Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Pulau Es 22


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Perayaan itu menjadi amat meriah karena kesempatan itu dipergunakan oleh para pendekar Pulau Es untuk berkumpul. Bertemulah semua keluarga mendiang Pendekar Super Sakti di rumah Suma Kian Lee di Thian-cin dan tentu saja pertemuan keluarga ini mendatangkan suasana gembira dan juga terharu. Mereka bergembira karena dapat memperoleh kesempatan saling bertemu dan berkumpul sekeluarga besar, dan mereka terharu karena mereka bersama kehilangan orang tua yang mereka hormati dan sayang, yaitu Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya yang tewas di Pulau Es, hanya disaksikan oleh tiga orang cucu Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Hui yang kini menikah, Suma Ciang Bun dan Suma Ceng Liong yang pada kesempatan itu belum juga pulang!

   Kakak kandung Suma Kian Bu, yaitu satu-satunya puteri Pendekar Super Sakti yang bernama Milana, tidak dapat datang. Puteri Milana dan suaminya kini telah menjauhi keramaian dunia dan bertapa di puncak Beng-san yang bernama Puncak Telaga Warna. Akan tetapi suami isteri yang tidak lagi mau berurusan dengan keramaian dunia ini telah diwakili oleh putera kembar mereka, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Seperti telah diceritakan dalam kisah Suling Emas Dan Naga Siluman, pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana, hanya mempunyai sepasang anak kembar itu.

   Pada waktu mereka berdua datang berkunjung ke dalam pesta pernikahan Suma Hui, usia mereka sudah kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi keduanya masih belum menikah! Agaknya ada keistimewaan pada sepasang pendekar kembar ini, yaitu mereka agaknya tidak rela kalau saudaranya menikah dengan wanita lain! Padahal, agaknya sukar dilaksanakan kalau mereka harus menikah hanya seorang isteri saja. Persoalan sepasang pendekar kembar inilah yang membuat suami isteri Gak Bun Beng menjadi kecewa dan mereka lebih banyak mengasingkan diri di puncak Gunung Telaga Warna. Adapun dua orang pendekar kembar itu sendiripun agaknya sudah putus asa untuk mendapatkan jodoh yang cocok.

   Suma Kian Bu dan isterinya juga hadir. Sepasang suami isteri pendekar inipun berada dalam keadaan yang tidak begitu gembira, bahkan mereka menahan dan menyembunyikan kegelisahan hati mereka. Sampai sekian lamanya mereka belum herhasil menemukan kembali putera mereka, yaitu Suma Ceng Liong, walaupun keduanya sudah mengikuti jejak Hek-i Mo-ong sampai jauh ke barat dan kemudian kehilangan jejak orang itu di Pegunungan Himalaya!

   Suma Kian Bu dan isterinya tentu saja merasa heran melihat bahwa Suma Hui menikah dengan seorang pemuda yang menjadi murid Kian Lee, padahal mereka pernah melihat huhungan asmara antara Suma Hui dengan Kao Cin Liong yang masih terhitung keponakan sendiri dari Suma Hui. Akan tetapi tentu saja mereka menekan keheranan mereka ini dan tidak berani bertanya, takut kalau-kalau menyinggung.

   Keluarga Kao Kok Cu tidak muncul. Tentu saja mereka yang juga mendengar tentang pernikahan itu merasa canggung dan tidak enak untuk muncul setelah pinangan mereka terhadap diri Suma Hui ditolak, bahkan setelah terjadi keributan dengan adanya tuduhan bahwa putera mereka, Kao Cin Liong, telah memperkosa Suma Hui. Sejak itu, ada ganjalan mendalam di antara kedua keluarga ini dan bagaimanapun juga, tidak mungkin Kao Kok Cu dan isterinya berani datang berkunjung sebagai tamu.

   Di antara para tokoh pendekar yang kenamaan, yang hadir dalam perayaan pernikahan itu, nampak pula seorang pendekar tua yang gagah perkasa, wajahnya tampan, sikapnya ramah dan simpatik dan semua orang yang berada di situ memandang ketika rombongan tamu ini datang memasuki ruangan.

   Dia adalah Bu-taihiap, seorang pendekar kenamaan berusia lima puluh delapan tahun, namun masih nampak gagah, diiringkan tiga orang wanita cantik yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Tiga orang wanita cantik ini adalah isteri-isterinya dan pendekar bernama Bu Seng Kin itu memang terkenal sebagai seorang pria romantis yang semenjak muda dicinta banyak wanita dan bahkan mempunyai isteri di mana-mana! Tiga orang isterinya itupun bukan wanita sembarangan.

   Yang tertua, berusia lima puluh satu tahun, adalah seorang puteri peranakan Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal, ilmu silat dan ilmn perangnya cukup hebat dan namanya terkenal sebagai Puteri Nandini. Yang ke dua, berusia empat puluh delapan tahun, masih nampak cantik manis, adalah seorang wanita berpakaian nikouw akan tetapi memelihara rambut dan iapun menjadi isteri pendekar petualang asmara itu, bernama Ga Cui Bi. Yang ke tiga, mungkin yang paling lihai di antara tiga orang isteri itu, juga termuda, dua tiga tahun lebih muda daripada nikouw itu, adalah seorang wanita cantik genit hernama Tan Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa).

   Dia sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu silat amat tinggi, jarang dapat ditemukan tandingan, masih ada tiga orang isterinya yang kesemuanya lihai-lihai selalu berada di sampingnya! Tentu saja jarang ada pihak yang berani mengganggu keluarga jagoan ini.Masih banyak sekali tamu yang terdiri dari orang-orang kenamaan. Bahkan Kaisar Kian Liong sendiri mengirim utusan pribadi dan mengirim sumbangan, suatu kehormatan yang besar sekali!

   Maka, suasana pesta pernikahan itu menjadi meriah, megah dan gembira sekali. Suma Kian Lee dan isterinya sibuk menyambut dan melayani para tamu, menerima ucapan-ucapan selamat dan mereka merasa gembira bukan main. Tak mereka sangka bahwa pernikahan puteri mereka yang diawali dengan hal-hal amat menggelisahkan itu kini dapat berlangsung dengan lancar. Suma Hui sendiripun tidak banyak rewel, dan memang gadis ini benar-benar telah menyerahkan kesemuanya kepada ayahnya tanpa membantah. Agaknya sudah bulat tekadnya yang bertujuan satu, ialah, mengajak suaminya untuk membantunya membalas dendam dan membunuh Kao Cin Liong kelak!

   Untuk itu ia siap mengorbankan diri dan hati dan akan menerima nasib menjadi isteri Louw Tek Ciang! Baginya toh sama saja menjadi isteri siapapun, hanya pada diri Louw Tek Ciang ia dapat mengharapkan bantuan menghadapi Cin Liong. Dan bagaimanapun juga, Tek Ciang adalah suhengnya sendiri dan sudah dipercaya oleh ayahnya. Ia boleh salah pilih, akan tetapi agaknya ayahnya cukup teliti sehingga tidak akan salah memilihkan suami untuknya. Dengan pikiran ini, Suma Hui dapat melaksanakan segala upacara pernikahan itu dengan tenang dan diam saja. Tidak nampak senyum di wajahnya, juga tidak nampakduka. Ia hanya menunduk dan menutup semua panca indera terhadap hal lain, dan mengikuti upacara secara membuta saja.

   Kiranya hanya Ciang Bun seorang yang dapat menyelami hati encinya. Pemuda yang halus perasaan ini mengerti sepenuhnya bahwa encinya itu bagaimanapun juga masih mencinta Cin Liong dan bahwa encinya melaksanakan pernikahan itu dengan memaksakan diri. Dia dapat membayangkan betapa hancur hati encinya dan diam-diam diapun merasa menyesal dan berjanji dalam hatinya untuk kelak menegur dan membalas dendam kepada Cin Liong yang dianggapnya tidak bertanggung jawab dan telah menghancurkan kebahagiaan hidup encinya.

