Kisah Pendekar Pulau Es 19
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
"Ceng Liong, apa yang telah terjadi?!
"Ssttt, diamlah dan mari ikut denganku keluar dari tempat ini,! kata Ceng Liong sambil menaruh telunjuk di depan mulutnya. Biarpun semua penjaga di luar kamar tahanan telah roboh, akan tetapi masih banyak pengawal yang berjaga di luar gedung dan dia harus berhati-hati untuk dapat membawa keluar anak perempuan itu dari gedung tanpa terlihat mereka.
Ketika ia digandeng keluar dari dalam kamar tahanan oleh Ceng Liong dan melihat dua belas orang penjaga itu malang-melintang dalam keadaan seperti sudah tewas saja, Hong Bwee terkejut dan merasa ngeri.
"Apa yang terjadi dengan mereka?! bisiknya.
"Mereka hanya pingsan minum arak yang ada obat biusnya, yang kudapat dari ayahmu. Mari kita pergi melalui pintu belakang.!
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar gedung, seperti suara orang berkelahi. Ceng Liong yang membawa Hong Bwee menyelinap ke belakang, melihat beberapa orang pengawal yang berjaga di bagian belakang gedung itu berlarian ke depan. Kesempatan ini dipergunakannya untuk membawa anak perempuan itu lari keluar dari gedung, menyusup ke dalam taman yang gelap lalu menjauhkan diri. Ternyata di luar gedung memang terjadi keributan.
Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Puteri Syanti Dewi sendiri yang tadinya membayanginya, telah mengamuk dan menghajar para penjaga, anak buah Brahmani yang memberontak itu. Para penjaga melawan dengan hati kecut, karena mereka tahu siapa adanya puteri ini, akan tetapi merekapun setia kepada Brahmani yang pada saat itu berkumpul di rumah Panglima Ram Rohan dan siap untuk menyerbu atau mengacau istana raja.
Akan tetapi, para penjaga yang berjumlah belasan orang itu mana mampu menandingi Puteri Syanti Dewi yang memiliki gerakan seperti burung terbang itu? Cepat bukan main sang Puteri bergerak di antara mereka, merobohkan mereka dengan tamparan atau tendangan. Sang puteri ingin sekali segera membebaskan puterinya yang menurut Ceng Liong ditawan di dalam kamar bawah tanah di belakang gedung perwira Brahmani yang ternyata adalah mata-mata Nepal itu.
Akan tetapi, setelah para penjaga itu berantakan dan sebagian besar melarikan diri tidak berani lagi melawan sang puteri yang memiliki gerakan cepat seperti pandai menghilang itu, dan Syanti Dewi berhasil memasuki gedung, ia tidak dapat menemukan lagi puterinya. Kamar tahanan itu telah kosong dan para penjaganya masih menggeletak tak sadar di luar kamar. Dan Ceng Liongpun tidak nampak di situ. Sang puteripun tahu bahwa anaknya sudah diajak lari keluar gedung oleh murid Phang-sinshe, maka iapun cepat pergi meninggalkan gedung itu untuk membantu suaminya yang sedang mempersiapkan pasukan untuk menghajar kaum pemberontak yang berkumpul di markas Panglima Ram Rohan.
Tentu saja para pemberontak yang sudah berkumpul di markas pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan terkejut sekali ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur dan nampak obor mengepung markas itu. Ternyata tempat mereka itu telah dikepung oleh pasukan kerajaan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Wan Tek Hoat!
Melalui seorang penantang yang berteriak lantang melalui corong, Wan Tek Hoat memerintahkan para pemberontak untuk menyerahkan diri tanpa melawan.
"Ram Rohan! Brahmani! Persekutuan kalian telah diketahui! Tempat ini telah terkepung! Menyerahlah tanpa perlawanan atau tempat ini akan dihancurkan!!
Tentu saja mereka yang berada di dalam markas itu menjadi kaget dan bingung.
"Ah, tentu ada yang membocorkan rahasia kita,! kata Phang-sinshe.
"Tentu ada pengkhianat di antara kita!!
"Dan aku tahu siapa pengkhianatnya!! bentak Brahmani dengan penuh geram, matanya menatap tajam wajah Phang-sinshe.
"Siapa? Siapa pangkhianatnya?! tanya semua orang yang berada di situ.
"Siapa lagi kalau bukan setan kecil Ceng Liong itu?! kata Brahmani.
"Hanya dia seorang yang tahu secara terperinci. Dan hanya dia yang pada saat ini berkeliaran di luar markas untuk menjaga tawanan itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang mengkhianati kita?!
"Jangan menuduh sembarangan!! bentak Phang-sinshe.
"Apa buktinya bahwa muridku yang berkhianat?!
"Buktinya memang belum ada, akan tetapi dengan sedikit akal dapat kita ketahui! Siapa lagi yang dekat dengan Pangeran Wan kalau bukan muridmu? Dan dia seoranglah yang tahu akan semua rencana kita. Aku berani bertaruh potong leher bahwa setan kecil itulah yang mengkhianati kita!! bentak Brahmani marah.
"Awas, jaga mulutmu atau aku sendiri yang akan mematahkan batang lehermu!! Kini Phang-sinshe berobah sikap, sikap Hek-i Mo-ong yang marah mendengar muridnya dituduh sebagai pengkhianat dan kemarahannya ini bangkit karena dia sendiriprm mulai menaruh curiga kepada Ceng Liong, suatu hal yang benar-benar menyakitkan hatinya.
"Sudahlah, tidak perlu dalam keadaan seperti ini kita ribut dan bertengkar sendiri,! kata Panglima Ram Rohan.
"Lebih baik mari cepat membantuku mengatur pasukan untuk menerjang keluar dan mencoba untuk melanjutkan siasat kita, menghantam pasukan kerajaan untuk membikin kacau dari dalam.!
Karena keadaan sudah mendesak, mereka semua tidakberbantahan lagi dan merekapun memimpin pasukan menyerbu keluar. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena pasukan di bawah pimpinan Panglima Ram Rohan itu hanya melawan setengah hati saja setelah melihat bahwa mereka terkepung, apalagi mendengar bahwa yang memimpin pasukan musuh adalah Pangeran Wan Tek Hoat yang mereka takuti.
Memang terjadi pertempuran sengit antara pasukan pernerintah dengan pasukan pilihan yang memang sudah dipersiapkan oleh Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani selama ini, pasukan yang memang sudah bertekad untuk memberontak. Akan tetapi setelah berkelahi setengah malam, pada saat matahari mulai mengusir kegelapan malam, pasukan inti inipun sudah sebagian besar roboh dan pasukan lainnya menjadi semakin jerih. Ada yang melarikan diri, banyak pula yang melempar senjata menyerah.
Hanya di sana-sini, di sekitar markas itu masih terjadi perkelahian, di antara para perwira kerajaan yang mengepung Hek-i Mo-ong yang mengamuk. Tidak ada seorangpun yang kuat menghadapi Raja Iblis ini yang sudah mengamuk dan merobohkan banyak sekali perajurit dan perwira Bhutan. Kini, iblis ini memperlihatkan diri yang sebenarnya. Dengan tangan kanan memegang sebatang tombak Long-ge-pang dan tangan kiri memegang kipas merahnya, sepak terjangnya menggiriskan sekali sehingga tidak ada perajurit Bhutan berani mendekatinya lagi. Padahal, Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani sudah sejak tadi tertawan dan luka-luka oleh pengeroyokan para perwira Bhutan.
