Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 46


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 46



Para pimpinan Siauw-lim-pai tidak tahu sama sekali bahwa di antara pemuda yang diterima sebagai murid, terdapat beberapa orang kaki tangan pemerintah Mancu yang sengaja menyusup dan menyelundup dan diterima menjadi murid pula! Mereka ini ditugaskan untuk memata-matai gerakan Siauw-lim-pai dan dengan masuk menjadi murid, tentu saja mereka dapat mengetahui semua rahasia perkumpulan ini. Pada suatu hari, ketika dua orang mata-mata ini, yang sebelum masuk menjadi murid Siauw-lim-pai tentu saja sudah memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, sedang memasuki gudang perpustakaan untuk melihat-lihat kitab-kitab Siauw-lim-pai, mereka kepergok oleh Hui San Hwesio, seorang di antara para pimpinan Siauw-lim-pai di waktu itu. Hui Sian Hwesio adalah seorang hwesio yang usianya empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar bersikap angker dan galak.

   "Apa yang kalian lakukan di sini!"

   Bentak hwesio tinggi besar itu. Dua orang pemuda itu terkejut sekali dan seorang di antara mereka cepat menyembunyikan sebuah kitab kecil yang sedang dipegang dan diperiksanya. Akan tetapi, Hui Sian Hwesio dapat melihat itu dan cepat dia menghampiri, tangannya menyambar untuk merampas kitab.

   "Dukk!"

   Murid itu menangkis dan ketika kedua tangan itu bertemu, Hui Sian Hwesio terkejut bukan main. Lengan murid itu memiliki tenaga Iwee-kang yang amat kuat! Dia menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menyambar, sekali ini untuk menotok pundak sedangkan tangan kanannya kembali menyambar ke arah kitab yang dipegang oleh murid itu.

   "Dukk.... plakk!"

   Kembali murid itu menangkis dan sekali ini Hui Sian Hwesio yang tadi mengerahkan tenaga sepenuhnya maklum bahwa kekuatan murid ini tidak kalah olehnya! Dia terheran-heran dan memandang dengan alis berkerut, lalu membentak marah,

   "Siapa kalian sebenarnya? Apa yang kalian lakukan di sini!"

   Dua orang muda itu saling pandang dan saling memberi isyarat. Kemudian seorang di antara mereka, yang tidak membawa kitab, mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya. Benda itu adalah sebuah tanda bahwa dia, atau mereka berdua, adalah seorang yang memegang kekuasaan sebagai utusan Kaisar! Hui Sian Hwesio mengenal tanda ini dan dia terkejut bukan main.

   "Kalian pengkhianat....!"

   Bentaknya dan dengan kuat sekali dia menyerang. Akan tetapi, orang yang memegang tanda kekuasaan itu menangkis dan dengan lihai sekali dua orang pemuda itu telah mengepungnya dari depan belakang, dengan gaya silat dari utara.

   "Hui Sian Hwesio!"

   Kata pemegang tanda kekuasaan itu, suaranya mengejek,

   "Mungkin engkau mati di tangan kami, atau kami berdua mati di sini, akan tetapi ingat, kami adalah utusan Kaisar dan gerak-gerik kami diikuti dari atas. Kalau kami tidak keluar lagi dari sini, kalau kami mati di sini, bagi kami adalah mati dalam melaksanakan tugas. Akan tetapi biara ini akan dibasmi oleh bala tentara Kaisar, dan kalian semua termasuk engkau, akan mati konyol!"

   "Hui Sian Hwesio, kami tahu mengapa engkau menjadi hwesio,"

   Sambung orang ke dua yang memeriksa kitab tadi.

   "Engkau masuk di sini karena patah hati. Engkau masih muda dan kami kira tidak sebodoh tua bangka-tua bangka yang keras hati itu, hendak melawan pemerintah. Kalau engkau suka membantu, Sri Baginda tentu akan suka mengangkatmu menjadi perwira tinggi."

   "Mungkin juga menjadi jenderal, mengingat akan kemampuanmu."

   Hui Sian Hwesio berdiri bengong. Memang tidak keliru, dia masuk menjadi hwesio karena wanita, karena patah hati. Kekasihnya menikah dengan orang lain dan karena duka, dia masuk menjadi hwesio Siauw-lim-si. Akan tetapi, ternyata kedudukan itu hanya berumur pendek saja dan sudah lama sekali dia menyesali dirinya mengapa dia masuk menjadi hwesio dan menyia-nyiakan diri sendiri.

   Kini, terbuka kesempatan baginya! Dan memang dia pun tahu bahwa melawan pemerintah sama dengan membunuh diri. Dia sudah tidak setuju dan sering menentang keputusan suhunya, Ketua Siauw-lim-pai yang menerima murid-murid luar dan yang bergabung dengan kaum patriot penentang Kaisar itu. Kini, kesempatan baik terbuka. Mereka lalu berbisik-bisik dan mulai saat itulah Hui Sian Hwesio, seorang di antara kepercayaan-kepercayaan dan murid-murid terlihai dari Ketua Siauw-lim-pai, diam-diam menjadi pengkhianat dan menjadi kaki tangan Kaisar! Hui Sian Hwesio mulai dengan usahanya membujuk murid-murid Siauw-lim-si untuk mengikuti jejaknya dan memang dia berhasil membujuk beberapa orang yang siap membantunya dan mem-bantu pasukan pemerintah kalau saatnya tiba, yaitu membantu pasukan untuk membasmi Siauw-lim-si!

   Sayang sekali bahwa kebanyakan para pendeta Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, yaitu Sang Ketua dan tokoh-tokoh lain di bawahnya, selain memiliki kepandaian silat tinggi, juga merupakan orang-orang yang terlalu sabar, dan mengalah. Ada beberapa orang di antara mereka yang menaruh curiga terhadap Hui Sian Hwesio, namun mereka ini tidak mau bertindak lebih jauh, lagi. Mereka hanya diam-diam menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada beberapa orang murid Siauw-lim-pai yang mereka pilih dan sukai, menurunkannya secara diam-diam untuk dapat melawan orang-orang seperti Hui Sian Hwesio kelak, dan untuk dipakai membela Siauw-lim-pai. Adapun mereka sendiri, mereka adalah orang-orang yang telah bersumpah untuk selamanya tidak akan mempergu-nakan kekerasan.

   Yang bersumpah seperti ini adalah sebagian besar, hampir semua tokoh-tokoh tingkat atas Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya sendiri. Demikianlah keadaan di Siauw-lim-si yang di sebelah dalamnya telah dihuni musuh-musuh dalam selimut. Dan dalam keadaan seperti itulah, pada suatu hari, seperti yang telah direncanakan oleh Hui Sian Hwesio dan kawan-kawannya, setelah pendeta ini keluar dari kuil pada suatu malam untuk mengadakan pertemuaan rahasia dengan para pimpinan pemerintah, pasukan pemerintah yang terdiri dari seribu orang itu datang untuk menyerbu Siauw-lim-pai! Dan pasukan inilah yang dilihat dan diam-diam diikuti oleh Pangeran Kian Liong dan Ci Sian. Sekali ini, pasukan Kerajaan Mancu itu datang menyerbu dengan alasan bahwa pendeta Siauw-lim-pai telah menculik Pangeran Mahkota!

   Hal ini tentu saja merupakan fitnah, akan tetapi bukan fitnah yang berdasar. Bukankah lenyapnya Pangeran Mahkota terjadi ketika beliau menjadi tamu kuil Hok-te-kong di Pao-ci? Dan bukankah kuil itu dipimpin oleh seorang hwesio murid Siauw-lim-pai? Tentu saja, kuil itu sendiri telah dibasmi, para hwesionya ditangkap dan dihukum mati sebagai pemberontak sebelum pasukan besar itu berangkat menyerbu Siauw-lim-pai pusat, dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal. Ketika pasukan menyerbu, Hui Sian Hwesio sendiri yang membuka-bukakan pintu-pintu berlapis itu. Beberapa orang hwesio murid Siauw-lim-pai yang melihat ini, terkejut dan tentu saja hendak menghalangi, akan tetepi dengan senjata tombak kapaknya, Hui Sian Hwesio membunuh empat orang murid itu!

