Kisah Pendekar Pulau Es 10
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
Malam itu Ciang Bun tidak dapat memejamkan matanya. Selama tiga bulan ini, dia tinggal di pulau itu dan merasa betah sekali karena tiga orang penghuni pulau itu amat baik kepadanya. Dia tidur sekamar dengan Lee Siang. Akan tetapi malam ini dia gelisah! Dia merasa akan datangnya sesuatu yang mungkin akan merobah seluruh kehidupannya. Peristiwa siang tadi sungguh mendatangkan kesan yang amat mendalam, ketika dia dicium Lee Hiang, kemudian ketika Lee Siang "menciumnya! untuk mengajarnya melakukan pertolongan kepada korban lecutan belut petir. Akhirnya ketika tanpa malu-malu lagi Lee Hiang menyatakan cintanya kepadanya, bahkan diperkuat oleh ucapan-ucapan Lee Siang!
Lee Hiang jatuh cinta padanya! Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dia sudah banyak mendengar dan membaca tentang cinta, antara pria dan wanita ini. Akan tetapi, mengapa dia merasa bingung? Apakah dia tidak mencinta Lee Hiang? Dia suka sekali kepada Lee Hiang yang jenaka dan cantik manis, lincah dan merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.
Akan tetapi, terus terang saja dia sama sekali tidak merasa tertarik atau terangsang oleh Lee Hiang, bahkan ketika dara itu menciumnya di dalam air, dia merasa terkejut, malu dan tidak senang! Sebaliknya, ketika Lee Siang mengajarkan cara pertolongan itu dan beradu mulut dengan dia, dia merasa begitu terangsang dan senang, begitu nyaman dan.... dia sendiri tidak tahu perasaan apa lagi yang mengaduk hatinya. Pendeknya dia merasa mesra dan senang sekali!
Kini teringatlah dia betapa setiap malam, kalau Lee Siang sudah tidur nyenyak, seringkali dia duduk dan memandangi wajah dan tubuh temannya itu dengan perasaan yang luar biasa. Dan setelah teringat akan semua itu, teringat pula akan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya ketika pemuda itu "menciumnya!. Ciang Bun merasa terkejut, bingung dan gelisah.
Kini dia melihat kenyataan aneh dan mengejutkan yang berada dalam batinnya, yaitu bahwa dia sama sekali tidak pernah tertarik kepada kaum wanita! Memang dia dapat melihat keindahan tubuh wanita, kecantikan wajah wanita, akan tetapi semua itu sama sekali tidak menimbulkan gairah, sama sekali tidak mendatangkan kemesraan dan tidak mempunyai daya tarik baginya. Sebaliknya, dia amat tertarik kepada Ceng Liong, kepada Kao Cin Liong dan kini dia arnat tertarik kepada Lee Siang! Bahkan ketika pemuda itu "menciumnya!, dia merasa amat senang dan bangkit rangsangan gairahnya, terasa amat mesra dan menyenangkan.
"Ya Tuhan....!! Ciang Bun berseru di dalam hatinya sendiri ketika dia melihat kenyataan ini. Berahinya tidak dapat terangsang oleh wanita, melainkan oleh pria! Dengan bingung dan gelisah melihat kenyataan yang amat membedakan antara dirinya dengan kaum pria pada umumnya ini, Ciang Bun lalu menutupi muka dengan kedua tangannya dan diapun menangis!
Tiba-tiba dua buah tangan yang kuat dengan lembut memegang pundaknya dan Lee Siang bertanya halus.
"Bun-te, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis?!
Dalam keadaan sedang berduka, pertanyaan seorang yang disayang menambah keharuan hati. Ciang Bun juga demikian. Dirangkul pundaknya dan ditanya dengan suara penuh kekhawatiran itu, air matanya makin deras mengalir dan diapun balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di atas dada yang bidang itu.
Diam-diam Lee Siang merasa heran dan kasihan sekali. Heran melihat bagaimana pemuda yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat gagah perkasa ini dapat bersikap begini lemah, menangis seperti seorang wanita cengeng. Akan tetapi dia juga merasa kasihan melihat kedukaan Ciang Bun dan mengira bahwa tentu pemuda ini menangisi nasib keluarganya, yaitu kematian kakek dan para neneknya di Pulau Es dan kehilangan saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana nasibnya itu.
Maka, karena merasa iba, ketika merasa betapa Ciang Bun merangkul dan menangis di dadanya, diapun mendekapnya dan mengelus rambutnya untuk menghibur. Hal ini membuat Ciang Bun menjadi semakin terharu dan dia mengangkat mukanya yang basah, memandang kepada Lee Siang. Melihat wajah yang tampan itu memandang penuh kekhawatiran, Ciang Bun kembali merangkul.
"Siang-twako.... ah, Siang-twako....! keluhnya.
Lee Siang memeluk.
"Bun-te, adikku yang baik, kau tenangkanlah hatimu, kuatkanlah hatimu....!
Dalam rangkulan pemuda itu, Ciang Bun merasa demikian senang dan terhibur, akan tetapi dia teringat akan janggalnya perasaannya sendiri ini. Teringat bahwa diapun seorang pria, maka diapun kembali diingatkan akan keadaannya yang luar biasa itu, keadaan yang membuatnya berduka dan menangis. Maka diapun meronta dan sekali merenggutkan tubuhnya, dia telah terlepas dari pelukan Lee Siang.
"Tidak.... tidak.... jangan....!! Dan diapun meloncat dan berlari keluar dari kamar, terus keluar dari pondok itu.
"Bun-hiante....!! Lee Siang tadi terpental ketika pemuda itu meronta, dan dia memanggil dengan khawatir, akan tetapi melihat pemuda itu lari keluar, dia tidak berani mengejar, takut kalau-kalau akan membuat Ciang Bun menjadi marah dan tersinggung hatinya. Lee Siang keluar dari dalam kamarnya, lalu menghampiri kamar adiknya. Dia berpikir bahwa dalam keadaan seperti itu, orang yang paling tepat untuk menghibur hati Ciang Bun hanyalah Lee Hiang. Adiknya itu mencinta Ciang Bun dan diapun hampir merasa yakin bahwa pemuda itu tentu membalas cinta ini. Adiknya amat cantik manis, dan hubungan antara mereka itupun nampak demikian akrabnya.
Lee Hiang belum tidur dan dara ini terkejut sekali ketika mendengar cerita kakaknya bahwa Ciang Bun berduka dan menangis dan kini keluar dari dalam pondok.
"Agaknya dia teringat akan keluarga Pulau Es dan dilanda duka yang amat besar sampai dia lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. Sudah kucoba menghiburnya akan tetapi gagal, malah dia lari keluar pondok. Adikku, kalau memang engkau mencintanya, engkau harus dapat menghibur hatinya. Kasihan sekali dia.!!Baik, koko, akan kuusahakan agar dia terhibur. Kasihan Bun-ko.! Dan Lee Hiangpun lalu keluar dari dalam pondok mencari pemuda yang dicintanya itu.
Ciang Bun duduk termenung di tepi laut, menghadap ke timur di mana nampak bulan mengambang di atas air. Indah bukan main. Akan tetapi tiada keindahan baginya di saat itu. Bahkan keindahan itu menambah keharuan hatinya, karena dia teringat akan Pulau Es, teringat akan keluarga kakeknya yang binasa. Akan tetapi semua kenangan itu ditelan oleh gelombang kesedihannya karena kenyataan yang dihadapinya.
Aku seorang manusia yang tidak lumrah, pikirnya. Akan tetapi, tiba-tiba darah pendekar di tubuhnya memberontak. Dia tidak boleh bersikap lemah! Ibunya tentu akan marah-marah dan mentertawakannya. Ibunya adalah seorang pendekar wanita yang amat keras hati, yang kuat dan sama sekali tidak lemah, bahkan ibunya membenci kelemahan. Ketika dia masih kecil, kalau dia terjatuh atau mengalami nyeri dan menangis, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa tangis hanya pantas bagi seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup.
