Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Pulau Es 6


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Kenyataan ini membuat anak itu tidak banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya bergantung lemas pada kedua kakinya yang terlibat tali, bahkan dia lalu memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri semua, perih-perih semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itupun terkulai pingsan.Setelah siuman kembali, Ceng Liong mendapatkan dirinya berada di sebuah bilik kecil dan kosong, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai.

   Ketika dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua. Akan tetapi, ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat yang berwarna merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih, akan tetapi luka-luka itupun mengering. Pakaiannya masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan ketika dia dikeroyok tadi. Tadi? Atau kemarin? Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah semalam dia menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.

   Dari guncangan dan ayunan yang dirasakannya, diapun tahu bahwa dia masih berada di dalam perahu dan diapun teringat bahwa dia telah menjadi tawanan Hek-i Mo-ong. Dia melihat hidangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Seketika dia merasa betapa tubuhnya lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa makanan itu dan dari siapa, yang penting adalah menjaga kesehatannya, pikirnya.

   Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan melihat perkembangan untuk menentukan tindakan. Ceng Liong lalu menyambar tempat air dan minum. Segar sekali rasanya, walaupun hanya air tawar dingin saja. Lalu diapun mulai makan, tidak lahap dan tidak terlalu banyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang kosong. Setelah selesai makan, diapun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata amat kuat, terhitup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus untuk tempat tawanan! Dan diapun melihat empat orang penjaga duduk di luar bilik. Ketika mereka bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.

   "Kita ini anak buah Jai-hwa Siauw-ok, sekarang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong.! terdengar seorang di antara mereka mengomel.

   "Hushh, perlu apa mengomel? Kita malah untung besar. Lihat saja teman-teman banyak yang tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan Jai-hwa Siauw-ok setelah berhasil menangkap gadis itu lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!!

   "Hemm, gadis Pulau Es itu memang cantik manis, heh-heh!!

   "Dan kita tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin kita itu!!

   "Yang dua orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!!

   "Sayangnya, Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja, lalu bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?!

   "Kenapa ribut-ribut? Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong lebih enak. Dia lebih berpengaruh, lebih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok.!

   Mendengarkan percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita yang amat buruk. Agaknya encinya Suina Hui telah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Biarpun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat menduga apa artinya jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat Kecil) itu. Tentu encinya itu terancam bahaya yang mengerikan pula.

   Akan tetapi, dia tidak begitu mengkhawatirkan Suma Hui karena bagaimanapun juga, percakapan anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa dara itu masih hidup. Dan selama masih hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang membuat dia khawatir adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong. Mereka berdua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mampu menyelamatkan diri dari ancaman gelombang air laut dalam badai itu? Betapapun lihainya kakaknya, Ciang Bun atau keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu takkan mampu berbuat banyak terhadap amukan air laut dalam badai.

   "Akan tetapi kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini? Bukankah dia bilang hendak menyiksanya sampai mati? Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita yang harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi makan lagi! Apa sih maksudnya?!

   "Hushh, perlu apa mencampuri? Tugas kita hanya mentaati perintah!!

   "Pula, masa begitu saja engkau tidak tahu?! sambung suara lain.

   "Biasa, kalau hendak memotong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?!

   "Ha-ha-ha, engkau benar!!

   "Hemm, jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti keberhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es, dan di depan para datuk itulah baru dia akan dibunuh.!

   "Ya, kabarnya akan dijadikan korban sembahyangan roh para kawan yang telah tewas di tangan keluarga Pulau Es selama ini.!

   Ceng Liong sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring.

   "Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan berisik! Aku mau tidur, tahu?!

   Empat orang penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.

   "Bocah keparat!!

   "Kurobek mulutnya!!

   "Kalau aku yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi sepotong!!

   Akan tetapi Ceng Liong sudah tidak memperdulikan mereka lagi dan diapun mengusir segala kekhawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi.

   Beberapa hari kemudian, perahu-perahu yang hanya tinggal tiga buah banyaknya itu karena yang sebuah dibawa oleh Jai-hwa Siauw-ok, agaknya terpisah atau memisahkan diri, mendarat di sebuah pesisir yang landai. Pantai Lautan Kuning ini berada di Propinsi Kiang-su dan ternyata di situ telah menanti sebuah kereta dan terdapat pula rombongan orang yang membawa banyak kuda. Hek-i Mo-ong lalu membawa Ceng Liong yang digandeng tangannya memasuki kereta yang segera dilarikan, ditarik oleh dua ekor kuda besar. Para anak buah, sebagian ditinggalkan di perahu perahu itu dan sebagian pula menunggang kuda mengiringkan kereta. Kereta dan rombongan itu membalap ke arah barat.

   Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah hutan yang lebat, yang berada di lereng sebuah bukit di perbatasan antara Propinsi Kiang-su dan Propinsi An-hwi, di lembah Sungai Huai. Tempat inilah yang terpilih untuk pertemuan para datuk itu.

   Siapakah adanya Hek-i Mo-ong? Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu telah mengenalnya. Hek-i Mo-ong adalah seorang kakek raksasa yang bernama Phang Kui. Dia masih peranakan Bangsa Kozak, bertubuh tinggi besar. Rambutnya putih semua sejak muda dan matanya agak kebiruan. Dahulu pernah dia mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai perkumpulan sesat. Anak buahnya dikenal sebagai gerombolan iblis yang amat kejam dan jahat, merupakan pasukan yang kuat dan berpengaruh di daerah Sin-kiang. Belasan tahun yang lalu, dengan dibantu oleh delapan orang murid kepala yang dikenal dengan sebutan Hek-i Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) Hek-i Mo-ong memimpin gerombolannya, seolah-olah menjadi raja kecil di daerah Sin-kiang dan semua pejabat setempat menjadi sekutunya.

   Akan tetapi akhirnya perkumpulannya ini dihancurkan oleh sepasang pendekar sakti, yaitu keturunan Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Hong bersama gadis yang kini menjadi isterinya, bernama Bu Ci Sian. Delapan orang murid kepala yang menjadi tangan kanannya itu tewas, bahkan Hek-i Mo-ong terpaksa harus melarikan diri dan meninggalkan lereng Ci-lian-san.Usahanya untuk bergabung dengan Im-kan Ngo-ok dan membalas dendam ternyata gagal, bahkan Im-kan Nga-ok tewas semua oleh para pendekar muda (bacaSuling Emas dan Naga Siluman).

   Hancurlah semua impian Hek-i Mo-ong untuk membalas dendam, bahkan dia sendiri terpaksa melarikan diri lagi. Selama beberapa tahun dia menyembunyikan diri, tidak berani keluar dan bertapa sambil memperdalam ilmu-ilmunya. Biarpun dia sudah menjadi semakin tua, namun dia tidak pernah mampu menghilangkan dendamnya dan juga cita-citanya untuk menguasai dunia kang-ouw.

   Kehancuran perkumpulan dan namanya membuat dia sakit hati dan dia mengambil keputusan untuk bangkit kembali. Dia berhasil memperdalam ilmunya, kemudian menghimpun beberapa orang datuk kaum sesat dan diajaklah mereka itu untuk melakukan suatu hal yang akan menggemparkan dunia persilatan dan sekaligus mengangkat namanya setinggi langit. Yaitu menyerbu Pulau Es!

