Kisah Pendekar Pulau Es 2
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Karena masih menduga bahwa mungkin sekali mereka ini adalah kenalan-kenalan kakeknya walaupun hal ini sungguh amat meragukan, maka Suma Hui lalu menjawab.
"Tocu Pulau Es adalah kakek kami.!
Terdengar seruan-seruan kaget mendengar pengakuan ini dan tosu itu juga berseru.
"Siancai! Kiranya kalian adalah cucu-cucu dari Pendekar Siluman Suma Han?!
"Kakekku adalah Pendekar Super Sakti, bukan siluman!! Tiba-tiba Ceng Liong membentak. Bagi keluarga ini, julukan Pendekar Siluman dari kakek mereka dianggap kurang sedap dan lebih membanggakan kalau kakek mereka dijuluki Pendekar Super Sakti. Akan tetapi anehnya, Ceng Liong sendiri tidak merasa keberatan dengan julukan ayah kandungnya, yaitu Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.
"Bagus! Kebetulan sekali kalau begitu! Sebelum menebang batangnya, lebih baik menebangi cabang-cabang dan ranting-rantingnya lebih dulu!! Kata-kata ini belum dapat dimengerti atau ditangkap artinya oleh Suma Hui ketika tiba-tiba saja tosu itu sudah menyerangnya dengan hebat. Gerakan tosu ini cepat dan kuat sekali, sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan dua orang terdahulu yang dirobohkan oleh Ceng Liong dan Ciang Bun. Jelaslah bahwa tosu ini lihai sekali dan memiliki ilmu silat tinggi. Dan memang sesungguhnyalah. Tosu ini adalah seorang tokoh dari partai Im-yang-pai dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga sin-kang yang kuat. Kalau tidak lihai, tentu dia tidak akan dipercaya untuk memimpin rombongan orang-orang gagah dalam perahu itu.
Suma Hui telah memiliki tingkat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua adiknya. Dara ini selain lincah dan cepat, juga memiliki kecerdikan. Dalam menghadapi serangan tosu itu, ia bersikap tenang saja dan dengan waspada ia mengikuti gerakan lawan yang melakukan serangan. Tosu itu menamparnya dengan tangan kiri, akan tetapi tamparan yang dilakukan dengan keras itu hanya merupakan pancingan atau gertakan belaka, sedangkan yang lebih berbahaya adalah tangan kanannya yang melakukan dorongan lembut saja ke arah dadanya.
Dorongan inilah yang berbahaya karena Suma Hui dapat merasakan kekuatan besar yang panas tersembunyi dalam dorongan lembut itu! Dalam sekejap mata saja dara perkasa inipun maklum bahwa lawannya menggunakan sin-kang yang keras atau panas, maka iapun sudah siap untuk menyambutnya.
Ia sengaja membiarkan dirinya terpancing, mengangkat lengan kanannya untuk menangkis tamparan tangan kiri lawan seolah-olah ia tidak tahu bahwa dorongan tangan kanan lawan itulah yang berbahaya.
"Plakk!! Lengan kanannya menangkis tamparan dan pada saat itu, dorongan tangan kanan lawan yang kuat dan panas itupun menyambar masuk. Suma Hui mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang ke dalam lengan kirinya dan iapun menangkis dorongan itu sambil mengerahkan sebagian dari tenaga dingin.
"Dukk....!!
Pertemuan kedua tangan dan lengan itu membuat si tosu terdorong ke belakang beberapa langkah dan biarpun dia tidak sampai terguling jatuh, akan tetapi tubuhnya menggigil dan mukanya seketika menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu, seolah-olah tidak percaya. Dia sendiri adalah ahli sin-kang dan telah menguasai tenaga Im dan Yang dari ilmu partainya, akan tetapi di tempat dingin seperti Pulau Es itu, di mana dia sudah harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin, dia tahu bahwa tidak mungkin dia mempergunakan Im-kang atau tenaga dingin di tempat ini. Karena itu, dia tadi telah mempergunakan tenaga panas atau Yang-kang ketika menyerang lawan.
Siapa kira, dara itu malah mempergunakan tenaga dingin yang amat kuat untuk melawannya, membuat tubuhnya seketika kedinginan! Tosu Im-yang-pai itu menjadi penasaran sekali. Cepat dia mengerahkan tenaga untuk mengusir hawa dingin itu, kemudian dia mengeluarkan teriakan nyaring dan menyerang lagi kalang kabut dengan amat dahsyatnya. Namun Suma Hui telah siap siaga dan menyambut serangan-serangannya dengan lincah, bukan hanya mengelak dan menangkis, bahkan juga balas menyerang dengan sengit. Dara ini telah mempergunakan Ilmu Toat-beng Bian-kun yang lembut namun dahsyat itu. Tentu saja tosu Im-yang-pai iku tidak mengenal ilmu silat ini dan segera dia mulai terdesak hebat.
"Pergilah!! Suma Hui berseru nyaring dan tangan kirinya yang kecil itu menyambar halus ke arah leher lawan. Tosu itu cepat berusaha mengelak dan balas memukul, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget karena tahu-tahu tangan itu sudah menyambar dan mengenai ujung pundaknya, biarpun dia sudah melempar tubuh ke belakang.
"Brettt!! Jubahnya di bagian pundak hancur dan ujung pundak itu terasa nyeri seperti hancur daging kulitnya. Untung baginya bahwa tulang pundaknya tidak terkena serempet pukulan itu. Bagaimanapun juga, hal itu membuatnya terkejut dan ketika dia melempar tubuh ke belakang tadi, dia terus menjatuhkan diri bergulingan menjauh. Ketika dia meloncat bangun, keringat dingin membasahi dahinya, maklum bahwa hampir saja dia celaka oleh dara muda itu.
Dia maklum bahwa biarpun dara itu masih muda sekali, namun sebagai cucu Pendekar Super Sakti, ternyata telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan kalau dilanjutkannya melawan dara itu, besar bahayanya dia akan kalah dan celaka. Maka diapun memberi isyarat kepada kawan-kawannya lalu mencabut pedangnya. Enam orang kawannya itu, dua orang yang tadi dirobohkan oleh Ciang Bun dan Ceng Liong dan yang sudah pulih kembali, segera menerjang dengan senjata masing-masing di tangan!
Jelas bahwa mereka itu berniat membunuh, seperti sekumpulan serigala yang haus darah.Akan tetapi, Suma Hui sudah melolos pula sepasang pedangnya, melemparkan sebatang kepada Ceng Liong, sedangkan Ciang Bun juga sudah mengeluarkan pedang yang biasanya dipakai berlatih. Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti ini lalu memutar pedang di tangan masing-masing dan mengamuk menyambut serbuan tujuh orang penjahat itu
Terjadilah perkelahian yang amat hebat dan berat sebelah. Di satu pihak adalah tiga orang yang masih amat muda, bahkan yang seorang masih anak-anak, sedangkan di lain pihak adalah tujuh orang tokoh-tokoh dunia persilatan yang sudah memiliki nama besar. Bagaimanapun juga, tujuh orang ini sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan ujung pedang Ciang Bun telah melukai paha seorang lawan, juga ujung pedang Suma Hui telah melukai lengan kiri lawan. Ceng Liong yang masih kecil itupun masih mampu mempertahankan diri, mengelak, menangkis bahkan balas menyerang walaupun dia dikeroyok oleh dua orang jagoan!
