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini terjadi kebalikannya. Pemuda itu malah disuruh mempergunakan sebatang pedang kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan senjata pusaka yang ampuh sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu!
Tentu saja hal ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali. Akan tetapi, karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa ia benar ahli waris Suling Emas ia harus memainkan suling itu, maka ia mengambil keputusan untuk mengalahkan pemuda itu secepat mungkin! Maka tanpa banyak cakap lagi ia pun meloncat ke depan pemuda itu. Kini mereka berhadapan. Pemuda itu memasang kuda-kuda, gerakannya lambat dan gagah ketika ia mengangkat kaki kirinya ke atas, menempel di lutut kanan, tangan kiri miring di depan dada dan pedang kayu itu ditudingkan ke atas, gagangnya menempel dahi. Melihat pasangan kuda-kuda yang memang indah dan gagah ini, Ci Sian menyebirkan bibirnya. Huh, aksinya, ia mengejek dalam hati dan tiba-tiba ia berseru,.
"Lihat serangan!"
Dan tanpa banyak lagak lagi ia pun sudah menyerang dan menggerakkan sulingnya, menusuk ke tenggorokan lawan dan suling yang digerakkannya itu mengeluarkan bunyi seperti ditiup. Han Beng merobah kedudukan tubuhnya, tangannya bergerak dan pedang kayunya menangkis. Dari gerakan suling yang berkelebat dan membentuk sinar menyilaukan mata itu dan dari suara melengking yang keluar dari suling itu, dia tahu bahwa dara itu mempergunakan tenaga khi-kang yang amat kuat, maka ketika menangkis, dia pun telah mengerahkan sin-kang pada pedang kayunya, dan memang keduanya sengaja hendak mengukur tenaga masing-masing dalam benturan senjata yang pertama itu.
"Tringggg....!"
Suara emas terpukul kayu dengan kerasnya menimbulkan suara berdencing nyaring dan keduanya terkejut sekali ketika betapa seluruh lengan mereka tergetar hebat, membuat keduanya cepat melangkah ke belakang untuk mengatur kedudukan tubuh masing-masing. Mereka sejenak berdiri saling pandang, seperti dua ekor ayam jago yang sedang berlagak, seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing melalui pandang mata. Keduanya memandang kagum. Han Beng tak pernah menyangka bahwa seorang dara muda seperti itu dapat memiliki tenaga yang demikian kuatnya,
Juga sebaliknya Ci Sian tidak mengira bahwa pemuda pendiam yang dianggapnya sombong ini ternyata bertenaga dahsyat pula. Sementara itu, dua orang tokoh besar Kun-lun-pai yang melihat pertemuan dua tenaga dahsyat itu memandang dengan wajah berseri. Memang setanding, pikir mereka. Akan tetapi Ci Sian yang berwatak panas itu, merasa penasaran sekali. Ia segera mengeluarkan seruan nyaring dan sulingnya sudah digerakkan, lenyap bentuknya berubah menjadi segulungan sinar yang melengking-lengking dengan nada suara naik turun seperti ditiup dengan mulut saja! Juga gulungan sinar kuning emas itu menyilaukan mata, mendatangkan angin menyambar dahsyat sekali. Han Beng terkejut dan pemuda itu pun cepat memutar pedang kayunya dengan pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya.
Nampaklah sinar kehijauan dan juga pedang kayu itu mendatangkan angin yang kuat. Ci Sian mulai menyerang, gerakannya aneh dan amat cepat, juga dahsyat sekali, sukar diduga ke mana suling itu akan menyerang. Han Beng berusaha mengimbangi, namun pemuda yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi-tinggi dari Kun-lun-pai ini diam-diam terkejut karena sekali ini dia benar-benar menjadi sibuk sekali menghadapi serangan-serangan yang demikian aneh dan cepatnya. Bukan hanya pemuda ini, bahkan Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu juga memandang dengan mata terbelalak dan mulut mereka mengeluarkan seruan-seruan kagum dan heran. Belum pernah selama hidup mereka yang telah menjelajahi dunia kang-ouw ini mereka menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling sehebat ini!
Bukan hanya tusukan-tusukan suling itu yang merupakan totokan-totokan indah dan berbahaya sekali, juga bacokan gerakan pedang yang dirobah menjadi pukulan-pukulan suling itu, amat kuatnya, ditambah lagi suara melengking-lengking yang membikin bingung lawan karena suara ini menyembunyikan desir senjata yang biasanya dapat dikenal dan ditangkap telinga sehingga mudah diikuti gerakannya. Han Beng cepat mainkan Kun-lun Kiam-sut (ilmu Pedang Kun-lun) yang menjadi andalan para pendekar Kun-lun-pai, dan pemuda yang cerdik ini pun mengerahkan seluruh gerakannya kepada daya tahan untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, barulah dia terhindar dari sambaran sinar kuning emas itu, walaupun tetap saja dia terdesak hebat karena sukar baginya untuk balas menyerang. Sekali dia berani balas menyerang, berarti daya tahannya berkurang dan hal ini amat berbahaya karena desakan suling itu benar-benar amat hebat! Thian Heng Tosu menarik napas panjang beberapa kali.
"Ah, kita ini seperti katak dalam tempurung saja!"
Katanya kepada sutenya.
"Lihat, beberapa tahun saja kita tidak keluar, di dunia telah muncul ilmu pedang yang dimainkan suling sedemikian hebatnya."
"Akan tetapi, Suheng, saya mendengar bahwa ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pendekar Suling Emas biarpun hebat, akan tetapi rasanya menurut berita yang kudengar, tidak ada yang seperti ini.... kabarnya yang paling hebat adalah Hong-in Bun-hoat, akan tetapi ini...."
"Hemm, kalau Han Beng lebih unggul dalam hal sin-kang, agaknya dia akan dapat mengatasi kedahsyatan ilmu suling itu. Akan tetapi tenaga mereka agak seimbang. Kita sendiri pun, tanpa mengandalkan sin-kang, kiranya akan sukar mengalahkan ilmu suling itu...."
Kata pula Ketua Kun-lun-pai.
"Nampaknya ilmu yang kuno sekali, akan tetapi mengandung kemujijatan...."
"Dan lihat, bukankah ilmu sin-kang dara itu pun luar biasa hebatnya? Melihat kerepotan Han Beng ketika mengadu tenaga, agaknya Nona itu memiliki sin-kang yang sama anehnya dengan ilmu sulingnya."
Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Thian Kong Tosu. Ketika ia sudah mendesak lawannya dengan mati-matian namun pemuda itu dengan per-tahanannya yang kokoh kuat seperti benteng baja dapat menutup diri sehingga semua serangannya gagal, Ci Sian menjadi semakin penasaran.
