Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Pulau Es 26


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah enam orang, tiga orang pria dan tiga wanita. Mereka adalah para pembantu keluarga Kam dan tadi seorang di antara mereka melihat munculnya empat orang asing di dekat taman. Cepat dia memberitahukan teman-temannya dan kini mereka semua datang dan menegur.

   "Siapakah kalian dan ada urusan apakah datang ke tempat kami?! tegur seorang di antara para pembantu keluarga Kam.

   "Kami mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian. Apakah kalian keluarga mereka?! tanya Tek Ciang tanpa mengalihkan pandang matanya kepada Bi Eng yang kini sudah menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan alis berkerut.

   "Majikan kami sedang keluar berjalan-jalan dan kami adalah pelayan-pelayan mereka. Kalau memang su-wi ada keperluan dengan majikan kami, harap menunggu di kamar tamu sampai mereka kembali dari jalan-jalan.!

   "Ha-ha-ha, kiranya hanya pelayan-pelayan yang harus mampus!! kata Jai-hwa Siauw-ok.

   Kini Bi Eng sudah bangkit berdiri dan kerut-merut di alisnya makin mendalam ketika ia mendengar kata-kata itu.

   "Ada keperluan apakah kalian dengan ayah ibuku? Orang tuaku tidak mempunyai kenalan orang-orang kasar seperti kalian!! katanya dengan suara merdu akan tetapi tajam dan menusuk. Bi Eng memang menuruni watak ibunya yang lincah jenaka, akan tetapi juga dapat bersikap berani, bengal dan galak.

   "Ehh, kiranya engkau nona Kam, puteri Kam Hong dan Bu Ci Sian? Bagus, mari ikut aku bersenang-senang, nona manis!! kata Tek Ciang dan mendengar kata-kata ini, melihat sikap ini, diam-diam Ceng Liong sudah merasa mendongkol sekali, Akan tetapi dia diam saja hanya memandang.

   Enam orang pelayan itupun marah mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Mereka dapat menduga bahwa tentu kedatangan empat orang ini tidak mengandung niat baik, maka rasa setia terhadap majikan mereka membuat mereka serentak maju mengepung dan menyerang. Karena yang berada paling depan adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang, maka guru dan murid inilah yang lebih dahulu menghadapi serangan mereka. Sambil tertawa mengejek, Tek Ciang menggerakkan tangannya menampar, demikian pula Jai-hwa Siauw-ok.

   Dua orang pelayan pria mencoba untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi hawa pukulan itu saja sudah membuat mereka seperti lumpuh dan terdengar suara keras ketika kepala mereka terkena tamparan. Mereka hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas seketika! Empat orang kawan mereka terkejut dan marah. Mereka mencabut pedang dan menerjang maju. Akan tetapi, hanya dengan beberapa kali menggerakkan tangan, Tek Ciang dan Jai-hwa Siauw-ok yang menyambut mereka itu telah berhasil menggulingkan mereka. Mereka roboh dengan kepala retak dan tewas seketika dalam beberapa gebrakan saja!

   "Ha-ha-ha-ha!! Mo-ong tertawa bergelak.

   "Hanya begini sajakah kekuatan pasukan yang dididik Kam Hong? Ha-ha-ha!! Hatinya senang melihat betapa para anak buah musuhnya, dalam waktu singkat telah roboh dan tewas oleh sekutunya. Ceng Liong mengepal tinju, akan tetapi tidak bergerak. Dia merasa penasaran sekali. Dia mau ikut gurunya dan berjanji membantunya, akan tetapi hanya untuk mengalahkan lawan, menebus kekalahan gurunya.

   Dia sama sekali tidak mau terlibat atau membantu untuk membunuh orang. Dan kini dia melihat sekutu gurunya membunuhi orang secara kejam. Orang-orang itu mungkin hanya pelayan-pelayan yang tidak berdosa, tanpa bersalah apa-apa mengapa dibunuh sedemikian kejamnya? Akan tetapi karena dia tidak mempunyai sangkut-paut apa-apa, dia hanya memandang saja dengaan tangan terkepal dan alis berkerut tak senang.

   Sementara itu, melihat betapa enam orang pelayannya roboh dan tewas soketika, Bi Eng menjadi terkejut bukan main. Enam orang pelayannya itu memang belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mereka itu jauh lebih kuat daripada orang-orang biasa. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja mereka telah roboh dan tewas oleh dua di antara empat orang ini, maka dapat diduga bahwa mereka berempat itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, kemarahannya tidak memungkinkan ia untuk bertanya-tanya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan halus, iapun sudah menerjang ke depan dengan suling emasnya.

   "Ha-ha, biar aku yang menjinakkan kuda betina yang muda dan liar ini!! Tek Ciang berkata sambil menyambut terjangannya. Akan tetapi, bukan main kagetnya hati jai-hwa-cat muda ini ketika dia menggerakkan tangan hendak menangkap suling di tangan si nona, tiba-tiba saja suling itu mengelak dan tendangan kaki kiri nona itu tahu-tahu sudah menyambar dan nyaris mengenai lambungnya kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang!

   Nona itu dapat menghindarkan suling yang akan dirampasnya, bahkan dalam segebrakan hampir saja dapat menendang lambungnya. Dan dari angin tendangan itu, tahulah Tek Ciang bahwa kalau dia tadi terkena tendangan, belum tentu dia akan dapat menahannya! Tadinya dia berniat mempermainkan dara ini sebeluan menangkapnya dan mempermainkan sepuas hatinya. Akan tetapi, kini gadis itu mendesaknya dan serangan yang bertubi-tubi dengan suling itu membuat semua lamunan untuk mempermainkan gadis itu lenyap seperti asap tipis dihembus angin. Jangankan untuk mempermainkan, bahkan dia sendiri harus mempergunakan seluruh kepandaian dan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari totokan-totokan ujung suling yang luar biasa cepat dan kuatnya itu!

   Dan semua itu masih ditambah lagi dengan lengkingan suara suling yang keluar dari suling yang digerakkan untuk menyerang, membuat dia merasa bising dan bingung juga. Untung dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi, telah digembleng oleh Suma Kian Lee sehingga dengan ilmu gabungan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang dia dapat memperbaiki keadaannya dan dapat membendung datangnya serangan bertubi-tubi seperti air bah dari gadis itu. Perlahan-lahan dia dapat menguasai keadaan dan dapat membalas dan kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Kini Tek Ciang sama sekali tidak berani main-main lagi, maklum bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada di bawah tingkatnya, bahkan gadis itu memiliki ilmu silat suling yang benar-benar aneh, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya.

   Hampir saja Ccng Liong berseru kaget ketika dia mengenal gerakan ilmu silat keluarganya dimainkan oleh murid Jai-hwa Siauw-ok yang bernanna Tek Ciang itu. Bagaimanakah penjahat muda yang menjijikkan ini mampu memainkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang sedemikian mahirnya? Bahkan setiap kali bergerak, muncullah hawa panas sekali atau dingin sekali dari kedua lengannya, tanda bahwa orang itu telah benar-benar menguasai kedua ilmu keturunan keluarga Pulau Es itu!

   Juga Hek-i Mo-ong diam-diam terkejut dan kagum. Murid dari sekutunya benar-benar hebat dan tidak boleh dipandang ringan, mungkin lebih hebat daripada gurunya. Sedang Jai-hwa Siauw-ok hanya tersenyum-senyum bangga. Tek Ciang adalah muridnya dan dia tahu bahwa muridnya itu telah menguasai ilmu-ilmu keturunan keluarga Pulau Es!

