Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 22


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



"Seorang pendekar harus berani bertanggung jawab. Akupun telah makan barang curian, dan memakai barang curian, akupun harus bertanggung jawab. Mari, bawa aku ke rumah di mana engkau melakukan pencurian itu."

   Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Suma Lian terpaksa membawa kakek itu ke rumah besar di mana tadi ia melakukan pencurian.

   Ia memang seorang anak yang lincah dan karena sejak kecil sudah digembleng oleh ayah ibunya dan neneknya, maka ia memiliki kelincahan dan tidak sukar baginya untuk meloncat naik ke atas tembok rumah itu, kemudian dengan kecepatannya ia menyusup ke dalam kamar-kamar dan dapur, mencuri makanan dan pakaian tanpa diketahui oleh seorangpun di antara para penghuni rumah itu. Rumah itu besar, terlalu besar untuk ukuran dusun. Suma Lian benar. Memang rumah itu milik orang kaya raya yang takkan merasa kehilangan kalau miliknya hanya diambil sekian saja. Dan ternyata rumah itu milik keluarga bangsawan dari kota raja! Kadang-kadang, untuk mencari ketenteraman yang tak bisa mereka dapatkan di kota raja yang ramai itu, keluarga Pouw, pemilik rumah itu, pergi ke dusun di luar kota raja ini dan di rumah mereka inilah mereka tinggal.

   Kalau saja keluarga itu tidak kebetulan berada di situ, tentu tadi Suma Lian hanya dapat mencuri pakaian saja yang ditinggalkan di situ, akan tetapi tidak akan memperoleh makanan-makanan yang lezat, melainkan makanan sederhana yang biasa dimasak oleh para pelayan dan penjaga rumah itu. Para penjaga pintu, memandang kakek dan anak perempuan itu penuh keraguan ketika mereka minta untuk bertemu dengan pemilik rumah. Akan tetapi karena dua orang tamu aneh ini bersih dan majikan merekapun suka menerima siapa saja yang datang bertamu, para penjaga lalu membuat laporan ke dalam, mengatakan bahwa ada dua orang tamu yang aneh, seorang kakek tua sekali dan seorang anak perempuan yang manis, keduanya memakai pakaian bersih dan tambal-tambalan, minta diperkenankan menghadap.

   "Mereka tidak memberi nama dan tidak mengenal nama Taijin, hanya minta menghadap pemilik rumah,"

   Demikian penjaga itu mengakhiri laporannya. Laki-laki yang disebut Taijin itu tersenyum. Dia seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian longgar dan wajahnya membayangkan kesabaran yang penuh wibawa. Pemilik rumah itu adalah seorang bangsawan, bahkan dia memiliki pangkat yang cukup tinggi kare-na dia adalah seorang di antara para menteri pembantu kaisar! Dia pernah menjabat sebagai seorang panglima pasukan keamanan kota raja,

   Dan kini ia menjadi seorang menteri yang mengatur tentang pendapatan istana, yaitu pemasukan pendapatan dari pajak dan lain-lain. Pada waktu itu, Pouw Taijin atau dahulu pernah dikenal sebagai Pouw-ciangkun (perwira Pouw), bersama isterinya dan lima orang anak-anaknya, empat laki-laki dan seorang anak perempuan, sedang beristirahat di dusun itu. Akhir-akhir ini memang, dia semakin sering saja berada di dusun itu, karena keadaan di kota raja membuat dia tidak betah di gedungnya di kota raja. Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian disuruh masuk ke ruangan tamu oleh seorang penjaga dan belum lama mereka duduk, muncullah tuan rumah dari pintu sebelah dalam. Bu-beng Lo-kai cepat mengajak cucunya bangkit berdiri dan memberi hormat kepada laki-laki yang memandang kepada mereka denga mata terbelalak penuh keheranan itu.

   "Maafkan kami kalau mengganggu,"

   Kata Bu-beng Lo-kai dan kata-katanya yang teratur menunjuk-kan bahwa dia bukanlah seorang gelandangan biasa saja,

   "Cucuku ini ingin membuat pengakuan kepada tuan rumah."

   Pouw Tong Ki, nama dari pembesar itu, semakin heran memandang kepada kakek tua renta dan anak perempuan itu. Dia seorang berpengalaman, dan melihat pakaian kakek dan anak perempuan itu yang baru akan tetapi tambal-tambalan, jelas bahwa dia pakaian itu bukan membutuhkan tambalan melainkan sengaja ditambal-tambal, dapat menduga bahwa dia berhadap-an dengan orang-orang kang-ouw yang mempunyai kebiasan yang aneh-aneh.

   "Saya Pouw Tong Ki, pemilik rumah ini. Silahkan kalian duduk...."

   "Nanti saja kami duduk setelah cucuku membuat pengakuannya,"

   Kata Bu-beng Lo-kai dengan tegas dan diapun menowel lengan cucunya. Suma Lian berdiri dengan muka sebentar merah sebentar pucat. Bukan main malunya apa lagi melihat betapa tuan rumah itu amat ramah memandang kepadanya.

   "Nona kecil yang baik, apakah yang hendak nona katakan? Katakan saja dan jangan ragu-ragu,"

   Katanya sambil tersenyum ramah. Sikap ini banyak menolong dan setelah beberapa kali menelan ludah, akhirnya Suma Lian berkata, suaranya lirih akan tetapi cukup tegas dan jelas.

   "Saya.... saya minta maaf karena tadi saya...."

   Sukar sekali baginya untuk mengeluarkan kata-kata pengakuan itu. Mengaku menjadi pencuri! Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi dirinya, bagi "aku"

   Nya. Makin tinggi orang membentuk gambaran tentang dirinya, semakin sukar pula baginya untuk mengenal dan mengakui kesalahannya.

   "Cucuku, apakah engkau ingin menjadi seorang pengecut?"

   Tiba-tiba kakek itu bertanya dan ucapan ini seperti api yang membakar dada Suma Lian!

   "Saya datang untuk minta maaf dan mengaku bahwa tadi saya telah mencuri makanan yang sudah kami makan berdua, dan pakaian beberapa stel yang sudah kami pakai dan kami jadikan cadangan-cadangan kami!"

   Katanya dengan sikap gagah dan sepasang matanya yang jernih itu memandang kepada wajah tuan rumah tanpa mengenal takut sedikitpun! Pouw Tong Ki nampak terkejut dan terheran-heran.

   "Tapi.... tapi pakaian yang kalian pakai itu bukan milik kami. Kami tidak mungkin memiliki pakaian tambal-tambalan...."

   "Memang sengaja saya tambal-tambal agar sesuai dengan keadaan kami sebagai pengemis,"

   Jawab Suma Lian.

   "Maaf,"

   Sambung Bu-beng Lo-kai.

   "Kami sudah biasa memakai pakaian tambal-tambalan sehingga tidak enak rasanya memakai pakaian utuh tanpa tambalan."

   "Ah....! Ahh....! Bukan main ji-wi (kalian berdua) ini....! Anakku harus melihat ini, harus dapat mencontoh!"

   Pouw Taijin bertepuk tangan dan dua orang penjaga muncul di pintu luar.

   "Cepat kalian cari siocia dan minta agar datang ke sini dengan cepat!"

   "Saya sudah minta maaf, kenapa harus memanggil orang lain?"

   Suma Lian memprotes karena bagaimanapun juga, ia merasa tidak suka kalau perbuatannya mencuri itu diberitahukan kepada orang-orang lain!

   "Nona, harap jangan salah duga. Yang kupanggil adalah puteriku, puteri tunggal, dan karena pakaiannyalah yang kau ambil dan kau pakai itu, bukankah sudah sepatutnya kalau ia datang sendiri menerima permintaan maaf darimu?"

   Suma Lian tidak mampu membantah lagi, hanya mukanya berubah merah sekali. Ia harus menebalkan muka lagi, berhadapan dengan orang yang kini pakaiannya ia pakai! Tak lama kemudian, dari pintu dalam muncul seorang gadis cilik yang manis, sebaya dengan Suma Lian, pembawaannya tenang sekali akan tetapi sepasang matanya membayangkan kecerdikan. Sejenak gadis cilik itu memandang kepada Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian, lalu bertanya kepada Pouw Tong Ki,

   "Ayah, ada apakah ayah memanggil aku agar cepat datang ke sini dan siapa pula dua orang yang pakaiannya aneh-aneh ini?"