   Mulailah Hui Sian Hwesio memperlihatkan mukanya yang sesungguhnya! Seorang pendekar, yaitu murid Siauw-lim-pai bukan hwesio yang telah menerima latihan-latihan ilmu dari para pimpinan yang telah mempersiapkan mereka untuk membela Siauw-lim-pai, melihat ini mereka cepat mengejar dan menyerang Hui Sian Hwesio, namun terlambat sudah. Pintu gerbang telah terbuka dan pasukan pemerintah, dikepalai Pangeran dan dua orang jenderal yang perkasa, telah menyerbu bagaikan gelombang samudera. Terjadilah pertempuran yang amat hebat! Kurang lebih lima puluh orang murid Siauw-lim-pai yang baru, terdiri dari pemuda-pemuda penuh se-mangat dan bagaikan harimau-harimau muda, ditambah lagi kurang lebih seratus orang murid Siauw-lim-pai yang menjadi hwesio, melakukan perlawanan mati-matian.

   Terjadilah pertempuran di semua bagian biara yang besar itu. Di depan, di ruangan tengah, di pekarang, di taman bunga, di ruangan dalam dan belakang. Banjir darah di biara yang biasanya hanya menjadi tempat pemulaan bagi para biarawan itu. Darah para pendekar Siauw-lim-pai, para hwesio Siauw-lim-pai, dan juga sebagian besar darah pasukan pemerintah. Para murid Siauw-lim-pai itu sungguh hebat. Biarpun jumlah mereka hanya kurang lebih seratus lima puluh orang yang menghadapi penyerbuan seribu orang tentara, namun mereka melakukan perlawanan gigih dan setiap murid Siauw-lim-pai baru roboh setelah menjatuhkan sedikitnya dua orang lawan! Hui Sian Hwesio sendiri juga mengamuk, dikeroyok oleh tiga orang murid baru dari Siauw-lim-pai.

   Juga Sang Pangeran yang memimpin penyerbuan, bersama dua orang jenderal, mengamuk bagaikan binatang-binatang buas. Para murid Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan dengan cara berlari ke sana-sini, saling bantu dan main kucing-kucingan. Akan tetapi mereka merasa menyesal sekali dan gelisah melihat betapa Ketua Siauw-lim-pai bersama para pucuk pimpinan, sama sekali tidak mau ikut bertempur membela Siauw-lim-pai, melainkan berkumpul di ruang sembahyang, duduk bersila dan bersamadhi, menerima kematian dengan sikap tenang penuh damai! Kalau saja belasan orang pucuk pimpinan itu mau turun tangan, biarpun akhirnya kalah juga karena kalah jumlah, kiranya akan lebih banyak musuh dapat dihancurkan dan ditewaskan. Pertempuran hebat itu terjadi dengan serunya, dan makan waktu hampir setengah hari.

   Melihat betapa murid-murid Siauw-lim-pai lebih banyak merobohkan anggauta pasukan dengan cara kucing-kucingan di tempat yang tentu saja lebih mereka kenal itu, Sang Pangeran lalu memerintahkan pasukan panah untuk menghujankan panah api ke biara! Biara mulai terbakar! Karena setiap murid Siauw-lim-pai terlibat dalam perkelahian mati-matian, dan tidak ada seorang pun yang dapat melawan api, maka sebentar saja biara itu menjadi lautan api! Melihat ini, para pendekar Siauw-lim-pai mengamuk nekad. Mereka itu memang hebat bukan main, merupakan pemuda-pemuda yang sudah berubah seperti menjadi naga-naga muda yang tidak takut mati dan pantang mundur. Akan tetapi, api yang membakar biara itu membuat mereka tidak dapat main kucing-kucingan lagi dan terpaksa mereka itu memusatkan tenaga di pekarangan depan di mana terjadi pertempuran terakhir yang amat dahsyat.

   Sang Pangeran dan dua orang jenderal yang memimpin pasukan, tewas pula di tangan para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa. Bahkan Hui Sian Hwesio sendiri akhirnya tewas setelah hwesio ini merobohkan sedikitnya lima orang murid gemblengan dari Siauw-lim-pai. Akhirnya, melalui pertempuran yang merupakan pembantaian terhadap murid-murid Siauw-lim-pai, semua murid Siauw-lim-pai, kecuali delapan orang murid baru, telah tewas. Darah membanjir di mana-mana dan mungkin hanya api itu saja yang akan dapat mencuci bersih noda-noda darah sampai tak berbekas lagi. Andaikata tidak terjadi pembasmian dan kebakaran, tentu tempat itu tidak mungkin lagi dijadikan biara, setelah darah ratusan orang membanjiri tempat itu, setelah ratusan tubuh kehilangan nyawa di tempat itu.

   Sungguh mengerikan sekali dan juga menyedihkan betapa sebuah biara kini berubah menjadi seperti gambaran neraka! Melihat penyerbuan itu, Pangeran Kian Liong yang berada di belakang pasukan, beberapa kali berusaha mencegahnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin karena para pimpinan pasukan telah menyerbu ke dalam. Para pasukan mana mungkin berhenti bergerak tanpa perintah dari atasan mereka. Dan Ci Sian memegangi lengan Pangeran itu dan mencegahnya untuk lari ke dalam karena hal itu tentu saja merupakan bahaya besar bagi keselamatan Sang Pangeran. Di dalam terjadi perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Untuk dia sendiri, tentu saja Ci Sian dapat melindungi dirinya dari senjata-senjata dan pukulan-pukulan yang menyasar, akan tetapi bagaimana Pangeran akan dapat menyelamatkan diri?

   Untuk melindungi Pangeran di antara pertempuran yang telah menjadi semacam peperangan kecil itu pun kiranya amat berbahaya dan sukar. Maka Ci Sian mencegah Sang Pangeran untuk lari masuk sehingga Pangeran itu hanya dapat menonton sambil membanting-bantingkan kaki dan beberapa titik air mata mengalir turun di atas sepasang pipinya yang pucat. Ci Sian sendiri merasa ngeri menyaksikan pembantaian itu. Makin terbuka matanya betapa buruk akibat daripada kekerasan, dari pihak mana pun datangnya. Dara ini pun memandang semua penderitaan itu dengan mata yang tidak berat sebelah. Ia melihat betapa tentara yang tewas secara menyedihkan itu pun adalah manusia-manusia biasa saja, dan sesungguhnya tiada bedanya antara mereka dan para pendekar Siauw-lim-pai.

   Manusianya sama, penderitaan mereka pun sama. Dan dasar yang mendorong mereka sampai berbunuh-bunuhan itu pun sama, walaupun namanya saja mungkin berbeda. Para tentara itu pun menganggap kematian mereka sebagai pengorbanan perjuangan, atau setidaknya mereka mengabdi kepada pemerintah dan mereka itu merasa bahwa kematian di pihak mereka adalah kematian gagah perkasa, kematian seorang pahlawan, seorang tentara yang jantan! Di lain pihak, para pendekar Siauw-lim pun memiliki dasar yang sama pula. Mereka itu menganggap diri mereka berkorban demi perjuangan, dan mereka mengabdi kepada suatu citacita, mengabdi kepada gambaran bahwa mereka berjuang untuk rakyat, untuk tanah air, menentang penjajah. Mereka menganggap bahwa pihak mereka mati sebagai pendekar-pendekar perkasa, seorang patriot sejati!