   Akan tetapi, di lain pihak mereka juga kagum sekali melihat dara remaja yang jelita itu. Ilmu silatnya tinggi, sulingnya benar-benar amat lihai sehingga dengan gulungan sinar emas, gadis itu mampu membendung semua serangan balasan lawan. Diam-diam gadis itu sendiripun kaget betapa lawannya amatlah tangguhnya. Maka iapun tidak mau kalah dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya. Ilmu Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mujijat, akan tetapi ia belum menguasai secara mendalam, hanya menguasai teorinya dan baru berlatih selama beberapa bulan.

   Kepandaiannya dalam ilmu silat ini belum matang dan menurut ayahnya, kematangan itu membutuhkan ketekunan dan latihan yang lama dan tepat. Maka, iapun mengeluarkan bermacam ilmu yang dipelajarinya dengan penuh semangat dari ayah bundanya. Sulingnya berkelebatan, bergulung-gulung memainkan ilmu-ilmu pedang yang langka di dunia ini. Di antaranya ia memainkan Pat-sian Kiam-hoat, Hong-in Bun-hoat dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut sendiri.

   Karena merasa memperoleh kesukaran untuk mengalahkan lawannya dengan mengandalkan ilmu silat dan kecepatan, Tek Ciang merasa penasaran dan dia hendak mengadu tenaga. Dia maklum bahwa lawannya ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat, akan tetapi dia tidak percaya kalau dia kalah kuat. Bagaimanapun juga, lawannya hanyalah searang dara remaja! Maka, ketika untuk kesekian kalinya suling itu berkelebat dan ada gulungan sinar emas menyambar ke arah dadanya, dia tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanan menangkis dengan usaha menangkap itu sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

   "Plakkk!! Telapak tangan Tek Ciang bertemu dengan suling. Jangankan menangkap, telapaknya malah terasa seperti dibakar. Cepat dia mengerahkan Hwi-yang Sin-kang untuk melawannya, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan dara itu hanya melangkah mundur dua langkah saja! Dari pertemuan ini, ternyatalah bahwa dara itu lebih kuat dalam tenaga sin-kang daripadanya!

   Sesungguhnya tidaklah demikian. Kalau saja Tek Ciang bukan seorang jai-hwa-cat yang hampir setiap malam menghamburkan tenaganya dengan mempermainkan wanita yang diculik dan diperkosanya, tentu dia tidak kalah kuat, bahkan mungkin lebih kuat dari Bi Eng. Akan tetapi, dia malas berlatih, malah memboroskan tenaganya dengan perbuatan jahat menculik dan memperkosa wanita seperti yang dilakukan pula oleh Jai-hwa Siauw-ok.

   Benturan tenaga sin-kang yang membuat Tek Ciang terhuyung itu membuat orang ini merasa malu, penasaran dan marah sekali. Bagaimanapun juga, sejak tadi masih belum ada niat di dalam hatinya untuk membunuh atau mencelakai gadis ini. Ingin dia membuat gadis itu tidak berdaya, mengalahkannya tanpa membunuhnya agar dia dapat lebih dulu mempermainkannya sebelum membunuhnya kelak. Akan tetapi, sikapnya yang mengalah ini bahkan hampir mencelakakan dirinya sendiri.

   "Ciiiittt.... ciiittt....!! Tek Ciang menyerang ganas dan kini tusukan-tusukan jari tangannya yang mempergunakan Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) mengeluarkan bunyi mengerikan. Bi Eng terkejut. Belum pernah ia melihat ilmu yang ganas dan aneh seperti itu. Ketika ia mengelak dan tusukan jari tangan itu melanggar ujung sabuknya, maka ujung sabuknya itu terbabat putus seperti disambar pedang! Cepat ia mengandalkan kelincahannya sambil membalas dengan sulingnya.

   Tiba-tiba Tek Ciang tergelincir dan roboh miring. Kalau saja Bi Eng sudah berpengalaman dalam perkelahian, apalagi kalau saja ia sudah sering berhadapan dengan lawan dari golongan sesat, tentu ia akan bersikap waspada karena ia tentu tahu bahwa golongan sesat tidak segan mempergunakan siasat curang untuk memperoleh kemenangan. Ia tidak mengira bahwa Tek Ciang mempergunakan siasat itu.

   Maka sulingnya menyambar dalam kemarahannya hendak membalaskan kematian enam orang pelayannya. Pada saat ia menubruk itu, tiba-tiba Tek Ciang mengeluarkan suara berkokok dan dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah Bi Eng, sambil mengerahkan ilmu pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Ilmu pukulan ini dahulu merupakan ilmu pukulan yang ampuh dari Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok yang berhasil dicuri oleh Jai-hwa Siauw-ok melalui Ji-ok dan telah dipelajari dengan baik oleh Tek Ciang.

   "Desss....!!

   Bi Eng yang sama sekali tidak pernah menyangka lawan yang sudah tergelincir itu akan mampu melakukan pukulan sehebat itu, terlanda pukulan Hoa-mo-kang dan tubuhnya terpelanting roboh dalam keadaan pingsan! Memang kehebatan ilmu pukulan Hoa-mo-kang itu adalah cara penggunaannya dari bawah, dari dalam keadaan rebah miring atau berjongkok. Bau amis tercium ketika ilmu pukulan ini dilakukan dan Bi Eng yang roboh pingsan itu mukanya berobah agak kehijauan karena ia telah terkena pukulan beracun amat hebat.

   "Tolol kamu....!! Hek-i Mo-ong melangkah maju dan memaki Tek Ciang yang cepat melangkah mundur dengan muka pucat. Biarpun dia telah berhasil, akan tetapi pukulannya tadi bertemu dengan kekuatan sin-kang yang membuatnya merasa tergetar jantungnya dan kini dia dibentak dan dimarahi, maka dia menjadi khawatir.

   "Mo-ong, kenapa engkau marah-marah? Bukankah muridku telah berhasil....!

   "Berhasil apa? Apa sukarnya mengalahkan anak perempuan itu? Ia merupakan sandera yang paling berharga, kenapa malah dibunuh? Kalau ia ditangkap dalam keadaan hidup dan sehat, kita akan mudah menundukkan ayah ibunya!!

   Jai-hwa Siauw-ok baru mengerti dan diapun menyesal.

   "Bagaimanapun juga, dara itu belum mati, dan menghadapi suami isteri itu, kita berempat tentu akan mampu mengalahkan mereka.!

   "Hei, ke mana engkau akan membawanya?! Tiba-tiba Tek Ciang berteriak. Semua orang menengok dan ternyata Ceng Liong sudah memanggul tubuh Bi Eng yang sudah lemas tak berdaya itu.

   "Mo-ong, aku akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya,! Ceng Liong berkata, ditujukan kepada Hek-i Mo-ong dan sama sekali tidak memperdulikan teriakan Tek Ciang.

   "Tahan dulu....!! Tek Ciang hendak mengejar.

   "Diam kau....!! Jai-hwa Siauw-ok membentak muridnya. Tek Ciang menoleh dan melihat betapa kakek iblis Hek-i Mo-ong memandang kepadanya dengan marah. Tahulah dia mengapa gurunya menghardik karena kalau dia mengejar murid iblis itu, siapa tahu Hek-i Mo-ong akan membunuhnya. Watak dan sikap kakek iblis itu memang sukar diselami, maka diapun mengalah, bahkan diam-diam tersenyum mengejek.

   Biarlah, biarlah dicobanya oleh anak setan itu untuk mengobati bekas tangannya dengan pukulan Hoa-mo-kang tadi, pikirnya. Dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengobatinya, akan tetapi sebelum dara itu mati, ingin dia mempermainkannya lebih dahulu. Sayang kalau dara yang cantik jelita dan sedang mekar itu dibiarkan mati tanpa diganggu.