   "Li Sian, dengar baik-baik. Ayahpun tidak mengenal kedua orang ini, akan tetapi mereka datang minta bertemu dengan kita berdua karena nona kecil ini ingin menyampaikan sesuatu kepada kita. Kepadaku sudah disampaikan maksud kedatangannya dan dengarlah apa yang akan ia katakan kepadamu."

   Nona cilik itu memandang kepada Suma Lian, memandang penuh perhatian dari rambut sampai ke sepatunya, lalu ia mengerutkan alisnya dan berkata kepada Suma Lian,

   "Siapakah engkau yang berpakaian seaneh ini dan hendak menyampaikan apa?"

   Suaranya halus teratur, tidak galak dan mengandung kelembutan, akan tetapi ia agaknya terkejut dan terheran-heran mendengar kata-kata ayahnya tadi. Untuk kedua kalinya, Suma Lian mengangkat mukanya, meluruskan kepala dan membusungkan dadanya, lalu berkata,

   "Aku datang ke sini untuk minta maaf dan untuk membuat pengakuan bahwa tadi aku telah menyelinap ke dalam rumah ini dan mencuri makanan, yaitu dua panci masakan, seguci arak dari dapur, dan dari dalam kamar-kamar aku mengambil.... eh, mencuri beberapa stel pakaian untuk kakekku ini dan untukku sendiri, juga sepatu ini. Pakaian-pakaian itu sudah kutambal-tambal, jadi tidak mungkin dikembalikan seperti yang dikehendaki kakekku, juga makanan itu terlanjur kami makan habis."

   Pouw Li Sian menjadi bengong, memandang ke arah pakaian Suma Lian. Ia mengenal bajunya sendiri yang sudah ditambal-tambal itu, juga ia mengenal sepatunya. Akan tetapi, yang membuat ia bengong, kenapa anak ini, yang sudah berhasil melaku-kan pencurian tanpa diketahui, kini malah datang membuat pengakuan dan minta maaf?

   "Nah, Li Sian. Engkau sendiri menjadi terheran heran mendengar pengakuannya. Sikap seperti inilah yang harus kau tiru, anakku!"

   
"Maksud ayah.... berpakaian pengemis dan.... dan mencuri itu?"
(Lanjut ke Jilid 21)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
"Bukan! Akan tetapi sikap berani mempertanggungjawabkan segala perbuatannya itulah! Aihh, betapa akan baiknya kalau semua pejabat dapat bertanggung jawab seperti anak ini! Li Sian, kalau ada orang-orang seperti ini kehabisan pakaian dan kelaparan, lalu mengambil makanan dan pakaian darimu, yang bagi kita tidak ada artinya, apakah engkau rela?"

   Li Sian mengerutkan alisnya yang hitam indah itu. Lalu ia menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak rela, ayah. Kalau mereka datang dan minta kepadaku, mungkin aku akan memberi lebih baik dan lebih banyak dari pada yang telah diambilnya. Akan tetapi mencuri? Tidak, itu tidak benar dan aku tidak rela!"

   "Akan tetapi, mereka sudah datang minta maaf. Lalu bagaimana pendapatmu? Kau maafkan mereka?"

   "Aku tidak mau memaafkan orang yang mencuri karena ia tentu kelak akan mencuri lagi. Pencurian harus dihukum dan hukumannya terserah kepada ayah. Akan tetapi kalau mengenai barang-barangku, itu kurelakan dan sekarang juga kusumbangkan kepada mereka, ayah."

   "Bagus!"

   Tiba-tiba Bu-beng Lo-kai berkata dengan pandang mata kagum kepada puteri tuan rumah.

   "Itupun merupakan suatu pendirian yang gagah dan harus dihormati. Lihat, cucuku, puteri tuan rumah ini pantas kau jadikan teladan. Tegas dan adil!"

   Pouw Tong Ki yang kini merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, lalu pura-pura bertanya,

   "Orang tua, apakah hanya itu maksud kedatangan ji-wi ke sini? Hanya untuk membuat pengakuan dan minta maaf begitu saja?"

   Kakek tua renta itu kini menujukan pandang matanya kepada tuan rumah dan diam-diam Pouw Tong Ki merasa terkejut dan kagum, juga jerih sekali. Sepasang mata itu dapat mengeluarkan sinar mencorong seperti api!

   "Benar, akan tetapi aku setuju sekali dengan pendapat puterimu. Yang bersalah harus dihukum. Kami telah bersalah dan kami juga bukan orang yang suka menghindarkan diri dari hukuman. Nah, kami telah mengaku salah, kami telah datang, kalau mau menjatuhkan hukuman, silahkan!"

   "Baik, kami akan menghukum ji-wi dan ji-wi sudah berjanji untuk menerima hukuman itu."

   "Tapi hukuman itu harus adil, kalau tidak, aku akan menentangnya! Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang keadilan, bukankah begitu, kek?"

   Tiba-tiba Suma Lian berkata kepada tuan rumah dan iapun tegak berdiri menanti hukuman dengan sikap gagah!

   "Hukuman untuk ji-wi adalah satu bulan lamanya harus mau menjadi tamu kehormatan kami di rumah ini! Locianpwe ini akan menjadi temanku bercakap-cakap, sedangkan nona cilik ini menjadi teman bermain dari Pouw Li Sian, anak kami ini. Locianpwe, saya bernama Pouw Tong Ki, menjabat Menteri Pendapatan Istana yang sedang beristirahat di sini, harap locianpwe tidak menolak undangan kami untuk menjadi tamu kehormatan kami!"

   Kakek dan cucunya itu menjadi bengong! Mana di dunia ini ada hukuman berupa menjadi tamu kehormatan dan menjadi sahabat? Dan tuan rumah ini ternyata seorang menteri! Seorang "tiong-sin"

   Menteri setia dan bijaksana seperti nampak pada sikapnya, dan dapat mengenal dirinya maka bersikap demikian hormat.

   "Bagaimana ini, kakek? Hukumannya aneh sekali!"

   Kata Suma Lian, bingung.

   "Ha-ha-ha, kita sudah berjanji dan sanggup untuk menerima, sekali-kali tidak baik kalau menolaknya, cucuku."

   Pouw Li Sian menjadi girang sekali dengan keputusan ayahnya dan iapun maju dan memegang tangan Suma Lian.

   "Engkau anak yang aneh sekali dan aku suka kepadamu. Namaku Pouw Li Sian. Siapakah namamu?"

   "Namaku Suma Lian. Dan akupun merasa heran ada puteri seorang menteri suka bersahabat dengan seorang anak pengemis. Tidak malukah engkau bersahabat dengan aku?"

   Pouw Li Sian merangkul pundaknya.

   "Engkau dahulu lahir telanjang seperti aku, hanya pakaian saja yang memberi sebutan-sebutan itu. Mari kita lihat kebun buah kami, kini sedang musim apel, banyak dan besar-besar. Mari kita petik!"

   Ia lalu menggandeng tangan Suma Lian yang mengikutinya dengan girang tanpa menoleh lagi kepada kakeknya.

   "Locianpwe, mari kita bicara di ruangan dalam. Silahkan!"

   Pembesar itu bangkit dan mengajak kakek itu masuk ke dalam, diikuti oleh Bu-beng Lo-kai yang merasa semakin suka saja kepada laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi akan tetapi berjiwa sederhana itu. Setelah mereka duduk di ruangan dalam, Pouw Tong Ki memperkenalkan isterinya kepada kakek itu, juga empat orang puteranya yang berusia dari sembilanbelas tahun sampai enambelas tahun, kakak-kakak dari Pouw Li Sian. Bu-beng Lo-kai semakin hormat kepada keluarga ini, contoh keluarga pembesar yang baik dan ramah. Sebaliknya, keluarga itu menganggap kakek yang berpakaian tambal-tambalan dan diaku sebagai tamu kehormatan oleh pembesar itu sebagai seorang kakek yang tentu berilmu tinggi. Setelah mereka mundur dan para pelayan menghidangkan minuman arak dan makanan kering, pembesar itu lalu bertanya, suaranya bersungguh-sungguh.