   Dan kedua pihak dengan dasar yang sama ini, sama-sama merasa benar, telah berbunuh-bunuhan dengan ganas dan garangnya! Betapa menyedihkan ini! Dan yang lebih menyedihkan lagi, segerombolan manusia yang menjadi penggerak semua bunuh-membunuh ini, semua peperangan ini, mereka itu menggerakkan rakyat yang diperalat itu dari tempat yang paling aman, jauh di belakang sana. Baik gerombolan manusia yang menjadi penggerak pihak penjajah maupun yang dijajah, yang diserang maupun yang menyerang, pendeknya pihakpihak yang saling bermusuhan, mereka itu selalu mengatur pergerakan dari tempat aman. Dengan berbagai cara rakyat telah dapat ditariknya untuk menjadi perajurit, untuk menjadi pejuang, untuk menjadi patriot, untuk menjadi pahlawan dan banyak sebutan muluk lagi.

   Yang jelas, untuk menjadi alat atau senjata kelompok atau gerombolan itu. Dan kalau pergerakan itu menang, kelompok penggerak yang tadinya mengatur dari tempat aman dan jauh di belakang itu lalu muncul paling depan, dan menepuk dada dan mereka inilah yang akan menikmati buah dan hasil daripada kemenangan itu, lupa lagi kepada rakyat yang menjadi alat mereka, yang biarpun keluar sebagai pemenang namun tetap saja mengalami luka-luka. Rakyat ini lalu dilupakan, atau hanya diberi sekedar pujian-pujian kosong. Dan kalau kalah? Gerombolan pengatur dari belakang itu akan lari lebih dulu, menyelamatkan diri, membawa apa saja yang berharga untuk dibawa, meninggalkan rakyat yang mereka peralat itu menjadi sasaran pembantaian lawan! Hal ini terjadi sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, di bagian mana pun di dunia ini.

   Akan tetapi sungguh menyedihkan, sampai sekarang pun manusia masih belum mau membuka mata melihat kenyataan ini, karena mabok akan pujian, mabok akan kedudukan, mabok akan kekuasaan yang memang terdapat dalam semua itu. Apalagi selalu didengang-dengungkan sebutan-sebutan muluk dalam slogan-slogan kosong. Tidak ada rakyat di dunia ini yang mau atau suka perang. Hanya orang gila dan tidak waras otaknya sajalah yang mau untuk perang. Tidak pernah ada rakyat yang menganjurkan perang. Rakyat di seluruh dunia ingin hidup tenteram dan penuh damai. Akan tetapi, ada saja kelompok manusia yang haus akan kekuasaan, menyalahgunakan kesetiaan rakyat, membakar-bakar hati mereka, untuk mencapai ambisi-ambisi pribadi dalam batin mereka yang menamakan dirinya pemimpin-pemimpin rakyat, di seluruh dunia ini.

   Kapankah rakyat di seluruh dunia ini tidak ada kecualinya, membuka mata dan melihat kenyataan ini, tidak mau lagi dibodohi dengan segala slogan kosong, menolak perang? Betapa kita rindu akan keadaan dunia seperti itu! Ketika pertempuran sudah mendekati akhirnya, ketika delapan orang pendekar yang menjadi sisa dari kurang lebih seratus lima puluh orang murid Siauw-limpai yang melawan itu masih melawan, sedangkan para pendeta yang bersamadhi di dalam menjadi makanan api yang berkobar, barulah Ci Sian membiarkan Pangeran dengan pengawalannya menerobos masuk ke dalam pekarangan luar itu. Delapan orang pendekar itu telah terkurung rapat dan agaknya betapapun lihai mereka, namun mereka sudah amat lelah, dan tak lama lagi mereka ini pun tentu akan roboh mandi darah dan tewas.

   "Berhenti! Hentikan pertempuran gila ini! Di sini Pangeran Mahkota Kian Liong yang bicara!"

   Pangeran itu berteriak sambil berdiri di tempat tinggi setelah dibawa oleh Ci Sian ke tempat itu. Para perajurit dan perwira yang mengepung delapan orang pendekar itu berhenti menyerang dan melompat mundur, lalu menoleh. Mereka mengenal pemuda yang sederhana itu, lalu mereka memberi hormat.

   "Hidup Sang Pangeran!"

   Mereka berseru. Delapan orang pendekar itu pun berdiri memandang. Mereka semua tidak memakai baju, hanya bercelana panjang saja. Tubuh mereka berkilat oleh keringat dan darah, dan tubuh-tubuh itu membayangkan kekuatan luar biasa.

   Tubuh pemuda-pemuda yang tidak begitu besar, namun jelas membayangkan kekuatan yang membaja. Celana mereka pun penuh percikan darah dan lengan tangan dan senjata mereka berlepotan darah pula. Sejenak Sang Pangeran memejamkan kedua matanya, penuh kengerian. Bahkan Ci Sian sendiri, seorang pendekar yang memiliki kesaktian, merasa ngeri. Belum pernah selamanya dia melihat pemandangan seperti ini, walaupun ia pernah menyaksikan peperangan di lereng Himalaya dahulu. Yang mendatangkan kengerian adalah melihat mayat para pendekar yang tewas dalam pengeroyokan yang berat sebelah ini. Dan suasana di situ panas sekali, panas oleh keadaan perkelahian dan panas oleh api yang bernyala-nyala membakar biara. Panas luar dalam.

   "Aku, Pangeran Mahkota Kian Liong, memerintahkan agar semua pasukan berkumpul dan mengundurkan diri dari kuil ini, dan membiarkan sisa orang Siauw-lim-pai untuk pergi dari sini tanpa diganggu!"

   Mendengar perintah ini, para sisa pasukan itu tidak ada yang berani membantah. Apalagi mereka sendiri pun sudah merasa lelah, dan gentar melihat banyaknya teman mereka yang tewas, gentar menghadapi delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang amat tangguh itu, turun semangat mereka melihat betapa dua orang jenderal dan pangeran yang memimpin pasukan telah roboh dan tewas pula.

   Maka, mendengar perintah ini, mereka lalu mundur dan para perwira lalu mulai meneriakkan perintah-perintah, ada yang menolong teman yang terluka, ada yang merawat luka masing-masing. Delapan oang pendekar Siauw-lim-pai itu sejenak memandang kepada Sang Pangeran dan dara yang mengawaninya itu, pandang mata tajam penuh kebencian, penuh permusuhan, penuh dendam, akan tetapi juga penuh pengertian bahwa Pangeran ini lain daripada yang lain, dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah gagah, sedikit pun tidak menengok lagi kepada Sang Pangeran, apa pula menghaturkan terima kasih, walaupun mereka tahu benar bahwa Sang Pangeran baru saja menyelamatkan nyawa mereka.

   "Uh, manusia tak tahu diri! Tidak mengenal budi!"

   Ci Sian marah-marah, mengepal tinju memandang kepada delapan orang pemuda gagah perkasa yang pergi itu. Sang Pangeran tersenyum.

   "Hemm, tenanglah, Nona Bu. Apakah engkau tidak dapat membayangkan keadaan hati mereka?
(Lanjut ke Jilid 43)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 43
Baru saja terjadi pembantaian besar-besaran. Saudara-saudara mereka, ratusan jumlahnya, dibunuh, dibakar hidup-hidup dan Siauw-lim-pai yang merupakan perguruan mereka dibasmi, dibakar. Lalu, setelah tinggal delapan orang, aku menyelamatkan mereka. Apa artinya itu bagi mereka?"

   "Tapi, bukan Paduka yang menyuruh dilakukannya pembantaian ini!"

   "Apa bedanya bagi mereka? Yang melakukan pembantaian adalah pasukan pemerintah, dan aku adalah Pangeran Mahkota, calon kaisar, jadi pemerintah juga. Tentu saja mereka tidak berterima kasih, bahkan mungkin menganggap pengampunan atau penyelamatan ini sebagai suatu pukulan dan penghinaan bagi kehormatan mereka."

   "Aihh....!"

   Ci Sian terkejut sekali.

