Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 52


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 52



Tingkat kepandaian Kian Lee memang lebih tinggi dairipada lawannya, dan tenaga sinkangnya selain lebih murni juga lebih besar, maka tentu saja tidak sukar bagi Kian Lee untuk menghadapi serangan bertubi-tubi itu yang kesemuanya dapat dielakkannya atau ditangkisnya. Akan tetapi, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal, maka tingkat kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk dapat dikalahkan dalam waktu singkat oleh Kian Lee. Dia terus menyerang dan mendesak karena dia sudah bertekad untuk menangkan perebutan ini. Dia mak-lum bahwa menghadapi pemuda ini, tak mungkin baginya untuk melarikan diri sambil membawa Hwee Li. Dia harus lebih dulu merobohkan pemuda ini kalau dia ingin berhasil membawa Hwee Li kembali ke Nepal. Akan tetapi gerakan Kian Lee tenang dan kuat sekali, setiap serangan lawan yang ditangkisnya tentu membuat lawen terhuyung.

   Melihat betapa semua serangannya gagal, Liong Bian Cu menjadi makin marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang dan mengucapkan beberapa kata-kata mantera dalam bahasa Nepal, disertai dorongan kedua tangannya. Dua telapak tangannya itu berubah menjadi merah dan putih. Yang kanan merah mengepulkan asap panas dan yang kiri menjadi pucat putih kebiruan mengeluarkan hawa dingin sekali. Inilah puncak dari llmu Im-yang Sin-ciang yang dilakukan untuk menyerang, dibarengi dengan kekuatan ilmu hitam yang dipelajarinya dari ahli-ahli sihir di Nepal seperti Gitananda. Kian Lee terkejut bukan main karena lengking yang disertai mantera aneh itu membuat jantungnya tergetar dan pandang matanya gelap seolah-olah kepalanya disambar kilat dan dia terhuyung.

   Padahal pada saat itu lawannya telah melakukan pukulan jurus paling bahaya dari ilmu Im-yang Sin-ciang! Akan tetapi, Suma Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang sejak kecil sudah menerima gemblengan sempurna dari ayah bundanya dan selama bertahun-tahun ini dia telah mengalami banyak pertempuran yang mematangkan dirinya. Oleh karena itu, menghadapi bahaya ini dia sebagai putera Pendekar Super Sakti segera maklum bahwa lawan mempergunakan kekuasaan mujijat, maka dia cepat mengerahkan tenaga murni dari pusarnya, menahan napas dan membentak dengan suara dahsyat. Seketika lenyaplah pengaruh aneh yang membuatnya pening itu dan pada saat itu dia cepat mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan lawan.

   "Desssss....!"

   Pertemuan dua pasang tangan itu hebat bukan main. Seolah-olah udara di sekitar tempat itu dipenuhi dengan getaran amat kuat karena Suma Kian Lee telah menyambut hantaman Im-yang Sin-ciang itu dengan gabungan kedua tenaga itu pula,

   Yaitu tangan kirinya yang menyambut tangan kanan yang merah dari lawan itu diisi dengan Swat-im Sin-kang yang dingin, sedangkan tangan kiri lawan yang dingin putih kebiruan itu disambutnya dengan Hwi-yang Sin-kang di tangan kirinya yang mengandung hawa panas. Maka sekali ini mereka menggunakan keras lawan keras dan akibatnya tubuh pangeran itu terlempar kebelakang seperti setangkai daun kering tertiup angin dan terbanting roboh tak sadarkan diri lagi! Kian Lee juga merasa betapa tubuhnya terguncang hebat, namun dia tidak mengalami luka karena tenaganya memang lebih besar. Karena dia ingin melihat akibat dari adu tenaga sakti itu, sekali melompat dia sudah becada di dekat tubuh Liong Bian Cu yang rebah miring.

   "Jangan bunuh dia....!"

   Kian Lee yang sedang membungkuk untuk memeriksa keadaan Liong Bian Cu itu terkejut sekali mendengar seruan ini dan dia cepat menghampiri Hwee Li, kemudian menotok dara itu untuk membebaskannya. Begitu terbebas dari totokan, Hwee Li memulihkan jalan darahnya dan segera berlari menghampiri tubuh Liong Bian Cu yang masih menggeletak miring tak bergerak. Dara itu berlutut di dekat tubuh itu dan mengguncang pundaknya sambil berseru memanggil,

   "Pangeran....! Pangeran....!"

   Suaranya mengandung isak tertahan, lalu dia menoleh ke arah Kian Lee sambil berkata penuh penyesalan,

   "Engkau.... engkau telah membunuhnya!"

   Kian Lee mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap aneh dara itu. Bukankah Hwee Li diculik dan dilarikan oleh Liong Bian Cu, dan dara itu amat membenci pangeran itu? Bukankah dia telah menyelamatkan Hwee Li dari ancaman pangeran dari Nepal itu?

   "Dia orang kuat, dia tidak akan mati, dia hanya terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik,"

   Katanya sederhana sambil berdiri termangu-mangu. Dara itu demikian cantiknya, dan timbul rasa aneh di dalam hatinya yang membuat Kian Lee bengong dan bingung. Mengapa ada rasa tidak enak dan tidak senang, mengapa dia seperti merasa iri hati melihat dara itu mengkhawatirkan keselamatan Liong Bian Cu, berlutut dan seperti hendak menangis? Inikah yang dinamakan cemburu atau iri hati?

   "Pangeran....!"

   Tubuh itu bergerak dan mencoba untuk bangkit, kemudian, dibantu oleh Hwee Li, Liong Bian Cu dapat duduk dan sejenak dia memandang kepada Suma Kian Lee.

   "Engkau hebat...., hemmm...., mengapa engkau tidak membunuhku tadi?"

   "Aku tidak bermusuhan denganmu."

   Liong Bian Cu kini memandang kepada Hwee Li.

   "Engkau ternyata seorang gadis yang baik sekali. Biarpun engkau selalu menolakku, bahkan beberapa kali hampir membunuhku, sekarang melihat aku terancam maut, engkau memperlihatkan kebaikanmu. Ah, Hwee Li.... Hwee Li, benar-benarkah engkau tidak dapat membalas cintaku? Baru saja engkau memperlihatkan sayang...."

   Tiba-tiba Hwee Li bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia memandang kepada Pangeran Nepal itu, lalu menggeleng kepata.

   "Tidak, aku tidak cinta padamu, Pangeran. Aku tadi teringat akan segala kebaikanmu, kepadaku...."

   Liong Bian Cu menarik napas panjang.

   "Mudah-mudahan kelak akan tiba saatnya engkau ada sedikit rasa cinta padaku, dan aku akan selalu menantimu di Nepal, Hwee Li. Tidak peduli engkau masih perawan ataukah sudah janda, aku akan selalu membuka tangan untuk menerimamu sebagai isteriku.... nah, selamat tinggal, Hwee Li, hati-hatilah engkau dalam memilih jodoh...."

   Dia menoleh kepada Kian Lee, mengangguk kepada pemuda itu, lalu memaksa dirinya untuk melangkah keluar dari dalam rumah itu, bergegas pergi memasuki kegelapan malam yang mulai tiba. Mereka kini berdiri dan saling berhadapan, saling berpandangan. Kemudian kerut di antara kedua alis dara itu mendalam, dan suaranya kaku ketika terdengar dia berkata,

   "Engkau.... engkau hampir saja membunuhnya!"

   Suara yang kaku dan mengandung penyesalan dan teguran itu dirasakan seperti ujung pedang menusuk jantung oleh Kian Lee. Dia pun mengerutkan alisnya, merasa betapa dara itu keterlaluan. Jelas bahwa dia susah payah me-ngejar Liong Bian Cu untuk menolongnya dan setelah menyelamatkannya, apa yang diperlihatkan oleh dara Ini? Tidak saja Hwee Li telah memperlihatkan sikap khawatir dan menyayang kepada Liong Bian Cu, sebaliknya malah menegurnya dengan suara kaku dan pandang mata penuh penyesalan! Panaslah rasa hati Kian Lee saat itu. Panas dan sakit!