Tentu saja Ciang Bun tidak sampai hati membiarkan adik kecil ini dikeroyok dua, maka sambil menghadapi pengeroyokan dua orang lainnya, dia selalu mendekati Ceng Liong dan sewaktu-waktu membantunya agar jangan terlalu dihimpit. Suma Hui sendiri dikeroyok tiga, seorang di antaranya adalah tosu Im-yang-pai, akan tetapi dara ini jelas dapat mendesak tiga orang lawannya dan kalau dilanjutkan, agaknya tak lama lagi dara ini akan mampu merobohkan mereka bertiga.
Akau tetapi, pada saat itu, dua buah perahu didayung ke tepi oleh para penumpangnya dan dari masing-masing perahu berlompatan lima orang yang memiliki gerakan ringan, terutama sekali seorang di antaranya yang berpakaian seperti pertapa dan rambutnya digelung ke atas, mukanya penuh cambang bauk dan tangannya memegang sebatang cambuk baja yang hitam panjang! Sepuluh orang ini nampak terkejut dan terheran-heran menyaksikan betapa tujuh orang rekan mcreka yang mengeroyok tiga orang muda setengah anak-anak itu terdesak dan kewalahan.
"Tahan! Mundur semua! Tar-tar-tar!! Tiba-tiba terdengar bunyi lecutan cambuk baja yang meledak-ledak di atas kepala tiga orang cucu Pendekar Super Sakti. Mereka terkejut sekali dan Suma Hui maklum akan kehebatan tenaga yang terkandung dalam ujung cambuk itu, maka iapun meloncat ke belakang sambil meneriaki kedua orang adiknya untuk mundur. Dua orang anak laki-laki itupun tahu akan kelihaian tosu ini, maka merekapun cepat mundur sambil melintangkan pedang melindungi dirinya.
Kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dialah tokoh utama Im-yang-pai yang telah membawa perkumpulan itu menyeleweng ke jalan sesat. Nama julukannya adalah Ngo-bwe Sai-kong (Kakek Muka Singa Berekor Lima). Mukanya memang penuh cambang bauk seperti muka singa, dan julukan Lima Ekor itu didapatnya dari senjatanya. Senjata Thi-pian (Cambuk Besi) yang ujungnya lima sehingga merupakan ekor yang lima buah banyaknya. Cambuknya ini berbahaya sekali dan jarang dia menemui tandingan. Tentu saja, sebagai seorang tokoh besar bahkan dia berani mengangkat diri dengan sebutan ciangbujin atau datuk setelah tewasnya Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat), dia malu kalau harus menghadapi tiga orang anak-anak muda dengan pengeroyokan.
Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu telah tahu bahwa sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, di dunia persilatan terdapat lima orang datuk sesat yang terkenal yaitu Im-kan Ngo-ok. Im-kan Ngo-ok pada sebelas tahun yang lalu telah tewas semua di tangan pendekar-pendekar muda. Tak dapat disangkal bahwa selain lima orang datuk ini, di dalam dunia kaum sesat masih terdapat banyak orang yang kepandaiannya tidak kalah atau tidak selisih jauh dibandingkan dengan mereka, akan tetapi yang menonjol hanyalah Im-kan Ngo-ok. Baru setelah lima orang itu tewas, bermunculan datuk-datuk baru dan satu di antaranya adalah Ngo-bwe Sai-kong inilah!
Setelah mengamati tiga orang muda itu, akhirnya pandang mata saikong ini melekat pada wajah Suma Hui. Saikong ini telah berusia lanjut, paling sedikit enam puluh lima tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak gagah dan tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, dan pandang matanya masih penuh nafsu berahi, ciri seorang laki-laki yang besar nafsunya dan mata keranjang. Memang inilah satu di antara cacat saikong itu.
"Nona manis, mari engkau ikut denganku, akan kuajari bagaimana caranya bermain pedang!! katanya sambil tersenyum dan melangkah maju menghampiri Suma Hui.
"Setan tua jangan ganggu ciciku!! Ceng Liong yang masih terengah-engah karena perkelahian tadi, dan pandang matanya penuh dengan kemarahan, sudah menggerakkan pedangnya dan menusuk ke arah perut saikong itu. Kakek itu sama sekali tidak mengelak, melainkan menerima saja tusukan itu.
Ceng Liong adalah seorang anak keturunan pendekar sakti dan cucu dari Pendekar Super Sakti. Sejak kecil bukan hanya telah digembleng ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga digembleng oleh ajaran-ajaran tentang kegagahan. Oleh karena itu, melihat betapa lawannya tidak mengelak atau menangkis, tentu saja dia terkejut sekali. Merupakan pantangan bagi seorang gagah untuk menyerang orang yang tidak mau melawan. Akan tetapi, tusukannya telah dilakukan dan dia tidak dapat menariknya kembali, kecuali mengurangi tenaga sin-kang yang tadinya telah dikerahkannya.
"Tukk!! Pedang itu tepat menusuk perut, akan tetapi mental kembali dan Ceng Liong malah terdorong mundur dua langkah!
"Heh-heh, anak nakal, pergilah!! Kakek itu berkata dan tangan kirinya bergerak, ujung lengan baju yang lebar itu menyambar ke arah kepala Ceng Liong. Serangan yang kelihatannya sederhana saja akan tetapi di dalam ujung lengan baju itu terkandung tenaga kuat yang mampu membuat ujung lengan baju itu memecahkan batu karang! Ceng Liong biarpun masih kecil namun dia sudah tahu akan ilmu-ilmu yang hebat dan dia mengenal serangan berbahaya, maka diapun menggerakkan tangan kirinya menangkis ujung lengan baju.
"Plakk!! Dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terbanting keras. Anak ini cepat menggulingkan tubuhnya, membiarkan dirinya bergulingan dan akhirnya dia dapat meloncat bangun tanpa luka. Dengan pedang di tangan, anak ini hendak menyerang lagi, akan tetapi dia didahului oleh Ciang Bun yang sudah meloncat ke depan.
"Kakek siluman, berani engkau memukul adikku?! Ciang Bun juga menggerakkan pedangnya. Serangannya tentu saja berbeda dengan serangan Ceng Liong tadi, jauh lebih kuat dan lebih berbahaya. Ngo-bwe Sai-kong tahu akan hal ini, maka diapun tidak berani ceroboh menerima sambaran pedang itu dengan tubuhnya. Tangan kanannya bergerak dan terdengar bunyi ledakan ketika ujung cambuk besinya melecut dan menangkis pedang itu.
"Cringgg!! Ciang Bun terkejut sekali dan cepat menggunakan sin-kang untnk melawan getaran hebat yang dirasakannya ketika pedangnya bertemu dengan ujung cambuk. Di lain pihak, Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut dan terheran-heran. Dia telah mengerahkan tenaga sin-kangnya, dan sudah merasa yakin bahwa tentu pedang pemuda remaja itu akan terlempar jauh, bahkan lengan pemuda itu tentu akan menjadi lumpuh. Akan tetapi, pedang itu tidak terlepas dan lengan itupun sama sekali tidak lumpuh karena pada detik berikutnya, pedang itu kembali telah menyerangnya dengan amat ganas!
"Hemm, bocah bandel!! katanya dan kembali terdengar ledakan-ledakan ketika pecut besi itu menyambar-nyambar, menahan pedang ke manapun pedang itu bergerak. Dan setiap kali pedang bertemu dengan ujung cambuk besi, Ciang Bun merasa betapa lengannya tergetar hebat.