   "Dan Paduka sengaja menyelamatkan mereka, padahal Paduka tahu bahwa akan makin mendendam kepada Paduka?"

   Pangeran itu menarik napas panjang.

   "Terserah. Yang penting, aku tidak bermaksud menghina mereka. Engkau tentu masih ingat ketika kukata-kan kepada pemuda perkasa Kun-lun-pai itu bahwa aku tidak berdaya. Bukan kehendakku aku dilahirkan sebagai putera Kaisar dan kini menjadi pangeran mahkota. Hanya yang kutahu, aku akan berdaya sekuat tenagaku lahir batin untuk menjadi seorang manusia yang benar. Kalau toh tindakan-ku dinilai salah, terserah, akan tetapi yang penting, aku tahu bahwa apa yang kulakukan adalah benar dan bukan demi kepentinganku sendiri."

   Ci Sian mendengarkan dengan penuh takjub, lalu menarik napas panjang.

   "Pangeran, mendengar semua kata-kata Paduka, saya menjadi semakin bingung dan makin merindukan Suheng, karena kiranya kalau Suheng berada di sini, Suheng akan dapat menerangkan dengan jelas tentang semua ini kepada saya."

   "Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,"

   Kata Sang Pangeran yang, lalu menemui para perwira yang kini bertugas memimpin sisa pasukan itu untuk selain mengubur jenazah-jenazah para anggauta pasukan, juga mengubur jenazah orang-orang Siauw-lim-pai sepantasnya.

   "Ini merupakan perintah kami, kalau tidak dipenuhi sebagaimana mestinya akan kami hukum!"

   Demikian Sang Pageran menutup kata-katanya, diterima oleh para perwira itu dengan taat akan tetapi juga dengan terheran-heran. Ci Sian melanjutkan perjalanannya bersama Pangeran Kian Liong, menuju ke kota raja.

   Kini pandangan Ci Sian terhadap Sang Pangeran semakin berubah, ia seolah-olah melihat seorang yang sudah matang dalam segala hal, sudah jauh lebih matang dan lebih tua daripada Kam Hong sekalipun. Padahal Pangeran ini masih amat muda! Dan hubungan antara mereka menjadi makin akrab. Ketika mereka berhenti dan bermalam di sebuah dusun, sebelum memasuki kamar masing-masing, mereka bercakap-cakap di pekarangan belakang rumah penginapan kecil yang sepi tamu itu. Bulan sedang purnama dan enak sekali duduk di ruangan belakang itu, di mana terdapat banyak pohon bunga mawar yang semerbak harum. Melihat bunga-bunga, pohon-pohon yang bermandikan cahaya bulan purnama, Sang Pangeran terpesona. Kemudian, setelah menarik napas panjang berulang kali, dia berkata, suaranya halus,

   "Nona Bu, pernahkah engkau melihat keindahan seperti ini selama hidupmu?"

   Ci Sian terheran mendengar ini. Ia memandang kepada pohon-pohon dan bunga-bunga di bawah cahaya bulan purnama yang mengandung sinar kuning dan biru itu, lalu mengangguk, melihat pula ke atas, ke arah bulan purnama yang nampaknya melayang-layang di antara awan-awan tipis bagaikan wajah puteri jelita yang kadang-kadang bersembunyi di balik tirai sutera putih.

   "Tentu saja, Pangeran. Sudah sering sekali!"

   "Benarkah itu? Ataukah engkau hanya memandang gambaran saja tentang bulan purnama dan segala keindahannya? Coba pandanglah lagi, Nona, dan pandang tanpa adanya gambaran tentang bulan purnama yang menjadi tirai penghalang bagi kedua matamu. Pandanglah tanpa ke-nangan pengalaman lalu."

   Ci Sian tersenyum dan merasa heran, akan tetapi ia mentaati permintaan ini dan ia mulai memandang bulan, awan, pohon-pohon dan bunga-bunga, memandang kesemuanya itu dengan mata terbuka, seperti memandang sesuatu yang baru, tanpa membanding-bandingkan dengan keadaan bulan purnama yang lalu dan pernah dilihatnya. Dan pandangannya tanpa menilai, tanpa, membandingkan dan.... sejenak terjadi keharuan yang luar biasa, sukar ia mengatakan apa itu. Ada SESUATU yang ajaib.... yang membawanya seperti hanyut dan tertelan ke dalam keindahan itu, keindahan baru, keadaan baru.... bahkan keheningan itu menghanyutkan, menelannya.... akhirnya ia sadar dan semua itu pun lenyap lagi, mendatangkan rasa aneh seperti rasa ngeri yang membuat bulu tengkuknya meremang.

   "Aihhh.... Pangeran...."

   Keluhnya.

   "Eh? Apa yang kau lihat? Apa yang kau rasakan?"

   "Saya.... saya.... merasa seolah-olah dijatuhkan dari tempat yang amat tinggi, seolah-olah saya melayang jatuh dari bulan itu.... melalui sinar-sinarnya.... ihh, mentakjubkan, indah dan mengerikan!"

   Sang Pangeran tersenyum,

   "Mengapa takut menghadapi semua kebesaran dan keindahan ini, Nona? Mengapa takut menghadapi kesendirian dan persatuan dengan segala sesuatu? Tanpa melepaskan diri, tanpa berkeadaan sendirian mana mungkin dapat bersatu dengan segala-galanya?"

   Ucapan Pangeran itu makin membingungkan, sama sekali tidak dimengerti oleh Ci Sian. Dan dalam kesempatan ini, timbullah ingatan Ci Sian untuk bertanya tentang hal-hal yang selama ini membuatnya ragu-ragu dan bingung mencari jawabnya.

   "Pangeran, maukah Paduka menerangkan kepada saya tentang apa artinya bahagia itu?"

   Sang Pangeran nampak terkejut dan memandang kepada dara itu dengan sinar mata tajam. Lalu dia tersenyum.

   "Bahagia? Apakah bahagia itu? Ha-ha, engkau menanyakan sesuatu yang ribuan tahun menjadi bahan penyelidikan kaum cendekiawan dan yang hingga kini hanya ada pendapat-pendapat yang bersimpang-siur dan kadang-kadang berlawanan, Nona."

   Kemudian Pangeran itu menengadah, memandang bulan purnama yang tersenyum di balik tirai sutera putih, mengembangkan kedua lengannya dan ber-nyanyi lirih. :

   "Kebahagiaan.... semua manusia merindukan!
siapakah gerangan Anda? di mana gerangan Anda?
Seakan tampak dalam cahaya bulan tersenyum di antara kelopak mawar rupawan
menyelinap di antara bayan-bayangbeterbangan di antara hembusan angin
Kuraih dan kupeluk mesra hanya untuk sadar kecewa
bahwa semua itu hanya bayangan hampa dan sama sekali bukan Anda!
Seperti nampak Anda menggapai menunggang cahaya matahari pagi
seperti nampak Anda mengintai di balik senyum kekasih jelita
di antara gelak tawa sahabat di dalam sorak-sorai kanak-kanak"

   Sunyi sekali setelah Sang Pangeran menyanyikan sajak itu. Sunyi di luar, dan sunyi di dalam batin Ci Sian. Nyanyian Pangeran itu terasa menyentuh hatinya, dan ia melihat kebenaran di dalamnya. Memang demikianlah. Semua manusia, juga ia sendiri, rindu akan kebahagiaan, akan tetapi, tidak pernah mau menyelidiki, apakah gerangan kebahagiaan itu? Dan di manakah adanya? Manusia mencari-cari kebahagiaan, melalui segala hal yang disangkanya menyembunyikan bahagia. Mencari ke dalam harta, kedudukan dan segala hal. Namun, tidak pernah ada yang menemukan bahagia pada akhir pencarian itu!

   "Ah, Pangeran. Sajak Paduka memang indah, akan tetapi itu belum dapat menjawab pertanyaan saya. Itu hanya menggambarkan keadaan kita yang mencari-cari tanpa tahu siapa dan di mana yang kita cari,"

   Kata Ci Sian.