   "Ah, kalau aku tahu, tentu aku akan membiarkan dia memukul roboh dan membunuhku, kalau kau.... lebih senang demikian, Nona."

   Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya terbuka dan beberapa kali mulut itu bergerak akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Kemudian terdengar sedu-sedan dan Hwee Li meloncat dan lari keluar dari dalam rumah itu sambil menangis.

   "Hemmm....?"

   Kian Lee berdiri bengong dan memandang keluar sampai bayangan dara itu lenyap di antara pohon-pohon hutan yang mulai menghitam oleh kegelapan malam yang mulai tiba. Kian Lee lalu teringat akan bahaya yang mungkin saja mengancam diri dara itu lagi. Siapa tahu kalau-kalau pangeran dari Nepal itu masih berada di sekitar tempat itu, dan kalau saja pangeran itu dilindungii oleh kelima orang Ngo-ok, akan sukarlah bagi dia untuk menyelamatkannya kembali. Karena itu, Kian Lee lalu meloncat keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi karena hutan itu gelap, dia terpaksa berjalan perlahan-lahan dan mencari-cari namun sampai semalam suntuk dia berkeliaran keluar masuk hutan, dia tidak berhasil menemukan Hwee Li.

   Makin gelisah rasa hati Kian Lee dan sambil berjalan mencari-cari tanpa arah tertentu, dia mengenangkan semua yang terjadi dan menjadi bingung memikirkan rasa hatinya sendiri! Apakah yang telah terjadi dengan dia? Mengapa dia makin dalam mengenangkan Hwee Li, bahkan sukar melupakan dara yang masih seperti kanak-kanak itu? Bahkan rasa nyeri di hatinya akibat asmara gagal dengan Ceng Ceng rasanya telah sembuh sama sekali. Mula-mula dia makin tertarik kepada Hwee Li setelah dara itu untuk kedua kalinya menolongnya, atau membantu Kian Bu mencarikan obat untuknya. Pertolongan pertama kali oleh dara itu adalah ketika dara itu baru berusia dua belas atau tiga belas tahun, dan hal itu tidak terlalu mengesankan. Baru sekarang peristiwa itu teringat olehnya. Kini dara itu telah merupakan seorang dara remaja dan sudah dewasa,

   Walau usianya baru tujuh belas atau delapan belas tahun, dan bukan main cantik jelitanya. Dia mulai tertarik ketika Hwee Li mengunjunginya di Bukit Nelayan, di istana kuno tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Akan tetapi, rasa tertarik ini putus sama sekali ketika dia melihat hubungan antara Hwee Li dan Kian Bu yang demi-kian erat dan mesra, dan dia melihat kecocokan antara kedua orang itu, sama lincah gembira dan jenaka, dan dia merasa betapa akan tepatnya kalau keduanya dijodohkan. Semenjak itu, dia meng-usir perasaan di hatinya terhadap Hwee Li! Dan sekarang? Dia tidak dapat menahan dorongan hatinya ketika melihat Hwee Li dilarikan Liong Bian Cu, maka dengan nekat dia lalu melakukan pengejaran, tidak peduli bahwa pangeran dari Nepal itu mungkin sekali dikawal oleh banyak orang pandai yang akan sukar ditundukkannya.

   Dan dia berhasil menolong Hwee Li. Akan tetapi, apa jadinya? Dara itu marah-marah karena dia merobohkan Liong Bian Cu dan kini meninggalkannya sambil menangis, dan dia seperti orang gila mencari terus semalam suntuk tanpa hasil. Menjelang pagi, cuaca demikian gelapnya karena bintang-bintang di langit tertutup awan tebal, dan hawa udara amat dinginnya menembus pakaian dan menyusup ke tulang-tulang. Akan tetapi, Kian Lee tidak merasakan itu semua. Dia terpaksa menghentikan pencariannya, karena dalam cuaca sedemikian gelapnya, andaikata Hwee Li berada hanya beberapa puluh kaki jauhnya di depannya sekalipun, dia tidak akan dapat melihatnya. Dia duduk di bawah pohon dan melamun dengan hati kesal dan bingung.

   Makin dikenang, makin khawatirlah dia akan keselamatan Hwee Li, dan perasaan cintanya terhadap dara yang setengah liar itu, yang selanma ini ditekan-tekan dan coba diusirnya setelah dia menduga bahwa dara itu mencinta Kian Bu, muncul dan amat menggodanya! Kian Lee memejamkan matanya dan hatinya terasa perih. Haruskah dia patah hati dalam asmara untuk kedua kalinya? Perasaan cintanya terhadap Ceng Ceng terpaksa harus diusirnya oleh kenyataan bahwa Ceng Ceng adalah keponakannya sendiri. Apakah kini dia harus mengusir rasa cintanya terhadap Hwee Li karena dara itu ternyata mencinta adiknya? Kian Lee duduk bertopang dagu dan merenung bingung. Mengapa cinta selalu mendatangkan penderitaan batin? Banyak sudah dia mendengar betapa manusia menderita oleh cinta.

   Ayahnya sendiri, menurut penuturan ibunya, belasan tahun menderita karena harus berpisah dari orang-orang yang dicintanya. Kemudian dia mendengar pula tentang cinta yang membuat sengsara kakaknya, yaitu Puteri Milana yang terpaksa harus berpisah pula dari orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Lalu adiknya, Suma Kian Bu, yang gagal pula dalam cintanya terhadap Puteri Syanti Dewi sehingga adiknya itu pun menderita pula. Dan dia sendiri yang merana akibat gagalnya cinta kasihnya terhadap Ceng Ceng. Sekarang, kembali dia harus menderita karena cintanya terhadap Hwee Li! Haruskah semua manusia yang jatuh cinta menderita? Betapa banyaknya, bahkan sebagian besar di antara manusia, masih belum mau membuka mata batinnya dan berpegang pada pendapat seperti Kian Lee itu bahwa cinta kasih mendatangkan penderitaan!

   Atau lebih lengkap lagi, menurut pendapat umum berdasarkan pengalaman, cinta kasih mendatangkan kebahagiaan kalau berhasil dan mendatangkan kesengsaraan kalau gagal! Adakah itu cinta kasih kalau mengan-dung keberhasilan dan kegagalan? Di mana terdapat perhitungan hasil atau gagal, untung atau rugi, di situ sudah jelas terdapat si aku yang selalu mengejar kesenangan dan keuntungan, si aku yang selalu menentang kesusahan dan kerugian, si aku yang bersenang dan tertawa kalau untung, si aku yang berduka dan menangis kalau rugi. Jelaslah bahwa yang dapat menyenangkan atau menyusahkan, yang dapat menguntungkan atau merugikan kalau berhasil atau gagal, bukanlah cinta kasih, melainkan pengejaran kesenangan belaka.

   Cinta seperti yang dimaksudkan oleh Kian Lee dan oleh kita pada umumnya itu jelas akan mendatangkan suka duka, banyak dukanya daripada sukanya, akan mendatangkan kebosanan dan kekecewaan, mendatangkan konflik dalam kehidupan. Karena itu, maka sesungguhnya bukan cinta kasih, perasaan itu, melainkan pengejaran kesenangan melalui nafsu berahi, melalui pengikatan diri, melalui kebanggaan, melalui penguasaan dan menopoli, perasaan bahwa yang cantik atau tampan itu adalah miliknya sendiri, adalah sumber daripada semua kesenangannya. Itulah sebabnya mengapa Kian Lee selalu terperosok ke dalam penderitaan batin, ke dalam kesengsaraan setiap kali dia merasa bahwa cintanya gagal! Padahal, kalau memang benar hati ini mencinta seseorang, sungguh-sungguh mencinta, sudah pasti bahwa kita selalu ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia, bukan?