Ia tidak mau mempergunakan khi-kang dan mengalahkan lawan dengan tiupan suling, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan dan menurut pesan suhengnya, ia tidak boleh sembarangan mengeluarkannya kalau tidak terpaksa benar. Maka, ia lalu mengerahkan tenaga sin-kang yang baru saja dilatihnya dari Suma Kian Bu, dan kini serangan-serangannya itu mengandung penggabungan dua tenaga yang berlawanan, sebentar panas sebentar dingin sekali. Dan Han Beng yang merasakan hawa panas dan dingin silih berganti ini me-ialui pedang kayu yang dipakai untuk menangkisnya, menjadi terkejut, bingung dan terdesak semakin hebat. Akhirnya, karena kacau pertahanannya oleh tenaga yang silih berganti itu, ada lubang dalam pertahanannya dan cepat dimasuki oleh sinar suling.
"Tukk....!"
Pundaknya terkena totokan dan biarpun dia sudah miringkan tubuh sehingga totokan itu tidak tepat mengenai sasaran, namun hawa dingin itu telah menyerang masuk dan membuat Han Beng menggigil, lalu pemuda ini menjatuhkan dirinya bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan. Ci Sian yang masih merasa penasaran itu mengejar.
"Tahan....!"
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali, seperti petir menyambar dan tahu-tahu sebatang tongkat menahan suling di tangan Ci Sian. Ci Sian marah dan hendak menggerakkan suling menyerang orang ini, akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menghalangnya adalah Suma Kian Bu sendiri, mukanya berobah merah dan ia pun bersungut-sungut.
"Kenapa engkau malah membantu lawan?"
Tegurnya sambil menyimpan kembali sulingnya.
"Ci Sian, Kun-lun-pai adalah partai besar yang selamanya menjadi sahabat, jangan engkau membikin kacau di sini,"
Kata Suma Kian Bu dan segera muncul Siang In yang segera memegang lengan Ci Sian.
"Wah, kami mencari-carimu setengah mati, kiranya engkau membikin ribut di rumah orang."
Siang In merangkulnya dan lenyaplah kemarahan Ci Sian. Sementara itu, semua tosu terkejut melihat masuknya pria berambut putih riap-riapan bersama seorang wanita cantik ini. Tak seorang pun di antara mereka mengenal pria ini, akan tetapi Suma Kian Bu sudah memberi hormat dengan sikap sopan sekali kepada dua orang tosu tua pemimpin Kun-lun-pai itu.
"Mohon Locianpwe sudi memberi maaf kepada kami. Kalau saya tidak salah, Ji-wi Locianpwe adalah Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu, dua orang pimpinan Kun-lun-pai, benarkah?"
Thian Heng Tosu hanya mengangguk, dan sekarang, seperti biasa, Thian Kong Tosu yang mewakili suhengnya menyambut tamu.
"Penglihatan Sicu memang tepat sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, siapakah Sicu dan apakah maksud kunjungan Sicu tiba-tiba ini dan apa hubungan sicu dengan Bu-siocia?"
"Nama saya Suma Kian Bu...."
"Siancai....! She Suma? Apa hubungannya dengan Suma-taihiap, Suma Han Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es yang namanya terkenal di seluruh kolong jagat itu?"
Kata Thian Kong Tosu, sedangkan suhengnya juga memandang tajam penuh selidik kepada Kian Bu.
"Beliau adalah ayah kandung saya."
"Ah, sungguh hebat peristiwa yang terjadi hari ini!"
Tiba-tiba Thian Heng Tosu berkata,
"Agaknya memang sudah digariskan bahwa kita akan memperoleh bantuan Suma-taihiap, mari kita duduk di dalam dan bicara. Nona Bu, kami mengaku bahwa muridku telah kalah olehmu. Setelah ternyata bahwa kita adalah orang-orang sendiri, biarlah pinto yang mintakan maaf atas kesalahan murid-murid kami kepadamu."
Tidak enak juga rasa hati Ci Sian melihat betapa Ketua Kun-lun-pai sendiri sampai minta maaf kepadanya.
"Ahh, Locianpwe, sesungguhnya sayalah yang terburu nafsu, saya yang minta maaf kepadamu,"
Jawabnya. Kini pemuda murid Ketua Kun-lun-pai itu menjura ke arah Ci Sian dan pandang mata serta suaranya penuh kejujuran dan kekaguman ketika dia berkata,
"Bu-siocia, saya mengaku kalah padamu."
"Ah, dengan mempergunakan pedang kayu, berarti engkau telah mengalah,"
Jawab Ci Sian, merasa tidak enak terhadap Suma Kian Bu dan Siang In yang melihat betapa ia yang datang mengacau Kun-lun-pai, malah dipuji-puji orang. Ketua Kun-lun-pai yang nampak berseri wajahnya itu, bersama sutenya, mengajak tiga orang tamunya menuju ke ruangan dalam, diikuti pula oleh Han Beng. Hanya enam orang itulah yang memasuki ruangan ini, sedangkan murid-murid lain tidak ada yang diajak masuk. Setelah mengambil tempat duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar, Thian Kong Tosu berkata sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Ah, kiranya yang membunuh ular itu adalah pendekar dari Pulau Es! Pantaslah kalau demikian dan kami tidak merasa penasaran lagi."
"Kami melakukan perjalanan dan mendengar bahwa ada ular hijau yang sudah banyak menjatuhkan korban. Ketika kami melihat dusun yang setiap tahun menyerahkan korban manusia hidup-hidup kepada ular yang mereka dewa-dewakan, kami mengambil keputusan untuk membasminya. Ular itu sungguh berbahaya sekali dan hanya karena nasib sajalah kami berhasil membunuhnya,"
Kata Kian Bu, lalu disambungnya,
"Dan sekiranya Nona Ci Sian ini yang menjadi sahabat seperjalanan kami melakukan sesuatu pelanggaran terhadap Kun-lun-pai, biarlah Locianpwe memandang muka kami untuk memaafkannya."
"Ah, sama sekali tidak! Hanya terjadi kesalahpahaman saja!"
Kata wakil ketua itu.
"Dua orang murid Kun-lun-pai kami utus untuk menyelidiki tentang berita dibunuhnya ular. Mereka bertemu dengan Nona Bu dan terjadi kesalahpahaman sehingga Nona Bu memberi hajaran kepada mereka, bahkan lalu mengejar sampai ke Kun-lun-pai. Mata kami yang tua terbuka menyaksikan ilmu yang luar biasa dari Nona Bu!"
"Ah, Locianpwe harap jangan terlalu memuji, membuat saya merasa malu saja,"
Ci Sian berkata dan memang wajahnya menjadi merah karena malu terhadap Pendekar Siluman Kecil. Kian Bu tersenyum.
"Sudahlah, baik sekali engkau bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai yang bijaksana, kalau dengan golongan lain tentu berakibat tidak enak."
"Suma-taihiap, setelah Taihiap datang, harap kami diperkenalkan dengan Lihiap ini...., menurut berita, Taihiap datang bersama isteri Taihiap...."
Kata pula Thian Kong Tosu.