   Karena para datuk kaum sesat memang menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh bebuyutan nomor satu, setelah melihat kesaktian Hek-i Mo-ong, ada empat orang datuk yang bersedia untuk membantunya. Mereka itu adalah Ngo-bwe Sai-kong yang akhirnya tewas di tangan nenek Lulu, kemudian Ulat Seribu yang tewas di tangan nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui ketua Eng-jiauw-pang yang tewas di tangan Cin Liong, dan Jai-hwa Siauw-ok yang merupakan satu-satunya pembantu yang dapat lolos dari Pulau Es dalam keadaan hidup.

   Akan tetapi, biarpun dia dan sekutunya berhasil menewaskan dua orang nenek, isteri dari Pendekar Super Sakti, dia sendiri hampir saja tewas ketika berusaha membunuh Pendekar Super Sakti Suma Han dan terpaksa melarikan diri bersama Jai-hwa Siauw-ok dan sisa anak buahnya.

   Dia dan sekutunya tidak lari jauh dan masih mengintai, maka dapat dibayangkan betapa girang rasa hatinya melihat Pulau Es terbakar habis, dan melihat betapa empat orang muda itu melarikan diri dari Pulau Es. Hek-i Mo-ong cepat mengajak orang-orangnya untuk menghadang dan akhirnya dia berhasil menawan cucu Pendekar Super Sakti sedangkan Si Penjahat Cabul Jai-hwa Siauw-ok agaknya melarikan cucu perempuan majikan Pulau Es itu, sedangkan dua orang muda lain, seorang cucu laki-laki pendekar itu dan seorang putera Naga Sakti Gurun Pasir, telah tewas ditelan ombak!

   "Betapa membanggakan hasil hasil besar itu,! pikirnya girang. Keluarga Pulau Es telah dapat dibinasakannya dan sebagai bukti, dia membawa seorang cucu majikan Pulau Es sebagai tawanan! Dan Pulau Es itu sendiri telah hancur dan lenyap! Hasil ini akan mengangkat namanya, dan akan memudahkan dia untuk menjagoi dunia kang-ouw! Dan dia tahu betapa semua datuk kaum sesat yang tidak berani ikut atau merasa ragu-ragu membantunya, kini menanti di bukit kecil itu seperti yang telah mereka janjikan, menanti untuk melihat apakah usaha besarnya yang menggemparkan dunia penjahat itu berhasil!

   Biarpun dia kehilangan tiga orang rekan dan puluhan orang anak buah yang tewas dalam penyerbuan Pulau Es itu, namun dia berhasil menghancurkan keluarga Pulau Es dan menawan seorang cucunya. Dia mendongkol karena Jai-hwa Siauw-ok memisahkan diri melarikan cucu perempuan keluarga Suma, akan tetapi dia membiarkan saja karena perbuatan itupun merupakan pukulan hebat terhadap nama keluarga Pulau Es dan merupakan bahan cerita yang baik baginya. Dia akan menceritakan kepada para tokoh kaum sesat bahwa seorang cucu perempuan keluarga yang tadinya amat ditakuti dunia hitam itu kini menjadi permainan Jai-hwa Siauw-ok yang sudah terkenal buas terhadap wanita yang telah dirampasnya!

   Akan tetapi ada suatu hal yang mengejutkan hatinya, yaitu kalau dia teringat akan pengalamannya ketika menyerang Pendekar Super Sakti Suma Han. Ternyata bahwa menghadapi pendekar itu, dia sama sekali tidak berdaya! Segala ilmu kepandaiannya seperti punah dan tiada gunanya! Padahal, selama beberapa tahun ini dia telah tekun bertapa untuk memperdalam ilmu silatnya dan memperkuat ilmu sihirnya.

   Ternyata kini bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya ketika dia menyerang kakek tua renta itu. Mulailah dia kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri yang tadinya dia anggap sudah tidak ada tandingannya lagi. Dan musuh-musuhnya masih begitu bauyak. Dan musuh-musuhnya bukanlah orang-orang lemah, walaupun kiranya tidak mungkin sehebat Pendekar Super Sakti. Karena itu, dia harus mengumpulkan rekan-rekannya untuk memperkuat kedudukannya.

   Yang menyambut kedatangan Hek-i Mo-ong cukup banyak. Ada dua puluh orang lebih tokoh-tokoh dunia hitam bersama anak buah mereka sudah berkumpul di dalam hutan itu, tinggal di pondok-pondok dan kemah-kemah darurat. Kepala-kepala gerombolan ganas, ketua-ketua perkumpulan sesat, tokoh-tokoh perorangan dari bermacam kalangan, semua telah berkumpul untuk mendengar bagaimana hasil usaha Hek-i Mo-ong yang bersama rekan-rekannya kabarnya pergi menyerbu Pulau Es.

   Begitu kereta berhenti, Hek-i Mo-ong sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki yang mukanya agak pucat akan tetapi sepasang matanya memandang berani, muncul dari pintu kereta. Raja Iblis ini menggandeng tangan Ceng Liong dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diangkat ke atas menerima sambutan orang-orang dari golongan sesat itu sambil berkata dengan suara nyaring dan bernada gembira.

   "Kawan-kawan sekalian, ketahuilah bahwa keluarga Pulau Es telah kami binasakan, bahkan pulau itu sendiri telah habis dimakan api dan tenggelam! Dan semua penghuninya telah dapat kami binasakan dan kami tawan.!

   Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penjahat dari dunia hitam itu. Mereka itu adalah penjahat-penjahat yang sudah mengenal baik nama keluarga Pu1au Es, bahkan sebagian besar di antara mereka pernah merasakan ampuhnya tangan keluarga itu. Memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga pendekar yang berilmu tinggi dan sejak puluhan tahun telah menentang dunia kejahatan sehingga banyaklah kaum penjahat yang menaruh dendam sakit hati terhadap keluarga pendekar itu.

   Siapakah yang tidak mengenal keluarga Pulau Es? Pendekar Super Sakti Suma Han sendiri pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, bahkan di samping ilmu silatnya, diapun terkenal sekali dengan ilmu sihirnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman! Juga dua orang isteri pendekar sakti itu amat ditakuti dunia penjahat. Terutama sekali Puteri Nirahai yang dahulu sering memimpin pasukan pemerintah sebagai seorang panglima wanita yang sudah banyak menghancurkan pemberontak-pemberontak dan gerombolan-gerombolan penjahat. Nama Lulu isteri ke dua dari pendekar itupun pernah dikenal orang.

   Selain sang pendekar sakti bersama dua orang isterinya itu, juga keluarga mereka terkenal sebagai pendekar-pendekar yang ditakuti dan dibenci oleh golongan hitam. Puteri mereka, yaitu Puteri Milana, puteri tunggal Suma Han dan Nirahai, juga merupakan seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, di samping suaminya yang lebih lihai lagi yaitu Gak Bun Beng. Kedua orang putera dari Pendekar Super Sakti juga amat terkenal, yaitu Suma Kian Le dan Suma Kian Bu.

   Terutama sekali Suma Kian Bu yang demikian lihai dan terkenalnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman Kecil oleh dunia penjahat karena persamaannya dengan Pendekar Siluman, ayahnya. Kalau mantu pria keluarga itu, yaitu Gak Bun Beng, amat gagah perkasa, maka dua orang mantu wanita mereka tak kalah terkenalnya. Isteri Suma Kian Lee bernama Kiin Hwee Li, seorang wanita perkasa yang bahkan pernah malang melintang sebagai seorang gadis dari dunia hitam yang murtad dan memalingkan mukanya menentang dunia kejahatan itu sendiri, maka tentu saja iapun dianggap musuh oleh dunia penjahat.