   Kita tentu selalu ingin melihat si dia berbahagia, baik dia itu menjadi jodoh kita atau pun bukan! Cinta kasih meniadakan si aku yang ingin senang sendiri! Kalau sudah tidak ada lagi aku ingin senang atau aku kecewa menderita, baru mungkin bicara tentang cinta kasih kepada orang lain. Kalau kita membuka mata melihat diri sendiri, dan di dalam diri sendiri jelas sudah tidak ada dendam, kebencian, sakit hati, kemarahan, iri hati, cemburu dan pementingan diri sendiri, barulah mungkin hati ini mencinta. Kalau sudah begitu, maka asmara dan berahi mengalami perubahan besar sekali, bukan merupakan pendorong utama yang mutlak, melainkan merupakan bagian dari kesatuan maha besar yang dinamakan cinta kasih. Fajar mulai menyingsing dan bumi diselimuti kabut tebal.

   Mulai nampak kabut memutih bergerak seperti asap di permukaan bumi, makin lama makin meninggi seolah-olah terusir atau terdesak oleh hawa dari bumi bersama dengan datangnya cuaca terang. Pagi bersemi dengan suburnya, dan bumi bermandikan cahaya keemasan. Cahaya matahari pagi mulai berseri di antara daun-daun pohon dan dunia pun bangunlah, kehidupan baru mulai, diawali dengan kokok ayam dan kicau burung yang menyambut kehadiran matahari. Setelah cuaca cukup terang, Kian Lee lalu memanjat pohon besar dan dari puncak pohon dia memandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya dengan girang dia melihat sesosok tubuh wanita berjalan perlahan ke arah utara dan dia mengenal pakaian hitam yang dipakai Hwee Li. Cepat dia meloncat turun dan berlari mengejar.

   "Hwee Li....!"

   Kian Lee berseru memanggil setelah dia dapat menyusul. Mendengar suara ini, Hwee Li terkejut, menoleh, lalu lari secepatnya seperti seekor kijang dikejar harimau! Kian Lee tertegun sebentar, kemudian dia pun mengejar dengan cepat.

   "Hwee Li....! Tunggu dulu....!"

   Teriaknya sambil mempercepat larinya karena dara itu dapat berlari cepat bukan main. Karena memang ilmu kepandaian Kian Lee jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Hwee Li, maka sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya, melampauinya dan menghadang di tengah jalan. Terpaksa Hwee Li berhenti dan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar penuh kemarahan dia memandang dan bertolak pinggang, lalu membentak kaku,

   "Mau apa engkau menghadang di depanku?"

   Dibentak seperti itu, Kian Lee terkejut dan gugup.

   "Aku ingin tahu, mengapa kau marah-marah kepadaku, Hwee Li?"

   "Pergilah kau kepada perempuan tukang tenung itu, mengapa mengejar-ngejar aku? Pergi! Pergi kau....!"

   Suara Hwee Li sudah mengandung isak lagi dan terasa olehnya betapa jantungnya seperti mau meledak rasanya, betapa hawa panas memenuhi dadanya. Kian Lee masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Hwee Li. Dia menyangka bahwa dara itu marah karena dia memukul roboh pangeran dari Nepal itu, dan sangkaan ini mendatangkan perasaan tidak enak di dalam hatinya.

   "Hwee Li.... Nona.... harap jangan marah dulu dan jelaskanlah, mengapa engkau melarangku membunuh Pangeran Nepal? Mengapa engkau marah melihat aku hampir membunuhnya dan merobohkannya? Apa sebabnya?"

   Sepasang mata yang lebar itu tiba-tiba menunduk dan terdengar bercampur isak,

   "Dia.... betapapun jahatnya dia.... dia sungguh-sungguh mencintaku.... ahhh....!"

   Tiba-tiba Hwee Li menjatuhkan diri di bawah pohon itu dan menangis terisak-isak. Kian Lee menjadi makin bingung melihat dara itu sesunggukan. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul karena dia merasa kasihan sekali. Dia pun lalu duduk di atas batu di sebelah kiri dara itu, akan tetapi Hwee Li lalu membuang muka dan membalikkan tubuh sehingga pemuda itu duduk di belakangnya. Air mata mengalir dari celah-celah jari kedua tangannya dan pundaknya berguncang.

   "Dan kau.... kau mencinta dia....?"

   Dengan lirih Kian Lee bertanya, memancing, hatinya was-was. Sambil menangis Hwee Li menggoyang-goyang kepala dan pundaknya keras-keras, dan suara di antara isaknya terdengar penuh kemarahan,

   "Engkau bodoh! Engkau buta....! Dia.... dialah satu-satunya orang di dunia ini yang sungguh sungguh cinta kepadaku.... biarpun dia jahat dan aku tidak suka kepadanya.... hu-hu-huuhhh, akan tetapi.... selain dia.... tidak ada orang lain lagi yang cinta padaku.... hu-hu-huuuhhh....!"

   Tangisnya makin menjadi-jadi dan Kian Lee menjadi bingung, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dan dia terkejut mendengar gadis itu memakinya bodoh dan buta. Akan tetapi dia tidak setuju mendengar pengakuan gadis yang katanya di dunia ini hanya Liong Bian Cu seorang yang mencintanya dan selain pangeran itu tidak ada orang lain yang cinta kepadanya.

   "Engkau keliru, Hwee Li...., bukan hanya pangeran itu yang mencintamu, bukan, bahkan cintanya masih harus diragukan. Akan tetapi aku...."

   "Kau mencinta perempuan iblis tukang tenung itu! Kau pergilah kepadanya....!"

   "Eh? Perempuan iblis? Tukang tenung? Apa sih maksudmu?"

   Kian Lee benar-benar tidak mengerti dan bertanya dengan alis berkerut. Hwee Li menurunkan kedua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menyusut air mata yang menetes dari kedua mata dan dari hidungnya. Hidung kecil mancung itu menjadi merah sekali, akan tetapi bagi Kian Lee, hal itu menambah kemanisan Hwee Li.

   "Jangan kau pura-pura tidak mengerti! Perempuan iblis tukang tenung yang selalu berdua bersamamu.... ah, kalau jumpa, akan kubunuh dia....!"

   Kian Lee teringat akan sikap Hwee Li terhadap Siang In, betapa Hwee Li tanpa sebab memusuhi dan menyerang Siang In. Selama ini dia sudah merasa heran dan bertanya-tanya di dalam hati mengapa Hwee Li begitu membenci Siang In, padahal kenal pun tidak. Kini mengertilah dia dan setelah dia mengerti, dia menjadi semakin heran!

   "Ahhh....! Jadi kiranya.... itukah sebabnya mengapa engkau marah-marah dan membenci Siang In? Hwee Li, Teng Siang In bukanlah seorang perempuan iblis tukang tenung...."

   "Tentu saja! Bagimu yang sudah tergila-gila, yang sudah berlutut di bawah pengaruh sihirnya, dia adalah bidadari dari kahyangan, ya? Engkau yang sudah jatuh cinta...."

   Kembali Hwee Li terisak. Kian Lee melongo. Cemburu! Itukah gerangan yang menyebabkan Hwee Li marah-marah kepadanya dan kepada Siang In?

   "Hwee Li, harap jangan menyangka yang bukan-bukan! Aku sama sekali tidak jatuh cinta kepada Siang In, dan juga Siang In tidak cinta kepadaku dia bukanlah seorang dara yang jahat...."

   Dengan mata masih basah Hwee Li memandang kepada Kian Lee, menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia berkata dengan suara meragu,

   ".... tidak.... tidak saling mencinta....? Tapi.... tapi kalian nampak begitu rukun dan mesra, melakukan perjalanan berdua...."

