Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 33


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 33



Lembah ini memang telah dilengkapi dengan alat-alat rahasia sehingga ketika Pek In membawa tiga orang tamunya itu sampai ke depan rumah besar keluarga Cu, maka dua orang gagah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, telah berada di situ menanti kedatangan mereka! Kiranya para penjaga yang tadi melihat kedatangan tiga orang yang setengah memaksa Pek In, diam-diam telah mengirim berita melalui alat rahasia sehingga sebelum gadis itu tiba bersama para tamu itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu telah mengetahui dan kini mereka telah menanti kedatangan Pek In di depan rumah. Pek In mengerti bahwa tentu ayahnya telah mendengar dari para penjaga bahwa ada tamu yang amat lihai datang dengan cara memaksa Pek In, maka kini dia ingin mencoba ayah dan pamannya, dengan ucapan gembira,

   "Ayah, Paman tahukah Ayah siapa yang datang sekali ini?"

   Sejak tadi Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memang telah mencurahkan perhatian mereka kepada Kao Kok Cu dan diam-diam mereka terkejut sekali! Kalau ada pendekar yang amat tinggi kepandaiannya dan dia itu hanya berlengan satu, dengan isterinya yang cantik dan gagah penuh semangat, dan puteranya yang juga gagah perkasa dan memiliki mata seperti ayahnya, mata yang mencorong seperti mata naga, siapa lagi pendekar itu kalau bukan Si Naga Sakti Gurun Pasir yang hanya pernah mereka dengar namanya seperti dalam dongeng itu? Maka Cu Han Bu lalu menjura, diikuti oleh Cu Seng Bu yang juga sudah dapat menduga seperti kakaknya.

   "Maaf, kalau dugaan kami keliru. Akan tetapi benarkah bahwa lembah kami yang buruk ini memperoleh kehormatan besar dengan kunjungan pendekar besar Si Naga Sakti Gurun Pasir beserta isteri dan puteranya?"

   Kembali keluarga itu terkejut. Orang-orang lembah ini sungguh lihai. Naga Sakti Gurun Pasir boleh jadi amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak pernah keluar sehingga jarang ada yang mengenalnya, akan tetapi keluarga lembah ini sekali lihat telah dapat menebaknya dengan tepat. Kao Kok Cu lalu balas menghormat dan berkata tenang.

   "Tidak salah dugaan itu, kami adalah keluarga Kao dan kami datang untuk bicara dengan majikan lembah."

   "Kami adalah keluarga Cu, pemilik lembah ini. Saya bernama Cu Han Bu dan dia adalah adik saya bernama Cu Seng Bu, dan dia itu adalah Cu Pek In, anak tunggal saya. Keluarga kami kebetulan hanya kami bertiga inilah yang saat ini berada di sini, oleh karena itu, Kao-taihiap sekeluarga silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan tamu."

   "Terima kasih."

   "Silakan!"

   Cu Han Bu mendahului para tamunya masuk, dan setelah tiga orang tamu itu mengikutinya, Cu Seng Bu dan Pek In lalu mengikuti pula dari belakang. Yang disebut ruang tamu itu adalah sebuah ruangan yang amat luas dan di sinilah mereka dipersilakan duduk oleh pihak tuan rumah. Mereka berenam duduk mengelilingi sebuah meja besar. Setelah memandang wajah Naga Sakti Gurun Pasir sejenak, akhirnya Cu Han Bu berkata, suaranya datar dan tegas, na-mun penuh hormat,

   "Kao-taihiap, setelah Taihiap sekeluarga berhadapan dengan kami, nah, silakan memberitahu keperluan apakah yang membawa Taihiap bertiga datang mengunjungi kami."

   Kao Kok Cu menarik napas panjang. Tugas yang dipikulnya bersama isteri dan puteranya itu sungguh bukan merupakan tugas yang enak di hati. Sudah menjadi peraturan umum yang tak tertulis di dunia kang-ouw bahwa orang yang telah dapat menguasai sebuah benda dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya, maka dia pun berhak menjadi pemilik benda itu. Akan tetapi, betapapun juga, dia dan isterinya hanya membela puteranya yang mengabdi kepada Kaisar.

   "Cu-taihiap, tiada lain kedatangan kami ini adalah untuk bicara dengan keluarga Cu tentang pedang Koai-liong-pokiam!"

   Pada wajah Cun Han Bu dan Cu Seng Bu tidak nampak perobahan sesuatu, hanya Cu Pek In yang memandang dengan alis berkerut tanda bahwa hati dara ini merasa tidak senang. Cu Han Bu memandang tajam dan berkata,

   "Apakah Naga Sakti Gurun Pasir termasuk orang-orang yang hendak memperebutkan pedang pusaka itu seperti dilakukan oleh sekelompok orang kang-ouw beberapa tahun yang lalu?"

   Pertanyaan ini merupakan serangan atau ejekan yang membuat Kao Kok Cu merasa agak bingung. Akan tetapi dia ditolong oleh puteranya. Dengan suara lantang dan tegas Kao Cin Liong berkata,

   "Hendaknya Cu-lo-enghiong ketahui bahwa kami datang bukan atas nama pribadi, melainkan atas perintah Sri Baginda Kaisar. Saya adalah seorang panglima yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan kembali pedang Koai Liong-pokiam yang telah lenyap dicuri orang dari gedung pusaka istana beberapa tahun yang lalu. Dan Ayah Bunda saya hanya menemani saya dalam tugas ini."

   Ucapan itu tegas dan jelas. Dua orang saudara Cu itu saling pandang, dan sejenak mereka tidak dapat menjawab. Menghadapi orang-orang kang-ouw, mereka memang tidak usah merasa malu dan sungkan akan kenyataannya bahwa pedang itu dicuri oleh keluarga mereka, akan tetapi menghadapi utusan Kaisar lain lagi soalnya!

   Mereka bukan hanya dapat dituduh pencuri hina, akan tetapi bahkan juga sebagai pemberontak! Kalau jenderal muda ini datang bersama pasukan besar, tentu mereka tidak dapat melawan dan terpaksa melarikan diri. Akan tetapi jenderal muda itu datang tanpa pasukan, hanya ditemani ayah bundanya, hal ini berarti bahwa mereka datang sebagai orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian sendiri, walaupun sebagai orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian sendiri, walaupun sebagai utusan Kaisar. Dari kedatangan orang gagah yang hendak merampas kembali pedang pusaka harus dihadapi dengan kegagahan pula, dengan kepandaian! Agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh jenderal muda itu, dan oleh karena itulah dia datang bersama ayah dan ibunya yang sakti. Cu Han Bu mengangguk-angguk lalu berkata,

   "Tidak kami sangkal lagi bahwa pencuri pedang dari dalam gudang pusaka adalah seorang di antara keluarga kami. Akan tetapi hal itu hendaknya tidak dianggap sebagai pencurian, melainkan sebagai hak kami untuk mengambil kembali pedang pusaka keluarga kami yang hilang. Pedang itu adalah buatan nenek moyang kami dan kami yang berhak atas pedang itu! Jadi, kami tidak merasa mencuri dari istana"

   "Hemm, kami tidak tahu dari mana asal pedang itu. Yang kami ketahui hanyalah bahwa pedang Koai-liong-pokiam itu berada di dalam gudang pusaka istana sebagai satu di antara benda-benda pusaka kerajaan. Tentang asal mulanya, seperti juga asal mula semua benda pusaka di istana, kami tidak tahu. Kenyataannya adalah bahwa pedang itu dicuri dari dalam gudang pusaka, dan untuk itulah kami datang, sebagai utusan Kaisar untuk mengambil kembali pedang itu. Kami harap keluarga Cu sadar akan hal ini dan suka mengembalikan pedang itu kepada kami, agar memudahkan tugas kami sebagai utusan Kaisar."

