Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 37


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 37



Mereka mulai menutup telinga dengan tangan, akan tetapi rasa nyeri itu masah saja menembus masuk, malah seperti menusuk-nusuk jantung. Mereka kelabakan, dan akhirnya, dua puluh orang itu roboh pingsan semua! Dan Ci Sian sudah tidak mau peduli lagi, terus saja ia melompat masuk ke dalam hutan, mengikuti jejak kaki kudanya. Untung bahwa tanah di dalam hutan itu lembek dan agak basah sehingga ia dapat menemukan jejak kaki kudanya dan terus ia berlari. Akan tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka yang penuh dengan daun-daun kering dari pohon-pohon di sekitarnya, ketika ia sedang berlari ke depan, tiba-tiba saja kakinya terjeblos ke bawah. Ia terkejut sekali merasa betapa kakinya itu tenggelam ke dalam pasir berlumpur yang mempunyai daya sedot amat kuatnya!

   
Ia meronta dan berusaha mencari pegangan di tepi, akan tetapi yang ada hanya rumput dan begitu kena cengkeramannya tentu saja rumput-rumput itu tidak dapat menahan tubuhnya dan jebol. Dan celakanya, makin ia mengarahkan tenaga meronta, makin cepat tubuhnya tersedot ke bawah! Sebentar saja ia sudah terbenam sampai ke pinggang! Sia-sia saja ia mengerah-kan tenaga sinkang maupun khi-kang karena kakinya tidak mempunyai landasan yang kuat untuk diinjak, melainkan terbenam ke dalam lumpur yang menyedot, sedangkan di atasnya tidak terdapat apa-apa untuk dijadikan pegangan! Dan kini dari belakang pohon-pohon yang tak jauh dari sekitar tempat jebakan yang merupakan empang- lumpur itu, bermunculan kepala-kepala orang dan tak lama kemudian dari empat penjuru beterbangan anak panah ke arah tubuhnya yang tinggal nampak bagian atasnya itu saja!

   Ci Sian yang masih memegang sulingnyaa cepat menggerakkan suling dan semua anak panah itu runtuh dan patah-patah. Akan tetapi, kembali gerakannya ini membuat tubuhnya makin merosot ke bawah dan kini lumpur sudah mencapai dadanya! Panik juga Ci Sian, ia akan menghadapi maut dengan senyum kalau saja ia harus mati dengan sewajarnya, dalam perkelahian misalnya. Akan tetapi ia akan mati secara mengerikan, disedot lumpur sampai tenggelam! Untuk berteriak minta tolong merupakan hal yang ia tidak sudi lakukan. Maka ia lalu menempelkan suling di bibirnya dan meniupkan nada yang amat tinggi melengking dan panjang. Mendengar ini kepala-kepala penjahat yang tadi bermunculan di balik pohon segera menghilang. Memang, suara sulingnya itu mengerikan sekali! Tiba-tiba terdengar suara orang di dekat telinganya.

   "Ih, siluman apa yang dapat mengeluarkan suara seperti itu?"

   Ci Sian menengok ke kanan kiri dan bulu tengkuknya meremang. Tidak nampak seorang pun manusia akan tetapi suara itu demikian jelasnya terdengar di dekat telinganya! Ia tentu saja tahu akan adanya ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), akan tetapi suara yang didengarnya itu demikian jelas, bahkan terdengar olehnya gerakan bibir dan pernapasannya. Bukan main! Suara itu mengherankan suara sulingnya, akan tetapi suara itu sendiri mirip suara siluman! Dan tiba-tiba saja terdengar suara keras dan sebuah pohon berikut cabang-cabang dan dahan-dahan serta daun-daunnya roboh dan hampir menimpanya! Pohon itu jebol bersama akar-akarnya dan jatuh melintang di dekatnya!

   Tentu saja ini merupakan pertolongan yang menyelamatkan nyawanya. Cepat Ci Sian memegang dahan pohon, dengan hati-hati mengerahkan tenaganya menarik dirinya perlahan-lahan keluar dari isapan lumpur. Akhirnya ia pun bebaslah! Ia melompat keluar dari tempat itu melalui batang pohon dan setelah tiba di tepi kolam lumpur yang berbahaya itu, Ci Sian tanpa mempedulikan pakaiannya yang berlepotan lumpur segera meloncat ke dalam gerombolan pohon-pohon di mana tadi ada orang-orang yang bersembunyi dan yang menyerangnya dengan anak panah. Akan tetapi di situ tidak nampak seorang pun! Ci Sian menjadi marah dan ia terus lari mengikuti jejak kudanya, kini berhati-hati karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan gerombolan jahat yang cerdik dan yang mungkin akan menjebaknya lagi. Ketika ia tiba di tengah hutan,

   Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan bermunculanlah belasan orang yang semua mengenakan pakaian hijau sehingga gerakan mereka sukar diikuti, apalagi kalau bersembunyi antara semak-semak. Mereka semua memegang pedang dan dipimpin oleh seorang kakek yang tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu, dengan rambut digelung tinggi di atas kepala, diikat dengan pita kuning. Juga tosu ini memegang sebatang pedang. Ci Sian sudah marah dan sudah Memegang sulingnya, maka tanpa banyak kata lagi ketika orang-orang itu mengepung dan menyerangnya, ia pun menggerakkan sulingnya yang mengeluarkan suara melengking-lengking. Dalam beberapa gebrakan saja ia telah merobohkan empat orang dengan sulingnya. Akan tetapi tiba-tiba kakek tosu itu berdiri tegak dan mengangkat pedangnya ke atas kepala, mulutnya berkemak-kemik, lalu terdengar bentakannya,

   "Nona, lihat apakah engkau akan kuat menghadapi pengeroyokan ratusan orang anakku!"

   Dan tiba-tiba saja Ci Sian mendapatkan dirinya dikeroyok oleh tosu-tosu muda yang usianya belasan tahun akan tetapi yang kesemuanya mirip dengan tosu tinggi kurus itu!

   Bukan hanya wajah mereka yang sama, akan tetapi juga pakaian dan gelung rambut mereka, dengan ikatan pita kuning itu semua sama. Dan mereka itu ratusan orang banyaknya, semua juga memegang pedang dan mengepungnya dengan ketat! Ci Sian menjadi terkejut dan marah, ia memutar sulingnya dengan hebat, akan tetapi celakanya, remaja-remaja yang berpakaian tosu ini agaknya tidak dapat dirobohkan, seperti bayangan-bayangan saja yang mengelilinginya dan membuatnya pusing! Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua tosu remaja itu pun lenyap! Yang ada hanya belasan orang berpakaian hijau yang masih mengepungnya! Maka tahulah, Ci Sian bahwa tosu tua itu menggunakan sihir dan ia pun cepat memutar suling sambil mengerahkan khikang sehingga dari lubang suling itu terdengar suara menggetar yang cukup kuat.

   Menurut petunjuk suhengnya, suara yang mengandung getaran khi-kang ini akan mampu menolak pengaruh sihir yang kuat sekalipun. Sambil melindungi dirinya dari pengaruh sihir dengan suara sulingnya, Ci Sian mengamuk terus dan merobohkan lagi beberapa orang. Dan ketika sisanya lari, tosu tua itu pun tidak lagi nampak bayangannya. Ci Sian melanjutkan pengejarannya dengan melihat jejak kaki kuda hitamnya. Dan ketika dia menembus hutan yang tidak berapa besar itu, ia melihat kuda hitamnya sedang makan rumput di tepi hutan sebelah sana, dengan tenangnya. Giranglah hatinya dan ia segera lari menghampiri, akan tetapi dengan amat hati-hati karena ia masih curiga kalau-kalau ia terjebak perangkap.

   Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu dan ia segera menangkap kendali kuda dan memasang kendali kuda itu di mulut kudanya. Ketika ia meloncat ke punggung kuda itu, ia merasakan sesuatu yang amat berbeda. Kuda itu tidak membuat reaksi seperti Hek-liong-ma. Kalau Hek-liong-ma ditungganginya, maka ia merasakan bagaimana otot-otot kuda itu menegang, kepalanya diangkat, telinganya juga berdiri dan ada semacam kekuatan dahsyat bekerja di dalam tubuh kuda yang dapat dirasakannya melalui jepitan pahanya dan melalui kendali yang dipegangnya. Akan tetapi kuda ini reaksinya lambat dan lemah sekali, bahkan agaknya masih merasa enggan meninggalkan rumput hijau segar. Ketika Ci Sian menarik kendali kudanya, kuda itu melangkah maju, sama sekali tidak seperti Hek-liong-ma yang biasanya tentu meloncat ke depan seperti seekor harimau!

   "Hemm, sadarlah dan buka matamu baik-baik!"

   Terdengar bisikan aneh seperti tadi dan karena suara itu terdengar dekat telinga kirinya, Ci Sian menengok ke kiri. Akan tetapi tidak nampak sesuatu dan ia terkejut sekali. Cepat ia meloncat turun dari atas punggung kudanya dan melihat bahwa kuda hitam itu ternyata sama sekali bukan Hek-liong-ma, juga bukan hitam melainkan kuda coklat yang amat buruk lagi berpenyakitan.

   "Ihhh....!"

   Ia berseru keras sehingga kuda itu kaget juga. Ci Sian terheran-heran.

   Bagaimana tadi ia melihat betul bahwa kuda itu sebagai Hek-liong-ma? Apa yang telah terjadi? Ia lalu teringat kepada kakek tosu yang pernah menyihirnya, maka ia pun dapat menduga bahwa ia tentu menjadi korban sihir pula ketika tadi melihat kuda itu. Dan ia pun dapat menduga bahwa ada orang, yang suaranya didengarnya tadi, telah membuka matanya dari pengaruh sihir, seperti juga tadi menolongnya ketika ia terjebak dalam lumpur. Dan begitu ia melihat kuda coklat berpenyakitan itu, ia melihat pula kuda yang tadinya ia lihat sebagai kuda biasa, ternyata kuda biasa itulah yang sesungguhnya kuda hitam miliknya! Ia cepat meloncat ke atas punggung kuda itu dan kini ia merasakan reaksi yang wajar dari Hek-liong-ma, maka giranglah hatinya. Cepat ia membalapkan kuda itu meninggalkan tempat yang menyeramkan itu, menuju ke timur.

   Sementara itu, matahari telah mulai naik tinggi ketika kuda hitam berlari sampai ke lereng sebuah bukit. Daerah itu mulai penuh dengan bukit-bukit, daerah pegunungan yang luas dan sunyi. Ketika Ci Sian menghentikan kudanya dan memandang ke depan, ia melihat bayangan seorang laki-laki berdiri seperti patung tak jauh dari situ. Ia memperhatikan dan merasa heran sekali. Tempat itu amat sunyi dan luas, dan laki-laki itu berdiri seorang diri saja. Seorang laki-laki yang tidak diketahui wajahnya karena berdiri membelakanginya. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah laki-laki, melihat dari pakaian bentuk tubuhnya dari belakang, bentuk tubuh yang sedang akan tetapi lebar pada pundaknya dan nampak kokoh. Rambutnya panjang riap-riapan dan pakaiannya sederhana, tangan kanannya memegang sebatang tongkat pendek, seukuran pedang.

   Ia merasa curiga. Jangan-jangan seorang di antara para pencuri kuda,pikirnya. Ia harus berhati-hati. Para pencuri kuda itu mempunyai banyak orang pandai, bahkan ada yang pandai main sihir segala. Maka, untuk menjaga dirinya, Ci Sian meloncat turun dari atas punggung kuda dan dengan hati-hati ia menuntun kuda menghampiri orang itu yang kini menyandarkan tubuhnya ke sebatang pohon, kaki kanannya diangkat menginjak sebuah batu di bawah pohon itu. Sungguh menyeramkan keadaan laki-laki itu, bersandar dan tidak bergerak-gerak, memandang ke bawah lereng seperti orang melamun. Rambut penjangnya yang riap-riapan itulah yang mendatangkan suasana menyeramkan, karena rambut itu putih seperti benang perak, berkilauan tertimpa cahaya matahari.

   Tentu seorang laki-laki telah tua sekali, pikir Ci Sian, karena rambut itu sudah menjadi uban semua. Akan tetapi, kalau melihat bentuk tubuhnya, seperti tubuh orang muda. Setelah tiba agak dekat sekalipun Ci Sian masih belum dapat melihat mukanya yang tertutup oleh rambut panjang mengkilap putih itu. Diam-diam ia bergidik dan merasa seram. Ada sesuatu yang mengerikan pada pribadi orang itu, pikirnya dan ia berhati-hati sekali. Betapapun juga, karena ia harus melewati orang itu dan tidak mungkin mengambil jalan memutar, maka ia terus menuntun kuda hitam dan melanjutkan perjalanannya, mengerling dengan penuh waspada ke arah laki-laki rambut putih yang bersandar pada batang pohon itu. Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan tangan kirinya menuding ke depan, dan tanpa menoleh ke arah Ci Sian terdengarlah suaranya,

   "Nona, sebaiknya engkau jangan melalui jalan menuju ke depan itu."

   Ci Sian terkejut. Suara itu seperti pernah dikenalnya! Akan tetapi ia tidak tahu dan tidak ingat lagi di mana ia pernah mendengar suara itu. Ingatan ini segera dihalau oleh rasa penasaran dan marahnya.

   "Mengapa?"

   Tanyanya dengan nada suara tidak puas.

   "Siapa melarang aku mengambil jalan ini dan mengapa?"

   "Tidak ada yang melarang, tetapi sebaiknya jangan engkau ke sana."

   Kata orang itu tanpa menengok sehingga Ci Sian masih juga belum dapat melihat wajahnya.

   "Kenapa?"

   Tanya Ci Sian penasaran. Suara itu bening, tidak seperti suara seorang kakek tua.

   "Karena isteriku sedang jengkel dan marah-marah, dan kalau engkau ke sana dan ia melihat Hek-liong-ma tentu akan lebih marah lagi dan engkau akan menghadapi kesukaran."

   Begitu singkat dan sungguh-sungguh suara orang itu sehingga suaranya menjadi lucu rasanya bagi Ci Sian. Ingin ia tertawa, mentertawakan orang itu. Akan tetapi ada sesuatu pada orang itu yang membuat ia tidak dapat tertawa. Kalau orang itu begitu takut kepada isterinya yang katanya sedang marah-marah, mengapa pula ia harus ikut-ikut merasa takut? Karena itu, tanpa menjawab ia terus menuntun kudanya lewat di depan orang itu, dengan sikap waspada menjaga diri kalau-kalau orang itu akan menyerangnya. Akan tetapi, kini terjadi keanehan pada Hek-liong-ma. Kuda itu tiba-tiba saja meringkik dan mogok, tidak mau ditarik oleh Ci Sian ketika binatang itu tiba di depan laki-laki rambut panjang itu.

   "Hishhh, hayo maju, Hek-liong-ma!"

   Ci Sian menarik-narik kendali kudanya yang mendadak mogok itu. Sambil menarik kudanya, ia melirik dan ia terkejut. Pria itu ternyata memang benar belum tua sekali. Sebagian wajahnya nampak dan ternyata dia seorang Laki-laki yang berwajah nampak tampan dan gagah, melihat wajah itu usianya tentu sekitar tiga puluh enam tahun atau sebaya dengan suhengnya, Kam Hong. Kalau lebih tua pun tidak akan banyak selisihnya, hanya dua tahun. Dan sepasang mata yang menunduk itu kelihatan mencorong menakutkan! Akan tetapi, pria itu tidak memandang kepadanya, hanya melirik ke arah kuda yang mogok lalu menggerakkan tangan kirinya.