   "Sudahlah, mari kita mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian,! kata Hek-i Mo-ong, kemarahannya mereda ketika Jai-hwa Siauw-ok memperlihatkan rasa takut kepadanya.

   "Biar nanti muridku menyusul dan biarkan dia mencoba untuk menyembuhkan sandera kita.!

   "Locianpwe, gadis itu tadi akulah yang merobohkannya, maka aku yang berhak untuk menikmatinya, bukan murid locianpwe,! kata Tek Ciang yang masih merasa penasaran, akan tetapi suaranya menghormat karena dia takut kalau-kalau kakek iblis ini akan menjadi marah.

   "Cihh! Jangan samakan muridku dengan manusia gila perempuan macam engkau! Muridku adalah laki-laki sejati. Kalau dia bilang mau mencoba mengobati, tentu dia akan mengobati saja dan tidak melakukan hal lain! Mari kita pergi!!

   Jai-hwa Siauw-ok berkedip kepada muridnya dan Tek Ciang tidak berani banyak cakap lagi. Bagaimanapun juga, hatinya masih mendongkol karena dia membayangkan betapa Ceng Liong tentu akan mempergunakan kesempatan itu untuk menguasai gadis cantik yang sudah pingsan itu! Memang, orang yang sudah biasa melakukan penyelewengan di dalam kehidupannya, akan selalu menganggap orang lain sama seperti dia sendiri dan dia tidak akan dapat mempercayai orang lain.

   Demikian pula dengan Louw Tek Ciang ini. Dia dan gurunya adalah dua orang jai-hwa-cat, maka dia menganggap bahwa semua orang laki-laki tentu mempunyai watak seperti dia pula dan timbul cemburu dan tidak percaya ketika Ceng Liong membawa pergi gadis cantik yang pingsan itu.

   Hek-i Mo-ong sendiri tentu saja sudah mengenal watak muridnya. Kadang-kadang, kalau dia sedang melamun, dia merasa malu sendiri kepada muridnya. Jelas nampak olehnya bahwa biarpun selama bertahun-tahun Ceng Liong menjadi muridnya, namun anak itu sungguh memegang teguh janjinya, yakni hanya belajar ilmu saja kepadanya dan tidak mau belajar menjadi manusia sesat!

   Dia kadang-kadang merasa malu mengapa anak itu dapat memiliki watak gagah, seorang pendekar tulen! Kadang-kadang timbul penyesalan di dalam hatinya mengapa dia, yang di waktu mudanya juga mempelajari banyak tentang kebatinan, kemudian dapat menyeleweng dan sekali menceburkan diri ke dalam jurang kesesatan, sukarlah untuk keluar dari situ. Dia sudah merasa terlanjur menjadi tokoh kaum sesat dan dia akan merasa malu kalau keluar dari lingkungan itu.

   Dia tahu bahwa sekali berkata hendak mengobati gadis yang terkena pukulan murid Jai-hwa Siauw-ok itu, tentu hal ini akan dilaksanakan oleh Ceng Liong dan tak mungkin ada sedikitpun niat buruk lain di dalam hati muridnya. Diam-diam kakek iblis ini malah merasa bangga sekali bahwa muridnya adalah seorang pendekar, bahkan bukan sembarangan pendekar melainkan cucu aseli dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Diapun tahu bahwa korban pukulan macam yang dilakukan oleh Tek Ciang itu sukar sekali ditolong, apalagi muridnya tidak pernah mempelajari cara menyembuhkan korban seperti itu, maka tentu muridnya akan gagal, gadis itu akan tewas dan tak lama kemudian muridnya tentu akan menyusulnya.

   Akan tetapi, dia merasa kehilangan muridnya ketika tiba-tiba dia dan dua orang kawannya mendengar bunyi suling ditiup secara aneh. Mereka berhenti serentak, saling pandang dan jelas betapa wajah mereka menjadi tegang. Bahkan Tek Ciang yang biasanya bersikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, agak berubah air mukanya mendengar suara suling itu. Suara suling itu aneh sekali, tidak seperti suara suling biasanya. Melengking-lengking naik turun, dan terdengar dua suara suling yang saling susul, saling belit dan saling mengisi.

   Kadang-kadang terdengar seperti nyanyian lagu gembira, kadang-kadang seperti berbisik-bisik, seperti sepasang kekasih sedang memadu asmara, dan ada kalanya berabah menadi gegap-gempita seperti ada perang di sana. Dan dalam nada bagaimanapun juga, selalu ada getaran yang amat kuat, yang membuat tiga orang itu harus mengerahkan sin-kang untuk melawannya. Kemudian suara suling itu merendah, sampai rendah sekali dan jantung tiga orang itu terasa seperti dipukuli palu godam yang amat berat, berdentang-dentang dan dada seperti akan pecah rasanya.

   Hanya dengan pengerahan sin-kang saja mereka dapat bertahan. Tiba-tiba, suara yang amat rendah itu melengking, makin lama makin tinggi dan tiga orang itu hampir tak kuat bertahan, lalu mereka duduk bersila dan mengerahkan sin-kang. Suara itu melengking terus sampai tinggi sekali, sampai lenyap suaranya tak dapat tertangkap lagi oleh pendengaran, akan tetapi getarannya amat kuatnya seperti jarum menusuk-nusuk jantung mereka rasanya.

   Akhirnya, suara itu berhenti dan lenyap. Legalah hati mereka dan mereka membuka mata, saling pandang dan muka mereka menjadi agak pucat. Bukan main hebatnya suara tadi dan tanpa bicarapun mereka dapat menduga siapa yang meniup suling seperti itu. Dugaan mereka terbukti dengan munculnya dua orang dari puncak, jalan bergandengan tangan dan suling yang mereka bunyikan tadi, yang menciptakan suara aneh, kini terselip aman di ikat pinggang mereka. Yang seorang laki-laki, berpakaian sasterawan sederhana, dengan jubah luar yang terlalu lebar kedodoran. Usianya antara lima puluh tahun, namun masih nampak tampan dan anggun, halus gerak-geriknya dan mulutnyapun membayangkan keramahan dan kehalusan budi.

   Hanya sepasang matanya yang tak dapat dicuri memiliki sinar mencorong seperti naga. Kumis dan jenggotnya tidak begitu panjang dan terawat baik. Seorang sasterawan yang tampan dan halus! Dan di sebelahnya berjalan seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, masih nampak cantik dan manja, kadang-kadang menggandeng lengan pria itu dan kalau bicara melirik dan tersenyum, kadang-kadang memandang wajah pria itu dengan perasaan cinta dan sayang dan manja! Itulah pendekar sakti Kam Hong, keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, bersama isterinya, Bu Ci Sian yang juga menjadi sumoinya dalam mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan khi-kang yang amat tinggi.

   Mereka kelihatan begitu rukun dan saling mencinta. Melihat musuh besarnya, Hek-i Mo-ong lupa akan rasa gentarnya dan dia sudah memandang dengan mata mendelik dan napas memburu, didorong oleh hawa amarah yang menyesak dada. Adapun Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya memandang ke arah wanita itu. Seorang wanita cantik yang sudah matang dan agaknya inilah musuh besarnya, pikir Jai-hwa Siauw-ok dengan jantung berdebar. Kalau saja dia mampu membalaskan sakit hati guru-gnrunya! Dengan mengalahkan wanita ini, merobohkannya, memperkosanya sepuas mungkin baru menyiksa dan membunuhnya! Alangkah akan puas rasa hatinya.