Tangis hanya tanda iba diri dan kelemahan batin, demikian kata ibunya. Ciang Bun yang duduk di atas pantai berpasir itu meugepal tinju. Kenapa dia begini lemah? Kenapa dia tidak berani menghadapi kenyataan ini dan melawannya? Dia tahu bahwa perasaannya yang berlainan dengan laki-laki biasa ini, yang condong untuk lebih menyukai pria daripada wanita, adalah sesuatu yang tidak lumrah dan dia harus dapat melawan dan menundukkannya. Akan diperlihatkannya bahwa dia adalah seorang laki-laki sejati!
"Bun-koko....! Eh, Bun-ko, engkau sedang mengapa di situ?!
Ciang Bun menoleh. Lee Hiang sudah berdiri di situ, di belakangnya. Cahaya bulan yang baru tersembul dari permukaan air itu menyorotkan cahaya kemerahan dan menimpa kepala dara itu, membuat wajah itu berada di dalam cahaya kemerahan yang indah. Seorang dara yang cantik manis dengan tubuh yang sedang ranum padat menggairahkan. Mengapa dia tidak tertarik? Bodoh! Demikian Ciang Bun mencela diri sendiri dan diapun bangkit berdiri.
"Hiang-moi....! katanya perlahan.
"Bun-ko.... ah, Bun-ko, engkau membikin aku khawatir sekali. Siang-koko bilang bahwa engkau berduka dan keluar dari pondok. Aku mencari-carimu dan melihat engkau duduk termenung di sini.! Dara itu menghampiri dan merangkul pinggang pemuda itn dengan mesra, mengangkat mukanya memandang.
"Bun-koko, jangan berduka, Bun-ko, ada Lee Hiang di sini yang akan ikut memikul semua kedukaanmu....! Bukan main lembut dan mesranya sikap dan ucapan dara itu.
Aku seorang laki-laki sejati, demikian Ciang Bun menguatkan hatinya dan dia memaksa diri, memeluk tubuh dara itu.
"Hiang-moi, engkau seorang dara yang baik sekali.!
"Bun-ko....!! Lee Hiang berkata girang dan mempererat dekapannya pada pinggang pemuda itu.
Aku harus memperlihatkan kejantananku, pikir Ciang Bun dan diapun mempererat rangkulannya. Ketika wajah dara itu terangkat ke atas, menengadah dan memandang kepadanya dengan sinar mata lembut, dengan mulut setengah terbuka, Ciang Bun lalu menundukkan mukanya dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri, mencium bibir yang menantang itu.
Ciuman itu membuat tubuh Lee Hiang menggigil dan rintihan halus keluar dari kerongkongannya. Bagi Ciang Bun sendiri, terjadi hal yang sungguh membuatnya ngeri, mulut yang panas itu, bibir yang lunak lembut itu, ketika bertemu dengan bibirnya dalam sebuah ciuman mesra, mendatangkan rasa muak! Bukan, bukan kelembutan seorang wanita yang didambakan, sama sekali bukan. Dia merindukan kejantanan seorang pria, mulut yaug kuat namun lembut, bukan lunak menyerah macam mulut wanita ini. Dia tak tahan lagi dan cepat dia merenggutkan dirinya, melepaskan pelukan.
"Tidak....! Tidak....! Jangan....!! Dan diapun, seperti tadi ketika meninggalkan Lee Siang, melarikan diri meninggalkan Lee Hiang yang berdiri bengong dengan wajah berohah pucat dan mata terbelalak.
"Bun-koko....!! Ia berteriak dan mengejar.
Sesosok bayangan lain muncul dan ikut mengejar Ciang Bun. Bayangan ini adalah Lee Siang. Pemuda ini tadi mengintai dan ikut bergembira melihat betapa adiknya dan Ciang Bun berciuman di pantai. Akan tetapi, dia ikut terkejut melihat perobahan pada diri Ciang Bun dan ketika Ciang Bun melarikan diri dan dikejar oleh adiknya, diapun ikut mengejar dengan hati khawatir.
Ciang Bun berdiri di tepi pantai utara, berdiri seperti arca memandang jauh ke depan, tanpa bergerak sama sekali, wajahnya pucat dan matanya sayu.
"Bun-koko....!!
"Bun-hiante....!!
Dia membalik, memandang kepada dua orang kakak beradik itu dengan muka pucat dan diapun menghardik.
"Pergilah kalian! Jangan dekati aku....! Pergiiii....!!
Terdengar Lee Hiang terisak dan Lee Siang menahan napas saking kagetnya melihat sikap pemuda yang mereka sayang itu. Ciang Bun biasanya bersikap ramah dan halus, akan tetapi mengapa sekarang begitu berobah sikapnya, menjadi kasar dan seperti orang yang marah sekali?
Akan tetapi Lee Siang mempunyai pemandangan yang jauh dan bijaksana. Dia memegang lengan adiknya dan berkata lirih.
"Baiklah, kami pergi, kami hanya ingin menghiburmu, Bun-te. Marilah, adikku!! Dan diapun setengah menyeret tubuh Lee Hiang meninggalkan Ciang Bun sendirian.
Sejenak Ciang Bun masih berdiri tegak dengan sikap marah seperti tadi, memandang ke arah dua sosok bayangan yang pergi dengan lemas itu. Kemudian, terasalah seluruh tubuhnya lemas seperti dilolosi urat-uratnya dan diapun terkulai, jatuh berlutut di atas pasir.
"Ya Tuhan, ampunilah hamba....!! Dia mengeluh dengan hati penuh penyesalan. Dan semalam itu dia duduk bersila di pantai, tidak pernah beranjak dari tempat itu.
Dia bingung sekali. Ketika berada dalam pelukan Lee Siang, terjadi perang dalam batinnya. Perasaannya senang akan tetapi pikirannya menentang. Sebaliknya, ketika dia memeluk dan mencium Lee Hiang, pikirannya mendorong akan tetapi perasaannya menentang keras. Dia menjadi bingung, menyesal dan berduka.
Liu Ek Soan menerima laporan tentang keadaan Ciang Bun dari dua orang cucunya. Kakek ini menarik napas panjang.
"Keturunan keluarga Pulau Es sudah tentu memiliki keanehan-keanehan watak yang tidak kita mengerti. Biarkanlah saja, jangan ganggu. Besok baru aku akan bicara dengannya.!
Pada keesokan harinya kakek itu menghampiri Ciang Bun yang masih duduk bersila di tepi pantai dan menegur halus.
"Ciang Bun, sepagi ini engkau sudah berada di sini dan kelihatan susah hatimu, anak baik?!
Ciang Bun menoleh lalu berkata dengan sedih.
"Liu-kong-kong, hari ini aku mohon diri darimu. Aku akan pergi untuk mencari saudara-saudaraku yang terpisah dariku atau aku akan pulang dan melaporkan semua hal itu kepada orang tuaku.!
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu menarik napas panjang.
"Kami akan merasa kehilangan, Ciang Bun. Akan tetapi bagaimana lagi, memang sepatutnya kalau engkau melaporkan semua yang terjadi kepada orang tuamu. Sudah tiga bulan lebih engkau di sini dan semua dasar ilmu dalam air telah engkau kuasai, tinggal melatih dan memahirkan saja. Akan tetapi ada suatu hal yang amat penting yang ingin kubicarakan denganmu, anak baik.!
"Hal apakah itu, kong-kong?!