   "Tentu saja, karena kami saling mengenal dengan baik dan dia adalah seorang gadis yang bijaksana. Kami tidak saling mencinta! Akan tetapi, nanti dulu, Hwee Li.... aku merasa heran sekali mengapa engkau begitu marah dan begitu membenci Siang In hanya karena engkau mengira dia dan aku saling mencinta? Mengapa?"

   Suara Kian Lee tergetar dan sepasang matanya kini menatap wajah dara itu dengan tajam, penuh selidik. Sejenak mereka saling berpandangan dan Hwee Li yang biasanya amat berani dan lincah, kini merasa betapa sepasang mata itu menembus jantungnya, seperti hendak menguak dan menjenguk isi hatinya, mengetahui semua rahasia hatinya, maka dia tidak tahan lagi dan menunduk. Air mata mengalir dari sepasang matanya, perlahan-lahan seperti butiran-butiran mutiara terlepas dari untaiannya, menggelinding turun satu-satu melalui sepasang pipinya yang kemerahan.

   "Karena.... karena.... aku tidak ingin melihat engkau saling mencinta dengan wanita lain.... tidak semenjak subo.... kau tidak boleh mencinta wanita lain..."

   "Hemmm.."

   "Kecuali.. kecuali aku.."

   "Hwee Li...!"

   Dara itu mengangkat mukanya dan mereka saling pandang, mata Hwee Li masih basah dan wajah itu kelihatan demikian cantik jelita bagi Kian Lee sehingga pemuda ini merasa terharu sekali. Dia mendekat dan memegang kedua pundak dara itu, menariknya sehingga mereka berdua berdiri, saling berpandangan.

   "Hwee Li...., apakah maksudmu? Apa yang akan kau katakan? Mengapa engkau berpendirian demikian....?"

   Karena ingin sekali mendapatkan keyakinan maka Kian Lee mendesak dengan pertanyaan ini. Sepasang mata yang basah itu bersinar lembut, lenyap sinar lincah kekanak-kanakan seperti biasanya itu, terganti dengan sinar lembut mesra seorang wanita dewasa yang jatuh cinta.

   "Kian Lee koko, apakah benar engkau belum mengerti atau belum dapat menduga isi hatiku? Semenjak beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih kecil dan menolong merawat luka di kakimu, semenjak itu aku tidak lagi dapat lupa kepadamu, Koko. Aku merindukanmu, mengharapkan untuk dapat bertemu denganmu akan tetapi engkau lenyap, kembali ke Pulau Es dan aku tidak berani dan tidak dapat menyusulmu ke sana. Akhirnya aku berhasil menjumpaimu di Bukit Nelayan dan membantu untuk mencari obat guna menyembuhkanmu dan yang terakhir aku melihat engkau berdua bersama dara itu! Betapa hancur hatiku, betapa panas perasaanku, dan sekarang engkau masih bertanya apa yang kumaksudkan?"

   Kian Lee merasa terharu sekali, terharu dan juga girang, akan tetapi masih ada keraguan di dalam hatinya.

   "Akan tetapi.... kukira tadinya, melihat engkau bersama adikku, kukira engkau saling mencinta dengan Kian Bu, maka aku sengaja mundur dan...."

   "Sungguh bodoh engkau, Lee-koko.... ah, kalau begitu engkau sama bodohnya dengan aku! Kita berdua telah salah menduga, aku mengira bahwa engkau dan Siang In saling mencinta, sebaliknya engkau menduga aku dan Kian Bu saling mencinta pula. Padahal.... padahal Kian Bu tahu betul betapa aku.... aku cinta kepadamu seorang, Koko sampai dia kuharuskan menyebutku enci...."

   "Hwee Li....!"

   Kian Lee merasa demikian girang dan terharu mendengar pengakuan dara ini sehingga dia tak kuasa menahan getaran hatinya, langsung dia meraih dan merangkul dara itu. Hwee Li menarik napas panjang, terisak dan dia menyandarkan kepalanya di dada yang tegap itu, memejamkan kedua matanya. Dengan jari-jari tangan gemetar Kian Lee mendekap kepala itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam lebat dan panjang itu dengan penuh kasih sayang yang meluap-luap dari perasaan hatinya.

   "Hwee Li.... Moi-moi.... sungguh tak kusangka...., sungguh tidak kukira bahwa engkaulah orangnya yang akan dapat mendatangkan sinar terang dalam hidupku yang gelap.... tak kusangka seorang dara seperti engkau sudi melimpahkan cinta kepada diriku. Aku.... aku juga cinta padamu, Moi-moi, bukan semenjak engkau menolongku yang pertama kali dahulu, kuanggap ketika itu bahwa engkau masih seorang dara remaja setengah anak-anak. Akan tetapi ketika aku mendengar dari Kian Bu bahwa engkau yang mencarikan obat untukku, kemudian.... dalam pertemuan kita ketika aku sakit, melihat engkau sudah dewasa dan.... dan demikian cantik jelita, aku.... sudah jatuh hati. Akan tetapi, aku hampir tidak berani mengakui hal itu kepada diri sendiri, aku sudah hampir jera.... hampir kapok untuk jatuh cinta."

   Hwee Li membuka matanya, menengadah dan dari bawah dia menatap wajah pemuda yang sejak dahulu menjadi pujaan hatinya itu.

   "Lee-ko, aku tahu dan karena engkau pernah gagal dalam asmara, engkau pernah kecewa dalam cintamu terhadap subo.... karena itulah aku makin kasihan kepadamu, ingin menghiburmu, ingin aku menggantikan tempat subo di dalam hatimu. Karena itulah aku tidak ingin wanita lain menguasaimu, kecuali aku sendiri, sebagai pengganti subo...."

   "Hwee Li...."

   Kian Lee menghela napas panjang.

   "Engkau tahu akan urusanku dengan.... dengan Ceng Ceng?"

   Hwee Li tersenyum dan menggerakkan kepala dengan manja dalam pelukan pemuda itu.

   "Aku sudah menjadi muridnya, bukan? Dan subo amat cinta kepadaku, tentu saja aku sudah dapat menduganya dan akhirnya subo menceritakan kepadaku...."

   "Ahhh.... akan tetapi urusan itu telah lewat, Hwee Li. Dia adalah keponakanku sendiri, dan.... sekarang aku sudah mendapatkan gantinya, yang lebih hebat dan lebih segala-galanya daripada semua wanita di dunia ini, yaitu engkau...."

   Kian Lee menunduk dan hendak mencium bibir yang berjebi ketika mendengar pujiannya itu. Akan tetapi Hwee Li mengelak dan melepaskan diri dari rangkulan Kian Lee. Sambil membereskan rambutnya yang agak kusut, Hwee Li tersenyum, memandang kepada Kian Lee. Sejenak mereka berpandangan, lalu dara itu menundukkan muka, kemalu-maluan! Aneh sekali rasanya melihat seorang dara seperti Hwee Li dapat menunduk malu-malu seperti itu! Kian Lee mengeluarkan kedua tangan dan otomatis Hwee Li melangkah maju dan kembali dia sudah dipeluk oleh Kian Lee. Akan tetapi ketika Kian Lee mendekapnya erat dan mendekatkan muka hendak menciumnya, kembali dia meronta dan melepaskan diri!

   "Kenapa, Li-moi? Kenapa.... kau menolak? Bukankah kita saling mencinta....?"

   Dara itu menarik napas panjang, lalu dia memegang tangan Kian Lee, digandengnya pemuda itu dan diajaknya duduk di atas batu di bawah pohon. Sambil duduk, dia tetap memegang tangan Kian Lee sehingga jari-jari tangan mereka saling genggam, saling mengeluarkan getaran hangat yang timbul dari jantung mereka yang berdebar penuh gairah kemesraan.

