Kisah Pendekar Pulau Es 42
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 42
"Orang muda, siapakah engkau berani berlagak menggurui kami? Bagaimanapun juga, kami tetap mengambil keputusan untuk memilih bengcu dengan cara pibu! Kalau sudah begitu, engkau mau apa? Kalau kau tidak setuju, boleh angkat kaki dari sini. Dalam urusan penting ini, kami tidak membutuhkan nasihat-nasihat seorang bocah hijau seperti engkau!!
Tentu saja ucapan ini merupakan penghinaan yang memanaskan hati. Akan tetapi Ceng Liong tetap bersikap tenang, bahkan dia tersenyum. Kalau saja dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak tamu para pendekar sakti dan para locianpwe, tentu dia sudah mempermainkan kakek yang sombong ini. Kini dia harus bersikap dan bertindak tegas kalau dia menghendaki agar pertemuan itu tidak sampai berobah menjadi arena pertandingan yang akibatnya tentu akan memecah-belah kekuatan di antara mereka saja.
"Locianpwe,! katanya dengan sikap hormat.
"Bagimanapun juga, saya akan menentang pibu yang diadakan untuk pemilihan bengcu.! Ucapannya itu hormat, akan tetapi tenang dan tegas sekali. Suasana menjadi tegang ketika pemuda itu mengeluarkan ucapan ini. Betapa beraninya pemuda itu, pikir mereka. Atau lancang dan tak tahu diri? Berani menentang seperti itu kepada Giam San-jin, tokoh Pat-kwa-pai yang memiliki ilmu kepandaian hebat. Bahkan Tang Gun dan Su Ciok yang lihai itupun tadi gentar dan mundur berhadapan dengan kakek berpakaian pertapa ini.
Tentu saja Giam San-jin menjadi semakin marah. Pemuda ini menyebutnya locianpwe, berarti mengakui bahwa kedudukan dan kepandaiannya jauh lebih tinggi, akan tetapi berani menentangnya! "Orang muda, dengan ucapanmu tadi berarti bahwa engkau hendak menentangku, ataukah engkau hendak memasuki pula pertandingan pibu ini melawan aku?!
Ceng Liong menggeleng kepala.
"Harap locianpwe tidak salah mengerti. Saya tidak bermaksud ikut pibu memperebutkan kedudukan, bahkan saya menentangnya. Bukan berarti saya hendak menentang pribadi locianpwe pribadi, melainkan yang saya tentang adalah cara yang buruk dan hanya yang membuat perpecahan di antara kita itulah.!
"Hemm, orang muda, omonganmu berliku-liku akan tetapi yang jelas, engkau hendak menentang aku! Kalau aku melanjntkan pemilihan pibu ini, apakah engkau berani menentangku?!
"Demi mencegah terjadinya perpecahan, siapapun juga akan saya tentang kalau memaksakan diadakannya pibu,! jawab Ceng Liong tenang.
"Keparat! Engkau berani menentang aku? Orang muda, sebelum engkau kuhajar, katakan dulu siapa namamu?!
"Nama saya Suma Ceng Liong.!
"Suma? Engkau she Suma? Hemm, apakah ada hubungannya dengan keluarga Suma Han Pendekar Super Sakti Pulau Es?! tanya kakek Pat-kwa-pai itu terkejut.
"Saya adalah cucunya,! jawab Ceng Liong singkat, terpaksa tidak dapat merahasiakan lagi keadaan keluarganya. Pengakuan Ceng Liong itu membuat suasana menjadi semakin tegang karena siapakah yang tidak pernah mendengar tentang keluarga para pendekar Pulau Es? Kini pandang mata mereka terhadap Ceng Liong makin penuh perhatian dan semua orang ingin menyaksikan bagaimana sepak terjang seorang cucu dari Pendekar Super Sakti.
"Ha-ha-ha!! tiba-tiba terdengar suara ketawa lembut disusul suara Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-pai yang tinggi kurus itu.
"Cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, ya? Bagus, siapa tidak tahu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es adalah keluarga pendukung kaisar, pendukung pemerintah penjajah Mancu? Siapa tidak tahu bahwa isteri Pendekar Super Sakti adalah Puteri Mancu? Ingat nama Puteri Nirahai, isterinya yang menjadi panglima Mancu, dan Puteri Milana, puterinya yang juga menjadi panglima Mancu. Dan sekarang cucunya berada di sini, siapa tahu dia malah menjadi mata-mata Kerajaan Mancu!!
Tentu saja semua orang menjadi tegang mendengar kata-kata ini dan muka Ceng Liong menjadi merah. Dia mengerti bahwa Pek-lian-kauw dengan perkumpulannya, Pek-lian-pai memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada keluarga kakeknya, karena memang banyak di antara pimpinan Pek-lian-kauw yang menyeleweng dan pernah dihajar oleh keluarga kakeknya itu.
"Totiang, harap jangan sembarangan membuka mulut menyebar fitnah!! bentaknya.
Akan tetapi Giam San-jin sudah mendapat angin dengan ucapan tokoh Pek-lian-pai tadi. Dia sudah menyambar tongkatnya yang dipegang oleh seorang muridnya, sebuah tongkat baja yang kecil panjang dan kedua ujungnya meruncing. Dia memutar tongkatnya dan berteriak.
"Mata-mata Mancu atau bukan, engkau berani menentang kami dan berarti engkau harus menandingi aku dalam ilmu silat! Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!!
Ceng Liong tersenyum pahit. Tak disangkanya bahwa dalam pertemuan antara para pendekar dan patriot itu dia akan bertemu dengan orang-orang macam ini dan mengalami hal sepahit ini. Akan tetapi diapun kini maklum bahwa selama ada orang-orang seperti ini mencampuri perjuangan para patriot, maka perjuangan itu yang tadinya bertujuan mulia untuk membebaskan negara dari tangan penjajah asing, akan diselewengkan menjadi tujuan orang-orang yang berambisi mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri maupun gerombolannya. Maka, diapun harus memberantasnya!
"Giam San-jin, akupun sudah banyak mendengar bahwa Pat-kwa-pai, apalagi Pek-lian-pai, hanya namanya saja perkumpulan pendekar dan patriot, akan tetapi sesungguhnya banyak hal-hal jahat dan sewenang-wenang telah kalian lakukan. Kalau engkau memaksa perkelahian, baiklah, aku tidak pernah menggunakan senjata. Majulah, bakan pribadimu yang kulawan, melainkan sikap perpecahan yang buruk itu yang kutentang!!
"Bocah sombong! Engkau yang mencari mati sendiri!! bentak Giam San-jin yang menjadi semakin marah karena dia merasa dipandang rendah oleh pemuda itu. Seorang pemuda remaja berani menantangnya dan kini menghadapinya dengan tangan kosong, padahal dia telah mempergunakan senjatanya yang paling ampuh dan ditakuti, yaitu tongkatnya yang jarang menemui tandingan!
Kini dia menerjang maju, tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga nampaklah gulungan sinar yang mengandung banyak sekali ujung tongkat runcing yang mengeluarkan suara berdengung-dengung dan tiba-tiba saja ujung tongkat itu mencuat dan menyerang ke arah jalan darah di tubuh Ceng Liong secara bertubi-tubi! Serangan itu hebat sekali karena makin dielakkan, makin meningkat bahaya serangannya, makin gencar dan makin kuat!
Akan tetapi sekali ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menghadapi Suma Ceng Liong. Biarpun masih muda, akan tetapi Suma Ceng Liong telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan di samping itu dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, menghadapi hujan serangan tongkat yang bergerak dengan amat cepatnya itu dia bersikap tenang saja.
