Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 17


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



Cin Liong diam saja, tidak tahu harus mengatakan apa dan dia pun tidak tahu mengapa dara itu mengeluarkan ucapan seperti itu.

   "Liong-ko, di mana adanya Ayah Bundamu?"

   Pertanyaan tiba-tiba ini mengejutkan Cin Liong juga, akan tetapi dengan sikap tenang dia menjawab,

   "Mereka tinggal jauh di utara, Nona."

   "Liong-ko, harap kau jangan menyebut Nona padaku, Panggil saja namaku!"

   "Akan tetapi, Nona...."

   "Apakah engkau tidak mau menganggap aku sebagai seorang.... sahabat baikmu?"

   Bertanya demikian, dara itu mengangkat muka dan menatap wajah Cin Liong dengan sepasang mata yang tajam berseri. Akhirnya Cin Liong menunduk dan mengangguk.

   "Baiklah, Lan-moi (Adik Lan). Engkau sungguh baik sekali."

   "Bukan aku, melainkan engkaulah yang baik sekali, Liong-ko. Aku berhutang budi dan nyawa padamu...."

   "Cukuplah itu, harap jangan sebut-sebut lagi soal itu. Engkau dan Ibumu telah menerimaku di sini dengan baik sekali, aku malah yang harus malu...."

   Cin Liong teringat betapa kehadirannya itu adalah sebagai mata-mata padahal dara ini demikian baik kepadanya. Nampak makin jelaslah olehnya betapa keji dan kejamnya perang!

   "Akan tetapi, peristiwa itu takkan terlupakan olehku selama hhdup, Liong-ko. Dan.... kalung itu.... apakah masih kau simpan?"

   Otomatis tangan kiri Cin Liong meraih, ke lehernya dan gerakan ini saja membuat Siok Lan merasa girang sekali dan dia yakin bahwa kalung itu masih dipakai oleh pemuda ini, maka ia melanjutkan kata-katanya.

   "Terima kasih kalau masih kau simpan. Liong-ko, ketahuilah aku.... aku memberi kalung itu.... dengan sepenuh hati.... kalung itu pemberian Ibu dan.... mewakili diriku...."

   Tiba-tiba dia menunduk dan mukanya menjadi merah sekali. Cin Liong juga dapat merasakan kejanggalan kata-kata ini dan makna mendalam yang dikandungnya, maka dia pun tiba-tiba merasa jengah dan malu.

   Sejenak mereka berdua yang duduk berhadapan itu tidak mengeluarkan kata-kata, keduanya lebih banyak menunduk dan kalau kebetulan saling pandang, lalu tersenyum canggung! Hati Cin Liong tergetar dan tertarik. Dara ini memang memiliki daya tarik yang kuat sekali, akan tetapi selama ini, biarpun bergaul dengan akrab, dia tidak merasakan daya tarik ini karena seluruh perhatiannya tercurah kepada tugasnya. Kini baru dia merasakan daya tarik itu yang membuat dia ingin sekali memandang wajah dan menikmati kejelitaannya, ingin sekali bersikap dan berbicara manis, ingin sekali menyentuh dan merangkul mesra. Akan tetapi Cin Liong masih ingat akan kedudukan dan tugasnya, maka dia mengeraskan hatinya dan akhirnya dia bangkit berdiri. Siok Lan juga ikut bangkit dan memandang heran.

   "Nona.... eh, Adik Siok Lan, marilah kita pulang. Ibumu tentu akan mencarimu, dan tidak baik bagimu kalau berlama-lama kita duduk berdua saja di tempat ini."

   Dara itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mengandung kekerasan.

   "Liong-ko, mengapa tidak baik bagiku? Aku tidak peduli dengan orang lain, dan Ibu tentu tidak akan melarang kalau aku berdua di sini bersamamu."

   Cin Liong tersenyum. Dalam marahnya, dara itu bahkan nampak semakin cantik!

   "Syukurlah kalau begitu, Lan-moi. Akan tetapi, akulah yang merasa tidak enak, karena aku adalah seorang tamu yang diterima dengan ramah dan baik, dan aku hanya seorang pemburu miskin biasa, sedangkan kau.... kau puteri panglima...."

   "Hussshh, jangan ucapkan lagi kata-kata seperti itu, Liong-ko! Ingat, Ibuku hanya anak seorang pendeta sederhana yang miskin dan bodoh. Dan aku.... hemm, aku bahkan tidak pernah kenal siapa Ayah kandungku! Engkau yang mempunyai Ayah Bunda yang jelas dan terhormat, engkau lebih terhormat daripada aku."

   Kemball Cin Liong tersenyum. Banyak segi-segi baik pada diri dara ini, pikirnya.

   "Baiklah, Lan-moi. Engkau benar, akan tetapi sudah lama kita di sini, mari kita kembali."

   Tanpa disengaja, tangannya menyentuh tangan dara itu. Perbuatan tidak disengaja oleh Cin Liong ini berakibat besar karena dara itu merasa tangannya dipegang dan dia cepat memegang tangan pemuda itu dan jari-jari tangan mereka saling pegang, kemudian sambil bergandeng tangan mereka menuruni bukit itu.

   Dua orang muda remaja yang selama hidupnya baru pertama kali ini mendekati lawan jenisnya, merasa betapa ada getaran-getaran halus pada jari tangan mereka, getaran yang timbul dari hati mereka yang berdebar-debar tidak karuan, getaran mesra yang menjalar ke seluruh tubuh, yang membuat mereka kadang-kadang saling pandang, saling senyum tanpa kata-kata. Namun apa artinya lagi kata-kata dalam keadaan seperti itu? Pandang mata dan senyum ini sudah cukup mengeluarkan seluruh apa yang terkandung dalam perasaan masing-masing, yang belum tentu dapat dilukiskan dengan kata-kata yang betapa indah sekalipun. Tiba-tiba Cin Liong melepaskan tangannya yang saling bergandengan dengan gadis itu dan Siok Lan juga cepat-cepat agak menjauhkan diri dari pemuda itu ketika dia melihat munculnya Ci Sian di tikungan depan.

   "Eh, Enci Lan, kucari engkau ke mana-mana tidak tahunya berada di sini. Hemm, maaf ya, aku mengganggu, ya?"

   Kata dara ini sambil tersenyum menggoda, sungguhpun ada perasaan tidak enak di dalam hatinya, perasaan tidak enak yang dia sendiri tidak tahu mengapa.

   "Ah, ada-ada saja engkau, Sian-moi. Siapa mengganggu siapa? Aku bercakap-cakap dengan.... eh, Liong-ko...."

   Akan tetapi dia berhenti karena teringat bahwa baru sekarang di depan Ci Sian dia menyebut pemuda itu dengan sebutan koko. Mukanya menjadi merah sekali dan melihat ini, Ci Sian tersenyum walaupun hatinya terasa semakin tidak enak. Mereka bertiga lalu kembali ke gedung di mana Puteri Nandini sudah menunggu karena memang panglima inilah yang menyuruh Ci Sian untuk pergi mencari Siok Lan dan memanggilnya pulang karena dia perlu untuk bicara. Setelah tiba di dalam gedung, Siok Lan langsung memasuki kamar ibunya dan di situ dia melihat bahwa ibunya sedang berunding dengan para panglima pembantu ibunya, dan sikap mereka menunjukkan bahwa tentu terjadi sesuatu yang gawat.

   "Ibu, ada apakah?"

   Tanyanya.

   "Duduklah. Dengar baik-baik, Siok Lan. Menurut para penyelidik, ada sesuatu yang aneh sedang direncanakan oleh fihak musuh, entah apa. Ada pergerakan dari pasukan-pasukan Tibet yang telah kita kalahkan. Kita tidak percaya bahwa pasukan tibet akan berani bergerak menyerang Lhagat tanpa suatu rencana tertentu. Agaknya mereka merahasiakan rencana itu dan keadaan pasukan musuh yang terkepung juga nampak tenang-tenang saja. Ketenangan inilah yang membuat hatiku tidak enak. Maka, siapa pun harus kita curigai. Engkau bertugas selain menjaga keamanan gedung ini, juga untuk memata-matai dua orang tamu kita itu."

