Kisah Pendekar Pulau Es 20
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
Ciang Bun diam saja. Dia merasa penasaran akan tetapi diapun maklum bahwa kegetiran membuat semua pemuda berpendapat seperti Hok Sim itu. Kalau dengan uang dapat lulus dengan mudah, perlu apa repot-repot memeras otak yang akhirnya toh tidak akan diluluskan kalau tanpa uang?
"Kalau begitu, biarlah aku yang akan mengajukan protes itu. Aku tidak ikut ujian maka aku tidak khawatir tidak diluluskan.!
Tan Hok Sim memandang dengan mata terbelalak dan dia memegang lengan sahabat barunya itu.
"Bun-te, apa yang hendak kau lakukan?!
Ciang Bun tersenyum.
"Tenanglah dan tunggu saja hasilnya. Kuharap besok pagi sudah akan ada perobahan. Nah, kau masuklah dulu, twako dan tunggu saja aku di dalam kuil.!
Setelah berkata demikian, Ciang Bun meninggalkan sahabatnya itu yang berdiri melongo mengikutinya dengan pandang mata heran akan tetapi tidak percaya. Apa yang akan dapat dilakukan oleh pemuda itu terhadap pemerintah? Urusan ujian yang kotor dan bergelimang korupsi itu sudah berjalan puluhan tahun, sepanjang pendengarannya, mana mungkin kini akan dirobah hanya oleh tindakan seorang pemuda seperti Suma Ciang Bun? Dia amat mengkhawatirkan pemuda itu.
Bagaimanapun juga, sahabat barunya itu menarik hatinya dan dia akan merasa menyesal sekali kalau karena percakapan mereka, Ciang Bun melakukan tindakan yang mustahil dan akhirnya akan ditangkap dan dihukum! Diapun lalu kembali ke dalam ruangan belakang kuil itu, mendekati teman-temannya dan berbisik-bisik menceritakan tentang pemuda kenalan barunya yang aneh itu.
Teman-temannya tentu saja terkejut, ada yang merasa gembira dan penuh harapan, yaitu mereka yang hendak menghadani ujian dengan pengetahuan mereka saja karena mereka tidak mampu membayar. Ada juga di antara mereka yang tidak senang dan mereka ini adalah pelajar-pelajar yang mengharapkan lulus dengan pengaruh uang atau pengaruh kenalan atau keluarga di kota raja. Apapun tanggapan mereka, berita tentang seorang pemuda bukan pengikut ujian yang hendak melaporkan kecurangan para pengawas itu kepada menteri, menjadi bahan percakapan mereka dan menimbulkan ketegangan.
Siang hari itu di gedung besar Menteri Ciong nampak sunyi. Sang menteri telah pulang dari persidangan di istana dan kini pembesar itu beristirahat. Malam saat seperti itu, dia tidak mau diganggu dan para penjaga di luar gedungpun tidak berani banyak membuat gaduh agar tidak mengganggn sang menteri yang sedang beristirahat di dalam kamarnya.
Oleh karena itu, para penjaga ini menolak dengan keras ketika Suma Ciang Bun datang dan minta kepada mereka untuk melaporkan kepada Ciong-taijin bahwa dia minta diterima menghadap.
"Orang muda! Siapakah engkau dan ada urusan apakah engkau berani minta untuk menghadap taijin?! bentak kepada jaga yang brewok dan bertubuh tinggi besar sambil bertolak pinggang.
"Tidak sembarang orang boleh begitu saja mengganggu waktu taijin!!
"Aku mempunyai urusan pribadi dengan menteri, hendak membicarakan soal ujian para pelajar yang diadakan di kota raja sekarang ini.!
Kepala jaga itu mengerutkan alisnya.
"Huh, kau kira menteri hanya seperti petugas kecil saja yang dapat ditemui setiap saat? Kalau engkau ada urusan, dapat menghadap ke kantor beliau dan melapor kepada petugas-petugas di sana, bukan datang ke rumah beliau dan meugganggu beliau!!
"Akan tetapi, aku ingin menghadap beliau sendiri, urusan penting....!
"Cukup!! Kepala jaga itu menghardik.
"Lekas pergi dari sini atau akan kugunakan kekerasan untuk melemparmu keluar dari sini. Mengerti?!
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan matanya berkilat ketika dia mengangkat muka memandang wajah si brewok tinggi besar itu.
"Beginikah sikap seorang petugas keamanan terhadap rakyat? Seperti penjahat saja....!
"Keparat! Setan cilik! Agaknya ayahmu tidak pernah menghajarmu. Panggil ayahmu ke sini, akan kuhajar dia agar dapat mendidik anaknya!!
Ciang Bun tidak dapat menahan dirinya lagi.
"Ucapanmu lancang dan mulutmu busuk, engkau lah yang perlu dihajar!!
Orang-orang yang rendah pangkatnyalah yang biasanya suka tinggi hati. Demikian pula kepala jaga itu. Terhadap atasannya dia menunduk dan merangkak-rangkak menjilat-jilat, dan terhadap bawahannya, yaitu rakyat, dia bersikap seperti kaisar saja. Maka, begitu melihat seorang pemuda biasa berani mengeluarkan ucapan seperti itu kepadanya, kemarahannya memuncak dan sambil mengeluarkan suara gerengan, kepalan tangannya yang hampir sebesar kepala Ciang Bun itu melayang dan menyambar ke arah kepala pemuda itu.
Ciang Bun tenang-tenang saja, tanpa bergerak dari tempatnya dia mengangkat tangan kiri dan secepat kilat tangan kirinya itu melakukan tiga gerakan susul-menyusul, mula-mula menangkis pergelangan lengan tangan yang memukul, disusul totokan pada pundak lengan itu dan diakhiri dengan tamparan pada muka si brewok.
"Dukk! Tukk! Plakkk!!
Tamparan itu cukup keras. Mula-mula tangkisan membuat lengan terpental, lalu totokan membuat si tinggi besar itu merasa lumpuh sebelah badannya dan tamparan itu mengenai pelipis, membuat dia terpelanting dan roboh. Kepalanya terasa tujuh keliling dan matanya menjuling. Dia mengoyang-goyang kepalanya dan setelah bintang-bintang yang berjatuhan dan menari-nari di depan matanya itu mengabur, dia bangkit lagi dengan marah. Agaknya, tamparan itu tidak membuatnya menjadi jera, bahkan seperti minyak bakar disiramkan ke atas api kemarahamaya. Dia kini menubruk dan kedua tangannya membentuk cengkeraman, seperti seekor biruang dia menubruk kepada pemuda itu, penuh geram.
Kembali Ciang Bun menghadapinya dengan tenang. Begitu tubuhnya yang besar itu menubruk dekat, tiba-tiba pemuda ini berjongkok atau setengah berjongkok, membiarkan tubuh atas lewat, lalu secepat kilat dia meraih, menangkap lengan dan mempergunakan tenaga lawan, dia mengangkat dan membanting.
"Desss....!! Debu mengebul dan si tinggi besar mengeluh, menggeliat dan mencoba untuk bangkit, tapi terjatuh kembali dan mengaduh-aduh. Agaknya terjadi salah urat pada punggungnya ketika dia terbanting tadi, yang membuatnya tidak mampu bangun kembali dan hanya mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat. Melihat komandan jaga mereka roboh, setelah kehilangan rasa kaget mereka, para penjaga memburu.
"Berani engkau melawan tentara?! bentak seorang di antara mereka sambil menodongkan tombaknya.
"Tahan!! Ciang Bun berseru, suaranya lantang dan berwibawa, tidak seperti seorang pemuda remaja.