Ketika Wan Tek Hoat mendengar laporan bahwa Phang-sinshe mengamuk hebat dan tidak ada orang berani mendekatinya, dia sendiri lalu mendatangi tempat itu diikuti oleh isterinya dan terkejutlah pendekar ini ketika menyaksikan kehebatan sepak terjang iblis itu. Melihat sepasang senjata itu, teringatlah Tek Hoat akan tokoh besar kaum sesat Hek-i Mo-ong dan sadarlah dia bahwa Phang-sinshe yang lemah lembut itu ternyata adalah penyamaran seorang tokoh besar kaum sesat yang amat keji dan terkenal, yaitu Hek-i Mo-ong!
"Hek-i Mo-ong, kiranya engkau kah ini?! bentaknya sambil meloncat dekat, diikuti oleh Puteri Syanti Dewi yang kini bersenjatakan sebatang pedang.Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut, katakanlah bahwa usahaku di Bhutan gagal, akan tetapi jangan harap akan dapat merobohkan aku dengan mudah!!
Marahlah Tek Hoat. Sudah lama pedang Cui-beng-kiam tidak pernah dipergunakannya dalam perkelahian. Pedang Cui-beng-kiam (Pencabut Nyawa) yang kini dilolos dari sarungnya mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan sinarnya membuat orang banyak terpaksa melangkah mundur dengan gentar. Pedang ini merupakan pedang peninggalan Cui-beng Koai-ong, Raja Iblis dari Pulau Neraka yang diwarisi oleh Tek Hoat.
"Hek-i Mo-ong, engkau berani mengacau Bhutan, berarti engkau sudah bosan hidup!! sambil mengeluarkan lengkingan panjang yang menyeramkan Tek Hoat menyerang dengan pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam menyambar dahsyat dan nampak sinar berkilauan ketika pedang itu menyambar dengan amat cepat dan kuatnya.
"Cring! Cring! Tranggg....!!
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua pihak cepat memeriksa senjata mereka masing-masing. Ketika pedang Cui-beng-kiam bertemu dengan tombak Long-ge-pang, Tek Hoat merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, akan tetapi pedangnya tidak rusak dan scbaliknya, ketika Hek-i Mo-ong momeriksa tombaknya, ujungnya patah dan dia menjadi marah sekali. Kakek iblis ini maklum bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih menang sedikit, akan tetapi senjatanya tidak akan mampu menandingi pedang pusaka itu, maka kini sambil mengeluarkan bentakan hebat diapun menerjang dengan dahsyat, menggerakkan tombaknya dan juga kipasnya.
Kipas itu mengeluarkan angin dingin, akan tetapi ketika menyambar dekat, berobah menjadi totokan berbahaya yang dilakukan oleh ujung kipas yang runcing. Tek Hoat cepat mengelak, mengenal serangan yang amat berbahaya itu. Pedangnya juga membalas dengan bacokan yang dapat dielakkan oleh lawan. Saling serang terjadi dan ketika pedang Cui-beng-kiam kembali berkelebat, tiba-tiba pedang itu tertahan oleh tombak yang menggunakan tenaga menempel dari samping, tidak berani beradu tajam. Tek Hoat terkejut ketika merasa betapa kuatnya tenaga sedot yang keluar dari senjata lawan, membuat pedangnya seperti menempel pada besi sembrani.
Selagi dia mengerahkan tenaga untuk membetot dan menarik kembali pedangnya, tiba-tiba terdengar suara mencicit dan dari mulut kakek itu tersembur uap panas seperti api! Itulah Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), ilmu baru yang sedang dilatih oleh kakek iblis itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Wan Tek Hoat terpaksa menarik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh karena dia maklum betapa hebatnya uap yang amat panas itu.
Melihat suaminya didesak, Syanti Dewi mengeluarkan suara melengking nyaring dan tuhuhnya mencelat ke depan. Tahu-tahu pedangnya menusuk ke arah leher Hek-i Mo-ong dari samping. Kakek itu terkejut sekali, tidak pernah mengira bahwa puteri itu dapat bergerak secepat itu, bahkan harus diakuinya bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi kecepatan yang seperti terbang saja itu! Sukarlah mengikuti gerakan puteri itu dengan pandang matanya, maka diapun hanya mengandalkan ketajaman telinganya saja, menggerakkan gagang tombak Long-ge-pang untuk menangkis sambil miringkan leher karena tusukan itu benar-benar amat cepat.
"Tranggg....!! Tubuh Syanti Dewi terlempar dan hanya dengan ilmu gin-kangnya yang hebat puteri ini dapat menghindarkan diri tidak sampai terbanting, yakni dengan berjungkir balik membuat poksai (salto) sampai tiga kali. Puteri itu terkejut, dan Hek-i Mo-ong merasa lega. Biarpun sang puteri itumemiliki gin-kang yang luar biasa hebatnya, namun dalam hal tenaga sin-kang, tidaklah sekuat Si Jari Maut, sehingga tidaklah terlalu membahayakan baginya.
Akan tetapi, pada saat itu perlawanan pasukan pemberontak telah hancur sama sekali dan tinggal Hek-i Mo-ong seorang yang melakukan perlawanan. Tentu saja para tokoh Bhutan kini berdatangan membantu Tek Hoat, juga pasukan pilihan Bhutan mengepung kakek itu dengan busur terpentang. Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong takkan dapat meloloskan diri dari tempat itu, kecuali kalau dia pandai melenyapkan diri atau terbang seperti burung. Kakek itupin maklum akan hal ini. Akan tetapi dia adalah seorang datuk kaum sesat, maka diapun tidak mengenal takut. Hanya dia sudah putus asa untuk dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup, maka diapun mengamuk dengan senjatanya, menghadapi pengeroyokan banyak orang.
Diam-diam Tek Hoat kagum bukan main. Memang, lawannya ini adalah seorang datuk sesat yang jahat seperti iblis. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang dia bertemu dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya, juga memiliki kegigihan yang luar biasa. Kalau orang dengan watak dan kepandaian seperti ini disertai pula kesetiaan dan kejujuran, tentu akan dapat menjadi tulang punggung sebuah negara yang boleh diandalkan.
Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong yang sakti itupun hanyalah seorang manusia, sudah tua pula, usianya sudah tujuh puluh lima tahun, maka daya tahannya tentu saja sudah banyak menurun walaupun kepandaiannya semakin matang. Dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Terutama sekali desakan-desakan Tek Hoat dan kecepatan Syanti Dewi membuatnya lelah dan gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah.
Akan tetapi, hal ini bukan membuatnya gentar, bahkan sebaliknya dia menjadi penasaran dan marah.
"Haiiiiiitttt!! Teriakannya disusul gerengan seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya membalik, tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya bergerak cepat. Terdengar jeritan mengerikan dan dua orang perwira Bhutan roboh tewas seketika. Akan tetapi pada detik itu juga, pedang Cui-beng-kiam di tangan Tek Hoat menyambar dan nyaris membabat putus leher kakek itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sambil membabatkan tombaknya ke seputar dirinya, membuat para pengeroyok terpaksa mundur.
Ketika meloncat bangun lagi, kakek itu mengusap pundaknya yang berdarah. Kiranya pedang Cui-beng-kiam masih sempat menyerempet pundaknya, membabat baju dan sebagian kulit dan daging pundaknya ikut terkupas! Marahlah kakek itu, akan tetapi diam-diam diapun maklum bahwa saat akhirnya sudah dekat. Kedua tangannya sudah mulai gemetar dan napasnya sudah mulai memburu, apalagi pundak yang terkena pedang Cui-beng-kiam itu terasa panas dan perih, tanda bahwa racun pada pedang itu amatlah ampuhnya.
Melihat ini, Tek Hoat yang merasa kagum itu membentak.