   "Nah, itulah jawabannya, Nona. Tidak mengertikah, Nona? itulah justeru jawabannya yang tepat! Kita mencari-cari sesuatu tanpa kita ketahui siapa dan di mana yang kita cari-cari itu! Mungkinkah ini? Siapakah yang pernah mengenal bahagia? Yang kita kenal bukan kebahagiaan melainkan kesenangan. Dan kesenangan itu hanya selewat saja, seperti angin lalu. Kita tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin kita hendak mencarinya?"

   "Habis, bagaimana orang yang berbahagia itu, Pangeran?"

   "Berbahagialah orang yang sudah tidak mencari kebahagiaan lagi! Berbahagialah orang yang sudah tidak membutuhkan kebahagiaan lagi!"

   "Mana mungkin? Karena hidup ini banyak sengsara maka kita rindu dan mencari kebahagiaan!"

   "Nona Bu, dalam keadaan batin sengsara, mana mungkin berbahagia? Dalam keadaan tidak berbahagia, maka kita butuh kebahagiaan. Kita mengejar-ngejar bahagia seperti mengejar bayangan sendiri. Mana mungkin memisahkan bayangan dari diri kita? Mana mungkin mengejar dan mencari sesuatu yang tidak kita kenal? Yang penting adalah menyelidiki. MENGAPA batin kita sengara, MENGAPA kita tidak berbahagia! itulah penyakitnya yang harus disembuhkan! Kalau sudah sembuh, yaitu kalau kita TIDAK sengsara lagi, perlukah kita mencari kebahagiaan lagi? Camkan ini baik-baik, Nona. Kebahagia-an tidak ada karena kita kecewa, karena kita sengsara, karena kita marah, benci, dendam, iri, takut. Kalau semua itu sudah lenyap, nah, barulah kita bisa bicara tentang kebahagiaan. Mengertikah engkau, Nona Bu?"

   Ci Sian mengangguk akan tetapi ia belum mengerti!

   "Jadi, apakah kebahagiaan itu sesungguhnya?"

   Sang Pangeran menarik napas panjang, maklum bahwa nona itu belum mengerti. Akan tetapi dia pun tidak mendesak lagi. Tidak mungkin memaksakan pengertian kepada seseorang.

   "Apakah kebahagiaan itu sesungguhnya? Sayang, saya sendiri pun tidak tahu, Nona Bu."

   "Kalau begitu, harap Paduka terangkan kepada saya, apa yang dimaksudkan dengan cinta itu, Pangeran."

   Pangeran muda itu tiba-tiba tertawa dan wajah Ci Sian berubah merah sekali. Kemudian Sang Pangeran menarik napas panjang.

   "Memang, suasana malam ini demikian indah dan romantis, maka tidak mengherankan kalau dalam hatimu timbul pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan dan cinta kasih. Pertanyaanmu tentang cinta kasih itu menyentuh suatu rahasia yang hampir tiada bedanya dengan kebahagiaan, Nona. Ngomong-ngomong, apakah engkau pernah mengenal apa yang dinamakan cinta kasih itu, Nona?"

   "Mana aku tahu, Pangeran? Arti dari kata itu sendiri pun aku belum tahu, lalu bagaimana saya dapat tahu bahwa itu adalah cinta kasih kalau sekali waktu saya merasakannya?"

   "Itu adalah jawaban yang jujur dari orang yang masih polos batinnya, sungguh mengagumkan sekali! Kata cinta kasih telah banyak diartikan orang sehingga merupakan sebuah kata yang sarat dengan arti yang bermacam-macam. Seperti juga dengan kebahagiaan, kalau aku ditanya apa artinya cinta kasih, maka jawabku adalah tidak tahu. Akan tetapi, mengenai arti seperti yang dianggap orang melalui bermacam pendapat, tentu saja aku, mengetahuinya. Nah, dengarlah nyanyian ini, Nona Bu."

   Seperti juga tadi, Sang Pangeran memandang ke arah bulan purnama dan mulailah dia bernyanyi.

   "Cinta," kata keramat penuh rahasia bahan renungan para seniman dan pujangga Antara anak dan orang tua ada kebaktian antara warga dan negara ada kesetiaan antara pria dan wanita ada kemesraan antara manusia dan Tuhannya ada penyembahan. :

   Itukah cinta?
Namun, semua itu mengandung keinginan menguasai, memiliki, menikmati, keselamatan, kebahagiaan, kepuasan, sekali gagal yang diinginkan timbullah kedurhakaan, pengkhianatan, kebencian dan kemuraman!
Itukah cinta?"

   Seperti juga tadi, hening sekali setelah Sang Pangeran menghentikan nyanyiannya. Suara belalang dan jengkerik tidak mengganggu keheningan karena suara itu tercakup ke dalam keheningan yang menyeluruh itu. Keheningan ini timbul dalam batin yang tidak menemukan jawaban, karena tidak dapat memikirkan apa-apa lagi, maka untuk beberapa saat lamanya batin menjadi kosong dan hening.

   "Wah, kalau begitu, apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih, Pangeran?"

   Akhirnya Ci Sian bertanya, akan tetapi Sang Pangeran hanya menggeleng kepala saja sambil tersenyum.

   "Aku pun tidak tahu, Nona Bu."

   Nyanyian Pangeran Kian Liong itu memberi bahan kepada kita untuk merenungkan dan menyelidiki apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih.

   Kita sudah terlalu mengobral arti pada kata itu, akan tetapi benarkah apa yang kita artikan terhadap cinta kasih itu? Begitu mudahnya mulut kita mengobral kata cinta. Sebagai anak kita mengaku cinta kepada orang tua. Sebagai orang tua kita mengaku cinta kepada anak. Cintakah kita kepada orang tua kita kalau kita hanya ingin disenangkan saja, dituruti kehendak kita saja oleh orang tua, kemudian sekali waktu orang tua tidak bisa atau tidak mau menuruti, kita lalu berbalik marah dan membencinya? Cintakah kita kepada anak kita kalau kita ingin anak menyenangkan hati kita saja, menurut dan patuh, mendatangkan kebanggaan, kemudian kalau sekali waktu si anak tidak menurut dan tidak menyenangkan hati kita, lalu kita marah dan membencinya? Begitukah yang dinamakan cinta?

   Sebagai seorang suami dan isteri kita mengaku dengan mulut saling mencinta. Akan tetapi, suami dan isteri ingin saling menguasai, saling mengikat, dan saling dilayani, disenangkan, yang kita sebut cinta antara suami isteri sungguh mengandung syarat dan ikatan sekotak banyaknya. Sekali saja syarat dan ikatan itu dilanggar, sekali saja suami atau isteri tidak mau melayani, tidak menyenangkan, mengerling dan senyum kepada orang lain, maka yang kita sebut-sebut cinta dengan mulut itu pun akan berubah bentuk menjadi cemburu dan marah dan kebencian! Begitukah yang dinamakan cinta kasih? Kita dengan mudah saja, dengan mulut maupun dengan pikiran, mengatakan dan mengaku bahwa kita mencinta tanah air, bahwa kita mencinta sahabat, bahwa kita mencinta Tuhan!

   Akan tetapi, kalau kita mau jujur, mau membuka mata dan menjenguk isi hati kita, akan nampaklah dengan jelas bahwa cinta kita itu semua berpamrih! Kita mencinta karena kita INGIN MEMPEROLEH SESUATU, kita mencinta karena kita ingin senang, baik kesenangan itu kita dapat dari tanah air, dari sahabat, ataukah dari Tuhan. Dan kalau keinginan itu tidak kita peroleh, maka cinta kita itu pun lenyap tak berbekas lagi. Begitukah yang dinamakan cinta?"

