Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 30


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



"Tek Hoat...."

   Sejak tadi Syanti Dewi hanya mampu menyebut nama ini, nama yang sudah terlalu sering disebutnya dalam mimpi, bahkan yang selalu bergema di dalam hatinya semenjak dahulu sampai sekarang.

   "Syanti.... aku tidak ingin mengganggumu, sungguh mati.... biar aku dikutuk Tuhan jika aku berniat buruk kepadamu.... tidak, lebih baik aku mati daripada mengganggumu, Syanti. Aku tadinya sudah hendak pergi diam-diam, tapi.... tapi Im-kan Ngo-ok muncul dan kau terancam.... sekarang, kau katakanlah bahwa engkau sudi mengampuniku.... biar kucium ujung sepatumu, Syanti, kau ampunkanlah aku.... biarkan aku berani untuk melanjutkan hidup yang tak berapa lama lagi ini...."

   "Tek Hoat.... duhai, Tek Hoat.... mengapa engkau sampai menjadi begini....?"

   Syanti Dewi berkata, terengah-engah dan tersedu-sedu, dan kini tangan dengan jari-jari halus itu meraba kepala Tek Hoat, meraba muka yang penuh brewok itu, meraba baju yang penuh tambalan, jari-jari tangan yang gemetar.

   "Mengapa.... mengapa engkau menjadi begini....?"

   "Sudah sepatutnya aku menerima hukuman, Syanti, memang sudah sepatutnya aku manusia rendah ini hidup dalam keadaan yang serendah-rendahnya. Tapi aku belum merasa puas kalau belum mendapat ampun darimu, Syanti...., kau ampunkanlah aku.... kau ampunkanlah aku...."

   Dan pria itu lalu menunduk, hendak mencium ujung sepatu Syanti Dewi.

   "Tek Hoat, jangan....!"

   Dan kini Syanti Dewi juga merosot turun dari atas pembaringan, ikut berlutut di depan Tek Hoat dan merangkulnya! Tek Hoat terkejut, dan undur dan terbelalak.

   "Jangan begitu, Syanti. Jangan kau mengotorkan dirimu. Sungguh, aku tidak ingin mengganggumu. Engkau.... engkau sudah sepatutnya, sungguh pantas menjadi isteri Pangeran Mahkota, kelak menjadi permaisuri.... wahai Syanti Dewi, sungguh mati aku ikut merasa bahagia melihat kebahagiaanmu...."

   Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak.

   "Apa katamu? Engkau.... engkau akan merasa girang kalau aku menjadi isteri orang lain? Kau.... kau rela....?"

   "Tentu saja, Syanti Dewi, aku merelakan apa pun, bahkan nyawaku, demi kebahagiaanmu...."

   "Kalau begitu, engkau.... engkau sudah tidak cinta lagi kepadaku?"

   "Ehhh....? Mengapa engkau bertanya demikian? Syanti Dewi.... aku..... cintaku.... ah, orang macam aku ini mana ada harganya bicara tentang cinta? Kau ampunkan aku, Syanti...."

   "Tidak! Kalau engkau merelakan aku menjadi isteri orang lain, sampai mati pun aku tidak akan mengampunimu. Tek Hoat...., Tek Hoat.... sampai usia kita sudah tua begini, apakah engkau masih belum dewasa? Bertahun-tahun aku menantimu di sini, sampai hampir mati rasanya aku menantimu, dan kini.... begitu engkau muncul.... engkau hanya mau menyatakan bahwa engkau rela kalau aku menjadi isteri orang lain! Ya Tuhan, tidak akan ada hentinyakah engkau merusakhancurkan hati dan perasaanku, Tek Hoat?"

   Syanti Dewi lalu menangis lagi sesenggukan. Tek Hoat yang masih berlutut itu memandang bengong seperti orang kehilangan ingatan, atau seperti orang yang tolol. Semua ucapan dan sikap Syanti Dewi sungguh, tak pernah terbayangkan olehnya sehingga dia terkejut dan kesima. Akhirnya dia dapat juga berkata-kata, karena dia harus mengatakan sesuatu melihat Syanti Dewi menangis mengguguk seperti itu.

   "Tapi.... tapi, Syanti.... aku melihat sendiri, mendengar sendiri betapa engkau telah memilih Pangeran Mahkota menjadi jodohmu.... malah aku bersyukur...."

   Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena Syanti Dewi sudah menurunkan kedua tangan dan melalui air matanya memandang kepadanya seperti orang merasa penasaran dan marah.

   "Tentu saja engkau tidak tahu! Yang kau ketahui hanya dirimu sendiri saja, kesusahanku sendiri saja! Pangeran sengaja melakukan itu untuk menolongku, mengertikah engkau? Aku tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain dan sudah kukatakan ini kepada Pangeran yang menjadi sahabatku terbaik, maka dialah yang akan memban-tuku keluar dari sini tanpa menyinggung perasaan Enci Ouw Yan Hui. Aahhh, perlukah aku menjelaskan semuanya lagi? Tidak cukupkah kalau aku katakan bahwa aku tidak dapat menikah dengan orang lain kecuali dengan engkau? Bahwa hanya engkaulah satu-satunya pria yang pernah kucinta, yang masih kucinta, dan yang selamanya akan kucinta? Atau haruskah aku bersumpah kepadamu?"

   Dua mata Tek Hoat menjadi basah dan air matanya menggelinding turun satu-satu. Dia bangkit berdiri, memandang wantta itu, sinar harapan baru muncul dalam pandang matanya.

   "Syanti.... Syanti Dewi...., be...., benarkah itu? Benarkah itu....?"

   "Bodoh! Engkau laki-laki canggung yang bodoh! Ahh, betapa gemas hatiku....! Mari, mari kubuktikan....!"

   Kini Syanti Dewi bangkit berdiri dan menyambar tangan kiri Tek Hoat, digandengnya tangan kiri pria itu dengan tangan kanannya,

   Lalu diseretnya Tek Hoat keluar sehingga keduanya setengah berlari menuju ke ruangan itu. Di situ nampak Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong sedang bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan Kao Kok Cu, sedangkan para tamu sedang bercakap-cakap sendiri dengan asyiknya. Ketika Syanti Dewi muncul menggandeng tangan pengemis itu, semua orang menengok dan hanya Pangeran, Ceng Ceng dan Kao Kok Cu sajalah yang memandang dengan muka berseri karena tiga orang ini mengerti apa artinya itu. Ouw Yan Hui juga sudah dapat menduga, akan tetapi alisnya berkerut karena dia amat mengharapkan Syanti Dewi menjadi isteri Pangeran Mahkota Kian Liong. Para tamu terbelalak kaget dan terheran-heran, apa lagi ketika Syanti Dewi yang mukanya masih basah air mata itu kini berkata dengan suara lantang sekali,

   "Cu-wi yang mulia, saya hendak membuat pengumuman, harap Cu-wi sekalian menjadi saksi bahwa saya telah memilih dan menetapkan jodoh saya, yaitu Wan Tek Hoat yang saya gandeng ini!"

   Mata para tamu itu makin lebar terbelalak dan memandang tidak percaya. Syanti Dewi, wanita cantik seperti bidadari itu memilih pengemis ini menjadi jodohnya? Akan tetapi, terdengarlah tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan itu adalah Wan Ceng, dan Pangeran Kian Liong sendiri, dan ketika para tamu melihat siapa yang bertepuk tangan, mereka pun beramai-ramai bertepuk tangan, sungguhpun di dalam hati mereka itu terdapat rasa penasaran sekali.

   Mereka tidak tahu akan riwayat percintaan antara kedua orang itu, dan yang mereka ketahui sekarang hanya bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita secantik bidadari sedangkan pria itu adalah seorang laki-laki yang nampak jauh lebih tua dan seperti jembel pula. Tentu saja mereka merasa penasaran. Sementara itu, melihat betapa Sang Pangeran sendiri menyambut pengumuman ini dengan tepuk tangan dan wajah berseri gembira, Ouw Yan Hui merasa terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu Pangeran Kian Liong mendekatinya dan berkata.