Tubuhnya mengelak berloncatan ke sana-sini dan kadang-kadang kalau dia tidak dapat mengelak lagi, dia hanya menggerakkan tangannya dan jari-jari tangan itu menyentil ke arah ujung tongkat yang menotok. Setiap kali ujung tongkat bertemu dengan jari tangannya, terdengar suara berdencing dan ujung tongkat itupun terpental seperti ditangkis oleh benda yang keras dan kuat sekali! Sampai habis jurus itu dimainkan Giam San-jin, tidak satu kalipun totokan-totokannya menemui sasaran!
Tentu saja hal ini membuat kakek itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia sengaja mengeluarkan jurus simpanan ketika menyerang untuk pertama kalinya. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan keluarga pendekar Pulau Es, maka begitu menyerang dia mengeluarkan jurus simpanannya. Akan tetapi ternyata bahwa jurus yang ampuh itu dapat disambut dan dihindarkan oleh pemuda itu tanpa banyak kesulitan! Padahal, ilmu serangannya tadi adalah jurus dari Pat-kwa-pai yang ampuh, yang gerakannya didasari perhitungan pat-kwa dan memenuhi delapan penjuru, menutup semua kemungkinan jalan keluar.
Namun, lawannya dapat menyelamatkan diri dengan baiknya, seolah-olah sudah tahu akan rahasia pat-kwa. Dan memang, dia tidak tahu bahwa pemuda ini tentu saja sudah hafal akan rahasia pat-kwa. Di dalam keluarga para pendekar Pulau Es, terdapat ilmu-ilmu Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa) dan Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang kesemuanya berdasarkan garis-garis pat-kwa. Apalagi Ceng Liong, bahkan sudah mempelajari gabungan kedua ilmu itu. Dengan demikian serangannya yang didasari perhitungan pat-kwa tadi baginya seperti permainan kanak-kanak saja.
Dalam kemarahan dan penasarannya, Giam San-jin menghujankan serangan-serangan lain yang kesemuanya merupakan serangan maut yang mengancam nyawa. Ceng Liong sengaja menghadapinya dengan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan saja, bahkan ketika menangkis dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Dia masih merasa segan untuk mengalahkan kakek ini dalam beberapa gebrakan. Bukan maksudnya untuk membikin malu orang dalam pertemuan itu. Bagaimanapun juga, dia hendak mencegah adanya perasaan dendam agar pertemuan itu dapat berlangsung dengan baik.
Akan tetapi, sikap mengalah Ceng Liong ini disalahartikan oleh Giam San-jin. Biarpun kakek ini terhitung seorang yang berkedudukan tinggi dan memilki tingkat kepandaian tinggi sehingga dia sudah dapat melihat dari gerakan-gerakan lawan bahwa lawannya ini biarpun masih muda akan tetapi lihai bukan main, namun sifatnya yang selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain membuat dia mengira bahwa sikap Geng Liong yang tidak pernah membalas itu bukan mengalah, melainkan takut! Maka diapun menyerang semakin ganas lagi karena dia berpendapat bahwa lawan yang sudah gentar atau takut akan mudah dirobohkan.
Setelah lewat dua puluh jurus dan lawannya tidak mau tahu bahwa dia sudah banyak mengalah, Ceng Liong menjadi gemas juga. Kakek ini memang tidak tahu diri. Biarpun dia masih segan untuk membikin malu, akan tetapi dia mengambil keputusan untuk merampas tongkat lawan agar terbuka mata lawan bahwa dia akan mudah mengalahkannya kalau memang dia mau. Dua puluh jurus sudah cukup lama baginya untuk melihat bagian-bagian gerakan lawan yang mengandung kelemahan.
Pada saat itu Giam San-jin menggerakkan tongkatnya dengan cepat dan kilat, menyapu ke arah pinggang Ceng Liong. Gerakan ini berbahaya sekali dan karena cepatnya, maka agak sukar bagi pemuda itu untuk mengelak dan kalau ditangkis, diapun akan menghadapi hantaman tongkat yang mengandung pengerahan tenaga sekuatnya dari kakek pertapa itu.
"Hyaaaat....!! Ceng Liong mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandang mata lawan karena dia sudah meloncat ke atas dengan kecepatan seperti seekor burung terbang saja. Tongkat yang menyambar itu lewat di bawah kakinya dan pemuda ini menggunakan kedua tangannya untuk menotok ke arah kedua pundak lawan. Cepat bukan main gerakannya ini. Giam San-jin terkejut bukan main, akan tetapi diapun bukan seorang lemah.
Kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biarpun serangan Ceng Liong yang datangnya tiba-tiba dan tidak terduga-daga itu memang mengejutkan, namun dalam keadaan terancam bahaya itu dia masih mampu menyambut dengan serangan rambut panjang riap-riapan itu ke arah leher Ceng Liong! Rambut itu bergerak seperti ujung cambuk dan menotok ke arah jalan darah maut di tenggorokan lawan. Ini memang merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan kakek itu, dan amat berbahaya karena rambut itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata lain. Dengan pengerahan sin-kangnya, rambut itu menjadi kaku dan menotok jalan darah seperti ujung tongkat atau jari tangan yang keras.
Akan tetapi Ceng Liong sudah waspada. Dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka menghadapi serangan balasan yang mendadak itu diapun bersikap tenang saja. Tangan kiri yang tadi menotok pundak lawan ditariknya untuk menangkis serangan rambut itu sedangkan tangan kanannya masih meneruskan totokan ke arah pundak kiri lawan. Giam San-jin miringkan tubuhnya untuk menyelamatkan pundak. Pundaknya memang terhindar dari totokan yang akan melumpuhkan lengan, akan tetapi tangan kanan Ceng Liong itu masih menyerempet pangkal lengan di bawah pundaknya.
"Plakk....!! Baju di bagian itu robek dan Giam San-jin terhuyung-huyung, mukanya berubah merah sekali.
"Maaf, locianpwe, harap suka menghentikan serangan!! Ceng Liong berkata sambil menjura dengan harapan kakek itu menyudahi pertandingan yanq tidak diharapkan itu.
Akan tetapi kakek itu sudah memuncak kemarahannya sehingga dia menjadi mata gelap dan dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat melihat kenyataan bahwa lawannya jauh lebih unggul dan tangguh. Dia berseru.
"Aku belum kalah!! kemudian dia menyerang lagi dengan tongkatnya. Dengan cekatan Ceng Liong melompat ke samping, rasa penasaran mulai menyusup ke dalam hatinya. Kakek ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya.
Pada saat itu Ceng Liong melihat betapa kakek Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-kauw itu, bersama kedua orang tosu pembantunya, telah maju pula. Dia mengira bahwa mereka bertiga itu hendak mengeroyoknya. Akan tetapi ternyata mereka bertiga segera duduk bersila dan bersedakap, memejamkan mata. Pada saat itu Ceng Liong merasakan adanya gelombang getaran aneh yang melanda dirinya. Tahulah dia apa artinya ini. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu mempergunakan ilmu sihir untuk membantu Giam San-jin dan menyerangnya! Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, putera Pendekar Siluman Kecil dan yang mempunyai ibu seorang ahli sihir, maka tentu saja Ceng Liong tahu apa yang harus dia lakukan. Cepat dia mengerahkan tenaga batinnya.
Pada saat itu Giam San-jin sudah menyerang lagi. Kakek inipun tahu bahwa tokoh Pek-lian-kauw yang menjadi sahabatnya itu telah membantunya dengan ilmu sihir. Giranglah hatinya dan dia menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika pemuda itu menyahut hantaman tongkatnya dengan kedua tangan yang mencengkeram!