"Urusan ini tidak ada hubungannya dengan ketentaraan! Urusan kami adalah urusan pribadi, urusan orang yang dihajar karena bersikap kurang ajar terhadap lain orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan ketentaraan.! Setelah berkata demikian, Ciang Bun membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan mereka. Para penjaga itu bengong.
Merekapun melihat sendiri betapa komandan jaga mereka menghina pemuda itu dari melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu merobohkan komandan mereka, merekapun tidak berani sembarangan tuiun tangan. Apalagi merekapun mulai ragu-ragu. Kalau seorang muda seperti itu ingin bertemu dengan menteri, siapa tahu ada hubungan antara dia dan pembesar itu. Membayangkan kemungkinan ini, mereka menggigil dan mereka tidak lagi memperdulikan pemuda itu melainkan menolong kepala jaga yang masih juga belum mampu bangkit berdiri.
Ciang Bun tidak pergi jauh melainkan mengambil jalan memutar dan menghampiri dinding pagar tembok yang mengelilingi gedung sang menteri. Dengan ringan dia mengayun tubuhnya ke atas tembok, kemudian meloncat ke dalam. Cepat dia menyelinap di antara tembok bangunan dan dengan mudahnya dia meloncat lagi ke atas genteng dan mengintai, mencari-cari di mana adanya sang pembesar yang hendak ditemuinya.
Akhirnya dia melihat seorang pembesar yang bertubuh gendut, berpakaian tidur berupa jubah lebar, sedang rebah terlentang seenaknya di atas sebuah dipan dan dipijati oleh tiga orang wanita muda cantik. Mata pembesar yang usianya kurang lebih enam puluh tahun ini meram melek keenakan, dan seorang di antara tiga wanita itu kadang-kadang menyuapkan sepotong kueh dengan sumpit ke mulutnya. Melihat ini, Ciang Bun dapat menduga bahwa tentu inilah menteri yang dicarinya itu.
Hidungnya mendengus jijik melihat keadaan hidup pembesar ini. Setelah membuka genteng, dia lalu meloncat turun dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan itu. Bagaikan seekor burung besar, dia hinggap di atas lantai dalam ruangan, hampir tidak terlihat atau terdengar oleh mereka berempat yang berada di dalam ruangan. Ketika seorang di antara tiga wanita muda itu menoleh dan melihat seorang pemuda tahu-tahu telah berada di tengah kamar seperti setan, ia menjerit dan sepasang sumpit itupun terlepas dan jatuh berkerontang di atas lantai. Teman-ternannya menoleh dan menjerit juga. Sang pembesar membuka mata dan menoleh, lalu bangkit dengan marah.!Siapa engkau?! bentaknya.
Dengan tenang Ciang Bun menjura. Selama ini belum pernah dia melakukan perbuatan sebagai pendekar seperti yang dilakukan sekarang, akan tetapi karena dia adalah keturunan Pulau Es, darah pendekar mengalir di dalam tubuhnya, maka diapun tidak merasa asing atau ragu-ragu, tidak merasa gentar ketika berkata.
"Taijin, saya menganggap diri sebagai wakil para pelajar dan saya ingin menghadap dan bicara dengan paduka tentang ujian yang diadakan sekarang.!
Tentu saja pembesar itu menjadi marah sekali. Apalagi ketika dia melihat enam orang pengawal yang tadinya berjaga di ruangan lain telah dikejutkan oleh jeritan-jeritan tadi dan kini memasuki ruangan itu dengan golok di tangan, hatinya menjadi semakin tabah.
"Engkau masuk seperti maling! Pengawal, tangkap bocah ini!!
Dua orang pengawal menyarungkan golok dan menyergap ke depan untuk menangkap pemuda itu. Akan tetapi, dua kali kaki Ciang Bun bergerak menyambut dengan tendangan yang mengenai dada mereka dan dua orang pengawal itu terjengkang. Untung bahwa Ciang Bun hanya mempergunakan tenaga sedikit saja sehingga mereka tidak terluka, hanya merasa sesak napas mereka.
Mereka bangkit kembali dan kini menggunakan golok untuk menyerang. Kembali Ciang Bun menggerakkan kakinya, menendang pergelangan tangan diteruskan ke lambung dan untuk kedua kalinya, dua orang pengawal itu roboh dan sekali ini tidak dapat segera bangkit karena tendangan yang mengenai lambung itu membuat perut mereka terasa mulas!
"Taijin, kedatangan saya ini bukan untuk melakukan kekerasan. Percuma saja kalau paduka menggunakan kekerasan, karena terpaksa saya akan lebih dulu turun tangan terhadap paduka!! Sekali loncat, pemuda itu telah tiba di dekat sang pembesar yang kini menggigil ketakutan sampai jubah tidurnya merosot dan nampak perutnya yang gendut itu telanjang bulat.
"Ampun....! rintihnya.
Melihat seorang pembesar berpangkat menteri merengek minta ampun, padahal tidak diapa-apakan, Ciang Bun merasa muak. Beginikah watak seorang yang dinamakan pemimpin? Menghadapi bahaya sedikit saja sudah merengek ketakutan! Pengecut seperti ini dijadikan pemimpin dan hendak memimpin rakyat? Pengecut seperti ini kalau berada dalam bahaya, disuruh apapun tentu akan taat, disuruh menjual negara sekalipun atau mengkhianati bangsa tentu akan taat, asal nyawanya diampuni, asal dirinya tidak diganggu. Seorang yang selalu mementingkan diri pribadi tentu penakut dan pengecut di samping menjadi penindas kejam sewaktu jaya.
"Taijin, saya tidak akan melakukan kekerasan asal taijin suka mendengarkan kata-kata saya. Harap taijin menyuruh semua orang pergi agar kita dapat bicara berdua saja di kamar ini.!
Pada saat itu, para pengawal sudah memasuki daun pintu yang terbuka dari luar, akan tetapi melihat pemuda itu berdiri dekat pembesar yang kelihatan pucat dan tubuhnya menggigil, juga celananya menjadi basah, mereka tidak berani sembarangan bergerak.
"Kalian pergilah, tinggalkan kami berdua,! kata pembesar itu dengan suara gemetar kepada para pengawal, juga kepada tiga orang selirnya yang tadi melayaninya. Para pengawal itu memandang ragu, akan tetapi dengan gerakan tangannya pembesar gendut itu mengusir mereka dan tiga orang selirnya sudah sejak tadi cepat-cepat keluar dari kamar itu. Setelah mereka pergi, Ciang Bun menutupkan daun pintu, lalu dia duduk di atas kursi menghadapi pembesar itu yang duduk di atas dipan, menyelimuti dirinya karena dia merasa malu melihat celananya basah, akibat rasa takut yang melandanya tadi.
"Taijin, maafkan kalau saya mengganggu. Saya terpaksa menghadap paduka secara ini karena tadi saya ditolak oleh para penjaga di luar gedung.!
Kini debar jantung di dalam dada pembesar itu sudah mulai tenang, dan diapun merasa lega melihat sikap yang halus dan sopan dari orang muda ini. Pengalamannya sebagai seorang pembesar dapat membuat dia melihat bahwa dia sebenarnya berhadapan dengan seorang pemuda yang tidak jahat, akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat dia jerih, mungkin pada sinar mata yang mencorong itulah. Dia dapat mengerti bahwa pemuda ini adalah seorang muda yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tentu seorang pendekar, bukan seorang perampok yang datang untuk merampok harta benda.
"Tidak mengapa, taihiap. Katakanlah, apakah keperluan taihiap hendak bicara dengan kami?!
Mendengar betapa seorang menteri menyebutnya taihiap, Ciang Bun tersenyum, akan tetapi dia lalu berkata.