   Mantu wanita ke dua bernama Teng Siang In, juga seorang pendekar wanita, bahkan mantu ini memiliki ilmu sihir seperti ayah mertuanya, dan biarpun ilmu sihirnya tidak sehehat Pendekar Super Sakti, namun kalau ia pergunakan, cukup membuat repot lawannya.Demikianlah keadaan keluarga Suma itu yang dimusuhi oleh dunia hitam, maka tentu saja pengumuman Hek-i Mo-ong bahwa Pulau Es telah tenggelam dan keluarganya telah terbasmi disambut dengan sorak-sorai gembira.

   Akan tetapi, yang menyambut dengan sorak-sorai itu hanyalah para penjahat dari tingkatan rendah saja. Para tokoh hitam yang hadir di situ, tidak dapat menerima begitu mudah saja keterangan Hek-i Mo-ong. Bagi mereka ini, mereka tahu benar betapa hebatnya keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bahkan mereka tidak berani maju ketika Hek-i Mo-ong mengajak mereka bersekutu untuk menyerbu pulau keramat itu.

   "Mo-ong, bagaimana kami bisa yakin bahwa keluarga Pulau Es sudah dibinasakan? Engkau berangkat berlima dan pulang hanya sendirian saja. Mana buktinya bahwa usaha penyerbuan ke Pulau Es itu berhasil baik?! terdengar seorang di antara para tokoh itu bertanya.

   Pertanyaan ini didukung oleh banyak tokoh yang lain.

   "Ya, mana buktinya?! Suara mereka susul-menyusul sehingga suasana menjadi riuh.

   "Kalian tidak percaya kepadaku?! Suara Hek-i Mo-ong terdengar lantang penuh kemarahan sehingga semua orang terkejut dan gentar, suara berisik tadipun padam dan semua orang memandang kepada tokoh yang baru keluar dari kereta itu.

   Melihat ini, dengan hati gembira Hek-i Mo-ong lalu tertawa. Seperti juga bentakannya tadi, suara ketawanya mengandung khi-kang yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ.

   "Ha-ha-ha-ha! Kalian ingin bukti? Lihat baik-baik! Bocah ini adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti Suma Han.! Berkata demikian, Hek-i Mo-ong lalu dengan gerakan tiba-tiba melontarkan tubuh Ceng Liong ke atas. Tubuh itu terlempar ke udara. Ceng Liong merasa terkejut sekali, akan tetapi dia diam saja, bahkan lalu menarik kaki tangannya yang lelah dan lemah. Ketika tubuhnya meluncur turun, Hek-i Mo-ong menyambutnya dan melemparkannya kepada para pembantunya yang berada di belakangnya.

   "Gantung kaikinya di pohon itu agar semua orang dapat melihatnya!!

   Dengan girang anak buahnya melakukan perintah ini, akan tetapi mereka sudah kapok untuk berlancang tangan sehingga tidak ada yang mengganggu Ceng Liong kecuali menggantungnya di pohon dengan kepala di bawah, dengan mengikat kedua pergelangan kakinya seperti yang diperintahkan kepada mereka. Tidak ada tangan yang berani mengganggu, menamparpun tidak.

   Sementara itu, Hek-i Mo-ong sudah menuju ke tempat terbuka di mana terdapat batu-batu dan bangku-bangku kasar di mana para tokoh itu berkumpul. Maka berceritalah Hek-i Mo-ong tentang penyerbuannya ke Pulau Es.

   Ceng Liong yang digantung pada kedua kakinya itu, mendengarkan saja dan dia mengambil keputusan untuk menghadapi kematian seperti cucu sejati dari Pendekar Super Sakti! Dia tidak pernah mengeluh dan diam-diam dia malah melakukan samadhi sambil tergantung seperti itu. Dia merasa betapa detik jantungnya menjadi aneh, apalagi ketika dia mengikuti jalan darahnya dan menghimpun hawa sakti di pusar.

   Tiba-tiba saja, hawa sakti yang diterimanya dari kakeknya dua minggu yang lalu, kini berputar-putar dan mendatangkan kehangatan, akan tetapi kepalanya yang tadinya seperti berputar itu menjadi semakin ringan dan yang lebih aneh, panca inderanya menjadi amat tajam sehingga dengan mata terpejam, telinganya dapat mendengarkan suara dari jauh! Cerita Hek-i Mo-ong terdengar semua olehnya, demikian jelasnya, bahkan dia dapat menangkap tarikan napas dan detik jantung orang-orang yang duduk tidak lebih dari lima meter dari tempat dia tergantung!

   Dua minggu yang lalu, pada suatu malam ketika dia tertidur, seperti mimpi saja dia merasa dibangunkan oleh kakeknya, kemudian digandeng oleh kakeknya dan diajak ke luar kamar. Malam itu tiada bulan akan tetapi langit amat cerah, membentang biru penuh dengan bintang-bintang yang gemerlapan amat indahnya. Kakeknya mengajaknya ke tepi pantai yang landai dan di situ kakeknya menyuruh dia duduk bersila berhadapan dengan kakeknya.

   "Ceng Liong, aku akan memindahkan hawa sakti ke dalam pusarmu dan dapat kau jadikan pusat pengerahan sin-kang kelak kalau engkau sudah pandai mengendalikannya. Sudah kulihat dan engkau lah yang tepat untuk mewarisinya. Akan tetapi ingat, kekuatan ini dapat menjadi dahsyat sekali dan kalau disalahgunakan, kelak hanya akan memukul dirimu sendiri. Nah, ulurkan kedua lenganmu dan buka semua jalan darah, hentikan semua kesibukan dalam diri dan batinmu.!

   Seperti dalam mimpi saja dia lalu menempelkan kedua tangannya kepada telapak tangan kakeknya dan di malam yang teramat dingin itu, yang dapat membuat semua air membeku, dia merasakan kehangatan luar biasa memasuki tubuhnya melalui kedua tangannya, makin lama semakin panas sampai dia hampir tidak tahan lagi, lalu perlahan-lahan menjadi dingin dan semakin dingin sampai dia merasakan seluruh darahnya membeku, kemudian berbalik menjadi panas lagi.

   Dihantam serangan hawa panas dan dingin berganti-ganti ini, akhirnya dia tak ingat apa-apa lagi dan setelah sadar, tahu-tahu dia telah berada di dalam air membeku, duduk bersila seperti semula, akan tetapi bukan di tempat semula melainkan telah terendam air beku sampai ke pinggangnya. Kakeknya juga duduk bersila di depannya.

   "Kerahkan hawa panas dari pusar ke bawah untuk melawan dingin,! kakeknya berkata lirih namun suaranya mengandung daya pembangkit yang demikian kuatnya sehingga seolah-olah suara atau perintah itulah yang menggerakkan hawa di pusarnya. Tiba-tiba dia merasa betapa hawa dingin yang menembus tulang-tulang di bagian bawah tubuhnya itu melenyap, terganti dengan hawa hangat yang amat menyenangkan! Akan tetapi, tubuhnya bagian atas berkeringat dan terasa panas sekali!

