Suling Emas Naga Siluman 19
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
"Ahhh....! Benar, dia Anakku sendiri! Bu Ci Sian, aihh, kenapa aku bisa melupakan dia?"
Sekali berkelebat, tubuh pendekar ini sudah lenyap. Tiga orang kekasihnya hanya mengangkat pundak, maklum bahwa pendekar itu agaknya hendak melakukan pengejaran terhadap puterinya yang lenyap dibawa orang itu. Mereka lalu kembali ke dalam pondok. Tak lama kemudian Bu Seng Kin memasuki pondok dengan wajah muram. Dia kelihatan kecewa dan menyesal sekali.
"Dia lenyap tak berbekas. Orang yang membawanya sungguh memiliki kepandaian yang amat luar biasa sekali. Mungkinkah gurunya, See-thian Coa-ong yang membawanya pergi?"
"Tidak mungkin. Aku pernah bertanding melawan kakek itu dan biarpun terus terang saja aku tidak mampu mengalahkan dia, akan tetapi sebaliknya dia pun tidak dapat mengalahkan aku. Sedangkan tangkisan tadi, bukan main kuatnya, jauh lebih kuat daripada tenaga Raja Ular itu."
Kata Tang Cun Ciu. Bu Seng Kin menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menarik napas panjang, nampaknya dia menyesal bukan main.
"Dan dia sudah sejak tadi mengintai di atas, kudiamkan saja. Ah, dia telah mendengar semuanya, tahu akan kematian ibunya, tentu dia merasa berduka, kecewa dan menyesal sekali. Ah, mengapa tidak dari tadi kusuruh dia turun?"
"Hemm, sesal kemudian tiada gunanya? Semua adalah salahmu sendiri. Ka-rena itu, Bu Seng Kin, kau bertobatlah dan mintalah ampun atas semua dosa-dosamu. Semua yang terjadi adalah karena kesalahanmu sendiri, maka sekarang engkau memetik buah dari pohon yang kau tanam sendiri. Omitohud....!"
Nikouw Gu Cui Bi berkata dengan nada menegur. Pendekar itu hanya menarik napas panjang. Kemudian Gu Cui Bi, nikouw itu, menggandeng tangan Nandini dan berkata,
"Marilah Nandini Cici, engkau dan puterimu sebaiknya ikut bersamaku, bermalam di kuilku yang cukup luas, tidak seperti gubuk ini yang terlalu sempit."
Nandini mengangguk dan bersama Siok Lan dia lalu bangkit dan berjalan menuju ke pintu bersama nikouw itu. Setibanya di pintu, nikouw itu berhenti dan menengok, memandang ke arah Bu Seng Kin yang nampak bingung dan kepada Tang Cun Ciu yang duduk tenang saja di atas bangku, lalu berkata kepada pendekar itu,
"Bu Seng Kin, kalau malam nanti engkau tidak datang ke kuil menengok Cici Nandini, berarti engkau seorang laki-laki yang selain tidak punya budi juga tidak adil sama sekali dan tidak pantas mempunyai tiga orang isteri."
Setelah berkata demikian, dia lalu pergi bersama Nandini dan Siok Lan.
"Hemm, jangan khawatir, aku tentu akan datang menengokmu, Cui Bi."
"Bukan aku, melainkan Cici Nandini!"
Teriak nikouw itu dari luar akan tetapi yang terdengar hanya suara tawa pendekar itu disusul padamnya lampu di dalam pondok itu!
"Sialan, laki-laki mata keranjang!"