   Kini sepasang suami isteri yang bukan lain adalah Kam Hong dan Bu Ci Sian itu, melihat adanya tiga orang laki-laki yang berdiri menghadang di jalan dan mereka merasa heran dan kaget. Biasanya, setelah berjalan-jalan dan menikmati matahari terbit, mereka suka iseng-iseng dan berlatih suling. Tadipun mereka berlatih dan mereka tahu bahwa di sekitar tempat itu sunyi tidak ada orang lain. Kini, tahu-tahu ada tiga orang dan melihat betapa tiga orang itu agaknya tidak mengalami sesuatu oleh suara suling mereka, mudah diduga bahwa tiga orang ini tentu "berisi!.

   Akan tetapi, keheranan hati mereka segera lenyap ketika mereka mengenal kakek berpakaian hitam yang sedang berdiri tegak sambil mengipas-ngipaskan tubuhnya dengan sebuah kipas merah itu. Hek-i Mo-ong! Siapa lagi kalau bukan kakek iblis itu yang kini berdiri dengan kipas merahnya yang amat berbahaya itu? Ketika mengerling kepada dua orang laki-laki di dekat Hek-i Mo-ong, Kam Hong dan isterinya tidak mengenal mereka, akan tetapi dapat menduga bahwa dua orang yang datang bersama seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong, mudah diduga tentu juga bukan orang-orang baik dan juga tentu memiliki kepandaian yang tinggi.

   Sikap Kam Hong amat tenang ketika sambil tersenyum dia menjura.

   "Ah, kiranya Hek-i Mo-ong yang datang berkunjung! Sudah belasan tahun tidak bertemu, apakah engkau dalam keadaan sehat, Mo-ong?!

   Sungguh tidak dapat dimengerti oleh Tek Ciang bagaimana seorang yang dianggap musuh menyambut Hek-i Mo-ong dengan keramahan seperti itu, seolah-olah bertemu dengan seorang sahabat lama saja. Dan Hek-i Mo-ong juga menjawab dengan suara wajar, akan tetapi mengandung penuh ancaman.

   "Orang she Kam, selama belasan tahun ini aku menjaga diriku baik-baik agar aku dapat bertemu lagi denganmu dan menebus kekalahanku dahulu. Nah, sekarang kita bertemu di sini. Bersiaplah untuk menebus dan membayar hutangmu dahulu!!

   Kam Hong menarik napas panjang.

   "Mo-ong, seorang tua seperti engkau ini, pantaskah untu meracuni batin dengan dendam yang hanya disebabkan oleh kekalahan dalam suatu perkelahian? Sungguh kasihan!!

   Saat itu dipergunakan oleh Jai-hwa Siauw-ok untuk menudingkan telunjuknya ke arah muka wanita cantik itu sambil bertanya.

   "Apakah engkau yang bernama Bu Ci Sian dan dahulu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu?!

   Bu Ci Sian memandang laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dari suaminya itu, yang berwajah ganteng berpakaian pesolek, mengamatinya akan tetapi ia tidak ingat pernah berkenalan dengan orang ini. Juga, mendengar pertanyaannya, jelas bahwa laki-lakiinipun baru sekarang bertemu dengannya.

   "Benar, siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Im-kan Ngo-ok?! tanyanya, suaranya juga tenang karena wanita ini telah menerima gemblengan dari suaminya sendiri dan kini menjadi seorang wanita yang jauh lebih lihai dibandingkan dahulu sebelum ia menjadi isteri Kam Hong. Sikap seorang yang penuh kepercayaan akan diri sendiri.

   "Namaku Ouw Teng dan orang mengenalku sebagai Jai-hwa Siauw-ok. Im-kan Ngo-ok adalah guru-guruku. Maka tidak perlu kiranya kujelaskan apa maksud kedatanganku ini.!

   Bu Ci Sian tersenyum dan menoleh kepada suaminya, saling pandang, lalu berkata kepada suaminya, sikapnya tak acuh.

   "Aihh, sudah belasan tahun kita tidak pernah mencampuri urusan dunia, siapa tahu kini bajingan-bajingan ini malah yang datang mengantar nyawa. Sungguh tidak dapat disalahkan peribahasa ular mencari penggebuk!!

   Kam Hong mengerti bahwa isterinya sengaja mengejek para datuk sesat itu, maka diapun hanya mengangkat pundak mengembangkan kedua tangan.

   "Apa boleh buat. Akan tetapi berhati-hatilah, isteriku. Orang yang sudah berani datang mengantar nyawa tentu telah memperhitungkan sebelumnya dan agaknya mereka ini sudah membawa bekal yang cukup memadai.!

   Setelah berkata demikian, pendekar ini berdiri membelakangi isterinya beradu punggung. Isyarat ini dapat dimengerti oleh Bu Gi Sian. Suaminya bersikap hati-hati dan karena lawan mereka bertiga, sedangkan mereka belum mengenal sampai di mana kepandaian mereka bertiga itu, suaminya minta agar ia berhati-hati dan saling jaga dengan berdiri saling membelakangi. Ia sudah mencabut sulingnya yang tadi terselip di pinggang dan memasang kuda-kuda dengan melintangkan suling di depan mulut, persis seperti orang yang hendak meniup suling!

   Akan tetapi, suaminya berdiri seenaknya, bahkan belum mencabut sulingnya, seolah-olah hendak menjajaki dulu sampai di mana kelihaian lawan. Akan tetapi karena Kam Hong menduga bahwa di antara tiga orang lawan itu yang terlihai adalah Hek-i Mo-ong maka diapun sengaja berdiri menghadapi kakek iblis itu dan membiarkan isterinya menghadapi dua orang lawan lainnya.

   Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sudah bernafsu sekali untuk dapat segera merobohkan wanita musuh besarnya itu, maka dia sudah memberi isyarat kepada muridnya untuk maju bersama mengeroyok wanita itu. Sedangkan Hek-i Mo-ong ketika melihat sikap Kam Hong yang demikian tenangnya, muncul kembali rasa gentar di hatinya. Memang benar bahwa dia sudah menguasai ilmu baru seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi diapun dapat menduga bahwa selama ini tentu Kam Hong juga memperdalam ilmunya!

   Baru tiupan sulingnya tadi saja sudah membuat dia dapat mengerti akan kelihaian lawan ini. Maka teringatlah dia akan muridnya yang diandalkan dan cepat dia mengerahkan khi-kangnya. Suaranya hanya terdengar lirih, akan tetapi sebenarnya suara itu dibawa oleh tenaga khi-kang sampai jauh sekali.

   "Ceng Liong, cepat engkau ke sinilah....!!

   Kam Hong tersenyum.

   "Mo-ong, apakah tiga lawan dua masih belum cukup untukmu? Haruskah engkau mendatangkan teman lagi untuk mengeroyok kami?!

   Ucapan yang halus ini lebih menusuk daripada makian. Hek-i Mo-ong menjadi merah mukanya dan diapun mengeluarkan suara gerengan. Akan tetapi sebelum dia menggerakkan tubuhnya, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya sudah lebih dulu maju menyerang Bu Ci Sian. Begitu maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya mengeluarkan ilmnnya yang istimewa, yaitu Kiam-ci yang merupakan ilmu andalan mendiang gurunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Suara mencicit terdengar ketika jari-jari tangannya menyambar ke arah lawan. Ci Sian sudah mengenal ilmu ini dan tahu akan kehebatannya, maka iapun sudah mengebutkan sulingnya menghalau dan balas menotok.

   Dari samping, Tek Ciang mengirim serangan hebat karena pemuda ini menggunakan Ilmu Thian-te Hong-i (Badai Langit Bumi) yang dahulu pernah menjadi ilmu andalan dari Sam-ok Ban Hwa Sengjin. Tubuhnya berpusingan dan dari pusingan itu mencuat lengannya yang mengirim serangan amat cepat dan kuatnya! Ci Sian terkejut, tidak mengira bahwa laki-laki muda ini demikian hebat sudah menguasai ilmu andalan dari Sam-ok yang pernah menjadi musuh lamanya, maka iapun cepat menyambut lengan lawan yang menyerang dengan totokan ke arah pergelangan tangan.