   "Kalau saya tidak salah duga, locianpwe tentulah seorang pendekar dari keluarga Pulau Es, bukan?"
Bu-beng Lo-kai terkejut, sama sekali tidak mengira akan ditanya demikian.

   "Bagaimana Taijin dapat menduga demikian?"

   Dia balas bertanya sambil memandang tajam. Kalau penghormatan ini didasarkan dugaan tuan rumah bahwa dia dan cucunya keluarga para pendekar Pulau Es, berarti bahwa penerimaan dan penghormatan keluarga ini mengandung suatu pamrih tertentu dan dia harus berhati-hati.

   "Tadinya saya tidak menduga apa-apa, akan tetapi setelah cucumu berkenalan dengan puteriku dan mengaku bernama Suma Lian, maka timbul dugaan itu di hati saya. Bukankah nama marga Suma itu jarang sekali dan dimiliki oleh keluarga Pulau Es?"

   Kakek itu menarik napas lega. Dia percaya dan memang benar ucapan pembesar ini. Nama marga Suma yang bukan merupakan keluarga Pulau Es memang ada, akan tetapi tidak banyak dan karena keluarga Pulau Es terkenal di antara para pembesar di kota raja, maka tidak mengherankan kalau pembesar ini segera dapat menduganya demikian.

   "Dugaanmu memang tidak keliru, Pouw Taijin. Cucuku Suma Lian itu adalah keturunan langsung dari keluarga Pulau Es."

   "Dan bolehkah saya mengetahui siapa nama lo-cianpwe yang mulia?"

   "Aihh.... saya sendiri sudah lupa akan nama saya. Saya hanya orang luar dan saya hanya mempunyai sebutan Bu-beng Lo-kai."

   Pouw Tong Ki tidak merasa kecil hati mendengar ini. Dia berpengalaman luas dan tahu apa artinya itu. Berarti bahwa kakek ini tidak mau dikenal oleh siapapun juga, dan memang banyak sekali orang-orang sakti yang ingin menyembunyikan diri dari kepandaiannya. Maka dia semakin kagum dan menduga bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Dan diam-diam diapun mempunyai harapan. Di antara lima orang anak-anaknya, justeru Li Sian seoranglah, satu-satunya anak perempuannya yang menaruh minat akan latihan silat, juga berbakat sekali.

   Alangkah akan girang hatinya kalau Li Sian dapat menjadi murid kakek ini, menjadi saudara seperguruan atau saudara angkat dari anak perempuan bernama Suma Lian yang mengagumkan hatinya itu! Mereka lalu bercakap-cakap dan ternyata oleh tuan rumah bahwa kakek yang kelihatannya saja seperti seorang pengemis tua, ternyata memiliki daya tangkap yang tajam dan pengetahuan yang luas sekali. Kakek tua renta itu bahkan pandai menanggapi ketika percakapan menyinggung keadaan kaisar. Kakek itu menyayangkan sekali bahwa seorang kaisar secakap Kaisar Kian Liong itu akhirnya dapat begitu mudah diperdaya oleh seorang menteri durna seperti Hou Seng, hanya karena kaisar itu tergila-gila kepadanya dan menganggapnya penjelmaan dari seorang wanita yang pernah dicintanya.

   "Kaisar merupakan mercu-suar dari pemerintahan,"

   Demikian antara lain kata kakek tua renta ini.

   "kalau kaisarnya lemah, maka pemerintahanpun lemah dan hal ini menurunkan kewibawaan pemerintah terhadap rakyat, juga memberi angin kepada para pembesar durna untuk merajalela. Akibatnya, rakyat yang tertindas dan kalau sampai rakyat merasa tidak puas dengan suatu pemerintah, itu tandanya bahwa pemerintah itu sudah mulai rapuh dan akan mudah jatuh kalau sampai terjadi pemberontakan, karena rakyat tentu akan lebih condong membantu pemberontak dari pada pemerintah yang tidak disukanya. Dan kalau kaisar lemah, sudah menjadi kewajiban para menteri dan pembesar tinggi untuk mengingatkannya."

   "Pendapat locianpwe memang tepat sekali. Akan tetapi celakanya, Hou Seng itu agaknya memang sudah membuat persiapan. Selain sukar untuk membuktikan korupsinya yang hanya beberapa orang yang bersangkutan dengan kekayaan negara saja yang mengetahuinya, juga dia kelihatan amat setia kepada kaisar dan bahkan kini mengumpulkan kekuatan rahasia untuk memperkuat kedudukannya. Menteri-menteri yang kuat disingkirkannya, baik melalui kekuasaan kaisar ataupun melalui kaki tangannya, menteri-menteri yang tidak kuat mentalnya dirangkul dengan sogokan-sogokan besar. Siapa berani menentangnya, tahu-tahu mati dalam keadaan amat menyedihkan dan aneh. Seperti baru saja terjadi pada diri Pangeran Cui Muda yang kedapatan mati bersama seluruh pengawalnya di sebuah rumah pelesir, tanpa ada tanda-tanda siapa yang melakukan pembunuhan itu. Saya sendiri sudah tahu bahwa itu tentulah perbuatan orang sakti yang menjadi kaki tangan Hou Seng itu. Aihhh.... sungguh sedih sekali hatiku melihat keadaan istana. Karena itulah maka saya lebih sering berada di dusun sunyi ini dari pada di kota raja. Kalau saja orang-orang seperti Panglima Kao Cin Liong itu masih menjadi pembesar di kota raja. Ah, hanya orang-orang dengan kepandaian tinggi seperti dialah yang akan mampu membendung kekuasaan Hou Seng yang merajalela. Saya kira locianpwe tahu siapa adanya Panglima Kao Cin Liong itu, bukan?"

   Bu-beng Lo-kai mengangguk-angguk. Tentu saja dia sudah mendengar tentang putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu!

   "Panglima Kao Cin Liong adalah seorang di antara para sahabat baik saya, locianpwe. Ketika dia masih menjabat panglima, setiap ada keruwetan di istana saya dapat mengajaknya bertukar pikiran. Akan tetapi sekarang, ah, dia sudah lama sekali mengundurkan diri dan kini hanya menjadi seorang pedagang rempah-rempah di Pao-teng. Betapa saya amat merindukan nasihat-nasihatnya dalam keadaan seperti ini."

   Pembesar itu menarik napas panjang. Bu-beng Lo-kai makin suka kepada pembesar she Pouw ini. Kalau menteri ini sahabat baik bekas Panglima Kao Cin Liong yang terkenal itu, jelaslah bahwa dia memang seorang menteri yang baik dan bijaksana, dan dia merasa gembira dapat menjadi tamunya.

   "Bagaimana Taijin dapat memastikan bahwa pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan atas diri para pembesar itu adalah perbuatan kaki tangan Hou Seng?"

   Tanyanya, ingin tahu sekali karena apa yang diceritakan oleh pembesar ini amat penting dan agaknya masih ada hubungannya dengan pengalaman Suma Lian.

   "Mereka yang, menjadi korban pembunuhan rahasia itu, semua terbunuh oleh orang-orang pandai yang tidak dilihat sepak terjangnya, hanya nampak bayangannya saja. Dan menurut penyelidikan, mereka yang tewas itu semua adalah orang-orang yang menentang kekuasaan Hou Seng, Bahkan mendiang Pangeran Cui Muda juga menentangnya karena merasa kalah bersaing dalam istana dan pangeran itu pernah menghinanya di suatu pesta."

   "Lalu apa yang akan Taijin lakukan?" "Pembunuhan-pembunuhan gelap seperti ini tidak boleh didiamkan begitu saja!"

   Kata menteri itu penuh semangat.

