Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 36


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 36



Sim Houw dan Bi Lan saling pandang dan memang mereka mulai mengerti. Kiranya perjuangan membutuhkan pemikiran yang mendalam. Perjuangan harus mengesampingkan perasaan dan urusan pribadi dan semua harus ditujukan demi kepentingan perjuangan rakyat itu sendiri. Betapa besar dan mulianya!

   Memang jauh lebih besar dari pada sikap dan tindakan para pendekar yang hanya memikirkan nasib orang yang dihadapinya dan ditolongnya. Betapa kecil bantuan kepada perorangan ini kalau dibandingkan degan perjuangan yang mengingat akan nasib rakyat jelata! Akan tetapi, Sim Houw adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan dalam pemikirannya sudah banyak pula dia membaca dan merenungkan permasalahan dunia dan kehidupan manusia pada umumya, maka menghadapi perbandingan antara pejuang dan pendekar, dia melihat perbedaan lain yang membuat para pendekar nampak lebih unggul baginya. Diapun melihat betapa Bi Lan amat tertarik dan dia tidak akan merasa heran kalau gadis yang masih muda itu lebih mudah terseret dan terjun dalam perjuangan dan untuk menyadarkan gadis itu, dia harus mengemukakan pendapatnya sekarang juga.

   "Akan tetapi maafkan saya, Lie-enghiong. Saya juga melihat kesalahan besar sekali dilakukan orang dalam perjuangan, yang membuat tindakan pejuang-pejuang menjadi tidak murni lagi."

   Lie Tek San memandang tajam, akan tetapi mulutnya tersenyum tanda kelapangan hatinya.

   "Tidak ada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacat, Sim-taihiap. Akan tetapi apakah kesalahan itu?"

   "Kalau sebagian besar perbuatan para pendekar menentang kejahatan dan menolong orang-orang lemah tertindas timbul dari dorongan hati pada saat dia melihat ketidak-adilan itu, pada saat itu perdekar bertindak memberantas kejahatan tanpa pamrih, sebaliknya tindakan para pejuang merupakan tindakan yang telah direncanakan dan diatur untuk jangka waktu yang lama dan panjang. Dan biasanya, di dalam tindakan berencana ini, terdapat pamrih untuk diri sendiri walaupun nampaknya mereka berjuang untuk membela rakyat.

   Bukankah perjuangan itu bermaksud mengalahkan pemerintah penjajah yang lama dan bukankah perjuangan itu bercita-cita untuk menang dan kalau sudah menang, para pejuang tentu saja memperoleh kekuasaan dan kedudukan? Nah biasanya, walaupun ketika pejuang-pejuang itu masih melakukan perjuangan cita-cita mereka murni dan ditujukan untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan, akan tetapi kalau sudah memperoleh kemenangan dan para pejuang itu memperoleh kedudukan dan kekuasaan, mereka menjadi lupa diri. Mereka akan mabok kemenangan, mabok kekuasaan dan hanya menjejali diri sendiri dengan kesenangan yang mereka anggap sebagai hasil dan upah dari perjuangan mereka."

   Para pimpinan suku Bangsa Hui atu saling pandang, dan Lie Tek San mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, wajahnya nampak berduka dan khawatir.

   "Ah, engkau telah membuka dan menelanjangi kekotoran manusia dalam perjuangan. Sim taihiap! Akan tetapi tak dapat disangkal akan kebenaran ucapanmu itu. Memang terdapat perbedaan antara kemenangan pendekar dan kemenangan pejuang. Kemenangan pendekar terhadap musuhnya tidak mendatangkan suatu keuntungan maka tidak akan menyelewengkan hati pendekar itu, dan sebaliknya kemenangan pejuang memang dapat mendatangkan pahala besar yang mudah menyeleweng-kan hati manusia yang lemah. Akan tetapi, kiranya tidak semua manusia seperti itu. Dan kita akan menjadi manusia yang berbahagia kalau teringat akan kelemahan itu sehingga penyakit itu tidak akan menghinggapi batin kita. Mudah-mudahan saja kita tidak akan seperti mereka yang kelak dimabok oleh kemenangan dan kekuasaan."

   Setelah bercakap-cakap dan berjanji kepada Lie Tek San bahwa mereka akan berpikir tentang perjuangan setelah menyelesaikan urusan pribadi mereka, Sim Houw dan Bi Lan meninggalkan perkampungan suku Bangsa Hui dan mendapat petunjuk dari mereka tentang letak Istana Gurun Pasir yang mereka cari.

   Istana Gurun Pasir terletak di tengah-tengah gurun pasir, di suatu daerah yang aneh karena di tengah-tengah gurun pasir yang luas itu terdapat sebidang tanah yang subur! Istana tua itu terpencil jauh dari pedusunan dan biarpun mereka lihai, Sim Houw dan Bi Lan tentu akan mengalami kesukaran menemukan tempat ini sungguhpun Bi Lan pernah mendapat keterangan yang cukup jelas dari subonya, kalau saja mereka tidak memperoleh petunjuk dari suku Bangsa Hui. Suami isteri sakti yang tinggal di istana tua dan kuno itu kini sudah menjadi seorang kakek dan nenek yang usianya sudah lanjut.

   Kakek Kao Kok Cu yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan sebagai Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, kini telah menjadi seorang kakek yang usianya hampir delapan puluh tahun. Walaupun dia masih nampak gagah dan sehat, namun dia sudah jarang sekali keluar dari istana tua itu, kecuali untuk keluar ke kebun merawat tanaman sayuran sambil menikmati hawa segar dan sinar matahari yang menyehatkan. Isterinya yang dulu merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, kinipun sudah menjadi seorang nenek berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun. Mereka berdua hidup di tempat terpencil dan sunyi itu. Masa gemilang kehidupan mereka telah lalu. Dulu mereka adalah sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan disegani kawan ditakuti lawan,

   Akan tetapi kini mereka hanya sepasang kakek dan nenek yang sudah menjauhkan diri dari keramaian dunia, makin hari semakin lemah dan tua dimakan usia dari dalam. Yang menemani mereka hanyalah sepasang suami isteri berusia empat puluh tahun lebih, dari suku bangsa Mongol peranakan Han, yang menjadi pelayan dan membantu pekerjaan di kebun dan di rumah. Tanah di daerah itu memang subur, bahkan terdapat sumber airnya sehingga kehidupan empat orang ini cukup makan dari tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam sendiri. Untuk keperluan barang lain, mereka dapat memperolehnya dari pedagang-peda-gang keliling di balik bukit, atau bertukar barang dengan penghuni dusun di balik bukit. Agaknya suami isteri tua renta itu memang hanya menanti saat panggilan Tuhan saja dan mereka memilih tempat sunyi ini dari pada kota yang ramai.

   Berkali-kali putera tunggal mereka, Kao Cin Liong minta agar ayah dan ibu ini suka ikut tinggal bersama keluarganya di kota, namun kakek dan nenek itu tidak mau, sudah terlanjur betah tinggal di tempat yang sunyi itu. Biarpun keduanya sudah tua, untuk menjaga kesehatan, mereka tidak pernah lupa untuk melatih otot-otot tubuh mereka di samping duduk bersamadhi untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan lain di alam baka. Ketika mereka tiba di puncak bukit dan melihat istana tua itu di kejauhan, di tengah-tengah gurun pasir, mereka memandang kagum bukan main. Seperti dalam dongeng saja. Sebuah istana yang dari jauh nampak indah sekali, berdiri megah di tengah-tengah padang pasir yang luas dan mati. Dan di sekitar istana itu nampak nyata tumbuh-tumbuhan yang segar dan kehijauan. Benar-benar mentakjubkan.

   "Mari kita cepat ke sana!"