"Braaakkkk....!! Begitu tongkat bertemu kedua tangan Ceng Liong, tokoh Pat-kwa-pai itu merasa tubuhnya tergetar hebat seperti disambar petir dan diapun terpelanting keras sedangkan tongkatnya terampas oleh Ceng Liong. Dia tidak mengenal pukulan pemuda itu dan memang Ceng Liong dalam kemarahannya tadi telah mempergunakan pukulan jari tangan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yaug dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong.Pada saat itu, terdengarlah suara halus.
"Suma Ceng Liong, engkau adalah seekor anjing, hayo cepat merangkak dan menggonggong!! Suara yang penuh wibawa ini keluar dari mulut Ci Hong Tosu yang masih duduk bersila bersama kedua orang pembantunya. Mereka bertiga itu menggabungkan tenaga sakti untuk menyihir dan mempengaruhi Ceng Liong, hendakmemasukkan dan memaksa keyakinan pemuda itu bahwa dia seekor anjing yang harus merangkak dan menggonggong. Jelaslah betapa kejinya perangai tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia hendak membikin malu pemuda itu melalui kekuatan sihirnya agar semua orang melihat pemuda itu merangkak-rangkak dan menggongong-gonggong!
Gelombang tenaga yang amat kuat melanda Ceng Liong dan pemuda ini merasa betapa ada tenaga mujijat yang memaksanya agar mentaati perintah tadi. Akan tetapi, dia tahu apa artinya itu. Tiba-tiba dia melemparkan tongkat rampasannya dan menjatuhkan diri duduk di atas tanah, bukan untuk merangkak melainkan untuk bersila dan diapun menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan mengerahkan kekuatan batin untuk melindungi dirinya dari serangan gelombang tenaga yang menyihirnya itu.
Terjadilah pertandingan ilmu sihir yang tidak dapat terlihat orang lain. Akan tetapi mereka yang berada di situ dapat merasakan adanya getaran-getaran aneh yang memenuhi tempat itu dan seolah-olah dua tenaga yang berlawanan saling tarik-menarik dengan kuatnya.
Tiba-tiba terjadilah hal yang amat luar biasa. Terdengar suara seperti anjing-anjing menggonggong dan menyalak. Akan tetapi tidak ada anjing di situ dan suara gonggongan itupun aneh, bukan seperti suara anjing-anjing tulen. Dan semua orang terbelalak dengan muka pucat ketika mereka melihat tiga orang Pek-lian-pai itu, yang tadinya duduk bersila, kini sudah merangkak-rangkak sambil menggonggong dan menyalak seperti tiga ekor anjing yang kebingungan! Tentu saja peristiwa luar biasa ini membuat semua orang terkejut dan terheran-heran. Mereka teringat betapa tadi tokoh Pek-lian-kauw itu menyuruh Ceng Liong merangkak dan menggonggong. Kini mereka dapat menduga betapa ilmu sihir yang dipergunakan kakek Pek-lian-kauw itu telah membalik dan terjadi peristiwa senjata makan tuan!
Ceng Liong sendiripun terkejut dan merasa heran. Dia tadi hanya mengerahkan tenaga untuk menolak gelombang tenaga sihir yang menyerangnya dan yang seperti hendak memaksanya mengaku bahwa dia seekor anjing. Akan tetapi kenapa kini mereka bertiga yang tersihir? Apakah kekuatan sihirnya sudah menjadi sedemikian ampuhnya. Akan tetapi tiba-tiba dia tersenyum dan memandang ke kiri. Dia melihat munculnya ayah dan ibunya dan tahulah dia bahwa ibunya yang tadi turun tangan menghajar tiga orang Pek-lian-kauw yang hendak menghinanya itu!
Kiranya di antara para pendekar yang hadir di tempat itu terdapat pula Suma Kian Bu dan Teng Siang In, isterinya yang ahli dalam hal sihir itu. Pendekar ini walaupun sudah mengutus puteranya untuk mewakili mereka, masih merasa ragu-ragu dan mereka berdua pergi tak lama setelah putera mereka berangkat.
"Bagaimanapun juga, kita tidak boleh sembrono ikut bergerak dengan mereka yang hendak memberontak walaupun pada prinsipnya kita setuju,! antara lain Suma Kian Bu berkata kepada isterinya.
"Kita harus menyelidiki dulu dengan seksama akan bersihnya cita-cita itu. Pula, aku harus ingat kepada keluarga Pulau Es dan minta pendapat mereka lebih dulu.!
Isterinya setuju.
"Memang, akupun merasa khawatir dan sangsi. Sebaiknya kalau kita berunding dulu dengan keluargamu, terutama sekali kakakmu Suma Kian Lee, enci Milana dan juga Kao Cin Liong yang mempunyai kedudukan penting sebagai panglima di kota raja.!
Demikianlah, suami isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke utara. Mula-mula mereka mengunjungi Suma Kian Lee dan mendengar penuturan adiknya, Suma Kian Lee terkejut sekali.
"Bu-te, masalah ini gawat sekali!! kata Suma Kian Lee.
"Memang aku sendiripun dapat mengerti tentang jiwa patriot para pendekar yang tidak suka akan penjajahan Bangsa Mancu. Akan tetapi urusan besar itu tidak dapat dilukukan secara begitu sembrono. Apalagi kita sendiri, keluarga Pulau Es, harus berhati-hati. Betapapun juga, nenek-nenek kita adalah wanita Mancu, walaupun kita tahu bahwa enci Milana dan suaminya juga tidak suka akan penjajahan bahkan enci Milana tidak lagi mau membantu pemerintah dan mengundurkan diri bersama suaminya. Sebaiknya kalau kita bicarakan hal yang amat gawat ini dengan Cin Liong. Engkau mengenal dia. Biarpun dia seorang jenderal dan panglima perang di kota raja, akan tetapi dia adalah seorang pendekar.!
Demikianlah, mereka berempat, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka, berangkat ke kota raja. Kebetulan sekali di kota raja mereka berjumpa dengan Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, bahkan Puteri Milana bersama suaminya, pendekar Gak Bun Beng yang sudah hampir tujuh puluh tahun usianya, berada pula di kota raja dan dapatlah keluarga besar para pendekar Pulau Es itu berkumpul.
Dengan hati-hati Suma Kian Bu mengajak keluarganya berkumpul di rumah gedung Jenderal Kao Cin Liong dan dia menceritakan tentang pertemuan para pendekar di Hutan Cemara untuk merencanakan pemberontakan menggulingkan pemerintah penjajah. Tentu saja berita ini amat mengejutkan hati Gak Bun Beng dan isterinya, terutama sekali amat mengejutkan hati Kao Cin Liong yang menerima berita itu dengan gelisah.
Jenderal muda ini mengangguk-angguk.
"Saya juga dapat mengerti akan jiwa patriot itu bahkan terus terang saja, kadang-kadang ada pula rasa penasaran dalam hati saya melihat adanya penjajahan. Akan tetapi, dengan jalan mengabdi pemerintah dan melakukan tugas dengan adil dan baik berarti ikut mendorong roda pemerintahan ke jalan yang benar dan tidak menindas rakyat. Saya bingung sekali, tidak tahu harus berbuat bagaimana menghadapi berita ini.!
"Biarlah kami pergi ke sana melakukan penyelidikan lebih dahulu,! kata Suma Kian Bu.
"Setelah melihat bagaimana keadaan mereka itu, baru kita dapat menentukan sikap apa yang harus kita ambil.!