Cui Bi Nikouw Itu mengomel dan melanjutkan perjalanannya bersama Nandini dan puterinya. Dua orang ini segera dapat akur karena mereka berdua maklum bahwa di antara tiga orang kekasih Bu Seng Kin, kepandaian Tang Cun Ciu paling tinggi dan mereka berdua masing-masing bukanlah tandingan wanita tokoh Lembah Suling Emas itu. Oleh karena itu, mereka segera saling mendekati karena kalau mereka maju berdua, kiranya mereka akan mampu menandingi Cun Ciu! Pula, biar bagaimana rindu hati mereka terhadap Bu Seng Kin, kalau harus bermalam bersama-sama di pondok yang kecil itu, tentu saja mereka merasa malu, apalagi di situ terdapat Siok Lan. Sementara itu, diam-diam Seng Kin menjadi bingung dan mengeluh sendiri karena dia tahu bahwa bagaimanapun juga,
Malam itu harus mengunjungi kuil di mana dia tidak tahu bagaimana dia harus melayani tiga orang wanita yang seperti tiga ekor harimau betina yang kelaparan itu! Ci Sian merasa terapung-apung di angkasa gelap. Dia melihat seorang pria, ayah kandungnya, bersama seorang wanita yang tidak begitu jelas air mukanya, berjalan bersama seorang wanita, yang tidak begitu jelas air mukanya, berjalan di sebelah depan, seperti melayang-layang, Ibunya, pikirnya. Itulah Ibunya yang berjalan bersama ayahnya. Akan tetapi tiba-tiba ayahnya melihat ke depan dan berlari meninggalkan Ibunya, mengejar banyak sekali wanita-wanita yang tertawa-tawa genit. Ibunya lalu terhuyung dan terjatuh, melayang turun dari angkasa! Dia terkejut sekali, berusaha hendak lari mengejar sambil menjerit,
"Ibu.... Ibu....!"
Akan tetapi dia pun tergelincir dan jatuh tergelincir.
"Ibu....!"
Sebuah tangan yang halus menjamah dahinya yang berkeringat dan agak panas.
"Ibu...."
Ci Sian mengeluh lirih dan tangan yang halus itu mengusap rambut di atas dahinya, dia merasa nyaman dan tidak begitu pening lagi, lalu tertidur kembali, sekali ini tanpa mimpi. Tak jauh dari situ nampak api unggun bernyala memberi cahaya yang cukup terang dan ternyata bahwa dara itu rebah di dalam sebuah guha yang besar,
Bertilamkan rumput kering dan berselimut jubah panjang. Seorang pria duduk bersila di dekatnya dan setelah dara itu tidur pulas, pria itu memejamkan mata sambil terus bersila sampai pagi. Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari kemerahan telah mulai memasuki guha itu dari samping, Ci Sian mengeluh panjang lalu membuka matanya. Dia mengejap-ngejapkan matanya karena silau oleh sinar merah yang menerobos masuk dan menimpa lantai dekat kepalanya, lalu dia terbelalak keheranan ketika melihat bahwa dia berada di sebuah guha yang diketahuinya karena melihat langit-langit batu itu. Kemudian dia menoleh dan melihat seorang pria duduk bersila di sebelahnya, seorang pria yang berwajah tampan dan ramah, yang memandang kepadanya sambil tersenyum.
"Ahhh.... ahhh.... aku.... aku masih mimpi...."
Ci Sian mengejap-ngejapkan dan menggosok-gosok kedua matanya.
"Tidak, Ci Sian, engkau tidak mimpi."
Kata pria itu dengan halus. Ci Sian terbelalak, lalu bangkit duduk, memandang kepada pria itu.
"Engkau.... engkau Paman Kam Hong....!"
Pria itu mengangguk dan tersenyum, lalu menambahi kayu bakar sehingga api unggun membesar karena hawa pagi itu amat dinginnya walaupun sinar matahari telah memasuki guha. Pria itu tentu saja dikenalnya baik-baik. Wajah itu tak pernah meninggalkan lubuk hatinya dan ternyata pendekar itu tidak berobah sama sekali setelah berpisah hampir lima tahun dengan dia! Masih seperti dulu, tampan pendiam, dan tenang, begitu tenangnya!
"Tapi.... tapi.... mengapa aku di sini? Bukankah aku dikeroyok...."
"Engkau terlalu menuruti nafsu amarah dan engkau pingsan, maka kubawa lari ke tempat ini, Ci Sian."
Setelah merasa yakin bahwa dia tidak mimpi, tiba-tiba saja Ci Sian menutupi mukanya. Tidak terdengar isaknya, hanya pundaknya terguncang dan di antara celah-celah jari kedua tangannya mengalir air mata. Dia menangis! Akan tetapi dasar hatinya keras, dia menahan tangisnya sehingga tidak mengeluarkan bunyi.