   Perayaan pernikahan itu berjalan lancar sampai selesai. Meriah dan tidak terjadi sesuatu yangtidak baik, seperti yang sering terjadi dalam perayaan di rumah seorang pendekar. Agaknya, hadirnya para pendekar gagah membuat kaum pengacau menjadi gentar dan tidak ada yang berani mencoba-coba. Setelah semua tamu bubaran, Suma Kian Bu dan isterinya juga berpamit karena mereka hendak kembali ke rumah mereka yang sudah terlalu lama mereka tinggalkan dalam usaha mereka mencari Ceng Liong. Sepasang pendekar kembar she Gok juga berpamit dari paman mereka.

   Tinggallah kini keluarga tuan rumah yang mempunyai kerja. Seperti biasa pada semua keluarga yang mempunyai kerja, di waktu pesta terlaksana tidak terasa apa-apa, akan tetapi begitu pesta selesai, terasalah betapa lelahnya badan! Keluarga itu menyerahkan semua pemberesan perabot-perabot dan pembersihan tempat kepada tenaga-tenaga bantuan, dan mereka sendiri sore-sore telah memasuki kamar masing-masing. Juga sepasang pengantin sudah memasuki kamar mereka.

   Malam itu sungguh sunyi setelah pada siang harinya tempat itu demikian meriah dikunjungi banyak orang. Tidak terdengar suara berisik, bahkan para tenaga bantuan yang masih bekerja membersihkan tempat, bekerja dengan hati-hati dan tidak berani berisik. Setelah hari gelap benar, merekapun menghentikan pekerjaan mereka dan mengaso di bagian belakang rumah keluarga Suma itu. Suma Kian Lee dan isterinya telah merebahkan diri beristirahat. Ciang Bun bergulingan gelisah di atas tempat tidurnya. Tak dapat dia melepaskan pikirannya dari membayangkan keadaan encinya. Dia menjadi gelisah dan sedih.

   Sementara itu, di dalam kamar pengantin sendiri, sepasang pengantin sudah bertukar pakaian. Suma Hui duduk termenung di atas kursi. Kamar yang terhias indah itu, dengan bau semerbak harum kamar pengantin, seperti tidak dirasakannya. Ia merasa seperti ada kelumpuhan di dalam batinnya, dan kadang-kadang ia tersentak kaget dan memejamkan mata membayangkan orang yang juga berada di kamar ini, yang kini menjadi suaminya dan yang harus dilayaninya! Ngeri ia membayangkan semua itu, akan tetapi ia maklum bahwa bagaimanapun juga, ia harus taat! Tek Ciang sendiri nampak gugup dan canggung. Pengantin pria inipun sudan berganti pakaian yang longgar, pakaian dari sutera biru yang membuat dia nampak tampan.

   Ketika Tek Ciang menghampirinya dan menyentuh pundaknya, Suma Hui merasa tubuhnya seperti dimasuki ratusan ekor semut yang membuatnya gemetar dan bulu tengkuknya meremang. Mengerikan, pikirnya. Akan tetapi ia adalah seorang wanita pendekar, seorang gagah yang tidak akan mengingkari janji. Apapun yang terjadi, ia sudah menyerah dan ia harus mempertanggungjawabkan semua itu.

   "Hui-moi.... Hui-moi....! terdengar suara Tek Ciang, suara yang kedengaran aneh bagi telinga Suma Hui. Biasanya, kalau memanggilnya sumoi dan kalau bicara kepadanya, di dalam suara Tek Ciang mengandung suara halus merayu dan juga perendahan diri. Kini, suara itu selain mengandung rayuan juga kekuasaan! Maka aneh kedengarannya. Namun ia menoleh dan menjawab lirih.

   "Ada apakah?!

   Tentu saja jawaban ini membuat Tek Ciang menjadi agak gugup. Dia bukan orang yang tidak biasa berdekatan dengan wanita. Banyak sudah dia mendekati wanita dan berhubungan dengan wanita, yang dilakukan secara diam-diam selama ini. Akan tetapi, dia harus mengakui bahwa berdekatan dengan Suma Hui ini lain lagi, ada sesuatu yang membuatnya merasa agak gentar. Tadi, panggilannya sudah jelas maknanya, panggilan seorang suami untuk isterinya, seorang pengantin pria kepada mempelainya, yang bernada rayuan, tuntutan atau pembuka jalan. Akan tetapi, isterinya itu langsung bertanya terang-terangan ada keperluan apa, maka tentu saja dia menjadi canggung.

   Diapun membelai tangan Suma Hui yang dipegangnya. Tangan yang memiliki jari-jari tangan kecil runcing dan berkulit halus, akan tetapi agak dingin dan Tek Ciang tahu betapa berbahayanya jari-jari tangan berkulit halus ini! Suma Hui mendiamkan saja ketika tangannya dibelai, hanya jantungnya berdebar demikian kencangnya sampai kedua telinganya dapat mendengar detak jantungnya sendiri.

   "Moi-moi, engkau tentu lelah. Mari kita mengaso di pembaringan....!

   Suma Hui melirik ke arah lilin di atas meja, lalu bangkit berdiri dan berkata lirih seperti berbisik.

   "Padamkan dulu lilinnya....!

   Tek Ciang tersenyum gembira, melepaskan tangan itu dan menghampiri meja. Sementara itu, Suma Hui mendahuluinya menuju ke pembaringan dan segera menyingkap kelambu dan naik ke atas pembaringan yang berbau harum itu. Detak jantungnya makin menghebat. Lilin padam dan kamar itu hanya remang-remang saja, mendapat sedikit penerangan yang menerobos masuk melalui celah-celah atas jendela dari luar.

   Detak jantung di dalam dada Suma Hui hampir disusul jerit yang ditahan ketika ia merasa betapa Tek Ciang naik ke atas pembaringan pula dan merangkulnya, menindihnya dan menggelutinya, menciumi seluruh mukanya, matanya, pipinya, hidungnya dan mengecup bibirnya. Akan tetapi ia tidak mengelak, tidak menolak, tidak pula menyambut, hanya diam saja bergumul dengan perasaan hatinya sendiri. Hatinya ingin menolak, akan tetapi dengan kekerasan kemauan ia melumpuhkan keinginan hatinya sendiri dan menyerah saja, bahkan memejamkan matanya, hanya merasakan apa yang diperbuat oleh Tek Ciang atas dirinya.

   "Moi-moi.... ah, Hui-moi.... akhirnya engkau menjadi isteriku.... ah, betapa aku cinta padamu....! Dengan bisikan tersendat-sendat dan jari-jari tangan gemetar Tek Ciang menggeluti isterinya.

   Tiba-tiba terdengar jerit melengking keluar dari mulut Suma Hui. Tanpa disengaja tangannya meraba punggung suaminya yang tidak berpakaian lagi itu dan jari tangannya meraba benjolan daging di punggung kiri. Tonjolan daging sebesar telur burung yang ditumbuhi rambut!

   "Engkau....!! Dan iapun menghantamkan tangannya ke arah kepala suaminya!

   Tek Ciang kaget setengah mati. Akan tetapi dia masih sempat menggulingkan tubuhnya dari atas pembaringan sehingga terhindar dari hantaman maut.

   "Hui-moi, ada apakah....?!

   "Keparat jahanam! Kiranya engkau malah orangnya....?! Suma Hui menjerit sambil menangis dan cepat membereskan kembali pakaiannya yang tadi sudah hampir tertanggal seluruhnya oleh jari-jari tangan Tek Ciang. Tek Ciang sendiri dalam kekagetannya cepat membereskan pakaiannya sendiri, lalu menyalakan lilin. Kamar itu menjadi terang kembali dan Suma Hui meloncat turun dari atas pembaringan, menghadapi suaminya dengan sepasang mata berapi-api walaupun ada air mata menetes-netes turun.