   "Ouw-toanio sendiri tentu sudah tahu akan riwayat mereka, maka sekarang mereka telah saling bertemu, alangkah baiknya kalau peresmian perjodohan mereka dilaksanakan di sini juga, dengan disaksikan oleh para tamu. Ouw Yan Hui memandang dengan muka agak pucat.

   "Tapi.... tapi.... bukankah Pangeran...."

   "Sssttt, Ouw-toanio. Enci Syanti Dewi pantas menjadi bibiku, sekarang bertemu dengan Paman Wan Tek Hoat yang sejak dahulu dicintainya, hanya untuk menghilangkan rasa tidak enak dan malu saja setelah dia menolak semua calon."

   Kemudian dengan suara mendesak Pangeran itu minta kepada Ouw Yan Hui agar usulnya itu diumumkan.

   Ouw Yan Hui merasa lemas, akan tetapi tidak berani menentang. Dia menarik napas panjang dan bangkit dengan tubuh lesu, lalu berkata dengan suara lantang,

   "Cu-wi yang mulia, Cu-wi telah melihat sendiri bahwa Adik Syanti Dewi telah memilih jodohnya. Maka, selagi Cu-wi masih berada di sini, kami akan meresmikan perjodohan mereka pada besok pagi. Silakan Cu-wi beristirahat di dalam pondok tamu sementara kami akan membuat persiapan untuk pesta besok pagi."

   Para tamu menyambut dengan gembira dan mereka kembali saling bicara sehingga suasana menjadi bising. Ceng Ceng menggandeng tangan Tek Hoat sambil berkata,

   "Hayo kau ikut aku! Calon pengantin masa seperti ini? Engkau harus cukur dan mandi tujuh kali, berganti pakaian...."

   Tiba-tiba nyonya ini menjadi bingung.

   "Wah, pakaian yang mana....?"

   Dia menoleh kepada suaminya. Dalam perjalanan itu, suaminya ada membawa pengganti pakaian, akan tetapi pakaian biasa dan tentu saja kurang pantas kalau dipakai pengantin. Pangeran Kian Liong tersenyum lebar.

   "Jangan khawatir, Bibi. Kebetulan bentuk tubuh Paman Wan Tek Hoat hampir sama dengan tubuhku, dan aku ada membawa beberapa potong pakaian yang akan cukup pantas kalau dipakai olehnya."

   Wan Ceng tersenyum girang.

   "Sungguh, Paduka selalu bisa mendapatkan akal dan jalan keluar, terima kasih!"

   Memang ada hubungan yang akrab antara Pangeran Mahkota dengan suami isteri pendekar itu karena putera mereka, yaitu Kao Cin Liong, merupakan seorang sahabat baik sekali dari Pangeran Kian Liong. Bahkan Sang Pangeran ini pernah pula mengunjungi Istana Gurun Pasir, bersama sahabatnya yang kini menjadi seorang jenderal muda itu. Syanti Dewi hanya tersenyum me-nyaksikan Tek Hoat ditarik-tarik oleh Wan Ceng ke dalam gedung, dan dia sendiri lalu mendekati Ouw Yan Hui dan memegang tangan enci atau juga gurunya itu. Dia dapat melihat wajah yang mu-ram dari Ouw Yan Hui, maka dia berbisik,

   "Maafkan aku, Enci Hui, engkau tahu, dia itu tunanganku dan.... dialah satu-satunya pria yang kucinta. Kami akan kembali ke Bhutan...., Ayah telah tua sekali dan terlalu lama aku meninggalkan keluargaku di sana...."

   Ouw Yan Hui memandang wajah adik atau juga muridnya ini. Melihat wajah cantik itu memandang kepadanya dengan penuh permohonan, dan penyesalan, dia merasa terharu juga. Dia amat sayang kepada Syanti Dewi, seperti adiknya atau seperti anaknya sendiri maka dirangkulnya Syanti Dewi.

   Mereka berpelukan dan tidak mengeluarkan suara, akan tetapi pada mata Ouw Yan Hui yang biasanya amat tabah dan berhati dingin itu nampak air mata berlinang. Lalu mereka pun memasuki gedung untuk membuat persiapan. Pesta pernikahan itu dilakukan secara sederhana sekali, apalagi hanya dihadiri dan disaksikan oleh para tamu kurang lebih dua ratus orang banyaknya, mereka yang tadinya datang ke pulau itu untuk menghadiri perayaan ulang tahun Syanti Dewi. Memang tadinya Ouw Yan Hui mengusulkan untuk mengundur hari pernikahan agar dia dapat mengirim undangan sebanyaknya, akan tetapi Tek Hoat dan Syanti Dewi tidak setuju. Biarlah perjodohan mereka disahkan secara sederhana, sudah disaksikan oleh Pangeran Kian Liong dan fihak keluarga diwakili oleh Wan Ceng dan suaminya.

   "Kami akan kembali ke Bhutan dan di sanalah nanti diadakan pesta yang meriah,"

   Kata Syanti Dewi. Biarpun acara pernikahan itu amat sederhana, namun cukup meriah karena di situ hadir pula Sang Pangeran. Ouw Yan Hui menangis tersedu-sedu, hal yang amat luar biasa baginya, ketika sepasang pengantin itu memberi hormat kepadanya. Juga Wan Ceng menangis dan merangkul kakak tirinya dengan hati terharu, lalu mencium Syanti Dewi yang masih terhitung kakak angkatnya pula. Suasana menjadi mengharukan sekali, akan tetapi Pangeran Kian Liong lalu maju memberi selamat kepada sepasang mempelai dengan mengangkat cawan arak sehingga semua tamu juga mengangkat cawan arak dan suasana menjadi gembira kembali. Setelah Tek Hoat dicukur, membersihkan diri dan berganti pakaian pangeran yang indah,

   Berubahlah jembel yang terlantar itu menjadi seorang laki-laki yang amat gagah dan tampan, yang wajahnya berseri-seri dan sepasang matanya mencorong tajam. Betapapun juga, dia adalah seorang pria yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun dan kelihatan juga setengah tua, sebaliknya, Syanti Dewi biarpun usianya juga sepantar dia, namun masih nampak seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja! Pertemuan dua hati dan dua badan yang saling mencinta ini tentu saja terasa nikmat di hati dan kebahagiaan yang amat mendalam membuat mereka merasa terharu. Tiada habisnya mereka bercakap-cakap menceritakan semua pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah, dan di dalam penuturan ini terungkaplah semua peristiwa dan kesalah pengertian di antara mereka, juga terungkaplah bukti-bukti betapa mereka itu sesungguhnya saling mencinta.

   Dan akhir dari semua itu membuat mereka merasa saling dekat, dan di dalam hati mereka bersumpah untuk tidak saling berpisah lagi selama-lamanya. Mereka merasa berbahagia sekali. Benarkah mereka berbahagia? Apakah bahagia itu? Bagaimanakah kita dapat berbahagia? Kebahagiaan! Sebuah kata ini kiranya dikenal oleh setiap orang manusia di dunia ini, dikenal dan dirindukan, dicari dan dikejar-kejar selama kita hidup. Betapa kita semua, masing-masing dari kita, selalu mendambakan kebahagiaan dalam kehidupan kita. Kata "kebahagiaan"

   Sudah menjadi kabur, bahkan seringkali, hampir selalu malah, tempatnya diduduki oleh sesuatu yang sesungguhnya bukan lain adalah kesenangan atau kepuasan belaka.