   "Pergilah, Hek-liong-ma!"

   Katanya lirih dan sungguh aneh, kuda itu kini mau bergerak, jalan mengikuti Ci Sian sambil mengeluarkan suara seperti orang merintih, Ci Sian terkejut.

   "Apakah hubunganmu dengan kuda ini? Apakah.... apakah engkau yang menyerahkan kuda ini kepada kakek pedagang kuda itu?"

   Tiba-tiba ia teringat akan cerita kakek itu. Laki-laki itu tetap tidak memandang kepada Ci Sian, masih menundukkan mukanya dan berkata tak acuh.

   "Kuda itu sekarang punyamu, jaga baik-baik."

   Melihat sikap ini, diam-diam Ci Sian tidak senang.

   Biasanya, semua laki-laki bersikap manis kepadanya, akan tetapi Laki-laki ini memperlakukan ia seolah olah ia tidak nampak olehnya. Laki-laki sombong, pikirnya dan ia pun tidak mau bicara lagi, melanjutkan perjalanannya, tidak peduli akan peringatan yang diberikan oleh laki-laki itu tentang isterinya, pikirnya mendongkol. Setelah melewati orang yang menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya itu, Ci Sian lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya perlahan-lahan menuruni lereng. Perutnya terasa lapar dan ia harus cepat-cepat menemukan dusun untuk mencari makanan. Tiba-tiba ia menahan kendali kudanya dan memandang ke bawah. Di depan sana terdapat seorang wanita sedang berjalan seorang diri, memakai payung untuk melindungi mukanya dari sengatan matahari.

   Di tempat seperti itu berjalan melenggang dengan memakai payung! Sungguh suatu pemandangan yang amat aneh dan juga lucu. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang ia melihat seorang wanita secantik wanita berpayung itu. Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh tahun, walaupun wajahnya nampak cantik manis sekali dan tubuhnya yang terbungkus pakaian rapi dan indah itu nampak padat dan ramping menggairahkan. Gerakannya ketika melenggang seperti seorang sedang menari saja. Benar-benar seorang wanita yang selain cantik, juga memiliki bentuk tubuh indah dan memiliki gerakan bergaya yang amat menarik. Setelah dekat, ia melihat betapa sepasang mata wanita itu juga amat tajam dan berwibawa, dan membayangkan kecerdikan.

   "Berhenti! Berhenti dan turun kau!"

   Wanita berpayung itu membentak, suaranya nyaring dan bening, juga amat berwibawa sehingga sebelum ia tahu apa yang harus ia lakukan, Ci Sian sudah menahan kendali kudanya dan berhenti.

   "Apa.... apa katamu....?"

   Tanyanya bingung karena ia tidak tahu mengapa suara wanita itu mempunyai pengaruh yang demikian kuatnya sehingga ia seperti terdorong oleh kehendak yang amat kuat untuk menghentikan kudanya, bahkan untuk turun, akan tetapi hal ini masih dilawannya.

   "Turun kataku! Turun dari atas kuda itu!"

   Kembali wanita berpayung itu membentak dan sungguh luar biasa sekali, Ci Sian turun dari atas kudanya seperti seorang anak kecil takut akan perintah ayahnya. Padahal, bukan takut yang mendorongnya turun, melainkan entah apa ia sendiri tidak tahu, yang jelas ia harus turun dari atas kuda itu! Dan anehnya, kuda itu kini meringkik lirih dan berjalan perlahan-lahan menghampiri wanita berpayung itu.

   "Huh, engkau tentu mencuri kuda Hek-liong-ma ini!"

   Kata wanita berpayung itu sambil mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada Ci Sian.

   "Masih muda sudah belajar mencuri, ya? Mencuri kuda lagi, tidak tahu malu!"

   Marahlah Ci Sian! Dan kemarahan karena dituduh menjadi pencuri kuda itu tiba-tiba saja membuatnya sadar akan kelakuannya sendiri yang tidak wajar ketika ia turun dari atas punggung kuda. Maka ia pun cepat mengerahkan sinkangnya dan tahulah ia bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh kekuatan yang tidak wajar dari wanita itu. Kini, dengan mata berapi ia memandang kepada wanita itu dan menudingkan telunjuknya.

   "Siluman betina! Jangan sembarangan saja menuduh orang! Aku bukan pencuri dan yang sudah jelas, engkau adalah seorang tukang tenung, siluman betina yang menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi aku!"

   "Eh, eh.... bocah setan! Sudah menunggang kuda orang seenaknya masih marah-marah lagi? Engkau patut dihajar!"

   Dan tiba-tiba saja wanita itu melangkah maju, gerakannya cepat bukan main dan tangan kirinya sudah melayang dan menampar ke arah pipi Ci Sian dengan kuatnya.

   "Plakkk!"

   Ci Sian menangkis dan dua tangan yang sama kecil dan halusnya, akan tetapi juga sama kuatnya itu bertemu, membuat keduanya merasa betapa kulit tangan mereka panas dan lengan mereka kesemutan. Terkejutlah keduanya, maklum bahwa lawan adalah orang yang tidak boleh dipandang ringan. Wanita berpayung itu sudah meloncat ke belakang dan memandang kepada Ci Sian dengan sinar mata lain.

   "Aihhh, kiranya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, ya? Pantas berani kurang ajar kepadaku!"

   "Perempuan galak, siapa takut kepadamu?"

   Ci Sian membalas bentakan orang itu dengan marah dan ia pun sudah mencabut sulingnya karena ia maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian tinggi dan terutama sekali memiliki ilmu sihir agaknya. Sungguh tempat yang menyeramkan daerah ini, pikirnya. Agaknya semua orang pandai ilmu sihir di sini! Maka, untuk melindungi dirinya dari pengaruh ilmu hitam, dia sengaja mengeluarkan sulingnya.

   "Ah, kiranya engkau yang main-main dengan suling itu. Bagus, mari kita main-main sebentar!"

   Suara wanita itu berobah, tidak marah seperti tadi, bahkan agak ramah dan gembira, seperti seorang anak kecil menemukan permainan baru. Dan cepat seperti kilat menyambar payungnya sudah bergerak menyerang. Mula-mula payung yang terbuka itu menyambar dan mendatangkan angin seperti kipas yang mengebut ke arah muka Ci Sian, lalu dilanjutkan dengan menutupnya payung yang meluncur dengan ujungnya yang runcing menotok ke tiga jalan darah di leher, pundak dan lambung Ci Sian secara bertubi-tubi!

   "Bagus!"

   Ci Sian juga memuji karena harus diakuinya bahwa serangan wanita itu amat ganas dan cepat, berbahaya sekali dan juga aneh gerakannya. Ia pun cepat memutar sulingnya yang mengeluarkan bunyi melengking penuh dengan getaran hawa khi-kang, dan sekaligus Ia menangkis tiga kali. Wanita itu memandang kagum karena tiga kali tangkisan itu membuat semua serangannya gagal total, bahkan payungnya terpental, memaksa ia melangkah mundur untuk mengatur posisi agar ia dapat melanjutkan penyerangannya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar Suara laki-laki yang tadi berjumpa dengan Ci Sian,

   "Cukup, jangan berkelahi!"

   Akan tetapi anehnya, begitu wanita berpayung itu mendengar suara laki-laki ini, kegembiraannya berganti kemarahan dan ia malah menyerang Ci Sian lebih dahsyat dan lebih ganas lagi dibandingkan dengan tadi! Tentu saja Ci Sian juga memutar sulingnya, menangkis dan tidak mau kalah, membalas serangan lawan dengan sama ganasnya.