   "Seolah-olah pemerintah kita terdiri dari algojo-algojo yang boleh saja saling bermusuhan dan saling mengirim pembunuh. Bagaimana kalau nanti semua pembesar memelihara jagoan-jagoan untuk saling bunuh. Sudah terlalu banyak jatuh korban. Saya akan memberanikan diri menghadap kaisar dan menceritakan semua ini, dan kalau perlu saya akan temui Hou Seng dan akan saya tegur atas perbuatannya yang sewenang-wenang dan kotor itu!"

   Bu-beng Lo-kai menarik napas panjang dan percakapan mereka terhenti dengan munculnya Suma Lian dan Li Sian. Mereka masuk sambil bergandeng tangan dan Suma Lian memberi dua buah apel merah kepada kakeknya.

   "Kek, Li Sian ini baik sekali kepadaku dan kebun apelnya penuh dengan buah apel yang manis. Ini dua buah untukmu, kek. Aku sudah kekenyangan makan apel!"

   "Hushh, bagaimana engkau menyebut namanya begitu saja? Ia puteri seorang menteri, setidaknya engkau harus menyebutnya siocia (nona)!"

   Kata Bu-beng Lo-kai.

   "Ia tidak mau, kek. Dan usia kami memang se-baya, akan tetapi aku lebih tua beberapa bulan maka ia malah menyebut enci kepadaku."

   Sementara itu, Li Sian berkata kepada ayahnya.

   "Ayah, enci Lian ini pandai sekali! Menurut kakak--kakakku, enci Lian pandai silat dan ketika dicoba, semua kakakku kalah olehnya. Aku sendiripun da-lam lima jurus saja sudah keok! Wah, ia lihai dan juga ia pandai menulis sajak. Sungguh seorang anak pengemis yang luar biasa, ayah. Aku menganggapnya sebagai saudaraku sendiri!"

   Menteri Pouw mengangguk-angguk senang dan memandang kagum kepada Suma Lian.

   "Bagus sekali kalau engkau dapat menghargai orang pandai, anakku. Ketahuilah bahwa ia adalah keturunan langsung dari keluarga Pendekar Pulau Es, tentu saja ia lihai sekali."

   "Ehh? Kakek memperkenalkan keluarga kita?"

   Suma Lian memandang kepada kakeknya dengan mata terbelalak, seperti menegur. Kakeknya menggeleng kepala sambil tersenyum.

   "Anak baik, nama keluargamu sudah amat terkenal di sini. Begitu engkau menyebutkan she (nama marga) Suma tadi, Pouw Taijin juga sudah dapat menduga bahwa engkau tentu keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es."

   "Dan engkau...."

   Hampir saja Suma Lian memperkenalkan keadaan diri kakek itu sebagai mantu Pendekar Super Sakti, suami dari mendiang Puteri Milana yang terkenal sekali. Kakek itu memotong,

   "Aku adalah Bu-beng Lokai dan tidak ada keterangan lain sebagai tambahan."

   Sunia Lian mengangguk. Saat itulah dipergunakan oleh Pouw Tong Ki untuk menyatakan hasrat hatinya.

   "Locianpwe, kami mohon dengan hormat dan sangat kepada locianpwe, sudilah kiranya locianpwe memberi bimbingan kepada Li Sian, anak kami ini yang suka sekali akan ilmu silat, berbeda dengan kakak-kakaknya yang suka akan ilmu sastera.

   "Benar, kek, Li Sian ini lebih berbakat dari pada kakak-kakaknya dan ia juga minta belajar silat kepadaku. Akan tetapi aku sendiri masih belajar, bagaimana mungkin memberi pelajaran? Kalau kakek mau membimbingnya, bersamaku, betapa akan se-nangnya kami berdua untuk berlatih bersama dan aku yang memberi petunjuk kepadanya."

   Kakek itu tersenyum lebar akan tetapi tidak menjawab, melainkan memandang ke arah Pouw Li Sian dan dia melihat bahwa memang anak perempuan itu memiliki bakat yang baik, dapat dilihat dari gerak-geriknya.

   "Ha-ha, setua aku ini mana bisa menerima murid? Kalau hanya sekedar petunjuk dan bimbingan saja, tentu dengan senang hati...."

   "Li Sian, cepat berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada locianpwe Bu-beng Lo-kai!"

   Kata Pouw Tong Ki yang cerdik. Li Sian juga seorang anak yang patuh dan cerdik. Ia sudah dapat mengerti bahwa kalau Suma Lian saja, sedemikian lihainya sehingga anak perempuan berusia duabelas tahun itu dapat mengalahkan kakaknya yang paling tua berusia sembilanbelas tahun secara mudah saja, maka apa lagi kepandaian kakek dari Suma Lian! Tentu kakek ini seorang sakti! Dan iapun pernah mendengar dongeng tentang para pendekar Pulau Es, tentang Puteri Nirahai, Puteri Milana yang pernah menjadi panglima-panglima perang kerajaan. Maka, mendengar perintah ayahnya, ia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata,

   "Locianpwe, saya Pouw Li Sian menghaturkan terima kasih atas bimbingan locianpwe."

   Kakek itu tertawa senang.

   "Ha-ha-ha, keluarga Pouw sungguh pandai merendah, dan kerendahan hati selalu menguntungkan seseorang, lahir maupun batin. Bangkitlah, anak baik. Suma Lian, ajak ia duduk, aku hanya akan memberi bimbingan, bukan mengangkat murid. Biarlah engkau belajar bersama-sama Suma Lian."

   Suma Lian merangkul sahabatnya itu dan diajaknya duduk. Dalam percakapan berikutnya, sambil tetap menggandeng tangan Suma Lian, Li Sian berkata kepada ayahnya,

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ayah, aku sudah mengambil keputusan untuk belajar bersama enci Lian, baik belajar ilmu silat maupun ilmu baca tulis. Aku minta agar ia dan locianpwe ini suka tinggal selamanya di sini. Kalau mereka tidak mau dan akan pergi dari sini, aku akan ikut bersama mereka! Enci Lian sudah kuanggap enciku sendiri, ayah."

   Ayahnya hanya tersenyum dan memandang kepada Bu-beng Lo-kai yang juga hanya tersenyum melihat betapa dua orang gadis cilik itu begitu bertemu terus cocok sedemikian rupa. Padahal, keduanya memiliki watak dan sifat yang berbeda, bahkan mungkin berlawanan. Suma Lian mempunyai watak yang periang, lincah jenaka dan suka bicara, bahkan agak nakal dan ugal-ugalan. Sebaliknya, Pouw Li Sian berwatak pendiam, tidak banyak bicara,

   Sabar namun tegas. Keduanya memang sama-sama suka kagagahan, menentang hal-hal yang jahat, dan suka membantu orang-orang lemah. Keduanya memiliki jiwa pendekar! Demikianlah, mulai hari itu, Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian menjadi tamu kehormatan, bahkan dianggap warga dari keluarga Pouw yang ramah tamah itu. Kakek itu mendapatkan sebuah kamar dekat tuan rumah, sedangkan Suma Lian tidur sekamar di kamar Li Sian. Dalam percakapan-percakapannya dengan kakek Bu-beng Lo-kai, semangat Pouw Tong Ki semakin berkobar dan diapun melanjutkan rencananya yang sudah menjadi keputusan hatinya untuk menentang tindakan Hou Seng yang sewenang-wenang. Dalam suatu persidangan dengan kaisar, selain melaporkan hal-hal yang mengenai keuangan, dia menggunakan kesempatan ini untuk melaporkan hal lain.

   "Hamba mohon paduka suka mengambil perhatian akan keadaan rakyat yang mengeluh karena berulang kali terjadi pemungutan pajak liar dari para tuan tanah yang sudah memperoleh ijin langsung dari istana. Pemungutan pajak harus didasari keadilan, bukan hanya sekedar untuk mendatangkan keuntungan bagi pemerintah. Kalau hal itu merupakan penindasan, maka rakyat akan mengeluh dan tidak merasa tenteram hidupnya."