   "Kerahkan sebagian hawa dari pusar ke atas untuk melawan panas! Gunakan pernapasan untuk mengatur pembagian hawa....! kembali kakeknya berkata dan tangan kakeknya menyentuh dan menekan kedua pundaknya. Mula-mula dia merasa betapa sukarnya membagi hawa sakti dalam tubuh itu menjadi dua, bagian bawah melawan dingin dan bagian atas melawan panas. Akan tetapi begitu kedua pundaknya ditekan, mulailah dia dapat mengatur keseimbangan itu, seolah-olah ada hawa keluar dari kedua tangan kakeknya yang membimbingnya menguasai dan mengatur hawa dalam tubuhnya sendiri.

   Semalam suntuk dia dilatih dan tanpa disadarinya, dia telah mewarisi sumber pembangkit tenaga sin-kang dari kakeknya! Semua ini teringat kembali oleh Ceng Liong ketika dalam keadaan tergantung kakinya itu dia mengalami hal yang luar biasa anehnya, yaitu ketika hawa sakti yang diterima dari kakeknya itu bergerak dan mendatangkan hal-hal aneh, mempertajam panca inderanya!

   Setelah Hek-i Mo-ong selesai bercerita, menyombongkan hasil usahanya yang telah membakar Istana Pulau Es dan membinasakan keluarga Pulau Es, dia tertawa dan menutup ceritanya.

   "Hua-ha-ha, hancurlah sudah musuh nomor satu kita semua! Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya itu telah tewas. Seorang cucunya, gadis cantik itu, tentu akan hancur pula karena terjatuh ke tangan Jai-hwa Siauw-ok! Siapa tidak tahu keganasan Siauw-ok terhadap wanita? Dan seorang cucu pria terjatuh ke laut, bersama jenderal muda musuh kita pula, putera Naga Sakti Gurun Pasir itu. Mereka berdua tak mungkin dapat hidup ditelan ombak badai itu. Tinggal yang seorang ini, cucu keluarga Pulau Es yang tidak kubunuh karena hendak kuperlihatkan kalian semua. Ha-ha-ha!!

   "Maaf, Mo-ong, kukira keadaannya belum begitu membesarkan hati sehingga kita boleh tergesa-gesa bergembira dengan hasil itu.!

   Semua orang menoleh dan memandang kepada orang yang bicara. Begitu beraninya orang ini bicara yang sedikit banyak merupakan celaan terhadap Mo-ong, atau mengecilkan arti pembinasaan Pulau Es itu.

   Hek-i Mo-ong sendiri dengan perlahan menoleh dan membalikkan tubuh menghadapi orang yang bicara itu. Semua orang menghentikau suara mereka dan keadaan menjadi hening karena mereka semua ingin mendengar apa yang akan dibicarakan antara dua orang ini. Apalagi setelah semua orang melihat bahwa yang bicara itu adalah orang yang amat aneh, dan yang tadi tidak mereka lihat berada di situ. Agaknya orang ini, seperti setan saja, tahu-tahu muncul di situ dan berani mencela Hek-i Mo-ong. Sebaliknya, Begitu Hek-i Mo-ong melihat orang itu, alisnya yang berkerut itu membuyar dan wajahnya berseri, mulutnya tertawa ramah.

   "Ha-ha-ha, tadinya kusangka siapa yang berani lancang mencelaku. Kiranya See-thian Coa-ong! Ha-ha-ha, di antara sahabat sendiri, memang sebaiknya kalau kita bicara blak-blakan saja. Nah, jelaskan, kawan, mengapa kita tidak boleh bergembira dengan hasil baik ini?!Banyak di antara mereka terkejut mendengar disebutnya nama See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat) itu.

   Nama itu adalah nama seorang tokoh besar dunia persilatan yang termasuk orang aneh, tak dapat dibilang berpihak kaum pendekar ataupun pendukung golongan sesat. Dia seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang berdiri bebas dalam keanehan mereka sendiri, tidak perduli akan golongan-golongan dan tidak mau mencampnri dalam arti kata tidak mau terlibat. Setelah kini mereka memandang penuh perhatian, diam-diam mereka mengakui akan keanehan orang ini, keanehan yang mengerikan.

   See-thian Coa-ong ini bukanlah seorang Han. Hal itu jelas nampak dari wajahnya dan kulitnya. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan tubuhnya hampir telanjang bulat. Hanya ada kain cawat penutup tubuhnya. Kulitnya kehitaman dan karena sangat kurus, maka nampak tinggi sekali. Kepalanya botak kelimis. Kedua telinganya yang terlalu lebar itu dihias anting-anting perak.

   Kedua pergelangan tangannya yang hanya kulit membungkus tulang itu terhias gelang-gelang perak. Dan di lehernya terdapat kalung, bukan kalung perak atau emas, melainkan kalung hidup, yaitu seekor ular kobra belang yang amat berbisa. Ular seperti ini kalau menggigit, kabarnya tidak ada obatnya lagi dan si korban langsung mati! Melihat ular ini saja, mereka yang mengenal kehebatan racunnya, sudah merasa ngeri dan mereka yang berdiri dekat sudah menggeser tempatnya menjauh. Ada bau harum amis datang dari kakek ini.

   Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu masih ingat kepada kakek aneh ini. Kurang lebih sepuluh sampai dua belas tahun yang lalu, See-thian Coa-ong pernah muncul dan pernah membimbing pendekar wanita Bu Ci Sian dalam ilmu menaklukkan ular-ular dan memperdalam ilmu silat pendekar itu. Kemudian kakek ini menghilang karena memang dia seorang perantau yang biasa berkelana ke gunung-gunung, terutama di Pegunungan Himalaya.

   See-thian Coa-ong adalah seorang Nepal yang bernama Nilagangga. Akan tetapi, sejak mudanya dia sudah seringkali datang ke daerah Tiongkok sehingga dia menguasai pula Bahasa Han, dan juga dia mengenal banyak tokoh-tokoh dunia kang-ouw. Banyak pula dia mendapatkan ilmu-ilmu silat dari daerah Sin-kiang dan di daerah Sin-kiang inilah dia dahulu berkenalan dengan Hek-i Mo-ong. Ketika itu Hek-i Mo-ong masih memimpin perkumpulan Hek-i-mo di Sin-kiang. Itulah sebabnya mengapa peranakan Kozak ini bersikap ramah kepada Raja Ular itu.

   "Hek-i Mo-ong, menurut ceritamu tadi, biarpnn engkau telah berhasil membinasakan Pulau Es dan para penghuninya, akan tetapi engkau pun kehilangan banyak sekali kawan-kawanmu. Bahkan orang-orang yang lihai sekali seperti Ngo-bwe Sai-kong, Si Ulat Seribu, dan Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas dalam penyerbuan itu, belum lagi dihitung banyaknya anak buahmu. Dan untuk semua pengorbanan itu, engkau hanya dapat menewaskan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya, tiga orang yang sudah tua renta dan yang tanpa diserbu sekalipun akan mati sendiri tidak lama lagi. Apakah hal itu boleh dibuat gembira?!

   Wajah Hek-i Mo-ong menjadi agak merah akan tetapi dia masih tersenyum lebar.