"Bun-te, mundurlah!! Tiba-tiba Suma Hui yang maklum bahwa adiknya kewalahan dan kalau dilanjutkan adiknya itu akan terancam bahaya, berteriak dan iapun sudah meloncat ke depan menyerang kakek itu dengan pedangnya. Serangannya amat hebat karena dara ini yang maklum akan kelihaian lawan telah mengerahkan tenaga dan telah mainkan jurus dari Siang-mo Kiam-sut setelah dengan cekatan ia menerima pedang dari Ceng Liong yang meugembalikan pedang itu kepada Suma Hui. Dengan sepasang pedang di tangannya dan mainkan Siang-mo Kiam-sut, dara ini benar-benar merupakan lawan yang amat berbahaya
Ngo-bwe Sai-kong maklum akan hal ini maka diapun beberapa kali mengeluarkan seruan kaget ketika nyaris ujung pedang dara itu mengenai tubuhnya. Dia tahu bahwa dara ini amat lihai, dan karena dia dapat menduga bahwa tentu dara ini ada hubungannya dengan majikan pulau, yaitu Pendekar Super Sakti, maka diapun tidak berani memandang rendah. Cambuk besinya lalu digerakkan dan terjadilah perkelahian yang seru antara mereka, ditonton oleh semua orang yang menjadi semakin kagum saja melihat betapa seorang dara muda seperti itu dapat menandingi seorang datuk seperti Ngo-bwe Sai-kong yang amat lihai dan ditakuti orang.
Biarpun masih muda, baru delapan belas tahun usianya, namun dara itu sebenarnya telah memiliki dasar ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada lawannya. Akan tetapi, ia kalah jauh dalam pengalaman, siasat dan juga latihan. Suma Hui merupakan batu mulia yang belum tergosok, pengalamannya masih jauh kurang, dan juga latihannya masih belum matang.
Oleh karena itulah, setelah menandingi kakek yang seperti iblis itu selama tiga puluh jurus, ia mulai terdesak dan bingung oleh bunyi cambuk yang meledak-ledak dan lima ujung cambuk yang seperti telah berobah menjadi lima ekor ular yang mematuk-matuk itu. Akhirnya, satu di antara lima ujung cambuk itu telah menyerempet pundaknya.
Suma Hui terhuyung. Pundaknya tidak terluka berat dan hanya terasa panas, akan tetapi kedudukannya menjadi terhuyung, kuda-kudanya terbongkar dan pertahanannya terbuka. Pada saat itu, cambuk sudah meledak-ledak lagi, siap menyambar turun dengan serangan maut selagi keadaan Suma Hui lemah seperti itu. Dan agaknya kakek itupun tidak merasa sayang lagi untuk membunuh dara yang dianggapnya berbahaya ini, maka cambuknyapun meledak dan meluncur ke bawah.
"Trangggg....!! Bunga api muncrat dan kakek itu terkejut, cepat melompat ke belakang dan mengangkat muka memandang wanita tua berpakaian serba hitam itu. Dia makin terkejut karena melihat betapa nenek tua renta ini memiliki sepasang mata yang mencorong seperti mata naga dalam dongeng! Tak dapat disangsikan lagi bahwa nenek ini tentulah seorang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Ngo-bwe Sai-kong tahu diri, maka diapun cepat menjura dengan sikap hormat.
"Siancai....! Siapakah toanio yang terhormat dan masih ada hubungan apa dengan tocu Pulau Es?!
Nenek itu bukan lain adalah nenek Lulu yang tadi meninggalkan suami dan madunya untuk keluar dari istana mencari tiga orang cucunya. Ketika tadi ia keluar dan mencari-cari, ia mendengar sesuatu yang tidak wajar dari arah tepi teluk, maka iapun segera menuju ke tempat itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya melihat begitu banyaknya orang di situ, mengurung tiga orang cucunya dan melihat betapa Suma Hui terdesak hebat oleh cambuk besi seorang kakek saikong berpakaian pendeta.
Ia menjadi marah sekali dan segera turun tangan menangkis ujung cambuk besi itu. Kini, dengan sinar matanya yang berapi-api, nenek tua renta ini menyapu keadaan di situ dengan sikap marah. Ada tujuh belas orang di situ, dan kesemuanya memiliki ilmu silat yang kuat, terutama sekali kakek yang berhadapan dengannya ini. Ia menyapu keadaan tiga oraug cucunya dengan pandang mata dan hati merasa lega. Cucu-cucunya selamat, tidak ada yang terluka nampaknya. Dan orang-orang ini pasti bukan orang baik-baik.
"Hemm, kalian ini orang-orang lancang agaknya sudah bosan hidup, berani mendarat di Pulau Es tanpa ijin. Bahkan kalian berani mati mengganggu cucu-cucuku ini, sungguh dosa kalian hanya dapat ditebus dengan nyawa!! Suaranya lembut akan tetapi di dalam kelembutannya mengandung ancaman yang menyeramkan. Banyak di antara tujuh belas orang itu seketika menjadi pucat wajahmya mendengar kata-kata itu.
Juga Ngo-bwe Sai-kong terkejut. Kiranya nenek ini adalah isteri Pendekar Super Sakti. Dia dan kawan-kawannya telah mempelajari dan mencari tahu akan keadaan keluarga Pulau Es dan dia mendengar bahwa Pendekar Super Sakti mempunyai dua orang isteri. Yang pertama sudah amat terkenal dan dia sendiri pernah melihatnya ketika Puteri Nirahai menjadi panglima. Dan kabarnya yang seorang lagi adalah seorang wanita yang juga amat lihai dan agaknya inilah orangnya!
"Bagus sekali, kedatangan kami justeru untuk mencabut nyawa keluarga Pulau Es, dan akan kami mulai dengan nyawamu!! kata Ngo-bwe Sai-kong tanpa banyak komentar lagi. Cambuknya sudah meledak-ledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dan diapun sudah memberi tanda kepada teman-temannya yang segera menyerbu.
Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong sudah melawan lagi dan mereka bertiga dikeroyok oleh tujuh orang pertama tadi yang ditambah lagi dengan lima orang. Sedangkan nenek Lulu dikeroyok oleh lima orang yang lain, yaitu Ngo-bwe Sai-kong dan empat orang temannya. Ternyata bahwa empat orang teman Ngo-bwe Sai-kong ini merupakan yang terpandai di antara rombongan itu, dengan kepandaian yang hanya setingkat di bawah Ngo-bwe Sai-kong! Dan mengamuklah nenek Lulu!
Tubuhnya yang berpakaian hitam itu lenyap berobah menjadi bayangan hitam yang menyelinap di antara senjata-senjata lima orang pengeroyoknya dan kadang-kadang terdengar lengkingan-lengkingannya kalau ia balas menyerang. Sepak terjangnya menggiriskan dan dalam waktu belasan jurus saja ia sudah berhasil menampar kepala dua orang pengeroyok secara beruntun.
"Krakk! Krakk!! Dua orang itu roboh dengan kepala remuk dan tewas seketika! Tentu saja Ngo-bwe Sai-kong menjadi terkejut dan cepat memberi tanda kepada pembantu-pembantunya untuk maju mengeroyok. Lima orang yang tadi ikut mengeroyok tiga orang cucu majikan Pulau Es itu lalu menerjang dan membantu saikong itu. Nenek Lulu dikeroyok oleh delapan orang, dan tiga orang anak muda itu masih tetap dikepung oleh tujuh orang lawan yang dipimpin oleh tosu Im-yang-pai yang menjadi murid keponakan Ngo-bwe Sai-kong.
Dikeroyok oleh delapan orang itu, nenek Lulu tidak terdesak, bahkan ia mengamuk seperti seekor naga betina. Wajahnya berseri, gembira dan juga ganas, bibirnya tersenyum dan matanyaberkilat-kilat. Ia tetap bertangan kosong, akan tetapi kepandaian nenek ini sudah sedemikian hebatnya sehingga tangkisan lengannya pada senjata lawan menimbulkan bunyi seolah-olah senjata itu bertemu dengan logam yang keras!