Puteri Milana yang usianya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak segar dan gagah itu lalu bicara, suaranya halus akan tetapi tegas.
"Kita anggauta keluarga Pulau Es harus melihat kenyataan bahwa dari pihak ibu kita, kita juga berdarah Mancu. Akan tetapi dalam urusan ini kita tidak boleh membiarkan diri terbuai oleh keturunan atau bangsa. Yang penting adalah rasa keadilan dan kegagahan, dan harus bertindak bijaksana. Urusan ini bukan urusan yang remeh, melainkan gawat sekali.
Kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang, hal ini bukan hanya menjadi urusan kita atau para pendekar, melainkan seluruh rakyat akan terguncang dan biasanya dalam perang akan terjatuh banyak korban. Hal ini bukan berarti bahwa aku tidak menyetujui cita-cita membebaskan tanah air daripada penjajahan, hanya caranya harus yang wajar dan hati-hati karena menyangkut kehidupan rakyat jelata.!
Setelah mengadakan perundingan dan mengemukakan kebijaksanaan-kebijaksanaan masing-masing selama hampir samalam suntuk, pada keesokkan harinya, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri mereka, berangkat menuju ke Hutan Cemara untuk melakukan penyelidikan dan peninjauan tanpa melibatkan diri sebelum mereka melihat sendiri bagaimana keadaan para patriot yang merencanakan pembebasan tanah air dari tangan penjajah Mancu itu.
Demikianlah, dengan jalan menyelinap diantara para pendekar yang memenuhi Hutan Cemara, dua pasang suami isteri pendekar ini dengan diam-diam mengikuti jalannya pertemuan dan mereka menyaksikan terjadinya kekacauan oleh sikap dan ulah para tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pang. Akhirnya, melihat Ceng Liong maju menentang tokoh Pat-kwa-pai yang kemudian dibantu oleh orang-orang Pek-lian-kauw yang menggunakan ilmu sihir, Teng Siang In menjadi marah dan nyonya ini mempergunakan keahlian sihirnya untuk membantu puteranya dan memberi hajaran keras kepada tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.
Dengan girang Suma Ceng Liong lalu berlari menghampiri ayah bundanya. Akan tetapi sebelum sempat bicara, tiba-tiba mereka dan semua orang yang berada di dalam hutan itu dikejutkan oleh suara terompet dan tambur yang dipukul dan ditiup dengan gencar. Semua orang memandang ke sekeliling dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu sudah dikurung dari jauh oleh banyak sekali pasukan tentara penyerintah! Hutan Cemara itu sudah dikepung, mungkin oleh ribuan orang tentara!
Bagaimanakah tempat itu begitu saja dikurung oleh ribuan orang tentara? Demikian para pendekar bertanya-tanya dan suasana menjadi panik. Beberapa orang pendekar mengenal dua pasang suami isteri Suma yang baru muncul, maka terdengarlah teriakan-teriakan yang dipelopori olehi Ci Hong Tosu yang sudah sadar kembali dari keadaanaya seperti anjing tadi.
"Pengkhianatan! Keluarga Pulau Es yang berkhianat. Mereka yang membawa pasukan untuk mengepung kita!!
Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dan semua mata ditujukan kepada Ceng Liong, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri. Para pendekar tergugah oleh teriakan Ci Hong Tosu tadi dan kini mereka memandang keluarga Pulau Es dengan alis berkerut.
Sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Benarkah keluarga Pulau Es yang mengkhianati para pendekar yang sedang berkumpul di tempat itu? Seperti telah kita ketahui, hal itu sama sekali tidak benar. Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu datang bersama isteri mereka saja, dan mereka datang untuk menyelidiki, bukan untuk mengkhianati dan membawa pasukan. Akan tetapi, bagaimana tiba-tiba pasukan yang besar jumlahnya itu tahu-tahu telah mengepung tempat itu? Apakah Jenderal Kao Cin Liong yang berkhianat? Juga tidak! Biarpun dia merupakan seorang panglima muda yang setia, akan tetapi diapun berjiwa pendekar dan tidak mungkin mau melakukan kecurangan dan pengkhianatan seperti itu terhadap para pendekar.
Lalu siapa pengkhianatnya? Kiranya tidak sukar untuk menebaknya. Tentu saja, yang menjadi pengkhianat adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah diceritakan di bagian depan, laki-laki yang berwatak buruk dan kotor ini telah menemukan dan merampas surat dari para pimpinan pendekar dan patriot yang ditujukan kepada Gan-ciangkun, seorang panglima di kota raja yang juga mempunyai ambisi besar untuk bersekutu dengan para pemberontak.
Seperti kita ketahui, Tek Ciang merampas surat itu dari Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai yang menerimanya dari kekasihnya, Kwee Cin Koan murid Kong-thong-pai yang juga menjadi anggauta para pendekar yang mempunyai prakarsa atas pertemuan di Hutan Cemara. Tek Ciang bukan hanya merampas surat, akan tetapi bahkan memperkosa Can Kui Eng dan kemudian dia membunuh pula Pouw Kui Lok yang masih sutenya sendiri itu, kemudian menjatuhkan fitnah kepada Pouw Kui Lok yang dilaporkannya kepada pimpinan Kun-lun-pai sebagai pemerkosa dan pembunuh Can Kui Eng! Setelah berhasil mengelabuhi para tosu Kun-lun-pai dan mencuri kitab Sin-liong Ho-kang, Tek Ciang lalu menjanjikan untuk mencari kitab itu dan pergilah manusia berhati kejam ini ke kota raja.
Dengan sikapnya yang sopan dan terpelajar, akhirnya Tek Ciang berhasil juga dihadapkan kepada kaisar dan dia melaporkan tentang pemberontakan itu, menyerahkan suratnya kepada kaisar. Tentu saja Kaisar Kian Liong merasa terkejut dan marah bukan main. Dia selalu bersikap baik dan bersahabat kepada para pendekar, maka sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa kini para pendekar sedang mengadakan persekutuan untuk memberontak kepadanya!
Dengan kemarahan memuncak, kaisar itu lalu memerintahkan pengawal pergi menangkap Panglima Gan sekeluarga dan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari itu juga perintah ini dilaksanakan dan gemparlah kota raja ketika mendengar berita bahwa Panglima Gan ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan atas perintah kaisar sendiri!
Kaisai lalu memanggil semua menteri dan hulubalangnya. Di depan mereka ini, Tek Ciang mengulang apa yang diketahuinya dan kaisar menyuruh baca surat dari para pendekar yang ditujukan kepada Panglima Gan itu.
"Sekarang juga kita harus mengirim pasukan besar ke Hutan Cemara, menangkapi semua pemberontak laknat itu. Panggil Jenderal Kao, dialah orangnya yang akan memimpin pasukan menangkapi para pemberontak!! bentak kaisar.
"Harap paduka sudi mengampunkan kelancangan hamba, akan tetapi hamba rasa menyuruh jenderal itu memimpin pasukan menyergap para pemberontak tidaklah tepat, sri baginda!! Tiba-tiba Tek Ciang berkata dan semua pembesar yang berada di situ terkejut. Orang ini sudah bosan hidup, pikir mereka, berani mencela keputusan sri baginda kaisar. Akan tetapi Kaisar Kian Liong yang sudah merasa berterima kasih kepada Tek Ciang, tidak menjadi marah, hanya merasa heran.
"Louw Tek Ciang, apa maksudmu dengan ucapanmu itu? Jenderal Kao Cin Liong adalah seorang panglima cakap, dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dialah yang akan mampu menandingi para pendekar!!