"Kalau saya tidak salah duga, taijin adalah pejabat yang berwenang atas penyelenggaraan ujian para calon siucai di kota raja. Benarkah?!
Kini pembesar itu dapat tersenyum dan mukanya berseri.
"Ah, apakah taihiap hendak memasuki ujian? Ataukah ada sanak saudara atau sahabat taihiap....!
"Tidak!! Ciang Bun memotong cepat sambil menggerakkan tangan ke depan muka.
"Justeru inilah yang akan saya bicarakan. Taijin tentu tahu bahwa para pengawas ujian itu adalah petugas-petugas yang korup, yang makan uang sogokan. Biarpun pengikut ujian bodoh, kalau dapat menyogok uang, tentu akan lulus. Sebaliknya, betapapun pintar seorang pelajar, kalau tidak mampu menyogok, ujiannya akan selalu gagal. Benarkah demikian, taijin?!
Wajah yang tadinya sudah berseri itu berobah pucat kembali, sepasang mata itu membayangkan ketakutan lagi.
"Ini.... ini.... kami tidak tahu....!
"Baru saja taijin bertanya apakah saya hendak ikut ujian atau sanak keluarga saya, tentu kalau demikian halnya, taijin akan meluluskan saya, bukan? Tak mungkin paduka tidak tahu akan kebusukan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Bayangkan saja, kalau yang diluluskan hanya orang-orang bodoh yang mampu membayar, sedangkan yang pandai-pandai tidak diluluskan, negara akan penuh dengan pembesar-pembesar tolol yang pandainya hanya menerima sogokan-sogokan. Akan menjadi apakah negara kita ini? Paduka tahu atau tidak, pendeknya saya menuntut agar mulai besok pagi, semua pengawas diganti dan praktek penyogokan itu harus lenyap sama sekali. Kalau masih ada, aku akan kembali dan turun tangan terhadap paduka dengan caraku sendiri!!
Menteri Ciong mengangguk-angguk dan matanya melirik cerdik. Biarlah saat ini dia mengalah, pikirnya. Akan tetapi sekali engkau keluar dari sini, aku akan memberi hajaran kepadamu! "Baiklah, perintah taihiap akan kami laksanakan.!
Ciang Bun masih muda, akan tetapi pandang matanya tajam. Dia dapat menduga apa yang bersembunyi di dalam hati pembesar itu, maka diapun bangkit berdiri dan berkata lagi.
"Ciang-taijin, jangan dikira bahwa engkau akan dapat mempergunakan kekerasan dan kekuatan pasukan pengawalmu untuk melindungi dirimu. Aku bukan mengeluarkan ancaman kosong belaka. Aku bernama Suma Ciang Bun, dan ketahuilah bahwa bekas Panglima Wanita Milana adalah bibiku, juga jenderal Muda Kao Cin Liong adalah sahabat baikku. Nah, renungkan baik-baik sebelum engkau mengambil tindakan. Selamat tinggal!! Pemuda itu lalu menggunakan gin-kangnya, mengenjot tubuhnya ke atas menerobos atap melalui lubang yang dibuatnya tadi.Di atas genteng telah menanti pasukan pengawal yang segera mengepungnya, akan tetapi dari dalam kamar itu terdengar bentakan Ciong-taijin.
"Jangan ganggu dia! Biarkan Suma-taihiap pergi dengan aman!!
Tentu saja para pengawal tidak berani membantah dan mereka berdiri diam saja ketika Ciang Bun meloncat turun dari atas genteng, berlari menuju pagar tembok lalu keluar dari tempat itu melalui pagar tembok yang dilompatinya.
Sementara itu, di dalam kamar, Menteri Ciong menjambak-jambak rambutnya.
"She Suma? Keponakan Puteri Milana? Celaka, dia tentu keluarga Pulau Es!!
Pada keesokan harinya, terjadi kehebohan di kalangan para pengikut ujian. Mereka yang sudah terlanjur memberi uang sogokan, kehilangan pengawas-pengawas yang telah mereka sogok dan terpaksa mereka harus mengikuti ujian secara betul-betul. Tentu saja mereka yang hanya mengikuti ujian karena mengejar keinginan agar lulus dan dapat memperoleh gelar siucai ini tidak mampu mengerjakan dengan baik dan hampir semua di antara mereka ini gagal.
Sebaliknya, para pengikut ujian yang tidak mampu bayar, kini benar-benar diuji kemampuan mereka dan mereka ini merasa gembira sekali, termasuk Tak Hok Sim. Diapun lulus walaupun bukan dengan angka yang baik. Gegerlah tempat ujian itu dan semua orang membicarakan peristiwa digantinya semua pengawas dan dihapusnya semua sistim sogokan. Hok Sim dikerumuni ternan-temannya dan kini baru mereka percaya akan cerita pemuda itu bahwa teman barunya menjanjikan untuk memprotes sistim sogokan itu kepada menteri. Biarpun semalam Ciang Bun tidak bercerita sesuatu kepadanya dan diapun tidak menanyakan karena siang tadi dia menganggap teman barunya itu membual, ternyata kini terjadilah hal yang jelas menjadi hasil daripada "bualan! teman barunya itu!
Setelah selesai pengumuman, Hok Sinm segera berlari ke kuil untuk menemui Ciang Bun. Dengan wajah berseri-seri dia merangkul sahabatnya itu.
"Wah, Bun-te, terima kasih padamu. Aku telah berhasil! Dan banyak kawan-kawan berhasil berkat usahamu! Engkau sungguh hebat. Bintang penolong kami! Eh, bagaimana engkau dapat berhasil merobah keadaan ujian sehingga para pengawas diganti dengan petugas-petugas baru yang tidak makan uang sogokan?!
Ciang Bun tersenyum girang mendengar bahwa Menteri Ciong benar-benar memenuhi janjinya.
"Ah, biasa saja, twako. Aku pergi menghadap menteri yang berwenang dan menyampaikan protes atas nama semua pengikut ujian yang jujur. Dan beliau sudah menjanjikan untuk merobahnya dan mengganti semua pengawas. Syukurlah kalau semua berjalan dengan baik.!
"Semua berlangsung dengan baik bagi kami para pelajar yang benar-benar hendak menguji ilmu kepandaian. Akan tetapi amat tidak baik bagi mereka yang datang hanya untuk membeli gelar! Ha-ha, mereka sudah mengeluarkan banyak uang dan akhirnya ujian mereka gagal! Eh, Bun-te, engkau tentu seorang yang luar biasa, bukan? Kami semua merasa yakin bahwa engkau bukan orang sembarangan, tentu engkau seorang yang luar biasa!!
Ciang Bun tersenyum. Bagaimanapun juga, hatinya ikut merasa gembira bukan main melihat pemuda pelajar ini begitu girang dan lulus, juga bahwa semua pelajar yang baik telah lulus ujian.
"Ah, harap jangan menduga yang bukan-bukan, twako. Aku seorang pemuda biasa saja, bahkan bodoh, tidak terpelajar seperti engkau.!
"Mustahil seorang pemuda biasa saja mampu mempengaruhi menteri untuk merobah jalannya ujian, menghapuskan semua sistim sogokan yang sudah berkarat dan berpuluh tahun mengotori sistim ujian di kota raja.!
"Mungkin karena beliau sadar oleh protesku, itu saja.!
"Bagaimanapun juga, engkau lah bintang penolongku, Bun-te. Aku girang sekali, tidak percuma aku melakukan perjalanan amat jauh dengan sudah payah. Biarpun aku tidak mendapat gelar karena hasil ujianku tidak mencapai angka-angka tertinggi, akan tetapi tanda lulus ini tentu akan menggirangkan hati ayahku. Ah, aku ingin pulang sekarang juga, sore ini jaga agar dapat cepat sampai ke rumah.!