   Kalau kita mau menyelidiki lalu me-ngerti benar, bukan mengerti setelah membaca ini melainkan mengerti setelah menyelidiki sendiri, mengerti dengan penuh kewaspadaan bahwa yang begitu itu semua bukanlah cinta, maka kita harus berani menanggalkan semua cinta palsu itu! Setelah kita bersih daripada semua yang bukan cinta itu, nah, barulah kita boleh bertindak lebih jauh lagi, yaitu menyelidiki apakah sesungguhnya cinta kasih itu!

   Bumi terbentang luas. Betapa indahnya! Sinar matahari di pagi hari, kabut dan embun, kesegaran, tanaman-tanaman, pohon-pohon, bunga-bunga, buah-buah, gunung dan jurang, sawah ladang, lembah, sungai, awan, matahari tenggelam, bintang selangit, bulan cemerlang.... takkan ada habisnya kalau disebut satu demi satu. Semua begitu indah.., keindahan untuk siapa saja yang mau menerima, bukan pemberian yang minta imbalan.... tanpa pamrih.... sinar matahari yang menghidupkan, untuk siapa saja dari jembel sampai raja.... keharuman bunga yang semerbak untuk siapa saja yang mau menciumnya, dari si bodoh sampai si cendekiawan, air, hawa udara.... semua.... semua ini.... ah, tidak dapatkah kita membuka mata dengan waspada? Begitu terangnya sinar cinta kasih....! Bukan dari siapa untuk siapa. Bukan dari aku untuk kamu, bukan dari dia untuk dia. Di mana ada aku "aku", cinta kasih pun tiada!

   Pada keesokan harinya, setelah mengalami malam bulan purnama indah penuh rahasia itu, setelah bersama dengan Pangeran Mahkota menyelusuri ikan-ikan hidup dan menyentuh dengan hati-hati tentang kebahagiaan dan cinta kasih, Ci Sian Sian dan Pangeran Kian Liong melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Ketika mereka menuruni sebuah bukit di pagi hari, menghadap matahari yang muncul karena jalan itu menuju ke timur sehingga nampak pemandangan yang amat indah, bukan hanya di bumi melainkan juga di langit yang penuh dengan warna jingga, biru, kuning dan bermacam warna lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya tiga orang. Ci Sian mengerutkan alisnya dan cepat mengeluarkan sulingnya. Jantungnya berdebar tegang karena ia mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok!

   Tiga orang yang terlihai dari Im-kan Ngo-ok, dan dari sinar mata mereka, tiga orang ini mengandung dendam kebencian yang hebat kepada Ci Sian karena dara inilah yang telah membunuh Su-ok dan Ngo-ok bersama pemuda Kun-lun-pai itu. Biarpun tiga orang datuk sesat itu telah melarikan diri, akan tetapi dendam membuat mereka tidak jauh meninggalkan Ci Sian dan Sang Pangeran. Setelah mengubur jenazah dua orang adik mereka dengan hati penuh dendam, mereka lalu diam-diam membayangi Sang Pangeran. Mereka tidak berani sembarangan turun tangan karena Pangeran dilindungi oleh dara perkasa itu. Akan tetapi mereka menanti saat baik. Setelah melihat Ci Sian dan Sang Pangeran tiba di tempat sunyi ini, mereka keluar menghadang. Mereka bertiga maklum bahwa dara itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa,

   Akan tetapi mereka tidak takut dan merasa yakin akan dapat mengalahkannya dengan pengeroyokan, dan terutama sekali, Sang Pangeran berada di situ. Maka apa sukarnya bagi mereka untuk menundukkan wanita itu? Tangkap saja Sang Pangeran terlebih dulu, maka akan mudah membuat wanita itu tidak berdaya, pikir mereka. Akan tetapi, ketiga manusia iblis itu terlalu memandang rendah kepada Ci Sian. Dara yang masih muda ini memiliki ketahanan hebat dan juga kecerdasan yang mengagumkan. Ia pun maklum bahwa melawan tiga orang datuk itu bukanlah hal yang ringan, apalagi kalau di situ terdapat Sang Pangeran yang harus dilindunginya. Maka, cepat ia mengajak Sang Pangeran turun dari atas punggung kuda mereka, kemudian tanpa mempedulikan dua ekor kuda itu, Ci Sian sudah menggandeng tangan Sang Pangeran dan mengajaknya lari ke sebuah dinding bukit yang merupakan dinding tinggi.

   "Paduka cepat berlindung di balik dinding itu!"

   Kata Ci Sian.Pangeran Kian Liong makin kagum kepada Ci Sian dan tanpa banyak cakap dia pun menurut. Dia cepat lari ke dinding itu dan Ci Sian lalu berdiri meng-hadang di depannya, melindungi Pangeran sambil melintangkan suling emasnya di depan dada. Dengan adanya dinding bukit itu di belakang Pangeran, ia dapat lebih mudah melindungi Sang Pangeran terhadap serangan dari depan, tidak khawatir kalau-kalau Pangeran itu dilarikan orang dari belakang. Tiga orang datuk itu kini sudah berdiri di depannya.

   "Iblis cilik, sekarang tiba saatnya engkau akan mampus di tangan kami, menebus dosa yang kau lakukan ketika kau membunuh Su-ok dan Ngo-ok,"

   Kata Ji-ok dengan suara mengandung kemarahan.

   "Hemm, mereka berdua tewas karena kejahatan mereka, dan agaknya kalian bertiga pun tak lama lagi akan menyusul mereka. Iblis-iblis tua macam kalian ini kalau tidak cepat disingkirkan ke neraka, di dunia hanya akan mendatangkan malapetaka bagi manusia lain saja!"

   Kata Ci Sian sambil menggerakkan sulingnya. Ia sengaja mengerahkan khi-kangnya dan suling itu mengeluarkan suara melengking seperti ditiup saja. Pada saat itu, tingkat khi-kang Ci Sian sudah mencapai tempat tinggi sekali karena ia memperoleh latihan Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang dari Pendekar Siluman Kecil. Maka, biarpun sesungguhnya ia belum mencapai tingkat untuk dapat membunyikan sulingnya tanpa ditiup seperti yang dapat dilakukan oleh suhengnya, Kam Hong,

   Ketika bersama suhengnya mempelajari Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas), namun berkat latihan tenaga sin-kang yang luar biasa dari Pulau Es, ia dapat memperoleh kemajuan sedemikian pesatnya sehingga kini ia mampu juga melakukan hal luar biasa itu. Tiga orang datuk itu kagum bukan main. Mereka pun tahu bahwa untuk dapat menggerakkan suling sampai mengeluarkan suara seperti ditiup, dengan nada naik turun, sungguh bukan hal mudah. Tanpa khi-kang dan sin-kang tingkat tinggi jangan harap akan dapat melakukan hal itu. Toa-ok Su Lo Ti sekali ini tidak mau kepalang tanggung. Mereka bertiga harus mampu merobohkan gadis ini dan merampas putera mahkota untuk menebus kekalahan-kekalahan mereka yang berturut-turut terhadap para pendekar sakti.

   "Ji-moi dan kau Sam-te, kalian tahan gadis ini dan aku akan menangkap Pangeran!"

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata orang pertama dari Im-kan Ngo-ok. Ucapan itu saja sudah meyakinkan hati Ci Sian bahwa munculnya tiga orang datuk sesat ini bukan semata-mata untuk membalas kematian Su-ok dan Ngo-ok,

   Melainkan juga untuk menangkap Sang Pangeran. Mungkin ini merupakan tujuan utama mereka dan ia pun merasa agak lapang dadanya. Betapapun juga, kalau tiga orang datuk sesat ini ingin menangkap Sang Pangeran, hal itu berarti bahwa Sang Pangeran tidak akan dibunuh, melainkan ditangkap untuk kepentingan lain yang tentu saja akan menguntungkan tiga orang datuk sesat itu. Hal ini menguntungkan dirinya, karena kalau tiga orang itu berusaha membunuh Sang Pangeran, tentu saja amat sukar baginya untuk melindunginya. Serangan jarak jauh saja tentu akan mampu membinasakan Pangeran itu. Akan tetapi ia membentak sambil memutar sulingnya lebih keras lagi sehingga suara lengkingan nyaring terdengar semakin meninggi.