   "Apa? Ibu maksudkan Adik Sian dan Liong-koko?"

   Mendengar puterinya menyebut koko kepada pemuda itu. Puteri Nandini memandangnya dengan sepasang mata penuh selidik dan mata ibu yang tajam ini melihat betapa ada warna kemerahan pada kedua pipi puterinya.

   "Ya, dua orang itu adalah orang-orang asing bagi kita. Biarpun sampai kini tidak ada gerakan-gerakan dan bukti-bukti yang menjadikan kecurigaan kita, namun kita harus tetap waspada. Dan karena mereka adalah teman-temanmu, maka sebaiknya engkau yang menyelidiki dan membayangi keadaan mereka agar tidak terlalu mencolok."

   Siok Lan tidak dapat membantah, apalagi di situ hadir banyak pembantu ibunya, maka dia cepat mengangguk dan menjawab,

   "Baiklah, Ibu."

   Mereka lalu berunding dan Sang Panglima Wanita itu lalu membagi-bagi tugas untuk memperketat penjagaan dan bahkan memutuskan bahwa kalau sampai dua hari lagi pasukan yang terkepung tidak menyerah dan tidak ada tanda-tanda kedatangan orang-orang penting dari kota raja, maka lembah itu akan digempur dan pasukan terkurung itu akan dipaksa untuk menyerah! Malam itu tidak ada bulan nampak di langit. Hanya ada bintang-bintang gemerlapan di langit hitam, seperti ratna mutu manikam di atas kain beludru hitam, berkilauan cemerlang, berkedip-kedip seperti ada selaksa bidadari bermain mata kepada manusia di atas bumi. Bima sakti nampak nyata, dibentuk oleh kelompok bintang-bintang yang berderet memanjang putih, sehingga nampaknya seperti awan putih cemerlang, membentuk bayang-bayang hitam yang tetap dan dalam. Pada malam hari yang indah dan kelihatan penuh ketenteraman itu, dengan angin malam lembut bersilir.

   Orang-orang di Lhagat dan sekitarnya tiba-tiba dikejutkan oleh sinar yang berluncuran dari bawah. Sinar-sinar yang seperti kembang api meluncur tinggi ke atas, berwarna hijau, kuning dan merah. Mula-mula warna merah yang lebih dulu meluncur dari lembah bukit di mana pasukan Ceng terkepung, lalu disusul oleh luncuran warna-warna lain dari bukit-bukit dan bahkan dari dalam kota Lhagat! Selagi orang-orang menonton kembang api itu dengan heran, kagum hati bertanya-tanya siapa yang meluncurkan ke atas dan apa artinya itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari atas puncak bukit di mana pasukan musuh terkepung, suara ledakan keras disusul gemuruhnya air membanjir! Itulah permulaan dari gerakan yang dilakukan oleh Panglima Kao Kok Han bersama pasukannya yang terkepung,

   Sesuai dengan siasat yang telah diatur oleh Panglima Kao Cin Liong! Mula-mula saling diluncurkan anak-anak panah api ke atas oleh para pasukan yang terkepung, yang disambut oleh pasukan-pasukan Tibet, kemudian disambut pula oleh para anggauta gerilya yang telah menyelundup ke dalam kota Lhagat. Kemudian, Panglima Kao Kok Han, yaitu paman dari Cin Liong, memimpin anak buahnya membobolkan bendungan air yang telah merupakan danau kecil di puncak karena mereka membendung air yang keluar dari sumber sehingga terkumpul amat banyaknya. Jebolnya bendungan ini tentu saja membuat air yang amat banyak itu membanjir ke bawah dengan derasnya, dan langsung menyerbu ke arah pasukan Nepal yang mengepung di bagian barat lembah bukit itu!

   Tentu saja pasukan Nepal di sebelah barat bukit ini menjadi kaget, panik dan kacau-balau diserang oleh banjir yang datang dari puncak bukit itu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi maka ada air yang tiba-tiba menyerbu mereka dari atas, menyeret perkemahan mereka, membunuh banyak orang dan menyeret orang-orang itu, menghempaskan mereka kepada batu-batu dan pohon-pohon. Mereka masih belum menyangka bahwa ini adalah perbuatan musuh, dan kepanikan menjadi semakin hebat ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan hujan anak panah datang dari sebelah luar kepungan yang merobohkan lebih banyak orang lagi karena mereka tidak sempat berlindung dan masih panik oleh serangan air bah dari atas bukit.

   Kepanikan ini menjadi-jadi ketika pasukan dari atas bukit yang terkepung itu tiba-tiba menyerbu turun, mengikuti air yang makin menipis. Pasukan Nepal yang mengepung segera memusatkan kekuatan di tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah kena gempuran air dan pasukan Tibet yang menghujankan anak panah tadi, mereka mengira bahwa tentu pasukan Ceng-tiauw memperoleh bantuan barisan Ceng-tiauw yang besar, dan mereka sudah terlalu panik sehingga mereka melakukan perlawanan dengan hati takut. Makin banyaklah pasukan-pasukan Tibet muncul dari berbagai jurusan, menghadang bagian pasukan Nepal yang tadinya mengepung dari arah lain dan kini berdatangan ke tempat itu untuk membantu kawan-kawan mereka.

   Pasukan-pasukan gerilya Tibet ini memotong-motong pasukan itu dan terjadilah pertempuran di sana-sini membuat pasukan Nepal yang mengepung itu terpecah-pecah dan kacau-balau. Mereka mencoba untuk mempertahankan diri, namun akhirnya, menjelang fajar mereka semua terpaksa harus mundur dan memasuki kota Lhagat setelah mereka kehilangan lebih dari separuh jumlah pasukan yang sebagian tewas atau roboh oleh air bah, sebagian pula oleh hujan anak panah dan yang terbesar karena pertempuran yang berat sebelah itu karena kalau fihak Nepal bertempur dengan hati panik dan ketakutan, adalah fihak tentara Ceng-tiauw yang ingin bebas dari kepungan dan tentara Tibet yang ingin mengusir musuh itu bertempur dengan penuh semangat!

   Panglima wanita Nandini dengan pakaian perang ternoda banyak darah musuh yang dirobohkannya dalam pertempuran tengah malam itu, dan muka serta leher basah oleh peluh terpaksa memimpin sisa pasukan itu memasuki Lhagat. Siok Lan yang bertugas menjaga kota itu menyambut bersama para pengawalnya dan terkejut melihat keadaan ibunya. Tanpa banyak tanya pun dia tahu bahwa pasukan Ibunya kalah dan kini sisa pasukan itu mundur memasuki Lhagat. Akan tetapi, baru saja pasukan yang sudah patah semangat itu memasuki kota Lhagat, nampak kebakaran terjadi di semua penjuru kota itu! Orang-orang berteriak-teriak kebakaran dan keadaan menjadi semakin panik ketika dengan marah sekali Panglima Nandini memerintahkan para pembantunya untuk memeriksa kebakaran-kebakaran itu dan memadamkannya.

   "Di mana Ci Sian? Di mana Liong Cin?"

   Panglima itu membentak dengan muka agak pucat kepada Siok Lan. Siok Lan memandang ibunya, wajahnya juga menjadi pucat dan dia berkata dengan hati tegang.

   "Tadi mereka membantuku melakukan perondaan, bahkan aku memberi tugas kepada mereka untuk menjaga di sekitar penjara agar jangan sampai tawanan memberontak dan membobol penjara dalam keadaan seperti ini, Ibu."