Akan tetapi, bagaimanapun juga, nenek Lulu yang usianya telah sembilan puluh tahun lebih itu tidaklah sekuat dahulu lagi daya tahannya. Selain usia tua telah menggerogoti tubuh dan kekuatannya dari dalam, juga selama puluhan tahun ia tinggal di Pulau Es, tidak pernah lagi bertanding dengan siapapun juga sehingga bagaimanapun juga ia sudah kehilangan banyak kelincahannya, kurang latihan.
Maka, setelah mengamuk hebat selama kurang lebih seratus jurus saja, napasnya sudah mulai terengah-engah dan kelelahan mulai membuatnya merasa lemas. Akan tetapi, akibat dari amukannya itu memang hebat. Ia telah merobohkan tujuh orang yang tewas seketika dan selain itu, juga ia mampu melindungi tiga orang cucunya karena selama mengamuk, nenek ini terus memperhatikan cucu-cucunya dan setiap kali menolong kalau ada cucunya yang terancam bahaya senjata para pengeroyok. Akan tetapi, akhirnya ia sendiri terdesak hebat, apalagi oleh desakan cambuk besi di tangan Ngo-bwe Sai-kong yangamat lihai dan ganas. Nenek ini tahu bahwa ia sudah mulai kehilangan kekuatannya dan hal ini amat membahayakan tiga orang cucunya.
"Hui...., Bun...., Liong.... larilah, beritahu kakek kalian....!! Akan tetapi pada saat itu, sebatang pedang telah menusuk paha kaki kirinya. Nenek ini terhuyung akan tetapi tangan kirinya dapat menangkap pedang itu, merenggutnya lepas dan sekali melontarkan pedang itu ke depan, terdengar jerit mengerikan karena si pemilik pedang roboh dengan dada tertembus pedangnya sendiri. Akan tetapi pada saat itu, sebuah di antara lima ujung cambuk besi Ngo-bwe Sai-kong menyambar sedemikian cepatnya sehingga tidak sempat dielakkan lagi oleh nenek Lulu.
"Tukk....!! Tubuh nenek itu nampak kejang seketika, akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan lengking panjang dan tahu-tahu tubuhnya meluncur ke depan, kedua tangannya bergerak menusuk dengan jari tangan terbuka.
"Plak! Dukkk....!! Tubuh Ngo"bwe Sai-kong yang tinggi besar itu terjengkang dan dari mulutnya terdengar teriakan menyayat hati dibarengi semburan darah segar, lalu kaki tangan kakek itu berkelojotan, matanya melotot dan dari tenggorakannya terdengar suara mengorok.
Nenek Lulu sendiri terhuyung, akan tetapi terdengar suara ketawa dari mulutnya, sungguh amat menyeramkan hati. Dan pada saat itu, nampak berkelebat dua bayangan orang, yang satu langsung menyambar tubuh nenek Lulu dan memondongnya sebelum tubuh itu terguling, sedangkan bayangan yang satu lagi mengamuk, membuat para pengeroyok jatuh bangun. Dua bayangan ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han dan isterinya, Puteri Nirahai.
Kakek Suma Han sudah melihat keadaan isterinya maka diapun langsung menyambar tubuh nenek Lulu, sedangkan nenek Nirahai mengamuk, menggunakan kaki tangannya, menampar dan menendang ke sana-sini. Para pengeroyak menjadi panik setelah melihat robohnya Ngo-bwe Sai-kong, apalagi dengan munculnya Pendekar Super Sakti yang nampak sibuk memeriksa keadaan nenek Lulu sedangkan nenek Nirahai mengamuk seperti naga sakti beterbangan. Maka, sisa para pengeroyok itu lalu berloncatan ke dalam tiga buah perahu mereka sambil membawa teman-teman yang tewas dan terluka.
"Jangan harap dapat lari dari sini!! bentak nenek Nirahai sambil mengejar, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat di depannya dan tahu-tahu lengannya telah dipegang oleh suaminya.
"Tidak perlu dikejar, biarkan mereka pergi....! kata Suma Han dengan suara halus. Sejenak ada kekerasan dan perlawanan dalam sinar mata nenek Nirahai, akan tetapi seperti biasanya, kekerasannya mencair setelah bertemu dengan pandang mata suaminya. Seperti baru sadar dari mimpi buruk, nenek Nirahai memejamkan mata dan menyandarkan mukanya di dada suaminya itu sebentar, kemudian ia teringat lagi dan cepat melepaskan dirinya dan lari menghampiri tubuh nenek Lulu. Tiga orang cucunya juga telah berlutut di dekat tubuh nenek Lulu, kelihatan bingung melihat nenek itu rebah dengan napas lemah sekali dan mata terpejam, akan tetapi mulut nenek itu tersenyum!
"Bagaimana keadaannya....?! Nenek Nirahai bertanya khawatir.
"Kita bawa ia pulang,! kata kakek Suma Han tanpa menjawab pertanyaan itu, memondong tubuh isterinya ke dua itu lalu membawanya kembali ke istana, diikuti oleh nenek Nirahai yang menundukkan mukanya menyembunyikan kedukaan karena ia sudah dapat merasakan dari sikap suaminya bahwa keadaan madunya itu tidak dapat tertolong lagi.
Mereka disambut oleh tiga orang pria dan dua orang wanita pelayan mereka. Para pelayan itulah yang tadi melaporkan kepada Suma Han dan Nirahai tentang adanya perkelahian di tepi pantai teluk itu. Mereka sendiri tidak berani sembarangan turun tangan melihat betapa para penyerbu itu adalah orang-orang pandai.
Tubuh nenek Lulu direbahkan di atas dipan di dalam kamarnya. Kakek Suma Han dan nenek Nirahai lalu mempergunakan sin-kang mereka untuk membantu nenek Lulu, menempelkan telapak tangan mereka pada dada dan punggung. Akhirnya nenek Lulu mengeluarkan suara keluhan lirih dan membuka kedua matanya. Mula-mula ia seperti orang keheranan melihat suaminya, madunya, dan tiga orang cucunya menunggunya di dalam kamarnya. Akan tetapi ia segera teringat dan mulutnya bergerak, akan tetapi tidak ada suara yang keluar, melainkan darah yang mengalir dari ujung bibirnya yang kiri karena ia miring sedikit ke kiri.
"Tenanglah, engkau terluka parah....! kata suaminya dengan suara halus.
"Me.... mereka....?! bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi pandang matanya berseri lega ketika ia melihat keadaan tiga orang cucunya sehat-sehat saja.
"Mereka sudah kuhajar dan tentu sudah kubunuh semua kalau saja suami kita yang selalu berhati lunak ini tidak menghalangiku!! kata nenek Nirahai.
"Engkau terluka oleh saikong itu, dia lihai sekali akan tetapi engkau telah berhasil melempar nyawanya ke neraka!!
Nenek Lulu tersenyum dan melirik kepada suaminya. Sungguh mengherankan sekali. Dalam keadaan terluka parah itu, sampai ia tidak mampu mengeluarkan suara, nenek ini tersenyum-senyum gembira dan seperti hendak menggoda suaminya yang dicela oleh madunya! Mulutnya kembali bergerak-gerak hendak bicara akan tetapi ia terbatuk-batuk. Kakek Suma Han lalu menotok beberapa jalan darah di leher dan kedua pundaknya dan napas nenek Lulu kelihatan lega sekarang dan setelah beberapa kali berusaha, akhirnya ia mampu juga mengeluarkan suara.
"Aku gembira.... aku.... aku dapat mati seperti.... harimau betina.... yang gagah....! Aku.... senang sekali.... cucu-cucuku.... jadilah orang gagah....! Sampai di sini suaranya habis, kepalanya terkulai dan matanya kehilangan cahayanya.