"Tentang engkau dan Lee Hiang! Anak itu telah mengaku kepadaku bahwa ia amat mencintamu dan engkau pun tentu tahu akan hal ini. Maka, jika kiranya engkau dan orang tuamu tidak menganggap kami terlalu rendah, aku ingin sekali menjodohkan Lee Hiang denganmu.!Ciang Bun menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat akan kebaikan kakek ini dan dua orang cucunya, tentu dia akan menolak keras pada saat itu juga. Akan tetapi dia tidak tega untuk menyinggung perasaan kakek ini, maka diapun cepat berkata.
"Aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal perjodohan, Liu-kong-kong. Pula, soal perjodohan itu tergantung kepada ayah bundaku. Aku sendiri tidak dapat membicarakannya.!
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Memang benar sekali ucapanmu itu. Pada suatu hari aku tentu akan menghadap orang tuamu di Thian-cin untuk membicarakan urusan ini. Aku hanya memberi tahu kepadamu agar engkau mengetahuinya lebih dulu. Akan tetapi, kalau engkau hendak pergi mencari saudara-saudaramu atau menuju ke daratan besar, biarlah Lee Siang dan Lce Hiang mengantar dan menemanimu.!
"Tidak, Liu-kong-kong, tidak usah! Aku pergi sendiri. Aku tahu bahwa letak daratan berada di barat dan sekarang, setelah aku menerima pelajaran tentang ilmu dalam air darimu, aku tidak takut menghadapi badai.!
Kakek itu tidak dapat membantah lagi dan ketika Lee Siang dan Lee Hiang diberi tahu, mereka berdua segera datang menemui Ciang Bun. Begitu melihat mereka, Ciang Bun segera berkata, suaranya penuh penyesalan.
"Siang-twako dan Hiang-moi, harap kalian berdua sudi maafkan sikapku semalam....!
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bun-te. Antara kita sendiri, mana perlu sungkan dan maaf? Hanya aku menyesal bahwa kami tidak dapat menghibur hatimu yang sedang duka.!
"Sudahlah, semua itu karena kebodohanku sendiri, twako.!
"Bun-koko.... engkau.... engkan hendak pergi....?! Lee Hiang bertanya, suaranya mengandung kedukaan, tidak seperti biasa suaranya selalu lincah jenaka.
Ciang Bun memandang wajah dara itu dan diam-diam dia merasa kasihan kepada dara yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia merasa yakin bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta Lee Hiang atau wanita yang manapun juga di dunia ini. Cintanya terhadap Lee Hiang hanya cinta seperti seorang kakak terhadap adiknya, atau paling-paling seperti cinta seorang sahabat saja, cinta tanpa daya tarik dan gairah.
"Benar, siauw-moi, aku harus pergi melaporkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayah bundaku.!
"Kau pergi.... untuk selamanya.... dan tidak akan kembali lagi ke sini....?!
"Ah, kenapa engkau berkata demikian, adikku?! Ciang Bun berkata ramah.
"Selagi kita masih hidup, tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi.!
"Tapi, kapan, koko....? Ah, aku tentu akan merasa kehilangan sekali.... hidup akan terasa hampa dan tidak menyenangkan tanpa engkau di pulau ini. Aku akan merana dan berduka.... ah, Bun-ko yang tercinta, bagaimana engkau tega meninggalkan aku? Aku ikut....!! Dan Lee Hiang memandang dengan air mata mulai membasahi kedua matanya.
Ciang Bun merasa kasihan sekali. Dia maju menghampiri dan memegang kedua tangan dara itu, sikap dan perasaannya seperti seorang kakak terhadap adiknya tersayang.
"Adikku yang baik, jangan menangis. Engkau bukan seorang dara yang cengeng dan engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat melupakan engkau, Siang-twako, dan Liu-kong-kong. Kelak kita pasti akan bertemu kembali.!
Lee Hiang sesenggukan dan menangis di atas dada Ciang Bun. Pemuda ini sekarang tidak lagi merasa canggung karena dia menganggap dirinya sebagai seorang kakak yang menghibur adiknya yang tersayang. Dielusnya rambut kepala dara itu dan dihiburnya dengan kata-kata halus sampai akhirnya Lee Hiang terhibur dan berhenti menangis.
"Bun-ko, kalau sampai lama engkau tidak datang, aku tentu akan pergi menyusul dan mencarimu!! katanya.
"Aih, moi-moi, jangan bodoh. Kong-kong tentu akan menguruskan perjodohan kalian!! kata Lee Siang, tidak tahu betapa ucapannya itu menusuk perasaan Ciang Bun dan membuat pemuda itu merasa amat tidak tenang hatinya.
Akhirnya, berangkatlah Ciang Bun naik sebuah perahu, dibekali perlengkapan secukupnya oleh kakek Liu, berikut petunjuk yang jelas arah mana yang harus ditempuhnya untuk mencapai pantai daratan besar.
!Angin bertiup dengan baiknya dan udara amat baik, kalau tidak keliru perhitunganku, dalam waktu dua hari semalam engkau akan mencapai daratan, Ciang Bun,! kata kakek itu. Dengan diantar oleh lambaian tangan dan tatapan mata tiga orang pulau itu, berikut air mata yang menetes-netes turun dari kedua mata Lee Hiang, berangkatlah Ciang Bun dan diapun memandang ke arah pula itu sampai lambat-laun tiga buah titik di atas pulau yang makin mengecil itu tidak dapat nampak lagi.
Perahunya meluncur cepat ketika layarnya terkembang penuh. Sambil mengemudikan perahu, pemuda ini termenung. Terjadi keadaan yang bertentangan antara lahir dan batinnya. Matanya melihat betapa perahunya meluncur cepat menuju ke arah tertentu, demikian lancar dan penuh harapan. Akan tetapi mata batinnya melihat betapa masa depan kehidupannya tak menentu dan suram. Keadaan ini membuat mnlutnya bergerak, perasaan dan pikirannya menciptakan sebuah sajak keluhan.
"Perahuku meluncur laju
menuju arah tertentu
angin kencang layar terkembang
di depan terang cemerlang!
Namun betapa suram jalan hidupku
hati gelisah tak menentu
gelap pekat meraba-raba
tak tahu harus ke mana?!
"Ayah....! Ibu....!!
Melihat Sama Hui datang bersama seorang pemuda tampan dan dara itu dari pekarangan sudah lari menghampiri mereka sambil menangis, hati Suma Kian Lee dan isterinya diliputi kekhawatiran yang timbul dari kejutan dan keheranan. Mereka mengenal puteri mereka yang cerdik, lincah dan galak, keras hati dan tidak mudah menjadi lemah, tidak mudah menangis cengeng menghadapi apapun juga. Kalau sekarang puteri mereka sampai demikian sedihnya, tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat. Puteri mereka berada di Pulau Es bersama Ciang Bun, akan tetapi sekarang puteri mereka itu pulang tanpa Ciang Bun, bahkan bersama seorang pemuda asing, dan dara itu menangis seperti itu!
Suma Kian Lee, ayah Suma Hui, adalah seorang pendekar sakti, putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Lulu. Berbeda dengan Suma Kian Bu, pendekar ini orangnya serius, pendiam, tenang dan sabar. Isterinya bernama Kim Hwee Li, dahulunya seorang gadis petualang yang gagah perkasa dan berani, yang berkecimpung di dalam dunia kaum sesat namun tak pernah ikut menjadi jahat, seperti mutiara yang terendam di lumpur, tetap cemerlang bahkan lebih cemerlang.
Akan tetapi, hidup di antara kaum sesat itu membuat hatinya menjadi keras sekali dan tidak pernah merasa takut, sedangkan ilmu kepandaiannya juga amat hebat. Ia berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun sekarang, empat tahun lebih muda dari suaminya, namun, dengan pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, ia masih nampak ramping dan padat, wajahnya masih tetap cantik dan nampak jauh lehih muda daripada usianya yang sesungguhnya.