   "Aih, dua-duanya keras kepala!"

   Terdengar laki-laki itu berseru dan tiba-tiba saja Ci Sian mengenal, suara itu. Itulah suara yang pernah terdengar olehnya ketika ia terjerumus ke dalam kolam lumpur, dan suara laki-laki ini pula yang menyadarkan ia bahwa ia telah terpengaruh sihir ketika memilih kuda penyakitan sebagai Hek-liong-ma! Dan tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat, sedemikian cepatnya laki-laki itu bergerak, padahal tadinya dia itu berdiri di tempat yang agak jauh. Bagaikan terbang saja laki-laki itu telah berkelebat datang di tengah-tengah antara mereka dan di lain saat, laki-laki itu telah memegang ujung payung dan ujung suling yang saling berhantam itu dan Ci Sian merasa betapa amat sukar baginya untuk menggerakkan suling yang tertangkap itu. Ia terkejut setengah mati, tidak mengira bahwa di dunia ada orang yang mampu bergerak secepat itu!

   "Sudah, jangan berkelahi. Nona, maafkanlah isteriku dan harap kau suka mundur."

   Kata pria itu kepada Ci Sian. Ci Sian mengangguk dan menarik sulingnya lalu meloncat ke belakang.

   "Isteriku, engkau tahu bahwa Nona ini bukan musuh, bukan penjahat, mengapa engkau mendesak dan menyerangnya?"

   Wanita berpayung itu membelalakkan matanya yang jeli dan berbentuk indah itu, mukanya menjadi merah karena marah dan tiba-tiba ia mengeluarkan kata-kata yang ketus dan keras.

   "Bagus! Ia muda dan cantik dan lihai! Engkau tergila-gila kepadanya, ya?"

   "In-moi....! Kau.... cemburu? Ah, Isteriku, kenapa begini jadinya dengan kita....!"

   Pria itu berkata dengan nada mengeluh dan wanita berpayung itu membuang muka,

   Akan tetapi Ci Sian dapat melihat betapa kedua mata yang indah itu mulai membasah dan berlinang air mata. Ia merasa terkejut, terheran dan juga terharu. Ada sesuatu antara suami isteri yang mengganggu perasaan mereka. Padahal, suami isteri ini amat luar biasa. Kini ia dapat melihat wajah prla itu. Wajah seorang pendekar yang amat mengagumkan dan gagah perkasa, dan wanita itu sungguh cantik dan gagah pula. Pasangan yang amat hebat, dan kepandaian mereka luar biasa pula. Akan tetapi mengapa kini seolah-olah ada ganjalan penyesalan di antara mereka dan mereka itu nampak berduka? Tiba-tiba ia teringat. Pendekar ini! Persis seperti yang pernah diceritakan oleh Kam Hong kepadanya! Dan gerakan yang seperti kilat tadi, gerakan meloncat yang seperti terbang saja itu.

   "Taihiap.... bukankah Taihiap ini.... Pendekar Siluman Kecil?"

   Akhirnya dia memberanikan diri bertanya. Sepasang mata yang mencorong itu kini menatap wajahnya, mengingatkan Ci Sian akan sepasang mata Kam Hong dan juga mata Hong Bu, walaupun tidak setajam mata pendekar ini. Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.

   "Bertahun-tahun lamanya tidak ada orang menyebut nama itu. Bagaimana engkau bisa tahu, Nona?"

   Suara pendekar itu halus, namun mempunyai wibawa dan juga mengandung desakan sehingga mau tidak mau Ci Sian terpaksa harus menjawab sejujurnya.

   "Saya sering mendengar nama besar Taihiap dari Suheng. Dia mengenal Taihiap dengan baik dan seringkali bercerita tentang Taihiap."

   "Siapa Suhengmu itu, Nona?"

   "Suheng saya she Kam bernama Hong...."

   "Ah, kiranya Siauw Hong? Kam Hong keturunan Pendekar Suling Emas?"

   "Benar, dan dialah yang sekarang yang berjuluk Pendekar Suling Emas."

   Kata Ci Sian dengan bangga.

   "Bagus! Kiranya begitu, pantas saja ilmu sulingmu hebat, Nona. Nah, isteriku lihat saja, bukankah kita bertemu dengan orang sendiri? Karena itu, tidak baik untuk membiarkan kemarahan mengamuk, salah-salah bisa bentrok dengan sahabat sendiri."

   Wanita cantik berpayung itu memandang kepada Ci Sian, menarik napas dan menghampiri, lalu memegang pundak Ci Sian.

   "Adik yang baik, engkau masih muda dan ternyata sudah memiliki kepandaian lihai. Kiranya sumoi dari keturunan Pendekar Suling Emas. Siapakah namamu?"

   Melihat sikap yang begini terbuka dan ramah, Ci Sian merasa terharu dan balas merangkul. Seketika ia merasa suka sekali kepada wanita cantik jelita yang gagah ini.

   "Enci yang gagah, maafkanlah sikap saya tadi."

   "Hush, aku yang bersalah, masa engkau yang minta maaf!"

   Wanita itu tertawa dan dan ia nampak manis bukan main.

   "Sudahlah, tidak perlu maaf-maafan antara kita. Engkau tentu sudah mendengar tentang nama kami...."

   "Suheng hanya memberi tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es yang hanya kuketahui sebagai dongeng, akan tetapi Suheng tidak tahu siapa nama isterinya. Siapakah nama Enci yang gagah?"

   "Memang Suhengmu benar. Suamiku ini bernama Suma Kian Bu dan aku bernama Teng Siang In, seorang perempuan buruk dan bodoh biasa saja.... tidak seperti dia...."

   Suaranya mengandung keluhan lagi.

   "Eihhh, isteriku, mengapa mulai lagi? Nah, ceritakan, Nona, siapakah namamu dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat ini?"

   "Namaku Bu Ci Sian dan kami, yaitu aku dan Suheng, baru saja kembali dari barat, untuk membasmi Hek-i-mo."

   Katanya dengan jujur dan akrab, karena merasa betapa mereka itu amat ramah kepadanya. Suami isteri itu saling pandang.

   "Hek-i-mo? Dan bagaimana hasilnya?"

   Tanya pendekar itu.

   "Suheng telah berhasil membasmi mereka, hanya sayang bahwa Hek-i Mo-ong sendiri berhasil melarikan diri."

   Kata Ci Sian dengan bangga. Pendekar berambut putih itu mengangguk-angguk.

   "Hebat, tidak mengecewakan dia menjadi keturunan Pendekar Suling Emas."

   Para pembaca cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI tentu mengenal siapa adanya Pendekar Siluman Kecil ini. Telah diceritakan di dalam KISAH JODOH RAJAWALI , Suma Kian Bu, yaitu putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, telah berjodoh dan menikah dengan Teng Siang In, dara cantik jelita yang selain pandai ilmu silat, juga pandai dalam ilmu sihir itu. Berbareng dengan kakaknya, yaitu Suma Kian Lee putera Suma Han dan Lulu, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu merayakan pernikahannya dengan isterinya.

   Mereka lalu tinggal di Pulau Es, hidup berbahagia bersama keluarga Suma. Akan tetapi, setelah menanti-nanti sampai sepuluh tahun belum juga suami isteri ini memperoleh keturunan, mulailah mereka berdua merasa gelisah dan berduka. Sementara itu, Suma Kian Lee yang menikah dengan Kim Hwee Li, dan yang beberapa tahun kemudian telah meninggalkan Pulau Es dan tinggal di daratan besar, telah mempunyai dua orang anak, seorang putera dan seorang puteri. Akhirnya, suami isteri itu tidak dapat menahan kedukaan dan kekecewaan hati mereka lagi dan mereka berdua lalu meninggalkan Pulau Es, sungguhpun ayah mereka, yaitu Suma Han, dan kedua ibunya mereka, telah tua sekali.