"Ampun, sri baginda. Hamba berani mengemukakan pendapat hamba atas dasar perhitungan yang matang. Hendaknya paduka ketahui bahwa para pemberontak itu terdiri dari para pendekar dan banyak pula keluarga para pendekar Pulau Es hadir di sana. Seperti paduka ketahui, Jenderal Kao Cin Liong adalah mantu dari seorang pendekar Pulau Es. Maka kalau dia yang memimpin pasukan, hamba berani berkeyakinan bahwa usaha penyergapan itu tidak akan berhasil, mungkin malah gagal dan siapa tahu Jenderal Kao itu diam-diam bersekongkol dengan para pemberontak, atau setidaknya merasa simpati kepada mereka. Maka, akan lebih tepatlah kalau paduka memerintahkan seorang panglima lain yang memimpin pasukan untuk menyergap di Hutan Cemara. Adapun mengenai para pendekar di sana, hamba sendiripun sanggup untuk membantu pasukan menghadapi mereka!!
Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan alisnya berkerut. Dia teringat akan permohonan jenderal Kao Cin Liong untuk mengurdurkan diri. Sudah pernah jenderal muda itu mohon agar diperkenankan mengundurkan diri meninggalkan jabatannya, akan tetapi dia menahannya. Dan sekarang ada pemberontakan para pendekar itu!!Baiklah, kami akan mengutus Jenderal Cao Hui untuk menyergap para pemberontak itu. Jenderal Cao, bersiaplah dengan lima ribu orang tentara dan sergap hutan itu, tangkap semua pemberontak. Akan tetapi sebelumnya, kau coba dulu Louw Tek Ciang ini apakah cukup tepat untuk membantumu, apakah benar dia ada kepandaian ataukah tidak.!
Jenderal Cao Hui adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh lima tahun. Selain pandai dalam ilmu perang, dia juga pandai ilmu silat dan mempunyai tenaga besar. Pernah dia belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim-pai dan karena itu dia cukup lihai. Setelah menerima perintah kaisar, Jenderal Cao Hui bangkit berdiri sesudah memberi hormat kepada kaisar dan menghadapi Louw Tek Ciang yang masih berlutut.
"Louw-sicu, mari kita mentaati perintah sri baginda.!
Tek Ciang berlutut memberi hormat kepada kaisar yang memberi isyarat dengan tangan agar dia bangkit dan menghadapi jenderal itu. Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan ditonton oleh kaisar dan para hulubalang.
"Louw-sicu, sambutlah seranganku ini!! Jenderal Cao Hui menggerakkan kedua tangannya mengirim serangan sambil mengerahkan tenaga. Kaisar memerintahkan agar dia menguji, maka diapun hanya ingin menguji kecepatan dan kekuatan orang yang melapor tentang adanya pemberontakan dan menjanjikan bantuan kepadanya itu.
"Ciangkun, maafkan saya!! jawab Tek Ciang sambil menggerakkan kedua tangan ke depan menyambut serangan panglima itu. Gerakannya ini cepat bukan main dan ternyata kedua telapak tangannya dengan tepat menerima kedua tangan Cao-goanswe.
"Plakk!! Tubuh jenderal yang tinggi besar itu terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan tubuh Tek Ciang sebaliknya sedikitpun tidak terguncang. Tentu saja jenderal itu menjadi terkejut bukan main. Juga semua panglima yang hadir merasa kagum bukan main. Mereka mengenal jenderal itu sebagai seorang yang memliki tenaga raksasa, akan tetapi kini beradu tangan dengan pemuda itu terdorong dan terhuyung sedangkan pemuda itu sendiri tak tergoyah sedikitpun! Baru segebrakan itu saja sudah membuktikan bahwa pemuda itu memang sesungguhnya seorang yang kuat sekali. Hal inipun diketahui oleh Cao-goanswe, maka diapun berlutut lagi memberi hormat kepada kaisar.
"Harap paduka ketahui bahwa ilmu silat dan ketangguhan Louw-sicu ini boleh diandalkan untuk membantu hamba dalam penyerangan itu.!
Kaisar Kian Liong juga bukan seorang yang asing dalam hal ilmu silat. Di waktu mudanya kaisar ini sebagai seorang pangeran suka sekali merantau dan berkenalan dengan orang-orang kang-ouw. Oleh karena itu, sekali melihat pertandingan tadi, walaupun hanya segebrakan, namun dia sudah tahu bahwa Louw Tek Ciang adalah orang yang memiliki kekuatan lebih besar dari pada jenderalnya itu. Tentu saja Kaisar Kian Liong menjadi girang sekali dan segera memerintahkan jenderal Cao dibantu oleh Tek Ciang untuk segera berangkat mempersiapkan pasukan yang kuat agar pada waktunya dapat melakukan pengepungan dan penyergapan.
Berita tentang dipersiapkannya pasukan besar oleh Jenderal Cao ini dan ditangkapnya Gan-ciangkun sekeluarga, sampai pula ke telinga Jenderal Kao Cin Liong. Jenderal muda ini terkejut bukan main, apalagi mendengar bahwa pasukan itu sudah berangkat pagi-pagi sekali. Dia cepat memberitahukan hal ini kepada isterinya dan ayah ibunya yang masih berada di rumahnya, juga kepada Puteri Milana dan Gak Bun Beng. Mendengar ini, keluarga inipun terkejut sekali. Para pendekar itu harus diselamatkan, apalagi diingat bahwa Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka hadir pula dalam pertemuan di Hutan Cemara itu. Maka, berangkatlah mereka dengan cepat mengejar pasukan pemerintah agar dapat tiba di hutan itu lebih dulu daripada para perajurit pemerintah.
Kita kembali ke hutan itu. Para pendekar yang tahu bahwa hutan itu sudah dikepung pasukan yang besar, sebagian menjadi panik juga. Akan tetapi Sim Hong Bu sudah meloncat ke depan dan berseru.
"Harap saudara sekalian tenang dan siap mempertahankan diri. Inilah ujian pertama bagi kita dan demi perjuangan yang suci, kalau perlu kita siap mengorbankan nyawa!!
Ucapan ini disambut dengan gembira dan bangkitlah semangat para pendekar itu. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan siap menghadapi serbuan pasukan besar yang sudah mengepung hutan itu.
"Kita berpencar dan bersembunyi, memecah-belah kekuatan mereka dan membuka jalan darah untuk menyelamatkan diri!! kembali Sim Hong Bu berseru dan ternyata dalam keadaan terancam bahaya itu pendekar ini memperlihatkan ketenangan, ketabahan dan kepandaiannya untuk memimpin.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring.
"Tahan dulu....!! dan muncullah Kao Cin Liong, Kao Kok Cu, Wan Ceng, Puteri Milana, Gak Bun Beng yang masing-masing mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua agar tenang.
"Saudara-saudara, dengarlah dulu sebelum turun tangan!!
Yang bicara ini adalah Puteri Milana. Wanita yang sudah nenek-nenek ini nampak masih anggun dan gagah, suaranya nyaring penuh wibawa, membuat semua pendekar terkejut dan memandang kepada rombongan yang baru tiba ini. Melihat mereka ini, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka juga bergabung.
"Siapakah mereka itu....?! Bi Eng bertanya kepada Ceng Liong yang masih berdiri di dekatnya. Ceng Liong juga terkejut melihat hadirnya semua keluarganya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun juga kini sudah menggabungkan diri dengan mereka. Hampir lengkaplah keluarga para pendekar Pulau Es berkumpul di situ! Mendengar pertanyaan kekasihnya, Ceng Liong menjawab lirih.
"Mereka adalah keluarga para pendekar Pulau Es....!