   Panglima itu mengangguk-angguk, akan tetapi tetap saja alisnya berkerut karena dia merasa ragu-ragu. Dia telah memperoleh pukulan hebat dan sama sekali tidak disangkanya bahwa musuh demikian lihai menjalankan siasatnya sehingga dia benar-benar tidak dapat menyangka sama sekali bahwa pasukan yang terkepung itu akan mampu meloloskan diri. Tentu ada pengaturnya semua siasat itu, dan pengaturnya tentulah jenderal sakti yang dikabarkan orang datang dari kota raja dan yang kabarnya amat lihai itu. Kini baru dia tahu bahwa berita itu tidak berlebih-lebihan, bahwa di fihak musuh terdapat seorang ahli siasat perang yang hebat.

   "Celaka, Li-ciangkun....!"

   Tiba-tiba seorang penjaga dengan tubuh luka-luka parah datang berlari dan langsung roboh di depan kaki panglima itu. Biarpun orang itu sudah terluka parah, akan tetapi melihat orang itu dalam keadaan ketakutan seperti itu, Panglima Nandini membentak,

   "Pengecut! Bangun dan ceritakan apa yang terjadi!"

   Suara panglima ini penuh kemarahan.

   "Penjara.... bobol dan semua tawanan.... lolos.... kami tak dapat menahan mereka...."

   "Ahh! Bagaimana terjadinya? Siapa yang berkhianat?"

   "Mereka.... mereka.... seorang pemuda dan gadis.... tamu Li-ciangkun...."

   "Keparat!"

   Panglima itu membentak marah dan sekali meloncat dia telah berada di atas kudanya lalu melarikan kudanya itu ke arah penjara, diikuti oleh Siok Lan yang wajahnya menjadi pucat sekali dan ada dua butir air mata me-loncat turun ke atas pipinya. Hampir dia tidak percaya, Liong Cin seorang pengkhianat? Seorang mata-mata musuh yang meloloskan para tawanan bersama Ci Sian?
(Lanjut ke Jilid 16)

   Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16
Dan Ci Sian....? Ah, dia hampir tidak dapat mempercayai hal ini. Akan tetapi para tawanan memang telah lolos keluar dan terjadilah pertempuran di mana-mana antara para tawanan dan para penjaga, juga di antara para tawanan itu terdapat beberapa orang yang lihai berbangsa Tibet dan Han, dan mereka ini bukanlah tawanan yang lolos, melainkan tenaga-tenaga baru yang entah muncul darimana! Puteri Nandini dengan marah lalu mengamuk dan merobohkan empat orang tawanan yang tidak dapat menahan sambaran pedangnya. Akan tetapi pada saat itu terdengar tambur tanda bahaya dari menara dan ternyata pasukan musuh telah mulai menyerang pintu-pintu gerbang kota Lhagat! Hal ini tentu saja mengejutkan Nandini dan dia terpaksa meninggalkan tempat itu untuk pergi ke menara.

   Penyerbuan musuh dari luar lebih penting daripada pemberontakan para tawanan itu. Siok Lan juga mengikuti ibunya karena bagaimanapun juga, dalam keadaan yang genting dan gawat itu dia harus selalu mendekati ibunya untuk membantu ibunya. Dan memang pasukan Ceng-tiauw yang dibantu oleh banyak sekali pasukan Tibet telah mulai menyerbu benteng tembok Lhagat dari pelbagai jurusan! Serbuan itu dimulai pagi sekali ketika cuaca masih gelap. Tentu saja pasukan-pasukan Nepal menjadi semakin panik karena mereka baru saja mengalami kekalahan dan gempuran hebat. Dalam keadaan lelah lahir batin mereka kini terpaksa dikerahkan unituk mempertahankan kota itu dari kepungan musuh. Celakanya, dari sebelah dalam juga terjadi serbuan-serbuan, pembakaran-pembakaran, yang amat menggelisahkan para pasukan itu.

   Terutama sekali Puteri Nandini yang menerima laporan bertubi-tubi tentang adanya serbuan-serbuan pada gedung-gedung pemerintah, pembakaran-pembakaran, bahkan gedung tempat tinggalnya tidak terkecuali mengalami penyerbuan dan para pengawal gedung itu tewas semua. Mendengar laporan-laporan ini, maklumlah Sang Puteri yang menjadi panglima ini bahwa kota Lhagat ternyata penuh dengan mata-mata yang kini dibantu oleh para tawanan yang lolos untuk mengacaukan kota. Kalau kekacauan di sebelah dalam ini tidak segera dibasmi, tentu akan membahayakan pertahanan kota dari serbuan musuh di luar. Oleh karena itu, sambil mengajak puterinya dia lalu turun dari menara, menyerahkan pengaturan penjagaan pintu-pintu gerbang kepada komandannya dan dia bersama puterinya lalu menuju ke tempat-tempat terjadinya penyerbuan para pengacau itu.

   Akan tetapi para pengacau itu bergerak secara bergerilya. Kalau fihak penjaga terlampau kuat mereka menghilang, menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan membakar atau mengacau di bagian lain, dan tujuan mereka agaknya selain untuk mengacaukan penjagaan juga untuk mendekati pintu-pintu gerbang karena mereka bertugas untuk membobolkan pintu itu dari sebelah dalam. Dirongrong seperti ini dari dalam, para penjaga Nepal menjadi semakin panik dan lelah sekali dan akhirnya, pintu gerbang sebelah selatan bobol dan dengan suara hiruk-pikuk pasukan Kerajaan Ceng-tiauw bersama pasukan Tibet menyerbu masuk bagaikan air bah terlepas dari bendungan yang pecah. Keadaan dalam kota Lhagat menjadi semakin kacau dan bersama dengan terbitnya matahari,

   Pasukan Ceng dan Tibet yang terbagi-bagi menjadi beberapa pasukan itu menyerbu dari semua pintu gerbang yang akhirnya dapat dibobolkan. Terjadilah pertempuran-pertempuran di dalam kota itu dengan hebatnya. Bala tentara Nepal kehilangan kepercayaan diri, dan para pe-mimpin mereka tidak dapat lagi memberi komando secara langsung karena pertempuran telah pecah di mana-mana memenuhi kota itu. Penduduk yang memang banyak bersimpati kepada Tibet, kini keluar dan membantu fihak Tibet untuk menggempur pasukan Nepal yang mereka benci! Dan di dalam pasukan mata-mata yang menyelinap di dalam kota dan tadi telah melakukan pembakaran-pembakaran terdapat banyak orang-orang pandai yang mengamuk bagaikan harimau-harimau buas, membuat pasukan Nepal menjadi makin gelisah.

   Di antara pertempuran-pertempuran yang pecah di mana-mana secara kacau-balau itu, pertempuran-pertempuran jarak dekat yang amat seru, nampak Panglima Nandini dan Siok Lan mengamuk bahu membahu. Dengan pedang di tangan, ibu dan puterinya ini mengamuk, bukan lagi mempertahankan kota atau demi pasukan Nepal, melainkan untuk mempertahankan diri yang dikepung dan dikeroyok! Sementara itu, yang membongkar penjara adalah Cin Liong sendiri dibantu oleh Ci Sian. Dara itu ikut membongkar penjara karena dia hendak mencari Lauw-piauwsu yang dia tahu berada di antara mereka yang menjadi tawanan. Setelah penjara terbongkar dan semua tawanan menyerbu keluar, Ci Sian seorang diri memasuki penjara dan bertanya-tanya kepada para tawanan yang lolos itu di mana adanya Lauw-piauwsu.

   Para tawanan itu yang menjadi gembira sekali memberi tahu bahwa Lauw-piauwsu dalam keadaan sakit payah dan mendengar ini Ci Sian segera berlari-lari menuju ke kamar tahanan orang tua itu. Akhirnya dia melihat laki-laki tua itu rebah di atas lantai beralaskan rumput kering dalam keadaan mengenaskan sekali. Biarpun selama bertahun-tahun Ci Sian tidak bertemu dengan orang ini dan keadaan Lauw-piauwsu amat menyedihkan, namun Ci Sian segera mengenalnya dan cepat dia berlutut di atas lantai dekat tubuh yang kurus kering itu. Tubuh itu kurus sekali, dengan muka pucat dan mata sayu, napasnya tinggal satu-satu dan tubuhnya amat panas. Kiranya kakek itu diserang demam hebat. Sungguh menyedihkan sekali keadaan Toat-beng Hui-to Lauw Sek yang dulunya adalah seorang kakek yang demikian gagahnya itu!