   Bi Lan berteriak girang, membayangkan bahwa ia akan segera bertemu dengan kakek dan nenek yang telah menjadi guru-gurunya dan yang telah menyelamatkannya dari maut ketika ia keracunan oleh ilmu-ilmu yang sengaja diajarkan secara keliru dan menyeleweng oleh Bi-kwi, sucinya. Sim Houw tersenyum, maklum akan ketegangan dan kegembiraan hati gadis itu. Dia sendiri merasa tegang, akan tetapi bukan gembira melainkan khawatir. Istana kuno itu demikian megah dan nama besar suami isteri sakti itu membuat dia merasa seolah-olah kedatangannya akan merupakan gangguan terhadap kehidupan mereka yang tenteram seperti kehidupan sepasang dewa.

   Dia khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya akan merasa terganggu oleh kunjungannya dan dia merasa terasing. Namun dia menghibur diri sendiri. Bagaimanapun juga, kunjungannya ini hanya untuk mengantar Bi Lan, dan bukankah Bi Lan merupakan murid dari mereka? Saking gembiranya dan besar keinginannya untuk segera dapat bertemu dengan suhu dan subonya. Bi Lan mengerahkan tenaganya dan berlari cepat menuju ke istana itu, menuruni bukit. Kedua kakinya bergerak cepat ketika berlari di atas pasir dan Sim Houw mengikutinya sambil tersenyum, terbawa oleh kegembiraan Bi Lan. Sebentar saja Bi Lan sudah tiba di depan istana, di dalam pekarangan depan yang penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna.

   Seorang laki-laki berbangsa Mongol dengan wajah dingin sedang mencangkul, membuangi rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar bunga-bunga itu. Laki-laki itu adalah pelayan di istana itu dan dia sama sekali tidak menengok ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pekarangan. Wajahnya tetap dingin seperti arca, sehingga Bi Lan yang tadinya ingin menegurnya dan bertanya, tidak jadi membuka mulut, hanya memandang dengan penuh harapan ke arah pintu depan istana itu yang nampak terbuka sebagian. Sinar matanya berseri gembira ketika yang diharapkannya muncul. Seorang kakek dan seorang nenek, keduanya sudah sangat tua akan tetapi wajah mereka masih nampak segar dan tubuh mereka masih lurus, muncul dari dalam pintu, melangkah ke luar dan berdiri di serambi.

   "Suhu! Subo....!"

   Bi Lan berseru dan cepat ia lari naik ke atas serambi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu. Sim Houw melihat betapa kakek dan nenek itu berdiri tegak dengan sikap agung dan berwibawa, maka dia pun cepat mengikuti Bi Lan dan menjatuhkan diri berlutut pula di depan mereka.

   "Suhu dan subo, teecu datang berkunjung,"

   Kata Bi Lan dengan suara mengandung kegembiraan dan keharuan.

   "Suhu dan subo selama ini dalam sehat saja, bukan?"

   Kakek dan nenek itu diam saja dan sampai beberapa lamanya mereka hanya mengamati Bi Lan dan Sim Houw dengan penuh perhatian. Akhirnya terdengar nenek Wan Ceng berkata, suaranya lembut akan tetapi dingin dan tidak terkandung kegembiraan seperti yang diharapkan Bi Lan.

   "Bi Lan, keluarkan Ban-tok-kiam dan berikan kepadaku."

   Diam-diam Bi Lan terkejut bukan main. Dahulu, biasanya sikap subonya terhadap dirinya amat ramah dan manis, bahkan terkandung rasa sayang di dalam kata-katanya kalau bicara kepadanya. Ia masih ingat benar. Akan tetapi kenapa kini di dalam suara subonya terkandung nada yang dingin dan seperti orang marah. Akan tetapi ia tidak membantah.

   "Baik, subo."

   Dikeluarkannya Ban-tok-kiam dari dalam buntalan pakaiannya dan dengan kedua tangan, diserahkannya pedang pusaka itu kepada subonya. Ketika melakukan ini, ia menengadah dan memandang wajah subonya penuh perhatian. Kembali ia terkejut. Wajah subonya itu kelihatan tidak senang! Juga wajah Suhunya yang biasanya penuh kesabaran dan kecerahan agak muram. Tanpa memandang lagi kepada muridnya, nenek Wan Ceng mencabut Ban-tok-kiam dari sarungnya, lalu mendekatkan pedang itu kepada hidungnya. Ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan galak.

   "Hemm, Ban-tok-kiam ternoda darah yang masih baru! Can Bi Lan, darah siapa yang menodai Ban-tok-kiam dan kenapa engkau mempergunakannya untuk membunuh orang?"

   Gadis itu terkejut dan cepat memberi hormat.

   "Harap subo sudi mengampuni teecu. Sesungguhnya, belum lama ini teecu mempergunakan Ban-tok-kiam dalam perkelahian. Teecu terpaksa mempergunakannya karena lawan berjumlah banyak dan cukup kuat."

   "Hemm, masih ingatkah engkau apa pesanku ketika meminjamkan Ban-tok-kiam kepadamu?"

   Kembali suara nenek itu terdengar melengking tinggi tanda kemarahan hatinya.

   "Teecu masih ingat, subo,"

   Kata Bi Lan, jantungnya berdebar tegang dan merasa tidak enak, tidak mengira bahwa kunjungannya diterima dengan kemarahan oleh suhu dan subonya, tidak seperti yang dibayangkannya semula, yaitu melihat suhu dan subonya menerimanya dengan gembira.

   "Subo memesan agar pedang pusaka itu teecu pergunakan untuk menjaga diri dan hanya mempergunakan kalau keadaan terdesak dan teecu berada dalam bahaya."

   "Hemm, bagus kalau kau masih ingat. Apakah ketika engkau mempergunakan Ban-tok-kiam baru-baru ini, engkau juga dalam ancaman bahaya?"

   Ditanya demikian, Bi Lan menjadi bingung. Sejenak ia melirik ke arah Sim Houw yang juga menun-dukkan muka dengan hati merasa tidak enak.

   "Maaf, subo. Teecu tidak terancam bahaya, akan tetapi ada orang lain yang terancam bahaya dan teecu harus menolongnya. Dia dikepung banyak anak buah pasukan yang dipimpin oleh perwira-perwira yang lihai. Akan tetapi teecu berani bersumpah bahwa Ban-tok-kiam tidak teecu pergunakan untuk membunuh, hanya melukai ringan saja...."

   "Cukup."

   Nenek Wan Ceng membentak.

   "Biar hanya luka sedikit, kalau terkena Ban-tok-kiam, kau kira akan dapat hidup mereka itu tanpa kau beri obat?"

   Dengan penuh semangat karena mengharapkan agar sekali ini ia dibenarkan kedua gurunya, Bi Lan berkata,

   "Dia adalah seorang pendekar perkasa, seorang pejuang yang gagah berani bernama Lie Tek San. Teecu melihat dia dikeroyok di dekat Tembok Besar, maka teecu turun tangan membantunya."

   "Lie Tek San pemberontak dari Siauw-lim-pai itu?"

   Tanya Kao Kok Cu.

   "Benar, suhu!"

   Kata Bi Lan gembira karena gurunya ternyata mengenal nama besar pejuang itu.

   "Hemm, kiranya bocah ini malah sudah membantu pemberontak!"

   Tiba-tiba nenek Wan Ceng berseru marah, mengejutkan Bi Lan dan Sim Houw.

   "Dan orang muda ini tentulah yang bernama Sim Houw dan berjuluk Pendekar Suling Naga. Benarkah?"

   Sim Houw terkejut dan cepat memberi hormat, lalu memandang wajah nenek itu.

   "Benar sekali, locianpwe, saya bernama Sim Houw...."

   "Dan berjuluk Pendekar Suling Naga?"

   Nenek itu menyambung.

   "Hal itu adalah karena saya suka mempergunakan senjata Pedang Suling Naga, maka orang-orang menyebut saya demikian."

   Sim Houw mengaku.