   "Hemm, maut sudah menanti kalian, masih banyak lagak!"

   Dara itu menerjang ke depan dan langsung ia menyerang Toa-ok. Sulingnya berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan bunyi melengking-lengking nyaring. Toa-ok tentu saja maklum akan kedahsyatan serangan ini, maka dia pun cepat mengelak. Akan tetapi sebelum dia sempat membalas, atau sempat menjauhkan diri untuk menangkap Sang Pangeran, dara itu sudah memburu dan mendesaknya terus sehingga tubuh kakek ini telah terkurung oleh gulungan sinar emas! Memang Ci Sian seorang dara yang cerdas. Ia tahu bahwa kalau ia sudah terkurung oleh Ji-ok dan Sam-ok,

   Akan sukarlah baginya untuk menghalangi datuk pertama ini yang hendak menangkap Pangeran. Oleh karena itu, begitu menyerang ia sudah mendesak Toa-ok! Melihat betapa Toa-ok terkurung gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara yang melengking-lengking itu, Ji-ok dan Sam-ok segera menerjang maju dan mengeroyok. Akan tetapi Ci Sian tidak menjadi gentar. Sinar sulingnya makin panjang dan tebal, membuat gulungan besar yang menyambar-nyambar dan seolah-olah membelit tiga orang lawannya. Akan tetapi tetap saja yang menjadi sasaran utama serangan sulingnya adalah Toa-ok. Siasat Ci Sian ini memang berhasil baik. Toa-ok menjadi bingung karena dia sama sekali tidak mampu keluar dari kurungan sinar emas itu, betapapun dicobanya.

   Selalu jalan keluarnya tertutup oleh serangan yang amat hebat dan biarpun Toa-ok telah memiliki sin-kang amat kuat yang dapat membuat tubuhnya kebal, namun menghadapi serangan suling, ini dia sama sekali tidak berani mengandalkan kekebalannya. Dia sudah cukup mengenal keampuhan suling itu dalam pertempuran pertama menghadapi dara yang lihai ini. Sedangkan Ji-ok dan Sam-ok yang tadi telah diberi tugas untuk mengeroyok Ci Sian, kini mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk mengeroyok dara itu tanpa sedikit pun peduli kepada Sang Pangeran. Dengan demikian, untuk sementara waktu, Ci Sian tidak perlu khawatir bahwa Pangeran akan dilarikan musuh. Betapapun juga, tiga orang lawan yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi sekali. Mereka bertiga itu masing-masing memiliki ilmu yang luar biasa.

   Toa-ok yang merupakan tokoh pertama itu memiliki kedua lengan yang selain penuh dengan tenaga sin-kang amat kuatnya, juga dapat mulur memanjang sampai dua meter, dan gerak-geriknya juga amat aneh. Bahkan kedua lengan kakek yang seperti lengan gorila penuh bulu ini berani menangkis melawan suling emas tanpa terluka. Kalau saja senjata di tangan Ci Sian itu tidak sehebat itu, mengeluarkan sinar gemilang dan me-ngandung getaran suara dahsyat, agaknya akan sukarlah bagi dara itu untuk melindungi dirinya dari ancaman kedua tangan Toa-ok. Adapun Ji-ok, wanita yang bertopeng tengkorak itu, memlliki Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang). Jari-jarinya yang berkuku panjang itu mengeluarkan hawa pukulan yang tajam dan berhawa dingin. Jangankan sampai jari tangan itu mengenai kulit lawan,

   Baru hawa pukulannya saja sudah dapat melukai tubuh lawan. Untung bahwa Ci Sian telah digembleng oleh Suma Kian Bu, mempelajari sin-kang dari Pulau Es sehingga sama sekali ia tidak repot. menghadapi Kiam-ci yang berhawa dingin itu. Sedangkan orang ke tiga yang mengeroyoknya, Sam-ok biarpun tingkat kepandaiannya tidak melebihi Ji-ok, namun kakek ini amat licik, cerdik dan banyak akal. Juga ilmu silatnya Thian-te Hong-i (Angin Hujan Bumi Langit) amat luar biasa, membuat tubuhnya seperti gasing berputaran dan dari putaran itu kadang-kadang mencuat pukulan-pukulan maut. Ci Sian harus menghadapi serangan tiga orang yang sifatnya berbeda-beda ini, namun kesemuanya amat berbahaya. Memang harus diakui bahwa dara itu telah mewarisi suatu ilmu yang dalam jenisnya tiada keduanya di dunia.

   Ilmu Pedang Suling Emas aseli yang mengandung semua segi kekuatan ilmu silat yang dahsyat, juga dibantu dengan tenaga khi-kang yang dilatihnya bersama Kam Hong. Semua ini ditambah lagi dengan ilmu sin-kang yang diterimanya dari Suma Kian Bu membuat ia menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, betapapun juga, Ci Sian hanyalah seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun lebih, masih muda remaja dan pengalamannya dalam hal mengadu ilmu silat, dibandingkan dengan tiga orang lawannya, tentu saja kalah jauh sekali. Maka, ketika tiga orang pengeroyoknya itu mulai memperlebar jarak, Ci Sian menjadi repot sekali. Ia harus montang-manting ke sana-sini, melalui jarak yang agak lebar itu, untuk mencegah mereka agar jangan sampai seorang di antara mereka mempergunakan kesempatan untuk menculik Sang Pangeran.

   Dan karena itu, mulailah Ci Sian merasa kewalahan. Ia tidak mungkin dapat mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk dipusatkan menyerang kepada seorang lawan saja karena dua orang lawan lainnya selalu akan mencegahnya dan terpaksa ia harus membagi-bagi serangannya itu. Hal ini tentu saja membuat serangannya menjadi kurang kuat dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan. Kalau hanya bertanding satu lawan satu, ia merasa yakin akan dapat merobohkan lawan dalam waktu yang tidak lama. Sayang keadaan tidak menguntungkan dan ia mulai terhimpit. Tiba-tiba terdengar suara lengkingan tinggi dari jauh. Suara itu makin lama makin keras dan nadanya naik turun seperti mengimbangi lengkingan suara yang keluar dari suling di tangan Ci Sian.

   "Suheng...."

   Seruan ini hanya keluar dari hati Ci Sian, akan tetapi hampir saja ia celaka. Mendengar lengkingan suara suling itu, hatinya dipenuhi perasaan yang mengguncangkan batinnya. Ada rasa gembira, girang, terharu bercampur-aduk menjadi satu, membuat gerakan sulingnya menjadi kacau dan pada saat itu, pukulan Kiam-ci yang dilakukan Ji-ok menuju ke arah lehernya! Untung pada detik terakhir Ci Sian dapat mencurahkan perhatiannya lagi, menjadi waspada dan cepat ia miringkan tubuhnya.

   "Brett!"

   Ujung leher bajunya terobek. Ci Sian terkejut dan maklum bahwa menghadapi pengeroyokan tiga orang ini ia sama sekali tidak boleh lengah, maka ia pun kembali mencurahkan perhatiannya.