   Melihat kecepatan wanita ini, Tek Ciang terpaksa menarik kembali lengannya. Dia tahu bahwa betapapun cepat serangannya tadi, kalau dilanjutkan, dia kalah cepat dau sebelum tangannya mengenai tubuh lawan, tentu pergelangan tangannya akan tercium ujung suling dan akibatnya tentu hebat.

   Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga sudah menyerang Kam Hong. Karena maklum akan kelihaian pendekar itu, begitu menyerang Hek-i Mo-ong sudah mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya. Dia tidak mau mencoba untuk menggunakan kekuatan sihirnya, maklum betapa kuatnya sin-kang dan khi-kang pendekar itu yang tidak akan dapat ditundukkan oleh kekuatan sihirnya. Maka diapun sudah menyerang dengan hebat, menggunakan tombaknya menyerang dan kipas merahnya menyambar ke arah muka, mendahului tombak yang menusuk ke arah perut. Serangan ini amat hebatnya karena Hek-i Mo-ong tidak mau berlaku sungkan dan begitu menyerang telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya!

   "Tringg.... trakkk....!! Hebat sekali cara Kam Hong mencabut suling dan mempergunakannya. Sekali bergerak, suling itu menangkis tombak dan kipas berturut-turut dan lawannya terdorong dua langkah ke belakang! Hek-i Mo-ong terkejut, jelaslah bahwa selama ini Kam Hong telah melatih diri dan tenaga sin-kangnya menjadi jauh lebih hebat daripada dahulu. Dia harus mengakui bahwa dia kalah kuat dalam mengadu tenaga sin-kang.

   "Hiyeeeeehhhh!! Dia mengeluarkan bentakan aneh dan tangan kiri yang sudah menyimpan kipasnya itu kini menyambar ke depan dengan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala. Gerakan itu sedemikian hebat dan cepatnya dan mengandung hawa yang menyeramkan, seperti digerakkan oleh tenaga mujijat. Itulah Ilmu Coan-kut-ci yang selama itu dilatih secara tekun oleh kakek ini bersama muridnya! Entah sudah berapa banyak tengkorak yang menjadi bulan-bulan jari-jari tangannya ketika dia berlatih. Dan sebelum serangan dengan ilmu menyeramkan ini dilakukan, tombaknya juga sudah menyambar lebih dahulu ke arah lambung lawan!

   Kini Kam Hong terkejut bukan main. Dia tidak mengenal ilmu serangan aneh itu, akan tetapi dengan tenang dia menghantamkan lengan kirinya menyambut tombak, sambil mengerahkan sin-kang sekuatnya. Karena pada saat itu Hek-i Mo-ong lebih mencurahkan tenaganya pada tangan kiri yang mencengkeram dengan Ilmu Coan-kut-ci, maka pegangan pada tombaknya tidak begitu kuat, dan tombaknya itupun tadi hanya menggertak saja, sedangkan serangan dipusatkan pada tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu. Karena itu, begitu kena dihantam oleh lengan kini Kam Hong, tombaknya terlepas dan terlempar jauh. Akan tetapi jari-jari tangan kirinya sudah menyambar ke arah kepala dengan kedahsyatan yang mengerikan. Akan hancurlah kepala itu kalau terkena cengkeraman itu!

   Kam Hong mengenal bahaya. Tangan kirinya sudah mencabut kipasnya dan kini sekali bergerak, kipasnya yang berkembang menyambut cengkeraman sedangkan dia sendiri melempar kepala ke belakang.

   "Bretttt....!! Kipas itu hancur berkeping-keping terkena cengkeraman Coan-kut-ci dan Kam Hong terpaksa melanjutkan lemparan tubuhnya ke belakang, bergulingan dan meloncat bangun. Kipasnya hancur dan dia melemparkan kipasnya. Keadaan mereka seperti satu lawan satu. Tombak Hek-i Mo-ong terlempar dan kipas Kam Hong juga hancur. Kam Hong tersenyum gembira. Ternyata lawannya ini jauh lebih lihai daripada dahulu dan tentu saja memperoleh lawan yang demikian kuatnya, timbul kegembiraannya.

   "Mo-ong, engkau makin tua makin hehat saja!! katanya dengan tenang dan gembira, seolah-olah dia baru saja tidak terancam bahaya dan nyaris pecah kepalanya! Kini Kam Hong menerjang dengan sulingnya. Demikian hebat terjangannya sehingga Hek-i Mo-ong terpaksa meloncat ke sana-sini sambil terus mengerahkan Ilmu Coan-kut-ci yang hebat itu. Ketika dia terdesak oleh gulungan sinar emas suling, tiba-tiba dia membuka mulutnya dan uap putih yang amat panas menyambar ke arah muka Kam Hong!

   Kembali pendekar ini terkejut. Dia tidak mengenal Ilmu Tok-hwe-ji itu, tapi dia tahu bahwa uap itu berbahaya sekali. Cepat dia meloncat ke samping dan dari samping dia memutar sulingnya. Untung dia melakukan ini karena serangan Tok-hwe-ji tadi sudah disusul dengan cengkeraman tangan maut itu lagi. Pemutaran suling menahan serangan ini karena Hek-i Mo-ong juga maklum bahwa sekali tubuhnya tertotok suling, tentu dia akan celaka. Mereka bertanding lagi dengan hati-hati karena maklum bahwa lawan masing-masing sungguh tak boleh dihadapi dengan ceroboh.

   Sementara itu, Bu Ci Sian juga mendapat kenyataan bahwa dua orang pengeroyoknya itu lihai bukan main, dan terutama sekali yang muda! Tak disangkanya bahwa laki-laki muda itu malah jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan Jai-hwa Siauw-ok! Yang membuat ia terheran-heran adalah ketika mengenal pukulan-pukulan dari ilmu silat keluarga Pulau Es!

   Ia sendiri pernah menerima pelajaran penggabungan tenaga Im dan Yang dari Suma Kian Bu, dan kini ia melihat betapa laki-laki muda yang mengeroyoknya itu bahkan pandai sekali memainkan ilmu sakti dari Pulau Es yang pernah dilihatnya, yaitu Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang! Ia terheran-heran mengapa ada murid Pulau Es yang membantu penjahat macam murid Im-kan Ngo-ok ini. Akan tetapi karena tidak ada keseanpatan lagi bertanya, iapun mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menghalau setiap serangan dengan memutar sulingnya yang memiliki kecepatan dan kekuatan luar biasa itu.

   Melihat betapa dia dan gurunya dapat menandingi wanita yang hebat ini, timbul kegembiraan di hati Tek Ciang dan laki-laki yang cerdik ini lalu mempergunakan siasat untuk memancing kemarahan Ci Sian.

   "Ha-ha, suhu, perempuan ini lebih montok daripada puterinya. Biarlah ia nanti diserahkan kepadaku saja. Timbul berahiku melihatnya, suhu!! Mendengar ucapan ini, Jai-hwa Siauw-ok maklum akan akal muridnya dan iapun tertawa bergelak untuk memanaskan hati lawan.

   Akal muslihat Tok Ciang ini memang baik sekali untuk memanaskan hati lawan dan orang yang sedang bertanding, sungguh merupakan pantangan besar untuk membiarkan hatinya panas dan marah. Kemarahan mengurangi kewaspadan. Akan tetapi tentu saja kalau akal itu ditujukan kepada orang lain baru akan berhasil. Terhadap suami isteri itu, akal Tek Ciang malah mendatangkan malapetaka bagi dia dan kawan-kawannya sendiri. Tadinya, Kam Hong dan Ci Sian hanya mengerahkan ilmu dan tenaga mereka yang biasa saja untuk menghadapi lawan karena memang mereka yang sudah belasan tahun menjauhkan pertikaian itu tidak berniat untuk mencelakai lawan.