   "Bi Lan, semenjak kita saling berpisah, kami banyak mendengar hal-hal buruk tentang dirimu! Dan sekarang aku melihat kenyataan sendiri bahwa bukan saja engkau telah meninggalkan kesusilaan, akan tetapi juga engkau telah menggunakan Ban-tok-kiam unntuk membunuh banyak orang, dan engkau bahkan telah menjadi seorang pemberontak."

   "Subo....!"

   Bi Lan berseru kaget.

   "Diam!"

   Bentak nenek Wan Ceng, kini tidak lagi menyembunyikan kemarahannya.

   "Kami dahulu telah keliru sangka terhadap dirimu, sehingga kami bersusah payah menyembuhkan dan mendidikmu. Kiranya engkau tetap menjadi murid yang baik dari Sam Kwi, tindakanmu memang seperti golongan hitam. Engkau membantu sucimu yang jahat itu, bahkan membantunya berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa! Sungguh kami merasa ikut malu bukan main. Nah, katakan, tidak benarkah engkau dan Pendekar Suling Naga ini membantu sucimu yang berjuluk Bi-kwi itu melakukan kejahatan dan melawan keluarga Pulau Es? Jawab!"

   "Teecu memang membantu suci Bi-kwi, subo, akan tetapi.... teecu membantunya hanya karena suci kini sudah sadar dan menjadi orang baik. Teecu bukan membantu ia melakukan kejahatan, melainkan melindunginya dari ancaman. Teecu sama sekali tidak menggunakan Ban-tok-kiam untuk kejahatan itu...."

   "Hemmm, karena keteledoranmu menjaga Ban-tok-kiam, pedang pusaka ini terjatuh ke tangan Sai-cu Lama sehingga Teng Siang In menjadi korban Ban-tok-kiam! Bi Lan, sungguh aku kecewa dan menyesal sekali telah mengambilmu sebagai murid. Maka, sekarang engkau sudah datang dan membawa Ban-tok-kiam yang sudah ternoda, aku akan mencabut kepandaian yang pernah kuberikan kepadamu. Bersiaplah engkau!"

   Nenek itu lalu menggerakkan tangannya untuk menotok ke arah pundak Bi Lan. Totokan itu mengarah jalan darah pusat dekat leher dan kalau terkena tentu gadis itu akan menjadi lumpuh dan kehilangan semua tenaga dalamnya, bahkan mungkin membahayakan keselamatan nyawanya.

   "Dukkk....!"

   Totokan nenek itu, yang tidak berani dielakkan atau ditangkis oleh Bi Lan, kini tertangkis oleh tangan Sim Houw. Dia tadi terkejut sekali dan melupakan segalanya, menangkis totokan maut itu untuk melindungi Bi Lan. Nenek Wan Ceng melangkah mundur, matanya mencorong ditujukan kepada Sim Houw yang masih berlutut. Tangkisan tadi menyadarkan nenek Wan Ceng betapa kuat tenaga sin-kang yang dipergunakan pemuda itu untuk menangkisnya tadi. Ia menjadi marah, merasa ditantang.

   "Sim Houw, Pendekar Suling Naga, berani engkau mencampuri urusan antara aku dan muridku sendiri. Apakah engkau menantangku?"

   "Maaf, locianpwe, saya masih belum begitu gila untuk berani menantang locianpwe. Akan tetapi, kalau locianpwe berkeras untuk menghukumnya, biar-lah saya saja yang mewakilinya. Hukumlah saya, locianpwe, karena selama ini ia hanya mengikuti jejak saya. Sayalah yang bertanggung jawab, sayalah yang bersalah dan locianpwe boleh menghukum atau membunuh saya, akan tetapi mohon bebaskan Lan-moi."

   Sikap dan suara Sim Houw demikian tegas dan mantap sehingga nenek itu terbelalak tidak percaya.

   "Engkau menyerahkan diri untuk menggantikan Bi Lan, dan engkau tidak akan melawan?"

   Tanyanya heran.

   "Saya bersumpah tidak akan melawan. Hukumlah saya sebagai pengganti adik Bi Lan."

   "Hemm, kalau begitu agaknya memang benar engkau yang menjadi biang keladinya sehingga murid kami menjadi jahat dan menyeleweng. Nah, terimalah hukumannya!"

   Akan tetapi sebelum nenek Wan Ceng melancarkan pukulan yang lebih hebat dari pada tadi, tangannya telah disentuh suaminya.

   "Perlahan dulu, aku ingin bicara dengannya,"

   Kata kakek Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu. Wan Ceng memandang heran. Biasanya, suaminya sudah tidak mau perduli lagi dengan semua urusan dan kalau sekarang dia mencampuri, itu berarti bahwa suaminya sebenarnya merasa sayang kepada Bi Lan, murid mereka yang hanya setahun berguru kepada mereka itu. Maka ia pun melangkah mundur, membiarkan suaminya yang agaknya akan menghadapi sendiri dua orang muda itu. Kao Kok Cu melangkah perlahan ke depan.

   "Orang muda, bangkitlah, aku ingin bicara denganmu,"

   Katanya lirih, namun suaranya penuh wibawa yang memaksa Sim Houw untuk bangkit dan dengan sopan dia mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Dia merasa kagum dan tunduk melihat seorang kakek yang biarpun lengan kirinya buntung dan pakaiannya sederhana, namun penuh dengan wibawa yang amat kuat ini. Wajah kakek itu nampak bersih dan terang, sepasang matanya seperti mata naga saja, lembut namun mencorong penuh kekuatan.

   "Pendekar Suling Naga Sim Houw, apamukah Can Bi Lan ini?"

   Ditanya demikian, Sim Houw men-jawab dengan sopan,

   "Bukan apa-apa, locianpwe, hanya teman seperjalanan. Saya mengantarnya untuk mencari Istana Gurun Pasir karena ia hendak mengembalikan Ban-tok-kiam."

   "Kalau bukan apa-apa, mengapa engkau hendak berkorban diri, rela dihukum bahkan dibunuh untuk menyelamatkannya?"

   Wajah Sim Houw menjadi merah dan beberapa kali dia melirik ke arah Bi Lan yang masih menundukkan mukanya. Menghadapi seorang tokoh seperti Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini, tentu saja dia harus berterus terang. Berbohongpun tidak akan ada gunanya, dan dia berpendapat bahwa sekaranglah saatnya dia berterus terang kepada Bi Lan pula, sebelum terlambat, yaitu sebelum seorang di antara mereka atau keduanya tewas di tangan suami isteri yang sakti ini.

   "Locianpwe, terus terang saja, saya rela berkorban nyawa untuk melindunginya karena saya amat mencintanya."

   Mendengar ucapan itu, kakek dan nenek itu saling pandang, dan ketika mereka memandang kepada Bi Lan, mereka melihat betapa gadis itu makin menunduk, akan tetapi tetap saja ada dua butir air mata mengalir turun di sepanjang pipi Bi Lan. Gadis itu merasa terharu bukan main mendengarkan pengakuan Sim Houw.

   Dia memang sudah dibisiki sucinya, Bi-kwi, bahwa Sim Houw mencintanya, akan tetapi betapapun ia memancing pengakuan Sim Houw, selalu gagal dan orang muda itu tak pernah menyatakan cintanya melalui mulut. Baru sekarang Sim Houw membuat pengakuan, di depan suhu dan subonya, dengan suara lantang. Hal ini mendatangkan kegembiraan, kelegaan akan tetapi juga keharuan hatinya sehingga walaupun ia sudah menundukkan mukanya, ia tidak dapat menahan beberapa butir air mata mengalir turun. Kakek itu lalu mundur selangkah dan dengan sepasang mata yang mencorong, dia memperhatikan Sim Houw. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa orang muda ini benar-benar "berisi", mudah saja nampak oleh pandang matanya yang tajam dalam sikap dan pandang mata pemuda itu.