   Jelaslah bahwa Cin Liong selalu mempergunakan nama Kaisar sebagai kesan bahwa dia sama sekali tidak berniat mencampuri urusan pedang pusaka dan hanya bertindak sebagai utusan, bukan mencampuri permusuhan atas nama pribadi. Dan ayahnya setuju dengan sikap puteranya, walaupun ibunya, Wan Ceng, bersungut-sungut dan menganggap puteranya itu terlalu merandahkan diri!

   "Pedang itu kini tidak ada pada kami lagi."

   Kata Cu Han Bu dengan suara tenang. Cin Liong memandang tajam penuh selidik dan panghuni lembah itu harus mengakui bahwa sinar mata pemuda itu membuat bulu tengkuknya meremang karena sepasang mata itu amat tajam dan mencorong.

   "Cu-lo-enghiong, banyak tokoh kang-ouw menjadi saksi bahwa keluarga Cu mendapatkan pedang itu dari Yeti dan bahwa pencurinya dari istana adalah Cui-beng Sian-li yang menjadi keluarga di sini. Kalau pedang itu kini tidak ada pada keluarga Cu, lalu berada di mana?"

   Cu Han Bu bangkit berdiri, alisnya berkerut.

   "Orang muda, engkau terlalu mendesak!"

   Cin Liong juga bangkit berdiri, sikapnya gagah.

   "Lo-enghiong, saya adalah utusan Kaisar, harap engkau orang tua tidak menyembunyikan di mana pedang itu kini."

   "Kalau aku tidak mau memberi tahu?"

   "Kami akan menganggap bahwa engkau yang menyembunyikan pedang itu!"

   "Hemm, pedang itu didapat dengan mengandalkan kepandaian dan karena pedang itu adalah milik keluarga kami, maka bagaimanapun juga harus kami pertahankan. Tapi, kami tidak ingin memberontak terhadap pemerintah. Nah, keluarga Kao, kami hanya mau memberitahukan di mana pedang itu sekarang berada...."
(Lanjut ke Jilid 31)

   Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 31
"Ayah....!"

   Pek In berseru akan tetapi ayahnya memberi isyarat dengan tangan agar puterinya itu duduk kembali yang segera ditaati oleh Pek In, akan tetapi dengan wajah penuh kekhawatiran.

   "Untuk mendapatkan keterangan dari kami, Sam-wi harus dapat mengalahkan dulu keluarga Cu!"

   "Bagus! Kenapa tidak dari tadi bicara begitu? Berliku-liku bukan sikap orang gagah!"

   Bentak Wan Ceng yang sudah bangkit berdiri. Akan tetapi Kao Kok Cu bersikap tenang dan menyentuh lengan isterinya untuk menyabarkannya. Kemudian dia menghadapi Cu Han Bu dan suaranya terdengar tenang, sedikit pun tidak dipengaruhi amarah, namun terdengar penuh wibawa,

   "Saudara Cu Han Bu telah menyatakan kehendaknya. Kita bukan anak-anak kecil, juga bukan orang-orang yang suka mencari permusuhan. Kami datang untuk menemukan kembali pedang pusaka istana, dan Saudara Cu agaknya hendak mempertahankan pedang itu atau segan memberitahu di mana adanya pedang itu tanpa lebih dulu ditebus dengan adu ilmu. Nah, bagaimana syarat yang diajukan oleh kalian sebagai pihak tuan rumah?"

   Cu Han Bu bersikap hati-hati sekali. Ketenangan Naga Sakti Gurun Pasir itu sedikit banyak mendatangkan rasa jerih di dalam hatinya, karena dia maklum bahwa seperti itulah sikap seorang pendekar sejati yang tidak ragu-ragu lagi akan kekuatan diri sendiri dan selalu bersikap tenang dalam menghadapi apa pun juga, tidak lagi dapat dipengaruhi oleh rasa marah, rasa takut atau lain perasaan lagi, kokoh kuat seperti batu karang, di tengah laut.

   "Di pihak keluarga kami pada saat ini hanya ada saya dan Adik Cu Seng Bu kami berdua, akan maju mewakili keluarga kami untuk menghadapi pihak utusan Kaisar."

   Kata Cu Han Bu, sengaja menggunakan sebutan utusan "Kaisar"

   Untuk menekankan bahwa mereka tidak menganggap keluarga Naga Sakti Gurun Pasir sebagai musuh-musuh pribadi.

   "Hemm, dua lawan dua, itu sudah adil."

   Kata Cin Liong.

   "Saya dan Ayah akan maju menghadapi kalian. Akan tetapi bagaimana kalau di antara dua orang yang seorang kalah dan seorang lagi menang?"

   "Yang menang akan saling berhadapan, sampai ada yang kalah."

   Sambung Cu Han Bu, tenang.

   "Bagaimana kalau kami kalah?"

   Tanya lagi Cin Liong. Cu Han Bu tersenyum.

   "Kami tidak terlalu mengharapkan itu. Akan tetapi kalau pihak kami menang, kalian harus pergi dari sini dan bersumpah tidak akan mengganggu kami lagi dalam urusan pedang."

   "Tapi itu berarti mengabaikan perintah Kaisar!"

   Cin Liong berseru.

   "Terserah! Tapi itulah perjanjian dalam adu ilmu ini, tentu saja kalau pihak kalian tidak keberatan."

   Cin Liong mengepal tinju. Kata "keberatan"

   Itu sama dengan

   "takut"!

   "Baik."

   Jawabnya.

   "Kalau kami kalah, kami akan pergi dan kami bersumpah tidak akan mengganggu kalian dalam urusan pedang, dan aku akan mengundurkan diri dari kedudukanku di istana karena berarti tidak mampu melaksanakan perintah Kaisar!"

   "Cin Liong....!"

   Wan Ceng berseru kaget, akan tetapi suaminya kembali menyentuh lengannya.

   "Ucapan Liong-ji cukup tepat sebagai seorang gagah."

   Katanya tenang.

   "Dan bagaimana kalau kalian yang kalah?"

   Cin Liong kini balas mendesak. Cu Han Bu tidak tersenyum, melainkan memandang tajam.

   "Kalau kami yang kalah, kami akan memberitahukan di mana adanya pedang itu dan di samping itu, kami berdua akan menggunduli kepala dan menghabiskan sisa hidup sebagai hwesio dan mengasingkan diri."

   "Ayah....!"

   Pek In berseru kaget, mukanya pucat.

   "Pek In, seorang laki-laki harus mempunyai harga diri. Jenderal Muda Kao telah mempertaruhkan kedudukannya yang tinggi, maka keputusan itu patut dihormati dan diimbangi dengan keputusan kami mempertaruhkan keputusan kami pula. Dan, kalah dalam tangan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir merupakan kekalahan terhormat. Keputusanku tidak dapat dirubah pula."

   "Aku setuju dengan keputusan yang diambil Bu-twako."

   Sambung Cu Seng Bu yang memang sebelum mereka menghadapi keluarga Naga Sakti Gurun Pasir itu telah berunding dengan kakaknya dan keduanya mengambil keputusan ini.

   "Baik sekali. Nah, kita boleh mulai"

   Kata Kao Kok Cu dengan tenang dan dia pun bangkit berdiri, siap untuk bertanding. Akan tetapi Cin Liong sudah maju ke depan ayahnya.

   "Tidak, Ayah. Biarkan aku maju lebih dulu."

   Melihat ini, Kao Kok Cu tersenyum dan duduk kembali. Dia percaya penuh kepada puteranya yang telah mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya dan dia tahu bahwa biarpun masih muda,

   Namun Cin Liong bukan orang yang sembrono, bahkan sudah banyak pengalamannya dalam menghadapi lawan yang pandai ketika menjalankan tugas-tugas sebagai seorang panglima perang. Kao Cin Liong sudah melangkah maju ke tengah ruangan di mana telah menanti Cu Seng Bu yang maju lebih dulu mewakili keluarga Cu. Cu Seng Bu berdiri tegak dan menatap calon lawannya itu dengan penuh perhatian pemuda itu masih muda sekali, paling banyak sembilan belas tahun atau dua puluh tahun usianya, dia berpikir. Biarpun pemuda itu putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dalam usia semuda itu, mana mungkin memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi? Rasanya mustahil kalau dia sampai kalah oleh seorang yang baru saja dewasa. Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah.