"Aku pergi bersamamu, twako. Akupun ingin melakukan perjalanan ke barat untuk mencari seseorang.!
Pernyataan ini tentu saja menggirangkan hati Hok Sim sehingga dia tidak bertanya lagi siapa yang dicari oleh pemuda itu. Hatinya girang dan merekapun cepat berkemas, kemudian melakukan perjalanan meninggalkan kota raja pada sore hari itu juga menuju ke barat.
Malam itu mereka menginap di dalam sebuah dusun tak jauh dari kota raja dan di sebelah utara kota Pao-ting. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Akan tetapi, baru saja matahari naik dan mereka tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya sudah sejak tadi menanti di situ.
Buktinya, kalau tadinya lima orang itu duduk di tepi jalan dengan santai, begitu dua orang pemuda itu muncul, mereka serentak bangkit dan berdiri menghadang di tengah jalan. Melihat sikap mereka, tahulah Ciang Bun bahwa lima orang itu sengaja menghadang mereka dan hendak mengganggu. Tidak mungkin di tempat ini ada perampok, pikirnya.
Masih terlalu dekat dengan kota, dan pula, apa yang diharapkan oleh perampok-perampok dari dua orang pemuda miskin yang melakukan perjalanan pulang dari ujian? Tentu ada hal lain yang menyebabkan adanya penghadangan ini dan mudah saja menduganya bahwa pencegatan ini tentu ada hubungannya dengan kunjungannya kepada Menteri Ciong kemarin dulu. Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan diapun melihat betapa sikap Tan Hok Sim tenang saja walaupun kedua alis pemuda itu berkerut dan wajahnya membayangkan keheranan dan kekhawatiran. Pemuda pelajar ini sudah meraba-raba pedang yang disembunyikan di dalam buntalan pakaian. Ciang Bun sudah tahu bahwa temannya itu diam-diam menyembunyikan pedang.
"Tenanglah, twako.! Dia berbisik dan temannya itu tidak jadi mengeluarkan pedang dan merekapun maju terus sampai akhirnya terpaksa berhenti karena tengah jalan itu dipenuhi oleh lima orang tadi.
Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, berkata dengan suara lantang dan sikap kasar.
"Siapakah di antara kalian yang kemarin mengikuti ujian di kota raja dan bernama Tan Hok Sim?!
"Akulah orangnya!! jawab Hok Sim sambil melangkah maju.
"Bagus! Dan inikah temanmu yang lancang sekali memprotes sistim ujian dan yang membuat pembesar atasan turun tangan mengganti semua petugas pengawas ujian?!
"Benar, akulah orangnya,! kini Ciang Bun yang menjawab.
"Ha-ha-ha, kiranya bocah ingusan! Twako, kita bunuh saja mereka sekarang!! Lima orang itu sudah bergerak maju mengepung, akantetapi si muka hitam mengangkat kedua tangannya.
"Kalian berempat mundurlah. Sungguh memalukan kalau hanya membereskan dua ekor kelinci muda ini harus kita semua turun tangan. Eh, bocah-bocah sial, bersiaplah kalian untuk mampus!! bentak si muka hitam sambil melangkah maju.
"Tahan!! Tiba-tiba Tan Hok Sim dengan sikap gagah melangkah maju di depan Ciang Bun, melindungi pemuda ini.
"Aku tahu bahwa kalian tentu utusan para pengawas korup itu untuk membalas dendam kepada kami. Akan tetapi, sahabatku ini tidak bersalah. Dia hanya mewakili kami, para sasterawan muda yang miskin, untuk mengajukan protes dan ternyata berhasil baik. Kalau kalian hendak membalas dendam, balaslah kepada kami dan jangan mengganggu sahabatku yang tidak berdosa ini!!
Diam-diam Ciang Bun merasa kagum dan terharu juga melihat pembelaan Hok Sim atas dirinya, akan tetapi dia diam saja. Sementara itu, si muka hitam tersenyum menyeringai.
"Heh-heh, engkau kutu buku masih ingin bersikap gagah-gagahan? Nah, kalau sudah bosan hidup, engkau matilah lebih dulu, baru kemudian dia memperoleh bagiannya.! Sambil berkata demikian, tangan kirinya yang berlengan panjang dan besar itu menyambar ke arah kepala Hok Sim.
Tangan itu adalah tangan yang terlatih. Kulit tangan di telapakan sudah menebal dan ada tanda-tanda hangus, juga buku-buku jarinya menebal, tanda bahwa orang ini telah melakukan latihan memperkeras tangannya dengan cara latihan tenaga luar. Tangan seperti itu berbahaya sekali dan sekali tampar saja, kalau mengenai sasaran, akan membuat kepala pemuda itu pecah!
"Huhh....!! Hok Sim cepat mengelak dan ternyata putera guru silat di Ceng-tao ini cukup gesit ketika mengelak sehingga Ciang Bun yang sudah siap menyelamatkannya, kini menjadi agak lega dan hanya mempersiapkan diri untuk menolong pemuda itu sekiranya terancam bahaya.
Si muka hitam merasa penasaran sekali. Disangkanya tadi dengan yakin bahwa sekali pukul saja dia akan berhasil menghancurkan kepala bocah itu.
"Hemm, kiranya selain menjadi kutu buku engkau bisa juga sedikit ilmu silat, ya? Bagus, aku jadi tidak malu membunuhmu!! Berkata demikian, raksasa yang usianya mendekati lima puluh tahun ini sudah melakukan serangan berantai dengan kaki tangannya.
Tentu saja Hok Sim menjadi repot sekali. Selain sejak kecil dia lebih banyak disuruh belajar membaca daripada ilmu silat oleh ayahnya, juga andaikata ayahnya sendiri yang maju, maka ayahnya itupun tidak akan dapat menandingi si muka hitam yang lihai itu. Mula-mula Hok Sim mengandalkan kegesitannya mengelak ke sana-sini, berloncatan, akan tetapi akhirnya terpaksa dia mengangkat lengan menangkis ketika sebuah pukulan menyambar dan posisinya tidak memungkinkan lagi kepadanya untuk mengelak.
"Dukkk!! Lengan Hok Sim yang kecil itu bertemu dengan lengan besar si muka hitam dan akibatnya, pemuda itu roboh terjengkang dan lengan kanannya yang menangkis terasa ngilu seperti hendak patah tulangnya! Pemuda itu terus menggulingkan tubuhnya mendekati buntalan pakaiannya yang tadi dilemparkannya ke atas tanah. Dia sudah meraih dan mencabut pedangnya dari buntalan ketika tiba-tiba Ciang Bun sudah berada di sampingnya dan memegang pundaknya.
"Tenanglah, twako. Simpan kembali pedangmu.!
"Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus melawannya sampai mati!! bantah Hok Sim.
"Twako, kalau engkau melawan, engkau akan mati konyol. Engkau takkan menang, serahkan saja babi itu kepadaku. Apakah engkau masih belum percaya kepadaku?! Berkata demikian, Ciang Bun meninggalkannya dan membalikkan tubuh sambil melangkah maju menghadapi si muka hitam yang berdiri sambil tersenyum menyeringai.
"Hui-to Ngo-houw, pergilah kalian dan jangan ganggu kami lagi!! kata Ciang Bun dengan sikap masih tenang sekali.
Si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut mendengar nama julukan mereka disebut oleh pemuda itu. Mereka memang terkenal sebagai Hui-to Ngo-houw (Lima Harimau Golok Terbang), tukang-tukang pukul yang ditakuti dari kota Pao-ting. Tentu saja Ciang Bun mengenal mereka. Pemuda ini tinggal di Thian-cin, tidak jauh dari Pao-ting dan biarpun dia belum pernah jumpa dengan lima orang tukang pukul ini, namun dia sudah banyak mendengar dari ayah ibunya tentang tokoh-tokoh dunia persilatan di sekitar Thian-cin dan kota raja.