   Cukup asal dapat menahan mereka dan mengusir mereka saja. Akan tetapi, ucapan Tek Ciang yang amat menghina tadi sama sekali tidak dapat memanaskan hati Ci Sian atau Kam Hong, hanya mendatangkan rasa khawatir karena mereka berdua teringat akan puteri mereka yang disebut oleh Tek Ciang tadi. Mereka khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan puteri mereka. Siapa tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat ini! Dan kekhawatiran inilah yang membuat suami isteri itu merobah gerakan mereka. Mereka hendak mengakhiri perkelahian itu secepatnya untuk dapat segera menengok puteri mereka yang berada sendirian saja, hanya ditemani enam orang pelayan di dalam istana tua.

   Kini terjadilah keajaiban. Bukan hanya permainan suling mereka yang berobah, akan tetapi terdengarlah bunyi suara melengking-lengking dari suling mereka. Terutama sekali suling di tangan Kam Hong mengeluarkan bunyi melengking demikian kuatnya sehingga Hek-i Mo-ong merasa kedua telinganya seperti ditusuk-tusuk pedang. Dia terkena pengaruh yang paling hebat, sedangkan dua orang kawannya juga menjadi pusing oleh serangan suara suling yang melengking-kngking itu. Permainan silat mereka kacau-balau dan kesempatan ini dipergunakan oleh suami isteri pendekar itu untuk mendesak.

   Mula-mula Hek-i Mo-ong yang terkena pukulan suling pada dadanya. Tidak begitu keras, akan tetapi akibatnya, kakek ini muntah darah dan roboh, terus bergulingan sampai jauh. Kam Hong tidak mengejarnya, melainkan membantu isterinya dan dengan cepat mereka juga telahmengalahkan dua orang lawannya. Suling di tangan Ci Sian berhasil menotok lambung Tek Ciang. Pemuda ini berteriak kesakitan dan terjengkang lalu bergulingan, sedangkan pundak Jai-hwa Siauw-ok juga terkena hantaman suling Kam Hong. Tulang pundaknya remuk dan diapun terpelanting jauh.

   "Mari pulang!! kata Kam Hong kepada isterinya dan tanpa memperdulikan tiga orang yang sudah terluka parah itu, suami isteri ini mempergunakan ilmu lari cepat seperti terbang menuju ke istana tua tempat tinggal mereka.

   Mereka memasuki semua ruangan akan tetapi rumah besar itu kosong. Ketika mereka berlari-larian memasuki taman, mereka berseru kaget melihat tubuh keenam orang pelayan mereka malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Akan tetapi seorang di antara mereka masih merintih. Cepat Kam Hong dan Ci Sian berlutut di dekat orang itu. Sekali pandang saja tahulah mereka bahwa orang inipun tak mungkin tertolong lagi karena kepalanya retak.

   "Mana.... mana nona?! tanya Ci Sian.

   Orang itu mengumpulkan kekuatan terakhir.

   "Nona.... nona.... dilarikan.... seorang di antara.... mereka, seorang pemuda....! dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan terkulai, tewas.

   Tentu saja suami isteri pendekar itu terkejut bukan main. Mereka tidak tahu ke mana puteri mereka dilarikan orang dan siapa pula yang melarikannya. Bagaimana mereka akan dapat melakukan pengejaran?

   "Iblis-iblis itu! Mereka tentu tahu ke mana Bi Eng dilarikan!! tiba-tiba Kam Hong berkata dan diapun meloncat dan lari, diikuti isterinya.

   "Kulumatkan kepala orang-orang itu kalau anakku diganggu!! teriak Bu Ci Sian yang teringat bahwa laki-laki pesolek setengah tua itu berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang penjahat pemerkosa wanita!

   Dengan kecepatan seperti terbang saja, suami isteri pendekar perkasa itu lalu lari ke tempat di mana mereka merobohkan tiga orang lawan tadi. Akan tetapi, betapa kaget, gelisah dan marah rasa hati mereka ketika mereka tidak menemukan tiga orang bekas lawan yang telah mereka lukai tadi di tempat itu. Mereka mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka.

   Tentu saja suami isteri ini menjadi bingung sekali dan mereka lalu mencari di sekitar puncak Bukit Nelayan, bahkan setelah gagal mereka lalu menjelajahi Pegunungan Tai-hang-san untuk mencari puteri mereka yang dilarikan orang. Sebelumnya, mereka minta bantuan penduduk yang tinggal di dusun terdekat untuk mengurus mayat enam orang pelayan mereka, sedangkan mereka sendiri terus mencari-cari tanpa jejak dan tujuan tertentu. Selama belasan tahun hidup dalam keadaan aman dan tenteram, baru sekaranglah suami isteri pendekar itu mengalami bencana yang menggelisahkan hati mereka.

   Ceng Liong memang tidak pergi jauh. Setelah melihat betapa dara remaja yang lihai itu terpukul roboh oleh Tek Ciang yang mempergunakan siasat curang, hatinya merasa penasaran sekali. Hanya karena sungkan kepada gurunya maka dia tidak mau mencampuri perkelahian itu, akan tetapi hatinya berpihak sepenuhnya kepada gadis yang tidak berdosa itu dan diam-diam dia merasa tidak suka sekali kepada Tek Ciang yang dianggapnya tak tahu malu dan jahat.

   Maka begitu melihat nona itu terpukul roboh dan pingsan, dia lalu mendekati lalu menyambar tubuh dara itu, dipanggul dan dibawanya pergi. Dia tidak memperdulikan teguran Tek Ciang dan hanya berkata kepada gurunya bahwa dia hendak berusaha mengobati dara itu. Dia sudah memperhitungkan bahwa andaikata Tek Ciang menghalanginya, tentu dia akan menyerang murid Jai-hwa Siauw-ok itu dan menghajarnya. Akan tetapi, berkat kehadiran Hek-i Mo-ong, Tek Ciang dan gurunya tidak berani menghalanginya maka Ceng Liong cepat membawa tubuh yang pingsan itu menuruni lereng.

   Setelah tiba di tempat sunyi, dia menurunkan tubuh itu di bawah sebatang pohon. Dengan hati-hati dia merebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas tanah dan memeriksanya sejenak. Dilihatnya wajah yang jelita itu pucat kehijauan, napasnya tinggal satu-satu dan detik jantungnya lemah, juga tubuhnya lunglai dan lemas tak berdaya sama sekali. Ketika dia membuka kelopak mata, ternyata mata itu kehilangan cahayanya.

   Baju di pundak kanan nona itu hancur dan kulit pundak kanan nampak matang biru kehijauan. Agaknya pukulan ampuh dari Tek Ciang tadi mengenai pundak kanan ini. Ketika disentuhnya pundak itu, Ceng Liong merasa betapa bagian itu amat dinginnya, seperti ada esnya di bawah kulit. Hemm, kiranya pukulan ampuh itu mengandung hawa dingin, pikirnya.

   Dia bukan ahli pengobatan, akan tetapi merantau selama bertahun-tahun dengan seorang sakti seperti Hek-I Mo-ong, sedikit banyak membuka matanya dan diapun tahu bahwa dara itu menjadi korban pukulan yang memiliki dasar tenaga sakti Im. Maka diapun lalu meletakkan telapak tangannya pada pundak dan perut dara itu, kemudian perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga panas Hwi-yang Sin-kang disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Tangan yang menempel di pundak berusaha untuk mengusir hawa dingin yang meracuni tubuh nona itu, sedangkan yang menempel di perut dimaksudkan untuk mengalirkan sin-kangnya ke dalam pusar nona itu untuk membantu nona itu membangkitkan kombali sin-kangnya.