"Ahhh....? Yang mana ayahmu dan ibumu....?! gadis itu bertanya penuh kagum karena rambongan itu memang nampak gagah perkasa.
"Itulah ayah dan ibu, dan itu bibi Puteri Milana bersama suaminya, dan di sana itu paman Suma Kian Lee dan isterinya.!
"Siapakah orang gagah berpakaian panglima itu?!
"Dia itu kakak iparku, Jenderal Kao Cin Liong bersama enci Suma Hui, isterinya. Dan kakek berlengan satu itu adalah Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya pula....!
"Ahh....!! Bi Eng tiada hentinya mengeluarkan seruan kaget dankagum. Ia sudah pernah mendengar nama-nama itu disebut dan dikagumi ayah ibunya, dan baru sekarang ia dapat melihat mereka semua.
Munculnya keluarga para pendekar Pulau Es ini memang mengejutkan semua orang, terutama sekali mereka yang sudah mengenal beberapa di antara anggauta keluarga itu. Pimpinan Pek-lian-kauw yang baru saja mengalami kekalahan dan penghinaan, mengenal pula Puteri Milana yang menjadi musuh besar mereka. Ci Hong Tosu bangkit dan mengangkat tongkatnya sambil berseru.
"Mereka adalah keluarga Pulau Es! Mereka sudah mengkhianati kita! Merekalah yang membawa pasukan pemerintah. Siapa tidak mengenal Puteri Milana, puteri Mancu yang dahulu sudah banyak membasmi teman-teman kita yang berjuang untuk mengusir penjajah?! Teriakan tosu ini tentu saja membangkitkan amarah di dalam hati para pendekar, akan tetapi karena yang bicara adalah tosu Pek-lian-kauw yang tadi sudah memperlihatkan perangai buruk, sebagian besar para pendekar masih ragu-ragu.
"Saudara sekalian, dengarkan dulu kata-kataku baru kalian boleh mengambil keputusan apa yang akan kalian lakukan!! Puteri Milana berkata lagi dengan lantang.
"Rencana kalian untuk memberontak adalah suatu perbuatan bodoh yang tidak tepat pada waktunya. Apa yang akan kalian capai dengan pemberontakan? Hanya perang besar yang akan membuat rakyat jelata menderita. Puluhan ribu orang tewas, rakyat kehilangan keluarga, harta benda dan ketenteraman hidup. Karena itu, sebelum terlambat, kami datang untuk memperingatkan dan menyadarkan kalian agar menyerah dan jangan melawan!!
"Kami adalah patriot-patriot yang tidak takut mati. Kami berjuang untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan Bangsa Mancu. Engkau seorang puteri Mancu tentu saja membela pemerintahan bangsamu!!
"Aku bukan puteri Mancu. Aku puteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....!
"Tetapi ibumu puteri Nirahai, puteri Mancu!! bentak kepala rombongan Pek-lian-pai.
"Cu-wi, dengarlah baik-baik!! Kini Cin Liong yang berseru nyaring.
"Lihatlah aku. Aku adalah Jenderal Kao Cin Liong, akan tetapi aku datang bukan sebagai pemimpin pasukan untuk menyerbu kalian, melainkan aku datang untuk menyadarkan kalian. Sebagai seorang panglima aku tahu benar akan keadaan pemerintah. Di bawah pimpinan Sri Baginda Kaisar Kian Liong, harus diakui bahwa negara mengalami kemajuan dan taraf hidup rakyat tidak sengsara. Pula pemerintah ini selalu menentang golongan jahat dan melindungi rakyat.!
"Engkau penjilat orang Mancu! Huh, tak tahu malu!! terdengar pula teriakan dari golongan Pat-kwa-pai dan Thian-lian-pai.
Akan tetapi Cin Liong masih bersikap tenang.
"Cu-wi adalah orang-orang yang gagah perkasa, bukan orang-orang ceroboh yang tidak memperhitungkan setiap tindakan. Kita harus memakai perhitungan apa untungnya dan apa ruginya kalau kita bertindak. Camkanlah, kalau kalian melakukan pemberontakan, ruginya sudah jelas. Rakyat akan menderita karena perang, karena perang mengakibatkan kematian dan kehilangan, juga menimbulkan merajalelanya kejahatan karena kurang adanya penjagaan keamanan.
Juga, keadaan pemerintah sekarang amatlah kuatnya, setiap pemberontakan sama artinya dengan bunuh diri. Apalagi kalian sekarang sudah dikepung oleh sepuluh ribu orang pasukan! Melawan berarti mati semua. Dan apakah keuntungannya memberontak tidak pada saatnya yang tepat? Cita-cita boleh muluk, akan tetapi andaikata dapat menang, hal yang sungguh tidak mungkin terjadi dalam keadaan seperti sekarang di waktu rakyat belum siap. Andaikata menang, belum tentu kalian akan mendapatkan seorang pengganti kaisar yang baik, sebaik sri baginda kaisar sekarang ini!!
"Aha, enak saja bagimu untuk bicara, Jenderal Kao Cin Liong. Lalu tindakan kami seperti apakah yang akan kau anggap gagah? Apakah kami harus berlutut menyerahkan diri dan minta ampun kepada orang Mancu? Ha-ha, itukah yang akan kau anggap sebagai perbuatan gagah?!
Kao Cin Liong memandang kepada kakek yang bicara ini. Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap! Pernah terjadi sesuatu antara dia dan keluarga ini, suatu perasaan tidak enak ketika dia menolak perjodohan yang dikehendaki keluarga itu antara dia dan Bu Siok Lan, seorang puteri dari Bu-taihiap (baca cerita Suling Emas dan Naga Siluman ).
Dengan sikap ramah Cin Liong memberi hormat kepada Bu Seng Kin atau Bu-taihiap.
"Harap Bu-locianpwe suka melihat kenyataan dan tidak mendahulukan prasangka. Saya bersama semua keluarga Pulau Es datang bukan untuk menentang cu-wi, juga bukan untuk membantu pemberontakan, melainkan untuk mengingatkan akan bahayanya rencana cu-wi ini.!
"Nanti dulu, orang muda!! Tiba-tiha terdengar suara Sim Hong Bu lantang. Orang gagah ini sudah melangkah maju dan dengan sinar mata mencorong dia menentang rombongan keluarga Pulau Es.
"Aku merasa heran sekali melihat betapa keluarga para Pendekar Pulau Es dapat bersikap seperti ini!! Dia menatap tajam ke arah Suma Kian Bu yang pernah dihubunginya.
"Kalau kita takut menghadapi bahaya dan kematian dalam suatu perjuangan, berarti kita pengecut dan bukan patriot sejati. Setiap perjuangan tentu akan menjatuhkan korban. Setiap pembaharuan harus berani meruntuhkan lebih dulu yang lama. Siapa yang tidak tahu akan hal ini? Kerugian dan kematian yang diderita dalam setiap perjuangan merupakan pupuk bagi perjuangan itu sendiri!!
Kini Suma Kian Bu yang dipandang tajam oleh Sim Hong Bu, maju dan menjura kepada Sim Hong Bu.