Mereka hidup dengan tenang di Thian-cin, sebuah kota di selatan kota raja. Seperti telah kita ketahui, dua orang anak mereka, yaitu Suma Hui dan Suma Ciang Bun, menemani kakek nenek mereka di Pulau Es sambil memperdalam ilmu mereka. Tentu saja suami isteri ini merasa kesepian setelah dua orang anak mereka pergi ke Pulau Es dan hampir setiap hari mereka membicarakan dua orang anak mereka dengan hati rindu. Mereka tidak menyangka bahwa pagi hari itu, selagi mereka duduk di serambi depan, mereka akan melihat puteri mereka pulang dalam keadaan yang demikian mengherankan dan mengkhawatirkan.
Suami isteri itu menyambut Suma Hai dengan rangkulan dan ciuman. Kalau Suma Kian Lee bersikap tenang-tenang saja, tidak demikian dengan Kim Hwee Li. Setelah merangkul dan menciumi pipi puterinya, ibu ini membentak.
"Apa-apaan engkau ini, Hui-ji? Hayo hentikan kecengenganmu ini dan ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi denganmu! Dan mana Ciang Bun?!
"Nanti dulu,! kata Kian Lee.
"Hui-ji, perkenalkan dulu siapa orang muda yang datang bersamamu ini.!
Suma Hui juga memiliki kekerasan hati seperti ibunya, maka sebentar saja ia sudah dapat menguasai hatinya dan menghentikan tangisnya.
"Ayah, ibu, dia ini adalah Kao Cin Liong, putera dari enci Wan Ceng.!
"Aihhh....! Jadi engkau ini putera Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu?! Kim Hwee Li berseru girang.
"Hemm, kalau begitu masih cucu keponakanku sendiri, bukan orang lain. Mari kita masuk dan bicara di dalam,! kata Kian Lee dengan sikapnya yang tenang.
Kao Cin Liong memandang kepada sepasang pendekar itu dengan kagum. Sikap kakek pamannya itu sungguh mengagumkan, begitu tenang dan terkendali, sebaliknya suami isteri pendekar itupun membayangkan keagungan dan wibawa yang gagah perkasa. Hatinya terasa gentar dan mengecil kalau dia teringat bahwa dia telah jatuh cinta dengan Suma Hui dan dia gentar membayangkan bagaimana suami isteri pendekar ini akan bersikap kalau mendengar akan urusan cintanya itu. Maka diapun cepat menjura dengan hormat. Sebenarnya dia harus menyebut cek-kong (kakek paman) kepada pendekar ini, akan tetapi dia tidak berani dan menyebut locianpwe, sebutan yang menghormat dalam dunia persilatan terhadap orang yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya.
"Terima kasih, locianpwe.!
Merekapun memasuki ruangan dalam. Setelah pelayan mengeluarkan air teh, Hwee Li menutupkan pintu yang menembus ruangan itu sebagai tanda bahwa para pelayan tidak diperkenankan masuk atau mendekat. Setelah itu berkatalah nyonya ini.
"Nah, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi.!
"Ohh, ibu, telah terjadi malapetaka yang amat hebat menimpa keluarga kita....! Suma Hui mengeluh.
"peristiwa yang amat buruk....!
"Setiap peristiwa yang terjadipun terjadilah. Setiap penilaian baik atau buruk hanya menipiskan kewaspadaan,! kata Kian Lee mencela pendapat puterinya.
"Ceritakan saja selengkapnya dan jangan menilai.!
Akan tetapi Hwee Li sudah memegang lengan puterinya dan cengkeramannya itu kuat sekali sehingga kalau bukan puterinya yang dicengkeram, tentu tulang lengan itu akan patah atan setidaknya kulit lengan itu akan terluka! "Hayo cepat katakan, apa yang telah terjadi?!
Karena maklum akan watak ibnnya yang dikenaluya dengan baik, yaitu tidak sabaran dan menjadi kebalikan dari watak ayahnya, Suma Hui tidak mau membuat ibunya kehilangan kesabaran, maka iapun langsung saja menceritakan inti semua peristiwa dengan kata-kata lirih.
"Kakek dan kedua orang nenek telah tewas, Pulau Es telah terbakar habis dan lenyap, adik Ciang Bun terjatuh ke dalam lautan berbadai dan lenyap, sedang adik Ceng Liong dilarikan oleh Hek-i Mo-ong!!
Suma Kian Lee adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin kuat, tenang dan bijaksana, sedangkan isterinya adalah seorang pendekar wanita yang gagah dan tabah, tidak mengenal takut. Akan tetapi, berita yang diucapkan dari mulut puteri mereka sekali ini sungguh terlalu amat hebat!
Wajah Kian Lee menjadi pucat dan alisnya berkerut, matanya memandang jauh dengan kosong dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, sedangkan isterinya juga terbelalak pucat, mulutnya terbuka dan mulut itu ditutup dengan punggung tangan seolah-olah nyonya ini hendak menahan jeritnya. Suasana menjadi sunyi dalam beberapa detik, kesunyian yang mengerikan dan suasana menjadi tegang penuh getaran.
"Tidak....! Tidak mungkin....! Siapa yang melakukan itu? Siapa? Hayo katakan, siapa yang melakukan kebiadaban itu? Akan kuhancurkan kepalanya, kupecahkan dadanya, kupatahkan kaki tangannya!! Nyonya itu bangkit dan mengepal tinjunya, dan Cin Liong mendengar suara berkerotokan pada buku-buku jari tangan yang masih halus itu! Bukan main hebatnya nyonya ini, pikirnya kagum dan juga gentar.
Melihat keadaan isterinya tercinta itu, Kian Lee melangkah maju dan memegang kedua tangan Hwee Li. Nyonya yang seperti tak sadar ini merasakan hawa yang hangat menggetar memasuki kedua lengannya dan iapun tersadar, lalu menoleh memandang suaminya dan tiba-tiba ia terisak, merangkul suaminya dan menangis tanpa suara di dada suaminya. Kian Lee memejamkan kedua matanya dan mengelus rambut isterinya, menepuk-nepuk bahu isterinya, suatu gerakan yang sebenarnya untuk menepuk hatinya sendiri setelah mendengar akan kematian ayah bundanya di Pulau Es itu.
"Tenanglah.... mati hidup adalah wajar, bukan kita yang menguasainya....! katanya lirih sekali sehingga seperti bisikan dan tidak kentara kalau suaranya tergetar.
Hanya sebentar saja nyonya itu menangis tanpa suara, hanya pundaknya yang bergoyang sedikit. Kini ia telah mengangkat mukanya dari dada suaminya dan bukti tangisannya hanyalah baju suaminya yang menjadi basah dan matanya yang agak merah. Akan tetapi kini tidak nampak setetespun air mata pada mata atau pipinya ketika ia duduk kembali.
"Hui-ji, kini ceritakanlah selengkapnya terjadinya peristiwa itu,! Kian Lee berkata dengan suara yang lirih dan lesu.
Untuk kedua kalinya, pcrtama kali kepada Suma Kian Bu dan isterinya, dan kedua kalinya kepada ayah bundanya, Suma Hui menceritakan peristiwa di Pulau Es itu, didengarkan oleh ayah bundanya dengan penuh perhatian. Tentang peuyerbuan para datuk, tentang kedatangan Cin Liong dan kemudian tentang kematian dua orang neneknya yang disusul kematian aneh dari kakeknya.
Kemudian tentang penyerbuan para datuk dan anak buahnya atas perahu mereka sehingga mereka cerai-berai dan tentu saja Suma Hui menceritakan dan menonjolkan peran Cin Liong yang telah banyak berjasa itu. Bahkan dara itu menceritakan dengan teliti tentang jasa dan pertolongan Cin Liong kepadanya ketika dia ditawan oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng.