"Benar, ia adalah isteri saya, Locianpwe,"
Kata pendekar itu dan Siang In lalu memberi hormat sambil tersenyum manis. Ci Sian melihat betapa wajah isteri pendekar itu kini semakin cantik saja, seperti ada sinar yang segar berseri dan wajahnya yang manis.
"Sungguh satu kehormatan besar menerima Sam-wi yang gagah perkasa sebagai tamu,"
Tiba-tiba Ketua Kun-lunpai berkata.
"Dan sungguh kebetulan sekali karena kami sedang menghadapi suatu urusan yang amat penting dan besar, yang tentu akan menarik juga perhatian Sam-wi."
"Urusan apakah itu, Locianpwe?"
Tanya Kian Bu.
"Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat baik kami dari kota Pao-ci di Shen-si datang dan membawa berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Pangeran Mahkota Kian Liong telah lenyap!"
Tentu saja Kian Bu terkejut sekali mendengar ini.
"Lenyap? Bagaimana bisa Lenyap!"
"Seperti biasa, Pangeran Kian Liong melakukan perjalanan merantau sendirian dan seperti biasa pula, diam-diam banyak pendekar yang membayanginya dan melindunginya secara diam-diam karena kalau dilihat atau diketahui oleh Sang Pangeran, beliau tentu akan merasa tidak senang. Dan pada suatu hari, setelah Sang Pangeran memasuki sebuah kuil, beliau Lenyap tanpa meninggalkan jejak!"
"Hemm, lalu bagaimana, Locianpwe?"
Tanya Kian Bu, tertarik, akan tetapi merasa bahwa hal itu tidak ada sangkutannya dengan dia.
"Tentu saja menjadi geger, walaupun tidak ada yang berani menceritakan hal ini secara terang-terangan. Hanya menjadi desas-desus dan berita angin di dunia kang-ouw saja bahwa para pendekar kini seperti berlumba mencari pangeran. Timbul kekhawatiran besar bahwa para pendukung dan bekas anak buah mendiang Sam-thaihouw yang melakukan penculikan dan dikhawatirkan keselamatan Sang Pangeran."
"Ah, sudah lama sekali saya tidak pernah mendengar tentang keluarga istana...., apakah yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw, Locianpwe?"
Tentu saja Kian Bu mengenal siapa adanya nenek yang berpengaruh itu, karena sesungguhnya, menurut kakak kandungnya, yaitu Puteri Milana, nenek yang amat berpengaruh terhadap Kaisar itu membencinya, bahkan membenci seluruh keluarga Pulau Es! Ketua Kun-lun-pai itu memandang tajam, akan tetapi sutenya yang mengajukan pertanyaan kepada Kian Bu,
"Harap Suma-taihiap suka memaafkan pertanyaan pinto. Akan tetapi.... bukankah Taihiap masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Kaisar? Kalau tidak salah, ibu kandung Taihiap adalah Puteri Nirahai yang amat terkenal...."
Kian Bu menggerakkan tangannya dengan tidak sabar.
"Ah, itu sih dahulu, harap Locianpwe jangan sebut-sebut lagi. Kami sekarang adalah keluarga Pulau Es, bukan lagi keluarga istana. Apa yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw?"
"Taihiap belum mendengar berita yang menggemparkan itu? Semua orang telah mendengarnya!"
Lalu Thian Kong Tosu menceritakan tentang kematian Sam-thaihouw yang menurut desas-desus adalah karena rahasianya diketahui Kaisar bahwa sesungguhnya Sam-thaihouw merupakan seorang berbahaya yang selain mempengaruhi Kaisar dan seluruh Istana, juga mengumpulkan tokoh-tokoh dunia sesat. Mendengar berita ini, diam-diam Kian Bu merasa bersyukur dalam hati. Terbebaslah kini Kaisar dari pengaruh yang amat jahat.
"Akan tetapi, para pengikut dan kaki tangan Sam-thaihouw masih berkeliaran!"
Tosu itu menyambung.
"Terutama sekali Im-kan Ngo-ok yang tadinya menjadi kaki tangannya, juga dapat melarikan diri. Oleh karena itu, lenyapnya Pangeran ini tentu saja dihubungkan dengan kaki tangan Sam-thaihouw, siapa tahu mereka itu ingin membalas dendam karena kejatuhan Sam-thaihouw adalah karena Sang Pangeran yang membongkar rahasianya."
Kian Bu mengangguk-angguk. Cerita itu memang menarik, akan tetapi tidak cukup membangkitkan semangatnya untuk mencampuri. Ayahnya, Pendekar Super Sakti, selalu menasihatkan putera-puteranya agar jangan mencampuri urusan istana.
"Urusan istana, urusan perebutan kekuasaan, urusan pemberontakan, sesungguhnya hanyalah perebutan kedudukan dan kekuasaan, dan untuk kepentingan itu mereka menggerakkan rakyat. Rakyatlah yang disuruh maju sebagai pendobrak, sebagai senjata dan perisai, dengan dalih perjuangan demi tanah air, bangsa, dan lain-lain yang serba muluk-muluk sehingga rakyat menjadi buta, tidak tahu bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh beberapa gelintir orang yang memperebutkan kedudukan, kalau pendobrakan dan perebutan itu berhasil, beberapa gelintir orang itulah yang akan menempati kedudukan mulia dan bukan hanya mereka itu melupakan rakyat, bahkan mereka menjadi penindas-penindas yang baru terhadap rakyat. Tentu saja dalam perebutan itu, rakyat yang maju itulah yang menjadi korban, sedangkan beberapa gelintir orang itu hanya bersembunyi di dalam gedung-gedung dilindungi pasukan pengawal, siap untuk meraih hasil kemenangan kalau menang dan siap untuk melarikan diri mengungsi kalau kalah. Karena itu, jangan bodoh. Bertindaklah kalau melihat rakyat tertindas atau melihat kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau kuat terhadap si lemah, akan tetapi jangan melibatkan diri ke dalam perebutan kekuasaan di istana."
Nasihat ayahnya itu selalu menjadi pegangan Kian Bu, maka kini mendengar akan urusan yang diceritakan oleh ketua dan wakil Ketua Kun-lun-pai, dia tidak bergerak untuk ikut-ikut, walaupun dia merasa tertarik. Dia pun tahu bahwa Pangeran Kian Lioarg adalah seorang pangeran muda yang bijaksana dan menghargai orang-orang gagah, bahkan yang dicinta oleh banyak pendekar karena mereka mengharapkan kelak Pangeran ini akan menjadi seorang kaisar yang bijaksana.
"Locianpwe membicarakan urusan Pangeran dengan maksud bagaimanakah?"
Akhirnya Kian Bu bertanya secara langsung sambil memandang tajam. Kini Ketua Kun-lun-pai yang agak pendiam itu yang berkata,
"Mendengar akan bahaya yang mengancam diri Sang Pangeran, kami tak dapat tinggal diam saja, Suma-taihiap. Yang dapat kami andalkan hanyalah murid pinto Cia Han Beng ini. Betapapun juga, pinto masih sangsi apakah dia akan cukup mampu melaksanakan tugas seberat itu, mengingat bah-wa pihak lawan terdapat orang-orang sakti seperti Ngo-ok dan lain-lain. Maka, melihat kemunculan Sam-wi yang mempunyai kepandaian hebat, maka pinto akan merasa gembira mendengar kalau saja Sam-wi tertarik dan dapat bekerja sama dengan Han Beng untuk menyelamatkan Pangeran."