   Kaisar memandang kepadanya dengan alis berkerut. Dari Hou Seng dia sudah seringkali mendengar bisikan-bisikan tentang "buruknya"

   Menteri Pouw ini yang sering melontarkan protes ke atasan.

   "Apa yang kau maksudkan dengan keadilan dalam pemungutan pajak itu?"

   Tanya kaisar.

   "Begini, Sribaginda. Dalam memungut pajak, harus diperhitungkan besar kecilnya penghasilan para petani itu secara seksama. Kalau sekali waktu hasil panen mereka amat kecil karena datangnya musim kemarau panjang atau terserang hama sehingga hasil keringat mereka itu untuk dimakan keluarga sendiri saja masih belum mencukupi, hendaknya diadakan peraturan agar para tuan tanah tidak memaksakan pemungutan pajak. Dan pemerintahpun memberi kelonggaran kepada para tuan tanah dalam hal membayar pajak. Memang tentu saja pemasukan di istana menjadi berkurang, akan tetapi hal itu disebabkan oleh bencana alam. Biarpun pemasukan berkurang, akan tetapi semua pihak tidak mengeluh dan kalau hasil panen besar dan baik, tentu mereka suka membayar pajak penuh dengan hati rela."

   Kaisar Kian Liong yang tidak begitu beminat lagi untuk memperhatikan keadaan yang dianggap tidak penting itu, hanya mengangguk-angguk.

   "Pendapat dan usul itu baik sekali untuk diperhatikan."

   "Ampun, Sribaginda yang mulia, hamba kira bahwa peraturan pajak yang diadakan pemerintah sudah cukup baik dan adil. Kalau pemerintah terlampau longgar, maka mereka yang berkewajiban membayar pajak itu selalu akan mempergunakan kelemahan atau kelonggaran pemerintah untuk menghindarkan diri dari pembayaran pajak. Tanpa tekanan, mereka itu tidak akan mau membayar!"

   Ucapan yang dikeluarkan Hou Seng ini membuat Kaisar kembali mengangguk-angguk dan dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan ini. Hatinya menjadi bimbang dan diapun memandang kepada Pouw Taijin, sinar matanya bertanya bagaimana pendapat menterinya yang terkenal pandai itu.

   "Ampunkan hamba, Sribaginda yang mulia. Hambapun mengerti bahwa semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah adalah bijaksana dan adil! Akan tetapi, biasanya, yang tidak bijaksana dan tidak adil adalah pelaksanaannya. Para petugas yang melaksanakan peraturan, seringkali menyalahgunakan kebijaksanaan pemerintah dan mempergunakan peraturan-peraturan itu sebagai modal untuk melakukan penindasan dan pemerasan demi kegendutan perut sendiri. Karena itu, betapa pentingnya untuk melakukan pengamatan terhadap para pelaksana atau petugas itu, Sribaginda. Betapapun baiknya pemerintah dan semua peraturannya, tanpa didukung pelaksanaan yang baik oleh petugas-petugas yang setia dan jujur, maka pemerintahan takkan berhasil. Dan menurut pengamatan hamba, pada saat ini pemerintahan paduka sedang dirong-rong oleh penguasa-penguasa yang berambisi buruk dan saling bertentangan. Pembunuhan-pembunuhan terjadi di kalangan para pejabat tingkat atas. Ada penguasa yang memelihara tukang-tukang pukul untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap saingan-saingannya. Kalau paduka tidak segera mencegahnya, keadaan yang buruk ini dapat berlarut-larut dan semakin memburuk, Sribaginda."

   Kaisar mengerutkan alisnya dan melempar pandang ke arah para menteri yang duduk di dalam ruangan sidang itu.

   "Benarkah sampai demikian parah sehingga ada yang saling bunuh di antara para pembantuku?"

   "Apa yang dilaporkan oleh Menteri Pouw itu benar, Sribaginda. Baru-baru ini malah Pangeran Cui Muda menjadi korban pembunuhan yang amat kejam, juga semua saksi mata, pengawal, dibunuh oleh pembunuh rahasia."

   "Kami sudah mendengar bahwa pangeran itu tewas oleh perampok di dalam rumah pelesir,"

   Kata kaisar itu.

   "Bukan perampok, Sribaginda, karena tidak ada barang yang hilang, melainkan pembunuh bayaran yang diutus oleh seorang saingannya,"

   Kata pula Pouw Teng Ki. Kaisar menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut dan pada saat itu, Hou Seng segera berkata,

   "Urusan itu adalah urusan yang menyangkut keamanan dari menjadi bagian dan tugas Coa Tai-ciangkun yang menjadi kepala bagian keamanan untuk menyelidiki dan mengurusnya, Sribaginda. Dan Coa Tai-ciangkun juga hadir, kenapa paduka tidak menyerahkan saja kepadanya?"

   Kaisar lalu menoleh ke kiri dan memandang kepada seorang panglima tinggi besar bermuka hitam

   "Bagaimana pendapatmu dalam urusan ini, Coa-ciangkun?"

   Panglima tinggi besar itu memberi hormat dan terdengar suaranya yang berat dan dalam, sesuai dengan bentuk tubuhnya.

   "Tadinya memang hamba mengira bahwa pembunuhan atas diri Pangeran Muda itu merupakan perampokan, akan tetapi kemudian menurut penyelidikan, pembunuhan itu dilakukan orang karena dendam sakit hati urusan perempuan, Sribaginda. Pembunuhnya berkepandaian tinggi dan tidak meninggalkan jejak, namun hamba masih terus mengutus pembantu-pembantu yang pandai untuk mencari jejaknya."

   Kaisar mengangguk-angguk lega.

   "Bagus kalau begitu, Coa-ciangkun dan selanjutnya atur dan jagalah agar keadaan tetap aman."

   "Selama ini keamanan dalam kota raja sudah terjaga dengan baik, Sribaginda. Keadaan para penghuni dan kehidupan mereka sehari-hari berjalan seperti biasa, tidak pernah ada gangguan, kecuali pencuri kecil-kecilan yang tidak berarti. Kalau ada orang merasa tidak aman di kota raja, berarti bahwa dia menyimpan kesalahan sehingga merasa tidak sedap makan tidak nyenyak tidur."

   Nampak beberapa orang pembesar tinggi menahan tawa dan tersenyum-senyum, sedangkan Hou Seng sendiri tidak menyembunyikan senyumnya yang lebar dan dengan pandang mata penuh ejekan dia memandang ke arah Pouw Tong Ki. Pouw Tong Ki dan mereka yang menentang Hou Seng tak mampu berkata apa-apa lagi dan merasa ditertawakan. Mereka tahu bahwa panglima she Coa itu sudah dirangkul oleh Hou Seng dan tentu saja membelanya! Ketika persidangan itu bubaran, Pouw Tong Ki menyusul Hou Seng yang melangkah menuju ke keretanya.

   "Hou Taijin, saya mau bicara sebentar!"

   Katanya dengan muka merah karena mendongkol. Hou Seng menoleh dan melihat betapa Pouw Tong Ki melangkah lebar menghampirinya, dia tersenyum mengejek. Dua orang pengawalnya siap di belakangnya dan dia tidak takut terhadap lawan ini.

   "Ah, kiranya Pouw Taijin. Ada apakah?"

   "Hou Taijin, di depan Sribaginda saya telah gagal. Akan tetapi, demi perikemanusiaan, hentikanlah pembunuhan-pembunuhan itu! Kalau engkau hendak bersaing, lakukanlah dengan patut dan bersih, bukan dengan menggunakan tangan pembunuh-pembunuh bayaran! Engkaulah yang menyuruh bunuh Pangeran Cui Muda!"

   Hou Seng mamandang dengan mata melotot.

   "Tutup mulutmu yang lancang itu, orang she Pouw! Engkau melakukan fitnah keji dan aku tidak sudi bicara lagi denganmu!"

   Dengan marah Hou Seng melangkah lebar memasuki keretanya yang segera pergi meninggalkan halaman istana.