"Hek-i Mo-ong, apakah engkau masih belum mau menyerah?!
Tiba-tiba kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ha! Sekiranya Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sendiri datang, akan kulawan dan aku tidak sudi menyerah, apalagi menghadapi kalian!!
"Siapkan anak panah!! Tek Hoat memberi aba-aba dan sepasukan pemanah yang sudah siap dengan anak panah di busur kini menujukan ujung anak panah ke arah tubuh Hek-i Mo-ong! Akan tetapi, sebelum Tek Hoat mengeluarkan aba-aba terakhir untuk menghujankan anak panah dari jarak dekat kepada kakek itu tiba-tiba terdengar bentakan suara nyaring.
"Tahan! Jangan bunuh dia!!
Semua orang terkejut. Tek Hoat menoleh dan melihat betapa Ceng Liong datang sambil memegang lengan kiri Hong Bwee, wajahnya berobah pucat dan diapun cepat sekali membentak.
"Tahan semua senjata!!
Syanti Dewi juga melihat bahwa puterinya telah dipegang oleh Ceng Liong dan tahu apa artinya. Ia menjadi marah dan hendak bergerak meloncat untuk menyelamatkan puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh suaminya yang berbisik agar ia tenang.
"Ceng Liong, apa maksudmu mencegah kami membunuh pengkhianat?! Tek Hoat bertanya dengan suara lantang dan dia mencari kesempatan bagaimana untuk dapat menolong puterinya. Akan tetapi, puterinya berdiri mepet dengan Ceng Liong dan tangan anak laki-laki itu sudah siap untuk mengirim serangan maut, hal ini diketahuinya dari cara anak itu memegang tangannya. Yang amat mengherankan hatinya adalah melihat betapa wajah puterinya itu cerah saja, bahkan agak tersenyum seolah-olah tidak sedang dalam ancaman maut.
"Tidak mungkin....!! Tek Hoat berseru marah.
"Kutukar nyawa guruku dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!! Ceng Liong berkata lagi, suaranya lantang, sedikitpun dia tidak kelihatan gentar, matanya penuh kewaspadaan mengerling ke kanan kiri dan kepalanya kadang-kadang menoleh ke belakang, agaknya dia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau dibokong dari belakang atau samping.
Mendengar ini, Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Jangan ganggu anakku!!
"Aku tidak akan mengganggunya, selembar rambutnyapun tidak, asal guruku dibebaskan dan kami berdua dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini dengan aman,! jawab Ceng Liong tenang.
Tek Hoat saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua merasa bingung sekali melihat sikap Ceng Liong. Bukankah anak itu yang mengkhianati gurunya dan yang melaporkan akan semua pengkhianatan dan rencana pemberontakan sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan? Bukankah Ceng Liong pula yang telah menyelamatkan Hong Bwee, membebaskannya dari tahanan pihak musuh? Kenapa sekarang Ceng Liong berbalik menolong gurunya dan menjadikan Hong Bwee sebagai sandera?
"Ceng Liong, apa artinya ini? Engkau adalah seorang anak yang amat baik dan berbudi, mengapa engkau hendak membela gurumu yang jahat ini? Tidak tahukah engkau bahwa gurumu ini sama sekali bukanlah seorang ahli pengobatan, melainkan seorang datuk kaum sesat yang tersohor dan berjuluk Hek-i Mo-ong? Dosanya terhadap Bhutan sudah bertumpuk, dan engkau masih ada muka untuk berusaha menyelamatkannya dengan mengancam puteri kami?!
"Aku berhutang budi kepadanya dan aku adalah muridnya. Budi adalah budi yang harus dibalas karena aku tidak mau menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Aku berhutang nyawa kepadanya, maka aku akan membalas budinya, tidak perduli dia jahat ataukah tidak. Andaikata dia jahat, kalau dia sudah melepas budi kebaikan kepadaku, apakah harus kubalas dengan kejahatan? Aku menentang perbuatannya, bahkan orangnya. Dan aku berguru ilmu kepadanya, bukan berguru kejahatan.!
Jawaban yang keluar dari mulut seorang anak kecil seperti itu mengejutkan hati Tek Hoat dan dia menduga bahwa anak ini pasti bukan anak sembarangan. Akan tetapi, hatinya tetap saja masih merasa tidak rela untuk membebaskan Hek-i Mo-ong begitu saja. Bukankah kakek iblis ini sudah menimbulkan bencana hebat yang mengorbankan nyawa banyak perajurit Bhutan? Dan bukankah kakek ini tetap akan merupakan bahaya besar kalau dibiarkan berkeliaran di kolong langit dan menimbulkan bencana-bencana baru di antara manusia?
"Ceng Liong, aku tidak percaya bahwa kalau kami membunuh Hek-i Mo-ong, engkau akan tega mencelakai Hong Bwee. Hatimu terlalu baik untuk melakukan kejahatan keji itu!! katanya untuk mencoba hati anak itu dan menundukkannya.
Akan tetapi, terkejutlah dia ketika melihat sepasang mata anak itu mencorong seperti mata seekor naga.
"Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik mundur kembali! Apapun yang akan terjadi, aku harus menyelamatkan guruku. Sekali lagi, aku minta agar nyawa guruku ditukar dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!!
"Ceng Liong, engkau akan ditentang oleh pendapat banyak orang, engkau akan dikutuk!! Tek Hoat masih membantah.
"Aku tidak menyandarkan hidupku pada pendapat atau kutukan orang. Orang boleh membenarkan atau menyalahkan aku, akan tetapi semua tindakanku adalah urusanku sendiri, semua akibatnya adalah urusanku sendiri, orang lain tidak turut campur!!
Kembali jawaban ini mengejutkan hati Tek Hoat. Syanti Dewi yang sejak tadi memandang khawatir, tiba-tiba saja berkata dengan suara tinggi nyaring.
"Bebaskan Hek-i Mo-ong! Aku menukar nyawanya dengan nyawa anakku!!
Wajah Ceng Liong yang tadinya tegang dan serius itu, kini menjadi cerah dan dia tersenyum lalu menjura ke arah Syanti Dewi.
"Aku percaya bahwa ucapan seorang puteri seperti paduka akan ditaati oleh seluruh rakyat Bhutan. Aku minta agar paduka suka menjanjikan kepada kami berdua guru dan murid untuk dapat meninggalkan Bhutan dengan aman.!
Syanti Dewi mengangguk dan berkata lagi dengan lantang.
"Biarkan Hek-i Mo-ong dan muridnya pergi meninggalkan Bhutan dengan aman. Siapapun juga dilarang untuk mengganggu atau menghalangi kepergian mereka!!
Ceng Liong melepaskan tangannya dari lengan Hong Bwee, lalu tersenyum kepada anak itu.
"Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga.!
Kini anak perempuan itu yang memegang lengan Ceng Liong dan suaranya terdengar sedih,
"Ceng Liong, benarkah engkau mau pergi meninggalkan Bhutan? Meninggalkan aku?!
Ceng Liong mengangguk.
"Engkau melihat sendiri bahwa aku terpaksa pergi. Kelak kita akan dapat bertemu lagi.!
"Benarkah? Engkau takkan lupa kepadaku? Engkau kelak akan mengunjungiku?!
Ceng Liong mengangguk. Syanti Dewi sekali lompat telah berada di dekat anaknya yang segera dipeluknya dan ia memandang kepada Ceng Liong dengan alis berkerut lalu berkata agak ketus.
"Pergilah cepat!!
Ceng Liong lalu menghampiri gurunya, sejenak mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Ceng Liong lalu berkata.
"Mo-ong, mari kita pergi.!