   Mereka pergi ke daratan besar dan melakukan perantauan sampai akhirnya mereka tiba di daerah barat dekat Sin-kiang itu dan berjumpa dengan Ci Sian. Tentu saja Suma Kian Bu masih ingat kepada Kam Hong yang dahulu disebutnya Siauw Hong, pemuda berpakaian pengemis yang lihai itu, yang pernah menjadi semacam kacungnya. Dan giranglah hatinya mendengar dari Ci Sian bahwa Kam Hong kini telah menjadi seorang pendekar yang amat lihai sehingga mampu membasmi gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu. Dia sendiri bersama isterinya telah mendengar di sepanjang perjalanan tentang Hek-i-mo dan bahkan telah mengambil keputusan untuk menghadapi gerombolan jahat itu yang kabarnya telah menewaskan banyak orang kang-ouw. Kiranya mereka telah didahului oleh keturunan Pendekar Suling Emas.

   "Di mana sekarang Suhengmu yang perkasa itu?"

   Tanya Kian Bu kepada Ci Sian. Wajah dara ini menyuram dan ia menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak tahu, dia telah meninggalkanku dan aku sekarang justeru sedang mencarinya, Taihiap."

   Jawabnya sejujurnya dan dengan suara mengandung kedukaan. Siang In merangkulnya. Wanita ini sudah matang dan sudah tahu akan isi hati dan perasaan wanita lain, dan ia dapat merasakan bahwa kemasygulan hati Ci Sian ada hubungannya dengan kerinduan. Maka ia pun dapat menduga bahwa tentu ada hubungan yang lebih mesra antara Ci Sian dan Kam Hong daripada hubungan suheng dan sumoi belaka.

   "Jangan berduka, Ci Sian. Tidak ada kesulitan apapun di dunia ini yang tidak dapat diatasi. Bersabarlah."

   Mendengar ucapan isterinya itu, wajah Kian Bu yang tadi nampak termangu-mangu itu berseri dan cepat menyambung,
(Lanjut ke Jilid 35)

   Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 35
"Benar, dan tepat sekali ucapan isteriku itu, Nona Bu. Segala kesulitan akan dapat diatasi dengan kesabaran."

   Diam-diam Ci Sian merasa kasihan kepada suami isteri itu. Mereka itu, terutama Siang In, hendak menghiburnya dan agaknya kedukaan hatinya karena mencari suhengnya itu setidaknya merupakan hiburan ringan bagi kedukaan suami isteri itu. Entah kedukaan apa yang telah membuat suami isteri itu seperti orang yang gelisah dan juga bahkan kerenggangan timbul di antara mereka. Selagi ia hendak bicara, tiba-tiba saja lengannya dipegang oleh Siang In yang berkata dengan lirih.

   "Adik Ci Sian, serahkan saja tikus-tikus itu kepada kami."

   Melihat sikap Siang In, Ci Sian menengok dan melihat datangnya beberapa orang tosu yang berjalan cepat sekali ke arah mereka. Ketika mereka sudah tiba dekat, ia mengenal tosu yang pandai sihir tadi telah datang bersama lima orang tosu lainnya dan seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini memegang sebatang tongkat, tubuhnya kurus sekali dan mukanya pucat seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya seperti mata setan yang bergerak-gerak liar dan mengandung kekuatan aneh. Begitu enam orang yang berpakaian tosu itu berhadapan dengan Kian Bu, Siang In dan Ci Sian, mereka berhenti dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, tosu kurus kering yang memegang tongkat itu melangkah maju.

   "Siancai.... tidak disangka bahwa daerah kami kedatangan orang-orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tidak tahu siapakah Sicu dan dari manakah Sicu datang?"

   Suma Kian Bu sejenak memandang kepada tosu ini. Melihat gerak-gerik tosu ini, juga pandang matanya yang seperti setan itu, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dan lagaknya tidak seperti penjahat. Maka dia pun menjura dan menjawab dengan suara tenang.

   "Totiang, kami bertiga adalah pelancong-pelancong biasa saja yang tidak ingin mencari permusuhan dengan siapa pun di sini. Akan tetapi sayang, agaknya orang-orang pandai di daerah sini suka mencari keributan, bahkan tidak segan-segan untuk mencuri kuda. Karena itu terpaksa kami membela yang benar dan kami menyesal sekali. Tosu kurus itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, kemudian tersenyum pahit.

   "Gara-gara kuda hitam itu agaknya yang menimbulkan salah paham, Sicu."

   "Salah paham apa?"

   Ci Sian sudah berkata sambil tersenyum mengejek.

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sudah jelas ada teman-temanmu yang mencuri kuda dari pemiliknya, kemudian mengeroyokku untuk merampas kuda hitam!"

   Sepasang mata yang amat hitam itu kini memandang kepada Ci Sian dan begitu bertemu pandang, Ci Sian bergidik dan cepat membuang pandang mata. Mata setan, pikirnya serem.

   "Aha, agaknya kesalahpahaman ini berasal darimu, Nona."

   Tosu itu berkata sambil tersenyum.

   "Apa? Sudah jelas bahwa orang-orangmu hendak mencuri kuda pedagang kuda tua itu. Apakah engkau hendak menyangkalnya, Totiang?"

   Ci Sian berkata lagi, penasaran. Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Memang benar.... memang benar...., akan tetapi lalu muncul Nona yang lihai dan menggagalkan mereka. Akan tetapi kemudian para sahabat itu melihat Nona menunggang kuda itu, sehingga timbul kesalahpahaman yang makin besar. Mereka mengira bahwa Nona telah mencuri kuda itu, maka mereka berusaha untuk merebutnya.... dan muncullah Sicu dan Toanio ini yang lihai sekali!"

   "Enak saja menuduh orang! Kalian sudah jelas pencuri-pencuri kuda, sekarang hendak menuduh aku mencuri pula. Huh, aku bukan pencuri kuda macam kalian! Kakek pedagang kuda itu atas kehendaknya sendiri memberikan kuda itu kepadaku!"

   Ci Sian membentak.

   "Dan kakek pedagang kuda itu menerima pemberian kami!"

   Tiba-tiba Siang In berkata, suaranya lantang.

   "Hek-liong-ma adalah kuda kami yang kami berikan kepada pedagang kuda itu!"

   Mendengar ini, para tosu itu memandang kepada Siang In, bahkan Ci Sian sendiri terkejut. Tak disangkanya bahwa Pendekar Siluman Kecil inilah yang dimaksudkan oleh Si Pedagang kuda sebagai pendekar yang telah menukarkan kuda hitam itu dengan makanan selama dua hari!

   "Ah, kiranya Hek-liong-ma ini kuda mu Enci?"

   Ci Sian bertanya heran.

   "Nah, lihatlah, Totiang. Kami bukan pencuri-pencuri kuda, akan tetapi teman-teman Totianglah yang mencuri dan hendak merampas kuda orang. Maka, harap Totiang mau mengerti dan suka meninggalkan kami yang tidak mencari keributan."

   Kata Suma Kian Bu, sikap dan suaranya tegas dan berwibawa.

   "Ho-ho, Sicu. Harap jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sesungguhnya teman-teman kami itu pun bukan pencuri-pencuri kuda, walaupun mereka berusaha mencuri Hek-liong-ma."

   "Omongan apa itu?"

   Ci Sian membentak.

   "Bukan pencuri akan tetapi mencuri!"

   "Siancai.... Nona muda amat keras hati."

   Tosu itu berkata sambil mengelus jenggotnya.

   "Agar jelas bagi Sam-wi (Kalian Bertiga) baiklah kami ceritakan. Kami hanya orang-orang yang bertugas mendapatkan kuda terbaik di daerah ini. Kami melihat Hek-liong-ma dan kami tahu bahwa itulah kuda yang harus kami dapatkan. Kami membujuk pedagang kuda, hendak membelinya dengan harga berapa pun, membujuk untuk meminjamnya, namun sia-sia. Dia tidak mau menyerahkannya dan terpaksalah kami berusaha mencurinya."