   "Lee-koko, harap kau maafkan aku. Percayalah tidak ada kebahagiaan lebih besar bagiku selain dekat denganmu dan betapa selama ini aku merindukan kasih sayangmu dan.... pelukanmu. Akan tetapi.... semenjak apa yang kualami.... semenjak saat itu.... aku telah bersumpah di dalam hatiku sendiri, aku bersumpah bahwa aku tidak akan membiarkan diri dicium oleh pria manapun juga kecuali oleh suamiku! Engkau.... ah, betapa aku cinta padamu, Koko, akan tetapi.... karena sumpahku itu, maka aku pun dengan berat hati terpaksa tidak berani melanggarnya sebelum engkau.... menjadi suamiku.... kau maafkanlah aku, Lee-ko...."

   Kian Lee mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia merasa bangga dan girang akan pendirian dara yang dicintanya itu, akan tetapi mendengar bahwa sumpah itu dilakukan semenjak suatu saat tertentu, semenjak apa yang dialami oleh dara itu, dia menjadi ingin tahu.

   "Moi-moi, mengapa engkau mengucapkan sumpah itu? Dan semenjak apakah? Apakah yang telah kau alami sehingga engkau mengucapkan sumpah itu?"

   "Dahulu, aku selalu merindukanmu, dalam mimpi aku mendambakan pelukanmu yang mesra, merindukan ciumanmu, akan tetapi.... semenjak saat jahanam itu.... pangeran dari Nepal itu.... menciumku, semenjak saat itulah aku bersumpah...."

   "Ahhh....!"

   Wajah Kian Lee sebentar menjadi pucat lalu berubah merah sekali, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. Hwee Li terkejut melihat wajah dan sinar mata itu.

   "Kenapa, Koko....?"

   "Dan kau senang?"

   "Senang apa maksudmu?"

   "Kau senang di.... ciumnya?"

   Hwee Li cepat memegang tangan pemuda itu.

   "Eh, kau ini kenapa sih, Koko? Bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa aku senang diciumnya? Aku benci bukan main, aku muak dan jijik, akan tetapi aku tidak berdaya, aku tertawan dan tidak mampu bergerak."

   "Hemmm, dan selain diciumnya, kau diapakannya lagi?"

   Pandang mata pemuda itu penuh selidik, matanya membayangkan kemarahan besar yang disebabkan oleh iri hati dan cemburu.

   "Diapakan? Aihhhhh.... kau maksudkan apakah dia memperkosaku? Tidak, Koko. Dia itu sungguh cinta kepadaku, maka dia tidak mau memperkosa, dia menghendaki aku menyerahkan diri secara suka rela. Akan tetapi aku benci sekali karena ciumannya dan karena itu aku bersumpah tidak akan mau dicium siapapun selain suamiku."

   "Kalau begitu, aku akan mencarinya dan membunuhnya, karena dia telah menghinamu!"

   Kian Lee mengepal tinjunya, makin panas hatinya membayangkan betapa bibir pangeran itu mengecup bibir kekasihnya ini.

   "Baik sekali, dan aku pun akan membagi beberapa kali pukulan sebelum kau membunuhnya!"

   Hwee Li berkata penuh semangat. Kian Lee tercengang dan kini dia memandang dengan penuh keheranan.

   "Eh, bagaimana pula ini? Bukankah kemarin engkau mencegah atau melarangku ketika kau mengira aku hendak membunuhnya? Dan sekarang engkau malah hendak membantuku membunuhnya!"

   Hwee Li menggenggam jari-jari tangan Kian Lee dan tersenyum.

   "Tentu saja, kemarin aku masih mengira bahwa engkau tidak mencintaku, melainkan mencinta gadis lain."

   "Kalau begitu?"

   "Aku marah kepadamu, dan karena kusangka dia satu-satunya pria yang mencintaku dengan sepenuh hatinya, maka aku tidak suka melihat engkau membunuhnya."

   "Dan sekarang?"

   "Sekarang, engkau mencintaku, Lee-koko, dan persetan dengan segala pangeran dari Nepal, dan kalau perbuatannya terhadap diriku memarahkan hatimu, dia harus mampus. Dan memang dulu pun sudah beberapa kali dia hampir mati di tanganku."

   Dara itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama dia ditahan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu, betapa dia telah mempergunakan berbagai akal untuk membunuh pangeran itu dan nyaris dia berhasil. Kian Lee mendengarkan dengan penuh perhatian, penuh kagum dan kini dia pun dapat mengerti betapa besar rasa cinta kasih di dalam hati pangeran itu terhadap Hwee Li. Timbullah rasa kasihan di dalam hatinya terhadap pria itu karena dia sudah merasakan betapa sengsaranya derita batin ditanggung seorang pria yang tidak dibalas cintanya.

   "Hwee Li, setelah kita sekarang bertemu di sini, engkau hendak pergi ke manakah?"

   "Dan engkau sendiri hendak ke mana, Koko?"

   Hwee Li balas bertanya. Kian Lee memejamkan matanya sebentar, pikirannya bekerja keras. Terdapat hal-hal yang meruwetkan pikirannya sehubungan dengan kenyataan bahwa dia dan Hwee Li saling mencinta. Dia harus mengakui bahwa dia memang benar mencinta dara ini, akan tetapi dia pun melihat pula kenyataan betapa di dalam cinta mereka berdua itu terdapat banyak hal yang menghalang. Pertama, dia melihat kenyataan betapa watak dara ini liar, dan ganas sekali di samping kelincahan dan kejenakaannya. Hal ini merupakan kewajibannya kelak untuk membimbingnya agar dara itu dapat menghentikan sifat liar yang dia tahu tentu timbul karena dara ini adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo.

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan dia pun melihat mengapa dia tertarik sekali kepada Hwee Li. Tidak lain karena dara ini memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengan watak Ceng Ceng di waktu masih gadis dahulu. Ceng Ceng juga memiliki watak yang liar dan ganas semenjak menjadi murid Ban-tok Mo-li. Akan tetapi, persoalan pertama ini tidak begitu memusingkannya karena dia yakin bahwa dengan cinta kasihnya, dia akan mampu mengubah watak ganas itu. Hal yang ke dua adalah perbedaan yang amat menyolok antara orang tuanya dan orang tua dara ini. Dia merasa sangsi sekali apakah ayahnya dan ayah Hwee Li akan menyetujui kalau mereka berdua saling berjodoh! Dia tahu akan kekerasan hati ayahnya terhadap kejahatan, dan ayah dara yang dicintanya ini adalah seorang pentolan atau datuk dari kaum sesat!

   "Bagaimana, Lee-koko? Engkau belum menjawab pertanyaanku!"

   Tiba-tiba Hwee Li merangkul pundaknya dengan sikap manja dan ini menyentakkan Kian Lee kembali kepada kenyataan. Dia memandang wajah itu, merasa betapa lembut, halus dan hangat tangan dara itu merangkulnya, merasa getaran yang tersalur melalui jari-jari tangan itu dan melalui sinar mata bening itu dan dia sudah mengambil keputusan pada saat itu juga untuk menghadapi segala macam kesukaran apa pun untuk membela cinta kasih antara mereka. Sekali ini dia tidak mau gagal lagi! Apa pun yang terjadi, yang merupakan penghalang tali perjodohan antara dia dan Hwee Li, akan ditantangnya. Dia sudah merasakan betapa pahit dan nyerinya gagal dalam ikatan cinta, maka sekali ini dia tidak mau gagal lagi.

   "Hwee Li, aku akan pergi ke bekas benteng pemberontak untuk menemui Kian Bu, kemudian aku akan mengajaknya pulang ke Pulau Es."

   "Aku ikut denganmu, Koko!"