   Sim Hong Bu, muridnya dan murid kakaknya juga sebaya dengan pemuda ini, dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian Sim Hong Bu, akan melampaui dia kalau pemuda itu sudah dapet menguasai Koat-liong Kiam-sut secara sempurna. Cu Seng Bu berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan). Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia tentu seoteng ahli gin-kang yang hebat, sehingga saking cepatnya dia bergerak, saking ringan tubuhnya, maka dia mendapat julukan itu, karena seolah-olah dia dapat berkelebat tanpa nampak bayangannya saking cepatnya. Oleh karena itu, dia menanti datangnya Cin Liong tanpa mencabut pedangnya, karena dia percaya bahwa dengan kecepatan gerakannya, dia akan mampu mengalahkan pemuda itu. Kini mereka sudah berdiri, saling berhadapan dengan sinar mata saling pandang, saling menilai dan menyelidik.

   "Kao-goanswe, kau majulah!"

   Cu Seng Bu menantang.

   "Engkau adalah tamu, maka silakan mulai lebih dahulu!"

   Cin Liong tersenyum. Dia tahu bahwa dalam ilmu silat yang sudah tinggi tingkatnya, siapa maju menyerang lebih dulu berada di pihak yang lebih lemah.

   "Cu-lo-enghiong, pihakmulah yang menantang, maka silakan mulai leblh dulu, aku menanti,"

   Katanya.

   "Hemm, pemuda ini cukup tenang, sikap yang mengkhawatirkan dan berbahaya."

   Dia pun tidak mau membuang waktu lagi, diam-diam dia mengerahkan semua tenaganya dan berseru nyaring,

   "Jaga seranganku!"

   Belum juga habis ucapan itu keluar dari mulutnya,

   Tubuhnya telah melesat ke depan dengan kecepatan yang mengejutkan dan tahu-tahu tangan kanannya yang membentuk paruh garuda yang runCing melengkung itu telah mematuk ke arah leher Cin Liong. Kecepatan itu amat mengejutkan, dan tenaga yang terkandung dalam serangan itu pun dahsyat bukan main. Akan tetapi Cin Liong memiliki ketenangan ayahnya dan ketabahan ibunya. Dia menghadapi serangan dahsyat itu dengan mata tanpa berkedip dan cepat namun tenang sekali dia sudah menggeser kaki ke kiri, mengelak dan mencari lubang pada lawan. Akan tetapi, sungguh hebat lawannya itu karena begitu melihat serangannya gagal, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas serangan, Cu Seng Bu sudah merobah serangannya, kini dari samping dia menubruk lagi,

   Tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, sedangkan tangan kanan tetap merupakan paruh garuda menotok ke arah pusar! Gerakannya mirip dengan seekor burung garuda yang mencakar dan mematuk, akan tetapi berbeda dengan ilmu silat garuda yang lajim, terutama sekali gerakan kakinya yang berbeda, sedangkan tubuhnya meliuk seperti tubuh ular atau seperti leher bangau. Dan yang amat berbahaya adalah kecepatannya itulah. Dari serangan gagal tadi dia dapat melanjutkan serangan ke samping, ini menunjukkan bahwa orang itu selain ahli ginkang juga sudah menguasai setiap gerakannya dengan sempurna. Namun Cin Liong tidak mau didesak. Dia mengelak ke bawah untuk menghindarkan cengkeraman pada ubun-ubun kepala dan dengan tangan kiri dia menangkis totokan pada pusarnya, sedangkan tangan kanannya pada saat itu juga,

   Selagi tubuhnya merendah, sudah menghantam ke arah lutut kaki kiri lawan dengan tangan miring ini tidak kalah dahsyatnya dibandingkan kalau dia menggunakan golok membacok kaki itu, dan kalau mengenai sasaran, tentu sedikitnya sambungan lutut itu akan terlepas kalau tidak tulangnya remuk sama sekali. Akan tetapi, Cu Seng Bu sungguh memiliki gerakan yang cepat bukan main karena tiba-tiba saja tubuhnya sudah melesat ke atas seperti burung terbang saja. Akan tetapi sungguh tidak diduganya bahwa pemuda itu pun memiliki kecepatan yang hebat karena melihat lawannya mencelat ke atas, Cin Liong juga meloncat mengejar dan mengirim pukulan dengan dahsyat dengan tangan terbuka. Pada saat itu, Cu Seng Bu juga menyambut lawan dengan tendangan tumit kakinya. Tak dapat dihindarkan lagi, tangan dan kaki itu saling bertemu selagi tubuh mereka masih di udara.

   "Dess....!"

   Keduanya terpental dan keduanya dapat turun ke atas lantai dengan baiknya. Dan masing-masing merasakan getaran yang cukup hebat akibat benturan itu.

   "Haiiittt....!"

   Cu seng Bu sudah menyerang lagi, gerakannya indah, tangan kirinya terbuka melingkar ke depan merupakan serangan gertakan, akan tetapi yang sungguh-sungguh menyerang adalah tangan kanannya yang mencuat dari bawah lengan kiri itu dan langsung menghantam ke arah dada lawan dari bawah dengan kecepatan luar biasa dan tenaga dahsyat. Itulah jurus yang disebut Hio-te-hoan-hwa (Mencari Bunga di Bawah Daun). Cin Liong maklum bahwa jurus itu mempunyai banyak sekali perobahan, maka dia pun mengelak dengan menggeser kaki kiri ke belakang. Benar saja dugaannya, lawannya telah merobah gerakan, tubuhnya merendah dan dari bawah kedua tangan itu menyambar bergantian ke atas, menyerang pusar dan perut, kemudian disambung dengan tendangan sambil bangkit berdiri, tendangan yang amat kuat mengarah dagunya!

   Itulah jurus Hai-ti-lauw-goat (Menyelam Laut Mencari Bulan)! Cin Liong lalu menangkis sambil berloncatan dan selanjutnya dia pun membalas dengan jurus-jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu silat istimewa dari ayahnya. Tubuhnya meliuk-liuk seperti seekor naga beterbangan di angkasa, dan kedua tangannya membentuk cakar-cakar naga, serangannya datang dari atas dan bawah secara tidak terduga-duga karena tubuhnya yang naik turun dengan cepat dan lincah sekali. Melihat betapa pemuda itu menguasai kelincahan seperti dia, Cu Seng Bu menjadi penasaran dan ketika dia melihat pemuda itu memukulnya dengan lengan kanan membuat gerakan melengkung dari samping mengarah pelipisnya, dia pun mengerahkan tangannya dan menangkis sambil membentak keras.

   "Dukkk!"