Mendengar ucapan ini, Suma Kian Bu menarik napas panjang,
"Harap Ji-wi Locianpwe suka memaafkan kami dan tidak menjadi kecewa. Hendaknya diketahui bahwa kami mempunyai urusan pribadi yang penting, yang mengharuskan kami kembali ke Pulau Es, maka kami tidak akan dapat mencampuri urusan kehilangan Sang Pangeran itu."
Melihat kekecewaan membayang di wajah Ketua Kun-lun-pai itu, Ci Sian ikut bicara,
"Akan tetapi harap, Locianpwe tidak terlalu merendahkan diri sendiri. Kulihat bahwa dia telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!"
Dia menuding ke arah Cia Han Beng yang cepat menundukkan mukanya yang berobah merah.
"Kami tidak ingin terlibat dalam urusan golongan atas!"
Kata pula Siang In.
"Siancai...., Sam-wi tentu memiliki alasan kuat sendiri maka berpendirian demikian. Maafkanlah kami yang telah berani membujuk Sam-wi."
Percakapan dilanjutkan dalam suasana yang kurang enak karena penolakan ini dan tak lama kemudian Kian Bu berpamit dan meninggalkan Kun-lun-pai bersama isterinya dan Ci Sian. Setelah mereka tiba jauh dari tembok perkampungan Kun-lun-pai itu, Ci Sian yang sejak tadi merasa penasaran bertanya,
"Mengapa kalian menolak? Bukankah kalian adalah pendekar-pendekar yang sudah sepatutnya melindungi Sang Pangeran yang terancam bahaya?"
Kian Bu dan isterinya tersenyum.
"Ci Sian, engkau tidak tahu. Memang harus kami akui bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran yang bijaksana dan dicinta oleh para pendekar. Akan tetapi kita belum tahu siapakah yang menentangnya. Kalau yang menentangnya itu orang-orang dari golongan hitam seperti Ngo-ok dan kawan-kawannya, memang sudah sepatutnyaa kalau kita turun tangan melindungi beliau. Akan tetapi, engkau pun tahu bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, dari istana Kaisar penjajah. Bagaimana kalau yang menentang itu kaum patriot yang menghendaki terbebasnya rakyat dari cengkeraman penjajah?"
Ci Sian memandang dengan mata terbelalak heran. Ia sudah amat akrab dengan Kian Bu dan isterinya, maka tidak ada lagi perasaan sungkan di dalam hatinya dan langsung saja ia berkata,
"Tapi.... tapi..... Taihiap, bukankah ibumu sendiri seorang puteri istana dan bukankah itu berarti bahwa engkau sendiri masih terhitung keluarga Kaisar?"
Kian Bu menghela napas panjang.
"Tidak salah. Ibuku seorang puteri Mancu. Akan tetapi ayahku seorang pendekar. Betapapun juga, lebih banyak darah Han mengalir di dalam tubuhku, dan betapapun juga, sebagai seorang pendekar aku tidak setuju dengan penjajahan. Maka terus terang saja, agaknya tidak mungkinlah kalau aku harus menentang para patriot."
"Tapi.... tapi...., bukankah keluarga Pulau Es terkenal sekali dalam membasmi para pemberontak? Nama-nama seperti Puteri Nirahai, dan Puteri Milana amat terkenal...."
"Engkau harus dapat membedakan antara pemberontak yang bergerak demi merebut kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, dan pemberontakan rakyat yang tertindas dan yang ingin menghalau penjajah. Kukatakan tadi, andaikata yang menentang Kaisar itu golongan hitam, tentu aku akan turun tangan membela Pangeran. Sudahlah, Ci Sian, sesungguhnya bukan itu yang mendorong kami untuk menolak tawaran Ketua Kun-lun-pai dan yang memaksa kami harus cepat pulang ke Pulau Es."
"Apakah itu....?"
Ci Sian bertanya dan tiba-tiba Siang In merangkulnya. Nyonya ini tertawa dan mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya berseri-seri. Dirangkulnya dara itu dan dibisikinya. Mendengar bisikan ini, Ci Sian terlonjak kegirangan dan ia pun merangkul leher Siang In dan mencium pipinya.
"Benarkah, Enci? Ah, kionghi...., kionghi....! Sungguh aku merasa ikut gembira sekali, Enci Siang In!"
"Terima kasih, Adikku, dan terima kasih pula atas bantuanmu ketika kami menundukkan ular naga hijau itu.... karena tanpa bantuanmu...."
"Ah, mudah-mudahan kelak puteramu gagah perkasa seperti naga, Enci!"
"Hushh....! Bagaimana kau tahu dia bakal laki-laki?"
Siang In mencela dan mereka pun tertawa gembira. Akan tetapi, kegembiraan hati Ci Sian hanya sebentar karena segera wajahnya yang cantik menjadi muram ketika Kian Bu dan Siang ln memberi tahu kepadanya bahwa hari itu juga suami isteri ini akan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pulau Es. Karena Siang In sudah mengandung, hampir dua bulan kandungannya, maka tidak baik kalau mereka terus merantau, dan Siang In harus tenang tinggal di rumah.
"Kita berpisah di sini, Ci Sian. Yang baik-baik engkau menjaga diri. Kepandaianmu sudah cukup tinggi dan kiranya engkau sudah dapat menjaga diri sendiri dengan cukup kuat, akan tetapi hanya satu hal yang harus kau ingat benar, yaitu kurangilah watak kerasmu itu,"
Demikian Kian Bu meninggalkan pesan setelah mereka tiba di dalam pondok dan suami isteri itu sudah mempersiapkan diri untuk berangkat.
Saking terharunya, Ci Sian hanya mengangguk, kemudian ketika Siang In hendak berpamit kepadanya, Ci Sian merangkul dan keduanya saling peluk sambil menangis! Aneh memang melihat dua orang wanita yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi dan kegagahan luar biasa itu kini saling rangkul sambil menangis. Betapapun juga, mereka itu adalah wanita-wanita yang tentu saja lebih halus perasaannya dibandingkan pria. Akhirnya, suami isteri itu pergi meninggalkan Ci Sian. Mereka singgah di dusun Naga Hijau untuk pamit kepada para penghuni dusun. Setelah ditinggalkan oleh dua orang itu, Ci Sian juga tidak tahan tinggal lebih lama lagi di pondok dalam hutan itu.