"Kalau tidak ada Cin Liong yang menyelamatkan aku, mungkin hari ini aku hanya tinggal nama saja,! demikian dara itu menutup kata-katanya sambil mengerling ke arah Cin Liong.
"Bibi Hui terlalu memuji-muji saya, sesungguhnya saya merasa menyesal sekali tidak dapat melindungi para paman kecil sehingga tidak diketahui bagaimana dengan nasib mereka sekarang.! Cin Liong merendahkan diri.
"Jadi di antara lima orang datuk itu, tiga telah tewas dan yang masih hidup adalah Hek-i Mo-ong yang melarikan Ceng Liong dan Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng itu?! tanya Kim Hwee yang seolah-olah hendak mencatat kedua nama itu baik-baik ke dalam ingatannya.
"Betul, ibu,! kata Suma Hui.
"Akupun kelak harus dapat membalas sakit hati ini kepada dua orang datuk sesat itu, mencari adik Ciang Bun dan menolong adik Ceng Liong.!
"Mudah saja engkau bicara,! kata Suma Kian Lee.
"Mereka adalah orang-orang lihai, kalau tidak mana mungkin kedua orang nenekmu sampai tewas? Pula, nama Hek-i Mo-ong sudah amat tersohor karena ilmu-ilmunya yang hebat. Engkau tinggal di rumah, aku sendiri yang akan mencari Ciang Bun.!
"Aku juga pergi!! kata Kim Hwee Li.
"Biar Kian Bu dan isterinya menyusul dan mencari Ceng Liong sedangkan kita pergi mencari anak kita yang hilang. Perkara balas dendam, kelak kita rundingkan bersama keluarga Pulau Es.!
Kian Lee tidak dapat membantah keinginan isterinya. Cin Liong lalu berkata dengan sikap hormat.
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Karena sudah berhasil menemani bibi Hui sampai di rumah, perkenankan saya untuk melanjutkan tugas saya. Dan saya berjanji untuk ikut juga mendengarkan berita tentang paman-paman kecil Ciang Bun dan Ccng Liong.!
"Tugasmu sebagai jenderal?! tanya Kim Hwee Li tertarik.
"Benar, locianpwe. Saya ditugaskan oleh sri baginda kaisar untuk menyelidiki berita tentang pergerakan-pergerakan para pemberontak di barat dan utara. Saya ke Pulau Es juga hanya kebetulan saja dalam perjalanan saya melakukan tugas itu, ketika saya melihat rombongan anak buah para datuk itu membicarakan tentang Pulau Es. Sekarang saya akan melapor dulu ke kota raja, kemudian melanjutkan perjalanan ke barat.!
Kian Lee mengangguk-angguk.
"Kalau memang begitu, tidak sepatutnya kami menahanmu, Cin Liong. Dan kami sekeluarga mengucapkau terima kasih atas segala bantuanmu, baik terhadap keluarga Pulau Es maupun terhadap Hui-ji.!
"Saya kira tidak perlu demikian, locianpwe, mengingat bahwa di sana terdapat pula nenek buyut Lulu dan agaknya sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu keluarga Pendekar Super Sakti Suma Han locianpwe dari serbuan para penjahat. Nah, saya mohon diri, locianpwe.! Dia memberi hormat kepada Suma Kian Lee dan Hwee Li, kemudian menghadapi Suma Hui.
"Bibi Hui, selamat tinggal....!
"Cin Liong....!! kata Suma Hui ketika ia melihat pemuda itu melangkah keluar, lalu ia meragu dan akhirnya ia lari menghampiri dan berbisik.
"Bagaimana dengan urnsan kita....?!
"Jangan khawatir, sebelum pergi ke barat, aku akan memberitahukan orang tuaku,! bisik Cin Liong kembali, lalu dia menjura lagi dan pergi dari situ, meninggalkan Suma Hui yang berdiri termangu-mangu dan merasa betapa hatinya perih dan sepi ditinggal pemuda yang semenjak beberapa lama menemaninya dan telah memenuhi hatinya itu. Ia tidak tahu betapa suami isteri itu saling pandang dengan penuh arti, dan Suma Kian Lee membalikkan tubuhnya dengan tiba-tiba.
Malam itu Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bicara bisik-bisik di dalam kamar gadis itu.
"Hui-ji, engkau cinta padanya, bukan?!
Dalam pelukan ibunya, Suma Hui mengangguk. Suasana sunyi dan tegang karena Suma Hui maklum betapa pentingnya pengakuannya itu bagi ibunya dan ia menantikan datangnya teguran ibunya.
Setelah hening beberapa lama, terdengar suara ibunya, akan tetapi bukan suara marah sehingga debar jantung di dalam dada Suma Hui menjadi tenang.
"Hui-ji, sudah kau yakini akan cintamu itu?!
Kembali Suma Hui hanya mengangguk tanpa mengangkat mukanya yang tersembunyi dalam rangkulan ibunya. Setelah semua peristiwa hebat yang dialaminya selama berturut-turut ini, kini ia merasa aman sentausa dalam rangkulan ibu kandungnya.
Kembali sunyi sejenak. Dan kini kembali suara ibunya terdengar halus tanpa kemarahan.
"Akan tetapi dia keponakanmu dan dia menyebutmu bibi!!
Biarpun ibunya tidak terdengar marah, akan tetapi jawaban halus ini bagi Suma Hui tetap saja merupakan kata-kata yang sifatnya menentang, maka iapun merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya dan bangkit berdiri lalu mundur, memandang kepada ibunya yang duduk di atas pembaringannya itu dari jarak dua meter. Sampai beberapa lamanya dua orang wanita yang hampir serupa wajahnya itu saling pandang, dan barulah Suma Hui merasa yakin bahwa ibunya tidak marah dan tidak menentangnya. Maka iapun menubruk ibunya, duduk lagi dan merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dengan sikap manja.
"Akan tetapi dia itu lebih tua dariku, lebih pandai, lebih berpengalaman, dan lebih segala-galanya, ibu. Dia adalah seorang jenderal muda kepercayaan kaisar, dia gagah perkasa, berilmu tinggi, dan bijaksana, berbudi baik. Dialah yang membantu keluarga kakek di Pulau Es, dan dia pula yang menyelamatkan aku dari bencana besar. Pula hanya kebetulan saja dia itu terhitung keponakanku, padahal, hubungannya sudah amat jauh!!
"Memang sesungguhnya demikian. Kakek dari Cin Liong, kakek luar, yaitu ayah dari ibunya yang bernama Wan Keng In, hanyalah kakak tiri ayahmu, seibu berlainan ayah. Jadi, kalaupun ada hubungan darah antara engkau dan dia, hanyalah melalui darah nenekmu saja, akan tetapi pihak kakek, sama sekali berlainan.!
Mendengar ini, Suma Hui bangkit dan memandang ibunya penuh harapan.
"Kalau begitu, ibu setuju?!
Kim Hwee Li menahan rasa panas di kerongkongannya dan ia seperti menelan kembali air matanya. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, hatinya dilanda keharuan mendalam membicarakan urusan perjodohan puterinya sebagai anaknya yang pertama. Lalu ia memandang wajah puterinya dan mengangguk.
"Ibu sih setuju saja.!
"Ibuuu....!! Suma Hui merangkul dan menciumi pipi ibunya.
"Ibu memang seorang yang amat berbudi....! Terima kasih, ibu.!
Kim Hwee Li mengejap-ngejapkan matanya dan bahkan mengusap dua titik air mata dengan ujung lengan bajunya. Di depan anaknya perempuan, ia tidak begitu malu menitikkan air mata walaupun sejak kecil ia melarang anak-anaknya menangis.