   Dua lengan bertemu dan keduanya telah mengerahkan sin-kang masing-masing. Kuda-kuda kaki Cin Liong tergeser dan dia mundur dua langkah, akan tetapi tubuh Cu Seng Bu terhuyung-huyung! Dari kenyataan ini saja terbukti bahwa dalam hal tenaga, ternyata Cu Seng Bu masih kalah setingkat! Akan tetapi, Cu Seng Bu masih penasaran dan berkali-kali mereka saling tangkis, tidak mengelak lagi, menggunakan kekerasan. Terdengar suara "dak-duk"

   Menggetarkan kalau lengan mereka saling bertemu dan berkali-kali tubuh mereka tergetar dan terdorong atau, terhuyung. P

   erkelahian itu telah berlangsung sampai seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau menang, sungguhpun sudah beberapa kali Cu Seng Bu nampak terhuyung dan beberapa kali dia menyeringai seperti menahan sakit. Memang dalam benturan-benturan tenaga sinkang, dia kalah kuat dan dia mengalami guncangan hebat yang ditahan-tahannya.Sayang bahwa keluarga Cu biasanya memandang diri sendiri terlalu tinggi, dan sikap seperti ini menimbulkan sifat tidak mau kalah atau sukar menerima kenyataan bahwa dirinya kalah kuat. Setiap kekalahan mendatangkan rasa penasaran dan Cu Seng Bu menjadi semakin nekat. Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan dahsyatnya dia menubruk maju, kedua tangannya didorongkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

   Melihat ini, Cu Han Bu sampai menggerakkan kedua tangan ke depan, seolah-olah hendak mencegah adiknya. Sementara itu, melihat hebatnya serangan yang dia tahu seperti hendak mengadu nyawa ini, Cin Liong maklum bahwa dia harus berani mengambil keputusan. Maka dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya pun tiba-tiba meluncur ke depan dalam kedudukan seperti menelungkup, seperti seekor naga yang sedang terbang! Itulah ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Tanah) dan biarpun ilmu itu untuk seorang yang berlengan aatu, namun Kao Kok Cu mengajarkan juga kepada Cin Liong. Tentu saja gerakannya menjadi kaku dan pemuda ini tidak sepenuhnya dapat menguasai ilmu ini, akan tetapi tenaga yang timbul karena ilmu ini amat dahsyatnya, terpusat kepada lengan yang menjulur ke depan.

   "Bress....!"

   Hebat sekali pertemuan antara dua orang yang berilmu tinggi ini di udara. Seolah-olah ada dua bintang bertubrukan dan tubuh Cu Seng Bu terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya, kemudian terbanting ke atas lantai. Dia mengeluarkan keluhan lirih dan merangkak bangun, dari ujung mulutnya menitik darah segar. Dapat juga dia bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya, sebatang pedang lemas. Akan tetapi, melihat keadaan adiknya, dan melihat betapa pemuda perkasa itu masih berdiri tegak dalam keadaan segar. Cu Han Bu maklum bahwa adiknya telah kalah dan kalau dibiarkan maju lagi dengan berpedang, hal itu amat memalukan karena merupakan suatu kenekatan yang terdorong oleh sikap tidak tahu diri dan tidak mau kalah.

   "Cukup, Adik Seng Bu. Engkau sudah kalah dan biarkan aku yang maju sekarang!"

   Kata Cu Han Bu sambil memegang lengan adiknya dan menariknya mundur dengan lembut. Cu Seng Bu tidak membantah, melepaskan lagi gagang pedangnya dan dia menarik napas panjang berkali-kali, kelihatan menyesal sekali.

   "Adikmu ini tiada guna, Twako"

   Katanya dan tiba-tiba dia muntahkan darah segar.

   "Mengasolah, Adikku."

   Kata kakaknya. Cu Seng Bu menolak tangan Cu Pek In yang hendak memapahnya, dan dia pun lalu kembali ke tempat duduknya, duduk dengan kedua kaki dinaikkan, bersila dan mengatur pernapasan untuk mengobati luka di sebelah dalam dadanya akibat benturan hebat dengan lawan yang amat tangguh tadi. Dia diam-diam menyesal mengapa tidak sejak semula dia menghadapi lawan itu dengan pedangnya. Kalau dia menggunakan pedang dan pemuda itu pun bersenjata, belum tentu dia kalah dan andaikata dia kalah pun, lebih banyak kemungkinan dia mati, tidak seperti sekarang ini, menderita luka dan tidak tewas sehingga harus menghadapi kekalahannya dan menderita rasa malu. Melihat Cu Han Bu maju dan menoleh kepadanya, Cu Pek In lalu berseru,

   "Sambutlah, Ayah!"

   Dan begitu tangan kanannya bergerak nampak sinar emas berkelebat menuju ke arah ayahnya itu yang mengangkat tangan kanan menyambutnya. Ternyata yang dilontarkan oleh dara itu adalah sebatang suling emas! Cu Han Bu memegang suling emas, memandangnya sebentar, menarik napas panjang lalu menggeleng kepala.

   "Tidak, Pek In!. Aku adalah penghuni Lembah Naga Siluman, bukan lagi Lembah Suling Emas!"

   Dia tersenyum pahit mengenangkan kekalahannya terhadap Kam Hong yang lebih tepat berjuluk Suling Emas dan semenjak kekalahannya itu,

   Dia tidak ingin lagi mengingat tentang suling emas, apalagi mempergunakan suling emas sebagai senjata karena hal itu hanya mengingatkan akan kekalahannya dan seperti ejekan saja. Dia lalu melontarkan kembali suling itu kepada putrinya yang menyambutnya dengan alis berkerut, penuh kekhawatiran karena dara ini maklum bahwa di antara semua senjata, bahkan dibandingkan dengan sabuk emas yang dipakai ayahnya, suling itu merupakan senjata yang paling ampuh bagi ayahnya. Cu Han Bu sudah melolos sabuk emasnya dan berdiri tegak memandang kepada Kao Kok Cu, sinar mata yang mempersilakan pendekar itu maju melawannya. Melihat ini, Kao Kok Cu juga sudah bangkit dari tempat duduknya. Akan tetapi Cin Liong yang masih berdiri tegak dan belum kembali ke tempat duduknya, berkata,

   "Ayah, akulah yang wajib melaksanakan perintah Sri Baginda. Ayah hanya membantu saja kalau aku gagal. Oleh karena itu, sebelum aku kalah, harap Ayah jangan turun tangan lebih dulu. Marilah, to-enghiong, mari kita tentukan hasil adu kepandaian ini. Ayah hanya akan maju kalau aku sudah kalah"

   Cun Han Bu memandang kagum. Kalau saja keadaan tidak memaksa mereka itu saling berhadapan sebagai musuh, dia akan merasa bangga dan senang sekali memiliki sahabat seperti keluarga Kao, yang gagah perkasa ini. Maka dia pun menghampiri pemuda itu dengan sabuk emas dipegang gagangnya oleh tangan kanan sedangkan ujungnya yang lain dipegang oleh tangan kiri. Sikapnya keren ketika dia berkata,

   "Kao- goanswe, engkau sungguh hebat dan Adikku sudah kalah olehmu. Kalau sekarang aku pun kalah olehmu, maka berarti pihak kami mengaku kalah. Nah, silakan engkau mengeluarkan senjatamu!"

   Kao Cin Liong telah mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari ayahnya dan dia telah digembleng sehingga kedua tangan dan kakinya seolah-olah telah menjadi pengganti senjata. Seperti ayahnya, dia tidak pernah memegang senjata, kecuali kalau berpakaian dinas sebagai jenderal. Pedang yang tergantung di pinggangnya kalau dia berpakaian hanya merupakan tanda pangkat belaka. Maka pada saat itu pun dia tidak membawa senjata. Melihat ini, Wan Ceng lalu melolos pedangnya dan memandang kepada suaminya untuk minta persetujuan suaminya. Kao Kok Cu mengangguk dan Isterinya lalu melontarkan pedang itu ke atas.

   "Cin Liong, terimalah pedang ini!"

   Serunya dan pedang itu meluncur ke atas, kemudian seperti mempunyai mata saja, pedang itu berputaran di udara lalu meluncur turun ke arah Cin Liong yang menerimanya dengan manis. Itulah pedang Ban-tok-kiam dan pedang yang amat berbahaya ini karena mengandung racun-racun yang amat hebat, nampak kehitaman seperti penuh karat, nampak menyeramkan sekali. Jangankan sampai tertusuk bagian tubuh yang penting, baru tergores saja sudah dapat membawa maut! Biarpun dia telah memiliki ilmu-ilmu silat tangan kosong yang lihai, namun jangan disangka bahwa Cin Liong asing dengan senjata. Sama sekali tidak, dia pandai mainkan delapan belas macam senjata, terutama ilmu pedang! Melihat pemuda itu sudah memegang senjata, Cu Han Bu yang tidak mau bersikap sungkan-sungkan lagi lalu menggerakkan sabuk emasnya di atas kepala, diputar-putar makin lama makin cepat, lalu berkata,

   "Orang muda, lihat seranganku!"