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara menggeram dan menubruk Ceng Liong. Semua orang terkejut dan khawatir sekali, mengira bahwa kakek iblis itu akan membunuh murid yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi Ceng Liong tenang-tenang saja dan ternyata kakek itu malah memondongnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil tertawa bergelak! Suara ketawanya menyeramkan hati semua orang, seperti ketawa setan yang menakutkan.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Sungguh aneh! Sebentar engkau jadi musuhku, kemudian tiba-tiba menjadi penolongku. Sebentar aku ingin membunuhmu, di lain saat aku ingin memondong dan merangkulmu! Ha-ha-ha, engkau anak luar biasa, engkau tepat menjadi muridku. Ha-ha-ha-ha!! Dan kakek itu lalu pergi sambil memondong Ceng Liong, menyeret tombak Long-ge-pang sambil tertawa-tawa. Tidak seorangpun berani menghalanginya, pertama karena Sang Puteri Syanti Dewi telah mengeluarkan perintahnya dan kedua kalinya karena memang mereka semua gentar menghadapi kakek iblis yang amat sakti itu.
Tek Hoat menggeleng kepalanya, kagum sekali. Seorang kakek yang amat hebat, pikirnya, dan muridnya itu lebih hebat lagi. Peristiwa pemberontakan di Bhutan itu mengguncangkan sendi pertahanan negara kecil itu, maka Bhutanpun tidak mau banyak ribut ketika bala tentara Nepal menyerbu ke Tibet melalui perbatasan antara kedua negara. Asal Nepal tidak melanggar wilayah Bhutan, negara kecil ini lebih baik tinggal diam karena maklum bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu menandingi Nepal yang jauh lebih besar.
Himalaya merupakan pegunungan yang bukan saja paling besar di dunia, mempunyai puncak-puncak yang paling tinggi di dunia sehingga memperoleh sebutan Atap Dunia, akan tetapi juga sejak jaman dahulu terkenal sebagai tempat keramat dan di sanalah banyak pendeta dan pertapa tinggal mengasingkan diri dari dunia ramai.
Karena tempatnya sunyi terasing, maka bukan hanya mereka yang mencari sesuatu yang lebih luhur daripada hal-hal duniawi yang membanjiri Pegunungan Himalaya, akan tetapi juga para buronan penting banyak yang mengasingkan diri ke tempat ini, karena di tempat yang amat luas dan sukar didatangi manusia ini mereka dapat bersembunyi tanpa khawatir akan dapat ditemukan orang.
Hek-i Mo-ong keluar dari Bhutan dan langsung saja memasuki daerah Himalaya untuk melaksanakan tugasnya yang ke dua, yaitu memecah-belah para penghuni atau para pendeta di sekitar Himalaya. Hek-i Mo-ong yang pernah menjadi pertapa di Himalaya ketika dia sedang mematangkan ilmu-ilmunya, mempunyai banyak kenalan dan sahabat baik di daerah ini. Dia mengunjungi mereka satu demi satu, bicara soal ilmu dan secara sambil lalu mulailah dia menghasut dan mengadu domba antara pertapa yang dikenalnya, memanaskan hati mereka dengan membanding-bandingkan ilmu mereka, mencela yang satu memuji yang lain.
Ceng Liong merasa girang dan suka sekali dengan perjalanan ke Himalaya ini. Dia bertemu dengan bermacam orang yang lihai-lihai, dan para pertapa itu hampir semua suka kepadanya, melihatnya sebagai seorang anak yang amat berbakat dan mereka tidak pelit untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Ceng Liong. Anak ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa tidak mungkin untuk memetik hasil dari pertemuan dengan orang-orang sakti itu kalau hanya dalam waktu beberapa hari, maka diapun mencatat dan menghafal semua ilmu atau petunjuk yang diterimanya dari mereka dengan keputusan untuk kelak perlahan-lahan semua teori itu dilatih dan dipraktekkan.
Ceng Liong bukan hanya menerima banyak petunjuk dan menambah pengalamannya dalam hal ilmu silat, akan tetapi dia juga mulai berkenalan dengan orang-orang ahli ilmu gaib dan mistik. Dia belajar pula tentang meditasi dan yoga dari seorang pertapa berbangsa India. Dia tidak memperdulikan apa yang dikerjakan oleh gurunya, tidak mau mencampurinya, melainkan tekun belajar dari para pertapa yang sakti.
Hek-i Mo-ong adalah seorang tokoh besar yang dipercaya oleh sebagian besar para pendeta dan pertapa. Oleh karena itu, tidak aneh kalau hasutan-hasutannya menemui sasaran dan berhasil baik. Terjadilah ketegangan-ketegangan dan kesalahpahaman antara para tokoh sakti di pegunungan itu dan walaupun mereka itu belum sampai saling serang secara terbuka, namun setidaknya mereka telah saling tidak percaya dan kehilangan persatuan sehingga ketika bala tentara Nepal melintasi pegunungan itu untuk menyerbu ke Tibet, merekapun diam saja dan tidak memperdulikannya.
Berkat usaha Hek-i Mo-ong yang sementara itu telah mengajak muridnya kembali ke timur, akhirnya pasukan-pasukan Nepal dapat menyerbu Tibet dan menduduki Tibet. Penguasa Tibet dibunuh dan sebagai penggantinya, diangkatlah seorang pendeta Lama yang menjadi boneka Nepal.
Kaisar Kian Liong mendengar akan peristiwa penyerbuan dan penaklukan Tibet oleh pasukan Nepal. Marahlah kaisar. Tibet menupakan daerah yang biarpun tidak dijajah, namun merupakan daerah yang telah mengakui kedaulatan Dinasti Ceng. Penyerbuan Tibet oleh pasukan Nepal yang malah mendudukinya itu berarti merupakan tamparan bagi muka kerajaannya dan sebagai tantangan. Maka kaisar lalu memanggil Jenderal Muda Kao Cin Liong tmtuk menghadap. Setelah kaisar yang juga memanggil para panglima lain mengadakan perundingan, diperintahkannya agar Jenderal Muda Kao Cin Liong membawa pasukan besar membebaskan Tibet dari cengkeraman pasukan Nepal dan juga agar memberi hajaran kepada Kerajaan Nepal yang sudah berani melakukan penghinaan terhadap Kerajaan Ceng.
Berangkatlah bala tentara yang besar dari Kerajaan Ceng dan terjadilah perang besar antara bala tentara Kerajaan Ceng melawan pasukan-pasukan Nepal untuk memperebutkan Tibet. Perang memperebutkan Tibet ini merupakan adu kekuatan antara dua negara yang sudah lama saling bermusuhan ini dan yang celaka adalah rakyat Tibet di mana perang itu terjadi. Jika sebuah dusun diduduki tentara Nepal, rakyat dusun itu dipaksa untuk membantu pasukan Nepal dan karenanya mereka dicap sebagai kaki tangan Nepal.
Kalau tentara Nepal mundur dan dusun itu jatuh ke tangan tentara Ceng, tentu seisi dusun yang dianggap kaki tangan Nepal itu akan dihancurkan! Dan demikian sebaliknya. Bangsa Tibet tidak dapat memilih, karena mereka adalah bangsa yang lemah dan tidak pandai perang. Mereka harus mengorbankan harta bendanya, bahan makanan, anak-anak perempuan dan isteri-isteri yang masih muda. Mereka ditindas, diperas, dihina tanpa ada yang dapat melindungi mereka. Hanya doa mereka saja yang semakin banyak dan semakin kuat dilontarkan kepada para dewa yang agaknya tidak juga mau mendengarkan dan memenuhi permintaan dalam doa-doa mereka.