   "Engkau....!! Telunjuknya menuding ke arah muka Tek Ciang yang memandang dengan mata terbelalak.

   "Engkau lah orangnya! Jahanam terkutuk, engkau lah orangnya yang telah memperkosaku dahulu!! Setelah berkata demikian, dengan kemarahan meluap Suma Hui menerjang ke depan dan menyerang dengan sekuat tenaganya, menghantam ke arah dada Tek Ciang dengan tanganterbuka. Akan tetapi Tek Ciang mengelak dan meloncat ke belakang.

   "Hui-moi, apa yang kau katakan ini....? Sudah jelas perbuatan terkutuk itu dilakukan oleh Kao Cin Liong....!

   "Tutup mulutmu yang busuk! Baru sekarang aku mengerti! Ternyata engkau adalah seekor ular busuk yang amat jahat, khianat, curang dan pengecut! Engkau lah yang melakukan perbuatan terkutuk itu, dan engkau menimpakan kesalahan kepada orang lain! Tak perlu menyangkal, daging menonjol dan berambut yang tumbuh di punggungmu itulah saksinya.! Suma Hui menyerang lagi dengan sengit.

   !Kau salah sangka....! Tek Ciang membela diri akan tetapi suaranya gemetar dan lemah karena dia kehabisan akal setelah rahasianya terbuka. Dia merasa menyesal sekali mengapa di punggungnya tumbuh daging jadi itu, dan mengapa pula sampai Suma Hui mengetahui tentang tonjolan daging itu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa dahulu ketika dia memperkosa Suma Hui, biarpun gadis itu berada dalam keadaan terbius, namun Suma Hui masih setengah sadar ketika tangannya bergerak dan jari-jari tangannya menyentuh punggung yang telanjang dan bertemu dengan tonjolan daging berambut itu. Dia menyimpan rahasia itu di dalam hatinya. Hanya itulah satu-satunya tanda yang dikenalnya dari tubuh pemerkosanya. Sungguh tak pernah dia mengira bahwa yang punggungnya menonjol itu adalah Tek Ciang!

   Suma Hui menyerang dengan beringas dan kini Tek Ciang juga berusaha untuk menundukkan. Pria ini maklum bahwa rahasianya sudah terbuka dan dia hendak menundukkan Suma Hui melalui kekerasan. Maka, sambil mengelak diapun balas menyerang dan sebuah tendangan mengenai paha Suma Hui, membuat wanita ini terguling.

   Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara keras dan daun pintu jebol. Muncullah Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suami isteri ini terkejut sekali mendengar suara gaduh di kamar pengantin dan ketika mereka keluar dari kamar menghampiri kamar pengantin, mereka mendengar perkelahian itu, bahkan mereka sempat mendengarkan kata-kata Suma Hui yang terakhir tadi yang membuat mereka terkejut setengah mati. Ketika perkelahian menghebat, Suma Kian Lee tidak sabar lagi dan sekali dorong robohlah daun pintu.

   Mereka melihat Suma Hui baru merangkak hendak bangkit dan Louw Tek Ciang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.

   "Apa yang telah terjadi?! Suma Kian Lee bertanya, suaranya marah, penuh selidik.

   "Hui-ji, apa artinya kata-katamu tentang pemerkosaan dan daging tumbuh di punggung tadi?! Kim Hwee Li juga bertanya.

   Tendangan tadi tidak mendatangkan luka berat, akan tetapi tetap saja Suma Hui melangkah dengan terpincang-pincang menghampiri ibunya. Air matanya bercucuran.

   "Ibu.... ayah.... dia.... dialah.... iblis terkutuk yang dahulu memperkosaku! Buktinya adalah tonjolan daging berambut di punggungnya.... dahulu aku mengetahui tanda itu secara tidak disengaja dan tadi.... tadipun hanya kebetulan saja.... dialah jahanam busuk itu!!

   "Aihhhh....!! Kim Hwee Li menjerit.

   "Hahhh....?! Suma Kian Lee juga berteriak kaget dan dia lalu melangkah maju menghampiri muridnya. Tek Ciang menjadi semakin pucat dan dia sudah melirik ke arah jendela dan pintu, seperti tikus tersudut hendak mencari jalan keluar untuk melarikan diri.

   "Tek Ciang! Apa artinya ini? Benarkah apa yang diceritakan Hui-ji?! Suma Kian Lee bertanya ragu karena dia belum mau percaya begitu saja akan hal yang demikian jauh berlawanan dengan perkiraan dan harapan hatinya.

   "Ti.... tidak.... suhu....! Jawab Tek Ciang gugup dan suaranya gemetar.

   "Kalau tidak, buka bajumu dan perlihatkan kepada kami apakah benar ada tonjolan daging jadi di punggungmu!! Kim Hwee Li membentak dan kini wanita yang ccrdik itupun sudah dapat menduga dan membayangkan apa yang dahulu telah terjadi. Suma Kian Lee hanya berdiri terbelalak, sampai tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking hehatnya perasaan memenuhi hatinya.

   Marah, heran, ragu-ragu, menyesal dan malu bercampur aduk menjadi satu. Dialah yang setengah memaksakan terikatnya perjodohan antara puteri tunggalnya dan Tek Ciang, bahkan dia telah mengangkat Tek Ciang menjadi murid utama, murid yang mewarisi ilmu-ilmu keluarga Pulau Es dan kini, ternyata pemuda ini yang telah memperkosa Suma Hui! Tentu saja sukar baginya untuk dapat menerima kenyataan ini.

   "Ayah, aku sekarang mengerti semuanya!! Suma Hui berteriak lantang.

   "Ayahnya telah tewas karena bersama penjahat bayaran bermaksud membunuh Cin Liong, dan penyerangan itu tentu dilakukan karena mereka ingin menyingkirkan Cin Liong yang dianggap menghalangi niatnya untuk menarik kita sebagai keluarga. Keparat ini mendendam kepada Cin Liong atas kematian ayahnya maka dia merencanakan perbuatan terkutuk itu dengan mempergunakan nama Cin Liong untuk memfitnah. Cin Liong kita musuhi sedangkan dia sendiri, si keparat busuk ini, tampil sebagai pahlawan yang membela nama baik keluarga kita! Dia memperoleh keuntungan ganda. Dapat membalas dendam kepada Cin Liong dengan fitnah itu, dapat menguasai diriku, dan dapat mewarisi ilmu keturunan keluarga kita, ayah....!

   "Louw Tek Ciang! Jawablah dan coba sangkal semua itu dengan penjelasan yang tepat kalau memang engkau bukan seorang iblis terkutuk seperti yang digambarkan oleh Hui-ji!! Suma Kian Lee membentak dan mukanya berobah merah sekali.

   "Suhu, teecu....! Tek Ciang berkata gagap karena memang apa yang dikatakan Suma Hui itu tepat sekali, menelanjangi seluruh perbuatannya sehingga dia tidak dapat menyangkal lagi.

   Tiba-tiba dari luar terdengar suara ketawa seorang laki-laki.

   "Ha-ha-ha, Tek Ciang, apakah engkau bukan laki-laki lagi yang tidak berani menghadapi semua ini?!

   Mendengar suara yang amat dikenalnya ini, suara Jai-hwa Siauw-ok, gurunya yang lain, guru rahasia, wajah Tek Ciang menjadi cerah. Datangnya bantuan ini sungguh di waktu yang tepat sekali. Dia mengangkat dadanya dan berkata.

   "Suhu, semua itu benar dan setelah sekarang aku menjadi suami Hui-moi....!