   "Paman Lauw...."

   Ci Sian memanggil dengan hati terharu melihat keadaan orang ini. Lauw Sek membuka matanya yang tadinya dia pejamkan seolah-olah dalam keadaan mata terbuka sayu tadi dia tidak melihat gadis itu memasuki kamarnya setelah mematahkan rantai yang mengunci daun pintu. Sejenak mata yang sudah kelihatan tak bersemangat itu memandang akan tetapi agaknya dia tidak ingat lagi kepada Ci Sian.

   "Siapa.... siapa engkau....?"

   "Paman Lauw, lupakah engkau kepadaku? Aku Ci Sian...."

   "Ci.... Sian....?"

   "Aku Ci Sian atau.... Siauw Goat, cucu dari Kakek Kun, lupakah kau, Paman?"

   "Ahhh...."

   Sejenak mata itu bersinar dan agaknya dia teringat.

   "Engkau.... ah, Nona.... aku.... aku.... amat payah...."

   "Paman, tolong kau beritahukan aku menurut penuturan Kakek Kun dahulu itu, siapakah adanya Ayah kandungku, Ibu kandungku, dan di mana aku dapat mencari mereka?"

   "Ahhh.... aku.... aku tidak kuat lagi membawamu ke sana...."

   "Aku akan mencari sendiri, Paman. Harap kau katakan saja di mana mereka dan siapa mereka itu. Lauw Sek terengah-engah, agaknya pertemuannya dengan gadis yang sama sekali tak disangka-sangkanya ini, gadis yang disangkanya sudah tewas, mendatangkan ketegangan yang menambah berat penyakitnya.

   "Paman.... Paman.... tolonglah, kuatkan dirimu, beritahu aku...."

   Ci Sian memegang pundak orang itu. Mata yang sudah terpejam itu terbuka lagi.

   "Ayahmu.... Bu-taihiap.... petualang besar.... Ibu.... Ibumu.... telah meninggal.... kau disia-siakan dan ditinggal.... dia sudah mempunyai isteri lain lagi.... dia.... dia di.... Kakek itu terkulai lemas dan Ci Sian cepat meletakkan telapak tangannya pada dada orang tua itu untuk menyalurkan tenaga sin-kang dan membantu peredaran darahnya. Mata itu dibuka lagi, nampaknya terkejut dan heran menyaksikan kelihaian dara itu.

   "Di mana dia, Paman? Di mana Ayah?"

   "Di puncak.... Merak Emas.... di Kongmaa La.... Kakekmu.... dia.... Kiu-bwe Sin eng Bu Thai Kun.... Ayahmu.... Ayahmu...."

   Kakek itu mengeluh, terkulai dan Ci Sian menarik kembali tangannya. Kakek itu telah mengakhiri hidupnya, tanpa sempat memberitahukan nama ayahnya. Dia hanya tahu bahwa ayahnya disebut Bu-taihiap, dan hal ini amat mendatangkan rasa nyeri di dalam dadanya. Teringatlah dia akan sikap dan ucapan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang pernah berhubungan dengan seorang pendekar yang disebut Bu-taihiap!

   Dan juga menurut penuturan mendiang Lauw Sek, ayahnya seorang petualang besar, dan Ibunya sudah meninggal dunia pula. Bahkan dia telah ditinggalkan oleh ayahnya itu, disia-siakan! Ci Sian mengepal tinjunya. Teringat dia akan pesan kakeknya bahwa dia harus bertemu dengan ayahnya yang bertanggung jawab kepadanya. Sekarang, ternyata ayahnya adalah seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab, seorang petualang besar, agaknya gila perempuan karena buktinya, bersama isterinya, entah isteri yang mana, entah ibu kandungnya atau bukan, pernah datang menemui Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang cantik dan ayah kandungnya itu berjina dengan Tang Cun Ciu. Betapa memalukan dan rendah! Ayahnya seperti itu! Apa pula perlunya dia mencari ayahnya jauh-jauh?

   Dia lalu meninggalkan jenazah itu setelah menggerakkan bibir mengucapkan terima kasih kepada mendiang Lauw-piauwsu, kemudian berlari keluar dari penjara. Di mana-mana terjadi pertempuran dan malam telah terganti pagi, cuaca sudah tidak gelap lagi matahari telah terbit disambut aliran darah dan teriakan-teriakan kematian, mayat berserak-serakan dan di antara suara beradunya senjata terdengar pekik-pekik kemenangan dan jerit-jerit kesakitan. Melihat keadaan ini, tahulah Ci Sian bala tentara Ceng sudah berhasil menyerbu dan memasuki kota Lhagat, dibantu oleh pasukan-pasukan Tibet. Maka diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada Cin Liong, karena dia tahu bahwa pemuda itulah yang mengatur segala-galanya. Dia lalu, teringat kepada Siok Lan dan mengkhawatirkan keselamatan sahabat baiknya itu.

   Maka dia lalu mencari-cari, tidak mempedulikan pertempuran yang terjadi di sekelilingnya. Akhirnya dia dapat menemukan ibu dan anak itu yang sedang mengamuk, dikeroyok oleh kurang lebah dua puluh orang tentara dan perwira yang rata-rata memiliki kepandaian silat tangguh. Puteri Nandini yang masih berpakaian perang itu telah kelihatan lelah sekali, bahkan pundaknya telah luka berdarah, sedangkan Siok Lan sudah terpincang-pincang karena kaki kirinya terluka, namun dua orang wanita itu dengan gagahnya, agaknya mengambil keputusan tidak akan sudi menyerah selama masih mampu melawan dan akan melawan sampai titik darah terakhir. Melihat ini, hati Ci Sian menjadi tidak tega. Dia telah mengenal Siok Lan yang amat baik kepadanya, dan tahu akan kegagahan dara itu, maka melihat sahabat itu dikeroyok, mana mungkin dia mendiamkannya saja?

   "Lan-cici, jangan khawatir, aku membantumu!"

   Bentaknya dan dia pun meloncat ke dalam kalangan pertempuran dan begitu dia maju menubruk, dia telah berhasil menampar dari samping yang mengenai leher seorang pengeroyok. Orang itu berteriak kaget dan jatuh terpelanting tak dapat bangkit kembali, pedangnya telah pindah ke tangan Ci Sian!

   "Sian-moi....!"

   Siok Lan berteriak girang bukan main, bukan girang karena dibantu semata, melainkan girang dan lega melihat bahwa gadis yang oleh ibunya disangka memberontak dan membantu musuh, berkhianat itu, ternyata tidak demikian dan kini dibuktikannya dengan membantu dia dan Ibunya! Juga Puteri Nandini terkejut, akan tetapi diam-diam girang juga bahwa ternyata dara yang menjadi sahabat puterinya itu bukanlah pengkhianat, melainkan seorang sahabat sejati. Maka dia pun cepat memutar pedangnya dan merobohkan seorang pengeroyok pula. Akan tetapi kini kepungan makin ketat dengan datangnya pasukan baru dan jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang! Tentu saja tiga orang wanita itu, betapapun lihai mereka, mulai terdesak dan kepungan semakin sempit sehingga gerakan-gerakan mereka semakin tidak leluasa.

   "Adik Sian, cepat panggil ular-ularmu!"

   Siok Lan berseru, melihat keadaan mereka terancam.

   "Ah, mana mungkin, Enci Lan? Kota penuh orang yang bertempur, ular-ular itu tidak berani muncul!"