Perang antara Kerajaan Nepal dan Kerajaan Ceng ini terjadi dengan hebat dan banyak korban jatuh di kedua pihak. Jenderal Muda Cin Liong dibantu oleh para panglima harus mengerahkan tenaga karena pihak musuh bukanlah pasukan lemah, melainkan pasukan terlatih yang sudah berhasil melintasi Pegunungan Himalaya yang demikian sukarnya. Akan tetapi, akhirnya bala tentara Nepal yang terhalang Pegunungan Himalaya dengan kerajaannya sehingga sukar menerima bala bantuan itu, terpaksa mundur. Kao Cin Liong pernah terluka dalam perang besar ini, akan tetapi setelah berobat dan sembuh, dia memimpin lagi pasukannya melakukan pengejaran, bahkan terus menyerbu masuk ke dalam Negara Nepal!
Perang itu dilanjutkan sampai ke Nepal, berlarut-larut sampai makan waktu kurang lebih dua tahun lamanya! Dan perang, seperti terbukti dalam sejarah semenjak jaman dahulu sampai sekarang, merupakan malapetaka paling mengerikan bagi umat manusia. Harta benda musnah, banyak nyawa melayang dengan sia-sia, kekejaman-kekejaman yang mengerikan terjadi di mana-mana, setiap negara mengorbankan nyawa bangsanya yang tidak sedikit jumlahnya. Dan semua itu hanya untuk mencapai apa yang disebut kemenangan! Kemenangan yang sementara saja, karena sementara itu yang kalah selalu mencari kesempatan untuk bangkit kembali, untuk membalas dendam. Rakyat menjadi permainan beberapa gelintir orang yang dinamakan pemimpin, dan di lain pihak, beberapa gelintir pemimpin inipun menjadi permainan dari nafsu keinginan mereka masing-masing, menjadi korban permainan ambisi.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui dan marilah kita mengikuti perjalanannya. Dengan hati yang dihimpit kedukaan, kekecewaan dan kemarahan gadis ini minggat dari rumahnya, meninggalkan sepucak surat untuk orang tuanya, mengatakan bahwa ia pergi hendak mencari dan membunuh Cin Liong. Hatinya dihimpit kedukaan dan kekecewaan mengingat akan perbuatan Cin Liong terhadap dirinya dan pernyataannya dalam surat bahwa ia hendak mencari dan membunuh Cin Liong tidak dilebih-lebihkan, karena memang pada saat itu satu-satunya keinginan hatinya adalah bertemu dengan Cin Liong, menantangnya dalam perkelahian yang akan berakhir dengan kematian Cin Liong atau kematian dirinya sendiri. Dan ia marah kepada ayahnya yang memaksanya berjodoh dengan Tek Ciang.
Mengapa ayahnya tidak mau tahu bahwa ia tidak cinta kepada suhengnya itu dan tidak mungkin menjadi isterinya? Ia sudah memberi alasan dan mengajukan syarat agar Tek Ciang dapat mengalahkannya, akan tetapi ayahnya malah membantu Tek Ciang dengan menjanjikan untuk mewariskan semua ilmunya kepada pemuda itu agar dapat mengalahkannya. Ia sungguh marah dengan keputusan ayahnya itu!
Tentu saja tempat yang ditujunya untuk mencari Cin Liong adalah kota raja. Semua orang tahu siapa Jenderal Muda Kao Cin Liong dan di mana letak istananya. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika mendengar bahwa jenderal muda itu telah pergi ke barat memimpin pasukan untuk memerangi pasukan Nepal yang telah menguasai Tibet. Dengan nekat, gadis yang hidupnya menjadi pahit getir oleh rasa dendam ini menyusul ke barat, ke Tibet! Dapat dibayangkan betapa sudah payahnya perjalanan yang amat jauh itu. Apalagi dengan adanya perang di Tibet, keadaan di tengah perjalanan menjadi tidak aman. Orang-orang jahat yang suka mengail di air keruh mempergunakan kesempatan itu untuk beraksi. Banyak perampok bermunculan di jalan-jalan.
Suma Hui adalah seorang pendekar wanita yang sama sekali tidak gentar menghadapi semua gangguan di perjalanan. Akan tetapi, karena setiap kali bertemu penjahat ia tentu turun tangan dan membasminya, baru puas kalau ia sudah berhasil, maka perjalanannya menjadi makin lambat. Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, barulah ia tiba di perbatasan Tibet.
Akan tetapi, betapa kecewa rasa hatinya ketika ia mendengar bahwa perang di daerah itu telah selesai dan kini pasukan pemerintah Ceng melakukan pengejaran terhadap pasukan musuh ke Negara Nepal! Biarpun Suma Hui seorang gadis yang keras hati dan tabah, bahkan selama perjalanan berbulan-bulan itu ia tidak pernah mau menyerah dengan keadaan yang sukar dan tetap tabah, sekali ini tidak dapat menahan air matanya karena kecewa. Ia meninggalkan perbatasan itu, kembali ke timur dan ketika ia berhenti di luar sebuah dusun yang sunyi, ia duduk di atas batu dan menangis.
Ia tidak dapat menghentikan kenangannya akan masa lalu, mengingat kembali nasib yang menimpa dirinya. Rasanya baru kemarin terjadinya. Mula-mula ia hidup dengan riang gembira bersama Ciang Bun dan Ceng Liong di Pulau Es. Akan tetapi dalam satu hari saja, berobahlah seluruh kehidupannya, dimulai dengan penyerbuan Pulau Es oleh para datuk sesat dan sejak hari itu, bermacam malapetaka menghantuinya. Cintanya dengan Cin Liong terhalang oleh tentangan ayahnya, kemudian yang terakhir sekali peristiwa terkutuk di malam jahanam itu ketika Cin Liong menghancurkan segala-galanya dalam dirinya, lahir batin. Semua itu masih ditambah beban batin lagi ketika ayahnya mendesaknya untuk menikah dengan Tek Ciang.
"Ya Tuhan.... apa yang harus kulakukan....?! Demikian gadis itu menangis dan merintih dalam batinnya. Kemudian timbul lagi semangatnya. Bagaimanapun juga, ia akan menanti sampai Cin Liong kembali dari perang, kemudian mencarinya dan menuntut balas. Kalau ia kalah dan tewas di tangan pemuda itu, hal yang ia merasa yakin pasti terjadi mengingat bahwa pemuda itu jauh lebih lihai daripadanya, maka hal itu baik sekali.
Memang Cin Liong sama dengan telah membunuhnya, membunuh semua gairah hidupnya dengan melakukan perbuatan terkutuk memperkosanya itu. Akan tetapi kalau pemuda itu mengalah dan tidak melawan, ia akan membunuhnya! Dan setelah itu, entah apa yang akan dilakukannya! Setidaknya, ia masih mempunyai satu tujuan dalam hidupnya, yaitu menanti dan menemui Cin Liong untuk membalas dendam!
Dengan jalan pikiran ini, hatinya terasa lebih tenang dan tangisnya terhenti. Duka adalah permainan pikiran yang mengenang kembali hal-hal yang telah lalu atau membayangkan hal-hal yang belum terjadi sehingga terciptalah rasa iba diri yang menimbulkan rasa duka. Kenangan masa lalu tentang peristiwa-peristiwa yang merugikan dirinya lahir maupun batin, dan bayangan-bayangan masa depan yang suram dan tidak menyenangkan. Tanpa mengenangkan masa lalu atau membayangkan masa depan, melainkan menghadapi saja kenyataan saat ini dengan penuh kewaspadaan, akan melenyapkan rasa duka.