   Kalau kita memperoleh sesuatu yang kita harap-harapkan, maka kita mengira bahwa kita berbahagia! Benarkah itu? Ataukah yang terasa nyaman di hati itu hanyalah kesenangan yang timbul karena kepuasan belaka, karena terpenuhinya sesuatu yang kita harap-harapkan, atau inginkan? Dan kepuasan hanya merupakan wajah yang lain dari kekecewaan belaka. Kepuasan hanya selewat, dan sebentar kemudian rasa nikmat dan nyaman karena kepuasan ini pun akan lewat dan lenyap, mungkin terganti oleh kekecewaan yang selalu bergandeng tangan dengan kebalikannya itu. Kepuasan dan kekecewaan, seperti juga kesenangan dan kesusahan saling isi mengisi, saling bergandeng tangan dan selalu bergandengan karena memang merupakan si kembar yang mungkin berbeda rupa.

   Di mana ada kepuasan, tentu ada kekecewaan. Di mana ada kesenangan, tentu ada kesusahan. Orang yang mengejar kesenangan, tak dapat tiada akan bersua dengan kesusahan, siapa mengejar kepuasan, tak dapat tiada akan bertemu dengan kekecewaan. Kebahagiaan berada di atas, jauh di atas jangkauan atau pengaruh senang dan susah, puas dan kecewa. Kebahagiaan tak mungkin dijangkau atau dikejar, kebahagiaan tak mungkin digambarkan. Senang dan susah adalah permainan pikiran, terikat oleh waktu dan bersumber kepada Si Aku. Si Aku ini sudah tentu terombang-ambing antara senang dan susah karena Si Aku itu, selalu penuh dengan keinginan dan sudah barang tentu tidak mungkin segala keinginan yang tiada habisnya itu selalu terpenuhi, maka terjadilah puas dan kecewa.

   Bahkan kalau keinginan sudah terpenuhi sekalipun, menimbulkan hal-hal lain. Yaitu menimbulkan kekhawatiran kalau-kalau kita kehilangan sesuatu yang sudah kita miliki itu, dan menimbulkan pengikatan diri kepada sesuatu yang menyenangkan itu sehingga kalau kita kehilangan, timbullah duka. Kebahagiaan tidak mungkin dapat dimiliki, tidak dapat diperoleh dengan usaha dan daya upaya, tidak mungkin dapat ditimbun. Kebahagiaan tidak ada hubungannya dengan pikiran yang selalu mengejar kesenangan! Kebahagiaan tidak mungkin ada selama masih ada Si Aku yang ingin senang! Kebahagiaan baru ada di mana ada cinta kasih. Kita selalu penuh oleh Si Aku yang selalu mengejar kesenangan dan yang selalu hendak menjauhi kesusahan. Sedikit saja kita dijauhi kesenangan, kita lalu mengeluh dan merasa sengsara.

   Kebahagiaan bukan hal yang dapat dikhayalkan. Kita selalu mencari-cari yang tidak ada sehingga mana mungkin kita menikmati yang ada? Mana mungkin kita dapat melihat keindahan SINI kalau mata kita selalu mencari-cari dan memandang SANA saja? Pernahkah kita menikmati kesehatan? Pernahkah dalam keadaan badan sehat kita pergi keluar kamar menghirup udara sejuk dan memandang awan berarak di angkasa? Tidak, kita selalu sibuk dengan sesuatu, pikiran selalu penuh dengan persoalan. Kita selalu ingin ini ingin itu sehingga mata kita seperti buta terhadap segala keindahan yang terbentang luas di sekeliling kita. Pernahkah kita pada waktu subuh pergi berjalan-jalan, melihat suasana ketika matahari mulai timbul? Pernahkah di waktu senja kita melihat suasana ketika matahari tenggelam, betapa indahnya angkasa?

   Pernahkah kita menerawang bintang-bintang di malam hari yang cerah? Tidak pernah! Pikiran kita, siang-malam, sibuk mencari uang, mencari kesenangan, mencari ini dan itu, tanpa ada hentinya. Kita tidak pernah menikmati kesehatan, akan tetapi kita selalu mengeluh kalau tidak sehat! Kita tidak pernah "merasakan"

   Keadaan yang berbahagia. Kita bahkan tidak sadar lagi di waktu kita sehat, tidak dapat merasakan betapa nikmatnya kesehatan, akan tetapi kita amat memperhatikan di waktu kita tidak sehat, mengeluh dan mengaduh. Dalam keadaan menderita sakit, kita mengeluh dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau kita sembuh, kalau kita sehat. Akan tetapi bagaimana kalau kita sudah sehat? Pikiran penuh dengan keinginan laln dan "ingin sehat"

   Tadi pun sudah terlupa.

   "bahagia karena sehat"

   Pun sudah terlupa dan kita tidak lagi menikmati keadaan sehat itu!

   Demikianlah selalu. Pikiran menjauhkan kebahagiaan. Pikiran selalu mengeluh setiap saat, merasa tidak berbahagia, atau kalau tiada sesuatu yang dikeluhkan, pikiran mencari-cari sesuatu yang DIANGGAP lebih menyenangkan, lebih enak. Tentu saja kita tidak pernah dapat menikmati bahagia kalau pikiran selalu mengejar kesenangan yang berada di masa depan. Bahagia adalah saat demi saat, bahagia adalah sekarang ini, tapi pikiran selalu penuh dengan kesenangan lalu, penuh dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan masa depan. Pernahkah Anda berdiri di dalam cahaya matahari pagi, di tempat terbuka yang cerah, yang berhawa hangat nyaman? Memandang ke sekeliling tanpa ada Si Aku yang ingin senang? Cobalah sekali-kali. Waspada membuat kita tidak mengeluh, melainkan bertindak tepat menghadapi segala hal yang terjadi.

   Pikiran atau Si Aku selalu membentuk iba diri dan keluhan. Syanti Dewi dan Wan Tek Hoat tentu saja merasa senang karena idam-idaman hati mereka tercapai. Kerinduan hati mereka terpenuhi. Akan tetapi kehidupan bukan hanya sampai di situ saja. Hari-hari dan peristiwa-peristiwa, seribu satu macam, masih membentang luas di depan dan yang terpaksa harus mereka hadapi. Selama mereka terikat kepada kesenangan sudah pasti kebahagiaan karena pertemuan itu pun hanya akan menjadi suatu kesenangan sepintas lalu saja! Ah, mengapa kita tidak pernah mau membuka mata melihat kenyataan bahwa segala macam bentuk KESENANGAN itu selalu akan menimbulkan KEBOSANAN? Dapatkah kita hidup tidak menjadi hamba nafsu kita sendiri yang selalu mengejar-ngejar kesenangan? Dapatkah?

   Kita sendiri yang harus menyelidiki drin menjawab pertanyaan kita ini kepada diri sendiri, dengan PENGHAYATAN dalam kehidupan, bukan teori-teori usang. Setiap hal dapat saja merupakan berkah, tapi dapat juga menjadi kutukan, setiap hal yang menimpa kita bisa saja menjadi sesuatu yang menyenangkan atau menyusahkan, akan tetapi penilaian itu hanya-lah pekerjaan pikiran atau Si Aku! Kebahagiaan berada di atas dari semua itu, tak dapat terjangkau oleh pikiran, seperti juga cinta kasih! Beberapa hari kemudian, berangkatlah rombongan itu meninggalkan Pulau Kim-coa-to. Mereka adalah si pengantin baru Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, dan Pangeran Kian Liong, dikawal Souw-ciangkun dan sisa anak buahnya, karena banyak di antara mereka yang terpaksa ditinggalkan dalam perawatan karena luka-luka mereka.

   Sepasang pengantin itu diajak ke kota raja oleh Sang Pangeran, kemudian baru dari kota raja mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bhutan, dengan pengawalan khusus, dengan sepucuk surat dari Sang Pangeran sendiri untuk Raja Bhutan. Sedangkan Wan Ceng dan suaminya pergi ke kota raja, selain untuk mengawal Sang Pangeran, juga ingin bertemu dengan putera mereka yang tentu telah kembali dari tugas di barat. Dan di dalam perjalanan inilah, di dalam kereta yang membawa mereka, Pangeran Kian Liong teringat akan janjinya kepada Bu-taihiap, yaitu pendekar sakti Bu Seng Kin yang pernah menolonnya, maka dia pun lalu membicarakan hal itu kepada Si Naga Sakti dan isterinya. Suami isteri itu mengerutkan alis mereka dan saling pandang.