   Jawab Ci Sian sambil memutar pedang rampasannya tadi, kini tidak lagi dapat menyerang lawan, melainkan hanya membela diri dan menangkis semua sanjata para pengeroyok yang datang menyambar bagaikan hujan demikian pula Siok Lan dan ibunya hanya mampu menangkis. Mereka bertiga kini saling membelakangi, membentuk segi tiga dan menahan serbuan senjata-senjata para pengeroyok dari luar. Namun keadaan mereka sungguh sudah amat terdesak dan mudah dibayangkan bahwa tak lama lagi akhirnya mereka tentu akan roboh juga. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan tiga orang wanita itu, tiba-tiba terdengar bentakan halus, namun nyaring dan penuh wibawa.

   "Tahan semua senjata! Hentikan pengeroyokan!"

   Luar biasa sekali bentakan ini, karena selain dapat menembus semua suara kegaduhan, juga semua pengeroyok itu seketika berhenti, mundur dan berdiri dengan amat hormat, memberi jalan kepada seorang pemuda yang mengeluarkan perintah yang amat ditaati itu. Panglima Nandini dan Siok Lan memandang kepada orang itu dan mereka terbelalak, karena mereka mengenal pemuda yang berpakaian jenderal amat indah dan mentereng ini.

   "Liong-ko....!"

   Siok Lan berseru kaget sekali karena jenderal muda yang gagah itu bukan lain adalah Liong Cin.

   "Hemm, kiranya Liong Cin adalah jenderal sakti yang dikabarkan orang itu?"

   Puteri Nandini juga berkata dengan kaget dan penasaran. Akan tetapi Cin Liong yang begitu masuk memandang kepada Ci Sian, berkata kepada dara itu dengan alis berkerut,

   "Ci Sian, engkau membantu mereka?"

   Ditanya dengan suara penuh teguran itu, Ci Sian menegakkan kepalanya, sepasang matanya bersinar malah dan dia menjawab gagah,

   "Tentu saja! Aku diterima dengan baik di sini, Enci Siok Lan adalah sahabatku, melihat dia dan Ibunya terancam bahaya, tentu saja aku membantu dan membela mereka. Aku bukan seorang yang tak kenal budi!"

   Mendengar jawaban ini, Cin Liong menahan senyumnya dan dia memandang kepada Siok Lan yang masih terbelalak. Ketika dara ini melihat betapa sahabatnya itu agaknya sama sekali tidak heran melihat keadaan Liong Cin yang muncul sebagai jenderal, dia lalu berkata,

   "Dia.... dia.... jenderal musuh....?"

   "Ya, Enci Lan, jangan kaget. Dialah jenderal yang dikabarkan orang itu, jenderal muda sakti yang datang menyelundup dan kalian malah menerimanya sebagai tamu dan sahabat! Dan namanya bukanlah Liong Cin, melainkan Kao Cin Liong!"

   Jawab Ci Sian yang tahu bahwa keadaan panglima muda itu tidak perlu lagi disembunyikan sekarang. Mendengar bahwa nama yang dikenalnya itu hanya nama palsu, atau nama aseli yang dibalikkan saja, Siok Lan memandang kepada panglima muda itu dengan heran, akan tetapi ibunya, Puteri Nandini menjadi terkejut bukan main.

   "She Kao?"

   Panglima wanita itu berseru.

   "Apa hubungannya dengan Jenderal Kao Liang?"

   Cin Liong mengangguk kepada puteri peranakan Nepal yang gagah itu.

   "Mendiang Jennderal Kao Liang adalah Kakekku."

   "Hemm.... Puteri Nandini mengangguk-angguk, tidak penasaran lagi bahwa dia telah dikalahkan oleh jenderal muda ini karena nama Jenderal Kao Liang telah sangat terkenal dan tentu saja cucunya ini pun mewarisi kepandaian yang hebat dari jenderal besar itu.

   "Jadi kalau tidak salah, Ciangkun adalah putera pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?"

   Kembali Cin Liong mengangguk tanpa menjawab karena dia memang tidak ingin memamerkan keadaan keluarganya.

   "Setelah kami kalah, apa yang hendak kau lakukan dengan kami?"

   Kini Puteri Nandini bertanya, dalam suaranya mengandung tantangan.

   "Li-ciangkun, dan.... Nona Siok Lan, tepat seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, kami bukanlah orang-orang yang tidak mengenal budi. Oleh karena itu, sebagai pembalasan budi, silakan kalian pergi dengan aman.

   "Apa? Engkau berani membebaskan kami?"

   Puteri Nandini berteriak kaget dan juga heran. Dia adalah seorang panglima musuh yang telah kalah, dan kini dibebaskan begitu saja oleh panglima ini!

   "Li-ciangkun hanya seorang petugas, bukan biang keladi peperangan ini. Silakan!"

   "Mari, Anakku!"

   Kata Nandini sambil menarik tangan Siok Lan. Dara ini masih menoleh dan memandang kepada Cin Liong, mukanya pucat dan sepasang matanya basah.

   Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Selamat jalan, Nona, mudah-mudahan kita dapat saling bertemu kembali dan maafkan semua kesalahanku,"

   Kata Cin Liong sambil menjura ke arah Siok Lan yang terisak dan menutupi mukanya.

   "Ci Sian, engkau sahabat baik kami, apakah engkau tidak mau pergi bersama kami?"

   Puteri Nandini mengajak Ci Sian akan tetapi dara ini menggeleng kepala dengan sikap yang keras. Kembali ada rasa tidak enak di hatinya menyaksikan sikap Cin Liong dan Siok Lan.

   "Tidak, Bibi, aku mau pergi sendiri, aku mempunyai urusan pribadi!"

   Katanya dan tanpa banyak cakap lagi, bahkan tanpa menoleh kepada Cin Liong, dia lalu meloncat dan pergi dari tempat itu.

   "Adik Sian....!"

   Terdengar panggilan Siok Lan dengan suara mengandung isak. Ci Sian berhenti, menoleh dan berkata kepada sahabatnya itu,

   "Sampai jumpa, Enci Lan!"

   Dan dia pun melanjutkan larinya tanpa mempedulikan lagi.

   "Mari, Siok Lan!"

   Puteri Nandini menarik tangan puterinya, akan tetapi Siok Lan masih menoleh dan memandang kepada Cin Liong. Akhirnya, dengan menahan isak, dia pun mengikuti ibunya lari pergi dari tempat itu, diikuti dan di-kawal oleh pasukan pengawal atas perintah Cin Liong agar ibu dan anak itu tidak diganggu dan dibiarkan lolos dari kota Lhagat di mana masih terjadi pertempuran-pertempuran dengan sisa pasukan Nepal yang masih melakukan perlawanan.

   Sebagian besar pasukan Nepal sudah roboh atau melarikan diri. Setelah Panglima Nandini dan puterinya pergi lolos dari Lhagat, pertempuran pun tak lama kemudian berhenti karena pasukan Nepal sudah kehilangan semangat dan keberanian. Sebagian dari mereka melarikan diri atau membuang senjata dan menaluk. Para taklukan ini oleh Cin Liong diserahkan kepada para pimpinan pasukan Tibet untuk dijadikan tawanan, kemudian Cin Liong yang menduduki gedung bekas tempat tinggal Puteri Nandini mengumpulkan para pembantunya. Diantara mereka itu terdapat pula Wan Tek Hoat yang berjasa besar ketika membantu pasukan membobolkan kepungan karena pendekar sinting ini yang mengamuk sehingga membuat pasukan kocar-kacir.

   "Paman, saya telah menerima perintah untuk melan-jutkan gerakan ini ke Nepal, untuk menghajar pemerintah Nepal yang telah berani menyerang dan memasuki wilayah Tibet. Saya sedang minta bantuan pasukan dari kerajaan untuk memperkuat barisan. Harap Paman sudi membantu kami."

   Akan tetapi Tek Hoat menggeleng kepala.

   "Aku tidak mau lewat Bhutan, aku tidak mau perang, aku tidak bisa ikut."

   Cin Liong hanya menarik napas panjang. Dia merasa kasihan sekali kepada pamannya yang gagah perkasa ini dan melihat keadaannya seperti jembel sinting ini dia merasa kasihan sekali.