   Sementara itu, suara melengking dari jauh itu makin lama semakin nyaring dan akhirnya tiga orang pengeroyok Ci Sian itu menjadi kacau gerakan-gerakannya. Kiranya suara melengking-lengking itu merupakan suara yang nengandung daya serang luar biasa terhadap batin mereka! Tiga orang itu merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk oleh suara itu, jantung mereka ditarik-tarik dan sukar sekali bagi mereka untuk dapat mengumpulkan perhatian. Ci Sian maklum siapa yang telah membantunya. Suara suling itu tidak meragukan lagi. Maka timbullah semangatnya dan membayangkan betapa ia kini dapat bertemu dengan suhengnya mendatangkan kegembiraan sedemikian besarnya bercampur keharuan yang mendalam sehingga ketika ia menggerakkan sulingnya dengan kekuatan yang lebih besar karena timbul semangatnya,

   Kedua matanya basah dan di atas kedua pipinya nampak air mata, akan tetapi gerakan sulingnya semakin hebat sehingga berturut-turut ia dapat menotok pundak Sam-ok dan paha Ji-ok! Dua orang datuk itu terkejut dan juga terheran-heran bagaimana kini dara ini bertambah lihai. Juga mereka bingung oleh suara melengking itu yang tanpa mereka sadari telah banyak mengurangi kelihaian gerakan mereka yang menjadi kacau. Toa-ok maklum bahwa dara itu dibantu oleh orang pandai, apalagi kakek ini melihat betapa ada bayangan beberapa orang berkelebatan disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran, maka dia pun lalu mengeluarkan suara bersuit nyaring dan tiga orang datuk itu lalu melompat jauh dan melarikan diri. Ci Sian tidak mengejar, bahkan tidak mempedulikan mereka lagi. Ia menyimpan sulingnya, lalu menoleh ke kiri.

   "Suheng....!"

   Serunya memanggil karena dari kiri tadi datangnya suara suling melengking itu. Dan muncullah Kam Hong! Mereka berdiri saling berhadapan, dalam jarak kurang lebih sepuluh meter. Sejenak mereka hanya saling pandang saja dan air mata menetes turun mem-basahi pipi Ci Sian semakin deras.

   "Sumoi....!"

   "Suheng....!"

   Ci Sian lari dan Kam Hong juga melang-kah maju, kedua lengan mereka berkembang.

   "Suheng.... ah, Suheng....!"

   Mereka saling tubruk dan, saling peluk. Ci Sian menangis terisak-isak ketika didekap oleh kedua lengan itu. Terasa benar oleh mereka berdua betapa amat rindu hati mereka terhadap diri masing-masing. Terasa benar oleh mereka betapa pertemuan ini seperti tetesan air jernih kepada tanah kering merekah yang kehausan akan cinta kasih, yang penuh kerinduan. Terasa benar oleh mereka bahwa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Terasa dalam dekapan itu.

   "Suheng...., Suheng...., kenapa kau tinggalkan aku begini lama....?"

   Ci Sian mengeluh dengan suara diselingi isak tangisnya.

   "Sumoi, kau maafkan aku...."

   Keduanya tidak bicara lagi. Apa perlunya bicara? Getaran yang keluar dari seluruh tubuh mereka sudah mengucapkan seribu kata yang dapat dimengerti dengan jelas oleh masing-masing. Mereka saling mencinta. Mereka merasa sengsara kalau saling berpisah. Mereka berbahagia kalau saling berdekatan. Cukuplah ini,

   "Suheng.., berjanjilah, engkau takkan meninggalkan aku lagi.., selamanya."

   Ci Sian berbisik, merasa betapa tangan suhengnya mengelus rambut kepalanya dan ia memperketat dekapannya, seolah-olah ia ingin menyatukan dirinya dengan suhengnya agar tidak sampai saling terpisah lagi,

   "Tidak, Sumoi, tidak lagi...."

   Ci Sian mengangkat mukanya. Mereka saling berpandangan, penuh rindu.

   Kasih sayang terbayang jelas di mata mereka. Melihat muka yang basah itu, ingin sekali Kam Hong menunduk untuk mencium!, untuk menghisap air mata yang membasahi muka itu, Akan tetapi pendekar ini menahan hasrat hatinya dan hanya menggunakan jari-jari tangan untuk mengusap air mata itu. Jari-jari tangannya gemetar dan hatinya terharu sekali. Sudah lama ia sengaja menjauhkan diri dari sumoinya ini, karena kesadarannya tidak mau menerima kalau dia jatuh cinta kepada sumoinya yang sepatutnya menjadi keponakannya ini. Akan tetapi, sekarang dia tahu benar bahwa dia sung-guh amat mencinta dara ini! Padahal, Ci Sian baru berusia delapan belas tahun, dan dia.... sudah tiga puluh satu tahun! Ah, ini tidak boleh terjadi, pikirnya dan dengan halus dia melepaskan rangkulannya.

   "Sumoi, bagaimanakah engkau bisa berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang Im-kan Ngo-ok itu?"

   "Karena mereka itu hendak membalas dendam atas kematian Su-ok dan Ngo-ok."

   "Ah, engkau telah membunuh dua orang manusia iblis itu?"

   "Ya, bersama dengan seorang pendekar dari Kun-lun-pai, dan selain itu, mereka juga hendak menangkap Pangeran.... eh, mana dia....?"

   Ci Sian baru sekarang teringat kepada Pangeran itu dan menengok, melepaskan dekapannya dan kelihatan bingung melihat betapa tempat itu sunyi dan tidak nampak Sang Pangeran di situ.

   "Siapa yang kau cari?"

   "Pangeran Mahkota! Dia tadi di sana, di dekat dinding gunung itu.... ah, ke mana dia?"

   Ci Sian lalu berteriak memanggil Pangeran Kian Liong. Akan tetapi tidak terdengar jawaban.

   "Ketika aku tiba di sini sudah tidak ada Pangeran di situ, Sumoi."

   "Ah, celaka. Tentu ada yang telah melarikannya! Begitu banyak orang sakti memperebutkan Sang Pangeran. Kita harus mengejar si penculik!"

   Ci Sian berloncatan ke atas tebing dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja tidak nampak bayangan Pangeran atau penculiknya.

   "Sumoi, orang yang sudah mampu melarikan Pangeran dari depanmu dan depan para datuk Im-kan Ngo-ok tanpa kau ketahui dan juga tanpa mereka ketahui, tentulah bukan orang sembarangan dan sukar untuk dikejar begitu saja tanpa kita ketahui ke mana larinya. Sekarang lebih baik kau ceritakan semuanya, Sumoi. Nanti kita akan mencarinnya bersama."

   Ci Sian yang masih terlalu gembira oleh pertemuanini, segea melupakan Sang Pangeran dan mereka lalu duduk di atas rumput yang tebal di bawah pohon yang rindang. Dan mulailah Ci Sian menceritakan semua pengalamannya semenjak Kam Hong meninggalkannya. Tidak ada yang dilewatinya dan memang pengalamannya aneh-aneh dan amat menarik sehingga Kam Hong mendengarkan dengan kagum dan tertarik sekali. Tentang pertemuannya dengan Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan isterinya dan pengalaman mereka bersama yang aneh-aneh ketika berlumba kuda dan ketika menghadapi ular hijau raksasa. Mendengar penuturan tentang Suma Kian Bu, Kam Hong menarik napas panjang.

   "Semenjak dahulu, aku kagum sekali kepada Suma-taihiap dan beruntung engkau dapat bertemu dengannya, bahkan kemudian menerima latihan sin-kang dari Pulau Es. Engkau sungguh beruntung, Sumoi. Pantas saja tadi kulihat engkau demikian hebat dan memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu Kiam-sut, terutama sekali penggunaan sin-kangnya. Tidak tahunya engkau telah mewarisi ilmu sin-kang dari Pulau Es. Hebat, hebat.... dan aku kagum sekali"

   Ci Sian rnelanjutkan ceritanya. Tentang pengalamannya di Kun-lun-pai, tentang jago muda Kun-lun-pai Cia Han Beng yang berjiwa patriot. Kemudian betapa ia bertemu dan melindungi Pangeran Kian Liong sampai di tempat itu, tentang pembakaran kuil Siauw-lim-pai dan lain-lain. Kam Hong menarik napas panjang.

   

Jodoh Rajawali Eps 24 Kisah Sepasang Rajawali Eps 59 Jodoh Rajawali Eps 42

Cari Blog Ini