   "Demi cinta engkau berani melindungi Bi Lan. Aku sudah pernah mendengar akan nama besarmu. Karena itu, ingin aku melihat apakah benar engkau mencintanya, dan sampai di mana pembelaanmu terhadap Bi Lan. Engkau majulah dan lawan aku, baru aku akan mempertimbangkan nanti apakah engkau cukup berharga untuk melindungi Bi Lan. Nah, bersiaplah untuk melayani aku bertanding, orang muda!"

   Sim Houw mengerti. Sikap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini tidaklah mengherankan karena banyak tokoh persilatan yang sakti memiliki kelemahan terhadap ilmu silat. Agaknya kakek inipun ingin menguji kepandaiannya, dan kalau memang merasa bahwa dia memiliki kepandaian cukup, kakek itu tentu akan merasa sayang untuk membunuh atau mencabut kepandaiannya dan mungkin sekali mereka akan dapat mengampuni Bi Lan. Jadi nasib Bi Lan ditentukan oleh perlawanannya terhadap kakek sakti itu.

   "Baiklah, locianpwe, saya mentaati perintah!"

   Berkata demikian, Sim Houw juga melangkah mundur sampai ke pekarangan yang luas di bawah serambi itu, dan dia sudah mencabut senjatanya, yaitu Liong-siauw-kiam atau Pedang Suling Naga, dipegang dengan tangan kanannya dan dia berdiri dengan sikap hormat menanti lawannya yang melangkah lambat menuruni anak tangga itu ke serambi. Kini kedua orang itu sudah saling berhadapan, keduanya tidak memasang kuda-kuda, seperti halnya dua orang yang hendak bertanding ilmu silat.

   Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa keduanya bukanlah ahli silat sembarangan dan tidak lagi memerlukan kuda-kuda yang khusus. Setiap posisi merupakan kuda-kuda yang baik bagi mereka, karena dari segala posisi mereka dapat saja melakukan gerakan silat, baik membela diri maupun menyerang. Sejak tadi, Bi Lan sudah mengangkat muka dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ia tahu benar betapa lihainya kakek berlengan buntung sebelah itu. Bagaimanapun juga, Sim Houw pasti bukan lawannya dan timbul perasaan ngeri dan takut dalam hatinya. Maka, melihat betapa keduanya sudah berdiri dan siap untuk saling serang, tiba-tiba ia mengeluarkan suara tertahan dan iapun meloncat turun dari keadaan berlutut tadi tahu-tahu ia sudah berdiri di antara Sim Houw dan Kao Kok Cu, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya sambil menangis!

   "Suhu....ah, suhu.... jangan suhu menyerang Sim-toako. Lebih baik suhu bunuh saja teecu. Dia tentu akan tewas di tangan suhu dan teecu.... teecu tidak mungkin dapat hidup tanpa dia suhu. Teecu.... mencintanya.... ah, teecu mencintanya...."

   Bi Lan menangis tersedu-sedu di depan kaki kakek itu. Sim Houw berdiri dengan muka pucat dan kedua kakinya menggigil. Benarkah apa yang didengarnya itu? Benarkah itu Bi Lan yang mengaku cinta padanya di depan kakek itu? Tanpa malu-malu menyatakan cinta kepadanya, bahkan menangis karena khawatir dia akan terbunuh dalam pertandingan ini? Ingin dia merangkul Bi Lan, ingin dia menghiburnya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melakukan hal itu di depan kakek dan nenek yang nampaknya masih marah itu.

   "Siapa akan membunuh orang? Anak bodoh, minggirlah dan biarkan aku menguji kepandaian Pendekar Suling Naga. Setelah itu, kalian berdua boleh pergi,"

   Kata Kao Kok Cu. Mendengar ini, bukan main girangnya hati Bi Lan dan iapun cepat mundur dan berdiri di pinggiran untuk menonton. Ia percaya bahwa suhunya akan memegang teguh janjinya, tidak akan membunuh Sim Houw? Tanpa disengaja, ia berdiri di dekat Wan Ceng yang juga sudah turun dari serambi, dan melihat subonya, Bi Lan berbisik,

   "Subo, teecu bersumpah bahwa kami berdua tidak pernah menyeleweng, tidak pernah melakukan kejahatan."

   Nenek Wan Ceng melirik kepadanya dan menjawab lirih, suaranya masih dingin.

   "Hemm, akan tetapi apa yang kami dengar tentang dirimu tidak seperti yang kau katakan ini, Bi Lan."

   "Subo, untuk setiap persoalan, teecu dapat menjawab dan memberi penjelasan. Setidaknya teecu berhak untuk membela diri, Subo, dari segala berita yang dijatuhkan kepada teecu."

   "Sudahlah, nanti saja kita bicara lagi,"

   Kata nenek itu yang memperhatikan dua orang yang sudah mulai bergerak saling mendekati. Bi Lan memandang ke arah Sim Houw dari Kao Kok Cu yang sudah saling mendekati, Sim Hoaw memegang sulingnya, kakek itu seperti biasa, tidak memegang senjata apapun kecuali kedua ujung lengannya. Melihat betapa gagahnya Sim Houw, dan betapa gurunya itu sudah nampak tua dan lemah, agak berkurang kekhawatiran di hati Bi Lan. Ia tidak khawatir kalau Sim Houw akan melukai gurunya. Ia mengenal benar siapa Sim Houw, tahu benar akan kebaikan hati Sim Houw dan kegagahannya. Jelas bahwa pendekar itu tidak akan mau melukai kakek yang tua renta itu.

   "Engkau mulailah, orang muda!"

   Kata Kao Kok Cu. Tadinya Sim Houw merasa sungkan untuk mendahului, akan tetapi mendengar ucapan kakek itu yang dianggapnya sebagai perintah, diapun lalu menggerakkan sulingnya dan berkata,

   "Baik, locianpwe, saya mulai menyerang!"

   Berkata demikian, suling itu berkelebat dan menotok ke arah pundak kiri yang tak berlengan itu! Kakek itu tersenyum dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan pundaknya. Orang muda ini cerdik sekali, pikirnya, agaknya dapat menduga bahwa justeru lengan baju kiri tanpa isi itulah yang berbahaya, maka dalam serangan pertama itu dia menyerang pundak kiri yang berarti melemahkan bagian yang berbahaya dan kuat! Sambil meloncat ke belakang, kaki kakek itu melayang dengan tendangan yang amat cepat dan tidak terduga datangnya dari samping menyerong ke arah lambung Sim Houw.

   Namun pemuda ini sudah dapat mengelak dengan baik, bahkan sulingnya sudah berkelebat lagi menotok ke arah lutut dari kaki yang menendang. Kao Kak Cu sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menampar dengan amat dahsyatnya dari atas, mengarah ubun-ubun kepala Sim Houw dan hampir berbareng, ujung lengan baju kiri menyambar dari bawah, menotok ke arah ulu hati pemuda itu dengan kecepatan luar biasa. Sim Houw terkejut, akan tetapi dia tidak menjadi gugup. Sudah diduganya bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat lihai, maka sejak tadipun dia sudah tidak berani memandang ringan, selalu waspada dan siap siaga setiap urat syarafnya menghadapi serangan yang aneh dan hebat.

   "Takkk..!"

   Sulingnya menangkis tangan yang menampar dari atas, sedangkan totakan ujung lengan baju kiri itupun disampoknya dengan tangan kirinya sambil memutar tubuh. Kini sulingnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan bunyi menderu lalu melengking seperti ditiup, mendatangkan angin keras dan hawa yang panas. Sim Houw mulai mengeluarkan kepandaiannya, memainkan sulingnya dengan ilmu gabungan dari Koai-liong-kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas). Kedua ilmu ini telah digabung dan menjadi ilmu yang dinamakan Liong-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) dan cocok sekali dimainkan dengan pedang suling naga itu sebagai pengganti sepasang senjata yang sudah dikembalikannya kepada keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang pusaka Koai-liong-kiam.

   "Bagus....!"