"Kalau engkau merasa berduka, kecewa dan penasaran, menangislah, Ci Sian, menangislah, tidak ada yang mendengarmu di sini."
Kata Kam Hong yang memandang dengan penuh iba. Ci Sian menggeleng kepala dengan kedua tangan masih menutupi mukanya.
"Aku tidak mau menangis! Aku tidak mau menangis! Mereka.... mereka telah membunuh semua ular itu....!"
Dan kembali dia menunduk dan air matanya menetes-netes.
"Karena itu, lain kali janganlah sembarangan minta bantuan ular-ular untuk menghadapi lawan, Ci Sian. Apa sih kekuatan ular-ular itu kalau menghadapi orang pandai? Hanya bisa menakut-nakuti anak kecil saja dan sayang membuang nyawa ular-ular yang tidak bersalah apa-apa."
Mendengar suara yang nadanya menegur ini, Ci Sian menurunkan kedua tangannya dan muka yang masih basah air mata itu dihadapkan kepada pendekar itu, sepasang mata yang masih merah basah itu memandang tajam.
"Kau salahkan aku....?"
Kam Hong mengangguk. Sejenak Ci Sian memandang dengan penuh penasaran, akan tetapi akhirnya dia menangis, kini mewek dan bersuara!
"Kau.... kau marah memarahiku.... hu-huuh, ahh.... Ibuku telah mati.... Ayahku.... Ayahku.... aku benci Ayahku! Aku benci manusia itu, aku benci! Hu-huuh, aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini...."
"Hemm, masih ada aku, Ci Sian."
"Kau.... kau malah memarahiku.... hu-huuhh!"
Diam-diam Kam Hong merasa geli akan tetapi juga terharu sekali. Orang-orang yang sedang dikuasai perasaannya, baik itu perasaan terlalu girang, terlalu marah, atau terlalu duka, suka bersikap seperti kanak-kanak. Dara ini sekarang sudah dewasa, akan tetapi pada saat itu dikuasai oleh himpitan batin yang hebat. Perasaan kecewa, penasaran, marah dan duka menindihnya sehingga dia tidak mampu menguasai dirinya lagi dan bersikap seperti kanak-kanak, sungguh patut dikasihani. Maka dia pun lalu mendekati dan mengelus rambut kepala dara itu seperti sikap seorang paman menghibur seorang keponakannya yang masih nakal.
"Sudahlah, tenanglah, aku tidak marah padamu, Ci Sian, sama sekali tidak...."
Mendengar ucapan itu, dan merasa betapa tangan yang mengelus kepalanya itu amat lembut dan penuh perasaan sayang,
Ci Sian menjerit lalu menyembunyikan mukanya pada dada pendekar itu, lalu menangislah dia sejadi-jadinya. Kam Hong membiarkan saja karena hal itu amat baik bagi Ci Sian. Kekuatan yang mendorong perasaan marah atau duka amatlah kuatnya dan kalau tidak disalurkan keluar melalui tangis, akan terpendam di dalam dan selain dapat meledak menjadi pelampiasan marah yang berbahaya, juga amat berbahaya bagi kesehatan dara itu sendiri. Setelah menangis sesenggukan tanpa mengekangnya, akhirnya Ci Sian merasa dadanya lapang sekali. Dia teringat betapa dia menangis di atas dada Kam Hong dan membuat baju pendekar itu menjadi basah, maka cepat-cepat dia menjauhkan dirinya dan memandang kepada baju yang basah itu.
"Maaf, Paman.... aku telah membasahi bajumu."
Kam Hong melihat bajunya dan ter-senyum sabar.
"Baju basah bisa dijemur, Ci Sian. Yang penting, engkau tidak menyimpan perasaan dalam batin lagi. Nah, mari kita bicara sekarang."
Ci Sian mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang. Terasa hawa yang disedotnya itu memenuhi paru-paru sampai ke pusar, dan terasa dadanya nyaman sekali. Mengertilah dia kini mengapa pendekar itu membiarkan dia menangis sepuasnya di dadanya tadi, dan dia merasa berterima kasih sekali.