   "Jahanam!! Suma Kian Lee sudah menubruk maju dan melakukan pukulan maut dengan tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Angin keras yang amat panas menyambar ke depan. Tek Ciang tentu saja mengenal pukulan ini dan tahu betapa hebat dan berbahayanya serangan gurnnya. Akan tetapi karena hatinya sudah menjadi besar dengan datangnya Jai-hwa Siauw-ok, diapun mengerahkan tenaganya dan sambil mengelak, diapun menangkis, mengerahkan tenaga sambil membongkokkan tuhuhnya dan ketika lengannya menangkis, terdengar suara aneh seperti suara katak dari perutnya.

   "Desss....!! Tubuh Tek Ciang terhuyung, akan tetapi dengan menggulingkan tubuhnya, dia dapat meloncat bangkit kembali. Suma Kian Lee terbelalak. Tenaga tangkisan itu tadi cukup kuat dan bukan dari ilmu keluarganya, melainkan ilmu aneh yang mirip Ilmu Hoa-mo-kang atau Ilmu Katak Buduk. Memang dugaannya benar. Ketika menangkis tadi, Tek Ciang mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, untuk menyatakan bahwa mulai saat itu dia adalah lawan keluarga Suma, pula kalau dia mengeluarkan Hwi-yang Sin-ciang pula, jelas dia kalah kuat oleh gurunya.

   Kim Hwee Li dan Suma Hui sudah menerjang maju pula, akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan dari luar.

   "Tek Ciang, keluarlah!!

   Tek Ciang menggerakkan tangan, melemparkan sesuatu ke tengah kamar itu. Terdengar bunyi ledakan keras dan asap memenuhi kamar.

   "Awas asap beracun!! teriak Suma Kian Lee untuk memperingatkan anak isterinya dan dia sendiri cepat melompat ke arah jendela dari mana tadi dia melihat tubuh Tek Ciang berkelebat keluar. Setibanya di luar, dia melihat pemuda itu telah meloncat ke atas genteng dan di atas wuwungan telah berdiri seorang laki-laki yang berusia lima puluh tahun lebih, berpakaian indah pesolek dan wajahnya ganteng.

   !Iblis busuk, jangan lari!! Suma Kian Lee yang kini merasa marah bukan main itu kembali menyerang Tek Ciang. Serangannya lebih hebat daripada tadi karena dia menggunakan kedua tangan menyerang secara beruntun, tangan kanan mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan tangan kiri menghantam dengan pengerahan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang yang amat dingin.

   Pendekar ini, walaupun belum mampu menggabungkan kedua tenaga yang berlawanan intinya itu, ternyata kini sudah sedemikian mahirnya untuk mempergunakannya secara beruntun dengan kedua tangan. Tentu saja Tek Ciang menjadi gentar. Dia maklum akan kehebatan gurunya ini, dan dia sendiri walaupun sudah mempelajari kedua ilmu mujijat itu, namun latihannya belum matang dan tentu saja dia belum mampu mempergunakannya secara berbareng pada kedua lengannya.

   Melihat serangan hebat ditujukan kepada muridnya, Jai-hwa Siauw-ok mendengus dan berkata.

   "Mana ada murid dibunuh gurunya sendiri?! Dan diapun melangkah maju menangkis dari kiri sedangkan Tek Ciang menangkis dari kanan.

   "Dess! Desss!! Kedua orang itu menangkis dua macam pukulan dan Tek Ciang yang menangkis pukulan Swat-im Sin-ciang itu merasa tubuhnya kedinginan dan dia terhuyung ke belakang. Akan tetapi, tangkisan Jai-hwa Siauw-ok membuat dia dan Suma Kian Lee melangkah mundur, tanda bahwa kekuatan mereka berimbang.

   "Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan antara guru dan murid?! bentak Suma Kian Lee, terkejut melihat bahwa orang ini lihai pula.

   "Ha-ha, dia muridku, tentu saja kubela dia,! kata Jai-hwa Siauw-ok sambil membalas serangan lawan. Kedua tangannya bergerak, jari-jari tangan terbuka dan terdengar suara bercicitan ketika jari-jari tangan itu meluncur cepat sekali mendatangkan hawa dingin.

   "Cuiiiittt....!! Jari tangan Jai-hwa Siauw-ok kembali menyambar ke arah dada Suma Kian Lee dan pada saat itu, Tek Ciang juga menyerangnya dengan pukulan Toat-beng Bian-kun!

   Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Suma Kian Lee melihat muridnya sendiri berani menyerangnya dengan pukulan maut. Bahkan mengeroyoknya bersama seorang tokoh jahat, dan menggunakan ilmu keluarga Pulau Es untuk menghantamnya.

   "Iblis murtad!! bentaknya dan dia menyambut pukulan Tek Ciang dengan pengerahan tenaga untuk merobohkan murid itu. Akan tetapi, sambaran jari tangan Jai-hwa Siauw-ok sudah tiba dan biarpun Kian Lee mengelak dan membatalkan niatnya merobohkan Tek Ciang, melainkan hanya menangkis serangan pemuda itu, tetap saja jari tangan Jai-hwa Siauw-ok menyerempet bajunya.

   "Brettt....!! Dan baju di dada Kian Lee terobek, kulitnya tergurat sehingga terasa perih seperti tergurat pedang. Dia terkejut dan maklum bahwa itu adalah ilmu yang disebut Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai.

   Pada saat itu, Suma Hui dan Kim Hwee Li berlompatan naik ke atas genteng. Ketika Suma Hui melihat kakek pesolek itu, ia terkejut dan membentak.

   "Jai-hwa Siauw-ok manusia iblis! Engkau datang mengantar kematian!!

   Suma Hui sudah menerjang ke depan membantu ayahnya, juga Kim Hwee Li yang melihat bahwa lawan suaminya seorang lihai, cepat membantu suaminya. Kian Lee dan isterinya terkejut mendengar bentakan puteri mereka itu. Baru mereka tahu bahwa yaug datang membantu Tek Ciang adalah datuk sesat yang pernah menculik dan melarikan Suma Hui itu.

   Marahlah hati Kian Lee. Kini makin jelas baginya. Kiranya sejak dahulu, Tek Ciang adalah seorang yang palsu, dan diam-diam mengelabuhinya, dengan sikap pura-pura baik, sehingga bukan hanya berhasil mempelajari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga malah berhasil memperisteri Suma Hui setelah memperkosanya! Berhasil pula mengadu domba antara keluarganya dan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir!

   "Bedebah!! bentaknya dan dia bersama isteri dan puterinya mengamuk. Melihat keluarga yang lihai itu sudah keluar semua karena kini nampak pula bayangan Ciang Bun membawa pedang, Jai-hwa Siauw-ok berseru.

   "Tek Ciang, mari kita pergi!!

   Guru dan murid itu menggerakkan tangan dan terdengar ledakan-ledakan diikuti asap tebal ketika mereka membanting benda-benda bulat ke atas wuwungan. Di dalam kegelapan asap tebal ini merekapun menghilang. Kian Lee, Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun berusaha untuk melakukan pengejaran, akan tetapi malam gelap telah menelan dua orang itu.

   "Jangan kejar secara terpisah, mereka itu berbahaya.! Kian Lee memperingatkan sehingga dengan mengejar berkelompok, mereka tidak berhasil dan akhirnya terpaksa kembali ke rumah mereka.

   Suma Hui menangis dalam rangkulan ibunya.

   "Uhh, ibu.... aku berdosa besar sekali.... aku telah memaki, menghina dan membenci Cin Liong.... padahal dia sama sekali tidak berdosa.... ah, ibuuu....! Ingin rasanya Suma Hui menjerit-jerit ketika ia membayangkan pemuda yang dicintanya itu. Dapat dibayangkan betapa sakit dan sengsaranya hati Cin Liong dan betapa sakit pula hati orang tuanya menerima tuduhan yang keji itu. Ibunya hanya dapat merangkul dan menciuminya dengan hati penuh iba.

   Suma Kian Lee duduk di atas kursi, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Perasaan menyesal yang amat hebat seperti gelombang menyeretnya, dan di antara celah-celah jari tangannya ada beberapa tetes air. Terdengar suaranya penuh getaran dan tubuhnya menggigil ketika dia bicara dari balik kedua telapak tangan yang menutupi mukanya.