   Nenek Wan Ceng sampai memuji dan memandang kagum sekali ketika ia melihat sinar bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk di sekeliling tubuh suaminya. Belum pernah ia melihat ilmu pedang sehebat itu, apa lagi ditambah dengan suara melengking seolah-olah ada orang yang sedang meniup suling dengan amat pandai dan merdunya. Juga kakek Kao Kok Cu merasa kagum bukan main.

   Orang ini masih muda, akan tetapi telah menguasai ilmu yang demikian tingginya! Demikian hebatnya ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu. Suaranya merupakan serangan tenaga khi-kang melalui suara, menggetarkan jantung dan membuyarkan pencurahan perhatian lawan, anginnya juga mengandung hawa panas yang dahsyat dan dapat membingungkan lawan, sedangkan suling aneh itu dapat dipergunakan untuk menotok, akan tetapi juga membacok dan menusuk seperti pedang. Di tangan pemuda itu, suling itu bergerak dengan gulungan sinar seperti seekor naga bermain-main di angkasa. Kakek itu segera terdesak oleh sinar bergulung-gulung itu dan hanya karena dia telah memiliki ilmu yang matang dan mendarah daging maka dia dapat mengenal atau menangkis dengan tepat pada saat terancam bahaya.

   Beberapa kali usahanya untuk melilit pedang atau suling itu dengan ujung lengan baju kiri tak pernah berhasil karena begitu terlilit begitu pula terlepas seolah-olah benda berupa suling atau pedang itu licin seperti tubuh ular. Karena terdesak, kakek itu lalu merobah gerakannya dan kini dia mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh, yaitu Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Tangan Naga Sakti). Barulah keadaan mereka seimbang. Sim Houw terkejut bukan main ketika melihat kakek buntung itu memainkan ilmu silat yang luar biasa kuatnya. Dia merasa seperti menghadapi tembok benteng baja yang amat kuat, sukar ditembus oleh sinar senjatanya, bahkan setiap kali sulingnya bertemu dengan lengan atau lengan baju kiri, tangannya terasa panas dan lengannya tergetar. Bergidik dia membayangkan ada kekuatan sin-kang sehebat itu.

   Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba tubuhnya seperti rebah memanjang, seperti seekor naga saja, dan begitu bergerak, tangan kanannya mengeluarkan angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Sim Houw berusaha mempertahankan dengan tangkisan putaran sulingnya, namun tenaga itu mendorong terlampau dahsyat. Itulah ilmu sakti Sin-liong-hok-te yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh seorang yang berlengan sebelah! Sim Houw yang mempertahankan diri, tetap saja terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung! Kalau kakek itu berniat jahat dan mendesak, agaknya sukar baginya untuk menyelamatkan diri. Dengan demikian, jelaslah bahwa dengan ilmu terakhir itu, kakek Kao Kok Cu masih menang satu dua tingkat dibandingkan Sim Houw yang kalah tenaga dalam dan kalah pengalaman.

   "Orang muda, engkau hebat dan tidak mengecewakan berjuluk Pendekar Suling Naga!"

   Kata kakek Kao Kok Cu sambil melangkah mundur tiga langkah, berarti dia mengakhiri pertandingan itu. Bukan main girang dan lega rasa hati Sim Houw. Diapun cepat menyimpan suling, menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

   "Terima kasih banyak saya haturkan atas kemurahan hati locianpwe yang telah memberi petunjuk kepada saya."

   Kakek itu menarik napas panjang dan menoleh kepada isterinya yang juga memandang kepadanya dan mengangguk. Tanpa kata, suami isteri yang sudah saling mengenal lahir batin ini bermufakat bahwa seorang pemuda yang berilmu demikian tinggi dengan sikap demikian rendah hati seperti Sim Houw, agaknya sukar dipercaya kalau sampai melakukan penyelewengan dan kejahatan! Bi Lan juga sudah mendekati Sim Houw dan berlutut di sebelah pemuda itu, hatinya lega dan girang bukan main.

   "Suhu, terima kasih bahwa suhu tidak melukai Sim-toako."

   Kakek itu kini tersenyum dan kembali menarik napas.

   "Siancai.....! Semoga Tuhan akan memberkahi kalian dalam cinta kasih kalian. Mari kita masuk ke dalam dan bicara di dalam. Agaknya banyak hal-hal yang perlu dibicarakan dan dibikin terang."

   "Benar,"

   Kata Wan Ceng.

   "Akupun mulai ragu-ragu apakah benar Bi Lan telah melakukan penyelewengan yang mengecewakan hatiku."

   Sim Houw merasa girang sekali, menghaturkan terima kasih dan bangkit berdiri bersama-sama Bi Lan. Ketika bangkit, tanpa disengaja, tangan kiri Bi Lan menyentuh tangan kanan Sim Houw dan otomatis kedua tangan itu saling genggam dan mereka berdua mengikuti kakek dan nenek itu masuk ke dalam istana dengan saling berpegang dan bergandeng tangan. Beberapa kali mereka menoleh saling pandang yang memancing senyum penuh bahagia di kedua mulut mereka. Mereka dibawa masuk oleh kedua orang tua itu ke dalam ruangan yang luas dan indah walaupun perabot di dalam ruangan itu sederhana.

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di sudut terdapat rak senjata dan sebuah almari penuh dengan buku-buku dan di tengah-tengah ruangan terdapat meja kursi terukir dari kayu hitam yang kuno. Mereka berempat duduk di sekeliling meja itulah dan Bi Lan merasa betapa tubuhnya ditelan oleh kursi yang besar dan cekung itu. Ia merasa dirinya kecil lahir batin di tempat yang megah namun kuno ini, apa lagi di depan suhu dan subonya yang baru saja tadi marah kepadanya, bahkan kini agaknya hendak minta keterangan secara serius darinya. Tak lama setelah mereka duduk, muncul seorang wanita Mongol yang memasuki ruangan itu menghidangkan minuman teh. Setelah wanita yang mukanya dingin seperti arca, persis sikap pria Mongol yang tadi bekerja di pekarangan, nenek Wan Ceng yang merasa penasaran itu mulai dengan pertanyaannya.

   "Bi Lan, terus terang saja, kami berdua yang tinggal di tempat sunyi ini baru saja menerima kunjungan dari selatan dan kami mendengar banyak hal yang membuat kami ikut merasa prihatin, terutama ketika kami mendengar tentang sepak terjangmu yang membuat kepalaku pening dan hatiku kecewa, juga menyesal sekali."

   Bi Lan terseryum memandang wajah subonya. Betapa ia merindukan wajah ini, akan tetapi sekarang ia harus bersikap sungguh-sungguh.

   "Subo, kenapa subo belum apa-apa sudah mempercayai berita tentang diri teecu? Seperti teecu katakan tadi, setiap persoalan tentu teecu dapat menjawab dan memberi penjelasan sampai subo dan suhu mengerti benar bahwa semua akibat itu ada sebabnya dan sebabnya bukanlah karena penyelewengan atau kejahatan teecu. Teecu amat menghormat dan menyayang suhu dan subo, mana mungkin berani melakukan perbuatan jahat? Dan andaikata teecu menyeleweng dan berbuat jahat, mana teecu berani datang menghadap ke sini?"

   Kakek Kao Kok Cu tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Memang benar juga pendapat Bi Lan ini...."

   "Sekarang, jawablah pertanyaanku dengan keterangan yang jujur dan sejelasnya, baru aku akan menilai apakah engkau bersalah atau tidak,"

   Kata nenek Wan Ceng.

   "Aku mendengar bahwa Ban-tok-kiam dipergunakan orang untuk membunuh Teng Siang In, isteri mendiang paman Suma Kian Bu. Bagaimana bisa demikian kalau Ban-tok-kiam kuserahkan kepadamu?"

   Bi Lan mengangguk.