   "Aha, Coa-ong! Agaknya engkau lupa bahwa pengorbanan seperti itu jauh terlalu ringan dan murah dibandingkan dengan hasilnya. Bayangkan saja! Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya! Dan Pulau Es juga terbakar habis. Belum lagi tiga orang cucu mereka tentu akan tewas, ditambah lagi Jenderal Muda Kao Cin Liong yang sudah banyak menimbulkan sudah kepada kawan-kawan kita, terutama di barat.!

   Kakek See-thian Coa-ong menghela napas panjang.

   "Baiklah, baiklah.... katakanlah bahwa hasilnya cukup besar. Akan tetapi apakah kita dapat mengatakan bahwa kematian mereka itu akan membebaskan kalian dari lawan kalian ? Mo-ong, apakah artinya hasil itu kalau engkau ingat bahwa di sana masih hidup keturunan Pulau Es yang amat lihai? Lupakah engkau kepada Puteri Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan suaminya orang she Gak yang amat lihai itu? Dan lupakah engkau kepada putera-putera Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Kian Lee dan terutama sekali Suma Kian Bu Si Pendekar Siluman Kecil? Dan juga, kalau benar Jenderal Muda Kao Cin Liong tewas, engkau harus berani menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir! Dan.... ah, masih banyak lagi para pendekar sakti yang akan merupakan lawan berat bagimu, Hek-i Mo-ong. Lupakah engkau kepada keluarga Bu-taihiap yang kini tinggal di kota raja? Bu-taihiap dan isteri-isterinya saja sudah amat lihai, apalagi mantunya! Tentu engkau tidak akan melupakan Kam Hong yang dijuluki Pendekar Suling Emas itu, bukan? Juga keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Hemm, aku sendiri sebagai orang luar merasa khawatir akan masa depanmu, Hek-i Mo-ong!!

   Wajah Hek-i Mo-ong yang tadinya merah itu kini menjadi agak pucat. Diingatkan kepada para pendekar sakti itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya kecut. Rasa gentar menyelinap di sanubarinya karena apa yang diucapkan oleh Raja Ular itu sama sekali tidak keliru. Mereka semua itu adalah orang-orang hebat dan harus diakuinya bahwa ketika menghadapi Pendekar Suling Emas Kam Hong dia terdesak hebat, dan nyaris tewas kalau tidak mempergunakan sihirnya untuk melarikan diri.

   "Wah, bukan main....! Belum tentu dalam seratus tahun sekali ditemukan seorang anak seperti ini! Bahan yang luar biasa hehatnya, sungguh seorang anak ajaib, seorang dengan tubuh dewasa! Cukup pantas uutuk menjadi tempat tinggal titisan Dalai Lama!!

   Teriakan penuh kagum ini menarik perhatian semua orang, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri, yang tertegun mendengar ucapan See-thian Coa-ong tadi, menoleh dan dia melihat seorang kakek pengemis sedang memeriksa tubuh Ceng Liong yang tergantung jungkir balik. Kakek itu memutar-mutar tubuh itu, menyentuh sana-sini dan berulang-ulang mengeluarkan pujiannya.

   "Aih, tengkoraknya menandakan bahwa otaknya melebihi otak anak biasa, menjendol di sini, rata di sini.... ah, dan telinga ini! Hemmm.... tulang yang kuat dan bersih, bukan main!!

   Kakek itu tentu usianya tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan dilihat dari pakaiannya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pengemis. Pakaian yang tambal-tambalan kusut dan rambut awut-awutan, tubuhnya tinggi kurus seperti orang yang selalu kekurangan makan. Matanya lebar kadang-kadang terbelalak. Ketiak kirinya mengempit sebatang tongkat bambu, dan di pinggangnya tergantuug sebuah kantung butut yang berisi sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan dan sebuah mangkok retak.

   Biarpun kakek ini nampaknya demikian miskin sederhana, namun Hek-i Mo-ong mengenalnya sebagai seorang tokoh kang-ouw yang juga berdiri bebas seperti See-thian Coa-ong Nilagangga. Tokoh pengemis ini termasuk seorang tokoh ugal-ugalan yang aneh, tidak pernah berpihak sana-sini. Akan tetapi dia merupakan seorang tokoh yang amat terkenal di daerah selatan.

   Dialah Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Aneh) Bhok Sun, seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan menganggap dunia inilah tempat tinggalnya, tanah menjadi lantainya, langit menjadi atapnya. Maka, biarpun dia ini merupakan seorang tokoh di daerah selatan, tidak aneh melihat dia kini tiba-tiba muncul di tempat yang jauh di utara.

   Melihat kakek ini meraba-raba dan memuji-muji Ceng Liong, semua orang tertarik dan mereka mulai mendekati anak itu dan merubungnya.

   "Darahnya murni dan ada hawa sin-kang yang amat luar biasa di dalam tubuhnya, berpusat di pusar dan mengalir di seluruh tubuh! Demi iblis, belum pernah aku melihat yang seperti ini!!

   See-thian Coa-ong Nilagangga menjadi tertarik sekali dan diapun mendekat. Kepala ular cobra yang melingkari lehernya itu terjulur dan hampir menyentuh muka Ceng Liong, akan tetapi anak ini sedikitpun tidak kelihatan takut, bahkan dengan sepasang matanya yang tajam dia memandang kepala ular itu dan sungguh aneh, ular itu nampak gelisah dan berusaha menjauhkan kepadanya ketika See-thian Coa-ong mendekati Ceng Liong, seolah-olah ada sesuatu pada diri anak itu yang membuat binatang itu gelisah. Segera terdengar seruan-seruan kagum dari See-thian Coa-ong dalam bahasa asing. Hek-i Mo-ong mengerti apa yang diucapkan oleh See-thian Coa-ong itu.

   "Aihh, Raja Cobra sampai takut terhadap anak ini! Bukan main....!! Dia meraba-raba kepala dan leher serta pundak Ceng Liong, lalu melanjutkan.

   "....memang hebat! Anak ini tubuhnya sekuat naga!!

   Seperti dua orang kakek yang hendak membeli seekor ayam jago aduan, Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba dan memeriksa Ceng Liong, menekan perutnya, memijat dada dan pundak, membelai kaki tangan, melihat mata, hidung, mulut dan telinga, meraba tulang-tulangnya.

   "Ha-ha-ha, Raja Ular, ternyata matamu tajam juga dapat mengenal seorang sin-tong (anak ajaib) yang bertulang dewa!! Kakek Pengemis itu tertawa.

   "Siapa yang tidak mengenal senjata pusaka adalah seorang tolol dan buta! Dan anak ini lebih berharga daripada sebuah senjata pusaka! Kalau kuberi kepandaianku kepadanya, dia bisa menjadi sepuluh kali lebih pandai daripada aku. Dia akan menjadi murid yang terbaik di dunia ini!!

   "Eeiitt, eeitt, Coa-ong, enak saja kau bicara! Akulah orang pertama yang menemukan bakat anak ini dan akulah yang patut menjadi gurunya!! Koai-tung Sin-kai Bhak Sun berkata dengan nada suara tidak senang, juga tangannya mendorong ke arah See-thian Coa-ong. Biarpun tangan kanannya hanya mendorong biasa saja, namun keluarlah angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah Raja Ular.

   "Hemm, belum tentu dia suka menjadi muridmu, jembel tua!! jawab See-thian Coa-ong dan kakek inipun menggerakkan lengan menangkis.