   "Aku.... aku telah merusak anak sendiri.... aku telah mengkhianati ilmu keluarga sendiri.... aku telah berdosa terhadap keluarga Kao.... ah, orang bodoh macam aku layak mati.... layak mati....!! Pendekar ini mengeluh panjang dan tubuhnya lalu terguling.

   "Ayaaahhh....!! Ciang Bun menubruk dan merangkul sehingga tubuh ayahnya tidak sampai terguling jatuh. Ternyata pendekar itu telah roboh pingsan saking hebatnya guncangan batin yang dideritanya.

   Kim Hwee Li menjerit dan melepaskan rangkulan pada puterinya, kemudian menubruk suaminya sambil menangis dan mengguncang-guncang pundak suaminya yang pingsan itu. Setelah dipijat bagian leher dan bawah lengannya, Kian Lee siuman kembali. Melihat dia rebah di pembaringan ditangisi oleh isterinya dan kedua orang anaknya, pendekar ini sadar lalu bangkit duduk. Dia memandang kepada Suma Hui yang berlutut di depan pembaringannya sambil menangis. Melihat puterinya ini, tak dapat lagi Suma Kian Lee menahan hatinya.

   "Hui-ji....!! Dia menubruk dan merangkul, mendekap kepala puterinya itu, air matanya bercucuran.

   "Hui-ji, kaumaafkan aku....!

   "Ayaahh.... ayaahhh....!! Suma Hui juga hanya dapat menangis tersedu-sedu di dada ayahnya. Suasana sungguh amat mengharukan ketika empat orang anggauta keluarga itu membiarkan diri mereka tenggelam dalam kedukaan, penyesalan yang amat mendalam.

   Akan tetapi Kim Hwee Li yang pada dasarnya memiliki watak keras itu, dapat lebih dahulu menguasai dirinya dan iapun berkatalah.

   "Sudahlah, apa gunanya penyesalan yang berlarut-larut ini? Lebih baik kita melihat apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki semua kesalahan.!

   "Ayah, yakinkah ayah sekarang bahwa Cin Liong tidak berdosa?! Dengan halus akan tetapi suaranya membayangkan kesedihan Suma Hui bertanya.

   Suma Kian Lee mengangguk dan pendekar itu tiba-tiba saja nampak jauh lebih tua daripada biasanya.

   "Aku pernah lupa bahwa dia adalah keturunan Naga Sakti Gurun Pasir....!

   "Dan ayah.... ayah masih berkeberatan terhadap hubungan antara kami?! tanya pula Suma Hui.

   Suma Kian Lee menarik napas panjang.

   "Aku bersalah.... tadinya memang kuanggap tidak baik melakukan ikatan jodoh antara keluarga sendiri. Aku lupa bahwa urusan jodoh adalah urusan yang mutlak menyangkut diri kedua orang itu sendiri.... akan tetapi aku telah menggagalkan segalanya, aku telah merusak kebahagiaanmu. Hui-ji.!

   "Disesalkanpun tiada gunanya lagi,! Suma Hui menyusut air matanya.

   "Aku tidak patut lagi mendekatinya. Hidupku hanya untuk dua tujuan kini. Pertama, menemui Cin Liong dan minta agar dia sudi mengampuni dosaku, dan ke dua, aku belum mau mati sebelum dapat membunuh si jahanam Louw Tek Ciang!!

   "Hemmm, aku sendiri yang akan menanganinya!! kata Suma Kian Lee penuh geram.

   "Tidak, ayah. Harus aku sendiri yang membunuh jahanam itu!! kata pula Suma Hui.

   "Dan aku akan membantumu, enci Hui!! kata Ciang Bun yang juga ikut merasa dendam.

   Suma Kian Lee mengangguk.

   "Kita semua akan maju karena jahanam itu berkawan dengan tokoh-tokoh sesat yang pandai. Akan tetapi, kepandaian kalian masih belum cukup untuk menandinginya, maka mulai sekarang, biar kuajar semua ketinggalan, akan kucurahkan seluruh waktu dan perhatianku untuk mewariskan semua ilmu keluarga kita kepada kalian.!

   Demikianlah, peristiwa hebat yang mengguncang keluarga pendekar ini bahkan membuat ayah dan anak menjadi akrab, dan mulai hari itu, Suma Hui dan Ciang Bun digembleng oleh ayah mereka secara tekun dan keras. Suma Kian Lee yang merasa bersalah kepada dua orang anaknya karena dia telah mengambil murid dan ahli waris dari luar yang ternyata seorang penjahat itu, kini hendak menebus kesalahannya dengan menguras seluruh kepandaiannya untuk diwariskan kepada mereka. Sebaliknya, Suma Hui dan Ciang Bun yang bertekad untuk menandingi Tek Ciang, berlatih dengan sungguh-sungouh sehingga dalam waktu dua tahun lebih mereka tidak pernah meninggalkan rumah dan tempat latihan!

   Kao Cin Liong bukan hanya seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi juga sudah digembleng oleh banyak pengalaman, baik dalam kehidupannya sebagai seorang pendekar yang berkecimpung di dunia kang-ouw maupun sebagai seorang panglima muda yang berkecimpung di dalam kancah-kancah peperangan. Semua pengalaman pahit dalam hidupnya menbuat pemuda ini matang dan dia dapat menghadapi segala peristiwa dengan tenang.

   Akan tetapi, ketika pemuda yang kini usianya sudah tiga puluh dua tahun itu pulang dari tugasnya membebaskan Tibet dari pasukan Nepal, bahkan kemudian dia menyerang Nepal dan berhasil menundukkan negara ini sehingga Kerajaan Nepal terpaksa harus mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng yang kuat itu, dia menghadapi hal yang membuatnya tertegun. Setelah kembali ke kota raja dan menerima hadiah dan anugerah Kaisar Kian Liong yang memuji-mujinya, Jenderal Kao Cin Liong lalu berpamit meminta cuti untuk menengok orang tuanya di utara.

   Akan tetapi, begitu dia memasuki rumahnya dan menghadap ayah bundanya, jenderal muda itu tertegun melihat sikap ayah bundanya terhadap dirinya. Ayahnya memandang dengan mata mencorong sedangkan ibunya menyambutnya dengan mata merah dan basah! Cin Liong dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, maka cepat dia menjatuhkan diri berlutut depan kedua orang tuanya yang duduk di kursi panjang.

   "Ayah, ibu, aku datang membawa berita kemenangan dan berhasilnya tugas yang kupikul. Akan tetapi, mengapa ayah dan ibu nampak marah dan duka? Harap ayah dan ibu suka mengampunkan kalau aku membuat kesalahan, dan harap memberitahu kesalahan apa gerangan yang telah kulakukan?!

   "Cin Liong, karena ulahmu, atau setidaknya karena engkau lah maka kami berdua, ayah bundamu menerima penghinaan dan makian orang,! kata Kok Cu. Pendekar ini sudah hampir enam puluh tahun usianya, namun masih nampak gagah perkasa dan buntungnya sebelah lengannya sama sekali tidak membayangkan kelemahan, bahkan menambah kegagahannya, kegagahan yang aneh. Sikapnya tenang dan serius, sepasang matanya mencorong seperti mata naga sehingga patutlah kalau dia dikenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir. Di sampingnya duduk isterinya, Wan Ceng yang kini sudah berusia lima puluh tiga tahun. Nenek yang biasanya gembira itu nampak muram dan ketika ia memandang kepada puteranya, hampir ia tidak dapat menahan air matanya.

   Tentu saja Cin Liong merasa terkejut sekali mendengar teguran ayahnya itu. Akan tetapi sebagai seorang yang sudah matang dan berpengalaman, dia tetap tenarg. Dia lalu bangkit duduk menghadapi ayah bundanya, dan sambil memandang kepada mereka bergantian dengan sinar mata penuh selidik, diapun bertanya.