   "Bu-taihiap? Siapakah dia itu?"

   Wan Ceng bertanya, bukan kepada pangeran, melainkan kepada suaminya. Si Naga Sakti Gurun Pasir mengangguk.

   "Aku belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi aku pernah mendengar namanya. Dia bernama Bu Seng Kin. Namanya pernah menggetarkan dunia sebelah barat dan kabarnya dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali."

   "Dia memang hebat!"

   Kata Sang Pangeran.

   "Aku melihat sendiri betapa dia dan isteri-isterinya menghadapi Si Jangkung dan Si Pendek, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu. Bahkan Pendekar Bu itu dikeroyok dua, dan mengalahkan dua lawan itu dengan mudah. Dia memang lihai sekali, Paman Kao."

   Kao Kok Cu dan isterinya mengangguk-angguk. Kalau seorang diri dapat mengalahkan Su-ok dan Ngo-ok, berarti memang telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Wan Ceng yang memperhatikan ucapan Pangeran itu, kini bertanya,

   "Paduka katakan tadi isteri-isterinya? Berapakah banyaknya isteri-isterinya?"

   Sang Pangeran tertawa.

   "Dalam hal itu agaknya dia memang agak istimewa. Yang ikut bersama dia pada waktu itu ada tiga orang."

   "Tiga orang isteri? Ikut bersama?"

   Wan Ceng terbelalak.

   "Benar, dan ketiga orang isterinya itupun rata-rata amat lihai!"

   "Dan anaknya itu.... anak dari isteri ke berapakah?"

   Tanya pula Wan Ceng. Kembali Sang Pangeran tertawa. Kecerewetan seorang wanita dalam hal-hal seperti itu tidak mengherankan dia.

   "Aku tidak tahu, Bibi dan kami tidak sempat bicara tentang hal itu. Akan tetapi pada waktu itu, puterinya juga ikut dan kulihat dia seorang gadis yang cantik dan memiliki sifat gagah seperti seorang pendekar wanita. Dan menurut Bu-taihiap, antara puterinya dan Cin Liong terdapat hubungan persahabatan yang akrab. Karena itulah maka dia ingin berjumpa dengan kalian untuk membicarakan pertalian jodoh antara mereka dan mereka minta kepadaku untuk dapat menjadi perantara."

   "Hemm, seakan-akan orang she Bu itu sudah memastikan bahwa kami tentu setuju!"

   Wan Ceng berkata tak senang.

   "Isteriku, urusan jodoh merupakan urusan dua orang yang bersangkutan. Kita orang-orang tua hanya berdiri di belakang dan mengamati saja agar segala hal terlaksana dengan baik dan benar, maka hal ini pun baru bisa dibicarakan kalau kita sudah bicara dengan anak kita. Bagi kita, tidak bisa menerima atau menolak sebelum mendengar suara Cin Liong."

   "Sayang bahwa aku sendiri tidak tahu benar akan keadaan keluarga Bu-taihiap itu, akan tetapi kurasa Cin Liong telah berkenalan dengan keluarga itu ketika dia memimpin pasukan ke barat. Sebaiknya memang kalau kita, eh, maksudku Paman dan Bibi berdua menanyakan"

   Demikianlah, di dalam perjalanan menuju ke kota raja itu, ada bahan pemikiran yang amat serius bagi suami isteri pendekar ini, karena yang disampaikan oleh Pangeran itu menyangkut perjodohan dan masa depan putera tunggal mereka. Sementara itu, di dalam kereta lain yang sengaja disediakan oleh Pangeran, sepasang suami isteri, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, masih tenggelam dalam kemanisan bulan madu dan tidak mempedulikan segala keadaan lainnya seolah-olah di dunia ini hanya ada mereka berdua!

   Sebelum kita melanjutkan dengan mengikuti rombongan yang menuju ke kota raja ini, sebaiknya kalau kita lebih dulu menjenguk keadaan Kaisar dan keluarganya, dan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar itu. Memang telah terjadi perubahan amat besar pada diri Kaisar. Kaisar Yung Ceng mungkin merupakan satu-satunya kaisar di jaman Pemerintahan Mancu yang pandai ilmu silat. Memang ilmu silatnya hebat, bahkan boleh dibilang dia seorang yang ahli dan lihai sekali karena di waktu mudanya,

   Ketika dia masih menjadi seorang pangeran, dia suka sekali mempelajari ilmu silat dan bergaul di tengah-tengah kaum tukang pukul yang suka menjilat-jilatnya. Dia disanjung sebagai seorang "pendekar", maka di waktu mudanya Pangeran ini suka sekali berkelahi, menantang siapa saja yang dianggapnya memiliki ilmu silat. Tentu saja, orang yang ditantangnya kalau tahu bahwa penantangnya adalah Pangeran, mengalah dan akibatnya orang itu dipukul babak-belur dan Sang Pangeran lalu dipuji-puji oleh para tukang pukul sebagai seorang ahli silat yang menang pi-bu! Pangeran yang masih muda ketika itu, baru berusia tujuh belas tahun, merasa menjadi seorang pendekar dan entah sudah berapa banyak guru-guru silat, orang-orang baik, yang dikalahkannya, sebagian ada yang memang kalah, akan tetapi banyak yang memang mengalah.

   Akan tetapi, pada suatu hari, dia membentur batu karang! Dia bertemu dengan seorang pemuda, dan melihat pemuda ini pandai silat, dia menantangnya dan memaksa pemuda itu untuk "pi-bu", dan akibatnya, Sang Pangeran yang kini dihajar babak-belur karena pemuda itu adalah seorang jago murid Siauw-lim-pai! Pangeran Yung Ceng terkenal memiliki watak yang keras dan tidak mau kalah. Menghadapi kekalahan dari seorang murid Siauw-lim-pai ini membuat dia penasaran sekali dan dia lalu menyamar ebagai seorang pemuda biasa dan pergilah dia ke kuil Siauw-lim-si untuk belajar ilmu silat dari para hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal ahli. Akan tetapi pada waktu itu, Siauw-lim-si hanya menerima anak-anak saja sebagai murid, maka permintaan Pangeran muda itu ditolak oleh para pimpinan Siauw-lim-si. Pangeran ini memang memiliki kemauan yang amat keras.

   Penolakan para pimpinan Siauw-lim-si tidak mematahkan semangatnya dan dia tetap berlutut di depan kuil siang malam dan tidak mau pergi sebelum permohonannya untuk menjadi murid Siauw-lim-pai diterima! Melihat kemauan yang luar biasa ini, para pimpinan Siauw-lim-pai tertarik. Ketika mereka membiarkan Pangeran yang mereka kira pemuda biasa itu berlutut di situ selama tiga hari tiga malam, mereka lalu menerima Sang Pangeran yang menggunakan nama biasa, yaitu Ai Seng Kiauw. Diterimalah Ai Seng Kiauw sebagai seorang murid tanpa mengharuskan pemuda ini menggunduli kepala menjadi hwesio. Dan mulailah Pangeran itu dilatih ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal hebat itu.

   Memang Pangeran itu memiliki bakat yang amat baik untuk ilmu silat, hanya sayang bahwa dia memiliki hati yang keras sekali, sungguh tidak sesuai dengan seorang pendekar yang seharusnya memiliki keteguhan hati yang tidak mungkin tergoyahkan oleh nafsuamarah. Ai Seng Kiauw atau pangeran ini tekun berlatih. Bahkan untuk mengejar ilmu silat, dia rela membiarkan dirinya diuji oleh para pimpinan Siauw-lim-pai yang mengharuskan dia mencari kayu bakar dan mengangsu air, yang harus dipikulnya naik turun bukit ke dalam kuil. Pekerjaan ini amet berat dan selama berbulan-bulan dia melakukan pekerjaan itu sampai pundaknya lecet-lecet dan kakinya lelah sekali. Akan tetapi setelah lewat setengah tahun, dia dapat memlkul kayu atau dua gentong air sambil berlari-larian menaiki bukit!