   Melihat sikap dara itu yang penuh semangat, Kian Lee merasa girang sekali. Hidup di samping dara ini tentu akan penuh kegembiraan penuh semangat dan seolah-olah Hwee Li merupakan cahaya yang setiap saat menyinari kehidupannya. Dia merangkul pinggang yang ramping itu, menarik tubuh Hwee Li sehingga merapat ke tubuhnya dan dengan mesra dia mencium dahi Hwee Li. Tadinya dara itu terkejut, akan tetapi melihat betapa kekasihnya hanya mencium dahinya, dia terengah dan memeluk dengan erat.

   "Baik, Moi-moi, memang aku ingin memperkenalkan engkau kepada.... ibuku."

   Dia tidak berani menyebut ayahnya karena diam-diam dia merasa ngeri membayangkan ayahnya menerima kedatangannya dengan calon isterinya yang ternyata adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo! Hwee Li tersenyum manis.

   "Aku girang sekali, Koko. Aku memang ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan ibumu. Aku sudah mendengar dari adik Kian Bu bahwa ibumu di waktu masih muda menjadi ketua Pulau Neraka."

   "Benar, Li-moi."

   "Ah, betapa hebat ibumu! Dan aku pun sudah banyak mendengar tentang ayahmu yang sakti itu. Aku akan merasa bangga dan gembira sekali dapat menghadap ayah bundamu, Koko. Mari kita cepat berangkat mencari adik Kian Bu!"

   Mereka pun pergi meninggalkan hutan di pegunungan itu dan diam-diam Kian Lee merasa geli juga melihat kenyataan dan liku-liku kehidupan yang serba aneh. Dara yang dicintanya ini mengangkat diri menjadi kakak dan menyebut adik kepada Kian Bu, padahal sudah tentu saja Kian Bu jauh lebih tua daripada Hwee Li. Dan yang lebih ruwet lagi, kekasihnya ini adalah murid dari Ceng Ceng, wanita yang pernah dicintainya, bahkan cinta pertamanya, dan lebih dari itu, keponakannya!

   Yang lebih hebat lagi, dia adalah putera majikan Pulau Es, sedangkan Hwee Li adalah puteri ketua Pulau Neraka, padahal, menurut sejarahnya, terdapat permusuhan antara kedua pulau itu. Akan tetapi, ada hal yang membesarkan hatinya, yaitu keadaan ibunya. Ibunya juga pernah menjadi ketua Pulau Neraka, oleh karena itu, sudah pantaslah kalau dia berjodoh dengan gadis Pulau Neraka ini! Sambil bergandeng tangan dan mendengarkan Hwee Li bercerita dengan sifatnya yang gembira, Kian Lee tersenyum penuh harapan, penuh kebahagiaan. Kelincahan dara ini hampir sama dengan Siang In, akan tetapi ada sesuatu pada diri Hwee Li yang amat menarik hatinya, yang sukar dikatakan apa daya tarik keistimewaan yang tidak ada pada wanita lain dan hal seperti ini selalu dirasakan oleh orang-orang yang sedang jatuh cinta! :

   Cinta asmara, betapa penuh rahasia betapa kuat penuh kuasa, mencengkeram seluruh raga dan jiwa menerbangkan manusia ke sorga menghempaskan manusia ke neraka! Cinta asmara, terkadang suci dan mulia penuh kelembutan indah dan mesra mendatangkan suka cita terkadang kotor bernoda penuh cemburu benci dan hina mendatangkan duka nestapa!

   Penggambaran tentang cinta seperti itu semenjak ribuan tahun yang lalu telah menjadi sasaran penulisan sajak para seniman. Cinta dipuja-puja kalau sedang mendatangkan nikmat hidup karena berhasil, sebaliknya cinta dikutuk kalau sedang mendatangkan derita hidup karena gagal. Cinta dianggap mendatangkan kebahagiaan dan juga dianggap mendatangkan kesengsaraan. Penggambaran seperti itu jelas didasari oleh penilaian untung rugi, enak atau tidak enak, pendeknya didasari oleh pendapat demi kesenangan diri sendiri, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin yang sesungguhnya tak dapat dipisahkan. Kalau jasmani dan rohani kita merasa nikmat oleh cinta, maka kita memuja-muja cinta sebagai jembatan yang membawa kita ke sorga.

   Sebaliknya kalau jasmani dan terutama rohani kita merasa menderita karena kecewa oleh kegagalan cinta, maka kita mengutuknya sebagai jalan yang membawa kita ke neraka. Akan tetapi, kalau mendatangkan penderitaan batin, adakah itu cinta kasih? Yang mendatangkan penderitaan batin bukanlah cinta kasih, melainkan pikiran yang selalu berpusat kepada kepentingan diri sendiri. Pikiran yang berupa si aku yang mengejar kesenangan diri sendiri inilah yang menciptakan segala suka dan duka, di dalam apa yang dinamakan cinta sekalipun! Baik cinta, maupun hal-hal seperti hujan, panasnya matahari, dan sebagainya, bisa saja dianggap sebagai berkah atau pun malapetaka oleh si aku yang selalu mengejar dan mencari kesenangan.

   Kita, sebagai akibat dari si aku masing-masing yang mengejar kesenangan, telah merumuskan cinta kasih, sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari si aku dan membagi-bagi cinta kasih sesuai dengan "tempatnya"

   Yang semua sarat dengan kepentingan kita masing-masing. Maka muncullah istilah cinta terhadap Tuhan, cinta terhadap negara, cinta terhadap orang tua, cinta terhadap isteri, cinta terhadap pacar, cinta terhadap anak, dan sebagainya lagi, termasuk cinta terhadap sahabat. Cinta kasih dipecah-pecah dan dibagi-bagi. Akan tetapi, selama cinta kasih itu menjadi milikKu atau milikMu atau milikNya, maka yang dinamakan cinta kasih itu bukan lain hanyalah nafsu mencapai kesenangan belaka. Cinta seperti itu tidak dapat dihindarkan lagi pasti dikuasai oleh untung rugi bagi si aku dan dalam keadaan seperti itu, cinta sama artinya dengan yang menyenangkan aku.

   Itulah sebabnya mengapa orang tua yang tadinya mengaku cinta kepada anaknya berubah membenci anak itu karena dikecewakan hatinya oleh si anak yang tidak menurut kepadanya dan sebagainya, pokoknya si anak tidak menyenangkan lagi hatinya! Demikian pula cinta seperti itu terhadap isteri, terhadap sahabat, terhadap partai, terhadap apa saja. Selama masih men-datangkan kesenangan atau yang dianggap menyenangkan lahir maupun batin, maka cinta semacam itu masih subur. Namun, begitu yang dicinta itu tidak lagi mendatangkan kesenangan, bahkan sebaliknya mendatangkan kekecewaan, lenyaplah perasaan cinta itu dan mungkin saja ter-ganti oleh perasaan benci. Ini pula yang menjadi sebab mengapa manusia selalu ingat kepada Tuhan sewaktu berada dalam duka nestapa,

   Sewaktu berada dalam ketakutan, dalam kesengsaraan. Harapan untuk memperoleh hiburan, memperoleh pertolongan, yang merupakan jalan ke arah kesenangan, inilah yang membuat kita berpaling kepada Tuhan. Dan kita akan melupakan Tuhan apabila kebutuhan akan hiburan, akan pertolongan, akan janji-janji kesenangan itu tidak ada. Dalam keadaan senang, kita tidak ingat kepada Tuhan, sebaliknya dalam keadaan susah di waktu kita membutuhkan hiburan, kita teringat kepada Tuhan dan kita menganggap bahwa kita mencinta Tuhan. Akan tetapi, benarkah yang demikian itu, kesemuanya itu, dapat dinamakan CINTA KASIH? Bukankah semua itu hanya merupakan jembatan dan sarana untuk memperoleh kesenangan belaka? Sehingga dengan demikian, semua itu adalah palsu belaka?