"Aku sedih sekali mengingat nasib Ibuku, Paman. Aku tidak tahu mengapa Ibu dapat menjadi lemah begitu, padahal menurut penuturan Ayah.... ah, orang itu, Ibu adalah seorang pendekar wanita. Aku belum tahu jelas mengapa sampai meninggal dunia begitu mudah, hanya karena sakit-sakitan. Tubuh seorang pendekar wanita mana mungkin sakit-sakitan begitu?"
"Aku tahu, Ci Sian."
"Eh? Bagaimana kau tahu?"
"Kebetulan saja. Setelah membawamu ke sini, aku berjaga-jaga dan melihat Ayahmu itu...."
"Jangan sebut dia Ayahku lagi! Aku benci mempunyai Ayah macam dia!"
"Membenci bukanlah sikap bijaksana dalam hidup."
"Lanjutkan ceritamu, Paman, apa yang kau lihat dan dengar?"
"Ayahmu itu agaknya mencari-carimu, namun tanpa hasil dan diam-diam aku lalu membayanginya karena aku ingin memperoleh keyakinan apakah benar kita tidak dikejar orang. Dan aku membayanginya sampai ke pondoknya di mana dia bicara dengan.... eh, wanita-wanita yang menjadi isterinya itu dan dia menceritakan bahwa Ibumu yang bernama Sim Loan Ci itu menjadi lemah dan sakit-sakitan semenjak dia dan Ayahmu bertanding melawan gerombolan siluman di Sin-kiang yang terkenal dengan nama Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam)."
"Siapakah itu Hek-i-mo?"
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi sudah kudengar nama mereka. Hek-i-mo adalah perkumpulan, atau lebih tepat dinamakan gerombolan yang merajalela di daerah Sin-kiang, selain berpengaruh dan mempunyai hubungan dekat dengan penguasa, juga gerombolan itu lihai bukan main, dipimpin oleh datuk-datuk kaum sesat dan memiliki pasukan yang kuat."
"Jadi ibu berpenyakitan setelah bertanding melawan mereka?"
"Begitulah menurut penuturan Ayahmu kepada seorang di antara isterinya, karena dalam pertempuran antara orang tuamu melawan gerombolan itu, mendiang Ibumu menderita pukulan beracun dan pada waktu itu Ibumu sedang mengandung. Hanya itulah yang kudengar dari percakapan mereka dan aku lalu pergi karena merasa tidak enak mendengarkan pembicaraan suami Isteri."
"Kalau begitu, aku akan mencari Hek-i-mo dan akan membasminya untuk membalaskan kematian Ibu!"
"Hemm, jangan kira hal itu mudah saja, Ci Sian. Sepanjang pendengaranku, Hek-i-mo merupa-kan gerombolan yang amat berbahaya dan sudah banyak pendekar-pendekar berilmu tinggi yang gagal dan bahkan menemui kematian ketika berhadapan dengan mereka. Bahkan Ayah Ibumu yang demikian lihai pun agaknya gagal."
"Aku tidak. takut gagal, aku tidak takut mati!"
Kam Hong mena-han senyumnya. Dara ini masih seperti dulu, pemberani dan keras hati sehingga amat mengkhawa-tirkan karena sikap seperti itu banyak mengakibatkan malapetaka kepada diri sendiri.
"Biarpun engkau berusaha, kalau sudah pasti bahwa engkau akan gagal, apa artinya? Engkau harus memper-dalam ilmu kepandaianmu, dan untuk itu, aku mau membantumu, Ci Sian. Ingat, aku masih ada hutang padamu."
"Hutang? Hutang apa?"
"Hutang ilmu. Lupakah kau akan ilmu yang kita bersama temukan pada tubuh jenazah kakek kuno itu? Aku masih harus mengajarkannya kepadamu karena engkau pun berhak mempelajarinya, dan kita berdualah yang menemukannya."
Ci Sian mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh pendekar ini memang benar. Biarpun tadinya dia merasa bahwa ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong cukup tinggi, namun ternyata bahwa ilmunya itu masih jauh daripada cukup jika dia berhadapan dengan orang-orang pandai, juga ular-ularnya itu tidak ada artinya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Dan dia percaya bahwa pendekar ini memang memiliki ilmu yang tinggi sekali, kalau tidak demikian, mana mungkin dapat melarikan dia dari tangan ayahnya dan isteri-isteri ayahnya yang demikian lihainya?