   Tenaganya menjadi kuat sekali, tenaga sinkangnya bertambah dengan cepat. Para murid Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang mempelajari ilmu silat sebagai mata pelajaran yang diharuskan, dan dimaksudkan untuk menggembleng tubuh mereka agar kuat, tahan uji, dan sehat. Maka mereka itu kebanyakan hanya mempelajari ilmu silat sekedarnya saja. Tidak demikian dengan Sang Pangeran. Dia belajar dengan tekun sekali, bahkan diam-diam, kadang-kadang secara mencuri-curi, dia memasuki ruangan perpustakaan di waktu malam dan membaca kitab-kitab pelajaran ilmu silat Siauw-lim-pai di dalam ruangan itu, kadang-kadang sampai pagi! Dan dia pun berlatih siang malam tak mengenal lelah sehingga pelajaran-pelajaran yang akan dikuasai oleh lain murid selama empat lima tahun, telah dapat diraihnya selama satu tahun saja!

   Akan tetapi, ternyata para pimpinan Siauw-lim-pai itu akhirnya dapat mengetahui bahwa murid yang bernama Ai Seng Kiauw itu bukan lain adalah pangeran putera kaisar! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali dan beramai-ramai menghadap pangeran dan memberi hormat mereka, minta maaf bahwa karena tidak tahu, mereka telah memperlakukan Sang Pangeran sebagai murid biasa. Ai Seng Kiauw atau Pangeran Yung Ceng merasa kecewa sekali. Setelah dia diketahui kini dia tidak diperlakukan sebagai murid, dan dalam hal mengajarkan ilmu, para pimpinan itu tidak sungguh-sungguh hati lagi. Dan kini, orang-orangnya atau saudara-saudaranya dapat mengunjungi dia dengan bebas, juga dia boleh keluar masuk dengan bebas dari kuil itu.

   Hal ini membuat dia merasa bosan dan karena melihat bahwa para tokoh Siauw-lim-pai hanya setengah hati saja mengajarnya setelah mengetahui bahwa dia adalah seorang Pangeran Mancu, maka Pangeran Yung Ceng lalu meninggalkan kuil di mana dia belajar selama hampir tiga tahun lamanya. Kini ilmu silatnya menjadi lihai sekali karena betapapun juga, dia telah digembleng oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan telah menguasai ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat tangguh. Sewaktu dia masih menjadi "murid"

   Siauw-lim-pai, yaitu sebelum dia dikenal sebagai pangeran, Yung Ceng ini bersikap ramah dan bersahabat terhadap para murid Siauw-lim-pai sehingga dia amat disuka. Bahkan setelah dia diketahui sebagai seorang pangeran, para anak murid Siauw-lim-pai masih menganggapnya sebagai sahabat atau saudara seperguruan.

   Ketika itu, Kaisar Kang Hsi sudah tua dan sakit-sakitan selalu. Seperti biasa terjadi dalam keluarga kaisar, terutama sekali setelah kaisar menjadi tua dan sakit-sakitan. Di antara para pangeran, diam-diam terjadi perebutan kekuasaan untuk menjadi putera mahkota atau calon pengganti kaisar kalau kaisar sudah meninggal dunia. Dan tentu saja, di belakang para pangeran ini berdiri orang-orang ambisius yang mengatur segala-galanya. Menurut perkiraan para menteri yang setia, pilihan Kaisar tentu akan terjatuh kepada pangeran yang ke empat, yaitu Pangeran Yung Lok, yang merupakan pangeran tersayang dan juga seorang pangeran yang bijaksana dan disuka oleh para menteri setia. Selain itu, juga Yung Lok merupakan putera selir ke dua, sedangkan permaisuri tidak mempunyai putera.

   Maka sudah sepatutnyalah kalau Pangeran Yung Lok menjadi putera mahkota. Hal ini pun diketahui pula oleh Pangeran Yung Ceng yang memiliki ambisi besar untuk menjadi kaisar. Dengan amat cerdiknya Yung Ceng lalu mendekati selir yang ke tiga dari ayahnya, seorang selir yang paling dicinta dan dimanja oleh Kaisar dan yang lebih sering berada di dalam kamar kaisar daripada selir-selir lainnya. Selir ke tiga ini tidak mempunyai anak dan selain amat cantik juga pandai mengambil hati pria, maka Kaisar yang tua itu paling senang kalau ditemani selir ke tiga ini. Terjadilah persekutuan antara Pangeran Yung Ceng dan selir ke tiga ini. Pada suatu malam, Sang Selir ke tiga ini menemui Yung Ceng dan mengabarkan bahwa kaisar yang sudah agak payah sakitnya itu sore tadi telah membuat surat wasiat yang ditulis oleh seorang pembantu kaisar.

   "Dalam surat wasiat itu dijelaskan bahwa yang menggantikan kedudukan Beliau adalah Pangeran ke empat."

   Demikian selir itu memberi tahu. Pangeran Yung Ceng terkejut sekali dan merasa gelisah.

   "Ibu harus dapat membantuku dalam hal ini."

   "Jangan khawatir,"

   Kata selir ke tiga itu.

   "Mari kita rundingkan ini dengan Lan-thaikam."

   Thaikam adalah pembesar kebiri yang bertugas di dalam keraton kaisar. Segera mereka berdua menemui Lan-thaikam dan pembesar kebiri yang perutnya gendut yang mencari siasat.

   "Surat wasiat itu harus dapat kita pinjam untuk sebentar, agar kita dapat melakukan perubahan-perubahan di dalamnya."

   Akhirnya dia mengemukakan siasatnya. Untuk tugas ini, tentu saja selir ke tiga yang paling mudah untuk melakukannya.

   Pada malam berikutnya, ketika Kaisar tidur nyenyak setelah dilayani dan dipijati oleh selirnya yang ke tiga, selir itu lalu mengambil kunci dari ikat pinggang Kaisar, membuka peti kecil hitam yang berada di dekat pembaringan dan mengambil gulungan surat wasiat itu. Cepat-cepat dia keluar dari kamar, me-nutupkan pintunya dan berlari kecil menuju ke sebuah kamar di mana telah menanti Pangeran Yung Ceng dan Lan-thaikam. Sang Pangeran membuka surat wasiat itu dan mukanya menjadi merah, kedua tangannya dikepal ketika dia membaca sendiri surat wasiat itu di mana dengan jelas disebutkan bahwa yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar adalah "Pangeran ke empat!"

   Dia sendiri adalah Pangeran ke empat belas, sebagai putera dari selir ke delapan, kedudukan yang tiada artinya dalam urutan pangeran.

   "Harap Paduka jangan khawatir, hamba telah menemukan siasat yang amat bagus sekali."

   Kata Lan-thaikam, lalu dia membeber surat itu di atas meja, dan mengambil alat tulis. Dengan hati-hati dia lalu membubuhi huruf angka sepuluh di depan empat, sehingga kini kalimat "Pangeran ke empat"

   Berbunyi Pangeran ke empat belas! Wajah pangeran itu berseri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat saking girangnya dan dia merangkul pundak pembesar itu.

   "Bagus, Paman, engkau sungguh hebat sekali. Aku pasti tidak akan melupakan kalian berdua. Kelak kalau aku sudah menjadi kaisar, kalian akan kuberi kedudukan dan kekuasaan tinggi!"

   "Hanya satu hal yang meragukan."

   Kata selir itu.

   "Huruf-huruf tulisan dari Coa-sianseng ini amat indah dan sukar dipalsukan, maka apakah penambahan huruf dari Lan-thaikam ini cukup dapat dipertanggungjawabkan? Orang lain mungkin tidak dapat melihat perbedaannya, akan tetapi Coa-sianseng sendiri yang menulisnya...."

   "Hemm, Jangan kuatir. Dia seorang yang lemah, aku akan dapat menggertaknya! kata Lan-thaikam.