   Tentu saja kita sebagai manusia hidup sudah sewajarnya kalau menikmati kesenangan dan kita memang berhak menikmati kesenangan dalam kehidupan. Akan tetapi, mengejar-ngejar kesenangan jelas menuntun kita kepada kemunafikan dan kepalsuan. Uang merupakan satu di antara alat untuk menikmati kesenangan lahiriah dalam kehidupan, hal itu tak dapat disangkal oleh siapa pun juga. Akan tetapi kita dapat melihat jelas pula betapa PENGEJARAN terhadap uang itulah yang menimbulkan adanya pencurian, perampokan, penipuan, penggelapan, korupsi, dan segala tindakan lain yang merugikan orang lain. Demikian pula dengan segala macam bentuk kesenangan. Penulis tidak menganjurkan agar kita menolak atau menjauhi kesenangan, hidup sebagai pertapa di tengah hutan, sama sekali tidak. Melainkan mengajak kepada kita semua untuk membuka mata dan melihat yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran kita sendiri.

   Melihat kenyataan yang terjadi di dalam diri kita sendiri, di dalam dunia. Setelah melihat kenyataan tentang cinta kasih yang dibagi-bagi dan yang sesungguhnya bukanlah cinta kasih itu, timbul pertanyaan Apakah adanya cinta kasih? Betapa mungkin menguraikan cinta kasih! Betapa mungkin menggambarkan Tuhan! Betapa mungkin menerangkan kebenaran! Sudah jelas bahwa di mana ada pikiran atau si aku yang berkuasa, yang mencengkeram cinta kasih sebagai miliknya, maka tidak akan ada cinta kasih. Oleh karena itu, selama masih ada si aku yang mengejar kesenangan, si aku yang ingin menjadi orang baik, si aku yang ingin benar, si aku yang ingin memperoleh yang baik-baik dan yang enak-enak saja, maka tidak mungkin bicara tentang cinta kasih! Betapa kecewa hati Kian Lee dan Hwee Li ketika mereka tiba di bekas benteng pangeran dari Nepal yang kini telah hancur dan bekas terbakar itu.

   Mereka melihat benteng hancur yang sunyi, dijaga oleh puluhan orang perajurit yang ditinggalkan oleh Puteri Milana untuk menjaga tempat itu. Dua orang muda ini lalu mencari keterangan dari para perajurit tentang Kian Bu yang mereka cari-cari. Para perajurit hanya mengatakan bahwa semua pendekar telah pergi semua dan mereka tidak tahu ke mana perginya Pendekar Siluman Kecil, tidak tahu pula apakah pendekar berambut putih itu ikut bersama Panglima Puteri Milana kembali ke kota raja ataukah tidak. Akan tetapi ada seorang perajurit yang melihat bahwa pendekar itu pergi ke arah timur. Mendengar ini, giranglah hati Kian Lee dan Hwee Li. Mereka lalu cepat pergi ke timur meninggalkan benteng rusak itu untuk mencari Kian Bu. sampai berhari-hari mereka mengejar dan mencari, akan tetapi belum juga menemukan jejak Kian Bu.

   Tidak ada seorang pun di sepanjang jalan yang mereka lalui tahu tentang pendekar berambut putih itu sehingga hati kedua orang muda ini menjadi makin bingung. Kurang lebih sepekan kemudian, mereka mendengar dari seorang petani bahwa dia melihat orang-orang yang lari seperti terbang
(Lanjut ke Jilid 51)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 51
memasuki hutan. Mendengar keterangan yang tidak jelas ini, Kian Lee dan Hwee Li cepat mengejar ke dalam hutan. Akan tetapi sampai malam tiba, mereka tidak bertemu dengan siapapun dan akhirnya mereka terpaksa bermalam di dalam kuil tua karena cuaca sudah terlalu gelap untuk berkeliaran di dalam hutan itu. Karena mereka berdua belum tahu siapa adanya orang-orang yang oleh si petani dikabarkan seperti orang-orang yang terbang memasuki hutan, kawan ataukah lawan, maka Kian Lee dan Hwee Li yang bersikap hati-hati tidak membuat penerangan di dalam kuil.

   Hwee Li membersihkan lantai dan mereka berdua duduk di dalam ruangan kuil tua melepaskan lelah sambil bercakap-cakap. Sebelum gelap tadi, mereka sudah berhenti di dekat sumber air di hutan itu untuk makan dan minum, maka kini mereka tinggal beristirahat saja. Malam itu tidak terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li sudah terbangun oleh suara ayam hutan berkokok dan berkeruyuk. Dia menoleh ke kiri dan tidak melihat Kian Lee. Tentu pemuda itu telah bangun lebih dulu dan pergi ke sumber air yang berada agak jauh di belakang kuil, pikirnya. Dia masih merasa malas untuk bangun, hari masih terlampau pagi dan hawa udara demikian sejuknya sehingga kembali Hwee Li melingkar dan berselimut jubah Kian Lee yang oleh pemuda itu semalam diselimutkan kepadanya tanpa dia ketahui.

   Tiba-tiba dara ini meloncat dan seketika dia menjadi sadar betul seperti biasanya seorang ahli silat kalau mendengar sesuatu yang mencurigakan. Seluruh urat syarafnya menegang dan cepat dia menyelinap di balik dinding, mengintai ke luar dari mana dia mendengar suara orang memasuki kuil itu, suara langkah kaki yang ragu-ragu dan hati-hati. Dan dia melihat seorang wanita memasuki kuil itu, seorang wanita muda yang memegang sebatang pedang. Wanita itu cantik dan pakaiannya berwarna hijau. Kim Cui Yan, wanita baju hijau sumoi dari Liong Tek Hwi saudara misan Pangeran Nepal! Tentu saja Hwee Li segera mengenal wanita ini, wanita cantik yang masih terhitung kakak tirinya itu!

   Akan tetapi karena enci tirinya ini pernah membantu Pangeran Nepal, atau setidaknya termasuk kelompok lawan, maka Hwee Li diam saja dan mengintai penuh perhatian. Dia melihat betapa Kim Cui Yan berdiri sambil mundur-mundur dan memandang ke arah pintu kuil. Di luar kuil masih gelap dan amat sunyi. Cui Yan nampak gelisah sekali, wajahnya tidak begitu nampak jelas di keremangan cuaca, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia sedang dilanda ketakutan dan pedang telanjang di tangannya itu dilintangkan depan dada, siap untuk digerakkan menyerang lawan. Makin teranglah keadaan di dalam kuil rusak itu ketika sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan. Hwee Li melihat enci tirinya itu masih berdiri setelah mundur-mundur sampai punggungnya menempel dinding retak-retak.

   Kini dia dapat melihat wajah yang agak pucat itu, wajah yang jelas memperlihatkan rasa takut dan juga lelah. Agaknya semalam itu encinya tidak tidur, dan berada dalam ketakutan, mungkin dikejar-kejar musuh. Hati Hwee Li menjadi panas. Betapapun juga, wanita ini adalah enci tirinya, seayah dengan dia, maka sudah sepatutnya kalau dia bela. Dia akan menanti dan melihat sampai musuh yang agaknya ditakuti encinya itu muncul, dan kalau perlu, dia akan membantu enci tirinya. Hwee Li bersiap-siap dan menduga-duga siapa adanya musuh yang begitu ditakuti encinya, padahal dia tahu bahwa Kim Cui Yan yang berjuluk Si Walet Hijau ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak akan mudah dikalahkan orang begitu saja. Tak lama kemudian, suasana yang penuh ketegangan yang mencekam hati itu dipecahkan oleh suara wanita yang nyaring,

   "Perempuan kejam, hendak lari ke manakah engkau?"

   Hwee Li terkejut bukan main mendengar suara yang amat dikenalnya itu dan begitu wanita itu muncul di ambang pintu, Hwee Li memandang terbelalak dari tempat persembunyiannya. Wanita itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Ceng Ceng atau isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Wajah nyonya muda ini kelihatan bengis dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia memasuki ruangan kuil itu dengan tenang, namun di setiap langkahnya terkandung ancaman maut yang membuat Hwee Li menggigil. Dia melihat betapa Cui Yan juga terkejut dan muka enci tirinya itu menjadi makin pucat, akan tetapi tangan yang memegang pedang itu tidak gemetar.