Kakek Suma Han menggunakan tangannya untuk menutupkan mata dan mulut isterinya, dan nenek Nirahai menahan isak membetulkan letak kaki tangan madunya. Tiga orang cucu mereka itu terbelalak memandang, kemudian tiba-tiba pecahlah suara tangis Suma Hui.
"Nenek....! Nenek telah meninggal dunia....!!
Melihat encinya menangis, Ciang Bun juga menangis, akan tetapi tangisnya tidak bersuara, hanya mengucurkan air mata saja yang diusapnya dengan lengan bajunya. Akan tetapi, Ceng Liong menangis terisak-isak seperti encinya. Melihat mereka bertiga menangis, para pelayan wanita juga menangis dan akhirnya Nirahai tidak dapat menahan lagi air matanya yang mengalir turun. Telah puluhan tahun ia hidup bersama suaminya dan madunya itu dan ia sudah menganggap Lulu sebagai adiknya sendiri.
"Aku ingin seperti Lulu! Aku ingin mati seperti Lulu!! Berkali-kali nenek Nirahai berkata sambil mengepal tinju dan air mata yang menetes-netes menuruni kedua pipinya itu didiamkannya saja.
Kakek Suma Han yang duduk bersila di dekat jenazah isterinya, tersenyum sendiri menyaksikan bagaimana kedukaan terbentuk dalam dirinya. Mula-mula dia melihat kenyataan bahwa isterinya yang tercinta itu mati. Kenyataan yang tak dapat dirobah oleh siapapun juga, kenyataan yang wajar dan tidak mengandung suka maupun duka. Siapakah orangnya yang dapat menghindarkan diri dari kematian? Dan matinya Lulu wajar, juga tidak perlu dibuat penasaran.
Usianya sudah sembilan puluh tahun dan tewas dalam tangan seorang lawan yang amat lihai, masih dikeroyok banyak orang lagi. Kematian yang wajar. Lalu pada saat dia mendengar semua orang menangis, dan melihat wajah nenek Lulu, pikirannya membayangkan segala hal yang dilalui dalam hidupnya bersama Lulu. Terbayang dan terkenanglah kembali masa-masa muda mereka, saat-saat manis mereka, suka duka mereka yang mereka hadapi dengan bahu-membahu, dan saling mencinta.
Pikirannya membayangkan pula bahwa dia telah kehilangan orang yang amat dicintanya. Semua kenangan ini lalu mendatangkan rasa iba diri dan muncullah duka! Suma Han melihat ini semua dan diapun tersenyum di dalam hati. Duka timbul dari pikiran yang mengenangkan hal-hal lampau, timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak menyenangkan di masa depan, sehingga timbullah rasa iba diri, rasa kesepian dan perasaan nelangsa yang menimbulkan duka.
Pendekar Super Sakti membiarkan tiga orang cucunya dan juga isterinya tenggelam sebentar dalam iba diri dan duka, kemudian dia berkata, suaranya halus, ditujukan kepada mereka semua, isterinya, cucu-cucunya, dan para pelayan.
"Sudahlah, cukup sudah semua tangis yang tidak ada gunanya ini. Kematian adalah suatu kewajaran yang akan menimpa setiap orang manusia hidup di dunia ini. Kenapa harus ditangisi? Tangis tidak menguntungkan yang mati, juga merugikan dan melemahkan batin sendiri. Andaikata yang mati dapat mengetahui, maka tangis merupakan ikatan yang menahan dirinya dengan dunia dan kehidupan. Dan bagi yang hidup, tangis itu hanya merupakan kelemahan batin yang penuh dengan perasaan iba diri.!
Nenek Nirahai yang sudah mengerti benar akan hakekat mati hidup, mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh suaminya, hanya menundukkan muka saja. Para pelayan baru setengah mengerti, akan tetapi mereka tentu saja tidak berani membantah maupun bertanya. Tidak demikian dengan Suma Hui. Ia seorang dara yang sejak kecil memiliki daya cipta, tidak hanya mengekor terhadap pendapat orang-orang tua atau siapapun juga. Segala perasaan dan keinginan tahunya tidak mudah dipuaskan oleh pendapat orang dan harus diselidikinya sendiri. Maka, mendengar ucapan kakeknya tadi iapun membantah.
"Akan tetapi saya sama sekali tidak iba diri, kong-kong! Saya tidak kasihan kepada diri sendiri, melainkan kasihan kepada nenek!!
Suma Han memandang kepada cucunya itu dan tersenyum.
"Coba jelaskan, mengapa engkau kasihan kepada nenekmu Lulu, Hui?!
"Nenek tewas dalam perkelahian, terbunuh orang, tentu saja saya kasihan kepadanya!!
"Mengapa kasihan? Nenekmu adalah seorang pendekar sejak kecil, bahkan perkelahian merupakan kegemarannya. Kalau sekarang ia tewas dalam perkelahian, hal itu adalah wajar dan engkau mendengar sendiri ucapan terakhirnya tadi betapa ia merasa gembira sekali dapat tewas dalam perkelahian, pantaskah itu kalau kita malah kasihan kepadanya?!
"Tapi, matinya karena kekerasan, karena terpaksa, kong-kong! Kalau tidak ada penjahat menyerbu, sekarang nenek Lulu masih hidup bersama kita. Tidak kasihankah itu?! Suma Hui mencoba untuk membantah.
Kakek tua renta itu mengeleng kepala, masih tersenyum.
"Semua bentuk kematian tentu ada sebabnya, tentu dipaksakan nampaknya, padahal sudah merupakan suatu kelanjutan yang wajar daripada kehidupan. Kalau orang mati karena penyakit, bukankah itu merupakan hal yang dipaksakan juga? Kalau penyakit itu tidak datang kepadanya, dia tidak akan mati, begitu tentu bantahannya. Cucuku yang baik, kematian merupakan kelanjutan daripada kehidupan, dan tentu saja untuk suatu peralihan keadaan pasti ada sebabnya. Sebab itu bermacam-macam, ada yang penyakit, ada kecelakaan, ada bencana alam, ada perkelahian, perang dan sebagainya. Mengertikah engkau?!
Suma Hui mengangguk dan menunduk, kini ia dapat melihat kebenaran yang dibeberkan oleh kakeknya itu. Segala peristiwa adalah wajar dan tak dapat dirobah lagi, baik buruknya tergantung dari pada penanggapan kita sendiri.
"Akan tetapi, kong-kong, bukankah semua orang menangis kalau kematian orang yang dicintanya? Kenapa tidak boleh menangis? Apa orang tidak boleh bersedih kalau kematian keluarga yang dicinta?! Tiba-tiba Ceng Liong bertanya dengan nada suara membantah.
Kakek itu memandang kepadanya dan mengangguk-angguk. Anak ini cerdas sekali, pikirnya.
"Aku tidak mengatakan boleh atau tidak boleh berduka, Liong. Aku hanya ingin kalian membuka mata melihat kenyataan dan tidak tenggelam dalam buaian perasaan dan iba diri. Kalau semua orang menangisi kematian, apakah itu berarti bahwa kitapun HARUS menangis? Lebih baik kalau kita membuka mata melihat mengapa kita menangisi kematian. Mengapa? Cobalah kalian bertiga menjawab. Kenapa kita menangisi kematian?!
"Karena tidak tega....! jawab Suma Hui.
"Karena kita kasihan kepada yang mati,! sambung Ceng Liong.
"Karena kita ditinggalkan,! tiba-tiba Ciang Bun yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini ikut menjawab.