"Jangan bergirang-girang dahulu, Hui-ji. Aku tahu, ayahmu amat memperhitungkan urusan pertalian darah. Bahkan kalau aku tidak salah dengar, dahulu kabarnya pernah ayahmu sebelum bertemu dengan aku, jatuh hati kepada Ceng Ceng, akan tetapi begitu mengetahui bahwa Wan Ceng adalah keponakan tirinya, segera perasaan itu dibuangnya jauh-jauh. Entah bagaimana pendapatnya kalau mendengar bahwa engkau saling mencintai dengan orang yang masih terhitung keponakanmu sendiri. Aku khawatir, ayahmu tidak akan senang mendengarnya.!
"Akan tetapi.... ayah tidak layak menghalangi kebahagiaan hidupku, ibu!! kata Suma Hui, sikapnya keras.
Kim Hwee Li menarik napas panjang. Ia mengenal watak anaknya yang keras, dan suaminya walaupun pendiam dan tenang, namun juga di dasar hatinya memiliki kekerasan dan pendirian yang teguh. Maka ia melihat bayangan yang tidak menyenangkan dalam peristiwa ini.
"Mudah-mudahan saja tidak akan timbul pertentangan dalam keluarga kita sendiri karena urusanmu ini, Hui-ji. Aku akan berusaha melunakkan hati ayahmu.!
"Terima kasih, ibu.... engkau baik sekali! Ahh, aku amat mencintamu, ibu....!! Suma Hui kembali merangkul ibunya dan beberapa lamanya ibu dan anak ini saling melepas rasa rindunya dan juga membicarakan nasib Ciang Bun yang belum ada beritanya itu dengan hati khawatir.
Pada malam hari itu juga, agak larut, tidak lama setelah Kim Hwee Li keluar dari kamar puterinya, terjadi percakapan berbisik-bisik di dalam kamar suami isteri itu.
"Tidak! Tidak mungkin dan tidak boleh! Sungguh tidak tahu aturan sekali. Apakah mereka sudah buta sehingga tidak melihat bahwa mereka melakukan pelanggaran yang amat besar dan amat memalukan? Nama keluarga kita akan hancur oleh perbuatan yang tidak sopan itu. Aib akan menimpa nama kita. Anak kita itu perlu ditegur dan juga pemuda itu akan kutegur dengan keras!!
Dengan muka merah Suma Kian Lee berkata setelah mendengar keterangan isterinya bahwa puterinya saling mencintai dengan Kao Cin Liong, hal yang memang sudah disangkanya ketika pemuda itu berpamit kepada Suma Hui dan yang membuat dia merasa tidak enak sekali. Dialah yang menyuruh isterinya menyelidiki persoalan itu untuk meyakinkan hati, dan kini mendengar laporan isterinya bahwa memang benar puterinya jatuh cinta kepada pemuda yang menjadi keponakannya sendiri, dia marah bukan main.
"Akan tetapi, hubungan keluarga itu sudah jauh sekali, hanya melalui mendiang nenek Lulu,! isterinya mencoba untuk membantah.
"Jauh atau dekat, Kao Cin Liong itu adalah keponakan Hui-ji dan menyebutnya bibi. Apa akan dikata orang kalau mendengar bahwa anak kita berjodoh dengan seorang keponakannya sendiri? Muka kita seperti dilumuri kotoran! Dan engkau tahu, nama dan kehormatan lebih berharga daripada nyawa!! Makin bicara, makin marahlah Kian Lee.
"Panggil Hui-ji ke sini, biar malam ini juga kutegur anak itu!!
"Tenanglah, suamiku. Hui-ji baru saja mengalami hal-hal yang amat mengerikan. Biarkan ia beristirahat. Mungkin karena kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Cin Liong, apalagi karena Cin Liong telah menolongnya dari tangan Jai-hwa-cat, maka ia tertarik dan jatuh hati. Akan tetapi, belum tentu hal itu berakhir dengan perjodohan. Kita harus ingat bahwa Cin Liong juga mempunyai orang tua dan kurasa, ayah bundanyapun belum tentu setuju kalau mendengar putera mereka hendak berjodoh dengan seorang bibinya. Biarlah kita menunggu perkembangan. Kalau benar mereka itu datang meminang, masih banyak waktu bagimu untuk menolak pinangan itu.!
"Kalau Kao Kok Cu dan Wan Ceng berani datang meminang anak kita, berarti mereka menghinaku dan aku akan menghajar mereka!! kata pula Kian Lee semakin panas.
Isterinya lalu merangkulnya.
"Ihh, jadi pemarah amat engkau? Makin tua makin pemarah, sungguh tak baik itu. Sudahlah, mari kita tidur. Kita masih mempunyai kepentingan lain yang lebih mendesak, yaitu cepat mencari dan menemukan anak kita Ciang Bun.!
Diingatkan akan Ciang Bun, Kian Lee terdiam dan termenung penuh kegelisahan dan kedukaan. Namun, isterinya yang amat mencintanya itu pandai menghibur hatinya sehingga akhirnya sepasang suami isteri pendekar itupun tertidur.
Akan tetapi, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee sudah berkata kepada isterinya.
"Isteriku, sebelum kita berangkat mencari Ciang Bun, kita harus lebih dulu mengatur sebaiknya untuk Hui-ji.!
"Apa maksudmu?!
"Maksudku, niatku yang pernah terpendam di hatiku untuk menjodohkan Hui-ji dengan Louw Tek Ciang, akan kulaksanakan.!
"Putera Louw-kauwsu (guru silat Louw) itu? Ah, suamiku, apakah itu bijaksana? Hui-ji belum berkenalan dengan dia.!
"Sudah kupikir masak-masak semalam. Kuyakin lebih bijaksana daripada membiarkan ia jatuh cinta kepada keponakannya sendiri. Tek Ciang itu kulihat cukup baik dan berbakat dalam ilmu silat. Juga engkau tahu Louw- twako adalah sahabatku terbaik di kota ini dan dia adalah seorang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang cukup baik, berwatak gagah pula.!
"Tapi.... bagaimanapun juga, ilmu silatnya masih jauh di bawah tingkat Hui-ji, apakah hal ini tidak akan mengecewakan kelak?!
"Hal itu tidak perlu khawatir, aku akan mengambilnya sebagai murid dan aku sendiri akan menggemblengnya sehingga dia cukup pantas menjadi suami Hui-ji.!
"Ahhh....!! Kim Hwee Li mengerutkan alisnya. Melihat kekhawatiran isterinya, Kian Lee memegang pundaknya dan berkata dengan tegas.!Isteriku, demi kebahagiaan anak kita di kemudian hari, demi menjaga baik nama dan keturunannya, kita harus berani bertindak bijaksana dan tepat. Hari ini juga aku akan pergi mengunjungi Louw-twako untuk bicara soal itu, dan kalau kita pergi mencari Ciang Bun, kita boleh undang Tek Ciang agar sementara tinggal di sini menemani Hui-ji. Dengan demikian mereka berkesempatan untuk saling berkenalan. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali?!
Percakapan dengan ayahnya itulah yang menimbulkan guncangan hebat dalam batin Tek Ciang dan tanpa disadarinya, dia memandang rendah kepada kaum wanita, bahkan ada timbuh semacam kebencian! Akan tetapi, hal ini tumbuh di bawah sadar dan dia sendiri tidak merasakannya, karena pada lahirnya, dia suka melihat wanita-wanita cantik dan bukan tergolong seorang pemuda alim.