   "Kau.... kau terlalu mendesakku!"

   Kata Cui Yan dan kini dia melangkah maju dengan pedang siap di tangan.

   "Perempuan keparat, ketika engkau menculik dan melarikan puteraku, apakah perbuatanmu itu tidak terlalu kejam? Engkau membuat duniaku hampir kiamat rasanya, dan sekarang engkau bilang aku mendesakmu?"

   Nyonya muda itu berkata, suaranya mengandung penuh kebencian. Karena sudah tersudut, agaknya Kim Cu Yan menjadi berani dan nekat. Dia menjawab dan suaranya terdengar penuh penyesalan,

   "Hemmm, seluruh keluarga ayahku tewas karena ayah mertuamu, kalau aku melarikan puteramu dan di sepanjang jalan aku merawatnya, menjaganya dan sama sekali tidak pernah menyiksanya, bukankah aku masih jauh lebih baik daripada ayah mertuamu?"

   Sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar berkilat.

   "Ayahmu adalah pemberontak, sudah selayaknya dihukum!"

   "Ayahku boleh jadi pemberontak, akan tetapi apakah ibuku, keluarga ayah, juga berdosa?"

   Cui Yan balas menghardik. Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berhati keras seperti baja. Biarpun dia dapat mengerti akan rasa penasaran di hati dara itu karena seluruh keluarganya tewas, akan tetapi tentu saja dia membela fihaknya sendiri.

   "Tidak perlu banyak cerewet, engkau memegang pedang. Nah, kita sudah berhadapan, mari membuat perhitungan. Engkau boleh melepaskan dendam kematian keluarga ayahmu, dan aku akan membalasmu dan menghukummu karena engkau pernah menculik puteraku. Atau barangkali engkau takut, pengecut seperti mendiang ayahmu?"

   "Perempuan sombong!"

   Kim Cui Yan menjerit dan pedangnya menyambar. Ceng Ceng cepat mengelak dan balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung tenaga sakti yang luar biasa itu. Hwee Li menonton dari balik pintu tembusan itu dengan mata terbelalak dan bingung. Tadi dia sudah mengambil keputusan untuk membela dan membantu enci tirinya berhadapan dengan musuh, akan tetapi setelah melihat bah-wa musuh encinya itu bukan lain adalah gurunya sendiri, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Maka dia hanya bengong dan melihat ke arah pertandingan yang berjalan amat seru itu dengan bingung, mengepal tinju dengan hati amat gelisah dan khawatir.

   Kim Cui Yan adalah murid terkasih dari nenek Kim-mou Nio-nio, datuk barat di luar tembok besar yang amat sakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Apalagi dia kini memegang sebatang pedang dan mainkan Ilmu Pedang Swat-lian Kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang berhawa dingin, maka dia merupakan seorang lawan yang lihai dan berbahaya. Akan tetapi, kini dia berhadapan dengan Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nyonya muda ini semenjak minum sari darah anak naga (baca Kisah Sepasang Rajawali) telah memiliki tenaga sinkang yang luar biasa dahsyatnya, ditambah lagi memperoleh bimbingan suaminya dalam ilmu silat tiinggi, maka dia merupakan seorang tokoh wanita yang jarang dapat ditemukan tandingannya di waktu itu. Pertandingan itu berjalan cepat dan juga seru, karena Kim Cui Yan yang maklum akan kehebatan lawan itu berkelahi mati-matian.

   Namun, akhirnya dia harus mengakui keunggulan lawannya ketika dengan tenaganya yang dahsyat, Ceng Ceng berhasil memukul pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dan terampas oleh lawan. Di lain saat, Ceng Ceng sudah menodongkan ujung pedang rampasan itu ke leher lawan sampai menempel di kulit teng-gorokan Cui Yan yang tak berani bergerak lagi karena bergerak berarti lehernya tertembus ujung pedangnya sendiri! Cui Yan hanya melangkah mundur, namun ujung pedang itu tidak pernah me-ninggalkan kulit tenggorokannya sedikit pun, terus menempel ketika Ceng Ceng melangkah maju pula mengikutinya sampai akhirnya Cui Yan tak mampu mundur lagi karena punggungnya telah menumbuk bekas perapian di ruangan kuil tua itu.

   "Bunuhlah, siapa takut mati?"

   Teriak Cui Yan sambil memandang dengan mata terbelalak.

   "Perempuan keji, memang aku akan membunuhmu...."

   "Tunggu! Jangan bunuh dia, Subo....!"

   Hwee Li menjerit dan meloncat keluar dari tempat persembunyiannya. Ceng Ceng menahan pedangnya dan memandang kepada muridnya itu dengan kaget dan heran. Tanpa menurunkan pedangnya yang menodong leher Cui Yan, dia membentak,

   "Apa maksudmu, Hwee Li? Mengapa engkau mencegah aku membunuh penculik puteraku ini?"

   "Subo, jangan bunuh dia.... dia adalah enciku sendiri...."

   Ceng Ceng merasa terkejut bukan main mendengar ini sehingga otomatis pedang itu diturunkannya dari leher Cui Yan yang juga merasa heran mendengar itu dan memandang kepada Hwee Li dengan mata penuh keheranan.

   "Encimu? Jadi dia ini juga puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?"

   Tanya Ceng Ceng dengan alis berkerut.

   "Bukan, Subo. Akan tetapi dia adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin...."

   "Dan engkau puteri Hek-tiauw Lo-mo, bagaimana kau bisa bilang dia encimu?"

   "Tidak, teecu hanya anak angkat saja dari Hek-tiauw Lo-mo, sebetulnya teecu adalah puteri Kim Bouw Sin juga, dari seorang selir yang dilarikan oleh Hektiauw Lo-mo. Teecu Kim Hwee Li adalah adik tirinya seayah dengan Enci Cui Yan. Oleh karena itu, harap Subo memandang muka teecu dan suka mengampuni Enci Cui Yan."

   Keterangan ini membuat Ceng Ceng melangkah mundur tiga langkah dan dia demikian tercengang sehingga tangan kirinya naik dan mengusap pipinya sendiri. Kenyataan ini merupakan pukulan baginya.

   "Ah, kau.... jadi engkau ini anak pemberontak? Aihhh, sungguh celaka sekali. Jadi selama ini aku mengambil anak pemberontak keji dan hina sebagai murid ?"

   Saking menyesalnya, Ceng Ceng lalu menggunakan kedua tangan menekuk pedang di tangannya itu.

   "Krekkk!"

   Pedang Cui Yan itu patah menjadi dua dan Ceng Ceng melemparkannya ke atas tanah, matanya menatap wajah muridnya dengan penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Kemudian dia mengeluh dan sekali berkelebat, dia sudah meloncat keluar dari kuil itu.

   "Ahhh...."

   Hwee Li rnemejamkan kedua matanya dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia merasa lega bahwa nyawa enci tirinya terlepas dari ancaman maut, akan tetapi juga berduka sekali karena maklum bahwa gurunya itu merasa kecewa dan menyesal dan dia merasa bahwa semenjak saat tadi, tali perhubungan antara dia dan gurunya telah diputuskan oleh gurunya, seperti gurunya mematahkan pedang tadi. Tiba-tiba terdengar suara yang membuat Hwee Li cepat membuka mata, membalikkan tubuh dan memandang ke arah jendela. Di luar jendela itu telah berdiri Kian Lee, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan kerut-merut duka terbayang di wajah itu.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 35 Kisah Sepasang Rajawali Eps 13 Kisah Sepasang Rajawali Eps 27

Cari Blog Ini