Di dalam pengamatan penuh kewaspadaan akan saat ini, yaitu setiap saat dalam hidup ini, tanpa pamrih untuk menemukan sesuatu, hanya mengamati saja dengan waspada, tanpa prasangka, tanpa penilaian atau perbandingan, berarti kita hidup dalam arti kata yang sesungguhnya! Sesungguhnyalah bahwa hidup adalah saat ini, bukan kemarin dan bukan esok, bukan tadi dan bukan nanti. Ini bukan berarti bahwa setiap saat kita harus bersenang-senang atau mengejar kesenangan! Akan tetapi, apa manfaatnya membenamkan diri ke dalam lembah duka dari kekecewaan?
Setelah hatinya tenang, Suma Hui melanjutkan perjalanannya. Tiada gunanya baginya untuk menanti di daerah Tibet yang baru saja dilanda perang dan rakyatnya masih dalam keadaan panik dan sengsara itu. Ia kembali ke timur dan setelah melakukan perjalanan berbulan lamanya, pada suatu hari tibalah ia di kota Ceng-tu di Propinsi Se-cuan. Di sebelah selatan kota ini terdapat Omei-san, sebuah gunung yang indah dan menjadi tempat pesiar penduduk daerah itu. Karena tertarik, pada suatu pagi yang cerah, Suma Hui juga mendaki Omei-san untuk menikmati pemandangan indah di gunung itu di mana terdapat pohon-pohon yang ratusan tahun usianya dan bunga-bunga yang tidak dapat ditemukan di daerah timur.
Akan tetapi ia datang terlalu pagi agaknya. Tempat itu masih sunyi, belum ada pengunjung lain yang datang. Namun bagi Suma Hui, hal ini malah kebetulan karena orang yang sedang murung biasanya lebih suka menyendiri. Ia bahkan dapat menikmati matahari terbit muncul dari balik puncak tanpa terganggu oleh kehadiran orang lain.
Angin pagi pegunungan amat sejuk dan menyegarkan udara yang bersih itu. Cuaca amat lembut dengan cahaya matahari yang belum muncul sepenuhnya, mengecat segala sesuatu dengan warna keemasan yang cemerlang. Mutiara-mutiara embun bergantung di ujung daun-daun pohon berkilauan amat indahnya, juga ujung rumput-rumput hijau subur dihias mutiara embun sehingga sekilas pandang rumput-rumput itu seperti hiasan dari batu giok hijau yang dirias mutiara.
Sinar matahari lembut yang menerobos celah-celah daun pohon menciptakan seberkas cahaya yang mempesonakan, seolah-olah merupakan bukti hubungan yang tak terpisahkan antara bumi dan langit. Apakah artinya bumi tanpa adanya cahaya matahari yang menghidupkannya dan yang membuatnya demikian indahnya? Sebaliknya, apa pula artinya cahaya matahari tanpa adanya bumi yang menampungnya? Kesatuan Im dan Yang ini menciptakan kemujijatan, kebesaran, keagungan, dan keindahan yang amat hebat dan mengharukan. Namun sayang, manusia terlalu disibukkan oleh hal yang remeh-remeh, yang kecil-kecil, yang bersumber kepada kepentingan dan kesenangan diri pribadi sehingga kemujijatan itu tidak pernah dapat dinikmati atau dikaguminya lagi.
Suma Hui duduk di atas batu besar dan pada saat itu, ia menikmati semua keagungan ini. Ia seperti ditelan oleh keheningan yang mempesona. Ia tidak merasa bahwa dirinya terpisah dari semua itu, tidak terpisah dari cahaya matahari, dari rumput-rumput dan mutiara-mutiara embun itu, dari burung-burung yang mulai berloncatan, beterbangan dan berkicau riang. Ia seperti kehilangan dirinya yang sudah dilebur menjadi satu dengan keheningan itu sendiri. Tidak ada duka, tidak ada kecewa, tidak ada sengsara, tidak ada apa-apa lagi. Yang ada hanyalah keheningan yang amat indahnya, bukan indah lagi karena sudah tidak dapat diukur oleh pikiran dan akal budi.
Tiba-tiba telinganya menangkap bentakan-bentakan disusul suara angin pukulan tanda-tanda orang berkelahi. Bagaikan diseret kembali ke dalam dunia kenyataan, Suma Hui menengok ke kiri, ke arah dari mana datangnya suara itu dan melihat seorang pemuda dikeroyok oleh tiga orang. Mereka adalah seorang pemuda dan dua orang gadis. Dari jauh Suma Hui melihat bahwa pemuda yang dikeroyok itu memiliki gerakan yang lebih mantep dan cepat, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu mengalah sehingga terdesak hebat oleh tiga orang pengeroyoknya yang kelihatan marah sekali itu.
Akan tetapi, Suma Hui terkejut sekali dan tertarik hatinya ketika mengenal gerakan pemuda yang dikeroyok itu. Gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Cepat tubuhnya melesat dan iapun sudah berlari turun dari lereng itu menghampiri mereka yang sedang berkelahi. Setelah kini dapat melihat jelas, ia menjadi semakin kaget mengenal bahwa pemuda yang dikeroyok itu bukan lain adalah adiknya sendiri, Suma Ciang Bun!
Pada saat itu, Ciang Bun yang selalu mengalah, tidak pernah membalas itu terkena hantaman tangan kanan pemuda yang mengeroyoknya, terkena pukulan pada pundaknya sehingga tubuhnya terjengkang dan roboh. Akan tetapi, biarpun pukulan itu keras sekali, agaknya tidak sampai melukai tubuh Ciang Bun yang terlatih dan dengan sin-kangnya pemuda ini dapat melindungi tubuhnya. Maka diapun sudah dapat bangkit lagi sambil berkata.
"Kenapa engkau memukulku....?!
Melihat ini, Suma Hui tidak dapat menahan sabarnya lagi. Adiknya dikeroyok tiga dan jelas bahwa adiknya mengalah. Kalau adiknya balas menyerang, ia merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak akan dapat bertahan lama. Maka iapun mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya meluncur ke depan, kaki tangannya bergerak cepat bukan main dan ia telah terjun ke dalam gelanggang perkelahian, menyerang tiga orang pengeroyok itu bertubi-tubi. Hebat bukan main serangan Suma Hui ini, terlampau cepat bagi tiga orang lawannya.
"Plak! Plak! Dukk!! Dua orang gadis pengeroyok itu telah kena ditamparnya sedangkan pemuda itu menerima tendangannya. Tubuh mereka terpelanting dan terdengar mereka mengaduh.
Masih untung bagi mereka bahwa Suma Hui tidak menggunakan semua tenaganya. Dara ini memang tidak bermaksud membunuh mereka. Ia belum tahu urusannya maka iapun hanya menyerang untuk menghentikan pengeroyokan mereka saja. Biarpun yang dikeroyok adiknya sendiri, akan tetapi sebelum ia tahu urusannya, ia tidak mau menurunkan tangan maut.
"Enci, jangan....!! Suma Ciang Bun berseru dan pemuda ini sudah memegangi lengan encinya, agaknya merasa khawatir kalau-kalau encinya akan melanjutkan serangannya menghajar tiga orang pengeroyok itu.
Suma Hui memandang adiknya dan merangkulnya. Sudah kurang lebih dua tahun ia tidak berjumpa dengan adiknya dan wajah adiknya yang tampan itu kini nampak kurus.
"Bun-te....!!
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Enci Hui.... aku mencarimu ke mana-mana tanpa hasil....!
"Bun-te apakah yang telah terjadi? Siapakah mereka ini?!
Agaknya Ciang Bun baru teringat akan tiga orang pengeroyoknya dan jawabannya sangguh membuat encinya terheran-heran.