   "Kalau begitu sebaiknya Paman mengunjungi orang tua saya, Ibu tentu akan senang sekali bertemu dengan Paman."

   Cin Liong lalu memberi bekal, kuda, pakaian dan uang secukupnya. Akan tetapi Tek Hoat tertawa bergelak melihat pemberian ini.

   "Jenderal muda, kau kira aku masih membutuhkan semua itu? Bukan itu yang kubutuhkan, sama sekali bukan...."

   Dia masih tertawa ketika dia berlari pergi meninggalkan Cin Liong yang menjadi bengong. Jenderal muda ini lalu menggeleng kepala dan menarik napas panjang berkali-kali. Dia sudah banyak bertemu orang-orang pandai di dunia kang-ouw yang memang wataknya aneh-aneh, dan pamannya itu mempunyai watak yang lebih aneh lagi.

   "Siok Lan, diamlah jangan menangis lagi!"

   Nandini membentak dengan marah. Di sepanjang perjalanan puterinya hanya menangis saja, menangis demikian sedihnya. Semenjak kecil, puterinya itu adalah seorang anak yang tabah dan tidak cengeng, bahkan belum pernah dia melihat Siok Lan menangis seperti sekarang ini, menangis demikian sedihnya! Dikiranya bahwa anaknya itu menangis karena kekalahannya yang dideritanya.

   "Di dalam perang, kalah menang adalah hal yang lumrah, seperti juga dalam pertempuran dunia persilatan. Harus kita akui bahwa fihak musuh mempunyai seorang ahli yang amat lihai dan siasatnya itu sama sekali tidak pernah kusangka dan kuperhitungkan. Kita sudah kalah, mengapa harus ditangisi? Biasanya engkau bukanlah seorang anak cengeng!"

   Siok Lan tidak menjawab akan tetapi tangisnya semakin sedih.

   "Semula memang aku sudah men-duga bahwa tidak mungkin bala tentara Nepal akan mampu mengalahkan bala tentara Kerajaan Ceng-tiauw yang amat kuat. Semua adalah kesalahan koksu jahat itu yang membikin Nepal bermusuhan dengan Kerajaan Ceng. Dan kekalahanku ini membuat aku tidak ada muka untuk kembali ke Nepal....! Ah, kita hanya hidup berdua, Anakku, kita tidak mempunyai apa-apa di Nepal, maka jangan kau terlalu menyusahkan kekalahan ini."

   "Bukan.... bukan itu, Ibu,"

   Kata Siok Lan yang berhenti berjalan dan dara ini duduk di tepi jalan, di antara sebuah batu besar dan kembali air matanya jatuh berderai. Nandini terkejut dan memandang penuh selidik.

   "Kalau bukan karena kekalahan itu, habis mengapa kau menangis dan begini berduka?"

   "Ibu.... dia jenderal musuh.... hu-hu-huuuuhhh...."

   Dan kini Siok Lan menangis sesenggukan dan menubruk kaki ibunya, berlutut sambil menangis. Nandini terkejut dan sejenak dia termenung, menunduk dan memandang kepala anaknya yang menangis di depan kakinya. Lalu dia mengangkat bangun anaknya itu setengah paksa, merangkul dan membawanya duduk kembali di atas batu, membiarkan anaknya itu menangis di atas dada-nya. Puteri itu memejamkan matanya dan terbayanglah semua pengalamannya di waktu dahulu, di waktu dia masih muda, masih sebaya dengan puterinya ini. Nandini adalah puteri seorang pendeta bangsa Nepal yang hidup di atas puncak sebuah bukit yang sunyi. Ayahnya adalah seorang pertapa yang sakti dan oleh ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu ketangkasan dan ilmu silat.

   Pada suatu hari, ketika Nandini sedang memburu binatang dalam sebuah hutan, dia melihat perampok-perampok sedang merampok seorang Pangeran Nepal, Nandini menggunakan kepandaiannya menolong pangeran itu, dan Sang Pangeran amat berterima kasih dan sekaligus jatuh cinta kepadanya, lalu melamar Nandini dari tangan ayahnya. Sang pendeta tentu saja merasa terhormat dan menerima lamaran itu dengan girang. Akan tetapi Nandini sendiri merasa berduka karena dia tidak suka kepada pangeran itu. Biarpun kedudukannya tinggi, sebagai seorang pangeran yang tentu saja terhormat, mulia dan kaya raya, namun pangeran itu sudah berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah kasar buruk dan kabarnya telah memiliki selir belasan orang banyaknya!

   Biar pun dia akan diambil sebagai isteri, bukan selir, namun hatinya tidak senang. Akan tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja dia tidak berani menolak kehendak ayahnya dan demikianlah, dia menjadi tunangan pangeran tua itu! Dan pada suatu hari, beberapa bulan sebelum dia menikah, bertemulah dia dengan pendekar itu di dalam hutan! Seorang pendekar bangsa Han yang masih muda, tampan, sakti sekali, dan di samping itu, pandai merayu hatinya sehingga jatuhlah hati Nandini! Apalagi kalau dia membandingkan pendekar muda ini dengan calon suaminya, membuat Nandini kehilangan kesadarannya dan dia menyerahkan dirinya kepada pendekar itu yang memang merayunya. Terjadilah hubungan di antara mereka di dalam hutan, hubungan mesra yang kini terbayang oleh sepasang mata yang dipejamkan itu.

   Akan tetapi hubungan antara mereka itu akhirnya ketahuan! Ayahnya menjadi marah dan menyerang pendekar itu, akan tetapi ayahnya sama sekali bukan tandingan pendekar itu dan ayahnya malah tewas dalam penyerangan itu, bukan tewas oleh tangan Si Pendekar, melainkan tewas karena serangan jantung, karena kemarahannya yang meluap-luap. Kemudian terjadilah hal yang amat menyakitkan hatinya. Pendekar itu lalu meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja, padahal dia sudah mengandung! Hasil dari pada pencurahan kasih dan nafsu berahi antara mereka selama hampir satu bulan di dalam hutan! Namun, pangeran tua itu ternyata amat mencintainya dan bahkan mau memaafkan semua hubungannya dengan Si Pendekar. Pangeran itu tetap saja mengawininya, dan tidak mau menjamahnya sampai dia melahirkan seorang anak perempuan, yaitu Siok Lan!

   Melihat kebaikan pangeran itu, sungguhpun sebagian dari penyebabnya adalah karena pangeran itu ingin menutupi aib yang akan mencemarkan namanya sendiri, akhirnya Nandini menerima nasib dan mau melayani pangeran itu sebagai suaminya. Kemudian, berkat ilmu kepandaiannya, suaminya memberi jalan kepada Nandini sehingga dia dapat bertugas di dalam ketentaraan dengan pangkat lumayan. Dan ketika pangeran itu meninggal dunia karena penyakit, Nandini terus menanjak dalam kedudukannya sampai akhirnya dia men-dapat kedudukan tinggi sebagai seorang panglima perang! Dan akhirnya kedudukannya itu berakhir dengan kekalahan yang amat memalukan! Dia tidak berani kembali lagi ke Nepal. Kemudian, mendengar tangis puterinya, teringatlah dia akan semua pengalamannya itu, terbayanglah wajah tampan pendekar itu!

   "Siok Lan, apa yang terjadi antara engkau dan Jenderal muda itu?"

   Akhirnya dia bertanya, setengah mengkhawatirkan bahwa peristiwa yang dialaminya dahulu itu terulang lagi pada puterinya! Siok Lan memandang ibunya dan melihat sinar mata ibunya tajam penuh selidik, dia pun membalas dengan pandang mata bersih dan tenang.

   "Tidak ada terjadi apa-apa kalau itu yang kau maksudkan, Ibu. Akan tetapi kami.... kami telah saling jatuh cinta.... akan tetapi.... tentu saja kusangka bahwa dia seorang pemburu muda biasa, bukan seorang jenderal besar.... hu-huuuhh, apalagi jenderal musuh...."

   Nandini mengelus rambut kepala puterinya.