   Tosu itu dengan singkat lalu menceritakan keadaannya dan anak buahnya yang "terpaksa"

   Mencuri kuda terbaik.

   Di daerah Sin-kiang yang amat luas itu terdapat banyak pengusaha-pengusaha yang hidupnya seperti raja-raja kecil. Mereka adalah orang-orang yang menguasai tanah yang luas sekali, yang kebanyakan didapatnya dengan mengandalkan kekayaan mereka yang amat besar. Dengan tanah yang amat luas itu, dan dengan harta mereka, maka raja-raja kecil ini memperkuat dirinya dengan pembantu-pembantu bayaran, dengan pasukan-pasukan kecil untuk melindungi keamanan jiwa dan hartanya. Keadaan seperti ini sudah turun-temurun terjadi di daerah itu, bahkan setelah Kerajaan Mancu berkuasa sekalipun, kerajaan ini tidak dapat menghapus begitu saja kekuasaan raja-raja kecil ini, sungguhpun penguasa-penguasa ini membayar pajak kepada pemerintah. Dan tidak jarang di antara raja-raja kecil ini terjadi bentrokan-bentrokan dan perang-perang kecil untuk soal-soal yang kecil.

   Adakalanya karena perbatasan tanah kekuasaan, karena anak buah dan sebagainya yang pada hakekatnya hanyalah karena berlumba kedudukan dan kekuasaan. Akan tetapi, karena sudah terlalu sering terjadi bentrokan-bentrokan yang menimbulkan kekacauan. Kerajaan Mancu bertindak dengan keras dan melarang semua bentrokan itu, menghukum mereka yang menimbulkan kekacauan. Dan semenjak pemerintah ini bertangan besi, perlumbaan kekuasaan itu pun mengambil bentuk lain. Kini bukan perlombaan kekuasaan dengan kekerasan, melainkan dengan jalan perlombaan-perlombaan seperti perlombaan kekayaan, perlombaan kuda dan ketangkasan-ketangkasan lain lagi. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yaitu mencari kemenangan, karena dalam kemenangan ini mereka yang menang merasa bahwa mereka lebih unggul dan lebih segala-galanya dari yang kalah!

   Yang paling sering diadakan perlumbaan atau balapan kuda. Karena inilah, dengan menggunakan kekayaan mereka, para penguasa atau raja kecil ini, mendatangkan kuda-kuda terbaik dari seluruh negeri, bahkan ada yang mendatangkan dari jauh dari barat melalui pegunungan-pegunungan yang amat sukar perjalanannya dan membuat kuda itu mempunyai harga yang amat mahal. Setiap tahun sekali tentu diadakan perlumbaan kuda ini, dan dalam setahun penuh, para pembantu. raja-raja kecil ini juga berlumba sendiri untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kuda-kuda terbaik. Jadi semacam perlumbaan mencari kuda terbaik. Tosu itu bersama anak buahnya adalah serombongan petugas dari seorang raja kecil yang memiliki wilayah luas di perbatasan sebelah timur.

   Ketika mereka melihat kakek pedagang kuda menggiring banyak kuda dan di antara kuda-kuda itu terdapat Hek-liong-ma, tentu saja mereka tertarik sekali. Belum pernah mereka melihat kuda sebaik itu dan tentu saja sebagai orang-orang yang haus akan kuda baik sehubungan dengan tugas mereka, mereka segera menghubungi kakek itu untuk membeli atau meminjam kuda hitam itu untuk keperluan perlumbaan beberapa hari yang akan datang. Namun, kakek pedagang kuda itu menolak, dengan alasan bahwa kuda itu adalah pemberian orang, maka tidak hendak dijualnya juga tidak dapat disewakan atau dipinjamkannya. Inilah yang membuat anak buah tosu itu terpaksa mencoba untuk mencuri kuda hitam dan secara kebetulan mereka itu dilihat Ci Sian yang segera membantu kakek pedagang kuda.

   "Nah, demikianlah duduk perkaranya. Harap Sam-wi, suka maklum keadaan kami."

   Sambung tosu itu.

   "Maksud kami mencuri kuda itu pun hanya untuk meminjamnya sampai perlumbaan berlang-sung dan majikan kami menang. Kami akan mengembalikan kepada pemiliknya lagi. Akan tetapi sekarang, pedagang kuda itu telah memberikan kuda hitam kepada Nona sehingga kami benar-benar menghadapi kesulitan sekarang."

   "Setelah kuda ini menjadi milikku, dan setelah orang-orangmu gagal merampasnya dariku, sekarang engkau datang dengan maksud bagaimanakah?"

   Ci Sian bertanya, sikapnya menantang. Tosu itu tersenyum.

   "Nona muda, tentu engkau tahu bahwa seorang petugas yang baik adalah orang yang tidak akan pernah putus asa sebelum tugasnya ter-laksana dengan baik. Demi suksesnya tugas, tentu saja kami akan mempergunakan segala daya untuk mendapatkan kuda hitam itu, Nona. Misalnya dengan begini!"

   Dan tiba-tiba kakek itu menu-dingkan tongkatnya ke arah kuda hitam yang diikatkan pada batang pohon oleh Ci Sian tadi. Dan terjadilah hal yang amat luar biasa dalam pandangan Ci Sian. Kuda itu telah terlepas dari batang pohon dan kini kuda itu berjalan perlahan-lahan menghampiri tosu yang menudingkan tongkatnya itu!

   "Hemm, permainan kanak-kanak saja!"

   Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari mulut Siang In. Teng Siang In, isteri dari Pendekar Siluman Kecil itu adalah seorang wanita yang selain ahli dalam ilmu silat, juga memiliki kepandaian sihir yang kuat. Ia pernah menjadi murid dari mendiang See-thian Hoat-su. Maka, melihat ilmu sihir yang dilakukan oleh tosu itu, ia mentertawakannya.

   "Ci Sian, jangan mudah ditipu olehnya, Hek-liong-ma masih tetap berada di sana, terikat di batang pohon!"

   Ci Sian terkejut sekali karena ketika ia menengok, benar saja kudanya masih tetap berada di pohon, terikat kendalinya seperti tadi dan kuda hitam yang berjalan menghampiri kakek itu kini telah lenyap seperti asap saja! Melihat ini, kakek itu tertawa.

   "Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Di tempat ini kami bertemu dengan seorang wanita sakti! Bagus, Toanio, marilah kita main-main sebentar untuk mempererat perkenalan!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan suara teriakan halus panjang.

   Ketika Ci Sian memandang, ia melihat kakek itu sudah berhadapan dengan Siang In dalam jarak kurang lebih lima meter dan kakek itu menudingkan tongkatnya ke atas. Dari ujung tongkat itu keluarlah asap putih yang mengeluarkan suara mendesis. Asap itu makin lama makin banyak dan tebal, lalu terbentuklah seekor ular yang dari mulutnya mengeluarkan asap dan api. Ular itu seperti terbang turun hendak mematuk Siang In! Ci Sian kaget sekali, akan tetapi karena ia melihat betapa Pendekar Siluman Kecil hanya berdiri sebagai penonton saja dan kelihatan tenang dan enak-enakan, maka ia pun tidak mau sembarangan turun tangan. Ia tahu bahwa kakek itu menggunakan sihir, dan agaknya Siang In yang cantik itu sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan nyonya ini mengangkat tangan kiri ke atas sambil berkata.

   "Totiang, apa daya seekor ular menghadapi seekor burung bangau?"

   Dan sungguh aneh, tangan

   kirinya itu seperti berobah menjadi seekor pek-ho (bangau putih) yang terus terbang ke atas, lalu menyambar turun dan menangkap ular itu dengan paruhnya yang kuat, lalu menelan ular itu!