   "Ayah dan ibu, apakah yang telah terjadi? Harap suka segera memberitahu kepadaku.!

   Wan Ceng yang tetap tidak mau percaya akan kesalahan puteranya, segera mendahului suaminya.

   "Liong-ji, kami telah pergi ke Thian-cin....!

   "Ahh....!! Cin Liong teringat akan urusannya dengan Suma Hui dan tentang permintaannya kepada ayah bundanya untuk mengajukan pinangan.

   "Lalu bagaimana, ibu?!

   "Kami tiba di Thian-cin, berhasil menemui paman Suma Kian Lee dan keluarganya, dan kami telah mengajukan pinangan terhadap diri Suma Hui seperti yang kauminta.! Wan Ceng berhenti karena suaminya memotong.

   "Pinangan yang janggal karena masih keluarga, dan menurut hitungan, kita kalah tua lagi, dan berakhir dengan aneh dan memalukan pula.!

   "Ibu, apakah yang terjadi selanjutnya?!

   "Singkatnya, pinangan kita ditolak, bahkan kami berdua dihina dan dimaki!! kata Wan Ceng cemas.

   Cin Liong bangkit berdiri dan mengepal tinju, alisnya berkerut.

   "Ah, sungguh tidak pantas! Mereka boleh saja menolak pinangan, akan tetapi mengapa harus memakai penghinaan dan makian? Sungguh tidak patut, apakah mereka itu begitu tinggi hati karena merasa sebagai keluarga Pulau Es?!

   
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Cin Liong, lupakah engkau bahwa segala macam penilaian adalah palsu karena penilaian didasari pendapat sendiri yang muncul dari perhitungan untung rugi? Dapatkah kita menilai orang dari keadaan luarnya? Memang, menolak pinangan sambil marah-marah tidak patut sekali, akan tetapi engkau harus menyadari bahwa setiap sikap dan perbuatan itu tentu ada sebab-sebabnya! Jadi, tanpa mengetahui sebab-sebabnya, kita sama sekali tidak berhak menilai sikap atau perbuatan orang lain!!

   "Maaf, ayah. Aku terbawa oleh perasaan penasaran mendengar betapa ayah dan ibu sudah ditolak pinangannya masih juga dihina dan dimaki. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi, ayah? Mengapa keluarga Suma marah-marah kepada kita?!

   "Nah, begitu lebih tepat. Setiap menghadapi persoalan, amatilah diri sendiri dan cari tahu mengapa demikian, cari sebab-sebabnya sehingga kita tidak hanya berbuat menuruti perasaan hati dan nafsu belaka. Ketahuilah, Cin Liong, ketika kami mengajukan pinangan, paman Suma Kian Lee dan isterinya menolak. Bukan hanya itu, bahkan Suma Hui dengan lantang mengatakan bahwa engkau telah memperkosanya!!!Ahhh....!! Cin Liong terbelalak kaget dan untuk kedua kalinya dia bangkit berdiri, sekali ini dengan muka menjadi pucat dan pandang mata penuh keheranan.

   "Kami tidak pernah meragukan dirimu, anakku,! kata Wan Ceng.

   "Tentu saja kami tidak percaya dan hampir terjadi kesalahpahaman. Akan tetapi, kiranya tidak mungkin pula kalau Suma Hui mengada-ada hendak menjatuhkan fitnah kepadamu. Sebetulnya ada apakah antara engkau dan Suma Hui?!

   Cin Liong sudah terduduk kembali dan menutupi muka dengan kedua tangannya, mulutnya menggumam heran.

   "Diperkosa.... dan.... dan aku yang memperkosanya? Ya Tuhan, apa artinya semua ini? Ibu dan ayah, aku tidak perlu bersumpah kiranya bahwa aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Tidak kepada Suma Hui dan tidak pula kepada siapapun juga. Melihat penjahat memperkosa wanita, aku akan turun tangan membunuhnya. Kalau aku sendiri yang melakukan perbuatan keji itu, tentu aku akan membunuh diriku sendiri. Tidak, aku tidak pernah melakukan itu. Dan sekarang baru aku mengerti, kiranya ada hubungannya dengan itu maka sikap Suma Hui dahulu itu demikian aneh.!

   "Apa yang kaumaksudkan?! tanya ibunya.

   "Seperti pernah kuceritakan kepada ayah ibu, antara aku dan Suma Hui sudah terjalin tali cinta. Kami saling mencinta dan biarpun kami tahu akan besarnya halangan di antara kami karena ikatan keluarga, kami berdua sudah bertekad untuk bersama-sama menghadapinya. Akan tetapi, ketika aku pergi ke kota raja dan sebelum menerima perintah kaisar aku pergi ke Thian-cin, ketika bertemu denganku, secara aneh dan tiba-tiba saja ia menyerangku dan hendak membunuh! Ia begitu marah sehingga sukar diajak bicara, maka aku lalu pergi meninggalkannya. Kemudian, aku terikat tugas dan sampai demikian lamanya tak pernah bertemu dengannya, dan selama ini aku memang bertanya-tanya bagaimana jadinya dengan pinangan ayah berdua.!

   Ayahnya mengangguk-angguk.

   "Aku makin yakin bahwa tentu ada sesuatu di balik semua itu. Suma Hui menuduhmu memperkosa, bahkan berusaha membunuhmu. Dan engkau tidak merasa sama sekali telah melakukan perbuatan keji itu. Tentu terselip suatu rahasia di antara kedua perbedaan yang saling berlawanan itu.!

   "Sudah menjadi kuwajibanku untuk membikin terang persoalan ini, ayah. Aku akan segera berangkat ke Thian-cin dan aku akan bicara terus terang dengan mereka.!

   "Akau tetapi, keluarga Suma sudah begitu marah kepadamu....! kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya.

   "Ayah. Kita semua tahu bahwa Suma Kian Lee locianpwe adalah seorang pendekar besar. Aku yakin bahwa kalau kuajak dia terus terang membicarakan persoalan itu dan menyelidiki rahasianya, dia akan dapat menerimanya.!

   "Tapi, Cin Liong....! Suara Wan Ceng menjadi lembut dan pandang matanya penuh iba kepada putera tunggalnya.

   "Engkau terlambat sudah.... karena tak lama setelah engkau pergi, Suma Hui telah menikah....!

   Ciu Liong adalah seorang pemuda yang amat kuat batinnya. Berita yang diucapkan dengan lembut oleh ibunya ini sebetulnya amat hebat menikam jantungnya. Akan tetapi hanya mukanya saja yang sedikit pucat dan matanya tergetar sedikit, akan tetapi selanjutnya dia nampak tenang.

   "Ah, begitukah....?!

   "Kami tidak datang karena.... engkau tahu sendiri, tentu tidak enak bagi kami untuk hadir setelah peristiwa peminangan dahulu itu,! kata Kao Kok Cu.

   "Kami mendengar bahwa ia menikah dengan suhengnya sendiri, murid tunggal paman Suma Kian Lee,! sambung Wan Ceng.

   "Ah, tentu Louw Tek Ciang itu! Hemmm.... syukurlah kalau begitu, karena pemuda itu kelihatan baik dan berbakat.! Cin Liong menunduk, tidak tahan melihat pandang mata ibunya yang penuh iba. Dia telah gagal lagi dalam asmara!

   "Engkau tentu tidak jadi ke Thian-cin, bukan?! tanya ibunya.

   Cin Liong mengangkat muka, memandang kepada ibunya dengan senyum. Senyum layu!

   "Tentu saja, ibu. Aku pergi untuk menjernihkan kekeruhan antara keluarga kita dengan keluarga Suma. Bagaimanapun juga, di antara kita masih ada hubungan keluarga, maka tidaklah baik kalau sampai awan hitam itu tidak dijernihkan. Aku harus dapat menyadarkan mereka bahwa aku kena fitnah, bahwa aku tidak melakukan perbuatan itu.!