(Lanjut ke Jilid 18)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
"Baiklah, Paman, aku akan belajar darimu."
"Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi denganmu semenjak kita saling berpisah. Ke manakah engkau pergi ketika kita berdua terdampar di lembah tanpa jalan keluar itu? Kuingat ketika bukit itu longsor dan kita terasing di lembah salju?"
"Aku sedang mencari burung dan aku lalu terpeleset jatuh ke dalam jurang."
"Hemm, sudah kuduga begitu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat hidup setelah terjatuh ke dalam jurang yang sedemikian dalamnya?"
"Aku ditolong oleh seorang kakek yang berama See-thian Coa-ong, Paman"
Dara itu lalu menceritakan pengalamannya sampai dia diambil murid oleh kakek Raja Ular itu.
"Bagus sekali, engkau beruntung, selain dapat diselamatkan dari ancaman bahaya maut, masih menemukan seorang guru yang pandai. Pantas saja engkau pandai bermain-main dengan ular."
"Paman, hal itu belum berapa penting. Yang kuanggap paling menarik dan pen-ting adalah ketika aku diajak oleh guruku itu untuk menemui musuhnya di Lembah Suling Emas, yaitu di luar lembah di mana tinggal musuh Guruku. Di situ aku bertemu degan seseorang yang tentu akan membuat Paman terkejut sekali, dan tak mungkin Paman dapat menduganya siapa."
Di dalam hatinya, Kam Hong tertarik sekali, akan tetapi dia tetap nampak tenang dan tersenyum, seperti seorang dewasa mendengarkan penuturan seorang anak kecil saja.
"Siapakah dia yang kau-maksudkan itu?"
"Musuh Guruku itu adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara.... eh, isteri Ayah, wanita yang paling, galak dan paling lihai yang hampir membunuhku malam tadi. Dia adalah seorang tokoh Lembah Suling Emas dan ilmunya tinggi sekali."
"Hemm, sungguh aneh sekali ada lembah yang bernama Lembah Suling Emas."
"Aku pun tadinya merasa heran, Paman. Menurut Guruku, Lembah Suling Emas itu adalah lembah tempat keluarga yang amat sakti, yaitu keluarga Suling Emas."
"Hemmm....!"
Kam Hong mengelus dagunya dan alisnya berkerut. Apa pula ini?
"Aku pun merasa penasaran, Paman. Bukankah Paman satu-satunya Pendekar Suling Emas dan Paman memiliki sebuah suling dari emas, juga Paman malah memiliki ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas, akan tetapi di Pegunungan Himalaya ada lembah yang yang bernama lembah Suling Emas dan menjadi tempat tinggal keluarga Suling Emas! Akan tetapi Guruku tidak dapat bercerita lebih jelas. Akan tetapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu itu memang lihai sekali sehing-ga Suhuku sendiri hanya dapat mengimbangi dalam ilmu silat tanpa dapat mengalahkannya. Dan yang luar biasa adalah muridnya, Paman."
"Murid wanita itu? Bagaimana hebatnya?"
"Dia itu bukan lain adalah Yu Hwi!"
Sekali ini benar-benar Kam Hong terkejut bukan main dan dia menatap wajah dara itu dengan mata terbelalak. Akan tetapi hanya sekejap saja karena dia sudah bersikap biasa kembali, tenang dan agak dingin.
"Sungguh-sungguhkah engkau, Ci Sian?"
"Mengapa tidak, Paman? Aku malah sudah menegurnya, mengingatkan dia akan namamu, dan ah, sungguh aku tidak mengerti akan sikap isterimu itu, Paman. Mengapa dia begitu.... eh, agaknya begitu membencimu dan tidak peduli kepadamu? Aku sudah menegurnya, mengingatkan dia tentang engkau, akan tetapi dia malah marah-marah. Dan tahukah engkau apa yang terjadi? Gurunya, Si Cui-beng Sian-li itu, mengadakan perjanjian dengan suhuku, See-thian Coa-ong, untuk mengadukan murid-murid mereka, yaitu Yu Hwi itu dan aku, setelah belajar lima tahun lamanya. Coba pikir, bukankah perjanjian itu gila?"