Ia mengemas barang-barangnya dan ia pun segera pergi dari situ tanpa pamit lagi kepada para penghuni dusun. Sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan dusun itu, menuju ke timur dan setelah senja mendatang, barulah ia menghentikan perjalanannya, beristirahat di bawah pohon besar di sebuah lereng gunung. Ketika ia duduk di bawah pohon besar itu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, merasa benar betapa ia hidup seorang diri saja di dunia ini, tiba-tiba saja rasa kesepian menyelinap di dalam hatinya dan tak dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Ci Sian menangis karena sedih, karena merasa kesepian. Ia merasa ngeri, merasa asing, merasa kehilangan dan ditinggalkan. Rasa kesepian, merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang mempedulikan, perasaan ini amat ditakuti oleh semua orang.
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perasaan ini mendatangkan iba diri dan kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka mengikatkan diri dengan sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau kita mengikatkan diri dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan merasa "tidak sendirian". Rasa ngeri membayangkan harus bersendirian inilah agaknya yang membuat kita merasa ngeri akan kematian. Bagaimana kalau kita mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan segala-galanya! Inilah yang mendatangkan kengerian, dan karena ini pula maka kita mengikatkan diri dengan segala macam agama atau kepercayaan, sebagai penghibur diri di waktu masih hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan terbebas daripada "sendirian"
Itu.
Akan tetapi, benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik jasmani maupun rohaniah, sendiri tanpa siapapun juga, mendatangkan kengerian? Siapakah itu yang merasa ngeri? Bukankah yang takut itu adalah pikiran yang membayangkan segala keadaan, mengharapkan yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita menghadapi kesunyian ini, kesepian ini, rasa bersendirian ini, menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa pendapat dan gagasan tentang kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami kesepian ini, memandangnya tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara kesepian dan kita tidak ada jarak pemisah lagi? Sehingga kita merupakan sebagian daripada keheningan itu? Proses badaniah yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita tidak merasa takut atau ngeri akan hal itu.
Yang kita takutkan adalah bagaimana nanti jadinya dengan "kita"! Bagaimana nanti dengan keluarga kita, orang-orang yang kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan kita dan sebagainya lagi. Semua ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri untuk mati, ngeri untuk berpisah dari semua itu. Kita merasa ngeri karena dengan kehilangan semua itu, kita ini BUKAN APA-APA lagi. Kita membayangkan, apakah jadinya dengan kita kalau kita tidak punya keluarga lagi, tiada teman, tiada harta benda, tiada segala yang kesemuanya mendatangkan kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa kita takut akan kematian, takut akan kesepian. Pikiran yang membentuk si aku yang selalu ingin senang dan menjauhi ketidaksenangan, pikiran ini yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua kesenangan itu akan berpisah dari kita.
Akan tetapi, kita dapat merasakan keadaan mati ini selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan tetapi kalau batin kita dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan kehilangan ikatan-ikatan itu tidak ada. Dan tanpa adanya rasa takut ini, maka keheningan atau kesunyian akan merupakan sesuatu yang lain sama sekali! Bukankah berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup! Sama sekali tidak. Kita masih hidup di dalam dunia ramai dengan segala aneka ragam, namun batin kita bebas daripada ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah, kita tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan merasa berduka. Ikatan selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa duka kalau kehilangan. Makin kuat ikatan itu, makin besar rasa takut dan makin besar kedukaan.
Sebuah benda saja dapat nenimbulkan ikatan yang demikian kuat sehingga kalau kita kehilangan benda itu, akan timbul rasa duka yang amat sangat. Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu? Ada yang bertanya bahwa kalau kita bebas daripada ikatan dengan keluarga, bukankah itu berarti bahwa kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan demikian. Cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Kalau kita mencinta anak kita, benar-benar mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus terikat dengan anak kita itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita berbahagia hidupnya! Sebaliknya, ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, karena memang ikatan diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih namanya, melainkan keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan diri sendiri.
Cinta yang mengikat kepada anak menimbulkan keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan batin melalui si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa dipisahkan dengan sumber yang menyenangkan diri. Tidakkah demikian? Demikian pula dengan isteri atau suami atau keluarga atau benda, atau juga gagasan. Semua itu hanya merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya menimbulkan ikatan. Cinta kasih baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Dan tanpa adanya cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau kebajikan, karena tanpa adanya cinta kasih, segala yang nampak baik itu adalah semu, berpamrih, dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku yang ingin senang.
Setelah menumpahkan rasa dukanya melalui runtuhnya air mata, akhirnya timbul semacam kelegaan di dalam hati Ci Sian Sian. Ia termenung dan dalam renungannya ini ia lupa segala, lupa akan kedukaannya, lupa akan keadaannya yang kesepian. Ia memandang ke depan dan melihat angkasa sedemikian indah dan agungnya, penuh dengan tata warna yang tak dapat dilukiskan indahnya. Ada warna merah yang beraneka macam, dari merah yang jingga sampai yang jambon dan kekuning-kuningan, ada warna biru yang belum pernah dapat dibandingkannya dengan warna biru di bumi. Dan awan-awan kelabu membentuk mahluk-mahluk yang aneh, raksasa yang perkasa, binatang buas yang luar biasa. Senjakala menciptakan keindahan yang demikian agung dan besarnya, yang sekaligus mengusir atau membuat lupa segala kedukaannya yang tadi menyelimuti hati Ci Sian.
Hal ini adalah karena segala pikiran, batin dan segala indera dara itu dicurahkan kepada keindahan di angkasa itu. Dan kalau sudah begini, maka segala sesuatu nampak indah. Bahkan pohon yang berdiri terpencil di depan itu, pohon yang sebagian batangnya rusak oleh ketuaan, yang beberapa cabang-nya gundul dan kering, nampak menonjol dan hidup, merupakan sebagian yang tak terpisahkan dari segala yang indah. Juga dirinya terlebur menjadi satu kesatuan daripada keindahan dan keheningan itu, tidak terpisah-pisah. Pada saat itulah Ci Sian mengalami apa yang dinamakan kematian. Akan tetapi, gerengan seekor binatang buas membuyarkan kesatuan itu dan begitu pikiran Ci Sian bekerja, ia pun sudah kembali lagi kepada dirinya sendiri, dirinya yang kesepian, dirinya yang penuh dengan iba diri. Dan Ci Sian melewatkan malam yang menggelisahkan.
Apakah yang telah terjadi dengan diri Pangeran Kiang Liong? Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, Pangeran yang bijaksana ini telah bertentangan dengan Sam-thaihouw, dan dengan bantuan keluarga pendekar Kao Kok Cu, isterinya Wan Ceng dan puteranya, Jenderal Muda Kao Cin Liong, akhirnya Pangeran membuka rahasia Sam-thaihouw, membuat nenek tua ini terserang penyakit jantung dan tewas. Setelah Sam-thaihouw dan kini kaki tangannya dibasmi dari istana, hati Pangeran itu merasa lega dan gembira bukan main. Akan tetapi, Pangeran yang semenjak muda sekali sudah suka sekali berkelana ini, tidak dapat tinggal diam terlalu lama di istana.