   "Teecu tidak berdaya ketika Sai-cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan teecu, subo. Sai-cu Lama, amat lihai dan kepandaiannya terlampau tinggi bagi teecu sehingga pedang pusaka itu dapat dirampasnya dan kemudian dia pergunakan untuk membunuh locianpwe itu. Akan tetapi ketika para pendekar menghadapi komplotan Sai-cu Lama, teecu dan Sim-toako membantu dan kami berhasil merampas kembali Ban-tok-kiam. Teecu mengaku salah bahwa Ban-tok-kiam sampai dirampas orang, akan tetapi hal itu terjadi bukan karena kelengahan, melainkan karena kebodohan dan kelemahan teecu yang tidak mampu menandingi Sai-cu Lama."

   Diam-diam Bi Lan merasa heran mendengar subonya menyebut paman kepada tokoh keluarga Pulau Es itu.

   Ia tidak tahu bahwa nenek Wan Ceng adalah cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, sehingga biarpun usianya lebih tua dari pada mendiang Suma Kian Bu, ia harus menyebut pendekar itu paman.

   "Sekarang jelaskan bagaimana engkau membela dan melindungi sucimu yang bernama Bi-kwi, yang amat jahat itu. Bukankah ia dahulu bahkan telah menyelewengkan pelajaran silat padamu sehingga engkau hampir menjadi gila dan terancam maut? Aku mendengar bahwa Bi-kwi itu amat jahat, lebih jahat dari pada Sam Kwi, akan tetapi mengapa engkau malah membelanya, bahkan engkau telah membantunya ketika iblis betina itu berkelahi melawan Suma Ciang Bun dan muridnya, berarti engkau membantu seorang jahat melawan keluarga para pendekar Pulau Es. Nah, apa alasanmu?"

   "Subo, biarpun teecu pernah menjadi murid Sam Kwi dari sejak kecil dididik oleh datuk-datuk sesat, namun semenjak menjadi murid suhu dan subo, teecu sudah dapat membedakan antara baik dan buruk. Apa lagi setelah teecu bertemu dengan Sim-toako yang selalu membimbing teecu, teecu tidak pernah membantu kejahatan. Biarpun suci sendiri, karena ia jahat, pernah menjadi lawan dan musuh teecu. Kalau teecu membela dan melindungi, adalah karena suci Bi-kwi telah insyaf dan mengubah kehidupannya menjadi orang baik-baik. Ia diserang oleh Hong Beng dan gurunya karena salah paham saja. Mungkin mereka itu mengira bahwa suci masih tetap jahat, akan tetapi teecu sendiri menyaksikan bahwa suci sudah bertaubat. Kalau orang sudah menyesali kesalahannya dan ingin bertaubat, apakah kita harus mendesaknya sampai ia tidak dapat memperbaiki kesalahannya lagi, subo?"

   Bi Lan lalu menceritakan tentang keadaan Bi-kwi, betapa Bi-kwi telah bertemu dengan seorang pemuda tani yang dicintanya dan cinta itulah yang telah mengubah watak dan sifat kehidupan Bi-kwi. Demi menyelamatkan kekasihnya itulah dia diperas dan dipaksa oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, tokoh tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sehingga Bi-kwi membantu mereka menghadapi Suma Ciang Bun. Semua ini ia ceritakan dengan sejelasnya, seperti yang pernah ia dengar dari Bi-kwi sendiri.

   "Demikianlah, subo. Ketika teecu melindunginya, ia berada dalam keadaan yang sama sekali tidak bersalah dan tidak melakukan kejahatan, dan teecu hanya membela kebenaran, dari manapun datangnya tanpa pilih bulu. Kalau hal itu subo anggap bersalah dan hendak menghukum teecu, maka teecu hanya dapat menyerahkan diri."

   Bi Lan menutup keterangannya Nenek Wan Ceng saling pandang dengan suaminya. Diam-diam mereka terharu juga mendengar penuturan Bi Lan tentang Bi-kwi.

   Suami isteri ini tahu apa artinya cinta dan mereka percaya bahwa cinta kasih akan mampu merobah watak seorang manusia, dari keadaan yang jahat menjadi baik, cinta kasih mampu menghidupkan kembali kepekaan hati yang tadinya beku dan mati. Mereka mendengar semua tentang Bi Lan dan Ban-tok-kiam dari kunjungan dua orang secara berturut-turut. Pertama kali datang Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, mengunjungi mereka dan dari suami isteri inilah mereka mendengar tentang kematian Teng Siang In. yang menjadi korban pedang pusaka Ban-tok-kiam, dan betapa puteri tunggal suami isteri keluarga Pulau Es diculik pula oleh orang yang menggunakan Ban-tok-kiam membunuh Teng Siang In. Kemudian, datang pula. Gu Hong Beng mengunjungi mereka dan pemuda murid Suma Ciang Bun ini mengabarkan tentang diculiknya cucu mereka,

   Kao Hong Li, oleh seorang yang bernama Ang I Lama juga dari Hong Beng mereka mendengar tentang penyelewengan murid mereka, yaitu Can Bi Lan. Hong Beng yang penuh cemburu dan iri hati itu menceritakan kepada suami isteri tua itu betapa Bi Lan melakukan penyelewengan bukan saja main gila dengan Pendekar Suling Naga, bahkan Bi Lan dan Sim Houw telah membantu iblis betina Bi-kwi, dan menentang keluarga Pulau Es! Kini, setelah mendengar penuturan Bi Lan, suami isteri ini dapat menarik kesimpulan bahwa memang terjadi salah paham antara Bi Lan berdua Sim Houw dengan Suma Ciang Bun dan muridnya, Gu Hong Beng. Setelah saling pandang dan memberi persetujuan dengan isyarat mata, Wan Ceng lalu mewakili suaminya berkata kepada Bi Lan.

   "Sekarang kami mengerti setelah mendengar keteranganmu, Bi Lan. Akan tetapi, kalian sudah terlanjur mendatangkann kesan buruk kepada keluarga Pulau Es. Karena itu engkau harus menebusnya dengan perbuatan yang akan dapat membersihkan namamu, Bi Lan. Ketahuilah bahwa cucu kami, puteri tunggal anak kami Kao Cin Liong, yang bernama Kao Hong Li, telah diculik orang yang mengaku bernama Ang I Lama. Kau wakililah kami, karena kami sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jauh. Wakili kami dan cari Hong Li sampai dapat! Kalau engkau berhasil mengembalikan Hong Li kepada orang tuanya, maka baru aku mau mengaku engkau sebagai muridku lagi."

   Bi Lan terkejut. Tugas yang amat berat karena ia tidak tahu ke mana anak itu dibawa pergi penculiknya, dan iapun tidak mengenal siapa Ang I Lama. Akan tetapi, Sim Houw yang berada di dekatnya menyentuh lengannya dan berbisik,

   "Terimalah saja tugas itu, Lan-moi, kita cari bersama."

   Mendengar bisikan ini, Bi Lan merasa besar hatinya dan dengan penuh semangat iapun berkata,

   "Baiklah, subo dan suhu, teecu akan mencari, sampai dapat menemukan kembali adik Kao Hong Li. Teecu baru akan datang menghadap suhu dan subo kalau teecu sudah berhasil dengan tugas itu dan teecu mahon doa restu dari suhu berdua subo.

   "Baiklah, Bi Lan. Kami membekali doa restu dan mudah-mudahan engkau akan berhasil. Sekarang berangkatlah kalian,"

   Kata nenek Wan Ceng. Akan tetapi Bi Lan tidak bangkit, bahkan memberi hormat sambil berlutut, diikuti pula oleh Sim Houw yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu. Dua orang kakek dan nenek itu bangkit berdiri, mengira bahwa dua orang muda itu berlutut untuk memberi hormat dan berpamit, akan tetapi ternyata tidak demikian karena Bi Lan berkata dengan suara penuh permohonan.

   "Ada satu permohonan dari teecu kepada suhu dan subo, harap saja suhu dan subo dapat mengabulkan permohonan teecu ini."