Kam Hong menarik napas panjang.
"Yu Hwi adalah calon isteriku, ikatan jodoh antara kami telah disahkan oleh orang-orang tua yang menjadi wali kami. Dia belum menjadi isteriku, akan tetapi menurut keputusan wali-wali kami, kami harus saling berjodoh. Di manakah dia, Ci Sian? Aku harus menemuinya."
"Hemm, Paman Kam Hong. Kalau dia tidak mau, apakah akan dipaksa menjadi isterimu?"
"Justeru aku harus menemuinya untuk membicarakan urusan kami itu. Selain itu, aku pun ingin sekali berkenalan dengan keluarga yang tinggal di Lembah Suling Emas itu, Ci Sian."
"Baik, aku akan mengantarmu ke sana, Paman. Akan tetapi dengarkan lanjutan ceritaku."
Ci Sian lalu menceritakan tentang semua pengalamannya, betapa dia setelah belajar empat tahun dari See-thian Coa-ong lalu meninggalkan pertapaan gurunya itu dan hendak mencari Kam Hong atau Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana adanya orang tuanya seperti yang diceritakan oleh kakeknya kepada piauwsu itu. Kemudian betapa dia terlibat dalam perang di Lhagat, tentang Jenderal Kao Cin Liong, tentang Siok Lan, panglima wanita Nandini dan lain-lain sampai kemudian perang berakhir dengan kekalahan di fihak tentara Nepal dan dia mendengar tentang tempat tinggal ayahnya dari Lauw-piauwsu yang tewas karena luka-lukanya.
"Begitulah, aku bertemu dengan Ayahku, akan tetapi dalam keadaan yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku dan aku tidak sudi bertemu dengan dia! Sekarang, kau ceritakan pengalamanmu semenjak kita berpisah, Paman."
"Mari kita berangkat, Ci Sian. Di dalam perjalanan nanti akan kuceritakan semua itu kepadamu."
Mereka melakukan perjalanan lagi, seperti lima tahun yang lalu. Hanya bedanya, kini Ci Sian bukan lagi anak-anak, bukan lagi anak perempuan tiga belas tahun, melainkan seorang dara remaja yang sudah berusia tujuh belas tahun, seorang dara remaja yang amat cantik dengan tubuh yang padat meranum, seperti setangkai bunga yang sedang mulai mekar! Diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa dia kagum sekali kepada dara ini, kagum akan kecantikannya yang sukar dicari keduanya itu, dan diam-diam dia merasa amat bergembira dapat bertemu kembali dengan Ci Sian dan dapat melakukan perjalanan bersama kembali.
Lenyaplah segala rasa kesunyian dan nelangsa sebagai akibat perpisahan dengan Yu Hwi semenjak dia bertemu dengan dara ini kurang lebih lima tahun yang lalu. Sebaliknya, setelah kini berjumpa dengan Kam Hong hati Ci Sian merasa begitu ringan dan gembira. Semua kekecewaan dan rasa penasaran, semua rasa duka yang tertimbun sejak kekecewaannya menyaksikan hubungan antara Siok Lan dan Cin Liong sampai kepada kenyataan yang amat pahit dari keadaan ayah kandungnya, kini lenyap tak berbekas dan wajahnya yang jelita itu berseri-seri! Dia lupa sama sekali kepada bayangan Cin Liong yang tadinya amat dikaguminya itu, dan dia merasa amat bergembira, gembira dan puas seolah-olah dia memperoleh kembali sesuatu yang hilang dari lubuk hatinya.
Seperti juga dulu, mereka melakukan perjalanan melalui gunung-gunung yang tinggi, lembah-lembah yang dingin dan puncak-pucak bukit yang tertutup es. Seperti juga dulu, Kam Hong yang bersikap pendiam dan tenang, bahkan agak dingin itu, seperti gunung es menghadapi api karena sikap Ci Sian sebaliknya daripada dia. Dara ini, panas dan penuh semangat, penuh gairah hidup dan selalu jenaka, kocak dan gembira, agak kenakal-nakalan sehingga mulai mencairlah gunung es dalam hati Kam Hong itu! Sambil melakukan perjalanan seenaknya, berceritalah Kam Hong tentang pengalamannya semenjak dia berpisah dari Ci Sian. Akan tetapi tidak banyak yang dapat diceritakan. Seperti kita ketahui, ketika Ci Sian tergelincir ke dalam jurang yang mengelilingi "pulau salju"
Terpisah dari tempat-tempat lain itu, Kam Hong merasa amat gelisah, khawatir sekali dan berduka.