Dari ciri-ciri yang ada pada kelima orang ini, terutama golok yang tergantung di punggung mereka, dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah Hui-to Ngo-houw yang terkenal itu. Dan mereka tentu diutus oleh orang-orang yang dirugikan karena dihapuskannya sistim sogok di dalam ujian kota raja. Tentu kalau bukan para pengawas lama, mungkin saja Menteri Ciong sendiri yang mengutus mereka, untuk menghadang dan membunuhnya bersama Hok Sim yang dianggap biang keladi peristiwa itu.
"Bocah lancang, siapakah engkau maka engkau mengenal nama julukan kami? Hayo mengaku sebelum engkau menjadi mayat tanpa nama!! Si muka hitam membentak marah, akan tetapi wajahnya membayangkan keheranan dan keraguan. Mereka yang mengutus dia berlima tidak menyebutkan nama pemuda ini, hanya menyebut nama si pelajar she Tan itu saja.
"Namaku tidak ada artinya bagi kalian dan tidak perlu kalian kenal. Akan tetapi kuharap kalian suka meninggalkan kami. Kuperingatkan, kalau kalian bersikap nekat hendak menggunakan kekerasan dan hendak membunuh kami, terpaksa aku akan menyingkirkan kalian dari permukaan bumi ini agar tidak mengganggu manusia lain yang tidak berdosa.!
Ucapan ini tentu saja membuat Tan Hok Sim menjadi terkejut setengah mati, akan tetapi lima orang tukang pukul itu tertawa geli. Memang lucu kedengarannya kalau seorang pemuda remaja berusia enam belas atau tujuh belas tahun berani mengancam hendak membunuh mereka, lima orang jagoan yang namanya sudah terkenal di seluruh Pao-ting, bahkan terkenal sampai jauh keluar kota!
Mereka tertawa geli, akan tetapi juga marah sekali. Si muka hitam yang sedang tertawa bergelak itu tiba-tiba saja melakukan serangan dan memang demikianlah kelicikan para tokoh hitam. Menyerang seorang pemuda remaja saja dia masih menggunakan kecurangan, apalagi menyerang orang yang dianggapnya lebih lihai. Suara ketawanya masih bergema ketika kedua lengannya yang panjang itu tiba-tiba saja menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ciang Bun.
Sebelum kedua lengan itu menyerang, dari gerakan pundak lawan saja Ciang Bun sudah mengetahui terlebih dahulu dan pemuda ini bukannya mengelak, menangkis atau mundur, bahkan dia menggerakkan kakinya maju mendekat. Secepat kilat kedua tangannya bergerak ke depan dan tahu-tahu jari tangannya yang dibandingkan dengan lawan amatlah kecilnya itu telah menotok kedua pundak lawan sebelum kedua tangan lawan mengenai tubuhnya.
"Tuk! Tukk!! Pada saat itu, kedua tangan yang besar itu masih menerkam dari atas dan tiba-tiba saja kedua tangan itu berhenti di tengah jalan dan si muka hitam nampak lucu sekali, seperti patung dengan gaya seperti burung hendak terbang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan matanya terbelalak.
"Desss....!! Kaki Ciang Bun menendang dan si muka hitam itu terjengkang sampai terbanting ke atas tanah. Akan tetapi totokan itu hanya melumpuhkannya selama dua tiga detik saja maka diapun bangkit lagi dengan muka sebentar merah sebentar pucat, dan sekali tangannya bergerak, golok di punggungnya telah dicabutnya! Empat orang temannya juga sudah menghunus golok dan kini Lima Harimau Golok Terbang itu maju dengan golok di tangan dan sikap mereka beringas penuh ancaman.
"Bun-te, kau pakailah pedangku ini!! Tan Hok Sim berteriak setelah dapat menenangkan hatinya yang berdebar tegang sejak tadi. Kini diapun tahu bahwa pemuda yang menjadi sahabat barunya itu ternyata adalah seorang ahli silat yang pandai! Betapapun juga, melihat pemuda itu dihadapi lima orang yang memegang golok, hatinya menjadi gelisah dan dia menawarkan pedangnya.
"Tidak usah, twako, hanya akan mengotorkan pedangmu saja,! jawab Ciang Bun dan mendengar ini, Hok Sim hanya berdiri seperti patung sambil memegang pedangnya dan memandang dengan jantung berdebar tegang. Kini lima orang itu sudah mengurung Ciang Bun dengan golok di tangan. Agaknya merekapun ingin melihat senjata apa yang hendak dipergunakan oleh pemuda itu. Akan tetapi karena Ciang Bun hanya berdiri seenaknya dengan tangan kosong, dan di tubuhnya tidak nampak dia menyembunyikan suatu senjata, lima orang itu merasa semakin penasaran.
Mereka berlima yang kini memegang senjata golok andalan mereka, yang mengangkat nama mereka menjadi Hui-to Ngo-houw, kini dilawan oleh seorang pemuda remaja yang bertangan kosong! Betapa akan memalukan kalau hal ini diketahui atau didengar oleh dunia kang-ouw.
"Bunuh setan cilik ini dan pelajar itu!! teriak si muka hitam dan dia mendahului teman-temannya, goloknya berkelebat ke arah leher Ciang Bun. Akan tetapi golok itu hanya menyambar tempat kosong saja karena lebih cepat lagi Ciang Bun sudah menggerakkan tubuh mengelak. Dia disambut bacokan-bacokan dari empat orang teman si muka hitam yang merasa penasaran sekali. Ciang Bun mengeluarkan suara melengking dan ketika kedua tangannya menyambut, dengan gerakan-gerakan aneh, terasa oleh semua lawannya ada hawa panas luar biasa menyambar ke tubuh mereka.
"Plak-plak-plak! Desss....!! Tiga orang meloncat ke belakang sambil mengaduh karena lengan mereka yang bertemu dengan tangan pemuda itu seperti terbakar rasanya dan ada tapak hangus pada kulit lengan mereka, sedangkan orang ke empat terpukul tangannya yang memegang golok. Golok itu terlepas dan Ciang Bun cepat mengibasnya dengan jari-jari tangan kirinya,!Tringgg.... wuuutt, crottt....!!
Pemilik golok itu menjerit ketika tiba-tiba goloknya yang terlepas tadi menyambar dan menancap di dadanya sampai tembus ke punggung. Dia roboh dan tak dapat bangun kembali, tewas oleh goloknya sendiri. Bukan main kaget dan marahnya si muka hitam dan tiga orang kawannya. Mereka mengeluarkan suara menggereng seperti harimau-harimau kelaparan dan merekapun berloncatan menerjang dari berbagai jurusan, mengeluarkan ilmu mereka yang membuat mereka disebut dengan julukan Lima Harimau Golok Terbang. Namun, Ciang Bun yang kini menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, menghadapi mereka dengan tenang.
Selama ini, Ciang Bun tidak pernah malas untuk melatih Hwi-yang Sin-ciang sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Ilmu pukulan yang mengandalkan tenaga sin-kang yang panas ini memang hebat sekali dan menjadi satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari keluarga Pulau Es. Kebalikan dari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) ini, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) lebih sukar dilatih dan diapun sudah menguasai teorinya, namun belum dapat melatihnya secara sungguh-sungguh, tidak seperti encinya, Suma Hui yang sudah menguasai ilmu itu cukup kuat.