   "Dukkk....!! Orang-orang yang berada agak dekat dengan tempat itu merasakan betapa hebatnya getaran yang ditimbulkan oleh adu tenaga melalui lengan itu dan kedua orang kakek yang saling mengadu lengan itupun tergetar mundur dua langkah, masing-masing terkejut melihat kekuatan lawan.

   "Bocah itu cucu keluarga Pulau Es, harus dibunuh!! Teriakan seorang di antara para tokoh kaum sesat yang mendendam kepada keluarga Pulau Es ini merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan dan dendam di antara kaum sesat sehingga merekapun berteriak-teriak, mencabut senjata dan menyerbu untuk membunuh Ceng Liong yang masih bergantung dengan jungkir balik.

   Sejak tadi Ceng Liong membuka mata dan telinga, mendengar dan melihat dengan jelas segala yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak merasa terkejut maupun bangga ketika Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba tubuhnya dan memuji-mujinya, karena kakek dan dua orang neneknya sendiri pernah mengatakan bahwa dia memiliki bakat yang baik sekali untuk ilmu silat.

   Justeru karena itulah maka mendiang kakeknya telah mewariskan hawa murni sumber tenaga sakti kepada dirinya. Kini dia melihat gerakan kaum sesat itu dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Akan tetapi dia tidak merasa takut, hanya membayangkan kakek dan kedua neneknya seolah-olah dia sudah menikmati bayangan akan bertemu dan berkumpul lagi dengan mereka! Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikitpun kini Ceng Liong menjadi penonton dari keributan itu.

   "Tidak boleh! Benda pusaka tidak boleh dirusak!! See-thian Coa-ong membentak dan kakek ini menghadang penyerbuan para tokoh sesat itu.

   "Siapa berani mengganggu calon muridku?! Koai-tung Sin-kai juga membentak dan berdiri menghadang, melindungi Ceng Liong.

   "Dia musuh besar! Bunuh!!

   "Semua keluarga Pulau Es harus dibasmi! Serbu....!!

   Dan dua puluh orang lebih tokoh-tokoh sesat sudah menyerbu! See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai menyambut mereka dengan tendangan sehingga terjadilah pertempuran yang seru. Dua orang kakek itu memang amat lihai sehingga dalam beberapa gebrakan saja, sudah ada empat orang tokoh sesat yang terjungkal roboh, terkena hantaman tangan Coa-ong dan kemplangan tongkat bambu Sin-kai. Akan tetapi, para pengeroyok itupun rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dua orang kakek itu mulai terdesak hebat.

   Ceng Liong menonton semua ini dan diapun melirik ke arah Hek-i Mo-ong. Sungguh mengherankan sekali sikap kakek ini. Dia hanya berdiri dengan sikap tenang, bahkan tersenyum mengejek melihat perkelahian antara teman sendiri itu. Sebenarnya, kakek ini masih terpengaruh oleh pujian-pujian yang dikeluarkan oleh mulut Sin-kai dan Coa-ong tadi dan diam-diam diapun berpikir.

   Semua ucapan Coa-ong tadi tidak kcliru. Musuh-musuhnya masih amat banyak dan mereka itu sakti-sakti. Apalagi Pendekar Suling Emas Kam Hong yang pcrnah mengalahkannya. Juga Naga Sakti Gurun Pasir, dan keluarga Bu-taihiap. Mungkinkah dia dapat mengalahkan mereka itu? Dan dia sudah semakin tua, dan murid-muridnya yang terpercaya sudah habis, tinggal murid-murid yang tidak ada artinya. Juga dia tidak mempunyai keturunan yang dapat membantunya, atau yang akan membalaskan kalau sampai dia kalah oleh musuh-musuhnya itu.

   Anak itu merupakan seorang sin-tong, seorang anak ajaib. Diapun sudah menduga akan hal itu dan kini dugaannya diperkuat oleh dua orang kakek itu. Kalau ilmunya diturunkan kepada seorang anak ajaib, tentu anak itu akan menjadi beberapa kali lipat lebih pandai daripadanya. Anak seperti itulah yang akan dapat membelanya dan membantunya kelak! Dan alangkah senang hatinya kalau dia dapat mendidik anak ini untuk kelak dipergunakan melawan keluarga Pulau Es. Dan dia tentu dapat menguasai anak ini melalui kekuatan sihirnya!

   Hek-i Mo-ong menonton sambil tersenyum mengejek melihat betapa See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai kini repot sekali menghadapi pengeroyokan belasan orang tokoh sesat itu. Namun, mereka berdua mempertahankan diri dan para pengeroyok juga tidak berani terlalu dekat karena dua orang itu memang memiliki kepandaian yang lihai sekali.

   "Pengkhianat-pengkhianat busuk!! Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan itu dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan, tombak Long-ge-pang di tangannya menyambar ke arah Koai-tung Sin-kai dan kipas merahnya menotok ke arah See-thian Coa-ong. Biarpun tombaknya ini bukan tombak pusaka aseli seperti yang biasa dipergunakan karena tombak aseli itu telah patah-patah ketika dia menyerang Pendekar Super Sakti, namun tombak biasa inipun menjadi amat ampuh dan berbahaya karena digerakkan oleh tangannya yang amat kuat.

   "Tranggg....!! Tongkat bambu itu menangkis dan suara nyaring itu adalah suara tombak yang tertangkis. Ini saja membuktikan betapa hebatnya tenaga kakek pengemis yang membuat tongkat bambu itu menjadi keras dan kuat menangkis tombak baja, akan tetapi akibatnya, tubuh kakek pengemis itu terpelanting dan nyaris kepalanya kena bacokan golok seorang tokoh sesat kalau dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya dan mengangkat tongkatnya menangkis lalu meloncat bangun lagi.

   "Brettt....!! Totokan gagang kipas merah yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong tadi dapat dielakkan oleh See-thian Coa-ong, akan tetapi tetap saja ujung cawatnya terobek sehingga cawat yang merupakan satu-satunya kain penutup tubuhnya itu hampir terlepas. Tentu saja See-thian Coa-ong terkejut dan cepat meloncat, menjauhi Hek-i Mo-ong sambil membereskan lagi cawatnya.

   See-thian Coa-ong maklum bahwa dia tidak akan menang melawan Hek-i Mo-ong, maka diapun sudah meloncat jauh dan sambil lari meninggalkan tempat itu dia berkata.

   "Raja Iblis, silahkan kalau engkau mau membunuh anak itu. Akan tetapi hal itu hanya membuktikan kebodohanmu!!

   Koai-tung Sin-kai juga sudah menjauhkan diri.

   "Engkau akan menyesal kalau membunuh sin-tong itu, Mo-ong! Betapa tololnya merusak benda pusaka!! Dan diapun melarikan diri menyeret tongkat bambunya karena maklum bahwa melanjutkan usahanya melindungi anak yang amat dikaguminya itu, melawan Hek-i Mo-ong dan para tokoh sesat itu sama artinya dengan bunuh diri.

   "Bunuh bocah setan itu!! Kini para tokoh sesat maju menyerbu karena mereka marah melihat betapa teman-teman mereka ada yang roboh terluka parah oleh dua orang kakek tadi yang melindungi Ceng Liong.

   "Bunuh keturunan Pulau Es!!

   Enam orang tokoh sesat menerjang dengan senjata mereka, agaknya saking marah dan sakit hati, mereka itu tidak lagi mengenal malu dan melakukan pengeroyokan terhadap seorang anak kecil yang sudah tergantung tak berdaya. Agaknya sebelum mencincang tubuh anak itu mereka takkan merasa puas.