   "Aihh, engkau telah menanamkan bibit racun yang akan tumbuh mekar dan berbahaya bagimu sendiri, kawan,"

   Kata seorang menteri tua yang kebetulan melihat peristiwa itu. Akan tetapi Pouw Tong Ki menggerakkan pundaknya dan pergi, sedikitpun tidak merasa takut akan bayangan itu.

   Diapun bukan tidak tahu bahwa sikapnya terhadap Hou Seng dan pelaporannya terhadap peristiwa pembunuhan-pembunuhan itu di depan kaisar merupakan suatu tantangan terbuka kepada Hou Seng, dan bahwa akibatnya dia akan dimusuhi oleh pembesar yang sedang mabok kekuasaan itu. Mungkin dia akan terancam bahaya, akan tetapi betapapun juga, dia sudah mengeluarkan segala rasa penasaran dalam hatinya. Dia telah memberi contoh kepada para pembesar lainnya untuk secara berterang menentang Hou Seng, dan hatinya merasa lega walaupun dia tahu bahwa semua usahanya tadi tidak berhasil. Dengan cerdiknya Hou Seng telah bersembunvi di belakang Coa-ciangkun yan memang sebagai kepala bagian keamanan paling berkuasa untuk menentukan urusan keamanan,

   Dan Hou Seng telah lebih dahulu merebut Coa-ciangkun untuk berpihak kepadanya! Sayang sekali bahwa Pouw Tong Ki termasuk orang yang memiliki keangkuhan. Biarpun dia tahu bahwa nyawanya terancam, namun dia tidak takut dan sama sekali tidak mau membicarakan urusan itu dengan Bu-beng Lo-kai karena dia tidak mau memperoleh kesan seolah-olah dia minta perlindungan kakek sakti itu! Tidak, dia tidak akan menyeret orang lain ke dalam urusannya itu. Akan dihadapinya sendiri dan dia tidak takut! Pouw Tong Ki memang bukan orang lemah karena dia juga pernah belajar silat sampai tingkat yang lumayan sehingga dia pernah menjadi seorang perwira tinggi. Dan peringatan menteri tua ketika dia menyerang Hou Seng dengan kata-kata itupun bukan hanya omong kosong belaka.

   Bibit racun itu memang tumbuh, dan betapa cepatnya! Memang Hou Seng membawa pulang perasaan marahnya terhadap Pouw Tong Ki. Di sepanjang perjalanan ke rumahnya, dia mengepal tinju dan berkali-kali memukul telapak tangan kirinya sendiri, seolah-olah Pouw Tong Ki yang dianggapnya musuh besar itu berada di atas telapak tangan itu. Dan begitu tiba di rumah, dia menjadi gelisah, menimbang-nimbang dan merencanakan apa yang akan dilakukannya terhadap Pouw Tong Ki. Orang she Pouw itu jelas merupakan musuhnya, orang yang membencinya dan berusaha memburukkan namanya di depan kaisar. Malam itu, Pouw Tong Ki tidur agak malam dari biasanya. Sore tadi sampai jauh malam, ia bercakap-cakap dengan Bu-beng Lo-kai dan dengan susah payah dia membujuk kakek itu untuk tinggal lebih lama lagi di dalam gedungnya.

   "Terima kasih atas segala kebaikan Taijin,"

   Kakek itu membantah.

   "Akan tetapi, kami sudah biasa hi-dup bebas merantau di dunia ini, dan kami tidak ingin membikin repot taijin lebih lama dari pada waktu yang dijanjikan...."

   "Ah, locianpwe tentu maklum bahwa tentang janji dan hukuman itu hanya main-main saja dari kami. Biarpun sudah sebulan locianpwe dan nona Suma berada di sini, akan tetapi kami sekeluarga sudah menganggap ji-wi seperti keluarga sendiri. Terutama sekali Li Sian, bagaimana mungkin ia ditinggalkan nona Suma? Locianpwe melihat betapa akrab hubungan antara dua orang anak itu. Betapa Li Sian akan berduka dan merana kalau ditinggalkan."

   "Kalau begitu, biarkan ia ikut merantau dengan kami!"

   Bu-beng Lo-kai berkata.

   "Suma Lian sudah berkali-kali membujukku, juga nona Pouw sudah berulang kali minta agar ia kami bawa serta kalau kami terpaksa meninggalkan rumah ini."

   "Membiarkan ia merantau....?"

   Mata pembesar itu terbelalak dan dia membayangkan betapa anak perempuannya yang satu-satunya itu melakukan perjalanan jauh bersama kedua orang ini, memakai pakaian seperti pengemis! Makan dari sumbangan orang, dan siapa tahu mungkin harus mencuri makanan! Sukar baginya dapat menerima bayangan ini. Dia seorang bangsawan! Seorang menteri! Dan dia membayangkan isterinya. Betapa akan berat hati ibu itu kalau ditinggalkan oleh puteri satu-satunya, apa lagi ditinggal merantau tak tentu tempat tujuannya. Isterinya pasti berkeberatan dan menentangnya. Bu-beng Lo-kai tersenyum.

   "Tentu berat bagi taijin, akan tetapi demikianlah keinginan puteri taijin, juga menjadi keinginan Suma Lian dan saya sendiri. Puteri taijin berbakat baik sekali dalam ilmu silat."

   "Wah, saya menjadi bingung, locianpwe.... berilah saya waktu untuk memikirkan hal ini sampai besok. Harus saya rundingkan dulu dengan isteri saya. Kembali kakek itu tersenyum.

   "Segala keputusan harus dilakukan tanpa ragu-ragu, taijin. Oleh karena itu, besok pagi-pagi sekali kami akan pergi, dan keputusannya hanyalah, puteri taijin ikut bersama kami atau tidak. Saya harap besok sebelum kami pergi, taijin sudah mengambil keputusan yang pasti."

   Demikianlah, dengan hati berat Pouw Tong Ki membicarakan urusan anak perempuan mereka itu dengan isterinya.

   "Tidak.... ah, jangan pisahkan aku darinya....!"

   Isterinya menangis.

   "Mengapa ia harus merantau seperti seorang pengemis? Kalau mau belajar silat kepada Bu-beng Lo-kai itu, biarlah kita belikan sebuah tempat, kalau dia menghendakinya, kita bangunkan sebuah rumah di mana saja, dan Li Sian boleh belajar bersama Suma Lian di tempat itu. Tempat yang tertentu. Akan tetapi bukan merantau tanpa tujuan sebagai seorang pengemis. Aku tidak rela....!"

   Tentu saja hati Pouw Tong Ki menjadi bimbang, penuh keraguan dan biarpun akhirnya dia dapat menghibur isterinya sehingga tertidur, dia sendiri masih belum dapat tidur. Sementara itu, di sebuah kamar lain, kamar di mana Li Sian tidur bersama Suma Lian, dua orang gadis cilik itupun belum dapat tidur dan bercakap-cakap dengan suara lirih. Mereka juga bicara tentang keberangkatan Suma Lian pada besok pagi-pagi bersama Bu-beng Lo-kai dan sejak tadi Li Sian menyatakan bahwa bagaimanapun juga, ia harus ikut bersama mereka pergi merantau kalau Bu-beng Lo-kai berkeras tidak dapat dibujuk untuk tinggal lebih lama lagi di rumah keluarga Pouw.

   "Kalau ayah dan ibu melarang, aku akan minggat saja dan ikut bersama kalian!"

   Li Sian berkata berkali-kali.

   "Ah, kurasa kalau begitu tidak benar, Li Sian, kata Suma Lian.

   "Aku yakin kakek tidak akan membolehkan engkau minggat dan ikut bersama kami. Kakek amat memegang aturan, dan tentu dia tidak mau menyusahkan orang tuamu. Pula, kalau engkau minggat dan ikut bersama kami, kami bisa dituduh menculikmu."

   "Siapa yang akan menuduh? Aku dapat bilang bahwa aku ikut dengan suka rela! Biar bagaimanapun juga, aku harus ikut pergi!"