   "Kalau dia tidak mau bekerja sama, biar kita habiskan saja."

   "Serahkan hal ini kepadaku, Paman"

   Kata Pangeran itu.

   "Pada hari dia membacakan surat wasiat itu, aku akan mengambil nyawanya untuk menutup mulutnya, melalui tangan lain."

   Lalu dia menceritakan siasatnya dan dua orang itu menjadi girang dan memuji siasat Sang Pangeran yang amat cerdik itu. Selir ke tiga cepat-cepat mengembalikan surat wasiat yang sudah dirobah isinya itu, memasukkan kembali ke dalam peti kecil, menguncinya dan mengembalikan kuncinya di ikat pinggang Kaisar. Hal ini tidak ada yang mengetahui kecuali tiga orang itu. Dan dalam bulan itu juga, Kaisar Kaang Hsi meninggal dunia! Tentu saja seluruh isi istana berkabung dan pada hari yang ditentukan, peti wasiat itu dibawa ke balairung di mana terdapat singgasana Kaisar yang kosong.

   Suasana di ruangan itu sunyi dan diliputi suasana berkabung. Semua pembesar berkumpul dan pada wajah mereka terbayang kedukaan, sungguhpun tidak ada yang tahu pasti berapa orang di antara mereka itu yang benar-benar merasa berduka dengan kematian Sang Kaisar! Yang sudah pasti, terdapat ketegangan-ketegangan, karena mereka menduga-duga siapa yang akan menjadi pengganti Kaisar, dan hal ini tentu saja amat penting bagi mereka karena penggantian itu mempunyai dua kemungkinan hebat dalam kehidupan mereka. Kalau kaisar baru itu pilihan mereka, tentu keadaan mereka terjamin, akan tetapi kalau bukan, besar kemungkinan kedudukan mereka akan dirampas. Dan hampir semua orang menduga bahwa yang akan diangkat sebagai pengganti sudah pasti Pangeran ke empat.

   Ketegangan hebat itu terutama sekali terasa oleh mereka yang berkepentingan, yaitu oleh para pangeran yang telah berkumpul di tempat, itu dengan pakaian seragam, pakaian berkabung. Keluarga mendiang Kaisar Kang Hsi kumpul semua di tempat itu, terutama para pembesar dalam istana.Ketika Coa-taijin, yaitu sastrawan yang menjadi pembantu Kaisar dalam hal tulis-menulis, yang dipercaya oleh mendiang Kaisar Khang Hsi, memasuki ruangan diikuti oleh dua orang thaikam yang membawa sebuah peti kecil hitam, semua orang memandang dengan hati berdebar penuh ketegangan. Mereka semua tahu apa isinya peti kecil hitam itu, ialah surat wasiat peninggalan Kaisar yang akan dibacakan oleh Coa-taijin sendiri sebagai penulis surat wasiat yang telah dibubuhi cap kebesaran dan tanda tangan Kaisar itu.

   Suasana menjadi sunyi dan seluruh perhatian dari semua yagg hadir tertuju kepada pembesar she Coa itu sehingga tidak ada seorang pun yang tahu bahwa terdapat gerakan aneh dan tidak wajar di belakang mereka, di atas balok-balok melintang di bawah atap ruangan itu. Semua mata para pembesar yang hadir mengikuti semua gerak-gerik itu, seolah-olah dengan menahan napas, dari saat ketika Coa-taijin membuka tutup peti yang dikunci, kemudian mengeluarkan segulung kertas kuning. Dengan kedua tangan memegang kertas kuning itu di-luruskan ke depan, mulailah Coa-taijin membaca surat wasiat itu dengan suara tenang dan terdengar jelas sekali karena suasana di ruangan itu sunyi sekali, bahkan kalau ada jarum jatuh ke atas lantai pun agaknya akan dapat terdengar suaranya.

   "Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran ke.... empat.... ehh.... empat belas....?"

   Coa-taijin terbelalak, mukanya pucat, pucat sekali, kedua tangannya menggigil, dan dia seperti tidak percaya kepada pandang matanya sendiri sehingga bagian terakhir itu diulangnya beberapa kali. Dialah penulis surat wasiat itu, maka tentu saja dia tahu bahwa surat wasiat itu telah dirobah orang. Dia memandang ke arah Pangeran Yung Ceng dengan mata terbelalak dan telunjuk kanannya menuding ke arah Pangeran itu, akan tetapi sebelum dia mampu berkata-kata, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu sebatang pisau telah menancap ke dada Coa-taijin, disusul oleh pisau ke dua yang menancap ke lehernya! Coa-taijin terhuyung, gulungan surat wasiat terlepas dari tangannya, dan sebelum dia roboh, dia masih menuding ke arah Pangeran Yung Ceng dengan mata melotot, lalu dia terguling roboh dan berkelojotan. Semua orang menjadi panik dan gempar, dan tiba-tiba Pangeran Yung Ceng sudah berteriak keras,

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Itu dia pembunuhnya....!"

   Dan dia menuding ke atas. Semua orang memandang dan benar saja, di atas sebatang balok melintang nampak seorang laki-laki tinggi besar bersembunyi dan hendak melarikan diri. Beberapa orang komandan pengawal bergerak dengan sigap, berloncatan ke atas dan menyerang Si Pembunuh yang terpaksa meloncat lagi ke bawah, ke dalam ruangan itu. Dia seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya memakai kedok hitam.

   Gerakannya gesit dan ringan ketika dia meloncat turun, akan tetapi dia segera disambut oleh saorang panglima yang berkepandaian tinggi. Terjadilah perkelahian yang tidak memakan waktu terlalu lama karena pembunuh itu dikeroyok oleh banyak panglima dan komandan pengawal yang rata-rata berilmu silat tinggi dan yang pada waktu itu memang sedang berkumpul di ruangan itu. Pembunuh itu roboh oleh sebuah tendangan dan sebelum dia sempat meloncat bangun, dia telah diringkus! Seorang panglima merenggut kedoknya terlepas dan terkejutlah semua orang ketika mengenal orang itu sebagai seorang di antara pengawal-pengawal dalam istana! Seorang perwira pengawal yang biasanya bertugas mengawal di dalam harem Kaisar, tentu saja di bagian luar karena di bagian dalam hanya mempunyai penjaga-penjaga para thaikam (laki-laki kebiri).

   "Plak! Plakk!"

   Pangeran Yung Ceng sudah meloncat ke depan dan menampari muka orang ini yang masih diringkus oleh dua orang panglima.

   "Hayo katakan, siapa yang menyuruhmu melakukan pembunuhan ini?"

   Pertanyaan Sang Pangeran ini nyaring sekali, terdengar oleh semua orang dan kini keadaan menjadi sunyi karena semua orang juga ingin mendengar jawaban dari mulut penjahat itu. Pembunuh itu memandang dengan muka pucat, kemudian dia menuding ke arah Pangecan Yung Lok, yaitu Pangeran ke empat sambil berkata, suaranya menggigil,

   "Dia.... dialah yang menyuruhku.... Pangeran Ke Empat...."

   "Bohong kau! Keparat busuk, berani kau memfitnah?"

   Pangeran Yung Lok berteriak dengan nada marah sekali.

   "Pembunuh busuk!"

   Teriakan ini terdengar dari mulut Yung Ceng dan sebelum ada yang tahu atau dapat mencegah, pangeran ini telah mencabut pedangnya, dan memasukkan pedangnya itu ke dada Si Pembunuh sampai tembus ke punggungnya! Tentu saja dua orang panglima yang meringkusnya itu melepaskan dan tubuh Si Pembunuh itu terpelanting, dan sambil mendekap dada dengan tangan kiri, dia menudingkan tangan kanan ke arah Pangeran Yung Ceng, lalu tangan itu membentuk cengkeraman seolah-olah dia hendak mencengkeram Pangeran itu. Akan tetapi tenaganya habis dan dia pun terkulai lemas karena pedang yang ditusukkan tadi telah menembus jantungnya!