"Saudara Sim memang seorang gagah perkasa dan tidak ada seorangpun meragukan kegagahanmu dan jiwa patriotmu. Saudara Sim, seperti pernah kita bicara, aku sendiripun mengerti tentang jiwa patriot yang berkobar di hati kalian. Bahkan aku menyetujui kalau negara dibebaskan dari penjajahan. Akan tetapi, kini akupun melihat bahwa hal itu harus dilakukan dengan perhitungan yang masak, tidak secara sembrono saja. Kita harus dapat melihat keadaan dan ingat, perjuangan ini adalah perjuangan rakyat, bukan perjuangan beberapa gelintir pendekar saja. Dan untuk gerakan yang amat besar itu dibutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar jujur dan mencinta rakyat. Cobalah saudara lihat, apakah orang-orang seperti dari Pek-lian-kauw dan perkumpulan yang lain yang selalu memberontak karena kepentingan pribadi itu dapat dijadikan teman seperjuangan? Nah, karena itu, aku Suma Kian Bu mewakili seluruh keluarga para pendekar Pulau Es untuk minta pengertian dan kesadaran cu-wi dan menyerah saja tanpa perlawanan.!
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan berarti kita takut, melainkan kita sadar dan bertindak bijaksana menghindarkan jatuhnya banyak korban dengan sia-sia,! sambung Suma Kian Lee.
"Saya sendiri yang akan menghadap sri baginda mintakan ampun bagi kita semua!! kata Jenderal Kao Cin Liong.
"Akupun akan menghadap sri baginda, memohon agar sri baginda membebaskan cu-wi semua dan menghabiskan urusan ini karena bagaimanapun juga, cu-wi belum memberontak, baru mengadakan pertemuan dan kalau cu-wi tidak melawan pasukan yang mengepung, maka dosa cu-wi tidaklah begitu besar.!
"Omong kosong!! Tiba-tiba Bu-taihiap berseru keras sekali.
"Heh, para keluarga pendekar Pulau Es, dengarlah baik-baik! Aku sudah banyak mendengar akan kehebatan dan nama besar keluarga Pulau Es, juga aku sudah lama mendengar kehebatan nama Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi tidak kusangka bahwa mereka ini ternyata hanyalah penjilat-penjilat kaisar atau pengecut-pengecut lemah. Kalau memang kalian hendak menjadi antek kaisar Bangsa Mancu, majulah, kami tidak takut mati. Mati bagi kami merupakan suatu kebanggaan karena kami mati untuk membela bangsa dan tanah air!!
Ucapan Bu-taihiap ini kembali membangkitkan semangat para pendekar dan mereka bersorak menyambut ucapan ini. Akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tidak terbawa emosi dandapat mempergunakan akal budinya untuk melihat kebenaran dalam ucapan para keluarga pendekar Pulau Es tadi. Dan mereka ini menggeser tempat berdiri mereka, mendekati kelompok keluarga pendekar Pulau Es di mana termasuk pula keluarga Kao. Sebagian lagi yang dibakar emosi berdiri di belakang Bu-taihiap yang berdiri gagah bersama empat orang isterinya.
"Kita lawan sampai mati....!! Bu Seng Kin berseru dan kembali disambut sorak-sorai oleh seratus orang lebih mereka yang mendukungnya.
Sim Hong Bu yang sudah terbakar pula semangatnya oleh sikap Bu-taihiap, meloncat ke depan, di samping Bu-taihiap dan menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat mengerikan ketika Pek-kong Po-kiam dicabutnya dan diapun berteriak.
"Kita adalah patriot-patriot sejati! Sekaranglah saatnya kita membuktikan bahwa kita berjuang bukan guna kepentingan diri sendiri, bahkan rela berkorban nyawa!! Sikap Sim Hong Bu ini menambah semangat mereka dan kembali para pendekar menyambut dengan sorak-sorai. Melihat ini Sim Houw putera Sim Hong Bu juga melompat ke dekat ayahnya dan bersikap gagah penuh semangat.
"Eng-moi....!! Tiba-tiba Ceng Liong berseru keras melihat Bi Eng tiba-tiba saja meloncat pula ke depan, ke dekat guru dan tunangannya. Muka dara itu pucat, akan tetapi sinar matanya penuh semangat dan iapun sudah melolos suling emasnya.
Pada saat itu terdengar bunyi terompet susul menyusul dan pasukan yang mengepung itu mulai bergerak maju memasuki hutan cemara itu. Penyergapan dimulai! Tadi, Kao Cin Liong menemui Jenderal Cao Hui dan minta Cao-goanswe menangguhkan dulu penyergapan karena dia hendak membujuk dan menyadarkan para pendekar. Cao-goanswe amat segan kepada rekannya ini maka dia memberi waktu habis terbakarnya sebatang hio. Dan agaknya waktu yang ditangguhkan itu sudah lewat dan kini terpaksa Gao-goanswe mulai menggerakkan pasukannya menyerbu ke dalam hutan!
Melihat ini, Puteri Milana berseru.
"Saudara-saudara yang sadar harap berdiri di belakang kami!!
Mereka yang tadi merasakan benarnya omongan keluarga para pendekar Pulau Es, segera berkumpul di belakang keluarga itu dan Puteri Milana segera minta kepada keluarganya untuk berdiri mengelilingi mereka untuk memberi perlindungnn. Adapun para pendekar lainnya yang mendukung Sim Hong Bu dan Bu-taihiap, sudah mencabut senjata masing-masing dan berpencaran untuk menyambut serbuan para perajurit pemerintah.
"Liong-ji....!! Teng Siang In berseru keras ketika melihat puteranya meloncat dan menyelinap bersama para pendekar yang hendak melawan pasukan!!Ibu, aku harus melindungi Eng-moi!! hanya itulah jawaban Ceng Liong dan ibu ini diam-diam merasa khawatir sekali. Ia tadi melihat betapa puteranya berdiri di dekat seorang gadis gagah yang juga ikut maju bersama para pendekar melawan pemerintah dan tahulah ibu ini bahwa tentu puteranya itu telah jatuh hati kepada gadis pemberontak itu.
Diam-diam ia merasa gelisah sekali, akan tetapi karena iapun bertugas melindungi para pendekar yang sudah sadar dan tidak melawan, ia tidak dapat meninggalkan tempat itu. Pula, apa yang dapat dilakukannya kalau memang puteranya itu jatuh cinta kepada gadis pemberontak itu dan kini puteranya hendak melindunginya? Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena pada saat itu pertempuran sudah terjadi dengan amat serunya. Ketika ada pasukan yang menghampiri rambongan mereka yang mengelilingi para pendekar yang tidak ingin melawan, Milana dan Ceng Liong bergantian berseru.
"Jangan serang kami! Kami orang sendiri!!
Para perajurit tentu saja mengenal Jenderal Kao Cin Liong dan juga sebagian besar perajurit yang sudah bertugas lama mengenal Puteri Milana, maka pasukan tidak ada yang berani menyerang rombongan yang memang tidak melawan ini. Akan tetapi, pasukan menghadapi perlawanan yang amat hebat dari para pendekar yang dipimpin oleh Bu-taihiap dan Sim Hong Bu! Biarpun jumlahnya jauh lebih banyak, namun kini pasukan itu menghadapi orang-orang yang selain memiliki ilmu kepandaian silat, juga bersemangat tinggi dan para pendekar itu melakukan perlawanan nekat dan mati-matian. Mereka telah terbakar semangatnya oleh sikap dan kata-kata Bu-taihiap dan Sim Hong Bu sehingga mereka itu tidak ingat apa-apa lagi kecuali melawan dan melawan!
Hutan Cemara yang biasanya sunyi dan bersih itu, kini berobah menjadi tempat yang gaduh dan kotor oleh darah! Bagaikan orang-orang membabat rumput saja, para pendekar itu mengamuk dan para perajurit itu roboh bergelimpangan. Terutama sekali amukan Bu-taihiap dan empat orang isterinya. Segera mayat para perajurit berserakan dan bertumpuk-tumpuk di sekitar mereka. Tak kalah hebatnya adalah amukan Sim Hong Bu dan puteranya, Sim Houw.