"Mereka.... adalah sahabat-sahabatku.!
Tentu saja selain merasa heran, hati dara perkasa itu juga marah sekali. Ia melepaskan rangkulannya dari pundak adiknya dan melangkah maju, menghadapi tiga orang yang kini telah bangkit berdiri itu.
"Hemm, kalian ini manusia-manusia tak tahu malu. Kalian mendengar sendiri betapa adikku menyebut kalian sahabat-sahabat dan tadi jelas bahwa adikku mengalah. Kalau tidak, apa sukarnya bagi adikku untuk merobohkan atau membunuh kalian dalam sepuluh jurus saja?!
Dua orang gadis pengeroyok itu hanya cemberut dan Suma Hui kini melihat bahwa mereka adalah dua orang gadis yang cukup manis. Sedangkan pemuda yang tampan dan usianya antara dua puluh tahun itu menarik napas panjang, memandang Suma Hui dan berkata dengan nada suara sedih.
"Kami tahu bahwa dia adalah seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, akan tetapi budinya tidak setinggi kepandaiannya sehingga kami melupakan kebodohan sendiri dan terpaksa menentangnya.!
Suma Hui menoleh kepada adiknya. Ia ingin tahu persoalannya, akan tetapi ia lebih senang mendengarnya dari mulut adiknya dari pada mendengarkan keterangan pihak lawan.
"Bun-te, apakah yang telah terjadi?!
Pemuda itu menundukkan mukanya dan menggeleng kepala.
"Tidak apa-apa, enci Hui, akulah yang bersalah.! Dan diapun tidak mau bicara apa-apa lagi, nampak sungkan dan malu.
Akan tetapi Suma Hui menjadi semakin penasaran. Tidak mungkin adiknya salah. Ia mengenal benar watak adiknya yang halus budi dan tidak mau melakukan hal-hal yang tidak betul. Maka iapun menoleh kepada pemuda tampan tadi dan bertanya.
"Coba ceritakan, apa kesalahan adikku maka kalian bertiga secara tak tahu malu mengeroyoknya.! Bagaimanapun juga, suara Suma Hui agak lunak melihat bahwa tiga orang itu sebenarnya mempunyai pedang yang tergantung di punggung masing-masing. Tadi ketika mereka mengeroyok Ciang Bun, mereka hanya menggunakan tangan kosong, hal ini saja membuktikan bahwa biarpun mereka marah-marah kepada Ciang Bun, akan tetapi mereka tidak berniat untuk membunuh.
Pemuda itu lalu bercerita. Akan tetapi bagaimanapun juga jujurnya, tentu saja ceritanya mengandung dasar memenangkan diri sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita mengikuti sendiri pengalaman Suma Ciang Bun sampai dia bertemu dengan mereka dan mengapa dia sampai dikeroyok oleh tiga orang muda itu.
Seperti kita ketahui, sepeninggal encinya, Ciang Bun merasa tidak betah di rumah dan tak lama kemudian diapun pergi meninggalkan rumahnya untuk mencari encinya. Dia merasa gelisah memikirkan encinya, dan juga dia merasa sakit hati mendengar bahwa ayahnya akan mewariskan semua ilmu keluarga mereka kepada Tek Ciang yang tidak disenanginya.
Akan tetapi, tidaklah mudah mencari jejak seorang gadis seperti Suma Hui yang melakukan perjalanan diam-diam dan cepat pula. Dengan susah payah Ciang Bun mencari encinya, sampai berbulan-bulan tanpa hasil. Bahkan diapun sudah pergi ke kota raja, karena dia menduga bahwa encinya yang pergi mencari Cin Liong tentu menyusul ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja dia tidak dapat menemukan encinya. Dia mendengar bahwa Cin Liong juga tidak berada di kota raja karena jenderal muda itu memimpin pasukan untuk mengusir Bangsa Nepal yang menduduki Tibet. Pemuda yang cerdik ini berpendapat bahwa encinya seorang mencari Cin Liong. Kalau jenderal itu kini pergi ke Tibet, encinya yang keras hati itu besar kemungkinannya pergi menyusul ke Tibet pula. Dengan pikiran ini, diapun mengambil keputusan untuk pergi menyusul ke barat, akan tetapi kesempatan itu hendak dipergunakannya untuk menikmati keramaian kota raja.
Tidak mudah bagi Ciang Bun untuk mendapatkan sebuah kamar di rumah-rumah penginapan di kota raja. Pada waktu itu, kota raja dibanjiri pemuda-pemuda dari berbagai penjuru yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian dan mereka ini memenuhi rumah-rumah penginapan. Ujian itu berjalan selama kurang lebih satu bulan karena pengikutnya amat banyak sehingga perlu dilakukan giliran. Dan walau ujian sudah berjalan satu minggu lebih maka kota raja masih penuh dengan para pemuda itu. Di jalan-jalan raya banyak pemuda-pemuda berpakaian sasterawan hilir-mudik sehingga kota raja menjadi semakin ramai.
Karena tidak berhasil mendapatkan kamar di rumah-rumah penginapan yang penuh sesak, terpaksa Ciang Bun lalu mondok di sebuah kuil. Ternyata di sinipun penuh dengan para pemuda pelajar. Mereka terdiri dari para pelajar kurang mampu yang memilih tempat bermalam yang tidak usah bayar atau kalau mengeluarkan uangpun tidak banyak karena biasanya yang menginap di kuil-kuil hanya memberi sekedar sokongan saja kepada kuil itu.
Ketika memasuki ruangan belakang kuil di mana berkumpul belasan orang pemuda pelajar yang datang dari berbagai kota itu, Ciang Bun merasa gembira sekali. Dia merasa kagum kepada mereka yang bersikap lembut dan sopan, wajah-wajah tampan halus yang membayangkan kecerdasan. Dia sendiri merasa seperti seekor burung gagak masuk di antara kelompok burung merpati. Dibandingkan dengan mereka, pengetahuannya tentang sastera amatlah dangkalnya, dan makin terasa olehnya bahwa dia adalah seorang kasar yang sejak kecil lebih banyak belajar ilmu silat yang kasar!
Ketika Ciang Bun memasuki ruangan, para pemuda itu tengah asyik bercakap-cakap tentang sastera dan tentang mata ujian yang diadakan di kota raja. Mereka hanya menengok sebentar kepada Ciang Bun, lalu melanjutkan percakapan mereka. Dia lalu mencari tempat di sudut yang masih kosong, menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk bersandar dinding ruangan itu.
Seorang pemuda jangkung yang tampan mengangkat mukanya dari buku yang dibacanya dan memandang kepada Ciang Bun, wajahnya membayangkan keramahan dan mulutnya tersenyum. Wajah yang tampan dan menarik, pikir Ciang Bun. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Diapun balas tersenyum dan mengangguk. !Maaf,! kata pemuda itu.
"Saudara baru datang? Dari kota manakah dan kapan mulai mengikuti ujian?!
Melihat keramahan orang yang mengajukan pertanyaan bertubi itu, Ciang Bun tersenyum. Dia sendiri seorang pemuda yang tidak bisa banyak cakap, termasuk serius dan pendiam walaupun dia dapat pula bersikap ramah.
"Ya, aku baru datang, tempat tinggalku di Thian-cin dan aku tidak mengikuti ujian, melainkan hanya melancong saja ingin melihat-lihat kota raja.!
Pemuda itu menutup bukunya dan menyimpannya dalam buntalan, kemudian menggeser duduknya mendekati Ciang Bun. Matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri ketika dia berkata.