   "Aku girang bahwa tidak terjadi apa-apa antara engkau dan dia.... dia memang seorang pemuda yang patut mendapat cintamu, Anakku, akan tetapi.... dia jenderal musuh! Mana mungkin dia mau menikah atau berjodoh dengan seorang seperti engkau...."

   "Tapi, kami sudah saling mencinta, Ibu!"

   "Hemm.... dia seorang ahli siasat perang! Siapa tahu bahwa cintanya kepadamu itupun hanya merupakan siasatnya belaka...."

   "Ibu....! Jangan begitu kejam.... ah, tidak mungkin itu! Ibu, aku mau susul dia, akan kutanyakan hal itu. Kalau.... kalau benar cintanya itu hanya siasat, aku.... aku akan...."

   "Kau mau apa?"

   "Aku akan membunuhnya!"

   Nandini tersenyum sedih. Dia pun dahulu ingin membunuh pendekar tampan itu, akan tetapi dia tahu bahwa biarpun dia belajar sampai sepuluh tahun lagi, tak mungkin dia dapat menandingi pendekar itu. Dan puterinya ini, biar belajar puluhan tahun lagi mana mungkin dapat menandingi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu mendiang Jenderal Kao Liang? "Kau takkan menang Anakku."

   "Tidak peduli! Kalau dia menipuku, hanya bersiasat dalam cintanya, biar dia atau aku yang mati!"

   "Hemm, itu tidak bijaksana, Siok Lan. Ingat, engkau adalah puteri panglima musuh, selain perbuatanmu menyusul jenderal musuh itu amat memalukan, juga begitu muncul engkau tentu akan dianggap, musuh dan dikeroyok para anak buah pasukan...."

   "Aku tidak takut!"

   Kata Siok Lan yang nampak penasaran mengingat betapa cinta pemuda itu mungkin hanya siasat perang saja!

   "Lebih baik aku mati dikeroyok daripada tidak ada harapan berjodoh dengan dia!"

   Siok Lan sudah nekat. Memang benar bahwa pemuda itu dan dia masing-masing belum pernah menyatakan cinta dengan kata-kata melalui mulut, akan tetapi dia merasa benar ketika mereka saling pandang, saling senyum dan saling bergandeng tangan. Dia dapat merasakan cinta kasih itu melalui sinar mata, melalui seri senyum, melalui getaran dalam sentuhan jari-jari tangan antara mereka.

   "Siok Lan, jangan terburu nafsu. Aku sebagai ibumu dapat memaklumi perasaanmu dan aku setuju sepenuhnya andaikata engkau dapat berjodoh dengan Jenderal muda itu. Dia itu adalah cucu Jenderal Kao Liang, ini saja sudah merupakan suatu jaminan. Apalagi di ingat bahwa dia putera Naga Sakti Gurun Pasir, itu lebih lagi. Pula, kita sudah melihat betapa lihainya dia mengatur siasat perang, dan aku yakin bahwa ilmu silatnya pun amat tinggi. Maka, mana mungkin engkau, hanya anak seorang Panglima Nepal yang telah kalah...."

   "Ibu, bukankah Ibu pernah mengatakan bahwa aku juga seorang anak kandung dari pendekar yang sakti?"

   "Ayahmu....?"

   Wajah wanita yang masih cantik itu berubah merah, kemudian menjadi pucat kembali. Dia memejamkan matanya dan terbayanglah dia ketika dia belum berangkat memimpin pasukan, pernah ada seorang pengembara datang membawa surat dari pendekar bekas kekasihnya itu, ayah kandung Siok Lan. Surat itu seperti juga watak orangnya, penuh rayuan dan ternyata pendekar itu sudah mendengar bahwa dia telah menjadi seorang janda dan pendekar itu merayunya dalam surat, menyatakan rindunya, menyatakan bahwa pendekar itu kini hidup seorang diri, kesepian dan menanggung rindu, dan membujuknya agar suka datang ke tempatnya, menikmati hidup bersama! Surat itu telah dirobek-robeknya dan dia berangkat memimpin pasukan menyerbu ke Tibet. Akan tetapi kini, ketika puterinya merengek, teringatlah dia akan isi surat.

   "Hemm, memang hanya ada satu jalan. Dan Ayah kandungmu itu, yang selama hidupnya belum pernah menderita jerih payah merawat dan mendidikmu, sekarang dia harus bertanggung jawab! Ya, dia harus membuktikan bahwa dia seorang ayah yang patut dan yang sudah sepantasnya kalau menjodohkan puterinya! Mari kita pergi kepadanya, Siok Lan, dan kita serahkan urusan jodoh ini kepadanya!"

   Siok Lan merasa girang sekali dan kedukaannya segera terhapus dari wajahnya dan pada wajah yang cantik itu terbayang penuh harapan ketika dia pun lari mengikuti ibunya.

   Puncak Merak Emas merupakan satu di antara puncak-puncak Gunung Kongmaa La yang menjulang tinggi di atas awan-awan. Kongmaa La merupakan gunung yang nomor tiga tingginya dari deretan Pegunungan Himalaya, memiliki banyak puncak yang sedemikian tingginya sehingga hampir selalu tertutup es dan salju. Akan tetapi, puncak Merak Emas hanya pada musim salju saja tertutup es dan pada musim-musim lain, terutama di musim semi dan musim panas, puncak Merak Emas amat indahnya dan subur dengan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon besar. Mungkin karena banyaknya terdapat merak dengan bermacam-macam warna, maka puncak itu dinamakan puncak Merak Emas, sungguhpun jarang sekali ada manusia yang dapat bertemu dengan seekor merak yang bulunya keemasan.

   Karena tanahnya yang subur dan keadaannya yang lebih enak ditinggali, tidak seperti puncak-puncak lainnya di Pegunungan Himalaya, maka di kaki dan lereng gunung ini terdapat kelompok-kelompok dusun yang penghuninya bekerja sebagai petani atau pemburu binatang hutan. Akan tetapi di puncaknya sendiri hanya terdapat sebuah pondok kayu yang sederhana namun kokoh kuat dan setiap hari orang dapat mendengar suara seorang pria membaca sajak dengan suara yang lantang dan merdu dari dalam pondok itu. Di belakang pondok itu terdapat kebun yang cukup luas, penuh dengan tanaman sayur-sayuran seperti kobis, sawi, wortel, lobak dan sebagainya lagi, di samping beberapa petak sawah yang ditanami padi gandum. Semua penghuni dusun di sekitar puncak itu tahu bahwa pondok itu dihuni oleh seorang pria yang hidup menyendiri di situ, di tempat sunyi itu.

   Seorang pria yang berpakaian seperti petani biasa, usianya sudah empat puluh tahun lebih namun masih nampak gagah dan muda, tampan dan periang. Tubuhnya kokoh kuat biarpun gerak-geriknya halus seperti seorang sastrawan, wajahnya yang gagah dan tampan itu selalu berseri kemerahan, sepasang matanya bersinar-sinar dan jenggot serta kumisnya terpelihara rapi selalu. Biarpun pakaiannya sederhana, pakaian petani namun selalu nampak bersih dan rapi, sungguh amat berbeda dengan para petani yang biasanya selalu berlepotan lumpur. Melihat betapa dia hidup dalam keadaan tenang dan tenteram, nampaknya amat berbahagia, orang akan menganggap dia seorang petani biasa yang berbahagia, tidak butuh apa-apa lagi, hidup sehat dan penuh damai. Akan tetapi kalau malam tiba, dan orang melihat dia duduk di senjakala menikmati matahari tenggelam sambil melamun,

   Kadang-kadang minum arak sendirian dan membaca sajak-sajak yang indah dengan suara lantang, maka, melihat wajahnya yang menjadi berduka, Mendengar bunyi rangkaian sajak yang bernada sedih, maka orang akan tahu bahwa sebenarnya ada kedukaan besar tersembunyi di balik kehidupan yang nampak bahagia itu. Dan kalau sudah begitu, maka akan jelaslah bahwa dia bukanlah seorang petani biasa, baik dilihat dari caranya membaca sajak, dan gerak-geriknya. Bahkan, di waktu keadaan sunyi sekali dan dia merasa yakin tidak ada mata lain memandang, tubuhnya akan berkelebatan seperti kilat ketika dia berlatih ilmu silat yang amat hebat sehingga gerakan tangan kakinya membuat daun-daun pohon rontok dan tanah di sekeliling tempat dia berlatih itu tergetar seperti ada gempa bumi!