   Dan tiba-tiba dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar berkeredepan yang menyambar ke arah kepala Cin Liong, dibarengi dengan tangan kiri yang mencengkeram ke arah dada.

   Sungguh merupakan serangan yang amat dahsyat, sekaligus menyerang dengan sabuk emas dan tangan kiri. Entah mana di antara keduanya itu yang lebih berbahaya, karena harus diakui bahwa hawa pukulan tangan kiri yang mencengkeram itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan hawa pukulan sabuk emas yang menandakan bahwa tangan itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata itu. Cin Liong bersikap waspada. Dia maklum bahwa lawannya ini lebih lihai daripada Cu Seng Bu tadi. Sedangkan terhadap Cu Seng Bu dia pun hanya memperoleh kemenangan tipis, maka dia tahu bahwa sekali ini dia menghadapi lawan yang amat tangguh dan dia harus berhati-hati. Melihat serangan itu, dia pun menangkis dengan pedangnya ke atas, dan mendorongkan tangannya ke depan untuk menyambut cengkeraman tangan kiri lawan.

   "Tringgg.... Plakkk!"

   Keduanya terdorong mundur oleh pertemuan senjata dan tangan itu, dan Cin Liong dapat merasakan betapa tenaga orang ini amat kuat, lebih kuat daripada tenaga Cu Seng Bu dan dia merasa betapa tubuhnya tergetar oleh dua adu tenaga tadi. Akan tetapi, Cin Liong tidak sempat berpikir lebih banyak lagi karena kini terdengar suara berdesing-desing dan pandang matanya menjadi silau melihat gulungan sinar keemasan yang menyambar-nyambar dengan, amat dahsyatnya. Gulungan itu membungkus diri Cu Han Bu, dan suara berdesing-desing itu makin lama makin nyaring, Sinar-sinar yang mencuat dari gulungan emas yang merupakan tembok benteng itu makin gencar menyerangnya sehingga, pemuda ini terpaksa harus memutar pedangnya, untuk melindungi tubuhnya.

   Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dia merasakan desakan yang amat kuat dari gulungan sinar keemasan itu dan setiap kali pedangnya menangkis, terdengar suara nyaring dan dia merasa telapak tangannya perih sekali! Memang hebat sekali ilmu kepandaian Cu Han Bu itu. Untuk selama kurang lebih tiga puluh jurus sabuk emasnya merupakan gulungan sinar yang menghujankan serangan kepada Cin Liong, membuat pemuda itu sibuk sekali menangkis dan hampir tidak ada kesempatan untuk membalas serangan lawan. Kemudian secera tiba-tiba gulungan sinar keemasan itu lenyap dan kini Cu Han Bu melakukan serangan satu-satu dengan gerakan lambat. Akan tetapi, setiap kali sabuk emas itu menyambar terdengar suara angin dahsyat menghembus dan begitu Cin Liong menangkisnya,

   Pemuda ini berseru kaget karena tenaga yang terbawa oleh sabuk itu sedemikian kuatnya sehingga kuda-kuda kakinya tergeser dan hampir dia terhuyung, dan selain tenaga yang amat kuat ini, juga dia merasa betapa ada hawa panas menjalar ke seluruh lengannya! Tahulah dia bahwa lawannya kini benar-benar telah mengerahkan seluruh tenaga simpanannya! Dia pun berusaha untuk balas menyerang, bahkan kini dia, berusaha sedapat mungkin untuk menghindarkan pertemuan senjata secara langsung karena dia maklum bahwa tenaga sin-kangnya masih kalah kuat dibandingkan dengan orang ini. Akan tetapi, gerakan Cu Han Bu yang lambat itu ternyata amat aneh dan di sekitar tubuhnya seolah-olah ada gulungan tenaga yang tidak nampak sehingga setiap kali pedang Ban-tok-kiam di tangan Cin Liong balas menyerang, ujung pedang itu menyeleweng seperti ditangkis oleh hawa yang amat kuat.

   Sementara itu, sabuk emas setiap kali menyerang, tidak dapat dielakkan lagi karena biarpun gerakan sabuk itu lambat, namun seolah-olah dapat mengikuti ke mana pun Cin Liong mengelak! Oleh karena ini, pemuda itu terpaksa menangkis dan menangkis lagi dan makin lama tangkisannya menjadi semakin lemah karena memang berat rasanya menangkis sabuk itu sehingga lewat beberapa lama kemudian, setiap kali menangkis dia tentu terhuyung ke belakang! Patut diketahui bahwa ketika dia melawan Cu Seng Bu tadi, keadaannya dengan lawan itu seimbang, sehingga Cin Liong terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya. Oleh karena itu, setelah kini dia berhadapan dengan Cu Han Bu, yang memiliki kepandaian lebih tinggi dan juga tenaga lebih kuat dibandingkan dengan adiknya, tentu saja Cin Liong menjadi lelah dan semakin lama tenaganya menjadi semakin lemah.

   Betapapun juga, dengan Ban-tok-kiam di tangannya, pedang yang juga ditakuti oleh Cu Han Bu yang mengenal pedang beracun yang amat berbahaya dia masih mampu bertahan sampai seratus jurus dia belum juga kalah, walaupun sudah berkali-kali dia terhuyung ke belakang. Tentu saja Wan Ceng memandang dengan penuh khawatir, alisnya berkerut dan beberapa kali dia mengepal tinju tangannya. Hanya Kao Kok Cu yang masih tetap tenang saja karena biarpun dia juga maklum bahwa puteranya itu akan kalah, namun dia percaya bahwa Cin Liong mampu menjaga diri sehingga tidak sampai terancam keselamatannya. Cu Han Bu memang telah mengeluarkan semua kepandaiannya. Baginya, perkelahian itu adalah soal hidup atau mati, karena kalau dia kalah, biarpun andaikata dia masih hidup,

   Namun dia dan adiknya seperti telah mati saja, akan mengundurkan diri dan menjadi pendeta dengan mencukur gundul kepala mereka. Inilah sebabnya dia menyerang dengan ganas tanpa mempedulikan lagi apakah serangannya akan menewaskan lawannya. Melihat betapa lawannya makin kuat dan makin ganas, tiba-tiba Cin Liong mengeluarkan pekik melengking nyaring dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, dia sudah mengeluarkan Ilmu Sin-liong Hok-te dengan menggunakan pedang Ban-tok-kiam. Tubuhnya meluncur ke depan, disambung oleh pedangnya, menerjang ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat. Melihat ini Cu Han Bu terkejut. Dia maklum bahwa ilmu ini luar biasa sekali dan tadi adiknya juga kalah oleh ilmu ini. Maka dia pun meloncat ke depan menyambut, sambil memutar sabuk emasnya.

   "Trannggg.... plakkkk....!"

   Kini nampak pedang Cin Liong terlempar ke atas dan pemuda itu sendiri terguling! Akan tetapi dia sudah dapat meloncat lagi ke atas dan manyambar pedangnya, siap untuk menyerang lagi. Pada saat itu, Kao Kok Cu mencelat ke depan dari atas kursinya.

   "Cukup, Cin Liong. Engkau telah kalah!"

   Katanya dan pemuda itupun tidak membantah karena harus diakuinya bahwa dia telah kehilangan pedang tadi, dan juga pundaknya telah beradu dengan ujung sabuk emas dan biarpun tulang pundaknya tidak patah,

   Namun lengan kirinya itu menjadi setengah lumpuh dan kalau digerakkan menjadi nyeri sekali pada pundaknya. Jelaslah behwa kalau dia maju melawan lagi sama artinya dengan membunuh diri, maka dia pun menjura ke arah Cu Han Bu dan kembali ke tempat duduknya, disambut oleh Ibunya yang segera memeriksa pundaknya. Pundak itu matang biru! Wan Ceng cepat mengeiuarkan koyo hitam, melumerkan koyo itu dengan hawa panas dari telapak tangannya dan menempelkan koyo itu di pundak puteranya, dan menyuruh puteranya menelan dua butir pel hitam. Kemudian keduanya duduk menonton pertandingan antara Kao Kok Cu dan Cu Han Bu dengan penuh perhatian setelah Wan Ceng menyimpan kembali pedang Ban-tok-kiam. Sementara itu, tadi Kao Kok Cu telah menghadapi Cu Han Bu dan berkata,

   "Saudara Cu, kini keadaan kita satu-satu. Marilah kita menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang."