   "Tapi.... tapi Suma Hui telah menjadi isteri orang. Tidak baik kalau sampai urusannya yang mendatangkan aib itu dibicarakan.! Kao Kok Cu memperingatkan.

   "Aku akan membicarakannya dengan Suma-locianpwe dan isterinya. Pula, ketika terjadi keributau, Louw Tek Ciang juga mengetahui sehingga diapun telah mengetahui segala-galanya. Diapun sudah meugenalku.!

   Karena memang masalah yang merisaukan itu perlu dijernihkan, akhirnya Kao Kok Cu dan Wan Ceng tidak dapat membantah dan setelah bermalam di rumah orang tuanya selama sepekan, berangkatlah Cin Liong kembali ke selatan, hendak pergi ke Thian-cin.

   Pada suatu hari tibalah dia di dusun Pei-san yang terletak di kaki Pegunungan Tai-hang-san, tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat. Karena hari sudah lewat senja dan diapun merasa lelah setelah pada hari itu sejak pagi dia melakukan perjalanan jauh naik turun gunung, maka Cin Liong ingin bermalam di dusun itu. Biarpun dusun Pei-san berada tidak jauh dari kota raja, akan tetapi Cin Liong belum pernah lewat dusun ini.

   Dia kini memang sengaja mengambil jalan lain di sepanjang kaki Gunung Tai-hang-san ketika dia menuju ke Thian-cin, untuk melihat-lihat keadaan dan dia memang hendak mengambil jalan memutar agar jangan melalui kota raja. Kalau dia melalui kota raja, dia khawatir kalau dia mendengar sesuatu yang membuat dia menunda kepergiannya ke Thian-cin. Kalau urusannya dengan keluarga Suma sudah selesai, barulah dia akan kembali ke kota raja menunaikan tugasnya sebagai panglima kembali. Dan karena jenderal muda ini bepergian dengan pakaian preman, tidak ada pejabat atau petugas yang mengenalnya sehingga dia dapat melakukan tugasnya secara bebas kalau dia sedang melakukan penyelidikan. Baru dia mengenakan pakaian kebesaran kalam dia memimpin pasukan dengan resmi.

   Pei-san merupakan sebuah dusun di lereng bukit Pegunungan Tai-hang-san. Sebuah dusun yang cukup makmur karena tanahnya yang subur karena letaknya yang dekat dengan kota raja, di sebelah baratnya sehingga dusun ini menjadi semacam pintu masuk atau jembatan, juga menjadi tempat perhentian mereka yang datang dari barat hendak menuju ke kota raja. Para pedagang yang datang dari barat atau pergi ke barat, selalu singgah di dusun ini, untuk mengaso, atau makan, atau juga untuk melewatkan malam kalau mereka kemalaman di jalan. Tidaklah mengherankan apabila di dusun itu bertumbuhan usaha penginapan dan kedai-kedai makan minum.

   Ketika Cin Liong memasuki dusun Pei-san, kesan pertama dalam hatinya adalah bahwa dusun ini amat ramai dan sibuk. Akan tetapi, penglihatannya yang tajam dapat menangkap bayangan-bayangan ketakutan tersembunyi di balik senyum dan pandang mata para penduduk. Agaknya ada sesuatu, atau telah terjadi sesuatu yang membuat hati penghuni dusun itu dicekam ketakutan.

   Kesan ini dirasakannya pula ketika Cin Liong memasuki sebuah kedai makan yang tidak begitu ramai dan terletak di ujung jalan raya. Perutnya lapar dan tubuhnya lelah sekali. Dia tidak suka memasuki kedai makan yang penuh sesak oleh tamu, melainkan memilih kedai yang sepi itu. Dalam keadaan lapar, tidak perlu terlalu memilih makanan yang enak. Segala macam makanan terasa enak di mulut kalau perut sedang lapar.

   Di kedai itu ada beberapa orang tamu yang duduk berpencaran. Cin Liong memilih sebuah meja di sudut dalam. Seorang pelayan tua segera menghampirinya dan dengan ramah lalu bertanya makanan apa yang hendak dipesan oleh pemuda itu. Cin Liong juga melihat betapa di wajah kakek pelayan inipun terbayang rasa cemas seperti yang dilihatnya pada wajah orang-orang lain itu.

   Dia memesan makanan dan ketika pelayan tua itu datang membawakan makanan, Cin Liong lalu berkata.

   "Lopek, aku melihat wajahmu seperti orang ketakutan, dan juga pada wajah penghuni dusun ini ada bayangan ketakutan seperti itu. Apakah yang telah terjadi, lopek?!

   Kakek pelayan itu memandang dengan muka pucat, lalu dia menoleh ke kanan kiri, nampaknya semakin takut, akan tetapi juga ada pandang mata heran mengapa ada orang menanyakan hal itu, karena bukankah semua orang sudah tahu?

   "Lopek, aku bukan orang sini, dan aku baru saja masuk ke dusun Pei-san ini. Ada peristiwa apakah?! tanya pula Cin Liong secara sambil lalu seperti lumrahnya seorang tamu yang ingin tahu dan diapun makan hidangan yang diantarkan oleh pelayan itu.

   "Tidak ada apa-apa, tuan.... tidak ada apa-apa....!

   Cin Liong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengerling ke arah para tamu yang duduk di situ. Akan tetapi para tamu itu tidak memperlihatkan suatu ketidakwajaran. Mereka duduk, ada yang sedang makan minum, ada yang sedang bercakap-cakap urusan perdagangan dan pekerjaan mereka. Dia tahu bahwa kakek ini membohong dan takut bicara.

   "Lopek, jangan takut. Ceritakanlah, kalau ada apa-apa aku yang akan tanggung. Kalau terjadi kesukaran menimpa dusun ini, tentu aku akan berusaha untuk membereskannya,! kata pula Cin Liong lirih agar tidak sampai terdengar oleh orang lain.

   Pelayan itu memandang dengan ragu, akan tetapi matanya terbelalak ketika dia melihat betapa tangan tamunya itu meremas sebuah sendok batu yang menjadi hancur seperti tepung di antara jari-jari tangannya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Tahulah pelayan itu bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar.

   "Di.... di dusun ini semenjak dua pekan yang lalu ada.... ada.... Eng-jiauw-pang....!

   Hanya sampai di situ saja pelayan itu berani bicara karena diapun cepat meninggalkan Cin Liong sambil menoleh ke kanan kiri penuh rasa cemas. Cin Liong tidak mendesak lebih jauh, lalu melanjutkan makan sambil termenung. Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda)? Dia penrah mendengar nama itu. Kalau dia tidak salah ingat, Eng-jiauw-pang adalah perkumpulan orang jahat, perkumpulan para perampok yang amat lihai, terkenal dengan anggauta-anggauta mereka yang mempergunakan sarung tangan kuku garuda yang selain ahli dalam ilmu silat, juga lihai dalam penggunaan racun. Akan tetapi, perkumpulan perampok Eng-jiauw-pang itu berada di daerah Se-cuan, jauh di barat. Bagaimana bisa muncul di tempat ini dan apa yang telah mereka lakukan sehingga orang-orang menjadi ketakutan?

   Tiba-tiba terdengar jeritan lemah dan Cin Liong cepat menoleh. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat kakek pelayan yang tadi melayaninya, tiba-tiba jatuh terpelanting dan mangkok-mangkok terisi makanan dalam baki yang dibawanya ikut terbanting dan menimbulkan suara gaduh. Gegerlah di rumah makan itu. Para pelayan lain dan para tamu segera menghampiri. Cin Liong tidak ketinggalan, malah dia paling dulu menghampiri kakek ini, lalu dia berlutut dan memeriksa.