   "Seorang pengacau dan pembunuh harus dibasmi!"

   Kata Pangeran Yung Ceng dengan suara lantang, seolah-olah hendak membela diri dengan perbuatannya itu.

   "Dan pembacaan surat wasiat tidak boleh ditunda lagi!"

   Lan-thaikan, sebagai kepala di istana, lalu membuka gulungan kertas wasiat yang tadi telah diselamatkannya ketika kertas itu terlepas dari tangan pembesar Coa, kemudian membacanya dengan suara lantang. :

   "Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran Ke Empat Belas, dan agar penobatan segera dilakukan sehingga singgasana tidak terlalu lama dibiarkan kosong.

   Tertanda:
Kaisar Kang Hsi.

   Begitu mendengar isi surat wasiat ini terdengar habis, semua orang, seperti diberi komando oleh suara yang hanya terdengar oleh mereka, menjatuhkan diri berlutut dan semua orang berseru,

   "Ban-swe, ban-banswe"

   Yang artinya sama dengan "Hidup", sebagai penghormatan kepada Pangeran yang diangkat menjadi Kaisar baru dan menjadi junjungan mereka yang baru itu. Demikianlah, Pangeran Yung Ceng dengan resmi diangkat menjadi kaisar dan perintahnya yang pertama kali adalah agar Pangeran Ke Empat yaitu Pangeran Yung Lok, ditangkap dan dihukum mati! Akan tetapi, para panglima yang terkejut mendengar ini, maju berlutut dan mintakan ampun. Dengan sikap bijaksana untuk menimbulkan kesan, Sang Kaisar baru berkata bahwa mengingat akan kesetiaan para panglima itu, dia mau mengampuni Pangeran Yung Lok dan membuang Pangeran itu ke selatan. Demikianlah sedikit riwayatnya Kaisar Yung Ceng yang ketika masih muda memang dia seorang yang memiliki kekerasan dan kemauan hati yang amat kuat, akan tetapi sayang sekali,

   Kekerasan ini pula yang masih mendorongnya ketika dia mulai melakukan penyelewengan-penyelewengan dalam hidup, sama kuatnya dengan ketika dia mengejar-ngejar ilmu di Siauw-lim-si. Setelah Pangeran ini menjadi kaisar, dia semakin haus akan kekuasaan, bahkan sering kali dia bertindak sewenang-wenang hanya untuk memperlihatkan kekuasannya. Lebih parah lagi, dia mulai tergelincir ke dalam lembah nafsu berahi sehingga dia seperti tiada puasnya mendapatkan wanita-wanita yang di kehendakinya. Dia tidak segan-segan untuk mengganggu isteri-isteri para pejabat, para pembesar di istana. Tentu saja di antara para pembesar itu banyak terdapat penjilat-penjilat yang memang sengaja mempergunakan isterinya yang cantik untuk mencari jasa sehingga mereka boleh mengharapkan anugerah dari Kaisar berupa kenaikan pangkat dan sebagainya.

   Mula-mula para murid Siauw-lim-pai masih menganggap Kaisar ini sebagai seorang saudara seperguruan mereka sehingga ada pula yang datang berkunjung ke istana. Dan mereka ini selalu diterima oleh Kaisar Yung Ceng dengan ramah, diperlakukan sebagai tamu agung dan sebagai saudara seperguruan sendiri. Akan tetapi, mulailah para anak murid Siauw-lim-pai geger ketika pada suatu hari, ketika seorang murid wanita Siauw-lim-pai yang terhitung sumoi (adik seperguruan) dari Kaisar sendiri datang berkunjung, Kaisar Yung Ceng yang memandang gadis pendekar itu dengan sinar mata lain, telah memaksa sumoinya itu untuk menuruti kemauannya! Gadis Siauw-lim-pai itu dirayu dan digauli dengan setengah paksa.

   Gadis itu kemudian membunuh diri dan Kaisar lalu menyuruh oramg-orangnya untuk mengubur jenazahnya dan merahasiakan peristiwa itu. Akan tetapi, tetap saja rahasia itu bocor dan akhirnya secara selentingan terdengar oleh para anak murid Siauw-lim-pai betapa murid wanita Siauw-lim-pai itu digauli oleh Kaisar dan membunuh diri! Karena tidak ada bukti, maka Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat sesuatu, hanya mulai memandang kepada Kaisar dengan curiga. Akan tetapi, rasa permusuhan dari Siauw-lim-pai terhadap Kaisar ini baru terasa ketika pada suatu hari datang seorang suheng dari Kaisar sendiri bersama isterinya. Suheng ini adalah seorang sahabat baik ketika Sang Kaisar masih tekun belajar di Siauw-lim-si, merupakan sahabat dan saudara terbaik. Akan tetapi, celakanya adalah bahwa suheng ini datang bersama isterinya dan lebih celaka lagi isterinya itu adalah seorang wanita muda yang cantik manis.

   Seketika tergiurlah hati Kaisar muda itu dan karena Kaisar tahu bahwa suhengnya itu adalah orang yang suka sekali main catur, maka dia lalu memanggil seorang thaikam yang pandai main catur. Suhengnya segera tenggelam di meja catur semalam suntuk dengan thaikam itu dan kesempatan ini, kesempatan yang memang sengaja diadakannya, dipergunakan oleh Kaisar untuk memasuki kamar suhengnya yang asyik bertanding catur di ruangan tamu itu, dan diganggulah isteri suhengnya! Diperkosanya wanita itu dengan paksa, dan karena wanita itu tidak berani melawan, maka dia hanya menangis saja, menyerah karena tidak berdaya. Pada keesokan paginya, ketika Sang Suheng kembali ke kamarnya, dia mendapatkan isterinya telah mati menggantung diri!

   Peristiwa inilah yang membuat Siauw-lim-pai mengambil keputusan untuk secara resmi mengeluarkan Sang Kaisar dari Siauw-lim-pai, tidak diakuinya lagi sebagai anak murid Siauw-lim-pai! Betapapun juga, Sang Suheng itu dapat menduga apa yang telah terjadi, mengapa isterinya itu secara tiba-tiba tanpa sebab telah membunuh diri. Tindakan para pemimpin Siauw-lim-pai itu sungguh terlalu benar! Mengeluarkan Kaisar yang sedang berkuasa dari Siauw-lim-pai! Menganggapnya sebagai seorang murid murtad! Tentu saja hal ini amat menyakitkan hati Kaisar Yung Ceng yang mulai saat itu menganggap Siauw-lim-pai sebagai musuh, bukan lagi sebagai perguruan silat atau partai persilatan yang dibanggakannya sebagai tempat di mana dia pernah digembleng.

   Akan tetapi Kaisar Yung Ceng juga tahu bahwa amatlah tidak menguntungkan kalau dia menuruti perasaan dendam pribadi dan menggempur Siauw-lim-pai dengan pasukan, karena betapapun juga partai persilatan itu amat kuat dan merupakan hal yang merugikanlah kalau pemerintah menghadapinya sebagai musuh. Betapapun juga, orang-orang Siauw-lim-pai masih dapat banyak diandalkan kalau negara menghadapi musuh dari luar. Maka sakit hati itu pun disimpannya di dalam hati dan menimbulkan dendam dan tidak suka saja. Demikianlah riwayat dan keadaan Kaisar Yung Ceng. Putera Kaisar itu, yaitu Pangeran Kian Liong merasa sangat berduka kalau dia memikirkan semua perbuatan ayahnya.