Pada suatu hari, dia sudah lolos lagi dari istana dan mengembara ke barat, menyamar sebagai seorang pemuda biasa saja. Kesukaannya mengembara ini selain didorong oleh ke-inginannya untuk mengenal rakyat lebih dekat, juga karena dia ingin mempelajari dan mendengar suara rakyat agar kelak kalau dia menggantikan ayahnya memerintah, dia akan dapat mengambil sikap dan keputusan yang sesuai dengan selera rakyat terbanyak. Di samping ini, pemuda bangsawan ini pun suka bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar dan hanya dengan menyamar sebagai seorang biasa sajalah maka pergaulannya itu dapat berjalan dengan perasaan bebas, tidak seperti kalau mereka itu menghadapnya sebagai seorang pangeran di mana harus dilakukan banyak peraturan dan peradatan.
Seperti biasa, biarpun Pangeran ini tidak memperkenankan pasukan pengawal untuk mengawal perjalanannya, namun ada pengawal-pengawal istana rahasia yang diam-diam membayanginya, di samping beberapa orang pendekar yang mendengar akan perjalanan ini lalu membayanginya untuk melindunginya secara diam-diam. Pangeran Kian Liong juga maklum akan hal ini. Sebenarnya dia pun tidak merasa senang dilindungi secara diam-diam seperti ini, akan tetapi karena yang melindunginya tidak menampakkan dirinya, tentu saja dia pun tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah mereka. Para hwesio yang menerima kedatangan Pangeran itu, menyambutnya sebagai seorang pemuda yang dermawan.
Pemuda ini memberi sumbangan yang cukup besar dan ketika pemuda itu menyatakan bahwa dia ingin memperoleh kamar dan bermalam di kuil itu, para hwesio segera menyambutnya dan menyediakan sebuah kamar yang sederhana di sebelah belakang bangunan kuil. Karena dia merasa amat tertarik oleh bangunan kuno kuil itu dan ingin menenangkan hatinya di dalam kuil maka Pangeran Kian Liong ingin bermalam di situ dan tidak bermalam di rumah penginapan seperti biasa. Hal ini menyulitkan para pelindungnya. Kalau Pangeran itu bermalam di rumah penginapan, para pelindung itu dapat pula menyewa kamar di rumah penginapan itu untuk mengamat-amati Sang Pangeran. Akan tetapi sekali ini Sang Pangeran bermalam di kuil, tentu saja tidak mungkin bagi mereka untuk bermalam di kuil itu juga.
Maka mereka berpencaran dan ada juga yang bermalam di tempat terbuka di belakang kuil, atau di rumah penduduk di sekitar kuil itu. Pada hari kedatangan Sang Pangeran di Kuil Hok-te-kong itu, seperti biasa banyak pula orang datang bersembahyang. Memang kuil itu amat terkenal "manjur", yaitu banyak permintaan para pemujanya tercapai setelah bersembahyang di kuil itu! Dan setelah tercapai apa yang diminta mereka lalu membayar "kaul"
Yaitu semacam janji untuk membalas jasa atau untuk menyatakan terima kasih apabila permintaan mereka terkabul. Kaul ini berupa sembahyang besar-besarnya, membakar segala macam harta kekayaan berupa tiruan dari kertas yang dimaksudkan agar "di sananya"
Dapat menjadi barang berharga sungguh-sungguh untuk memberi sumbangan kepada yang telah mengabulkan permintaan mereka!
Bahkan sampai jaman sekarang pun masih ada kepercayaan semacam itu! Tentu saja dengan bermacam cara, sesuai dengan tradisi dan agama masing-masing. Dan semua ini jelas memperlihatkan betapa lemahnya kita manusia ini. Melihat betapa diri sendiri ini kosong dan lemah, tidak ada apa-apanya, melihat pula akan kehidupan yang menimbulkan rasa takut, didorong pula oleh keinginan-keinginan untuk mengejar kesenangan-kesenangan baik kesenangan jasmani maupun rohani, maka kita yang merasa tidak berdaya ini lalu mencari pegangan! Kita lalu membayangkan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi itulah yang kita jadikan sasaran untuk membantu dan menolong kita, baik dalam mencapai kesenangan lahiriah maupun batiniah. Pikiran lalu mereka-reka menurut kepercayaan masing-masing, menurut tradisi ribuan tahun lamanya.
Dibuatlah arca-arca, patung-patung, benda-benda keramat dan dipujanya sebagai tempat yang dihuni oleh sesuatu yang kita anggap lebih tinggi daripada kita itu. Timbul sebutan dewa-dewa, malaikat-malaikat, roh-roh suci, dan sebagainya lagi. Kita bukan hanya memujanya karena rasa takut, karena ingin selamat, ingin terlindung dan sebagainya, akan tetapi juga kita memuja untuk meminta sesuatu, minta bantuan agar sukses dalam usaha perdagangan, agar dapat jodoh, agar dapat anak, agar menang perkara, agar manjur kutuk kita terhadap musuh, dan sebagainya lagi. Dan kalau "kebetulan"
Apa yang kita minta itu terkabul, kepercayaan kita menjadi semakin tebal dan kita lalu membalas budi dengan cara masing-masing. Demikianlah keadaannya. Kalau kita mengamati itu semua, bukankah kita ini sungguh lemah dan bodoh sekali?
Kalau kita melihat dengan sungguh-sungguh bahwa semua itu adalah palsu dan timbul dari rasa takut kita, dari keinginan kita memperoleh segala macam kesenangan, beranikah kita untuk menanggalkan itu semua? Kalau tidak berani, berarti kita belum melihat kenyataan akan kepalsuan itu. Di antara para tamu yang datang bersembahyang, terdapat seorang laki-laki setengah tua. Usianya sudah men-dekati lima puluh tahun, akan tetapi dia masih nampak gagah dan tampan. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi, wajahnya yang tampan gagah itu selalu berseri dan mulutnya selalu membayangkan senyuman sehingga orang-orang suka melihatnya. Tamu ini tidak ikut sembah-yang, hanya mengamati tempat itu dan orang-orang yang bersembahyang dengan sinar mata tajam. Seorang hwesio tua menyambut pria gagah ini dan pria itu menjura sambil bertanya,
"Apakah Ciong suhu ada di dalam?"
"Dia telah sejak tadi menantimu, Taihiap. Silakan masuk ke ruangan tamu di sebelah kanan."
Pria itu mengangguk dan berjalan masuk. Ketika dia memasuki ruangan tamu sebelah kanan, seorang hwesio tua yang bertahi lalat di dahinya, yaitu Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu, cepat menyambutnya dan segera mereka bercakap-cakap dengan suara lirih.
"Baik sekali engkau cepat datang, Bu-taihiap,"
Kata Ciong-hwesio dengan wajah berseri.
"Pinceng sudah khawatir sekali karena menurut beberapa orang penyelidik, Ngo-ok sudah nampak berada di kota ini pula."