Namun, dengan Hwi-yang Sin-ciang, sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Es, mana mungkin penjahat-penjahat kasar macam Hui-to Ngo-houw itu mampu menandinginya? Sebuah pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga mujijat itu, dengan tangan terbuka, mengenai dada seorang di antara mereka.
"Plakk!! Orang itu tidak sempat mengaduh, melainkan roboh terjengkang dan bajunya di bagian dada hangus sedangkan pada kulit dadanya terdapat telapak tangan pemuda itu dan isi dadanya sudah hancur oleh hawa pukulan panas itu, dan tewaslah dia.
Melihat ini si muka hitam berobah pucat dan gentar. Dia meloncat ke arah Hok Sim yang berdiri di pinggir dengan pedang di tangan. Maksudnya jelas. Dia hendak menaklukkan dan menangkap pemuda sasterawan ini untuk dijadikan sandera, untuk membuat Ciang Bun yaug lihai itu tidak berdaya. Akan tetapi, Hok Sim bukan seorang penakut dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menyambut penjahat itu dengan tusukan pedangnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tranggg....!! Golok si muka hitam menangkis amatkuatnya sehingga pedang itu terpental dari tangan Hok Sim! Si muka hitam menyeringai dan menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram dan menangkap Hok Sim, akan tetapi Hok Sim memukulkan tangan kanannya ke arah muka orang itu.
"Dukk!! Tangkisan si muka hitam membuat Hok Sinm terpelanting roboh. Si muka hitam menyeringai dan menubruk, akan tetapi pada saat itu, nampak sinar putih berkelebat.
"Crottt.... aughhh....!! Sebatang golok terbang dan menancap di lambung si mukahitam. D ia melepaskan goloknya, menoleh dan melihat betapa dua orang temannya sudah roboh tewas dan betapa golok yang menancap di lambungnya itu dilemparkan oleh pemuda lihai itu setelah merampasnya dari tangan seorang temannya. Si muka hitam roboh terguliug, dan memegangi lambung yang tertusuk golok.
Hok Sim meloncat bangun danmemandan g dengan mata terbelalak penuh kengerian. Lima orang itu kini telah roboh semua dan tempat itu menjadi mengerikan oleh darah yang keluar dari luka di tubuh mereka. Ciang Bun menghampiri Hok Sim dan pada saat itu, si muka hitam masihdapat merintih dan mengangkat muka memandang kepada wajah pemuda remaja yang telah merobohkan dia dan empat orang kawannya itu.
"Orang muda, siapakah namamu....?!
Ciang Bun maklum bahwa orang ini sebentar lagi akan mati, maka dengan suara dingin dia menjawab.
"Namaku Suma Ciang Bun.!
Mata yang sudah sayu itu terbelalak.
"Suma....? Pendekar.... Pulau.... Es....?! Dan diapun mengeluh panjang, lehernya terkulai dan tewaslah kepala Hui-to Ngo-houw itu.
Hok Sim bergidik. Biarpun ayahnya seorang guru silat dan dia pernah belajar silat, akan tetapi belum pernah dia melihat pembunuhan terjadi di depan matanya, apalagi sekaligus ada lima orang tewas dalam keadaan terluka mengerikan seperti itu.
"Kenapa.... kenapa mereka.... harus dibunuh....?! Dia bertanya dengan suara membayangkan kengerian.
Dengan sikap tenang dan dingin Ciaug Bun melirik ke arah mayat-mayat itu dan berkata.
"Ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa membunuh mereka. Pertama, mereka adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang amat kejam dan jahat dan mereka tadi jelas sekali hendak membunuh kita berdua maka sudah sepatutnya mereka dienyahkan dari permukaan bumi. Ke dua, mereka tentu diutus oleh seseorang dan kalau mereka itu dibiarkan kembali ke atasan mereka, tentu atasan mereka takkan tinggal diam dan akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi untuk mengejar dan membunuh kita.!
Hok Sim memandang dengan sinar mata penuh kagum. Baru dia tahu sekarang bahwa sahabatnya ini adalah seorang pendekar besar, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng dan cerita ayahnya.
"Ah, kiranya engkau.... engkau adalah seorang pendekar, seorang taihiap.... maafkanlah bahwa selama ini aku kurang hormat....! Hok Sim lalu menjura dengan hormat.
Ciang Bun tersenyum dan memegang kedua lengan sahabatnya.
"Aih, twako, aku tidak mau engkau bersikap seperti itu! Kita adalah sahabat, bukan? Dan bagimu aku tetap Bun-te, tidak ada taihiap-taihiapan segala!! Mereka lalu tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Di tengah perjalanan, Hok Sim tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.
"Bun-te, sekarang aku tahu mengapa sistim ujian itu dirobah. Tentu engkau telah mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk memaksa menteri itu, bukan?!
Ciang Bun hanya tersenyum.
"Hal itu terjadi karena kesadarannya....! Hanya demikian dia menjawab, akan tetapi hatinya masih bertanya-tanya, siapa biang keladi penghadangan oleh Hui-to Ngo-houw tadi. Menteri Ciong itukah? Ataukah para pnngawas lama?
Semenjak terjadi peristiwa itu, hubungan antara Hok Sim dan Ciang Bun menjadi semakin akrab. Apalagi perjalanan menuju ke kampung halaman Hok Sim amatlah jauhnya, memakan waktu berbulan-bulan dan melalui perjalanan yang amat sukar. Hok Sim menganggap Ciang Bun sebagai penolongnya dan juga sebagai seorang pendekar gagah perkasa yang mengagumkan hatinya.
"Bun-te, aku ingin sekali engkau berkenalan dengan seorang adikku. Kami hanya dua orang saudara kakak beradik. Adikku itu sebaya denganmu, ia seorang gadis yang.... hemm, amat cantik manis dan juga ilmu silatnya tidak kalah olehku. Namanya Tan Seng Nio dan aku sayang sekali padanya.!
Akan tetapi, Ciang Bun menyambut penawaran berkenalan ini dengan sikap dingin saja, tidak menjawab dan hanya tersenyum tak acuh. Akan tetapi, selama dalam perjalanan, sikapnya semakin manis terhadap Hok Sim yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang amat baik, halus budi akan tetapi juga gagah berani walaupun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi. Mulailah Hok Sim merasa heran dan kadang-kadang terkejut juga menyaksikan sikap pemuda pendekar yang dikaguminya itu.
Dia melihat betapa Ciang Bun selalu berpakaian rapi dan pesolek, menjaga kebersihan dan wataknya halus sekali. Bahkan kadang-kadang dia merasa betapa sikap Ciang Bun terlalu lunak dan halus perasa, bahkan kadang-kadang terlalu lemah-lembut seperti wanita, juga sikapnya terhadap dirinya kadang-kadang nampak kemesraannya dan kewanitaan!
Ciang Bun tidak sadar akan sikapnya sendiri. Dia sudah lupa lagi akan pengalamannya dengan Lee Siang dan Lee Hiang, kakak beradik yang tinggal di Pulau Nelayan itu, kakak beradik yang mula-mula membuat dia membuka mata melihat kelainan yang ada pada dirinya.
Tanpa disadarinya, dia merasa suka sekali kepada Hok Sim. Bukan, sama sekali bukan jatuh cinta seperti yang pernah dirasakannya ketika dia berdekatan dengan Lee Siang, melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Dia tidak sadar sama sekali betapa sikapnya amat mesra dan kadang-kadang terlalu kewanitaan terhadap Hok Sim, dan dia menganggap sikapnya itu wajar.
Pada suatu hari tibalah mereka di kota Wang-sian, sebuah kota di tepi Sungai Yang-cee-kiang. Mereka bermalam di sebuah penginapan setelah memilih-milih dan berputar kota itu. Telah hampir dua bulan mereka melakukan perjalanan dan mereka merasa lelah sekali. Akan tetapi, kota Wang-sian sudah termasuk dalam Propinsi Se-cuan dan kota Ceng-to tinggal tak berapa jauh lagi, dapat tercapai dalam beberapa hari saja.