"Ya, karena kita ditinggalkan, itulah jawabannya yang tepat. Bukan karena kita tidak tega atau kasihan. Bagaimana kita bisa merasa kasihan kepada orang yang mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu? Yang jelas, kematian membebaskan orang daripada segala kesengsaraan hidup, ketuaan, kelemahan dan penyakit, juga kedukaan, ketakutan dan sebagainya. Tidak masuk akal kalau kita kasihan kepada orang yang mati, akan tetapi yang jelas, kita merasa kasihan kepada diri sendiri, kita ditinggalkan, kita kehilangan, kita kesepian, itulah yang menyebabkan orang menangisi kematian.!
Nenek Nirahai mendengarkan saja dan wajahnya kelihatan diliputi awan. Melihat ini, kakek Suma Han bertanya.
"Apakah kebenaran tentang kematian itu masih belum meresap di hatimu?!
Nenek itu memandang kepada suaminya.
"Aku tidak memikirkan kematian, aku tidak menyedihkan kematian, melainkan prihatin melihat bahwa akupun akan mati dan betapa menyebalkan kalau mati karena digerogoti penyakit, perlahan-lahan sampai rusak jasmani ini. Adik Lulu sungguh beruntung....!
"Hemm, engkau agaknya merasa iri kepada Lulu? Mengapa meributkan soal itu?!
"Kematian memang bukan apa-apa, akan tetapi bagaimana kita mati itulah yang penting. Sungguh menyedihkan kalau orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus mati sebagai seorang yang lemah dan yang terpaksa harus tunduk terhadap penyakit, terhadap kuman-kuman kecil yang tidak nampak oleh mata. Betapa memalukan....!!
"Hemm, serahkan saja kepada keadaan, yang penting kita harus selalu siap menghadapi saat tibanya maut, dengan mata terbuka, dengan tabah, tanpa sedikitpun rasa takut.! Suma Han lalu memerintahkan para pelayan pria untuk menggotong keluar sebuah peti jenazah, peti yang memang sudah beberapa tahun yang lalu dipersiapkan untuk nenek Lulu. Juga kakek itu dan nenek Nirahai telah lama menyediakan peti mati untuk diri mereka sendiri. Tempat itu terpencil dan untuk membeli peti mati harus didatangkan dari daratan besar, maka mereka memang telah siap dengan peti mati masing-masing beberapa tahun yang lalu.
Karena mereka tidak dapat bebas begitu saja dari pada ikatan tradisi, peti jenazah yang terisi jenazah nenek Lulu itu lalu dihias dan dipasang meja sembahyang sebagaimana lajimnya, kemudian mereka semua melakukan sembahyang dengan hio di tepi jenazah. Tidak ada air mata yang tumpah lagi sekarang setelah mereka tadi mendengar percakapan mengenai kematian antara Pendekar Super Sakti dan para cucunya. Mereka semua melihat kesia-siaan dan kepalsuan tangis perkabungan itu. Bagaimanapun juga, karena menghormat si mati dan keluarganya, para pelayan itu bersikap sungguh-sungguh dan prihatin.
Menurut keputusan kakek Suma Han, jenazah akan ditangguhkan semalam dan pada keesokan harinya baru jenazah akan diperabukan. Pendekar Super Sakti, walaupun pengagum ajaran Nabi Khong Cu, namun hatinya lebih condong kepada pembakaran jenazah daripada pemakaman, dan mungkin saja hal ini karena pengaruh Agama Buddha, atau juga karena kewaspadaannya melihat bahwa pembakaran jenazah itu jauh lebih sempurna, baik bagi yang mati maupun yang hidup daripada pemakaman jenazah yang menghabiskan teunpat, pembuangan dan penghamburan uang, berikut upacara tradisi yang berlarut-larut dari para keluarga untuk mengurus makam dan sebagainya.
Malam itu, beberapa batang lilin bernyala di atas meja sembahyang di depan peti jenazah nenek Lulu. Nenek Nirahai duduk bersila di dekat suaminya, seperti menjaga peti jenazah, dalam keadaan setengah samadhi. Akan tetapi, melihat api lilin-lilin itu bergoyang-goyang tertiup angin malam yang lewat di ruangan depan istana di mana peti jenazah ditaruh, nenek Nirahai teringat kepada madunya.
Begitulah Lulu di waktu dahulu. Hidupnya seperti api lilin itu, bergoyang-goyang, lincah, berani, bergelombang naik turun, diangkat tinggi-tinggi oleh suka dan dihempaskan dalam-dalam oleh duka. Itulah Lulu. Prikehidupan nenek Lulu di waktu mudanya memang amat menarik dan hal itu dapat diikuti dalam kisahPendekar Super Sakti dan kisah-kisah lanjutan berikutnya.
Tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tidak berada di ruangan itu karena mereka itu menyingkir dan membiarkan suami isteri itu merenung di dekat peti jenazah. Delapan orang itu diam-diam bersepakat untuk melakukan penjagaan, dan hal ini diprakarsai oleh Suma Hui.
"Para penyerbu itu adalah orang-orang jahat. Biarpun nenek Nirahai telah berhasil menghajar dan mengusir mereka, akan tetapi mereka itu masih hidup dan siapa tahu mereka itu masih merasa penasaran. Kalau mereka menghimpun teman-teman jahat mereka dan menyerbu lagi, kita harus sudah bersiap-siap menghadapi mereka,! demikian dara perkasa yang gagah berani itu berkata kepada adik-adiknya dan kepada lima orang pelayan itu. Mereka semua bersepakat untuk menghajar para penjahat itu dan membalaskan kematian nenek Lulu kalau mereka itu berani muncul lagi malam hari itu.
Dengan cara berpencar, mereka berjaga di sekeliling istana, dan Suma Hui sebagai pemimpin mereka melakukan perondaan. Malam semakin larut namun tidak terjadi sesuatu dan keadaan di Pulau Es semakin sunyi. Hawa udaranya semakin dingin malam itu. Hanya orang sinting sajalah yang akan lancang memasuki Pulau Es itu di waktu malam yang sedingin itu, apalagi kalau dia sudah tahu bahwa di pulau itu tinggal keluarga Pendekar Super Sakti yang gagah perkasa.Akan tetapi, bukan orang sinting, juga bukan iblis yang pada malam hari itu tiba-tiba muncul dari tepi pantai sebelah selatan dari Pulau Es.
Dia seorang laki-laki muda yang mendarat dengan menggunakan sebuah perahu nelayan kecil yang meluncur di malam gelap dan akhirnya dapat memdarat di bagian yang datar dari pulau itu di sebelah selatan. Hanya dengan penerangan bintang-bintang di langit yang menimbulkan cuaca suram-muram kehijauan, pria itu berhasil mendarat, menyeret perahunya naik dan kemudian meninggalkan perahunya, berjalan dengan langkah terhuyung-huyung menuju ke tengah pulau.
Beberapa kali dia hampir jatuh karena kakinya tersandung, akan tetapi dengan sigapnya dia dapat memperbaiki kedudukannya dan melanjutkan langkahnya. Sebagai pedoman, dia melihat lampu dari jauh, lampu yang tergantung di samping istana. Kadang-kadang sinar lampu itu lenyap lalu nampak kembali, seperti halnya cahaya yang masih jauh letaknya di malam yang cuacanya remang-remang.
Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang agaknya tidak mudah, orang yang seperti dalam sakit keadaannya itu sampai juga ke dekat istana. Nampak bangunan istana itu menjulang tinggi dan megah di dalam cahaya bintang-bintang yang mulai cemerlang karena ditinggalkan awan tipis yang tadinya menghalang di antara langit dan bumi, dan orang itu tertegun.
"Sebuah.... istana....? Di pulau kosong ini....? Ya Tuhan, mimpikah aku.... atau sudah gilakah aku....?!