   Sampai kini pun ayahnya itu mudah sekali tergila-gila kepada wanita cantik. Dan Pangeran yang bijaksana ini pun tahu bahwa ayahnya yang kini terjatuh ke dalam pelukan dan cengkeraman selir ke tiga yang pandai merayu dan yang bersekutu dengan Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga yang agaknya amat disegani dan dihormati oleh ayahnya. Dia tidak tahu bahwa memang ayahnya yang kini menjadi kaisar amat tunduk kepada Ibu Suri Ke Tiga karena ibu suri ini amat berjasa kepada ayahnya. Dia tidak tahu bahwa memang ada persekutuan antara ayahnya, Sam-thaihouw, dan Lan-thaikam merupakan kepala istana yang menguasai semua pejabat dan pembantu yang bekerja di dalam istana, dan bahwa Kaisar amat percaya kepada orang kebiri tua ini. Hal yang amat menggelisahkan hati Pangeran Kian Liong adalah peristiwa yang terjadi bulan lalu.

   Ketika itu Jendecal Kao Cin Liong memimpin pasukan untuk menggempur pergolakan di barat, di perbatasan Himalaya, untuk membantu Tibet yang diserang oleh Nepal. Dan pada waktu itu, di kota raja dikabarkan banyak terdapat mata-mata musuh. Mungkin karena memang ada mata-mata yang menyelundup ke dalam kuil, atau memang hanya dipergunakan sebagai alasan saja oleh Kaisar yang memang sudah membenci Siauw-lim-pai, Kaisar memerintahkan untuk menyerbu kuil Siauw-lim-si yang merupakan cabang dari pusat Siauw-lim-pai, sebuah kuil yang cukup besar di kota raja, di mana para hwesio Siauw-lim-pai lebih banyak mengurus soal pelajaran agama daripada ilmu silat. Serbuan itu merupakan gerakan pertama dari Yung Ceng yang memusuhi Siauw-lim-pai semenjak dia dipecat dari keanggautaannya.

   Kuil itu dibakar, semua pendetanya diusir, bahkan dalam bentrokan itu ada beberapa orang pendeta yang tewas. Akan tetapi karena alasan penyerbuan itu adalah mencari dan membasmi mata-mata yang dikabarkan bersembunyi di kuil, maka pihak Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat apa-apa, hanya memesan kepada semua muridnya agar berhati-hati karena jelas bahwa Kaisar membenci Siauw-lim-pai. Hal ini pun membuat Pangeran Kian Liong merasa berduka dan prihatin sekali, karena dia tahu bahwa semenjak dahulu, Siauw-lim-pai merupakan partai besar yang berdasarkan agama, yang tugasnya menyebar-kan keagamaan di samping memberi pelajaran ilmu silat tinggi dan rata-rata orang-orang budiman dan pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak pernah memberontak terhadap negara.

   Ketika rombongan Pangeran Kian Liong yang disertai oleh Kao Kok Cu dan Wan Ceng, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, pada malam hari itu memasuki kota raja, di istana terjadi kegemparan besar. Untunglah bahwa Pangeran Kian Liong berkeras untuk mengajak dua pasang suami isteri itu langsung pergi ke istana dan menjadi tamu-tamunya.

   "Kita telah melakukan perjalanan jauh, sebaiknya kalau kalian berempat langsung saja ke istana dan mengaso. Besok baru kita akan menghadap Ayahanda Kaisar."

   Akan tetapi, ternyata bahwa ketika mereka tiba di istana, di situ terjadi hal yang amat hebat. Kiranya malam hari itu, istana diserbu oleh seorang dara perkasa dan tujuh orang pendeta Siauw-lim-pai yang menyamar sebagai pengawal-pengawal istana! Ketika itu, Kaisar baru saja memasuki kamarnya dan selir ke tiga telah datang untuk melayaninya ketika tiba-tiba di luar kamar itu terjadi keributan dan tiba-tiba terdengar teriakan nyaring.

   "Ada penjahat....!"

   Kaisar Yung Ceng adalah seorang kaisar yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang cukup tinggi, bukan seorang kaisar yang lemah, maka mendengar seruan ini, dia bukan lari berlindung, sebaliknya malah meloncat keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak merasa takut. Dan begitu dia keluar, dia sudah diserang oleh seorang dara yang berpakaian ringkas berwarna putih dan dibantu seorang hwesio yang menyamar dalam pakaian pengawal istana, akan tetapi yang kini telah membuang penutup kepala sehingga nampak kepalanya yang gundul. Selain dua orang ini yang mengeroyok Kaisar, masih ada enam orang hwesio lain yang semua menyamar dalam pakaian pengawal sedang bertempur dikepung oleh banyak pengawal istana.

   "Ai Seng Kiauw manusia keji, bersiaplah engkau untuk mampus!"

   Gadis itu membentak marah dan sudah menyerang dengan dahsyatnya, menggunakan sebatang pedang yang tadi disembunyikan di balik jubahnya. Hwesio tinggi besar yang membantunya juga sudah menyerang Kaisar dengan sebatang golok, namun Kaisar Yung Ceng dengan sigapnya sudah meloncat lagi ke dalam kamar, menyambar sebatang pedang yang tergantung di kamarnya dan melawan dengan gagah. Melihat gerakan dua orang yang menyerangnya itu, tahulah Kaisar Yung Ceng bahwa dia diserang oleh murid-murid Siauw-lim-pai, maka dia pun marah bukan main. Pedangnya diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dan dia membentak,

   "Pemberontak-pemberontak Siauw-lim-pai!"

   Akan tetapi dua orang penyerangnya tidak banyak cakap lagi melainkan memperhebat desakan mereka sehingga Sang Kaisar pun harus mempercepat gerakannya. Selirnya dan para dayangnya menjerit dan menyembunyikan diri di sudut kamar sambil berangkulan dengan, tubuh menggigil ketakutan. Sementara itu, enam orang hwesio yang berada di luar kamar masih mengamuk, dikeroyok banyak pengawal yang berdatangan. Pada saat itulah Pangeran Kian Liong datang bersama Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng. Tentu saja, tanpa diminta lagi, dua pasang suami isteri perkasa itu segera turun tangan.

   "Kalian bantu para pengawal dan aku akan melindungi Kaisar!"

   Kata Kao Kok Cu yang segera menerjang masuk ke dalam kamar Kaisar yang pintunya terbuka dan darimana dia dapat melihat Kaisar sedang dikeroyok oleh dua orang.

   "Li Hwa, kau larilah!"

   Hwesio tinggi besar itu berseru dan biarpun dia sedang menghadapi Kaisar, dia masih mampu menggunakan tangan kirinya untuk mendorong tubuh gadis itu yang terhuyung ke arah jendela. Gadis itu maklum bahwa keadaan amat berbahaya maka dia pun sekali loncat telah lenyap melalui jendela kamar. Sementara itu Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, dan Wan Ceng menerjang dengan tangan kosong, akan tetapi begitu mereka membantu para pengawal, enam orang hwesio Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main. Sambaran tangan Tek Hoat mengeluarkan bunyi seperti menyambar pedang pusaka, juga pukulan-pukulan Wan Ceng mendatangkan angin dahsyat sekali, dan gerakan Syanti Dewi seperti seekor burung beterbangan dan tamparan-tamparannya juga seperti kilat menyambar-nyambar.

   Biarpun enam orang hwesio itu masih berusaha untuk melawan mati-matian, namun dalam waktu belasan jurus saja mereka telah roboh terpelanting oleh pukulan-pukulan tiga orang yang baru datang ini, tak mampu bangkit kembali karena telah menderita luka parah, apalagi yang roboh membawa bekas pukulan tangan Wan Tek Hoat dan Wan Ceng, karena mereka itu tewas tak lama kemudian, dan hanya seorang di antara mereka, yang roboh oleh pukulan dan tamparan Syanti Dewi, yang masih hidup, biarpun dia juga tidak mungkin mampu melawan lagi. Hwesio tinggi besar yang memimpin penyerbuan itu, yang tadi bersama gadis itu menyerang Kaisar, juga sudah roboh oleh Si Naga Sakti. Tulang pundaknya patah-patah terkena sentuhan jari tangan Kao Kok Cu dan kini dia memaki-maki Kaisar.

   

Jodoh Rajawali Eps 29 Jodoh Rajawali Eps 23 Jodoh Rajawali Eps 46

Cari Blog Ini