   Ternyata pelayan itu telah tewas dengan muka berobah kebiruan, sedangkan di leher sebelah kanan nampak tiga guratan yan masih mengeluarkan darah. Guratan tanda kuku garuda! Dan sekali lihat saja maklumlah Cin Liong bahwa kakek ini tewas keracunan yang memasuki tubuhnya melalui guratan-guratan pada leher itu. Dia menjadi marah sekali dan memandang kepada semua orang yang berada di situ penuh selidik.

   Akan tetapi, karena dia tidak melihat sendiri penyerangan itu, siapa yang hendak dituduhnya? Pula, melihat kenyataan bahwa tidak ada orang yang melihat bagaimana caranya kakek itu diserang dan dibunuh, menjadi bukti bahwa penjahat itu lihai sekali, juga bahwa penjahat itu dapat mendengar atau mengetahui bahwa kakek pelayan tadi telah menceritakan sedikit tentang Eng-jiauw-pang kepadanya, membuktikan bahwa gerombolan penjahat itu benar-benar lihai.

   Dia lalu bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling.

   "Siapa di antara saudara sekalian yang tahu di mana adanya sarang gerombolan Eng-jiauw-pang?! tanyanya, suaranya halus akau tetapi penuh ancaman dan kemarahan yang ditahan. Ada kejahatan kejam terjadi di depan hidungnya, sungguh hal ini menjengkelkan sekali, merupakann tantangan kepadanya. Dia merasa menyesal mengapa tadi dia tidak memperhatikan kakek pelayan itu sehingga dia akan dapat mengetahui kalau kakek itu diserang orang. Akan tetapi siapa pula mengira bahwa di situ akan terjadi pembunuhan?

   Begitu Cin Liong mengeluarkan pertanyaan ini, semua orang terbelalak, muka mereka menjadi pucat dan cepat-cepat mereka menjauhkan diri, meninggalkan tempat itu seperti orang ketakutan, juga para pelayan yang lain menggelengkan kepala, tanpa menjawab pertanyaan itu.

   "Wiirrr.... singgg....!! Cin Liong dengan tenang mengelak dan tangannyya bergerak menangkap benda hitam yang meluncur di dekat telinganya, yang tadinya menyambar ke arah lehernya. Dengan ibu jari dan telunjuk, ditangkapnya benda itu yang ternyata adalah sebatang senjata rahasia berbentuk paku yang biasanya disebut Touw-kut-ting (Paku Penembus Tulang) akan tetapi melihat warnanya yang hitam kehijauan, mudah diduga bahwa paku ini mengandung racun yang amat berbahaya! Begitu menangkap senjata rahasia itu, Cin Liong meloncat ke pintu, akan tetapi dia tidak melihat bayangan siapapnn yang boleh disangka melakukan penyerangan itu. Akan tetapi di daun pintu nampak sehelai kain yang tertancap pisau belati, di mana terdapat tulisan dengan huruf merah.

   ENG-JIAUW-PANG MENANTI DI KUIL TUA HUTAN CEMARA SEBELAH TIMUR DUSUN.

   "Hemm....!! Cin Liong merasa penasaran sekali dan marah. Kiranya dia berhadapan dengan perkumpulan yang mempunyai orang-orang pandai dan kejam sekali. Tentu penyerangan senjata rahasia tadi mereka maksudkan untuk mengujinya dan kalau dia lulus ujian, tidak mati oleh serangan itu, maka dia dianggap cukup berharga untuk berkunjung ke sarang perkumpulan itu! Dia tahu betapa bahayanya mendatangi sarang itu, karena para penjahat tentu telah siap siaga menanti kedatangannya. Akan tetapi, Cin Liong adalah seorang pendekar yang selain banyak pengalaman dan cukup waspada, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ketabahan luar biasa.

   Cin Liong melemparkan paku itu dengan pengerahan tenaga sampai amblas ke dalam tanah, lalu dia meninggalkan rumah makan itu, langsung menuju ke arah timur dan keluar dari dusun itu melalui pintu gerbang sebelah timur. Tidak sukar mencari hutan cemara itu karena begitu keluar dari pintu gerbang, hutan itu sudah nampak di sebuah lereng bukit di kaki Pegunungan Tai-hang-san.

   Sebenarnya, perkumpulan apakah yang menamakan dirinya Eng-jiauw-pang dan menjadi momok bagi para penghuni dusun itu? Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda) sebetulnya adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang tadinya dipimpin oleh seorang tokoh yang condong kepada golongan hitam atau kaum sesat. Mereka itu kadang-kadang suka melakukan perampokan, walaupun perampokan kaliber besar, bukan sembarangan perampok dan maling kecil saja.

   Mereka hanya melakukan perampokan terhadap rombongan besar para pedagang kaya atau pembesar tinggi yang melakukan perjalanan. Karena nama Eng-jiauw-pang sudah dikenal dan ditakuti, maka para piauwkiok (perusahaan pengawal barang kiriman) mendekatinya dan mengirim upeti-upeti sehingga perjalanan mereka tidak akan diganggu oleh perkumpulan ini. Upeti-upeti yang cukup banyak itulah yang menjadi sumber nafkah perkumpulan ini di samping hasil-hasil perampokan mereka terhadap rombongan-rombongan yang tidak mangirim upeti kepada mereka.

   Perkumpulan Eng-jiauw-pang memang tadinya berasal dari barat, dari daerah Se-cuan. Akan tetapi semenjak pendirinya, yaitu Eng-jiauw Siauw-ong, tewas, perkumpulan itu meninggalkan Se-cuan dan di bawah pimpinan ketua mereka yang baru, mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, pindah ke timur dan kini sedang mencari-cari tempat yang baik sampai mereka tiba di hutan cemara di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu.

   Cin Liong memasuki hutan cemara dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa dia memasuki sarang harimau atau guha naga. Untung baginya bahwa hutan cemara itu tidaklah begitu liar atau gelap karena pohon-pohon itu tidak lebat. Tak lama kemudian setelah dia memasuki hutan cemara itu, nampaklah dinding kuil yang putih, agaknya tembok dinding itu baru mengalami perbaikan dan pengecatan baru.

   Juga pekarangannya nampak bersih, genteng-gentengnya ada pula sebagian yang baru, agaknya genteng-genteng tua yang jebol telah diganti dan diperbaiki. Akan tetapi, tempat itu kelihatan suuyi saja. Biarpun begitu, Cin Liong tidak tertipu oleh keadaan yang sunyi dan dia tetap waspada, yakin bahwa pada saat itu, mata pihak musuh tentu sedang mengamati gerak-geriknya. Selagi dia merasa heran mengapa pihak musuh yang biasanya suka bertindak curang itu belum juga turun tangan menyerangnya, tiba-tiba dia melihat gerakan di sekelilingnya dan tahu-tahu tempat itu sudah terkurung oleh sedikitnya dua puluh orang yang kesemuanya nampak beringas dan kejam.

   Dengan perasaan heran Cin Liong melihat betapa pada sinar mata dua puluh orang lebih itu terbayang kemarahan dan dendam kebencian yang mendalam kepadanya! Sungguh aneh pikirnya. Mengapa orang-orang Eng-jiauw-pang ini memusuhinya? Padahal, dia baru saja datang ke dusun itu dan hanya bertanya tentang Eng-jiauw-pang kepada pelayan rumah makan yang kemudian dibunuh oleh orang-orang Eng-jiauw-pang sendiri. Akan tetapi, hal ini tidak membuat pendekar ini merasa gentar dan diapun mencari dengan matanya. Melihat lima orang tinggi besar yang nampak keren dan agaknya menjadi pemimpin mereka semua, dia lalu menghadapi lima orang itu dan memandang tajam ke sekeliling.

   

Suling Emas Naga Siluman Eps 2 Jodoh Rajawali Eps 52 Suling Emas Naga Siluman Eps 21

Cari Blog Ini