Diapun melangkah maju lagi, ke arah lampu yang tergantung di dinding, di luar istana itu. Bagaikan orang yang tidak percaya kepada diri sendiri, dia lalu meraba dinding itu, mendorong-dorongnya. Kini sinar lampu gantung menimpa mukanya dan ternyata dia adalah seorang laki-laki yaug berwajah tampan dan gagah sekali walaupun pakaiannya kusut dan pecah-pecah di sana-sini, tubuhnya nampak terluka di pundak, pangkal lengan dan paha. Di tiga tempat ini, pakaiannya tidak hanya robek, melainkan juga berlepotan darah. Laki-laki itu berpakaian seperti seorang nelayan biasa, dan usianya paling banyak dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun.
Tiba-tiba tiga orang nelayan pria dari Istana Pulau Es, datang menyerbu dan menyerangnya, tanpa bertanya-tanya lagi. Tiga orang pelayan itu mempergunakan dayung besi, senjata yang paling tepat untuk mereka karena mereka itu tadinya adalah nelayan-nelayan sebelum menjadi pelayan di Pulau Es. Akan tetapi biarpun mereka juga ketularan ilmu silat dari para majikan mereka dan tubuh mereka kuat karena mereka tinggal di tempat sedingin Pulau Es, namun karena mereka tidak pernah berkelahi, serangan mereka dengan dayung itu hanya cepat dan kuat namun kaku sekali.
"Heii.... aku bukan penjahat....!! Pria itu berteriak ketika melihat menyambarnya dayung-dayung besi itu ke arah kepala dan tubuhnya. Biarpun dia sudah luka-luka dan diserang secara tiba-tiba oleh tiga orang pelayan istana itu, namun dengan mudah dan cekatan sekali dia berhasil mengelak lalu menangkap sebatang dayung, sekali renggut dayung itu pindah ke tangannya dan dua kali dia menangkis, dua dayung yang lain terlepas dari pegangan dua orang pelayan itu. Tentu saja tiga orang pelayan itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa orang ini begitu lihainya sehingga dalam segebrakan saja mampu merampas senjata mereka. Akan tetapi, orang itu tidak membalas serangan, melainkan meloncat ke belakang sambil berkata lagi.
"Aku bukan penjahat....!!
Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Hui telah berdiri di depan pria itu dengan sepasang pedang di tangan.
"Orang baik-baik tidak akan berkeliaran di sini tanpa ijin! Bersiaplah untuk mampus, keparat keji!! Suma Hui sudah menggerakkan sepasang pedangnya dan iapun sudah menyerang dengan dahsyatnya.
"Trang....! Cringgg....! Eh, nanti dulu.... eh, nanti dulu, aku bukan penjahat....!! Pria itu menangkis dan mengelak, repot juga menghadapi serangan bertubi-tubi yang amat ganas itu. Untung dia tadi telah merampas dayung besi, kalau tidak, tentu akan makin repotlah dia menghadapi serangan pedang di tangan Suma Hui yang sedang marah dan mendendam atas kematian neneknya itu. Biarpun orang itu berteriak-teriak, tetap saja Suma Hui menyerang terus, bahkan semakin hebat karena dara ini mulai merasa penasaran bahwa sepasang pedangnya belum juga berhasil, padahal orang itu telah luka-luka.
"Singgg.... wuuuut, singggg....!! Sepasang pedang yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu menyambar-nyambar bagaikan sepasang naga yang ganas.
"Cringgg.... cringgg....!! Pria itu terkejut sekali karena dayung besinya itu dua kali terbabat pedang dan nyaris ada pedang yang menyerempet lehernya!
"Tidak....! Aku bukan penjahat, dengar dulu, nona....!!
"Tranggg....!! Kini Suma Hui yang terkejut karena setelah dayung itu dapat ia patahkan dan tinggal sepanjang pedang, pria itu malah dapat mempergunakan dengan amat hebatnya, seperti menggerakkan pedang dan dari cara pria ini menangkisnya terbukti bahwa pria itu memiliki ilmu pedang yang hebat pula! Bukan hanya itu, kini pria itu agaknya telah mengerahkan sin-kang sehingga bukan saja potongan dayung itu menjadi kuat, juga tenaga yang menangkis pedangnya itu membuat lengannya tergetar!
Tentu ini seorang tokoh sesat yang lihai, yang diutus oleh gerombolan penyerbu pagi tadi untuk memata-matai istana, pikirnya. Oleh karena itu, tanpa memperdulikan protes pria itu, ia menyerang semakin ganas. Karena marah dan mendendam, Suma Hui menjadi berkurang kewaspadaannya, tidak menyadari bahwa sejak tadi pria itu sama sekali tidak membalas serangannya, melainkan hanya mengelak dan menangkis sambil mundur saja. Juga ia tidak menyadari kenyataan bahwa tidaklah mungkin pihak musuh mengirim seorang yang sudah luka-luka itu untuk menjadi mata-mata.
Suma Hui menyerang terus sampai belasan jurus dan karena pria itu memang sudah terluka dan lemah, juga karena dia sama sekali tidak mau membalas, akhirnya ujung pedang kiri dara itu menyerempet pundaknya yang kanan.
"Crottt....!! Pundak itu terluka dan darahnya mengucur keluar, dan pria itu terhuyung ke belakang, potongan dayungnya terlepas. Suma Hui yang sudah marah dan merasa yakin bahwa orang ini adalah satu di antara musuh-musuh pembunuh neneknya, menerjang lagi untuk mengirim tusukan maut.
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tringg....!! Pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Suma Hui ketika tiba-tiba ada pedang payung yang menangkisnya dari samping. Ternyata neneknya yang menangkis itu menggunakan pedang payung, yaitu payung yang ujungnya runcing dan dapat dipergunakan sehagai pedang, sebuah senjata istimewa yang amat ampuh dari puteri ini.
"Tidak pantas menyerang orang yang tidak mau melawan!! kata nenek itu yang sejak tadi sudah menyaksikan perkelahian itu. Ternyata diam-diam nenek ini sudah bersiap-siap pula, pedang payungnya sudah dipersiapkan dan ketika ia mendengar suara tidak wajar di luar istana, ia meninggalkan suaminya dan peti jenazah madunya. Ia melihat betapa seorang pria yang sudah luka-luka berkelahi dengan cucunya dan melihat bahwa pria itu sama sekali tidak mau membalas menyerang, juga bahwa pria itu sudah luka-luka dan memiliki dasar gerakan yang luar biasa lihainya!
Mula-mula ia terkejut dan curiga, membiarkan saja cucunya menyerang terus. Akan tetapi setelah melihat pria itu terluka oleh pedang cucunya dan tetap pria itu tidak mau membalas, bahkan terancam bahaya maut, ia lalu turun tangan mencegah cucunya melakukan pembunuhan. Merobohkan lawan dalam usaha membela diri, atau merobohkan lawan untuk membasmi kejahatan dan membela kebenaran, memang menjadi tugas seorang pendekar.
Akan tetapi, merobohkan lawan yang tidak melawan, apalagi belum diketahui dengan pasti apakah orang itu bersalah, merupakan pembunuhan yang kejam dan jahat! Itulah sebabnya maka ia turun tangan mencegah Suma Hui yang kini memandang kepada neneknya dengan heran dan penasaran.
"Akan tetapi.... dia tentu seorang di antara mereka yang telah membunuh nenek Lulu!! kata Suma Hui, dan duaorang adiknya yang sejak tadi sudah berada di sita pula, bersikap membenarkan enci mereka.
Akan tetapi tiba-tiba pria itu berseru dengan napas terengah-engah penuh ketegangan hati.