   Akan tetapi ada kalanya, agaknya untuk melarikan diri dari kesepian, orang itu nampak bercakap-cakap dengan orang-orang dusun yang tinggal di lereng. Dia sengaja turun dari puncak membawa arak buatannya sendiri, mendatangi para penghuni dusun yang diajaknya minum arak sambil bercakap-cakap, tentang tanaman atau tentang alam atau juga tentang filsafat kehidupan sederhana menurut pandangan para penghuni dusun. Ada kalanya pula dia nampak berada di sebuah kuil yang juga berada menyendiri di sebuah lembah di lereng gunung, sebuah kuil yang dihuni oleh seorang ni-kouw. Keadaan nikouw ini puri aneh, sama anehnya dengan petani yang suka bersajak itu, karena nikouw ini tinggal seorang diri dalam kesunyian pula. Nikouw ini masih muda, kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya, berwajah bersih dan cantik, namun jarang dia memperlihatkan wajahnya yang selalu disembunyikan di balik kerudung putih.

   Nikouw ini amat ramah dan manis budi terhadap para penghuni dusun, seringkali berkeliling untuk memberi petunjuk dan pengobatan, dan seringkali menerima orang-orang bersembahyang memohon berkah dari para dewa. Biarpun tidak pernah bertanya dan tidak pernah melihat buktinya, namun semua penduduk dusun dapat merasakan bahwa baik si petani di puncak, maupun nikouw di kuil sunyi itu tentulah bukan orang-orang sembarangan. Nikouw itu mendiami kuil lama yang dibersihkannya dan diperbaikinya sendiri, juga hidup dari bertanam sayur di belakang kuil. Tak seorang pun dapat mengatakan kapan dua orang ini muncul di tempat itu, akan tetapi seingat para kaum tua di dusun-dusun, kemunculan mereka juga dalam waktu yang sama. Ada kalanya pula petani itu duduk seorang diri di waktu pagi sekali atau di waktu senja menikmati matahari, timbul atau matahari tenggelam, sambil meniup suling bambunya.

   Dia pandai bermain suling, suara tiupan sulingnya mengalun halus dan lembut sekali, mendatangkan hikmat ke mana pun suara itu dapat terdengar. Melihat para petani itu membaca sajak dan meniup suling, dapat diduga bahwa dia tentu seorang ahli sastra, di samping ahli silat. Pada senja hari itu, kembali dia meniup sulingnya sambil duduk menghadap ke barat, menikmati keindahan angkasa yang seperti terbakar oleh warna merah, kuning dan biru dari sinar matahari senja. Ketika suara sulingnya melambat dan melirih kemudian hilang ditelan keheningan, petani itu tersenyum dan biarpun dia menunduk, namun matanya mengerling ke kanan dan dia melihat berkelebatnya bayangan orang di bawah puncak. Dia bersikap tidak peduli, bahkan lalu bangkit berdiri dan melangkah lambat-lambat memasuki pintu pondoknya.

   Bayangan yang berkelebatan cepat itu adalah Ci Sian. Dara ini, seperti kita ketahui telah meninggalkan Lhagat, kemudian dia melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kongmaa La, mencari tempat tinggal ayahnya seperti yang diketahuinya dari penuturan mendiang Lauw Sek. Sore tadi, atau lewat tengah hari, dia tiba di kuil sunyi dan melihat seorang nikouw muda dan cantik sedang mencangkul di kebun sayur belakang kuil. Sejenak Ci Sian merasa terheran melihat seorang nikouw yang muda dan cantik sendirian saja di kuil tua yang sunyi, apalagi melihat nikouw itu melakukan pekerjaan berat mencangkul kebun. Akan tetapi nikouw itu tiba-tiba berhenti mencangkul, menoleh dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian terdengar suaranya bertanya, suaranya mengandung teguran halus namun tajam.

   "Siapakah engkau dan mengapa melihat orang yang sedang bekerja?"

   Ci Sian adalah seorang dara yang berwatak keras dan melihat sikap nikouw itu, terutama mendengar nada suara pertanyaannya, dia sudah merasa tidak senang. Akan tetapi karena dia datang untuk bertanya, maka dia masih bersabar dan dia cepat menghampiri.

   "Nikouw yang baik, saya ingin bertanya apakah di tempat ini ada seorang pertapa she Bu?"

   Sungguh mengherakan sekali, mendengar pertanyaannya itu, jelas nampak betapa nikouw itu menjadi marah. Mukanya yang putih halus, itu menjadi kemerahan, sepasang mata yang bening itu kini berapi-api.

   "Mau apa engkau mencari orang she Bu?"

   "Eh, apa hubungannya hal itu denganmu?"

   Ci Sian bertanya kembali, kini dia mulai marah.

   "Beri tahu saja di mana aku dapat bertemu dengan pertapa she Bu itu!"

   Sepasang mata yang bening dari nikouw itu makin tajam dan penuh selidik.

   "Hemm, engkau ini perempuan masih begini muda juga sudah tergila-gila kepadanya?"

   Mendengar ini, Ci Sian terkejut dan marah bukan main. Mukanya berubah merah seketika dan dia membentak.

   "Engkau nikouw yang seharusnya hidup suci dan bersih, kiranya mulutmu begini kotor! Hayo beri tahu di mana adanya orang she Bu itu!"

   "Huh, kau tidak mau memberi tahu keperluanmu, aku pun tidak sudi memberi tahu. Kau cari serndiri saja!"

   Setelah berkata demikian, nikouw itu mengambil kembali cangkulnya dan mulai lagi mencangkul, mengayun cangkulnya kuat-kuat dan mencangkul tanah tanpa mempedulikan lagi kepada Ci Sian.

   Ci Sian sudah mengepal tinju untuk memberi hajaran kepada nikouw yang dianggapnya tidak sopan dan menuduhnya yang bukan-bukan itu, akan tetapi dia terbelalak melihat betapa batu-batu yang terkena hantaman cangkul itu terbelah seperti tanah lempung saja! Maklumlah dia bahwa nikouw ini adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia pun tidak berani bertindak lancang dan ceroboh. Dia hendak mencari ayahnya, dan tempat ini merupakan tempat sunyi di mana dia tahu banyak terdapat pertapa-pertapa yang sakti, maka tidak baik kalau dia mencari keributan dengan sembarang orang. Maka setelah memandang sekali lagi, dia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan kebun dan nikouw yang aneh itu. Setelah meninggalkan nikouw itu,

   Ci Sian melanjutkan penyelidikannya dan setelah dia bertanya-tanya kepada para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu, akhirnya dia mendengar tentang seorang petani aneh yang berada di puncak Merak Emas, tinggal seorang diri dalam pondok dan biar tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu she dari petani itu, tidak ada pula yang mengenal seorang pertapa she Bu, namun hatinya tertarik untuk menyelidiki petani itu. Dan pada senja hari itu dia mendaki ke arah puncak. Dari jauh dia telah mendengar suara suling yang amat merdu itu dan diam-diam dia sudah merasa semakin tertarik dan terheran karena bagaimana mungkin seorang petani dapat memainkan lagu-lagu klasik itu? Dia mengenal beberapa buah lagu kuno yang tentu hanya dikenal oleh pemain-pemain musik yang pandai, bukan oleh seorang petani biasa saja.

   

Jodoh Rajawali Eps 37 Kisah Sepasang Rajawali Eps 59 Jodoh Rajawali Eps 48

Cari Blog Ini