   Wan Ceng tersenyum.

   "Katakanlah."

   "Seperti suhu dan subo mengetahui, teecu hidup sebatangkara, tidak ada orang tua, tanpa keluarga. Ketiga suhu Sam Kwi telah tewas dan bagi teecu, suhu dan subo merupakan pengganti orang tua. Demikian pula dengan Sim-toako yang sudah yatim piatu dan tidak ada keluarga. Oleh karena itu, kami berdua mohon agar suhu dan subo yang sudi menjadi wali kami dan mengesahkan dan merestui perjodohan antara kami."

   Diam-diam Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Gadis ini selain mencintanya juga bersungguh-sungguh dan demikian tabah membicarakan persoalan jodoh itu tanpa lebih dulu bertanya kepadanya. Akan tetapi, apa yang diucapkan gadis itu memang amat disetujuinya, bahkan dia akan merasa berbahagia, kalau kelak kakek dan nenek sakti itu mau mengesyahkan perjodohan antara mereka! Kakek Kao Kok Cu dan Wan Ceng saling pandang dan kakek itu mengangguk sambil tersenyum. Dia dapat melihat cinta kasih berpancar dari wajah dan sinar mata kedua orang muda itu, maka tidak ada lagi halangan bagi mereka untuk berjodoh, apa lagi karena tidak ada keluarga mereka yang dapat dimintai persetujuan. Akan tetapi Wan Ceng yang cerdik segera menjawab.

   "Tentu saja kami berdua suka sekali menjadi wali dan mengesahkan perjodohan kalian yang saling mencinta. Akan tetapi, ingat, kalian mempunyai tugas penting, oleh karena itu, laksanakan dulu tugas itu, baru kalian datang ke sini dan kami akan mengabulkan permintaan kalian."

   Bukan main girangnya hati Bi Lan. Berkali-kali ia memberi hormat dan menghaturkan terima kasih. Juga Sim Houw menghaturkan terima kasih kepada kedua orang tua itu. Akan tetapi ketika mereka hendak berpamit, tiba-tiba terdengar suara nyaring di luar istana itu.

   "Kao Kok Cu dan Wan Ceng....! Apakah kalian masih hidup?"

   Tentu saja empat orang itu merasa terkejut sekali mendengar suara yang mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat itu, sehingga suara itu memasuki istana dan sampai ke ruangan itu membawa gema yang kuat. Wan Ceng mengerutkan alisnya. Sukar menduga siapa adanya orang yang berani menyebut namanya dan nama suaminya begitu saja itu! Hatinya merasa tidak senang, maka ia mendahului suaminya dan berkata kepada Bi Lan dan Sim Houw.

   "Kalian keluarlah dan lihat siapa orang kasar yang datang itu!"

   Nenek ini dahulu ketika muda memang berwatak keras.

   Mendengar ada orang berteriak-teriak di luar memanggil namanya dan nama suaminya ia merasa tidak senang dan merasa tidak perlu keluar sendiri menyambut, maka ia wakilkan kepada Bi Lan dan Sim Houw. Ia tahu bahwa muridnya itu, terutama sekali Sim Houw, telah memiliki kepandaian yang amat lihai sehingga patut mewakilinya menghadapi orang yang bagaimanapun juga. Bi Lan dan Sim Houw cepat berlari keluar dan ketika mereka tiba di luar istana, keduanya tersenyum lebar dengan hati lega ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang hwesio tua renta yang mereka kenal baik. Orang itu bukan lain adalah Tiong Khi Hwesio! Seperti kita ketahui, Tiong Khi Hwesio memimpin para pendekar muda menghadapi komplotan Sai-cu Lama, maka tentu saja Bi Lan dan Sim Houw mengenal baik pendeta ini. Sebaliknya, Tiong Khi Hwesio juga mengenal dua orang muda itu. Dia tersenyum ramah dan menudingkan telunjuknya kearah mereka,

   "Eh-eh, kiranya kalian berdua juga berada di sini?"

   Sim Houw cepat menghampiri hwesio itu dan memberi hormat, sementara itu Bi Lan sambil tertawa cepat masuk kembali ke dalam istana menemui suhu dan subonya. Dari luar ruangan ia sudah berteriak,

   "Suhu....! Subo....! Yang datang adalah locianpwe Tiong Khi Hwesio!"

   Akan tetapi kakek dan nenek itu tidak mengenal nama Tiong Khi Hwesio dan mereka saling pandang dengan heran.

   Hanya saja, mendengar bahwa yang datang adalah seorang hwesio, mereka lalu melangkah keluar bersama Bi Lan untuk melihat siapa hwesio yang menyebut nama mereka begitu saja. Ketika Kao Kok Cu dan Wan Ceng tiba di luar istana, mereka berdua memandang kepada hwesio tua yang berkepala gundul dan berjubah kuning itu. Mereka termangu, tidak mengenal hwesio tua itu. Hwesio yang bermulut sinis, senyum yang mengarah ejekan, sepasang mata yang tajam, mencorong dan tubuh yang masih nampak tegap dan membayangkan kekuatan. Di lain pihak, Tiong Khi Hwesio memandang kepada kakek dan nenek itu, kemudian melangkah lebar menghampiri, wajahnya berseri dan terutama sekali matanya ditujukan kepada nenek Wan Ceng, kemudian dia merangkap kedua tangan ke depan dada seperti orang berdoa.

   "Omitohud....! Terima kasih kepada Sang Buddha bahwa hari ini pinceng masih berkesempatan untuk bertemu dengan Wan Ceng! Ahhh, Wan Ceng, engkau kini telah menjadi seorang nenek yang tua, namun masih nampak kelincahanmu dan kegagahanmu! Suara itu menggetar penuh perasaan. Betapa tidak akan terharu rasa hati kakek hwesio ini bertemu dengan wanita yang di waktu mudanya dulu pernah menggetarkan kalbunya, seorang wanita yang sebenarnya adalah saudaranya sendiri, seayah berlainan ibu! Wan Ceng terkejut sekali dan melangkah maju mendekat, memandang tajam penuh perhatian dan penuh selidik.

   "Siapakah engkau....? Aku.... aku tidak mengenal hwesio seperti engkau ini...."

   Tanyanya ragu.

   "Hemmm, Si Jari Maut telah menjadi seorang hwesio, sungguh mengagumkan sekali!"

   Tiba-tiba terdengar suara Kao Kok Cu berkata dan Wan Ceng memandang kepada hwesio itu dengan mata terbelalak.

   "Kau.... kau.... Wan Tek Hoat....?"

   Akhirnya ia berseru, suaranya gemetar dan tiba-tiba saja kedua matanya menjadi basah. Hwesio tua itu mengejap-ngejapkan matanya yang juga menjadi basah dan dia mengangguk-angguk.

   "Bertahun-tahun aku sudah menjadi hwesio dan nama pinceng adalah Tiong Khi Hwesio."

   "Aihh.... Tek Hoat.... Tek Hoat.... siapa dapat mengira bahwa engkau telah menjadi seorang pendeta? Mengapa pula demikian? Dan di mana adanya adik Syanti Dewi?"

   Tiba-tiba sepasang mata hwesio itu yang tadinya berseri, kini menjadi muram dan sejenak dia menundukkan kepalanya dan mengerahkan tenaga untuk menahan rasa nyeri yang tiba-tiba menusuk jantungnya. Hanya sebentar saja dia terpukul, kemudian dia sudah dapat mengangkat mukanya lagi memandang kepada nenek Wan Ceng.

   "Sudah beberapa tahun lamanya ia meninggalkan aku, meninggalkan dunia, dan sejak itu pula pinceng menjadi hwesio...."

   Kalimat ini cukup bagi Wan Ceng. Ia dapat membayangkan apa yang terjadi dan hal ini memancing datangnya air mata yang lebih banyak lagi. Ia dapat mengerti bahwa tentu Wan Tek Hoat yang amat mencinta isterinya, yaitu Syanti Dewi, menjadi patah semangat dan masuk menjadi hwesio untuk menghibur dirinya.