"Nenek Lulu.... terbunuh....? Ah, dan ini.... ini benarkah ini Pulau Es dan istananya?!
Nenek Nirahai sekali bergerak telah berada di depan pria itu, memandang tajam dan membentak.
"Siapakah engkau....? Di sini benar Pulau Es dan kami keluarga penghuninya.!
Akan tetapi, pria itu mendadak mengeluh dengan lemas dan tubuhnya terkulai, roboh pingsan. Melihat itu nenek Nirahai menjadi curiga. Ia lalu menyuruh dua orang pelayan untuk menggotong pria yang pingsan itu dan membawanya masuk ke ruangan depan di mana Pendekar Super Sakti masih duduk bersila di dekat peti jenazah.
"Siapa dia? Apa yang terjadi?! tanya Pendekar Super Sakti dengan suara lembut dan sikap tenang. Agaknya, tidak ada apapun di dunia ini yang akan dapat mengguncang ketenangan hati pendekar ini. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini baginya tidak ada yang aneh, melainkan merupakan hal-hal yang wajar saja.
Dengan singkat nenek Nirahai menceritakan bahwa orang ini muncul seorang diri di malam hari sehingga menimbulkan kecurigaan hati Suma Hui yang menyerangnya, akan tetapi orang itu sama sekali tidak mau membalas.
"Kulihat gerakannya mengandung dasar kepandaian tinggi, dan dia datang dengan luka-luka di tubuhnya. Kemudian, mendengar disebutnya nama adik Lulu oleh Hui-cu, dia terkejut lalu pingsan.!
Pendekar Super Sakti lalu membantu isterinya mengobati luka-luka yang diderita oleh pria itu dan ternyata bahwa luka-luka itu tidaklah terlalu parah. Apalagi mereka memperoleh kenyataan yang mengejutkan bahwa pria itu memang memiliki tenaga sin-kang yang kuat, yang timbul tanpa disadarinya dalam pingsan ketika kakek pendekar ini bersama isterinya mengobatinya.
Mereka semua memandang dengan penuh perhatian, terutama sekali Suma Hui yang ingin sekali tahu siapa adanya orang yang terus mengalah terhadapnya ini, yang diam-diam harus diakuinya kelihaiannya. Dan melihat wajah di bawah sinar terang, dara ini merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Wajah seorang laki-laki muda yang gagah sekali! Wajah yang bundar bersih, di bawah telinga kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil dan bentuk hidung serta mulutnya juga membayangkan kelembutan di balik kegagahannya.
Setelah memperoleh perawatan suami isteri yang sakti itu, pemuda itu siuman kembali dan membuka matanya. Melihat betapa dia rebah di lantai, di dekat seorang kakek tua renta yang pandang matanya lembut sekali, dan nenek yang dia ingat telah dijumpainya, dia terkejut dan teringat lagi. Cepat dia menoleh ke kanan kiri, melihat Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga peti jenazah. Dia terbelalak memandang peti jenazah, kemudian menoleh ke arah kakek tua renta itu, pandang matanya menurun ke arah kaki kiri yang buntung, dan pemuda itu lalu bangkit duduk dan seketika berlutut di depan Pendekar Super Sakti.
"Harap ampunkan saya, akan tetapi bukankah ji-wi locianpwe ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han, tocu dari Pulau Es bersama locianpwe Puteri Nirahai, dan yang berada di dalam peti jenazah itu adalah locianpwe Puteri Lulu?! Suaranya agak gemetar penuh perasaan.
Suma Han mengelus jenggotnya yang putih seperti benang-benang perak.
"Benar. Orang muda, engkau siapakah?!
"Kong-couw (kakek buyut).... ahh, saya datang terlambat....!! Dan pemuda itu lalu maju berlutut di depan meja sembahyang sambil menangis.
"Ampunkan saya.... ah, saya telah terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan nyawa nenek buyut....!!
Suma Han berkata halus namun penuh wibawa.
"Simpan air matamu kalau benar engkau adalah cucu buyut kami! Siapakah engkau, wahai orang muda yang gagah perkasa?!
"Nama saya Kao Cin Liong. Tentu kong-couw tahu kalau saya beritahukan bahwa ayah saya adalah Kao Kok Cu dan ibu saya adalah Wan Ceng....!
"Aihh....!! Nenek Nirahai berseru kaget dan juga girang, lalu merangkul pemuda itu.
"Kiranya engkau adalah putera Ceng Ceng! Hui, Ciang Bun, Ceng Liong, dia ini adalah masih keponakan kalian sendiri!!
Tentu saja tiga orang muda itu memandang heran dan terutama sekali Suma Hui menjadi terkejut, memandang kepada pria yang gagah itu dengan mata terbuka lebar-lebar.
"Dia.... dia keponakanku....?! katanya tergagap, tidak percaya.
"Dengarlah, akan kujelaskan kepada kalian.! Nenek itu lalu menceritakan dengan singkat hubungan antara pemuda yang baru tiba itu dengan keluarga Pulau Es.
"Mendiang nenekmu Lulu, sebelum menjadi isteri kakekmu, adalah seorang janda yang mempunyai seorang putera bernama Wan Keng In. Orang she Wan ini kemudian mempunyai seorang puteri yang diberi nama Wan Ceng. Jadi, Wan Ceng itu dengan kalian merupakan saudara-saudara misan tiri, dan karena Kao Cin Liong ini putera Wan Ceng, maka berarti dia adalah masih keponakan luar kalian sendiri.!
Kemudian nenek itu memandang kepada Kao Cin Liong dan berkata.
"Cin Liong, perkenalkanlah, mereka ini adalah bibimu dan paman-pamanmu. Suma Hui dan Suma Ciang Bun ini adalah putera-puteri dari paman kakekmu Suma Kian Lee, sedangkan Suma Ceng Liong ini adalah putera paman kakekmu Suma Kian Bu.!
Sejak tadi Cin Liong menatap wajah Suma Hui yang masih terbelalak memandangnya, dan diapun cepat menjura dengan hormat.
"Bibi, dan kedua paman kecil, harap maafkan kelancangan saya tadi.!
Suma Hui dan kedua orang adiknya membalas penghormatan itu, dan Suma Hui menjawab gagap, tidak seperti biasanya yang selalu lincah.
"Ah, tidak.... sayalah yang minta maaf....!
"Kao Cin Liong, ceritakanlah keadaanmu, keadaan orang tuamu, dan bagaimana engkau bisa sampai di Pulau Es dau mengapa engkau luka-luka dan apa pula artinya engkau mengatakan terlambat tadi.! Kakek Suma Han bertanya dengan suaranya yang halus dan tenang. Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan semua mata ditujukan kepada pemuda yang ganteng dan gagah perkasa ini. Kao Cin Liong menarik napas panjang dan memejamkan matanya sebentar. Demikian banyaknya peristiwa yang dialaminya sehingga dia harus bercerita panjang. Diapun mulai bercerita.
Siapakah pemuda yang bernama Kao Cin Liong ini? Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu telah mengenalnya dengan baik. Seperti telah diceritakan oleh nenek Nirahai tadi, pemuda ini adalah putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng. Dan Kao Kok Cu adalah seorang pendekar sakti yang hebat, seorang pendekar yang ditakuti semua orang kang-ouw dengan julukannya Naga Sakti Gurun Pasir! Kao Kok Cu adalah putera mendiang Jenderal Kao yang namanya dikenal oleh seluruh pasukan dan rakyat sebagai seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan bijaksana.
Suling Emas Naga Siluman Eps 44 Suling Emas Naga Siluman Eps 20 Suling Emas Naga Siluman Eps 32