Dengan para murid ayahnya yang sudah dewasa, kadang-kadang dia pergi bermain-main dan ada kalanya pula dia terbawa oleh teman-teman itu pergi mengunjungi tempat pelesir dan bergaul dengan pelacur-pelacur sehingga dalam hal permainan cinta, Tek Ciang bukanlah pemuda yang hijau. Akan tetapi, dia bersikap halus dan kelakuannya sopan seperti seorang terpelajar, maka tidak seorangpun yang akan menduga bahwa sebetulnya pemuda ini tidak asing di antara para pelacur kelas tinggi di kota Thian-cin. Tek Ciang terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya terlihat oleh umum di tempat pelacuran itu, maka ayahnya sendiripun tidak tahu bahwa putera tunggalnya itu bukanlah seorang perjaka tulen dan kadang-kadang menghamburkan uang di tempat pelesir itu.
Juga dia tidak tahu bahwa biarpun pada lahirnya begitu halus, ramah dan sopan, namun setelah berada berdua saja dengan seorang pelacur di dalam kamar, pemuda itu dapat bersikap lain, menjadi kejam dan suka mempermainkan wanita pelacur sesuka hatinya, suka menghinanya dan agaknya menikmati penderitaan lahir batin seorang wanita pelacur. Maka, pemuda ini tersohor sebagai pemuda yang kejam dan tidak disukai di kalangan para pelacur, walaupun dia memang royal dengan uangnya.
Louw Kam atau Louw-kauwsu bersahabat dengan pendekar sakti Suma Kian Lee. Tentu saja guru silat ini mengenal siapa pendekar itu, dan selain kagum, juga amat hormat kepadanya. Maka, dia merasakan sebagai kehormatan besar sekali dapat berkenalan bahkan bersahabat dengan pendekar sakti itu.
Kunjung-mengunjung di antara mereka sering terjadi, dan perkenalannya dengan pendekar ini sungguh amat menguntungkan dirinya. Perguruannya semakin maju karena para murid itu berpendapat bahwa seorang guru silat yang menjadi sahabat pendekar sakti Suma Kian Lee, tentu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Bahkan kalau ada yang diam-diam memusuhi guru silat ini, menjadi gentar melihat hubungan yang akrab antara Louw-kauwsu dan pendekar sakti itu. Karena hubungan persahabatan ini maka martabat Louw-kauwsu ikut terangkat.
Demikianlah perkenalan kita dengan keluarga Louw ini dan pada suatu pagi, Louw-kauwsu merasa girang sekali melihat munculnya Suma Kian Lee di depan pintu rumahnya. Akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat wajah pendekar itu nampak agak muram yang berarti bahwa hati sahabat yang dihormatinya itu tentu sedang kesal.
"Ah, selamat pagi, Suma-taihiap!! kata guru silat itu dengan ramah.
"Silahkan masuk dan duduk. Sungguh gembira sekali hati saya menerima kunjungan taihiap sepagi ini.!
"Terima kasih, Louw-twako,! kata Suma Kian Lee dan merekapun duduk menghadapi minuman teh panas sebagai sarapan pagi di atas meja.
"Eh, kenapa taihiap memakai pakaian berkabung?! Tiba-tiba guru silat itu terkejut ketika melihat pakaian serba putih dan tanda berkabung yang dipakai oleh pendekar itu.
Pendekar itu menarik napas panjang. Dia tidak ingin menceritakan tentang malapetaka yang menimpa keluarga ayah bundanya di Pulau Es, akan tetapi pakaian berkabung yang dipakainya itu tentu saja tidak dapat disembunyikan. Mengingat bahwa guru silat ini adalah sahabat baiknya dan juga bahkan mungkin akan menjadi calon besannya, maka dia mengambil kebijaksanaan untuk berterus terang saja.
"Anak perempuan kami pulang dari Pulau Es kemarin....!
"Ah, Siocia sudah pulang? Tentu telah membawa ilmu-ilmu yang luar biasa dari Pulau Es!! teriak guru silat itu dengan kagum.
"Ia membawa berita buruk, yaitu bahwa ayah ibuku telah meninggal dunia.!
"Ahhh....!! Guru silat itu terkejut bukan main, cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada pendekar itu sambil berkata.
"Maafkan saya, taihiap, karena tidak tahu maka berani bicara sembarangan. Semoga saja Thian dapat menerima arwah orang tua taihiap dan memberi tempat yang baik.!
"Terima kasih, Louw-twako. Kematian adalah hal yang wajar saja dan kami dapat menerimanya dengan tenang. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang, terjadi malapetaka di perahu yang mengakibatkan puteraku hilang....!
"Ahhh!! Untuk kesekian kalinya guru silat itu terkejut.
"Suma-kongcu hilang? Ke mana dan bagaimana?!
"Dia tercebur ke lautan, terpisah dari encinya dan sampai kini belum ada kabar-kabar tentang dia.!
"Siancai....! Sungguh saya ikut merasa berduka sekali, taihiap. Bagaimana malapetaka menimpa demikian berturut-turut?!
"Memang itulah nasibku sekarang ini. Aku dan isteriku akan melakukan perjalanan untuk mencari anakku yang hilang itu dan sebelum aku pergi, aku ingin membicarakan hal penting yang pernah kusinggung dahulu itu, twako, yaitu tentang perjodohan antara puteri kami dan puteramu.!
Berdebar kencang jantung dalam dada Louw Kam. Hal itu memang menjadi idamannya selama ini. Pernah secara iseng-iseng pendekar ini bicara tentang kemungkinannya tali perjodohan itu dan tentu saja dia akan merasa girang dan bangga sekali untuk dapat berbesan dengan pendekar sakti ini. Mempunyai mantu cucu Pendekar Super Sakti! Tentu saja cucu pendekar itu tidak dapat disamakan dengan perempuan-perempuan biasa macam isterinya itu. Biarpun jantungnya berdebar kencang penuh kegembiraan, namun sikapnya biasa dan tenang saja.
"Bagaimanakah kehendak taihiap? Sejak dahulu kami hanya dapat menanti keputusan taihiap dan tentu saja pihak kami setuju sepenuhnya, bahkan merasa memperoleh kehormatan besar sekali kalau anakku yang bodoh itu terpilih untuk menjadi calon jodoh puteri taihiap yang mulia.!
"Tak perlu memuji atau merendah, twako. Manusia ini di permukaan bumi sama saja, dan kelebihan seseorang dalam suatu hal tidak perlu dijadikan alasan untuk mengangkatnya tinggi-tinggi. Kami merasa setuju dengan puteramu, akan tetapi.... maafkan pernyataanku ini, agaknya kelak akan merupakan kepincangan yang kurang sehat kalau ilmu silat antara mereka berselisih jauh.!
Wajah guru silat itu menjadi merah dan dia menutupinya dengan tertawa.
"Ah, biar saya latih seratus tahun lagi, takkan mungkin tingkat kepandaian Tek Ciang akan dapat menandingi tingkat Suma-siocia.!
"Bukan maksudku untuk merendahkan, twako. Akan tetapi kenyataannya memang demikian, yaitu bahwa puteraku dalam ilmu silat jauh lebih pandai daripada puteramu. Akan tetapi kulihat puteramu itupun memiliki bakat yang baik sekali, maka andaikata engkau memperkenankan, kalau dia menjadi muridku dan menerima bimbinganku sehingga dia dapat menyamai tingkat Hui- ji, alangkah akan baiknya itu....!
Louw-kauwsu cepat bangkit dari tempat duduknya dan memberi hormat.
"Laksaan terima kasih saya kepada taihiap! Tentu saja saya setuju sepenuhnya dan agaknya sudah menjadi anugerah bagi anakku yang bodoh untuk memperoleh nasib sebaik ini. Heii! Tek Ciang....! Di mana engkau? Ke sinilah!!
"Jangan beritahukan dia tentang perjodohan itu lebih dulu, twako,! kata Suma Kian Lee berbisik sebelum pemuda itu muncul dari belakang. Melihat pendekar itu, Tek Ciang segera menjura dengan sikap hormat dan sopan.
"Ah, kiranya Suma-locianpwe yang hadir. Harap locianpwe dalam keadaan baik saja dan terimalah hormat saya,! katanya ramah.