Pedang Pek-kong Po-kiam di tangan Sim Hong Bu bagaikan telah berobah menjadi seekor naga, seekor naga yang haus darah. Darah muncrat-muncrat dan membanjiri tanah ketika pendekar ini mengamuk dengan pedangnya. Sim Houw yang baru saja kembali dari gemblengan yang diterimanya dari pendekar sakti Kam Hong, juga mengamuk hebat. Dia bahkan lebih lihai daripada ayahnya dan biarpun pedangnya bukan merupakan sebuah pusaka yang sehebat dan seampuh Pek-kong Po-kiam, akan tetapi pedang itu dapat bergerak lebih hebat lagi.
Hanya saja, agaknya pemuda ini tidak begitu bernafsu untuk membunuh banyak orang, maka gerakannya tidak begitu ganas dan biarpun setiap orang lawan yang menghadapinya tentu roboh, akan tetapi pedangnya tidak menjatuhkan korban sebanyak yang roboh oleh Pek-kong Po-kiam di tangan ayahnya. Pedang Pek-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Putih) memang tidak sedahsyat Koai-liong Po-kiam yang telah diminta kembali oleh Cu Han Bu, akan tetapi pedang inipun bukan pedang biasa. Sim Hong Bu memperoleh pedang ini dari seorang tosu pertapa yang merasa kagum akan semangat perjuangannya.
Sementara itu, Bi Eng juga mengamuk dengan suling emasnya. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu dara ini berhadapan dengan Ceng Liong! "Eng-moi, jangan....!! kata pemuda itu dan Bi Eng terpaksa menghentikan gerakan suling emasnya ketika ia melihat pemuda yang dicintanya itu menghadang di depannya.
"Liong-ko, minggirlah. Biarkan aku membantu para pejuang!! kata Bi Eng, suaranya gemetar dan matanya basah. Gadis ini memang sedang merasa gelisah dan bingung sekali. Tak disangkanya bahwa terjadi perpecahan antara para pendekar, terutama sekali antara gurunya dan keluarga Ceng Liong!
"Eng-moi, jangan.... demi aku.... demi cinta kita, jangan lanjutkan....!! Ceng Liong berkeras menahannya. Suling emas itu digengam erat-erat di tangan kanan Bi Eng dan ia menghadapi kekasihnya dengan muka pucat.
"Koko, kenapa engkau menentangku? Menentang kami? Kenapa....? Jangan halangi aku dan minggirlah, biarkan aku melawan para penjajah, aku tidak takut mati....!!
"Eng-moi, ingatlah, sadarlah. Lihatlah baik-baik. Kalau keluarga Pulau Es memang menentang kalian, tentu kami sudah bergerak dan melawan kalian. Apakah kalian akan mampu berbuat banyak kalau begitu? Lihat, kami diam saja. Kami tidak membantu kalian, akan tetapi kamipun tidak menentang kalian. Eng-moi, marilah. Mari engkau ikut denganku, pergi, Eng-moi. Kita pergi jauh sekali, meninggalkan semua kerusuhan dan keributan, semua bunuh-membunuh yang haus darah ini. Lihat, tidak mengerikankah semua ini....?! Ceng Liong membuka kedua tangannya menunjuk ke empat penjuru. Memang amat mengerikan melihat mayat-mayat berserakan dan darah membanjir di sekitar tempat itu.
Akan tetapi, Bi Eng yang dikuasai semangat perlawanan yang hebat itu tidak mudah dibujuk.
"Koko, aku harus melawan mereka! Aku harus mempunyai setia kawan terhadap para pendekar. Dan engkau.... engkau seorang gagah perkasa, mari berjuang bersamaku, koko!!
"Tidak, Eng-moi, ingatlah, engkau keliru. Mereka semua itu keliru. Sekarang aku sudah sadar bahwa semua ini merupakan perbuatan tergesa-gesa dan gegabah, tidak diperhitungkan masak-masak dan tiada gunanya lagi. Mari kita pergi saja dari sini, Eng-moi....!
"Tidak, koko, aku harus membunuh anjing-anjing Mancu itu, sebanyak mungkin!! Gadis itu menggerakkan sulingnya sehingga nampak sinar berkelebat.
"Aih, Eng-moi, kenapa engkau tidak mendengarkan kata-kataku? Baiklah, Eng-moi kalau memang engkau begitu haus darah, nah, ini dadaku. Kau bunuhlah aku lebih dahulu daripada melihat engkau akhirnya akan tertawan atau terbunuh dan aku menjadi menyesal dan berduka.! Suma Ceng Liong melangkah maju mendekati gadis itu. Wajah Bi Eng menjadi pucat sekali dan suling yang sudah diangkatnya itu turun kembali, matanya terbelalak memandang wajah Ceng Liong. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan akhirnya gadis yang gagah perkasa dan penuh semangat itu menjadi bingung dan gelisah, lalu menangis!
"Kam-siocia (nona Kam), apakah orang ini mengganggumu?! terdengar bentakan dan nampak sinar berkilat menyambar ke arah leher Ceng Liong. Pemuda ini terkejut, tahu bahwa yang menyerangnya adalah seorang yang amat lihai, maka diapun melempar tubuh ke belakang dan pedang itu meluncur bagaikan kilat menyambar.
Penyerangnya itu adalah Sim Houw, pemuda putera Sim Hong Bu yang menjadi calon suami atau tunangan Bi Eng! Dan pemuda itu memang hebat sekali. Begitu serangannya luput, pedangnya sudah membalik dan meluncur lagi seperti kilat menyambar-nyambar, pedangnya lenyap membentuk sinar bergulung-gulung menyilaukan mata. Inilah ilmu pedang gabungan dari Koai-liong Kiam-sut dan Sin-sauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari pendekar sakti Kam Hong. Memang belum sempurna benar dia menggabung kedua ilmu itu, akan tetapi biarpun belum sempurna, keampuhannya sudah hebat. Sinar pedang itu bergulung-gulung dan mengeluarkan suara seperti suling ditiup!
Tentu saja Ceng Liong merasa terkejut sekali dan cepat diapun menggerakkan tubuhnya mencelat ke sana-sini untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut yang memancar dari sinar pedang lawan itu. Dia sudah mengenal kehebatan Sim Hong Bu, akan tetapi tidak pernah disangkanya bahwa putera pendekar itu sedemikian hebatnya ilmu pedangnya.
Juga terjadi semacam keraguan dan kebingungan di dalam hati Ceng Liong. Dia sudah mengenal pemuda ini sebagai calon suami kekasihnya. Maka, kini dia merasa tidak enak hati sekali. Bagaimanapun juga, dia sudah merampas calon isteri pemuda ini, maka ada semacam perasaan bersalah terhadapnya dan kini dia merasa sungkan untuk melawan. Maka, biarpun Sim Houw menyerangnya bertubi-tubi, Ceng Liong hanya berloncatan ke sana-sini untuk mengelak saja, masih merasa ragu-ragu untuk membalas. Padahal, kalau hanya bertahan saja tanpa balas menyerang terhadap seorang lawan seperti Sim Houw, sungguh amat berbahaya sekali. Pedang pemuda itu bagaikan seekor naga mengamuk dan sebentar saja gulungan sinar pedang itu menutup semua jalan keluar Ceng Liong. Pemuda ini masih bertahan, melempar dirinya ke belakang dan bergulingan di atas tanah.
Suling Emas Naga Siluman Eps 1 Suling Emas Naga Siluman Eps 17 Suling Emas Naga Siluman Eps 44