   "Adikku yang manis, kau tentu tahu bahwa akupun tidak suka berpisah darimu, dan akulah orang pertama yang akan merasa gembira bukan main kalau engkau dapat pergi bersamaku. Akan tetapi, cara yang kau akan pakai itu, yaitu dengan minggat, sungguh tidak menyenangkan. Tentu akan menimbulkan perasaan tidak enak dan tidak senang dalam hati ayah ibumu terhadap kami. Padahal, mereka sudah begitu baik terhadap kami. Tenanglah, Sian-moi, aku tadi sudah minta kepada kakek agar dia suka membujuk ayahmu sehingga ayahmu akan memperbolehkan engkau ikut bersama kami dengan baik-baik."

   "Tapi aku khawatir ibuku akan berkeberatan. Ah, biarlah aku akan minta keputusan mereka sekarang juga. Aku merasa gelisah dan tersiksa kalau belum diberi keputusan dan kalian berdua akan berangkat besok pagi-pagi!"

   Li Sian lalu keluar dari dalam kamar itu, diikuti oleh Suma Lian yang menggandeng tangannya. Li Sian bertekad untuk mengetuk pintu kamar orang tuanya dan bertanya tentang keputusan mereka mengenai keinginannya ikut pergi merantau bersama Suma Lian.

   Akan tetapi tiba-tiba Suma Lian menarik tangannya dan diajak bersembunyi di balik sebuah pot bunga besar karena gadis cilik ini melihat ada bayangan berkelebat cepat sekali, melayang turun dari atas genteng! Dan bayangan itu dengan kecepatan luar biasa telah tiba di jendela kamar Pouw Tong Ki, kemudian menggunakan kedua tangannya, sekali tarik daun jendela itupun terbuka dan tubuhnya meloncat ke dalam kamar. Yang amat mengejutkan hati Suma Lian adalah ketika ia mengenal tubuh tinggi besar dan kepala gundul itu. Sai-cu Lama! Karena maklum bahwa pendeta jahat itu tentu mempunyai niat busuk, tanpa berpikir panjang lagi Suma Lian lalu meninggalkan Li Sian dan iapun lari mengejar. Satu-satunya keinginan adalah untuk membela Pouw Taijin yang ia tahu tidur di dalam kamar itu! Akan tetapi ia masih sempat berteriak sebelum dengan nekat meloncat ke dalam kamar itu melalui jendelanya yang sudah terbuka.

   "Kakek, tolong ada penjahat....!"

   Ketika kakek yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu tadi meloncat masuk, Pouw Tong Ki belum tidur dan begitu daun jendela terbongkar, dia sudah merasa terkejut sekali dan cepat meloncat keluar dari atas tempat tidurnya. Isterinya juga terkejut oleh gerakan ini dan terbangun. Ketika Pouw Tong Ki melihat seorang kakek tinggi besar berperut gendut sudah meloncat masuk ke dalam kamarnya, dia mengerti bahwa tentu itu orang jahat, maka dia menyambar pedang yang tergantung di dinding kamar.

   "Penjahat busuk!"

   Bentaknya dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada yang telanjang karena bajunya terbuka itu.

   "Krakk....!"

   Pedang itu tepat menusuk dada, akan tetapi saking kerasnya Pouw Taijin dan saking kuatnya dada yang ditusuk, pedang itu patah menjadi dua potong! Kakek itu memang Sai-cu Lama yang diutus oleh Hou Seng untuk membunuh Pouw Tong Ki. Ketika tadi melihat serangan pedang, Sai-cu Lama sudah dapat mengukur kekuatan orang, maka dia berani menerima tusukan itu.

   "Ha-ha, kiranya orang she Pouw ini hanya begini saja!"

   Katanya dan tangannya menyambar.

   "Desss....!"

   Tangan yang amat kuat itu secara dahsyat telah menyambar dan mengenai leher Pouw Tong Ki, membuat tubuh pembesar itu terbanting ke tepi ranjang.

   "Ouhhh.... tolooongg....!"

   Isteri Pouw Tong Ki cepat menubruk suaminya yang menggeletak tak bergerak lagi itu. Pada saat itulah Suma Lian meloncat masuk. Melihat betapa Pouw Tong Ki telah menggeletak ditubruk oleh isterinya, dan melihat betapa Sai-cu Lama berdiri sambil tertawa, Suma Lian lupa diri dan dia menjadi marah sekali.

   "Pendeta jahanam yang jahat!"

   Bentaknya dan iapun sudah menyerang Sai-cu Lama dengan pukulan kedua tangannya. Sai-cu Lama terkejut dan heran, akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya hanya seorang gadis cilik, apa lagi gadis itu adalah Suma Lian yang segera dikenalnya, ia tertawa dan menerima pukulan-pukulan itu dengan perutnya.

   "Puk! Pukk!"

   Kedua tangan kecil itu mengenai perut gendut, akan tetapi seperti mengenai benda lunak saja sehingga kedua tangan itu masuk ke dalam perut dan tak dapat ditarik kembali!

   "Ha-ha-ha, kiranya engkau, kuda binal cilik! Ha-ha-ha!"

   Dia tertawa lagi. Pada saat itu, isteri Pouw Tong Ki menjerit. Sai-cu Lama menjadi marah. Tangan kirinya mencengkeram punggung baju Suma Lian dan ditariknya anak itu ke atas, sambil kakinya diayun ke arah kepala nyonya Pouw. Tubuh nyonya itu terkulai di samping tubuh suaminya dan tendangan itu seketika merenggut nyawanya!

   "Braakkkk...."

   Daun pintu kamar itu ambrol dan masuklah seorang kakek tua renta berpakaian tambal-tambalan. Melihat betapa suami isteri itu telah roboh dan kini Suma Lian diangkat ke atas oleh seorang pendeta Lama berperut gendut, Bu-beng Lo-kai terkejut bukan main.

   "Aahhhh, kau jahat sekali...."

   Bentaknya dan kedua tangannya sudah bergerak ke depan dengan amat cepat. Ketika pintu jebol, Sai-cu Lama juga terkejut, akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanya seorang yang sudah amat tua, dia memandang rendah. Baru setelah kedua tangan kakek itu melakukan pukulan ke arah lambung dan lehernya, dia terkejut setengah mati. Angin pukulan yang datang itu bukan hanya amat dahsyat dan kuat sekali, akan tetapi juga yang menuju ke tenggorokannya itu mengandung hawa panas seperti api sedangkan yang menyambar ke arah lambungnya mengandung hawa dingin seperti salju!

   "Celaka....!"

   Serunya dan terpaksa dia melepaskan cengkeramannya pada punggung Suma Lian lalu mengerakkan ke dua tangan ke bawah untuk menangkis karena untuk mengelak sudah tidak ada kesempatan lagi sedangkan menerima pukulan-pukulan itu mengandalkan kekebalan, dia tidak berani.

   "Dukk! Desss....!"

   Tubuh Sai-cu Lama hampir terjengkang dan dia terhuyung ke belakang, sedangkan Bu-beng Lo-kai sudah berhasil menggandeng tangan cucunya yang selamat. Pada saat itu, Li Sian berlari masuk melalui pintu yang ambrol dan melihat ayah ibunya menggeletak di atas lantai, ia menubruk mereka dan menangis. Sementara itu Sai-cu Lama terkejut bukan main ketika tubuhnya terpental tadi dan diapun mengenal ilmu sin-kang yang panas dan dingin tadi. Kakek tua renta ini sama sekali sama sekali tak boleh disamakan dengan nenek yang dulu pernah bertempur dengannya ketika dia menculik Suma Lian. Tentu kakek ini seorang pendekar dari keluarga Pulau Es yang tangguh. Maka diapun merasa jerih, apa lagi kamar itu terlampau sempit untuk dipakai berkelahi. Selain itu, Hou Taijinpun sudah mempunyai rencana lain.