   Seperti juga tadi, menghadapi serangan enam orang ini, melihat berkelebatnya sinar senjata dari semua jurusan, Ceng Liong membelalakkan matanya dengan penuh keberanian. Dia memang ingin menyambut kematian dengan mata terbuka, seperti yang sering dianjurkan oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai bahwa seorang pendekar harus selalu tenang dan tabah, bahkan menghadapi kematian sekalipun harus berani menyambut kematian dengan mata terbuka! Maka sekarang diapun membelalakkan matanya, ingin mati dalam keadaan melek!

   Akan tetapi dia melihat sinar terang berkelebatan di sekeliling dirinya dan melihat enam orang itu terpelanting ke kanan kiri, senjata mereka terlempar setelah mengeluarkan bunyi nyaring dan merekapun mengaduh-aduh karena tangkisan-tangkisan itu membuat mereka roboh dan terluka. Kiranya, dalam keadaan yang amat gawat bagi keselamatan Ceng Liong itu, Hek-i Mo-ong telah turun tangan menangkis dan langsung balas menyerang kepada enam orang itu sehingga mereka roboh terluka. Semua tokoh sesat tentu saja terkejut sekali dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan mata melotot.

   "Dia ini tawananku, dia ini milikku! Siapapun tidak boleh mengganggunya dan yang boleh menentukan mati hidupmya hanya aku seorang!! Hek-i Mo-ong membentak sambil melintangkan tombak Long-ge-pang yang amat hebat itu.

   
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tapi, Mo-ong, engkau harus segera membunuh bocah keturunan Pulau Es ini agar kelak dia tidak akan menyusahkan kita!! terdengar beberapa orang tokoh memprotes.!Dengarlah kalian, semua kawan-kawan!! Hek-i Mo-ong berteriak nyaring.

   "Akulah orangnya yang telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es dan berhasil. Tawanan ini adalah milikku dan akulah yang berhak menentukan apa yang akan kulakukan dengan dirinya!! Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar dia lalu menghampiri tubuh Ceng Liong yang masih tergantung jungkir balik itu.

   Ceng Liong telah menyaksikan semua itu dan dia tahu bahwa sudah dua kali nyawanya tertolong oleh Hek-i Mo-ong. Dia teringat akan nasihat mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti Suma Han bahwa seorang manusia harus mengingat budi orang dan melupakan dendam. Maka ketika kakek iblis itu mendekat, pandang matanya terhadap kakek itupun ramah. Hal ini terasa benar oleh Hek-i Mo-ong, maka kakek ini bertanya kasar.

   "Mau apa engkau memandangku dengan senyum-senyum?!

   "Hek-i Mo-ong, aku berhutang nyawa dua kali padamu,! jawab Ceng Liong.

   Orang seperti iblis ini mana memperdulikan tentang budi? Dia hanya mendengus dan tiba-tiba dia menggerakkan kipasnya dan gagang kipas itn menotok jalan darah di pundak kanan anak itu. Dia menotok bukan untuk membunuh melainkan untuk menyiksa. Totokan pada jalan darah itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan dia memang ingin memaksa anak ini melolong-lolong kesakitan. Sikap anak ini yang begitu keras dan berani dianggapnya sebagai tantangan dan dia ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa dia seoranglah yang akan mampu menundukkan anak ini.

   "Tukk....!! Raja Iblis itu terkejut dan hampir saja dia berteriak kalau dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak orang. Dia menelan kekagetannya agar semua orang tidak tahu apa yang telah terjadi. Bagaimana dia tidak menjadi kaget sekali kalau jari tangannya ketika menotok pundak itu bertemu dengan hawa sin-kang yang amat kuat, yang menolak tenaga totokannya, membuat pundak itu seperti dilindungi oleh kulit yang amat kuat dan kebal?

   Akan tetapi Ceng Liong nampaknya tidak tahu akan hal ini! Memang sesungguhnyalah. Sumber tenaga sakti yang berada di tubuhnya telah bekerja sedemikian kuatnya ketika dia tergantung jungkir balik itu, yang membuat panca inderanya menjadi amat tajam dan peka, akan tetapi juga membuat tenaga sin-kang di tubuhnya itu secara otomatis bergerak sendiri ketika tubuhnya diserang dan dapat melindunginya.

   Dan semua ini terjadi di luar kesadaran Ceng Liong. Anak ini bahkan tidak tahu bahwa dirinya baru saja ditotok dan kakek iblis itu bermaksud untuk menyiksanya. Dia hanya merasa betapa pundaknya disentuh dan sentuhan ini dianggapnya sebagai sikap bersahabat dari kakek itu kepadanya.

   Sementara itu, Hek-i Mo-ong diam-diam berpikir. Semenjak dia tadi mendengar dan melihat See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai memuji-muji Ceng Liong, hatinya tergerak. Diapun melihat kenyataan betapa banyaknya musuh yang amat lihai dan harus diakuinya bahwa seorang diri saja kiranya tidak mungkin bagi dia untuk meuaudingi semua musuh-musuhnya itu.

   Kalau saja dia bisa dibantu oleh seorang yang memiliki bakat seperti anak ini! Kalau saja anak ini dapat menjadi muridnya dan kelak membelanya! Juga, dengan adanya anak ini di tangannya, anak ini dapat menjadi semacam sandera, semacam perisai baginya apabila sewaktu-waktu dia didesak oleh keluarga Pulau Es. Dia harus dapat menguasai anak ini dengan sihirnya!

   Maka diapun segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan memandang wajah anak itu, berusaha menguasai pandang matanya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga memerintahkan anak itu untuk tidur. Akan tetapi, kembali dia mengalami hal yang amat aneh. Ada tenaga penolakan yang amat kuat sekali pada pandang mata anak itu dan dia merasa jantungnya tergetar hebat! Sedemikian hebatnya getaran itu sehingga cepat-cepat dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, karena kalau dilanjutkan, entah siapa yang akan celaka, dia ataukah anak itu!

   Dia teringat bahwa anak ini adalah cucu dari Pendekar Siluman yang memiliki kekuatan sihir luar biasa, maka diam-diam dia merasa ngeri sendiri. Benar kata dua orang kakek tadi. Anak ini adalah seorang anak luar biasa dan kalau dapat menjadi muridnya, dia seperti mendapatkan sebuah senjata pusaka yang amat ampuh dan yang akan mampu melindunginya!

   Ceng Liong sendiri tidak sadar bahwa kembali dia telah diserang dengan kekuatan sihir. Dia hanya merasa betapa tajamnya pandang mata kakek iblis itu. Akan tetapi hal ini dianggapnya sebagai hal yang patut dikagumi. Dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat lihai dan sakti, penuh wibawa, tidak seperti tokoh-tokoh sesat lainnya. Biarpun dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang tokoh sesat, akan tetapi seorang tokoh yang tinggi tingkatnya, bukan manusia sembarangan saja.

   "Mo-ong, sekali waktu aku pasti akan membalas budimu yang dua kali itu,! kata Ceng Liong lagi.