   "Bagus....! Akan tetapi kami belum kalah, Toanio!"

   Kata tosu itu dan kini ia menudingkan tongkatnya sampai ujungnya menyentuh tanah, dan sekali mencongkel ada tanah tercokel tongkat dan tanah itu berhamburan berobah menjadi.... tikus-tikus hitam yang banyak sekali dan kini semua lari menghampiri Siang In! Melihat tikus-tikus itu, Ci Sian sendiri memandang terbelalak dengan jijik dan geli. Juga wajah Siang In agak berobah, ada bayangan kengerian pada wajah cantik itu, memang pada umumnya tikus-tikus merupakan binatang yang paling menjijikkan bagi wanita. Karena agaknya merasa jijik ini, maka Siang In tidak membuang banyak waktu lagi, cepat ia pun menudingkan telunjuknya ke arah tikus-tikus itu dan membentak dengan suara melengking nyaring yang mengandung wibawa amat kuatnya.

   "Asal tanah kembali jadi tanah!"

   Nampak asap mengepul dan tikus-tikus itu pun lenyaplah, berobah menjadi seonggok tanah kembali! Tosu itu mengangguk-angguk dan memandang heran.

   "Kami lihat bahwa kekuatan sihir dari Toanio hebat bukan main dan agaknya bersatu sumber dengan kami. Bolehkah kiranya pinto mengetahui siapa gerangan guru Toanio dalam ilmu sihir?"

   Siang In tersenyum. Untuk mencegah pertentangan selanjutnya, memang perlu untuk mendatangkan kesan kepada orang-orang ini, maka tanpa ragu-ragu ia menjawab.

   "Kenalkah Totiang kepada See-thian Hoat-su dan Nenek Durganini? Dari merekalah aku mempelajari sihir."

   Tiba-tiba saja sikap tosu itu berobah, amat hormat dan dia pun malah segera menjura.

   "Ah, kiranya Toanio murid dari Locianpwe Durganini yang sakti! Sungguh pinto terlalu lancang berani memperlihatkan kebodohan sendiri!"

   Lalu dia menoleh kepada teman-temannya yang telah mencabut senjata mereka itu dan berkata.

   "Ah, para rekan, ternyata mereka ini adalah orang-orang gagah yang sama sekali tidak boleh diganggu...."

   Akan tetapi, wajah para jagoan yang biasanya mengandalkan senjata dan ilmu silat mereka itu, membayangkan kekecewaan dan penasaran. Baru pertunjukan sihir seperti itu saja mengapa membuat tosu itu ketakutan dan menyuruh mereka mundur?

   "Tapi, pihak lawan yang paling kuat, yaitu Si Topi Merah, juga telah mendapatkan seekor kuda yang mirip dengan Hek-liong-ma. Tanpa bantuan Hek-liong-ma ini, mana mungkin kita bisa menang? Dan kekalahan sekali ini tentu akan menjatuhkan nama majikan kita dan mungkin membuat kita kehilangan pekerjaan!"

   Kata seorang di antara mereka yang memegang sepasang golok besar dan nampaknya gagah dan juga tangguh.

   "Habis, kalian mau apa? Mau merampas kudaku ini?"

   Ci Sian membentak dan melangkah maju sambil mengangkat dada, sikapnya menantang sekali. Si Pemegang Sepasang Golok besar yang kepalanya botak itu berkata, sikapnya gagah namun jelas bahwa dia termasuk orang yang jujur dan kasar, tidak biasa bersikap halus.

   "Nona, kami bukanlah perampok dan orang-orang jahat, bukan pula pencuri kuda. Akan tetapi, karena terpaksa, kami hanya bermaksud menyewa atau meminjam kuda Nona itu untuk satu kali perlombaan saja."

   "Hemm, kalau aku menolak?"

   "Terpaksa kami akan manggunakan kekerasan. Kami akan merampas kuda ini untuk dipinjam dan kelak kami kembalikan bersama uang sewanya."

   Kata Si Botak sambil melintangkan sepasang goloknya di depan dada. Teman-temannya yang belasan orang jumlahnya, juga sudah siap dengan senjata masing-masing, untuk menggertak agar nona itu suka meminjamkan kudanya tanpa adanya kekerasan. Akan tetapi sebelum Ci Sian melayani orang itu, tiba-tiba terdengar suara Suma Kian Bu. Si Pendekar Siluman Kecil ini sejak tadi hanya mendengarkan dan melihat saja, akan tetapi begitu melihat sikap Si Botak yang agaknya bertekad untuk merampas kuda, timbul perasaan tidak senang di hatinya yang dapat dilihat dari kerutan kedua alisnya.

   "Aku paling tidak suka orang-orang yang suka bermain-maln dengan senjata! Nah, biar kusingkirkan semua senjata itu!"

   Dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat di antara orang itu. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan orang-orang itu hendak mempertahankan senjata masing-masing dengan jalan mengelak atau bahkan memapaki pendekar itu dengan serangan, akan tetapi semua ini percuma saja. Bahkan Si Botak itu sendiri yang mengelebatkan sepasang goloknya, tahu-tahu merasa kedua tengannya kaku dan kedua goloknya itu terlepas dari pegangan tangannya, lenyap entah ke mana!

   Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kian Bu telah meloncat ke depan tosu itu dan menurunkan belasan batang senjata tajam itu ke atas tanah. Terdengar bunyi berkerontangan ketika senjata-senjata itu berjatuhan di depan kaki Si Tosu yang menjadi pemimpin atau juga guru mereka! Diam-diam Ci Sian kagum bukan main. Ia dapat mengikuti semua gerakan pendekar itu yang bagi belasan orang itu tidak dapat dilihat, dan dara perkasa ini harus mengakui bahwa gerakan pendekar itu sungguh amat luar biasa, seperti kilat saja berloncatan ke sana sini dengan amat cekatan. Ia tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil ini sungguh merupakan seorang yang berilmu tinggi dan akan merupakan lawan yang amat tangguh! Juga tosu itu kini sadar bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

   "Siancai...."

   Katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada,

   "Kami orang-orang kasar seperti buta saja tidak mengenal menjulangnya Bukit Thai-san yang tinggi di depan mata. Sesungguhnya, orang yang dapat memiliki kuda seperti Hek-liong-ma itu tentu saja seorang pendekar sakti. Betapa bodohnya kami.... harap Cu-wi para pendekar yang sakti sudi memaafkan kami yang terpaksa oleh keadaan bersikap kasar."

   "Ah, celaka! Sekali ini hancurlah kita!"

   Kata Si Botak.

   "Kuda mana lagi yang akan mampu menandingi kuda hitam milik Si Topi Merah itu? Hayaaaa....!"

   Dia mengeluh panjang pendek. Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan isterinya merasa tertarik sekali. Siang In lalu berkata,

   "Coba ceritakan tentang kuda hitam milik Si Topi Merah itu. Kuda hitam yang bagaimanakah yang dimilikinya?"

   Tosu itu menarik napas panjang.

   "Si Topi Merah adalah julukan tuan tanah yang menjadi saingan terbesar dari majikan kami, Toanio. Dia terkenal sebagai tuan rumah yang jahat dan sewenang-wenang, karena itu majikan kami memusuhinya. Dia mengandalkan kekayaannya dan terkenal sebagai tukang jual beli wanita yang amat kejam."

   "Hemm, setiap orang tentu membela majikan masing-masing."

   Kata Kian Bu tertawa.