   Dengan hati-hati dan penuh ketekunan Ceng Liong menyalurkan sin-kangnya yang panas, dan tiba-tiba nona itu mengeluarkan suara rintihan. Giranglah hatinya ketika melihat betapa tubuh itu mulai dapat bergerak dan pernapasannya mulai kuat, juga telapak tangannya merasa betapa detak jantung nona itu tidak selemah tadi. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut dan gelisah adalah ketika melihat bahwa warna kehijauau pada wajah dara remaja itu menjadi semakin gelap!

   Pemuda remaja ini sama sekali tidak tahu bahwa Hwi-yang Sin-kang yang disalurkan pada tubuh dara itu memang benar mampu mengusir hawa dingin dari pukulan Hoa-mo-kang, akan tetapi sama sekali tidak mampu mengeluarkan racun yang terkandung dalam hawa dingin itu. Maka, nona itu hanya terbebas dari rasa nyeri saja, akan tetapi tidak terbebas dari racun yang kini ditinggalkan hawa dingin dan mulai meracuni jalan darahnya!

   Betapapun juga, ada rasa girang di hati Ceng Liong ketika melihat nona itu membuka kedua matanya. Sesaat dua pasang mata itu bertemu dan bertaut. Nona itu kelihatan terkejut dan hendak meronta, akan tetapi ketika merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya dari pundak dan perut, puteri suami isteri pendekar sakti inipun mengerti bahwa pemuda yang duduk bersila di dekatnya ini sedang berusaha mengobatinya. Maka iapun diam saja, bahkan ia lalu mcnerima hawa panas yang memasuki perutnya itu dan mencoba untuk membangkitkan hawa sin-kangnya sendiri dari dalam tiantan (pusar). Akan tetapi, begitu ia mencoba mengerahkan sin-kang, ia merasakan kenyerian hebat di perutnya dan iapun mengeluh.

   "Aduuuhhh....!!

   Mendengar keluhan ini dan mendengar pula perut dara itu mengeluarkan bunyi berkeruyuk, Ceng Liong terkejut dan melepaskan kedua tangannya, lalu bangkit sambil membantu nona itu bangkit duduk.

   "Bagaimana? Sakitkah rasanya? Mana yang sakit?! tanyanya dengan wajah khawatir.

   Bi Eng adalah seorang dara lincah dan tabah. Ia segera teringat bahwa mengeluh merupakan suatu kecengengan dan tidak pantas bagi seorang gagah, maka sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri yang mengaduk perutnya, ia menggeleng kepala.

   "Tidak sangat nyeri.... eh, bukankah engkau yang datang bersama iblis-iblis itu?!

   Ceng Liong menarik napas panjang dan menundukkan mukanya sebentar, lalu diangkatnya lagi memandang wajah yang masih kehijauan itu.

   "Benar, aku adalah.... eh, murid Hek-i Mo-ong.!

   Wajah yang gelap kehijauan itu nampak kaget. Memang, Bi Eng sering mendengar cerita ayah ibunya tentang dania kang-ouw, juga tentang tokoh-tokoh sesat dan Hek-i Mo-ong pernah disebut oleh ayahnya sebagai seorang di antara para datuk sesat yang paling berbahaya dan lihai. Akan tetapi menurut ibunya, tokoh ini pernah dikalahkan oleh ayahnya dan sekarang pemuda itu menyebut nama Hek-i Mo-ong. Dara inipun teringat akan kakek berjubah hitam yang tua renta tadi. Seperti itulah penggambaran orang tuanya tentang diri Hek-i Mo-ong.

   "Jadi kakek berjubah hitam tadi Hek-i Mo-ong dan engkau muridnya? Lalu mengapa engkau.... berusaha mengobati dan menolongku?!

   Melihat betapa dara itu memandang kepadanya dengan sinar mata amat tajam penuh selidik, Ceng Liong menunduk lagi. Dara itu memiliki sepasang mata yang amat indah dan tajam, membuat dia merasa tidak enak untuk menentang pandang matanya, apalagi karena dia merasa malu akan sekutunya.

   
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mo-ong dan aku sudah berjanji bahwa aku hanya belajar ilmu silat darinya, bukan mempelajari kejahatannya. Aku melihat engkau tidak berdosa dan engkau dirobohkan secara curang oleh murid Jai-hwa Siauw-ok itu, maka aku membawamu ke sini untuk mengobatimu, akan tetapi aku bodoh dan tidak tahu bagaimana caranya....!

   Hati Bi Eng merasa tertarik sekali.

   "Aneh.... engkau menjadi murid iblis itu dan engkau.... berani menentangnya?!

   "Mo-ong baik kepadaku, sayang aku tidak dapat merobah wataknya.... tapi.... aku menjadi bingung bagaimana aku harus mengobatimu, nona?!

   "Engkau sudah berhasil, aku sudah siuman dan tidak merasa sangat nyeri lagi....!

   "Tapi.... wajahmu masih berwarna gelap kehijauan, tanda keracunan. Aku khawatir sekali.!

   Bi Eng memaksa senyum.

   "Bagaimanapun juga, engkau sudah menyelamatkan dan menolongku, mungkin tanpa kau turun tangan, aku sudah mereka bunuh. Tentang pengobatan, biarlah ayah ibuku yang akan mengobatiku. Eh, siapa namamu?!

   "Namaku Ceng Liong.... dan.... dan engkau, nona?!

   "Aku Kam Bi Eng dan orang tuaku....!

   "Aku sudah tahu dan mendengar dari mereka. Ayahmu seorang pendekar keturunan keluarga Pendekar Suling Emas, bernama Kam Hong, dan ibumu bernama Bu Ci Sian.!

   "Ah, mereka itu sedang mencari ayah dan ibu! Mari kita kembali ke sana....! Dara remaja itu bangkit berdiri, akan tetapi ia segera memegangi kepalanya dan memejamkan matanya, terhuyung-huyung sehingga terpaksa Ceng Liong menangkap lengannya agar dara itu tidak sampai jatuh.

   "Kenapa, nona....?!

   "Kepalaku.... ah, kepalaku pening sekali....! Terpaksa Bi Eng duduk kembali dan setelah duduk barulah ia dapat membuka kedua matanya walaupun masih agak pening. Sepasang matanya nampak kemerahan dan Ccng Liong menjadi semakin khawatir.

   "Bagaimana rasanya, nona? Apakah engkau tidak dapat berjalan....?!

   Bi Eng menggeleng kepala.

   "Jangankan berjalan, baru berdiri saja rasanya tanah sekelilingku berombak dan kepalaku pening bukan main.!

   "Kalau begitu, mari kupondong engkau....!

   "Ihh! Tidak sudi! Jangan kurang ajar engkau, Ceng Liong!! Tiba-tiba Bi Eng menghardik. Pemuda remaja itu memandang dengan mata terbelalak. Selama ini sudah beberapa kali dia bertemu anak perempuan dan selalu sikap mereka itu aneh-aneh. Agaknya nona inipun tidak terkecuali, baru bertemu sudah membuat dia bingung karena wataknya yang aneh.

   "Apa salahnya? Bukankah ketika membawamu ke sini akupun memanggulmu, nona? Apanya yang kurang ajar?! dia membantah penasaran.

   Agaknya Bi Eng menyadari bahwa dengan tergesa-gesa ia telah menuduh orang. Ia teringat betapa Ceng Liong telah berusaha mengobatinya dan sedikitpun tdak memperlihatkan tanda-tanda atau sikap kurang ajar. Iapun tersenyum.

   "Maafkan, Ceng Liong, dan jangan engkau menyebut nona-nonaan segala kepadaku. Namaku Bi Eng, lupakah engkau?!