"Ah, betapa senangnya engkau! Kalau saja aku bisa sepertimu, bebas dan tidak harus banyak menghafal dan mengikuti ujian yang amat sukar ini!!
Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak.
"Aih, mengapa demikian? Justeru aku yang merasa kagum dan iri kepada kalian yang memperoleh kesempatan menguji ilmu sastera dan mengikuti ujian kota raja untuk meraih gelar siucai!!
Tiba-tiba pemuda itu tertawa dan wajahnya nampak semakin tampan ketika dia tertawa.
"Ha-ha-ha, memang demikianlah kita ini, saudara yang baik! Saling pandang, saling mengiri dan mengira bahwa keadaan orang lebih baik dan menyenangkan daripada keadaan kita. Aku jadi teringat akan dongeng perumpamaan tentang dua ekor burung. Yang terbang bebas merasa iri hati terhadap seekor burung lain yang hidup dalam kurungan dan siang malam di situ tersedia makanan dan minuman tanpa susah payah mencari dan bebas dari gangguan dan ancaman, dianggapnya kehidupan burung dalam kurungan lebih nikmat dan aman daripada kehidupannya di luar kurungan. Sebaliknya, burung dalam kurungan merasa iri melihat betapa burung yang lain itu dapat terbang bebas ke manapun ia suka, tidak seperti dia yang gerakannya terbatas dalam kurungan.!
"Akan tetapi kita bukan burung....!
"Ha-ha, apa bedanya? Engkau yaug bebas ingin seperti aku, sebaliknya aku yang terikat oleh segala macam buku pelajaran dan aturan ujian tentu saja ingin bebas seperti engkau. Sudahlah, keadaan tidak mungkin dapat dirobah semau kita. Saudara yang baik, perkenalkan, aku she Tan bernama Hok Sim. Bolehkah aku mengetahui namamu?!
"Namaku Suma Ciang Bun,! jawab Ciang Bun sederhana, dalam hatinya khawatir kalau-kalau she-nya itu akan memancing banyak pertanyaan. Akan tetapi, Tan Hok Sim adalah seorang pemuda pelajar, bukan seorang kang-ouw maka she yang akan menarik perhatian kalangan kang-ouw ini, baginya tidak terlalu istimewa.
Perkenalan itu sebentar saja membuat mereka menjadi sahabat yang akrab karena Tan Hok Sim pandai bergaul, ramah-tamah dan agaknya suka kepada Ciang Bun. Ketika mereka bicara tentang ujian, Hok Sim lalu mengajak Ciang Bun untuk keluar dari ruangan itu menuju ke pelataran belakang kuil yang sunyi.
"Tidak enak bicara di sana,! kata Tan Hok Sim.
"Yang akan kuceritakan kepadamu ini adalah suatu rahasia. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang sudah tahu, akan tetapi kalau sampai terdengar orang luar dapat mengakibatkan hal yang tidak enak pula.!
"Rahasia apakah, twako?! tanya Ciang Bun yang menyebut kakak kepada Tan Hok Sim yang tiga empat tahun lebih tua darinya.
"Tentang ujian. Tahukah engkau bahwa ujian itu dikendalikan oleh pembesar yang memperkaya diri secara berlebihan setiap kali diadakan ujian?!
"Tukang korupsi?!
Hok Sim mengangguk.
"Betapapun pandainya engkau, tanpa ada uang sogokan yang amat besar, takkan mungkin dapat lulus! Kecuali kalau di kota raja ini engkau mempunyai keluarga yang berpengaruh, karena kedudukannya atau hartanya, jangan harap akan dapat lulus.!
"Eh, mengapa begitu?! tanya Ciang Bun heran dan penasaran.
"Kalau yang pandai tidak diluluskan sedangkan yang bodoh asal bisa nyogok diluluskan, itu bukan ujian namanya.!
"Memang bukan kepandaian yang diuji, melainkan isi kantongnya.! Tan Hok Sim menjawab marah.
"Lalu bagaimana dengan engkau, twako?!
"Hemm, aku tidak mempunyai harapan lagi walaupun besok masih akan kulanjutkan mengikuti ujian. Aku yakin akan dapat lulus, walanpun tidak mencapai angka terbaik, kalau saja para penguji tidak hijau matanya oleh uang. Kalau disuruh menyogok, mana aku mampu? Aku belum bekerja, sedangkan ayahku hanyalah seorang guru silat....!
"Ayahmu seorang guru silat!! Ciang Bun berseru kaget dan gembira.
"Ah, kalau begitu engkau tentu pandai ilmu silat!!
"Ah, pandai sih tidak. Keluarga kami tinggal di Ceng-tao, jauh di barat dan di daerah kami, ilmu silat amat diperlukan untuk berjaga diri. Ayahku seorang guru silat bayaran dan engkau tahu, berapa hasil seorang guru silat. Karena itu maka ayahku setengah memaksa aku dan adik perempuanku untuk lebih tekun mempelajari bun (sastera) dari pada bu (silat). Engkau sendiri, karena tidak banyak mempelajari bun, tentu mahir sekali ilmu silat, bukan?!
"Aku suka merantau dan banyak menghadapi kesukaran di perjalanan, memang pernah mempelajari silat, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Twako, sebetulnya, siapakah yang berhak memutuskan lulus tidaknya ujian kota raja itu?!
"Di sana terdapat pengawas-pengawas dan mereka inilah yang harus disogok. Akan tetapi, tentu saja para pengawas itupun harus menyogok atasan mereka dan orang yang paling berwenang dalam hal ujian itu tentu saja menteri.!
"Hemm, tentu menteri bagian kebudayaan atau pendidikan.!
"Kurasa begitulah. Akan tetapi mengapa engkau menanyakan hal itu?!
"Mengapa engkau tidak mendatangi saja menteri itu dan melaporkan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh para pengawas?! tanya Ciang Bun.
Tan Hok Sim membelalakkan matanya.
"Wah, mana aku berani? Kalau aku melakukan perbuatan nekat itu, selain tidak mungkin diluluskan, juga aku tentu akan ditangkap, dipenjara atau mungkin dibunuh. Siapa yang akan dapat melindungiku?!
Ciang Bun menarik napas panjang.
"Tan-twako, dalam hal ujian ini, yang terhimpit dan dirugikan adalah kalian para pemuda pelajar. Kalau kalian sebagai orang-orang yang terkena ketidakberesan itu diam-diam saja, lalu siapa yang akan marnpu memperbaiki keadaan? Kenapa eugkau tidak mengajak semua pelajar itu untuk memprotes kepada menteri dan melaporkan kecurangan para pengawas itu?!
Hok Sim menunduk dan mengerutkan alisnya. Ucapan Ciang Bun menggerakkan hatinya. Dia tahu bahwa di dalam hatinya, dalam hati semua pemuda pelajar yang mengalami nasib yang sama, memang ada api pemberontakan itu untuk menentang kecurangan para pengawas, akan tetapi siapa yang berani? Para pengawas itu dilindungi oleh pasukan dan menterinya sendiri belum tentu jujur. Bagaimana kalau para pembesar itu bersekongkol dan melindungi anak buah mereka?
"Hal itu tidak mungkin dilakukan, adik Bun. Bahkan sebagian besar para pengikut ujian sendiri, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang berada, lebih suka kalau keadaannya seperti sekarang ini. Terus terang saja, aku sendiri kalau mempunyai uang, juga lebih senang mengeluarkan uang dan ujianku lulus, daripada bersusah payah memeras otak akan tetapi hasilnya belum tentu, bahkan harapannya sedikit sekali.!
Suling Emas Naga Siluman Eps 11 Suling Emas Naga Siluman Eps 12 Suling Emas Naga Siluman Eps 25