   "Tek Hoat, kasihan kau....! Syanti Dewi, kenapa engkau begitu kejam meninggalkan dia?"

   Suasana menjadi hening dan mengharukan, akan tetapi hanya sebentar karena suara ketawa kakek Kao Kok Cu memecahkan keheningan dan membuyarkan keharuan.

   "Ha-ha-ha, kalian seperti dua orang anak kecil saja yang cengeng! Tiong Khi Hwesio, marilah masuk, kita bicara di dalam. Kunjunganmu sekali ini pastilah membawa berita yang amat penting. Sim Houw dan Bi Lan, kalianpun masuk kembali, kita semua bicara di dalam."

   Ucapan dan sikap Kao Kok Cu ini menolong Tiong Khi Hwesio dan Wan Ceng yang tadi dilanda keharuan. Hwesio itu tertawa dan Wan Ceng juga cepat menghapus air matanya dan sikap mereka telah menjadi biasa kembali ketika mereka melangkah ke dalam istana tua itu Setelah mereka semua duduk mengelilingi meja besar di ruangan di mana tadi Sim Houw dan Bi Lan bercakap-cakap dengan suami-isteri tua itu, Kao Kok Cu segera bertanya,

   "Tiong Khi Hwesio, banyak yang dapat kita bicarakan dalam pertemuan ini karena sudah puluhan tahun kita saling berpisah. Akan tetapi kami kira yang terpenting untuk didahulukan adalah urusan yang jauh-jauh kau bawa ke sini. Ada kepentingan apakah yang mendorongmu datang dari tempat yang demikian jauhnya? Engkau datang dari Bhutan, bukan?"

   Tiong Khi Hwesio menggeleng kepala.

   "Tidak di Bhutan lagi. Sudah bertahun-tahun pinceng bertapa di Pegunungan Himalaya, dekat Tibet. Dan memang ada hal yang amat penting yang pinceng bawa dari Tibet. Pinceng mengunjungi kalian sebagai utusan dari para pendeta Lama di Tibet."

   Hwesio itu berhenti dan memandang kepada kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian. Ada bermacam perasaan terkandung dalam pandang mata itu, keraguan, juga kekhawatiran dan perasaan iba.

   "Para pendeta Lama di Tibet?"

   Kao Kok Cu bertanya heran.

   "Kurasa tidak pernah ada hubungan antara kami dengan mereka!"

   "Heran!"

   Kata pula nenek Wan Ceng

   "Aku bahkan tidak pernah bertemu dengan pendeta-pendeta Lama di Tibet. Kepentingan apakah yang membuat mereka menyuruh seorang seperti engkau untuk datang ke tempat sejauh ini, Tek Hoat?"

   Nenek Wan Ceng merasa kikuk dan enggan untuk menyebut saudaranya ini dengan sebutannya yang baru, yaitu Tiong Khi Hwesio! Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang.

   "Sebuah tugas yang sungguh tidak enak bagi pinceng, akan tetapi karena pinceng juga ingin sekali berjumpa dengan kalian, maka tugas ini pinceng lakukan. Masalahnya bukan lain adalah mengenai putera kalian, yaitu Kao Cin Liong...."

   "Ada apa dengan dia?"

   Nenek Wan Ceng bertanya dengan suara penuh kegelisahan.

   "Dia bersama isterinya telah membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak berdosa, hanya karena mereka menyangka bahwa Lama itu tentu seorang jahat karena menjadi sute dari mendiang Sai-cu Lama."

   "Ahh! Apakah pendeta itu bernama Ang I Lama?"

   Wan Ceng bertanya cepat.

   "Eh, kiranya engkau sudah tahu?"

   Kini Tiong Khi Hwesio yang memandang heran.

   "Tentu saja aku tahu!"

   Wan Ceng berkata dan suaranya terdengar marah.

   "Dan jangan katakan bahwa orang yang bernama Ang I Lama itu demikian suci dan tidak berdosa seperti yang kau kira, Tek Hoat. Aku tahu mengapa anakku dan mantuku membunuhnya. Dia telah menculik Kao Hong Li, cucuku! Tentu anak dan mantuku melakukan pengejaran ke sana dan dalam perkelahian memperebutkan Hong Li, mereka telah membunuhnya!"

   "Omitohud....!"

   Tiong Khi Hwesio berseru dengan kaget sekali.

   "Akan tetapi, pinceng sudah lama mengenal Ang I Lama, juga para pendeta Lama menanggung bahwa dia adalah seorang pertapa yang sudah bertahun tidak keluar dari guhanya, dan tidak mungkin sama sekali kalau dia melakukan penculikan terhadap cucu kalian!"

   "Jangan katakan tidak mungkin, Tiong Khi Hwesio,"

   Kata Kao Kok Cu dengan sikap dan suara tenang.

   "Ingat bahwa Ang I Lama adalah sute dari Sai-cu Lama yang baru saja dibasmi komplotannya, bahkan engkau yang memimpin para pendekar muda membasminya. Bukan tidak mungkin dia mendendam dan melakukan penculikan itu, karena anakku juga merupakan seorang di antara mereka yang ikut menentang Sai-cu Lama."

   "Wan Tek Hoat!"

   Kata nenek Wan Ceng.

   "Engkau sudah lama mengenal Ang I Lama, akan tetapi aku telah mengenal Kao Cin Liong sejak dia kulahirkan! Dia dan isterinya tidak mungkin membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak berdosa! Apakah engkau lebih percaya kepada pendeta Lama itu dari pada kepada keluarga kami?"

   Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.

   "Omitohud.... betapa sukarnya urusan ini. Pinceng sendiri tidak tahu harus berpendapat bagaimana. Memang serba salah...."

   "Wan Tek Hoat, apakah setelah engkau menjadi hwesio dan menjadi tua bangka, engkau kehilangan semua kecerdikanmu yang dulu kau banggakan?"

   Nenek Wan Ceng kini berkata sambil tersenyum mengejek.

   "Urusan begitu mudah kenapa engkau buat menjadi sukar? Apakah ada yang menyaksikan perkelahian antara anak dan mantuku dengan Ang I Lama yang membuat pendeta Lama itu tewas?"

   "Tidak ada. Dua orang pendeta Lama menemukan Ang I Lama dalam keadaan hampir mati dan Ang I Lama hanya meninggalkan pesan dengan menyebut dua nama, yaitu Kao Cin Liong dan isterinya."
(Lanjut ke Jilid 35)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 35
"Hemm, dan hal ini kau jadikan pegangan bahwa anak dan mantuku yang membunuh Ang I Lama tanpa dosa?"

   "Sebelum terjadi pembunuhan itu, beberapa waktu sebelumnya, anak dan mantumu itu telah mendatangi para pendeta Lama untuk menanyakan di mana adanya Ang I Lama. Anak dan mantumu mencari Ang I Lama dan tak lama kemudian, Ang I Lama tewas dengan meninggalkan pesan nama anak dan mantumu. Bukankah hal itu sudah jelas?"

   "Kurang meyakinkan. Aku percaya bahwa anak mantuku membunuh Ang I Lama, akan tetapi jelas bukan membunuh orang tak berdosa, melainkan membunuh penculik cucuku. Apakah hal itu salah? Tentu saja anak dan mantuku membela anak mereka! Dan satu hal lagi menunjukkan kebodohanmu, Wan Tek Hoat. Yang menjadi orang tertuduh adalah anakku dan mantuku, akan tetapi kenapa engkau keluyuran ke sini? Bukankah lebih mudah kalau engkau datangi saja Cin Liong dan menanyakan hal itu? Bukankah engkau sudah mengenalnya dan sudah tahu pula di mana tempat tinggalnya?"

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 19 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 7 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 30

Cari Blog Ini