   Sementara itu, semua tokoh sesat dan anak buahnya sudah mengepung tempat itu dan pada wajah mereka terbayang rasa penasaran. Mereka tadi ikut gembira mendengar akan terbasminya Pulau Es dan para penghuninya dan mereka sudah mengharapkan akan melihat cucu dalam Pendekar Super Sakti itu disiksa di depan mata mereka sampai mati. Apalagi mengingat betapa anak ini telah menjadi sebab keributan dan perkelahian di antara mereka sendiri yang menjatuhkan banyak korban pula.

   Yang lebih penasaran dan sakit hati adalah para tokoh dan anak buah Eng-jiauw-pang yang telah kehilangan ketua mereka yang tewas di tangan Kao Cin Liong ketika ketua mereka ikut menyerbu ke Pulau Es. Juga para tokoh dan anak buah Im-yang-pai karena ketua mereka, Ngo-bwe Sai-kong yang tewas oleh nenek Lulu di Pulau Es, merasa sakit hati dan mereka ingin melihat cucu Pendekar Super Sakti itu mati di depan mata mereka.

   "Harap Mo-ong cepat menyiksa dan membunuhnya, terserah bagaimanapun caranya!!

   Ucapan ini mendapat dukungan banyak orang dan keadaan menjadi bising kembali. Wajah orang-orang itu menjadi beringas dan sikap mereka mengancam ketika mereka semua memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.

   Hek-i Mo-ong memandang kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang lantang.

   "Sobat-sobat semua! Aku mengundang kalian berkumpul di sini hanya untuk memberitahukan kabar akan berhasilnya kami menyerbu Pulan Es. Sepatutnya kalian bergembira tentang itu dan berterima kasih kepadaku. Sekarang aku hendak pergi, membawa bocah ini dan mengenai dia, serahkan saja kepadaku karena akulah yang berhak atas dirinya. Nah, sakarang aku akan pergi dan jangan kalian menggangguku lagi!!

   Setelah berkata demikian, sekali renggut Hek-i Mo-ong telah mematahkan tali yang menggantung kaki anak itu dan memondong tubuh Ceng Liong, dibawanya berloncatan seperti terbang cepatnya. Para tokoh sesat itu tentu saja merasa penasaran dan tidak puas. Akan tetapi, siapakah yang berani menentang kehendak Hek-i Mo-ong, apalagi setelah iblis itu berhasil menghancurkan Pulau Es? Mereka bersungut-sungut lalu bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.

   Sementara itu, seperti terbang cepatnya, Hek-I Mo-ong berlari sambil memondong tubuh Ceng Liong. Anak ini tidak takut, akan tetapi diam-diam merasa heran melihat sikap Hek-i Mo-ong yang berubah-ubah itu. Dia tidak tahu bagaimana ja1an pikiran kakek iblis ini, akan tetapi dia ingat benar bahwa bagaimanapun juga, iblis ini telah menyelamatkan nyawanya sampai dua kali berturut-turut. Dia tahu bahwa tanpa campur tangan iblis ini, tentu dia telah tewas di tangan para penjahat yang haus darah.

   Tiba-tiba, ketika kakek itu tiba di padang rumput yang amat sunyi, dia berhenti dan melemparkan tubuh Ceng Liong ke atas tanah. Anak itu cepat bangkit berdiri dan memandang kepada kakek itu.

   "Hek-i Mo-ong, engkau hendak membawaku ke manakah?! tanyanya berani.

   "Bocah yang berhati naga, siapakah namamu?!

   "Namaku Suma Ceng Liong.!

   Kakek itu mengangguk-angguk. Namanya berarti Naga Hijau dan memang anak ini seperti seekor naga.

   "Ceng Liong, apa maksudmu mengatakan bahwa engkau berhutang budi dan hendak membalas budi itu?!

   "Engkau telah menolongku dua kali dan sekali waktu tentu aku akan membalas budimu itu.!

   "Benarkah itu? Apakah engkau tidak menganggapku sebagai musuh?!

   Ceng Liong mengerutkan alisnya. Dia teringat bahwa kakek ini bersama kawan-kawannya telah menyerbu Pulau Es, akan tetapi diapun teringat akan wejangan mendiang kakeknya bahwa dia tidak boleh mendendam, maka diapun menggeleng kepalanya.

   "Ceng Liong, tahukah engkau bahwa aku membawamu sebagai tawanan untuk kubunuh?!

   Ceng Liong menggeleng kepala.

   "Aku tidak percaya! Kalau engkau ingin melihat aku mati tentu engkau tidak akan menolongku dari tangan mereka yang ingin membunuhku!!

   "Hemm, aku mencegah mereka karena aku tidak mau didahului. Sudahlah! Sekarang, engkau boleh memilih. Engkau menjadi muridku atau engkau mati sekarang juga. Hayo pilih!!

   Ceng Liong tertawa, akan tetapi suara ketawanya itu hanya tiba-tiba saja dan mendadak pula ketawanya terhenti. Diam-diam Hek-i Mo-ong bergidik. Bocah ini memiliki sifat aneh, dingin dan keras bukan main.!Hek-i Mo-ong, pertanyaanmu itu sungguh terdengar lucu. Betapa mudahnya memilih satu di antara dua itu. Yang satu adalah kematian yang tak mungkin dapat kuelakkan lagi kalau memang engkau hendak membunuhku, dan yang ke dua adalah hidup dan menjadi murid seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau. Tentu saja aku memilih menjadi muridmu.!

   Hek-i Mo-ong mendengus untuk menutupi rasa gembiranya.

   "Bagus, kalau begitu mulai saat ini engkau menjadi muridku, murid tunggal karena aku sudah tidak mempunyai murid lagi.!

   "Agaknya aku tidak mempunyai pilihan lain, Hek-i Mo-ong aku mau menjadi muridmu dan mempelajari ilmu-ilmu darimu, akan tetapi terus terang saja, aku tidak sudi mempelajari kejahatan-kejahatan dan kesesatan-kesesatan. Aku seorang keturunan pendekar dan aku tidak sudi menjadi orang jahat. Menurut wejangan mendiang kakekku, lebih baik mati sebagai manusia baik daripada hidup sebagai manusia jahat.!

   "Ha-ha-ha, engkau tahu apa tentang kebaikan dan kejahatan? Kebaikan atau kejahatan mana bisa dipelajari? Sudahlah, aku hanya mengajarkan ilmu-ilmuku agar tidak kubawa mati. Asal engkau belajar dengan tekun dan berhasil mewarisi ilmu-ilmuku dan engkau bersikap sebagai seorang murid yang berbakti, sudah cukup bagiku.!

   "Akan tetapi, biarpun aku menerima pelajaran-pelajaran darimu dan aku menjadi muridmu, akan tetapi aku tidak mau menyebut suhu kepadamu.!

   "Ehhh? Mengapa?! kakek itu membentak, penasaran.

   "Aku adalah keturunan keluarga Pulau Es yang memiliki ilmu keturunan. Boleh aku mempelajari ilmu-ilmu lain untuk meluaskan pengetahuan, akan tetapi aku tidak boleh berguru kepada aliran lain,! jawab anak itu dengan suara mantap karena memang yang diucapkannya itu adalah ajaran ayah bundanya.

   "Hemm, lalu engkau akan memanggil apa padaku?! tanya Hek-i Mo-ong makin penasaran.

   "Panggilan apa lagi? Tentu seperti orang-orang lain menyebutmu, Mo-ong.!

   

Suling Emas Naga Siluman Eps 51 Jodoh Rajawali Eps 63 Suling Emas Naga Siluman Eps 52

Cari Blog Ini