   "Silakan kau mengeluarkan senjata, Kao-taihiap,"

   Kata Cu Han Bu dengan sikap masih menghormat.

   "Aku tidak pernah mempergunakan sanjata. Majulah!"

   Tantang Naga Sakti Gurun Pasir. Cu Han Bu percaya akan kata-kata ini dan tidak menganggap pendekar itu memandang rendah kepadanya. Maka dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan sudah memutar sabuk emasnya dan menyerang dengan gerakannya yang lambat namun mantap dan amat kuat itu.

   Tadi ketika Cu Han Bu bertanding melawan Cin Liong, Kao Kok Cu sudah menyaksikan gerakan-gerakannya dan sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah matang, sekali lihat saja dia sudah tahu akan sifat-sifat ilmu silat lawan ini. Memang harus diakuinya bahwa jarang dia melihat orang memiliki ilmu silat sehebat keluarga Cu ini. Ilmu silat mereka adalah ilmu silat asli, ilmu silat keluarga yang telah dilatih secara sempurna sekali dan pada waktu itu, kiranya jarang menjumpai orang-orang dengan ilmu setinggi yang dimiliki keluarga Cu ini. Karena dia sudah tahu akan sifat ilmu silat lawan, maka kini dia tahu bagaimana harus menghadapinya. Tadi dia memperhatikan gerakan Cu Han Bu. Orang ini ketika menghadapi Cin Liong, kadangkadang mempergunakan kecepatan yang luar biasa selama beberapa puluh jurus,

   Menghujankan serangan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, kemudian dia mengubah gerakannya menjadi lambat-lambat sekali. Akan tetapi Kao Kok Cu maklum bahwa justeru kalau bergerak lambat-lambat inilah maka orang ini amat berbahaya karena di sini letak seluruh kekuatannya! Kalau Cu Han Bu bergerak perlahan-lahan dan lambat-lambat itu maka dia amat kuat dan seolah-olah tubuhnya dikelilingi oleh benteng yang tidak nampak dan kekuatan dalam yang dahsyat. Oleh karena itu, ketika Cu Han Bu mulai menyerang dengan gerakan lambat-lambat itu, Kao Kok Cu tidak mau membalas serangan, bahkan dia hanya mengelak saja selalu menanti lawan menyerang untuk dielakkan dengan amat mudah tentunya, karena memang serangan-serangan Cu Han Bu itu biarpun amat mantap dan kuat,

   Namun lambat-lambat datangnya. Karena tidak melihat lawan dapat dipancing dengan gerakan lambat, Cu Han Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan suara lengkingan tinggi yang menggetarkan jantung karena dia telah mengerahkan khikangnya yang dihimpun ketika dia berlatih suling, dia mulai menyerang dengan cepat! Diam-diam Kao Kok Cu merasa girang. Akan tetapi dia masih tetap mengelak ke sana-sini dan sekali-kali dia menangkis dengan tangan kanannya dan hanya membalas serangan lawan dengan sembarangan saja, dengan tamparan-tamparan tangan kanan yang mengandung angin bersuitan. Melihat betapa lawannya bersikap tenang dan seperti tidak sungguh-sungguh. Cu Han Bu mulai marah! Dia mulai mengira bahwa Si Naga Sakti Gurun Pasir ini memandang ringan kepadanya!

   Gerakannya dipercepat sehingga makin lama gulungan sinar keemasan itu menjadi semakin lebar, dan tubuhnya lenyap sama sekali dalam bungkusan gulungan sinar! Kao Kok Cu menanti sampai gerakan itu tiba pada kecepatan puncak, kemudian tiba-tiba dia membentak dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, seperti sebatang anak panah, atau seperti seekor naga terbang, menyerang ke depan, lengan baju kirinya yang "kosong"

   Itu bergerak-gerak dan seperti hidup! Melihat ini, Cu Han Bu cepat menusukkan sabuk emasnya. Akan tetapi sabuk itu dapat ditangkap dan dilibat oleh lengan baju kiri itu yang hidup seperti seekor ular yang membelit, tidak mungkin dapat ditarlk kembali dan otomatis gerakan sabuk itupun terhenti. Cu Han Bu terkejut dan menjadi nekat, menghantamkan tangan kirinya.

   Akan tetapi inilah kekeliruannya, karena pada saat itu Naga Sakti Gurun Pasir sedang mempergunakan Ilmu Sin-liong-hok-te dan kekuatan mujijat memasuki tubuhnya, maka begitu pendekar ini menangkis dengan tangan kanannya, dua tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Cu Han Bu terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan sabuk emas itu patah menjadi dua, yang sepotong masih dipegang dan yang sepotong lagi berada dalam libatan lengan baju Naga Sakti Gurun Pasir! Cn Han Bu bangkit berdiri, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah dan jelaslah bahwa dia menderita luka dalam yang hebat. Sejenak dia terbelalak memandang kepada Kao Nok Cu, kemudian mengerakkan tangannya hendak memukulkan sepotong sabuk emas itu ke arah kepalanya sendiri!

   "Wuuuut.... tranggg....!"

   Sepotong sabuk emas itu terpental dan terlepas dari pegangan, disambar potongan sabuk emas yang meluncur dari lengan baju Kao Kok Cu yang menyambitkannya ketika melihat bekas lawan itu hendak membunuh diri.

   "Hanya pengecut sajalah yang tidak berani menghadapi kekalahan dalam hidup!"

   Terdangar suara Kao Kok Cu berkata, suara yang menggetar dan mengandung kekuatan sedemikian dahsyatnya sehingga seluruh benda di sekitar tempat itupun ikut tergetar. Cu Han Bu terkejut, memandang ke bekas lawannya dan menarik napas panjang, lalu jatuh terduduk, bersila dan memejamkan matanya. Kao Kok Cu membiarkan saja dia demikian itu seketika lamanya karena dia maklum bahwa kalau tidak cepat-cepat majikan lembah itu mengumpulkan hawa murni, dia tentu takkan dapat tertolong lagi. Cu Pek In lari menghampiri ayahnya, akan tetapi sebelum dia menyentuh ayahnya dia dicegah oleh Cu Seng Bu yang memegang lengan gadis itu.

   Cu Pek In memandang ayahnya dengan air mata menetes di kedua pipinya dan suasana amat menyedihkan dan mengharukan hati keluarga Kao Kok Cu. Mereka ini tahu bahwa dengan berhasilnya mereka melaksanakan perintah kaisar, mereka pun berarti menghancurkan kebahagiaan keluarga Cu ini! Mereka merasa menyesal sekali, akan tetapi apa yang sudah terjadi tidak dapat diperbaiki kembali. Mereka bertiga memandang ke arah Cu Han Bu, seperti yang dilakukan oleh Cu Seng Bu dan Pek In, dan mereka menanti. Tak lama kemudian, pernapasan yang tadinya, memburu itu menjadi semakin tenang dan akhirnya terdengar Cu Han Bu menarik napas paajang, lalu membuka matanya dan pertama kali dia menggerakkan mata, dia memandang ke arah Kao Kok Cu.

   "Terima kasih, Naga Sakti Gurun Pasir, bukan karena engkau telah menyelamatkan aku, melainkan karena engkau telah ingatkan aku yang hampir menjadi pengecut. Engkau benar, dan aku tidak akan takut menghadapi kegagalan. Kami telah kalah. Nah, dengarlah. Pedang itu berada pada muridku yang bernama Sim Hong Bu. Dialah yang berhak mewarisi pedang itu bersama ilmunya dan sekarang, dialah yang berhak atas pedang itu, bukan kami."