Pria gagah itu memang bukan lain adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, pendekar terkenal itu. Kita sudah mengenal pendekar ini sebagai ayah kandung Ci Sian, dan juga sebagai seorang pendekar yang mempunyai banyak isteri. Seperti telah diceritakan dalam bagian depan, Bu Seng Kin dan keluarganya merasa terpukul batinnya dan merasa malu ketika pinangan mereka untuk menjodohkan puteri Bu Seng Kin dan Nandini,
Yaitu Bu Siok Lan, dengan Kao Cin Liong, ditolak mentah-mentah dan secara yang kasar oleh keluarga Kao. Penolakan ini tentu saja mendatangkan perasaan marah dan dendam di pihak keluarga Bu, akan tetapi pada saat terjadi penolakan, tentu saja Bu Seng Kin tidak berani untuk memperlihatkan kemarahannya. Penolakan ini pula yang menambah perasaan anti di dalam hati keluarga Bu terhadap istana. Memang sejak dahulu mereka itu tidak suka kepada kerajaan penjajah, apalagi kini mereka merasa dihina oleh seorang jenderal muda dan keluarganya, maka sikap mereka yang tidak suka terhadap Kerajaan Mancu makin menebal. Apalagi di situ terdapat Nandini, Puteri Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal dan dikalahkan oleh pasukan-pasukan kerajaan.
Puteri ini membujuk-bujuk kepada suaminya untuk tidak tinggal diam dan membangkitkan jiwa patriot Bu Seng Kin untuk menentang pemerintah penjajah. Inilah sebabnya maka Bu Seng Kin atau Bu-taihiap diam-diam bergabung dengan para pendekar yang diam-diam menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Dan dalam hal ini, Bu-taihiap memperoleh teman-teman yang baik, yaitu dari golongan Siauw-lim-pai yang kini secara terang-terangan dimusuhi oleh Kaisar Yung Ceng. Para hwesio pengurus Kuil Hok-tekong adalah hwesio-hwesio yang condong berpihak kepada Siauw-lim-pai dan hal ini tidaklah aneh karena Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu adalah anak murid Siauw-lim-pai pula. Maka terjadilah pertemuan antara Bu-taihiap dan Ciong-hwesio itu, yang dilakukan dengan rahasia.
"Hemm, mereka sudah muncul? Tentu mereka tidak berani turun tangan di siang hari. Malam nanti aku akan siap menghadapi mereka, harap Ciong-suhu jangan khawatir. Bahkan peristiwa ini amat kebetulan sekali. Kalau di sini terjadi penyerangan dari luar, dan ketika kami menghadapi mereka, maka dengan mudah Ciong-suhu akan dapat melarikan Pangeran tanpa ada yang menduga kalau Ciong-suhu yang melakukannya."
Mereka lalu bicara bisik-bisik mengatur siasat dan rencana selanjutnya. Mereka samasekali tidak tahu bahwa di antara para tamu yang bersembahyang itu terdapat seorang nenek bongkok yang juga bersembahyang dan mulutnya berkemak-kemik minta berkah, dengan terbongkok-bongkok, nenek itu membakar kertas dan berjalan masuk ke ruangan dalam kuil sambil menengok ke kanan kiri, mencari-cari. Seorang hwesio cepat menghampiri dan menegur,
"Hei, Nenek, engkau hendak ke manakah? Tidak diperkenankan masuk ke dalam...."
"Ah, Siauw-suhu, aku ingin bertemu ketua kuil...., aku ingin menghaturkan terima kasih karena cucuku telah terkabul permintaannya dan memperoleh seorang anak laki-laki. Aku ingin Ciong-hwesio memilihkan nama untuk cucu buyutku itu...."
Dan nenek itu memaksa masuk terus.
"Tapi.... Ciong-suhu sedang sibuk...."
"Ahh, apa sukarnya memberikan nama saja? Biarlah aku mengganggu sebentar, beliau tentu tidak akan marah. Di manakah beliau?"
"Tidak boleh, nanti pinceng mendapat marah...."
Hwesio muda itu hendak menghalang, akan tetapi dia merasa tidak enak juga untuk berkeras terhadap seorang nenek dan nenek itu kini sudah mendekati ruangan tamu di mana Ciong-hwesio masih bercakap-cakap dengan Bu Seng Kin. Mendengar ribut-ribut di luar kamar tamu itu, Ciong-hwesio memberi isyarat kepada Bu-taihiap, lalu membuka pintu dan berteriak.
"Ada apakah ribut-ribut di situ?"
Dan diam-diam dia merasa terkejut dan curiga melihat seorang nenek tua renta sedang berbantahan dengan seorang hwesio, agaknya Si Nenek hendak memaksa masuk.
"Maaf, Suhu, nenek ini nekat saja hendak menghadap Suhu, katanya hendak minta diberi nama untuk cucu buyutnya,"
Melihat Ciong-hwesio, nenek itu cepat menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut,
"Mohon kemurahan hati Losuhu.... karena kami sekeluarga sudah berjanji, maka setelah cucu saya mela-hirkan, kami sekeluarga mengharap agar Losuhu memberikan sebuah nama untuk anak itu."
"Omitohud.... kiranya demikian?"
Hwesio tua itu berkata halus, menarik napas panjang, lalu melanjutkan,
"Beri saja nama Tiong Gi."
"Terima kasih, terima kasih, Losuhu.... kata nenek itu dengan gembira sambil memberi hormat dan matanya mengerling ke arah pintu kamar tamu dari mana ia dapat melihat Bu-taihiap yang duduk di bangku dan memandang keluar dengan sikap tidak sabar karena gangguan itu. Setelah menghaturkan terima kasih berkali-kali, dan matanya yang tua itu kembali memandang ke kanan kiri seperti biasa sikap orang tua yang pikun dan ingin tahu segala, nenek itu lalu melangkah ke dalam! Hwesio muda itu cepat menghadang.
"Eh, engkau hendak ke mana, Nek?"
"Mau keluar, ke mana lagi....?"
Tanya nenek itu dengan sikap pikun dan ia terus saja berjalan tanpa mempedulikan orang lain sehingga ia sampai di pintu tembusan dan menjenguk ke dalam. Akan tetapi sekali ini Ciong-hwesio sendiri yang melangkah maju dan memegang lengan nenek itu. Lengan yang lemah tanpa tenaga, pikirnya dan dia melepaskan kembali pegangannya.
"Nek, jalan keluar bukan ke sana!"
Hwesio muda itu lalu memberi petunjuk dan sekali ini nenek itu keluar dari dalam kuil, lalu terbongkok-bongkok berjalan ke jalan raya, mulutnya berkali-kali membisikkan nama
"Tiong Gi....!"
Akan tetapi ketika nenek itu telah tiba di tempat yang jauh dari kuil itu dan ia sudah merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, ia lalu memasuki sebuah rumah kecil dan sikapnya menjadi berbeda sama sekali. Gerakannya sigap ketika dia masuk ke dalam rumah itu dan ketika ia disambut oleh seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, ia lalu mengeluh,
"Ah, sampai lelah punggungku harus kutekuk terus! Jelas, orang she Bu itu berada di sana, sedang berunding dengan ketua kuil!"