   Tugasnya hanya membunuh Pouw Tong Ki, kalau mungkin seluruh keluarganya, lalu pergi. Dia hanya berhasil merobohkan Pouw Tong Ki dan membunuh isterinya, tidak yakin apakah pukulannya tadi sudah cukup untuk merenggut nyawa Pouw Tong Ki. Maka diapun cepat meloncat keluar dari jendela. Bu-beng Lo-kai tidak mengejar karena dia ingin lebih dahulu menolong Pouw Taijin dan isterinya, kalau-kalau masih dapat diselamatkan. Dia memeriksa nyonya Pouw yang telah tewas dan ketika dia memeriksa Pouw Tong Ki, hati yang tua itu berduka sekali. Pembesar ini mengalami luka parah oleh pukulan yang amat kuat, dan napasnya sudah empas-empis. Dia hanya dapat mengurut dada Pouw Tong Ki dan menotok beberapa jalan darah untuk menyadarkan pembesar itu. Pouw Tong Ki membuka matanya dan melihat Bu-beng Lo-kai, dia hanya sempat berkata lirih,

   ".... locianpwe.... tolong.... bawa Li Sian...."

   Dan lehernya terkulai karena dia telah menghembuskan napas terakhir. Pada saat itu, terdengar suara gaduh di luar kamar dan terdengar teriakan-teriakan orang banyak,

   "Tangkap kakek pengemis itu! Dia pembunuh Pouw Taijin....!"

   Bu-beng Lo-kai mengerutkan alisnya, memandang keluar pintu yang berlubang. Dia melihat banyak sekali orang berpakaian seragam berdatangan ke tempat itu dan teriakan-teriakan mereka menunjukkan bahwa mereka itu menuduh dia yang melakukan pembunuhan! Bu-beng Lo-kai tidak ingin terlibat dalam urusan ini dan banyak repot, maka dia lalu menyambar tubuh Suma Lian dan Li Sian, kemudian sekali dia menggerakkan tubuh, dia sudah membawa kedua orang anak perempuan itu meloncat keluar, kemudian melayang ke atas genteng.

   "Itu dia! Dia membunuh Pouw Taijin dan menculik Pouw Siocia!"

   Bu-beng Lo-kai tidak tahu siapa yang berteriak,

   Akan tetapi dengan heran dia melihat bahwa pendeta Lama gendut yang tadi berada di kamar, kini berada di antara orang-orang berpakaian seragam itu! Tahulah dia bahwa dia akan kena fitnah, maka diapun mempercepat gerakannya dan sebentar saja lenyap dari pandang mata para pengejarnya. Kiranya orang-orang berpakaian seragam itu adalah sepasukan tentara penjaga keamanan yang dipimpin oleh Coa Tai-ciangkun sendiri, panglima yang menjadi kepala barisan keamanan! Setelah gagal menangkap pengemis tua itu, Coa Tai-ciangkun ini lalu menangkapi seluruh sisa keluarga Pouw Tong Ki, yaitu empat orang puteranya dan semua penghuni rumah, lalu membawa mereka sebagai tahanan-tahanan, sedangkan rumah itupun diduduki sebagai rumah sitaan pemerintah! Gegerlah kota raja oleh peristiwa yang hebat ini.

   Coa tai-ciangkun (Panglima Coa) segera membuat pelaporan kepala Kaisar dan juga memberi keterangan kepada para pejabat lainnya akan jalannya peristiwa, seperti yang memang sudah diaturnya bersama Hou Seng! Dia menceritakan bahwa dia memperoleh laporan dari para penyelidiknya, bahwa diam-diam Pouw Tong Ki yang di depan kaisar pura-pura mencela orang-orang berkuasa memelihara tukang-tukang pukul, di rumahnya sendiri telah menerima seorang datuk penjahat besar yang belum diketahui jelas siapa namanya dan apa maksudnya. Karena itu, Coa-ciangkun menjadi curiga sekali, apa lagi ketika, menurut ceritanya, dia mendengar laporan yang mengatakan bahwa Pouw Tong Ki bertengkar dengan tamunya yang aneh itu. Karena merasa khawatir, dia lalu memperlakukan persiapan untuk setiap saat menyerbu tempat kediaman keluarga Pouw itu,

   Dengan tuduhan bahwa keluarga itu bermaksud membuat persekutuan dengan orang kang-ouw untuk melakukan pemberontakan! Kemudian, dia melaporkan bahwa Pouw Tong Ki dan isterinya terbunuh oleh tokoh kang-ouw yang mengenakan pakaian pengemis itu, bahkan pengemis yang diduga tentu datuk penjahat besar itu telah melarikan puteri Pouw Tong Ki. Berdasarkan pelaporan ini, maka semua keluarga Pouw yang masih hidup dijatuhi hukuman berat! Memang, demikianlah keadaan masyarakat manusia di seluruh dunia yang dibentuk oleh kita sendiri. Yang menang pasti benar, akan tetapi yang benar belum tentu menang! Kekuasaanlah yang menentukan benar atau salah, hanya kekuasaanlah yang menang dan oleh karena itu, kekuasaan ini diperebutkan oleh seluruh umat manusia di dunia ini.

   Kekuasaan dalam pemerintahan, kekuasaan dalam perkumpulan, kekuasaan dalam kelompok ataupun kekuasaan dalam keluarga sendiri. Kita gandrung kekuasaan karena kita tahu bahwa kekuasaan akan membuat kita selalu benar dan menang! Dari sinilah timbulnya kesewenang-wenangan ketika kekuasaan itu disalahgunakan, dipakai demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Dari sini timbul konflik-konflik antara yang menang dan yang kalah, yang menindas dan yang ditindas dan konflik-konflik ini takkan pernah berhenti selama manusia masih berlumba untuk mencari kekuasaan. Memang, pengejaran kesenangan jugalah sebenarnya yang melandasi perebutan kekuasaan itu. Dan perebutan kekuasaan ini konon menurut dongengnya sudah terjadi sejak pra sejarah, sejak dongeng di kahyangan di antara para dewata dan malaikat!

   Bu-beng Lo-kai mempergunakan ilmu gin-kangnya untuk melarikan Suma Lian dan Li Sian keluar dari bahaya. Baru sekali ini semenjak dia menjadi pertapa di puncak Telaga Warna Pegunungan Beng-san bersama isterinya sampai kemudian kematian isterinya itu, dia mempergunakan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengerjakan sesuatu secara serius. Dia kini benar-benar terlibat dan berusaha menyelamatkan dua orang anak perempuan itu. Dan melalui keributan yang terjadi di gedung keluarga Pouw, dia berhasil melarikan dua orang anak perempuan itu keluar bahkan terus dia larikan sampai ke luar kota raja. Li Sian menangis terisak-isak ketika akhirnya kakek itu berhenti lari. Suma Lian merangkulnya dan menghiburnya, sedangkan Bu-beng Lo-kai menarik napas panjang berkali-kali.

   "Sudahlah, nona Pouw, jangan terlalu menurutkan hati yang bersedih. Ayah ibumu tewas oleh orang yang ilmu kepandaiannya tinggi, dan karena sebelumnya memang ayahmu telah menitipkan engkau kepadaku, maka biarlah mulai sekarang engkau ikut bersama kami."

   Sambil masih terisak-isak, Li Sian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu.

   "Locianpwe, aku mohon agar locianpwe suka membimbingku dengan ilmu silat tinggi agar kelak aku dapat membalas kematian kedua orang tuaku dan mencari pembunuh itu!"

   Kakek itu menggelengkan kepalanya.

   "Aihh, cita-cita itu buruk sekali, nona Pouw. Ketahuilah, dan ini sebagai pelajaran pertama, bahwa dengan adanya dendam kebencian di dalam hatimu, maka hal itu sudah membuat keruh batin, menjadi racun dalam darahmu dan dalam keadaan seperti itu, mana mung-kin engkau akan dapat belajar ilmu yang tinggi? Hanya batin yang tenang sajalah yang akan mampu menghimpun tenaga yang kuat. Orang tuamu memang sengaja melibatkan diri dalam urusan besar dan kalau dia sekeluarga kini tertimpa bencana sebagai akibatnya, hal itu wajar, bukan? Siapa bermain dengan air menjadi basah, bermain dengan api mungkin saja terbakar. Nona Pouw, kalau engkau dapat melihat kenyataan itu, engkau tentu akan terbebas dari racun dendam kebencian"

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 4 Suling Emas Naga Siluman Eps 37 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 30

Cari Blog Ini