   Kao Cin Liong merasa kecewa karena tadinya dia mengharapkan bahwa kemenangan itu akan membuat keluarga ini menyerahkan pedang pusaka itu kembali.

   "Dan, di mana adanya Sim Hong Bu itu, Lo-enghiong?"

   Cu Han Bu tersenyum pahit.

   "Goan-swe engkau boleh menangkapku, menbunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat memaksa kami menjadi pengkhianat-pengkhianat yang mengkhianati dia yang menjadi muridku dan pewaris pedang pusaka kami!"

   Cu Seng Bu dan Cu Pek In juga menentang pandang matanya dengan sikap menantang. Kao Kok Cu maklum bahwa tiada gunanya memaksa karena orang-orang gagah seperti ini tentu akan lebih suka menyerahkan nyawa daripada harus mengkhianati orang sendiri.

   "Satu pertanyaan lagi, Saudara Cu Han Bu. Perlukah aku menggeledah di lembah ini untuk mencari Sim Hong Bu?"

   Cu Han Bu memandang dengan sinar mata tajam.

   "Percuma, dia tidak berada di sini."

   "Biar aku akan mencarinya di sini, Ayah,"

   Kata Cin Liong akan tetapi ayahnya mencegah.

   "Tidak perlu, Cin Liong. Saudara Cu Han Bu sudah mengatakan bahwa dia tidak ada di lembah ini. Dia sudah mengatakan sejujurnya dan aku yakin dia mempunyai cukup kehormatan untuk tidak membohongi kita. Mari kita pergi, kita akan mencari sendiri Sim Hong Bu!"

   Setelah berkata demikian, Kao Kok Cu menjura ke arah mereka dan berkata,

   "Perkenankan kami pergi dari sini, Saudara Cu dan maafkan semua perbuatan kami."

   Kao Kok Cu bersama anak isterinya hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Cu Han Bu bangkit dan berkata dengan suara parau,

   "Kao Kok Cu!"

   Pendekar itu bersama isteri dan puteranya berhenti dan membalikkan tubuh, memandang dengan alis berkerut.

   "Dengarlah! Hari ini kami keluarga Cu kalah olehmu, akan tetapi ingat, murid kami Sim Hong Bu yang kelak akan membuktikan bahwa kami tidak kalah olehmu, dan pedang Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka kami itu yang akan mengalahkanmu! Nah, mulai sekarang, aku dan Adikku akan mengasingkan diri sesuai dengan janji, menjadi hwesio dan bertapa di tempat sunyi. Biarlah murid kami itu yang kelak membalaskan kami. Pek In, antarkan tamu sampai menyeberang!"

   Dengan muka pucat dan mata basah air mata, Cu Pek In memandang dengan mata penuh kebencian kepada keluarga Kao, lalu berkata,

   "Mari!"

   Dia pun lalu berjalan dengan tubuh ditegakkan, menuju ke arah jurang penyeberangan. Kao Kok Cu dan anak isterinya mengikutinya karena mereka maklum bahwa kalau fihak tuan rumah menghendaki, sukar bagi mereka untuk dapat keluar dari lembah itu tanpa bahaya. Andaikata dirusak saja jembatan tambang itu, berarti mereka tidak tahu bagaimana harus keluar dari lembah yang terasing dari dunia luar dan hanya dihubungkan dengan dunia luar melalui jembatan tambang itu saja. Tanpa mengeluarkan kata-kata, Pek In memberi isyarat kepada para penjaga. Jembatan tambang diangkat naik, gadis itupun meloncat ke atas jembatan tambang itu diikuti oleh tiga orang tamunya. Setelah mereka semua tiba di seberang, gadis itu lalu berkata dengan sikap kaku,

   "Selamat jalan!"

   Kao Cin Liong merasa kasihan.

   "Selamat tinggal, Nona dan maafkan kami."

   Akan tetapi gadis itu telah meloncat kembali ke atas jembatan tambang dan berlari cepat menuju kembali ke lembah. Kao Kok Cu menarik napas panjang.

   "Sungguh sayang, Cin Liong, kita telah menanam bibit kebencian dalam hati keluarga yang demikian gagahnya."

   "Kita berada dalam tugas, Ayah, bukan urusan pribadi,"

   Kata Cin Liong tenang.

   "Benar! Kalau mereka itu benar-benar orang gagah tentu menyadari hal itu. Urusan ini urusan tugas pemerintah, bukan urusan pribadi, akan tetapi kalau mereka menganggap sebagai permusuhan, perorangan dan mendendam kepada kita, adalah karena ketololan mereka sendiri!"

   Kata Wan Ceng yang wataknya masih belum berobah, yaitu keras dan berani. Kao Kok Cu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyangkal kebenaran ucapan isterinya dan puteranya, betapapun juga, dia tahu bahwa bagi sebuah keluarga yang hebat seperti keluarga Cu itu, nama merupakan hal yang amat penting dan sekarang mereka itu kehi-langan nama, oleh karena itu sudah pasti mereka merasa sakit hati. Pendekar ini masih mendengar ancaman Cu Han Bu dan dia sudah menganggap nama Sim Hong Bu sebagai nama yang mungkin kelak akan menimbulkan kesukaran baginya dan keturunannya. Agaknya Wan Ceng dapat membaca kekhawatirannya di wajah suaminya, maka nyonya ini berkata dengan gagah,

   "Bekerja tidak boleh kepalang tanggung! Kita telah mengalahkan keluarga itu, dan sekarang, bagaimanapun juga kita harus bisa mendapatkan orang yang bernama Sim Hong Bun itu dan merampas pedang pusaka istana sebelum urusan menjadi berlarut-larut."

   Kao Cin Liong mengangguk.

   "Ucapan Ibu benar sekali, dan saya kira murid mereka itu tentu tidak berada jauh dari lembah ini!"

   Demikianlah, tiga orang itu lalu mulai mencari jejak Sim Hong Bu, akan tetapi karena mereka belum pernah melihat wajah pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu, tentu saja tidak mudah bagi mereka, apalagi, seperti kita ketahui, pemuda itu menyembunyikan diri dalam sebuah guha rahasia untuk melatih ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut sampai sempurna. Dan karena mereka selama beberapa hari menyelidiki tempat-tempat sekitar lembah itu, maka mereka melihat munculnya Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang baru kembali dari perjalanan mereka mengunjungi Sai-cu Kai-ong. Tiga orang itu bersembunyi dan membayangi Yu Hwi dan Cu Kang Bu.

   "Dia.... bukankah dia itu Ang-siocia, murid dari Hek-sin Touw-ong....?"

   Ceng Ceng atau Wan Ceng berbisik kepada suaminya. Kao Kok Cu mengangguk. Kini dia pun teringat, Itulah gadis yang dulu pernah membantu mendiang ayahnya, yaitu Jenderal Kao Liang ketika ayahnya itu ditawan Pangeran Nepal di sebuah benteng yang amat kuat (baca KISAH JODOH RAJAWALI). Gadis liar yang banyak akalnya dan yang pada dasarnya mempunyai watak yang gagah perkasa dan baik, seperti yang telah dibuktikannya ketika membantu ayahnya itu.

   "Dan pria itu.... mungkinkah dia Sim Hong Bu?"

   Bisik Cin Liong dengan jantung berdebar penuh harapan. Pria itu nampak gagah perkasa, tinggi besar seperti raksasa dan memang pantaslah kalau menjadi murid keluarga Cu yang berilmu tinggi, walaupun raksasa ini agaknya sudah terlalu tua untuk menjadi murid mereka.

   "Hemm, mungkin saja. Lihat, mereka menuju ke jurang pemisah lembah"

   Bisik Kao Kok Cu.

   "Sebaiknya kita tanya secara terus terang saja. Heiii, tunggu dulu....!"