   "Siancai, agaknya memang demikianlah. Akan tetapi Taihiap tentu mengerti bahwa seorang tosu seperti pinto ini sama sekali tidak mengharapkan gajih besar dan hadiah. Sama sekali tidak, kalau pinto membela majikan kami, yaitu Thio-wangwe, adalah karena pinto tahu bahwa dialah satu-satunya hartawan atau tuan tanah di daerah ini yang pantas dibantu. Thio-wangwe adalah seorang yang adil dan bijaksana, juga amat mengagumi dan menjunjung orang-orang kang-ouw." "Teruskanlah cerita tentang kuda hitam itu."

   Siang In mendesak karena ia merasa tertarik sekali mendengar cerita tentang kuda hitam yang lain itu.

   "Kami tidak tahu banyak, Toanio."

   Tosu itu melanjutkan.

   "Yang kami dengar hanya baru-baru ini, Bouw-thicu (Tuan Tanah Bouw) telah memperoleh seekor kuda hitam yang luar biasa, sama dengan Hek-liong-ma ini, bahkan juga memperoleh ahli penunggangnya, yaitu seorang wanita cantik yang amat terkenal. Wanita itu memang amat lihai menunggang kuda, dan ia pun terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli penjinak kuda. Namanya Lui Shi dan ilmu silatnya pun lihai sekali."

   "Hemm...."

   Siang In saling pandang dengan suaminya.

   "Dan kuda hitam yang sama dengan Hek-liong-ma itu tentu seekor kuda betina, bukan?"

   "Benar sekali, Toanio."

   "Itu adalah kuda kami pula yang hilang dicuri orang!"

   Siang In berkata dan bukan saja orang-orangnya Thio-wangwe atau Thio-thicu itu saja yang kaget, akan tetapi juga Ci Sian terkejut mendengar ini.

   "Kami tadinya mempunyai dua ekor kuda, jantan dan betina. Akan tetapi ketika kami memasuki daerah Sin-kiang, pada suatu malam, di rumah penginapan, kuda betina kami hilang dicuri orang. Kami sudah berusaha mencari-cari, akan tetapi tidak berhasil menemukan kuda itu. Dan karena hilangnya kawannya itulah maka Hek-liong-ma menjadi sakit-sakitan, dan untuk menolongnya, kami menyerahkannya kepada pedagang kuda yang amat mencinta kuda dan pandai mengobati itu."

   "Kakek pedagang kuda itu memberikan kuda hitam kepadaku karena takut akan gangguan kalian."

   Ci Sian menyambung.

   "Ah, kalau begitu, kuda hitam Si Topi Merah itu pun kuda curian!"

   Si Botak berseru keras.

   "Biarlah kita ikut bersama kalian untuk merampas kembali kuda kami."

   Kata Siang In.

   "Dan biarkan Hek-liong-ma berlumba dengan kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu untuk mengalahkannya. Aku mau menjadi penunggang Hek-liong-ma."

   Kata pula Ci Sian.

   "Bagus, dan dengan bantuan kami, tentu kuda itu dapat kau kalahkan."

   Siang In berseru gembira. Tentu saja tosu itu dan anak buahnya girang bukan main. Cepat mereka memberi hormat dan mempersilakan tiga orang pendekar itu untuk mengikuti mereka ke tempat tinggal majikan mereka, yaitu Thio-thicu. Di dalam perjalanan, Ci Sian memperkenalkan dirinya kepada suami isteri pendekar itu dan berkata terus terang.

   "Sudah lama sekali saya mendengar tentang nama besar Pendekar Siluman Kecil dan isterinya dari Kam-suheng, ternyata memang hebat sekali. Dan saya pun pernah bertemu dan berkenalan dengan baik sekali dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Apakah Ji-wi (Kalian Berdua) mengenalnya?"

   "Jenderal Kao Cin Liong? Ah, kami sudah mendengar bahwa putera saudara Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjadi jenderal di kota raja, akan tetapi telah belasan tahun kami tidak berhubungan dengan keluarga Kao."

   Kata Kian Bu. Bicara tentang Si Naga Sakti, teringatlah pendekar ini akan pengalaman-pengalaman masa lalu dan akan isteri pendekar sakti itu, yaitu Wan Ceng yang masih cucu kandung dari ibu tirinya, yaitu Nenek Lulu.

   Banyak sudah yang dialaminya dengan para tokoh itu dan mengundang kenangan lama. Juga mengingatkan dia akan keadaannya sendiri bersama isterinya yang sampai sekian lamanya belum juga mempunyai keturunan. Hal ini mendatangkan duka. Semua orang sudah mempunyai keturunan, bahkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir telah mempunyai seorang putera yang demikian gagah dan perkasa, muda usia telah menjadi seorang jenderal. Akan tetapi dia sendiri sampai hampir berusia empat puluh tahun, belum juga mempunyai anak! Justeru karena urusan ingin mempunyai anak inilah dia dan isterinya merantau sampai sejauh itu, sampai ke daerah Sin-kiang. Dan isterinya selalu mengalami derita batin, sehingga seringkali sakit-sakitan. Dia tahu bahwa sakitnya isterinya itu sesungguhnya karena batin yang tertekan dan gelisah.

   Seolah-olah kadang-kadang isterinya itu kehilangan kegembiraan hidup sama sekali, dan wataknya yang dahulunya amat riang jenaka itu tenggelam dan lenyap, terganti watak murung dan mudah marah.Oleh karena itu, melihat isterinya timbul kegembiraan ketika bertemu dengan Ci Sian dan menghadapi urusan kuda itu, dia pun tidak membantah. Sesungguhnya, bagi pendekar ini, urusan perlumbaan kuda itu merupakan urusan kekanak-kanakan, dan andaikata dia tidak menghendaki agar isterinya dapat bergembira, tentu dia langsung saja mendatangi pencuri kuda, merampasnya kembali dan memberi hajaran, dan terus pergi lagi. Akan tetapi, dia sengaja membiarkan isterinya pulih kembali kegembiraan hidupnya. Thio-wangwe atau Thio-thicu (Tuan Tanah Thio) adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh gendut dan berwajah ramah menyenangkan.

   Memang dia ini berpotongan cukong, akan tetapi sikapnya ramah dan tidak sombong, menyenangkan hati orang yang diajaknya bicara. Ketika mendengar bahwa tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian, demikian laporan Liang Go Tosu kepadanya, datang mengunjungi dan bersedia membantunya dalam perlombaan dengan meminjamkan Hek-liong-ma yang akan mampu bersaing dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hartawan ini menyambutnya dengan segala kehormatan. Dia bersama isterinya dan lima orang anaknya keluar semua menyambut, dengan wajah tersenyum gembira dan sikap ramah seperti keluarga menyambut datangnya anggauta keluarga lain. Tiga orang pendekar itu dipersilakan memasuki gedung megah itu dan mereka dijamu di dalam ruangan yang luas dan berperabot mewah.

   Kuda Hek-liong-ma tadi sudah disambut oleh para tukang kuda, dikalungi bunga dan diselimuti selimut tebal yang hangat, lalu dibawa ke kandang kuda yang bersih dan rapi, dipimpin sendiri oleh Si Botak yang bersikap hormat sekali. Dalam perjamuan yang diadakan untuk menyambut mereka, yang dihadiri pula oleh Liang Gi Tosu yang tidak menolak hidangan berjiwa, Thio-thicu yang ramah itu lalu menjelaskan kesemuanya kepada Siang In dan Ci Sian. Dia lebih berani bicara kepada dua orang wanita cantik yang ramah dan lembut ini daripada Kian Bu yang nampaknya menyeramkan dan menakutkan baginya karena pendekar itu lebih banyak diam saja, hanya tersenyum sedikit, akan tetapi wajahnya demikian penuh wibawa, dan terutama sekali sinar matanya yang mencorong membuat orang lain tidak tahan untuk bertemu pandang terlalu lama dengan pendekar ini.

   

Jodoh Rajawali Eps 48 Jodoh Rajawali Eps 43 Jodoh Rajawali Eps 27

Cari Blog Ini