"Terima kasih, Tek Ciang,! jawab Suma Kian Lee senang melihat sikap pemuda yang sopan itu. Seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, sayang agak pendek, dan pakaiannya selalu rapi dan bagus.
"Tek Ciang, cepat engkau berlutut kepada Suma- taihiap dan menyebut suhu. Dia hendak mengangkatmu sebagai muridnya!! kata Louw-kauwsu dengan girang.
Mendengar ucapan ayahnya ini, Louw Tek Ciang terkejut bukan main dan memandang kepada pendekar itu. Suma Kian Lee mengangguk dan tersenyum kepadanya. Tek Ciang adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menjadi murid pendekar ini, selain kemungkinan besar untuk memperoleh ilmu yang hebat, juga namanya akan terangkat dan tak seorangpun di kota Thian-cin, bahkan sampai di kota raja yang akan berani menentangnya! Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Kian Lee, memberi hormat sampai delapan kali dan menyebut "Suhu!! berkali-kali.
Kian Lee membangunkan pemuda itu dan berkata.
"Tek Ciang, engkau merupakan murid pertama dariku. Selama ini aku belum pernah menerima murid dan hanya mengajarkan ilmu-ilmuku kepada kedua orang anakku saja. Kini, melihat kebaikan ayahmu dan besarnya bakatmu, aku suka membimbingmu mempelajari ilmu silat.!
"Terima kasih, suhu. Segala petunjuk dan bimbingan suhu pasti akan teecu taati dan junjung tinggi.!!Sekarang keluarlah dulu dari ruangan ini karena aku hendak bicara urusan penting dengan ayahmu.!
Tek Ciang kembali menghaturkan terima kasih, kemudian pergi dari tempat itu dengan sikap patuh sekali. Setelah pemuda itu pergi dan dengan pendengarannya yang tajam Kian Lee merasa yakin bahwa pemuda itu sudah pergi jauh ke belakang rumah, diapun berkata.
"Louw-twako, biarlah sementara ini perjodohan antara puteramu dan anakku tidak diumumkan dulu, akan tetapi kita berdua telah menyetujui untuk menjodohkan mereka.
Dan demi kebaikan mereka berdua, kurasa mereka berdua harus dipertemukan dan diperkenalkan. Maka, aku akan mengajak puteramu untuk tinggal di rumahku, dan selama aku dan isteriku pergi mencari putera kami, biarlah anakku yang memberi petunjuk-petunjuk dalam latihan dasar. Dengan demikian, ada dua keuntungan, yaitu pertama, anakku tidak akan bersendirian saja di rumah dan ke dua, mereka akan dapat saling berkenalan sebelum perjodohan itu diumumkan. Bagaimana pendapatmu, Louw-twako?!
Louw-kauwsu yang sudah kegirangan dan merasa amat beruntung itu tentu saja merasa setuju sekali dan berkali-kali dia mengangguk. Demikian girang hatinya sehingga guru silat ini tidak lagi mampu berkata-kata! Betapa tidak? Putera tunggalnya yang amat disayangnya itu selain akan dipungut mantu juga diangkat menjadi murid pertama dan tunggal oleh pendekar sakti Suma Kian Lee! Peristiwa itu tentu saja akan mengangkat namanya setinggi langit. Baru menjadi sahabat dekatnya pendekar itu saja dia sudah merasakan keuntungan besar di bidang nama, kedudukan dan pekerjaannya. Apalagi kalau puteranya menjadi murid, bahkan mantu Suma-taihiap!
"Kalau begitu, sebaiknya kalau Tek Ciang hari ini juga berangkat ke rumahku, membawa bekal pakaian karena kami harus segera bersiap-siap. Dalam seminggu ini kami sudah akan berangkat pergi mencari puteraku, Louw- twako. Dan selama kami pergi dan putera twako menemani anakku di rumah, harap twako suka berbaik hati untuk kadang-kadang lewat di rumah kami melihat-lihat keadaan.!
"Jangan khawatir, taihiap. Mulai hari ini, rumah keluarga taihiap sama dengan rumah yang menjadi tanggung jawab saya sendiri. Pasti akan saya bantu jaga seperti rumah saya sendiri selama taihiap berdua bepergian.!
Setelah Suma Kian Lee pulang, Louw-kauwsu cepat menyuruh puteranya berkemas dan dia memberi banyak nasihat kepada puteranya itu.
"Tek Ciang, engkau memperoleh berkah yang jauh lebih berharga daripada harta benda apa saja di dunia ini. Engkau diangkat menjadi murid putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Tahukah engkau apa artinya itu? Berarti bahwa kalau engkau belajar dengan baik-baik, kelak engkau akan menjadi seorang pendekar sakti yang hebat! Bahkan seluruh nasib hidupmu di kemudian hari tergantung pada saat-saat inilah. Suma-taihiap menghendaki agar engkau berangkat ke rumahnya sekarang juga. Engkau akan diberi latihan dasar dan disuruh berlatih dengan petunjuk dari Suma-siocia, karena gurumu itubersama isterinya akan melakukan perjalanan jauh dan meninggalkan ergkau di sana bersama puteri mereka. Berhati-hatilah engkau di sana, jaga rumah itu seperti rumah sendiri, bersikaplah sopan terhadap Suma-siocia dan semua pelayan di sana. Berusahalah agar semua orang menyukaimu, Tek Ciang. Dengan demikian, engkau tidak akanmembikin malu aku sebagai ayahmu.!
Tek Ciang tersenyum. Ayahnya ini bersikap seperti memberi nasihat kepada seorang anak kecil saja! Tentu saja dia sudah tahu apa yang harus dibuatnya agar suhunya suka kepadanya. Dan tentu saja dia sudah mendengar akan Suma-siocia, dara remaja yang kabarnya selain lihai dan sakti, juga memiliki kecantikan yang amat menggairahkan! Ah, betapa beruntungnya dia! Berlatih diri di bawah petunjuk seorang dara remaja yang lihai dan cantik jelita! Akan tetapi, pemuda yang cerdik ini pandai menyembunyikan perasaannya, dan diapun mengangguk taat.
"Baik, ayah. Aku akan mengingat semua nasihatmu.!
Ketika Tek Ciang tiba di rumah keluarga Suma, Kim Hwee Li dan juga Suma Hui sudah mendengar dari Suma Kian Lee tentang pemuda itu yang diangkat menjadi murid dan akan tinggal di rumah itu selama suami isteri itu pergi mencari Ciang Bun.
"Ayah,! Suma Hui membantah ketika ayahnya memberitahukan perihal pemuda yang belum dikenalnya itu.
"Apakah ilmu keluarga kita akan diturunkan kepada orang luar?!
Ayahnya mengerutkan alis.
"Hui-ji, di dalam keluarga kita tidak ada peraturan yang melarang bahwa kita tidak boleh memberikan ilmu-ilmu Pulau Es kepada orang luar. Ayah dari Louw Tek Ciang, yaitu Louw- kauwsu adalah seorang sahabat baikku, dia seorang yang bersih namanya dan aku melihat putera tungggalnya itupun memiliki bakat yang amat baik, juga sikapnya baik. Karena itu aku mengangkatnya menjadi murid. Agar kelak dia dapat menerima ilmu-ilmu dariku secara sempurna, maka dia harus lebih dahulu berlatih sin-kang dan samadhi yang bersih, maka dia akan tinggal di sini melatih dasar-dasar sin-kang dari kita. Karena aku dan ibumu akan pergi mencari Ciang Bun, maka aku minta engkau mewakili aku dan kadang-kadang memberi petunjuk kepadanya kalau dia berlatih.!
Suling Emas Naga Siluman Eps 21 Jodoh Rajawali Eps 63 Suling Emas Naga Siluman Eps 33