   Wan Ceng berseru dan meloncat keluar, diikuti suaminya dan puteranya. Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang sedang berjalan dengan asyik dan mesranya, sambil bergandengan tangan dan bercakap-cakap diseling senyum mesra, terkejut sekali dan cepat mereka saling melepaskan tangan dan membalikkan tubuh memandang kepada tiga orang yang muncul secara tiba-tiba itu. Seorang pendekar seperti Si Naga Gurun Pasir tentu saja sukar dapat dilupakan orang, terutama sekali karena lengannya tinggal sebelah itu. Demikian pula dengan Yu Hwi, begitu melihat pendekar ini, dia terkejut sekali dan teringat, apalagi setelah dia melihat Wan Ceng, maka dengan gagap saking kaget dan juga gembiranya dia berseru,

   "Bukankah.... bukankah saya berhadapan dengan Naga Sakti Gurun Pasir, Kao Kok Cu Taihiap bersama isteri?"

   Ucapan kekasihnya ini membuat Cu Kang Bu juga terkejut bukan main. Pernah dia mendengar nama besar seperti nama tokoh dalam dongeng ini, dan pernah pula kekasihnya bercerita tentang pertemuan kekasihnya dengan pendekar sakti dan isterinya ini ketika kekasihnya membantu mendiang Jenderal Kok Liang, ayah dari pendekar sakti ini.

   "Ingatanmu kuat sekali, Nona. Benar, aku adalah Kao Kok Cu dan ini adalah isteri dan putera kami."

   "Hemm, engkau tentu Ang-siocia, bukan?"

   Wan Ceng berkata sambil memandang wajah gadis itu, akan tetapi lalu dia memandang wajah Cu Kang Bu sambil bertanya penuh curiga,

   "Dan siapakah dia ini?"

   Ang-siocia atau Yu Hwi tertawa mendengar disebut nama julukannya yang sudah lama sekali tak pernah didengarnya yang hampir dilupakannya itu.

   "Ah, Bibi yang gagah perkasa, saya tidak berjuluk Ang-siocia lagi. Lihat, pakaian saya tidak merah, bukan? Dan dia ini adalah...."

   Wajahnya berobah dan dia tidak melanjutkan kata "tunangan"

   Itu.

   ".... bernama Cu Kang Bu."

   "Ah....!"

   Cin Liong berseru, kecewa.

   "Apakah masih saudara dengan sahabat-sahabat Cu Han Bu dan Cu Seng Bu?"

   Tanya Kao Kok Cu. Cu Kang Bu yang sudah lama mengagumi nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sudah cepat menjura dengan hormat dan menjawab,

   "Mereka itu adalah kakak-kakak saya dan saya merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan Kao-taihiap yang nama besarnya sudah lama saya dengar dari..... tunangan saya ini."

   Mendengar bahwa laki-laki gagah perkasa bertubuh raksasa ini adalah adik dari keluarga Cu yang merahasiakan di mana adanya Sim Hong Bu yang mem-bawa pedang pusaka itu, Wan Ceng yang cerdik cepat bertanya,

   "Saudara Cu Kang Bu, dapatkan engkau memberitahu kami di mana adanya Sim Hong Bu....?"

   "Sim Hong Bu....?"

   Kang Bu dan Yu Hwi berkata heran, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Mereka tidak tahu mengapa keluarga ini bertanya tentang murid itu, dan mereka meragu apakah mereka boleh memberitahukan kepada orang lain karena pemuda itu sedang menyembunyikan dirinya untuk menggembleng diri dan melatih ilmu pedang sampai sempurna. Bukankah Sim Hong Bu mempunyai tugas yang amat berat, yaitu kelak dialah yang harus mengangkat kembali nama keluarga lembah dan menandingi kalau mungkin mengalahkan Suling Emas? Selagi mereka meragu, terdengar suara nyaring di belakang mereka.

   "Paman, jangan beritahukan! Ayah dan Paman Seng Bu telah terluka oleh mereka dan sedang menanti kedatangan Paman!"

   Kiranya yang bicara itu adalah Cu Pek In yang memandang ke arah keluarga Kao itu dan dengan sinar mata penuh kebencian.

   "Mereka ingin merampas pedang pusaka kita, dan kalau mereka tahu di mana adanya dia, tentu akan diram-pasnya pedang itu!"

   Cu Kang Bu memandang dengan mata terbelalak, sedangkan Yu Hwi memandang pendekar sakti den isterinya itu dengan wajah terheran-heran.

   "Bagaimana Ji-wi dapat melakukan hal seperti itu? Aku.... aku tidak peccaya...."

   Kao Kok Cu menarik napas panjang.

   "Kami adalah utusan Kaisar yang ingin agar pedang pusaka yang dicuri dari gudang pusaka istana itu dikembalikan."

   Mengertilah kini Yu Hwi dan dia menjadi serba salah. Akan tetapi Kang Bu sudah menarik tangannya.

   "Mari, Hwi-moi, kita menengok kedua kakak kita yang terluka."

   Dan mereka bertiga lalu lari ke arah jurang, menyeberangi jurang melalui jembatan tambang, meninggalkan tiga orang keluarga Kao yang hanya dapat meman-dang saja.

   "Agaknya tak mungkin dapat diharapkan dapat menemukan Sim Hong Bu itu melalui mereka, dan harus dicari lebih jauh lagi! kata pendekar itu yang mengajak anak isterinya untuk meninggalkan lembah. Akan tetapi mereka mencari terlalu jauh. Tak lama sesudah Cu Kang Bu dan Yu Hwi kembali ke lembah, dengan hati-hati sekali Cu Kang Bu lalu meninggalkan lembah untuk pergi ke guha tempat persembunyian Sim Hong Bu dan dia mengajak pemuda itu untuk pergi ke lembah. Keluarga Cu berduka cita, bukan hanya karena Cu Han Bu dan Cu Seng Bu kalah bertanding dan terluka parah, akan tetapi juga karena keputusan dua orang tokoh itu untuk selanjutnya mencukur gundul kepala mereka dan hidup sebagai pertapa yang mengasingkan diri!

   "Sebelum kami berdua mencukur rambut dan meninggalkan tempat ini untuk mengasingkan diri sebagai pendeta, aku ingin lebih dulu menunaikan kewajibanku meresmikan pernikahan kalian, Kang Bu dan Yu Hwi. Keadaan kita sedang prihatin, oleh karena itu maafkanlah saudara tuamu ini bahwa terpaksa pernikahan kalian tidak diramaikan, cukup disaksikan oleh para pembantu murid kita di lembah dan dilakukan upacara sembahyang kepada leluhur kita. Sesudah itu, kalian berdualah yang kami serahi untuk mengurus lembah ini, akan tetapi kalau kalian menghendaki untuk tinggal di tempat lain, terserah, asalkan semua anak buah dibubarkan lebih dulu dan jembatan yang menghubungkan lembah ini keluar dimusnahkan. Dan aku titip Pek In kepada kalian."

   Cu Han Bu berhenti sebentar dan menarik napas panjang untuk menekan hatinya yang terharu melihat Pek In menangis terisak-isak.

   "Dan engkau, Sim Hong Bu. Engkau adalah murid kami, juga pewaris pedang pusaka keluarga Cu. Bahkan engkau satu-satunya pewaris Ilmu Pedang Koa-liong Kiam-sut. Engkau menjadi buronan pemerintah, karena kaisar telah mengirim utusan untuk merampas pedang pusaka. Bersumpahlah bahwa engkau akan mempertahankan pedang pusaka kami itu, demi menjunjung nama keluarga kami!"

   "Teecu bersumpah, Suhu."

   Kata Hong Bu dengan suara tegas.

   "Teecu akan mempertahankan pedang ini dengan taruhan nyawa teecu!"

   

Jodoh Rajawali Eps 38 Kisah Sepasang Rajawali Eps 58 Jodoh Rajawali Eps 7

Cari Blog Ini