"Aku ingin besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Aku sudah ingin segera sampai di rumah, Bun-te,! kata Hok Sim setelah mereka berdua merebahkan diri di dalam kamar itu.
"Engkau agaknya sudah amat rindu kepada adikmu dan ayah bundamu, twako.!
"Kepada mereka juga, akan tetapi terutama sekali kepada Loan-moi....! Dan suara pemuda itu terdengar penuh kemesraan.
Ciang Bun mengangkat muka lalu bangkit duduk, memandang kepada sahabatnya itu sambil bertanya.
"Loan-moi....? Siapa itu....? Engkau belum pernah menyebutnya selama ini.!
Wajah Hok Sim berobah menjadi merah dan diapun bangkit duduk lalu memandang sahabatnya.
"Maaf, Bun-te, sesungguhnya aku merasa malu untuk menyebutnya, akan tetapi karena engkau sudah kuanggap sebagai saudaraku dan anggauta keluarga, biarlah kuceritakan juga. Ia bernama Su Ci Loan dan gadis itu adalah.... tunanganku, calon isteriku. Sesungguhnya kami hanya menanti sampai aku lulus ujian, baru kami akan melangsungkan pernikahan. Dan sekarang ia tentu sudah menanti-nanti di rumah kami pula karena rumahnya berada di sebelah rumah kami. Kami tetangga....! Pemuda itu kelihatan girang sekali mengenangkan tunangannya sehingga dia tidak melihat betapa wajah sahabatnya itu tidaklah nampak segembira wajahnya.
Mengapa Ciang Bun tidak merasa gembira mendengar akan kebahagiaan sahabat yang disukainya itu? Iri hati? Cemburu? Sama sekali tidak. Dia menganggap Hok Sim sebagai seorang sahabat yang amat disukanya dan dia tentu akan merasa girang melihat sahabatnya itu berbahagia. Akan tetapi, cerita Hok Sim tentang tungannya itu, secara tiba-tiba telah mengingatkan dia kembali akan keadaannya sendiri yang berbeda dengan keadaan Hok Sim, berbeda dengan keadaan para pemuda lainnya, dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram dan hatinya menjadi getir.
Setelah melakukan perjalanan yang cepat, sepekan kemudian tibalah mereka di kota Ceng-tao dan seperti telah digambarkan lebih dulu oleh Hok Sim, kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh ayah bunda Hok Sim dan juga adiknya yang bernama Tan Seng Nio, akan tetapi terutama sekali disambut dengan malu-malu dan juga dengan rasa bahagia oleh Su Ci Loan, tunangan Hok Sim.
Ketika Hok Sim menceritakan kepada keluarganya, juga kepada tunangannya tentang kehebatan Ciang Bun menaklukkan dan merobohkan lima orang penjahat besar dan juga betapa pemuda itu telah memaksa menteri untuk menghentikan korupsi di tempat ujian, tentu saja mereka semua merasa kagum bukan main kepada Ciang Bun. Ayah Hok Sim adalah seorang guru silat, seorang murid Kun-lun-pai, maka dia merasa kagum sekali. Ketika Hok Sim tanpa dapat dicegah oleh Ciang Bun, menceritakan ucapan terakhir dari si muka hitam, kepala dari Hui-to Ngo-houw yang menyebut Suma Ciang Bun sebagai pendekar Pulau Es, ayahnya terkejut bukan main dan cepat bangkit berdiri lalu menjura kepada Ciang Bun.
"Ah, kiranya taihiap adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?! Dia hanya mendengar nama itu dalam dongeng dunia kang-ouw saja, belum pernah berjumpa sendiri dengan para pendekar keluarga Pulau Es, akan tetapi dia sudah merasa amat kagum dan hormat terhadap nama keluarga pendekar besar itu.
"Sudahlah, paman, harap jangan memakai terlalu banyak peraturan sehingga akan membuat saya merasa sungkan saja,! Ciang Bun berkata dan guru silat itu menarik napas panjang. Semakin kagumlah hatinya terhadap pemuda ini. Seorang pemuda yang demikian halus dan rendah hati akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi keturunan penghuni Pulau Es. Ingin sekali dia bertanya banyak tentang keluarga itu, akan tetapi khawatir membuat hati pemuda yang pendiam itu menjadi tidak enak, guru silat Tan inipun tidak berani mendesak. Malamnya, diam-diam dia bicara dengan puteranya, akan tetapi diapun kecewa karena puteranya juga tidak tahu banyak tentang Ciang Bun.
"Ah, betapa akan bahagia hatiku kalau dia dapat bcrjodoh dengan adikmu....! kata ayah ini.
Hok Sim tersenyum.
"Kita akan merasa seperti kejatuhan bulan, ayah. Akan tetapi biarlah akan kuatur agar mereka dapat bersahabat karib.!
Akan tetapi, dalam hal ini Hok Sim tidak perlu bekerja keras. Begitu diperkenalkan olehnya, Seng Nio, adiknya, bahkan Ci Loan, tunangannya, merasa suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa namun amat halus budi itu. Ketika Hok Sim menemui tunangannya dan membisikkan kehendak ayahnya, Ci Loan menyatakan kesanggupannya untuk membantu agar Seng Nio dapat bergaul erat dengan Ciang Bun.
Demikianlah, atas permintaan Hok Sim, Ciang Bun menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di rumah keluarga Tan selama dua pekan, baru dia akan melanjutkan perjalanannya mencari jejak encinya. Apalagikarena dia mendengar bahwa pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong kini melanjutkan gerakannya menyerbu ke Negara Nepal. Dia merasa yakin bahwa dengan adanya peristiwa itu, encinya tentu belum mungkin dapat menyusul Cin Liong dan sebaiknya kalau dia menanti di tempat ini, karena betapapun juga, untuk pergi ke Tibet dari timur tentu akan melewati daerah ini. Karena dia memperoleh kesempatan yang banyak, yang telah diatur oleh pihak keluarga itu di luar tahunya, dia banyak bergaul dengan Seng Nio dan Ci Loan.
Di lubuk hatinya, Ciang Bun tidak mempunyai perasaan benci terhadap wanita. Sama sekali tidak, bahkan dia dapat pula menaruh rasa sayang kepada wanita. Akan tetapi perasaan ini hanya terbatas sebagai perasaan persahabatan belaka, sama sekali tidak mendalam, bahkan tidak terasa kemesraan dalam hatinya seperti kalau dia bergaul dengan pemuda yang menarik hatinya. Dia jauh lebih senang bergaul dengan Hok Sim daripada dengan Seng Nio atau dengan Ci Loan yang cantik.
Dan dalam pergaulan yaug beberapa hari ini dia mendapatkan sesuatu yang membuat perasaannya terganggu dan hatinya menjadi tidak senang. Dia melihat betapa sikap Seng Nio kepadanya tidak wajar, seperti orang yang mencari muka dan memikat-mikat. Dan diapun melihat betapa sinar mata Ci Loan kepadanya juga tidak wajar, dan biarpun tunangan Hok Sim ini terhadap dirinya selalu bersikap sopan, namun kerling matanya dan senyumnya itu menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dia dapat merasakan betapa dua orang gadis itu seperti orang yang jatuh hati kepadanya! Hatinya merasa tidak senang sekali.