"Dan engkau tidak melihat bayangan Pangeran?"
Tanya laki-laki tinggi besar itu.
"Tidak ada, akan tetapi aku yakin dia berada di dalam sebuah kamar. Tidak ada jalan lain, kita harus berusaha memasukinya malam ini."
Laki-laki tinggi besar itu mengangguk.
"Memang kupikir juga begitu. Akan terjadi keributan malam ini di kuil."
Tak lama kemudian, laki-laki tinggi besar dan seorang wanita yang cantik keluar dari rumah itu dan memanggil pemilik rumah yang mereka sewa selama dua hari. Nenek itu tidak nampak lagi dan setelah mereka berdua pergi, seorang hwesio datang ke situ dan bertanya-tanya tentang seorang nenek. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang tahu dan pemilik rumah itu hanya memberi tahu bahwa yang menyewa rumahnya adalah seorang laki-laki tinggi besar dan isterinya yang cantik. Tentu saja hwesio itu segera memberi laporan kepada ketuanya, dan Ciong-hwesio mengerutkan alisnya.
Dia memang sudah merasa curiga kepada nenek tadi, akan tetapi karena nenek itu sudah hilang dan tidak ada yang mengetahuinya, dia pun hanya memesan kepada anak buahnya agar malam itu mereka berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan. Peristiwa bermalamnya Pangeran di kuil itu memang merupakan hal yang kebetulan dan sama sekali tidak diduga-duga orang. Semenjak orang-orang kang-ouw mendengar bahwa Pangeran Mahkota pergi seorang diri, banyak yang membayanginya, banyak pihak hendak mengganggunya, akan tetapi ada pula yang melindunginya sehingga pihak yang hendak mengganggunya masih ragu-ragu. Akan tetapi, seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba, Pangeran itu dengan kehendak sendiri masuk ke dalam kuil bahkan minta bermalam di situ, tidak tahu bahwa kuil itu adalah sarang dari orang-orang yang tidak suka kepada kerajaan ayahnya!
Bahkan orang-orang Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang banyak menaruh dendam kepada ayahnya. Juga para pelindungnya tidak ada yang mengira bahwa ketua kuil itu adalah bekas murid Siauw-lim-pai pula sehingga mereka enak-enak saja dan mengira bahwa Pangeran itu berada di tempat yang aman. Padahal, sesungguhnya Pangeran itu seperti seekor anak domba yang memasuki guha srigala! Malam itu tidak terang bulan. Malam yang cerah dan indah sekali, seolah-olah tidak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk. Lewat senja, tidak seperti biasanya, Kuil Hok-te-kong telah menutupkan pintunya. Baru saja pintu itu ditutup, terdengar ketukan pada pintu itu. Setelah ketukan-ketukan itu diulang, seorang hwesio berkata dari balik pintu,
"Malam ini kami tidak menerima tamu, karena kami sedang mengadakan upacara sembahyang yang penting. Harap suka kembali besok saja!"
Akan tetapi, dari luar pintu terdengar suara yang besar dan parau,
"Saudara, pinceng bukanlah tamu hendak bersembahyang, melainkan dua orang saudara yang ingin mohon bertemu dengan Ciong-losuhu."
Mendengar ucapan ini, lubang di tengah-tengah pintu itu terbuka dan sebuah mata, mata hwesio penjaga, mengintai dari dalam. Ketika mata itu melihat bahwa yang berdiri di depan pintu itu adalah dua orang hwesio, yang seorang lagi agak kecil, dia merasa heran.
"Ji-wi siapakah dan dari mana? Ada keperluan apa hendak menghadap Ciong-suhu?"
Hwesio yang tinggi besar itu memandang ke kanan kiri dan belakang, kemudian menjawab dengan suara berbisik,
"Kami adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar, mohon perlindungan!"
"Omitohud....!"
Mata di balik lubang itu terbelalak,
"Sebentar, pinceng harus melaporkan dulu kepada Suhu!"
Tak lama kemudian, pintu itu terbuka dan Ciong-hwesio sendiri yang menyambut mereka. Kedua orang hwesio itu memberi hormat kepada Ciong-hwesio yang dibalas oleh ketua kuil Hok-te-kong itu.
"Mari silakan, mari kita bicara di lian-bu-thia."
Setelah tiba di ruangan berlatih silat, dua orang hwesio ini melihat betapa di situ telah berkumpul banyak hwesio dan mereka semua memandang dengan mata penuh selidik. Ciong-hwesio sendiri juga memandang penuh selidik. Dia memang jarang pergi ke Siauw-lim-pai dan tentu saja tidak banyak mengenal hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau memang benar mereka ini hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar tentara pemerintah, tentu saja dia harus membantu mereka. Hwesio tinggi besar itu bermuka hitam sekali dengan mata lebar, nampak gagah, sedangkan hwesio yang lebih kecil bermuka kuning dan kasar sehingga ketampanannya lenyap oleh kekasaran mukanya, juga matanya agak juling.
"Kalian berdua dari kuil mana? Dan mengapa malam-malam tiba di kota ini?"
Ciong-hwesio bertanya dan penuh curiga.
"Kami adalah anak murid Siauw-lim-pai yang datang dari Kuil Siauw-lim-pai yang dibakar oleh Kaisar lalim. Kami dikejar-kejar dan berhasil melarikan diri sampai di sini, mendengar bahwa Ciong-suhu adalah bekas anak murid Siauw-lim-pai pula, maka kami mohon perlindungan dan mengharap agar dapat diterima di kuil sini,"
Kata hwesio yang ber tubuh kecil dengan suara mohon dikasihani.
"Omitohud...., sudah tentu saja pinceng tidak akan menolak. Akan tetapi, di dalam keadaan genting seperti ini kita harus bersikap hati-hati!. Coba Ji-wi perlihatkan beberapa jurus Siauw-lim-pai agar pinceng tidak ragu-ragu lagi bahwa Ji-wi benar-benar murid Siauw-lim-pai."
Hwesio bertubuh kecil itu memandang hwesio tinggi besar muka hitam,
"Silakan Suheng."
"Baik, saya akan mainkan Pek-ho-kun dari Siauw-lim-pai!"
Katanya dan segera hwesio muka hitam ini bersilat. Ternyata gerakannya cukup gesit dan mantap, dan karena tubuhnya memang tinggi besar, maka dia nampak gagah. Melihat gerakan ini, diam-diam Ketua Hok-te-kong itu girang sekali. Orang ini merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, pikirnya. Setelah selesai bersilat, hwesio muka hitam itu berhenti dan tidak nampak dia terengah-engah, tanda bahwa dia sudah menguasai pula ilmu pernapasan dengan baik.
Jodoh Rajawali Eps 33 Jodoh Rajawali Eps 24 Jodoh Rajawali Eps 29