   Ceng Liong semakin heran. Dara ini sikapnya berubah-ubah seperti angin di musim hujan! Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangguk.

   "Baiklah, Bi Eng. Bagaimana sekarang baiknya? Engkau harus cepat diobati oleh ahli dan kalau orang tuamu dapat mengobatimu, itu baik sekali. Akan tetapi engkau tidak dapat berjalan sendiri, dan tidak mau kupondong....!

   "Siapa bilang tidak mau?!

   "Engkau tadi....!

   "Bukankah aku sudah minta maaf? Kalau memang perlu kau pondong dan engkau memondongnya dengan sungguh-sungguh, bukan untuk main-main, tentu saja aku mau.!

   Ceng Liong menggeleng-gelengkan kepala dan mengangkat pundak, merasa bodoh dan tidak dapat menyelami hati wanita.

   "Kalau begitu marilah, non.... eh, Bi Eng.! Dia lalu menggunakan kedua lengannya untuk memondong tubuh dara remaja itu, bukan memanggulnya seperti tadi. Kini Bi Eng tidak pingsan, tentu saja tidak baik kalau dipanggulnya seperti tadi. Dan begitu dipondong, tanpa ragu-ragu lagi Bi Eng juga merangkulkan lengan kanannya pada pundak dan leher Ceng Liong.

   "Tidakkah terlalu berat, Ceng Liong?! tanya Bi Eng, tidak enak hati karena ia merasa mengganggu pemuda itu.

   "Engkau? Berat? Tidak, engkau ringan sekali, Bi Eng. Sepuluh kali beratmupun aku masih mampu mengangkatnya.!

   "Hemm, jangan sombong. Kalau saja aku tidak keracunan dan dapat mengerahkan sin-kang, hendak kulihat apakah engkau akan mampu memondongku....!

   Tiba-tiba Ceng Liong menghentikan langkahnya ketika melihat tiga orang sekutunya berlari turun dari puncak dan wajah mereka namnak pucat. Tadi ketika dia sedang mengobati Bi Eng, dia mendengar suara suhunya memanggil, akan tetapi dia sengaja diam saja tidak menjawab karena hatinya masih mendongkol melihat kecurangan Tek Ciang dan juga dia sedang mengobati Bi Eng sehingga tidak ada waktu untuk memenuhi panggilan gurunya. Kini dia melihat mereka turun dan melihat gelagatnya, mereka bertiga itu sedang menderita luka.

   Memang demikianlah. Tiga orang itu, Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang melarikan diri dari puncak dalam keadaan menderita luka oleh pukulan-pukulan suling suami isteri yang sakti itu.

   Begitu melihat nona yang dirobohkannya itu dipondong dengan amat mesranya oleh Ceng Liong, Tek Ciang menjadi marah sekali. Dia yang merobohkan, pemuda ingusan itu yang menikmati hasilnya sedangkan dia dan garunya terluka oleh orang tua gadis itu!

   "Ceng Liong, ia milikku, berikan kepadaku!! kata Tek Ciang sambil menyerang ke depan, menubruk dan hendak merampas tubuh Bi Eng dari pondongan Ceng Liong. Namun dengan sigapnya Ceng Liong meloncat dan menghindarkan tubrukan Tek Ciang.

   "Berikan sandera ini kepadaku!! Jai-hwa Siauw-ok juga berteriak dan kakek cabul ini menubruk pula ke depan. Ceng Liong terkejut dan kembali dia melompat ke kiri untuk mengelak. Kini guru dan murid itu menghadapinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam. Ceng Liong menjadi bingung. Melawan mereka dia tidak takut. Akan tetapi kalau kedua lengannya memondong tubuh Bi Eng, bagaimana dia akan mampu melawan mereka yang lihai itu? Dan menurunkan dulu tubuh Bi Eng lalu menghadapi mereka, dia khawatir kalau-kalau seorang di antara mereka akan merampas dan mencelakai dara itu. Dia sudah mengenal watak mereka yang cabul dan jahat.

   "Perlahan dulu!! Tiba-tiba Hek-i Mo-ong melangkah maju menghadapi guru dan murid itu. Ceng Liong melihat betapa gerakan gurunya ini lemah bahkan wajah gurunya amat pucat, napasnya juga memburu tanda bahwa gurunya itupun terluka, mungkin lebih parah daripada luka yang diderita oleh guru dan murid cabul itu. Dan memang sesungguhnya begitulah. Luka dalam yang diderita oleh Hek-i Mo-ong paling parah. Akan tetapi, melihat muridnya diancam oleh kedua orang itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan membelanya.

   Melihat Hek-i Mo-ong maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya menjadi marah. Mereka kini tidak merasa takut lagi karena mereka berdua maklum bahwa iblis tua itu telah menderita luka yang lebih parah daripada mereka.

   "Mo-ong, sandera ini harus kutawan untuk memaksa ibunya tunduk kepadaku!! katanya.

   "Aku yang tadi merobohkannya, maka akulah yang berhak memilikinya!! kata pula Tek Ciang.

   Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.

   "Siauw-ok, kalau muridku tidak membolehkannya, berarti akupun tidak membolehkan kalian merampas gadis ini. Pergilah dan jangan ganggu kami lagi!!

   Akan tetapi, sekali ini Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya tidak mau mentaati perintah kakek iblis itu. Mereka melawan bukan hanya karena ingin memiliki gadis itu, melainkan terutama sekali mengingat akan keselamatan mereka sendiri. Setelah mereka dihajar oleh suami isteri dari Istana Khong-sim Kai-pang, mereka menjadi gentar sekali.

   Kalau suami isteri itu mengetahui bahwa puteri mereka terculik, apalagi terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok, tentu mereka berdua akan melakukan pengejaran dan celakalah kalau sampai suami isteri itu dapat mengejar atau menyusul. Maka, gadis itu harus mereka kuasai untuk dijadikan sandera kalau-kalau orang tua gadis itu dapat menyusul mereka. Inilah sebabnya mengapa mereka berkeras hendak merampas Bi Eng dari tangan Ceng Liong.

   "Mo-ong, kami sama sekali tidak ingin mengganggumu, akan tetapi muridmulah yaug merusak rencana kita. Kalau tadi dia datang membantu, tentu keadaan kita lebih kuat dan belum tentu kita kalah. Dan sekarang gadis itu dirobohkan oleh muridku, maka kami berdualah yang berhak memilikinya. Serahkan gadis itu kepada kami dan kami akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi,! kata Jai-hwa Siauw-ok sambil memandang dengan mata disipitkan.

   "Setan, berani engkau menentangku, manusia rendah?! Hek-i Mo-ong marah sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, tangannya membentuk cakar menyambar ke arah ubun-ubun kepala Jai-hwa Siauw-ok. Hebat sekali serangan dengan Ilmu Coan-kut-ci ini, akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok yang sudah tahu akan kelihaian lawan, cepat meloncat ke belakang, kemudian bersama muridnya dia maju membalas dan mengeroyok Hek-i Mo-ong!

   Hek-i Mo-ong sudah terluka parah oleh pukulan suling dari Kam Hong tadi. Dadanya terasa sesak dan napasnya memburu, akan tetapi dia adalah seorang datuk sesat yang lihai sekali. Biarpun sudah terluka parah, dia menghadapi dua orang pengeroyoknya dengan gagah. Apalagi keadaan Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya juga sudah terluka, walaupun tidak separah luka yang diderita Hek-i Mo-ong namun setidaknya mengurangi kekuatan mereka.

   

Suling Emas Naga Siluman Eps 12 Jodoh Rajawali Eps 53 Jodoh Rajawali Eps 63

Cari Blog Ini