Harus diakuinya bahwa Seng Nio adalah seorang gadis yang cantik, dan Ci Loan lebih manis lagi. Akan tetapi, sikap mereka terhadapnya mendatangkan rasa tak senang dan melenyapkan rasa sukanya sebagai sahabat. Apalagi terhadap diri Ci Loan, dia merasa tak senang dan dia diam-diam merasa marah. Dara itu sudah menjadi tunangan Hok Sim, calon isterinya, mengapa sinar matanya dan senyumnya jelas membayangkan hal yang serong, hati yang tertarik kepadanya sebagai seorang pria lain?
Dari Ci Loan, Hok Sim mendengar bahwa perkembangan antara hubungan Ciang Bun dengan Seng Nio masih juga belum mengalami "kemajuan! seperti yang diharapkan keluarga itu.
"Loan-moi, Seng-moi suka ilmu silat, bahkan engkau sendiripun banyak belajar ilmu silat. Bagaimana kalau besok pagi engkau dan Seng Nio mengajak Bun-te pergi berpesiar ke gunung Omei-san? Kalian boleh minta petunjuknya dalam ilmu silat, dan tempat itu amat romantis, amat indah. Berilah kesempatan mereka agar dapat berdua saja dan mudah-mudahan akan ada kemajuan di antara mereka,! kata Hok Sim kepada tunangannya.
"Baiklah, Sim-koko,! jawab tunangannya dengan gembira. Hok Sim tidak tahu bahwa kegembiraan wajah tunangannya itu bukan hanya karena ingin memberi kesempatan kepada adik iparnya dan pemuda itu, melainkan karena diam-diam Ci Loan sendiri merasa suka sekali kepada pemuda pendekar yang menjadi tamu mereka. Ada sesuatu pada diri Ciang Bun yang tidak dimiliki tunangannya. Bukan hanya kepandaian silat tinggi sebagai seorang pendekar, dan bukan hanya sebagai keturunan keluarga Pulau Es, akan tetapi juga suatu sifat yang amat menarik hatinya. Ia sendiri tidak tahu persis sifat baik apakah yang amat menarik hatinya itu. Mungkin kelembutan Ciang Bun, sikapnya yang halus, gerak-geriknya yang lemah lembut.
Akan tetapi, Ciang Bun baru mau diajak pesiar ke Omei-san ketika Hok Sim menyatakan pergi juga. Pagi-pagi benar mereka berempat sudah berangkat ke pegunungan yang indah itu. Karena hari masih amat pagi, tempat pesiar itu masih kosong dan belum ada tamu lain. Dengan cerdik, Hok Sim pura-pura kelupaan sesuatu.
"Aku harus kembali dulu ke rumah. Biarlah kalian bertiga mendaki puncak lebih dulu. Aku nanti menyusul!! katanya sambil cepat-cepat meninggalkan mereka. Tentu saja dia tidak terus pulang melainkan mengambil jalan memutar karena maksudnya hanya untuk membiarkan mereka bertiga saja dan dia ingin mengintai sendiri dari kejauhan, melihat sampai di mana hasil rencananya yang dijalankan oleh tunangannya itu. Kalau dia tadi mengajak tunangannya untuk kembali dan membiarkan Ciang Bun berdua saja dengan Seng Nio, maka kesengajaan itu terlalu kasar dan tentu akau menimbulkan kecurigaan di hati Ciang Bun.
Ciang Bun bersama dua orang gadis itu mendaki puncak dan pendekar muda ini merasa gembira sekali. Tempat itu memang indah nukan main, apalagi di waktu pagi ketika sinar matahari yang keemasan memulas semua yang ada di permukaan bumi dengan cahayanya yang indah cemerlang. Ketika tiba di puncak dan melihat di situ terdapat sebuah dataran yang penuh dengan pohon-pohon bunga, Ciang Bun mengucap pujian.
"Hebat.... indah.... mempesona, seperti untaian sajak....!! Dia berkata seperti kepada diri sendiri, lupa bahwa di dekatnya terdapat dua orang gadis cantik.
"Suma-taihiap, kakakku bilang bahwa engkau pandai bersajak. Tempat ini begini indah, suasananya begini tenang dan damai, kuharap engkau suka membuatkan sajak untuk kami,! kata Seng Nio dengan suara halus dan sikap manis.
"Benar sekali! Suma-taihiap, akupun ingin sekali mendengar sajak buatanmu mengenai keindahan Omei-san!! kata Ci Loan dengan gembira. Suma Ciang Bun memang sedang bergembira dan terpesona oleh keindahan alam di tempat itu, ma ka diapun berkata.
"Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin sebaik kalau Tan-twako yang membuatnya.!
"Aih, janganlah taihiap terlalu merendahkan diri!! Seng Nio berkata. Ciang Bun lalu berdiri memandang ke bawah puncak. Pemandangan sungguh indah dan diapun mulai bersajak bebas :
"Segalanya nampak indah di Omei-san,
tirai-tirai cahaya putih
menembos celah-celah daun
awan menjadi penghias matahari
daun kering berserakan
menyuburkan bumi
Bunga gugur
membawa keindahan mengharukan
berbahagialah mata
memandang semua ini!
Harum bunga semerbak dihembus angin lalu
sedapnya rumput dan tanah
menyentuh kalbu
berbahagialah hidung
mencium semua ini!
Kicau burung dan dendang air terjun
desir angin pagi
mempermainkan daun-daunan
berbahagialah telinga
mendengar semua ini!!
"Bagus sekali!! Ci Loan yang mengerti tentang sajak memuji.
"Sajakmu sederhana namun berhasil menggambarkan keindahan yang mendalam, taihiap.!
"Wah, enci Loan. Aku hanya tahu sajak itu indah dan sedap didengar, akan tetapi aku tidak begitu mengerti apa artinya pujianmu tadi. Di manakah letak keindahannya?! Seng Nio yang tidak begitu mengerti akan sajak bertanya sedangkan Ciang Bun hanya tersenyum saja.
"Suma-taihiap merobah benda-benda yang biasanya mendatangkan kesan buruk berbalik menjadi indah. Awan yang biasanya menjadi pengganggu sinar matahari malah menjadi penghiasnya. Daun kering lambang kematian malah menyuburkan bumi dan bunga gugur juga dilukiskan sebagai hal yang indah mengharukan. Harumnya bunga, sedapnya rumput dan tanah, bunyi-bunyian seperti kicau burung, dendang air terjun dan desir angin pagi. Sungguh melukiskan keindahan alamiah yang aseli!! sambung Ci Loan.
Gembira juga hati Ciang Bun mendengar ucapan gadis itu, bukan karena pujiannya, melainkan karena ucapan itu membuktikan bahwa Ci Loan mampu mengerti isi sajak. Maka diapun menjura kepada dua orang gadis itu.
"Ah, kiranya nona adalah seorang ahli tentang sajak,! katanya.
Ci Loan tersenyum manis lalu berkata.
"Aku
ingin mengambil bunga-bunga mawar yang kusukai. Banyak mawar tumbuh di bagian sana. Harap kalian menunggu di sini saja.! Tanpa menanti jawaban Ci Loan lalu meninggalkan mereka. Karena memang sebelumnya sudah ada permufakatan antara kedua orang gadis itu, maka Seng Nio juga tidak menahan kepergian calon kakak iparnya itu.
Ditinggalkan berdua saja dengan Seng Nio di tempat sunyi dan romantis itu, Ciang Bun tidak merasa canggung, hanya merasa kurang enak. Dia lalu duduk di atas batu hitam yang besar. Ketika Seng Nio melangkah mendekatinya, dia pura-pura tidak tahu dan memandang ke bawah puncak yang kini menjadi semakin terang oleh sinar matahari yang makin meninggi.
Suling Emas Naga Siluman Eps 2 Jodoh Rajawali Eps 63 Suling Emas Naga Siluman Eps 30