Dia mengira bahwa tentu dara itu telah tewas tergelincir ke dalam jurang. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu. Biarpun dia sudah berusaha keras untuk mencari jalan turun, namun dia mendapatkan kenyataan yang makin mendukakan hatinya bahwa tidak mungkinlah menuruni tempat itu dan siapa yang tergelincir ke bawah yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu, agaknya tidak mungkin dapat diharapkan akan selamat. Pendekar itu selama beberapa hari termenung di tepi jurang, penuh kedukaan dan hampir dia menangis kalau teringat betapa gadis cilik itu kini telah mati! Batinnya yang sudah tertekan selama bertahun-tahun dengan lenyapnya Yu Hwi, kini bertambah berat dengan dugaan bahwa Ci Sian telah mati tergelincir ke dalam jurang.
Sampai hampir sepekan dia merenungi keadaan yang menyedihkan itu, akan tetapi akhirnya dia sadar bahwa membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan merupakan hal yang tidak baik sama sekali, maka dia lalu menyibukkan diri dengan latihan ilmu yang baru saja dia peroleh dan pelajari dari catatan di tubuh jenazah tua. Dan ilmu itu memang hebat bukan main, merupakan ilmu yang amat tinggi, sakti dan penuh rahasia. Ilmu meniup suling berdasarkan sin-kang yang luar biasa tingginya itu dipelajarinya dengan amat susah payah, kemudian dia melatih pula ilmu pedang Kimsiauw-kiamsut yang dilakukan dengan suling. Selama setahun lebih Kam Hong terasing di tempat itu, tidak memperoleh kesempatan untuk keluar dari tempat itu. Kemudian, setelah pergantian musim,
Puncak bukit di atas longsor dan jutaan ton es batu tanah dan salju menutup jurang sehingga tempat itu kembali tertutup dan dia dapat keluar dari pengasingan itu! Maka dipilihnyalah tempat yang amat baik untuk melatih ilmu, di lereng sebuah puncak yang subur, tidak seperti di tempat pengasingan itu yang hanya terdiri dari batu es dan salju yang amat dinginnya. Di tempat ini, Kam Hong melanjutkan latihannya setelah beberapa hari dia mencari-cari di sekitar tempat pengasingan itu dan tidak berhasil menemukan Ci Sian, bahkan tulang kerangkanya pun tak dapat ditemukannya. Dia menduga bahwa tentu gadis cilik itu telah tertimbun es dan tidak mungkin ditemukan lagi kerangkanya. Selama tiga tahun Kam Hong memperdalam ilmunya sampai dia berhasil menguasai ilmu-ilmu itu, walaupun untuk bersuling tanpa suling dia masih belum sanggup melakukannya.
Akan tetapi, kini dia dapat menyuling tanpa menutup lubang-lubang sulingnya dan dapat menyanyikan lagu apapun juga melalui sulingnya tanpa memainkan jarinya. Bahkan dia dapat mainkan ilmu pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) sedemikian rupa sehingga sulingnya mengeluarkan suara berlagu merdu! Kemudian dia meninggalkan tempat pertapaannya untuk melanjutkan usahanya mencari Yu Hwi, dan dalam perjalanan inilah dia mendengar tentang perang yang terjadi di Lhagat, dan tentang pasukan pemerintah yang terkepung di lembah oleh pasukan-pasukan Nepal. Kedatangannya tepat sekali, karena pada waktu itu, pasukan Kerajaan Ceng, dibantu oleh pasukan Tibet dan orang-orang kang-ouw yang lihai, sedang mulai dengan gerakan mereka.
Melihat betapa pasukan yang terkurung itu mulai membuka bendungan sehingga air dari puncak membanjir, disusul gerakan pasukan yang terkepung itu untuk membobolkan kepungan, Kam Hong segera turun tangan pula membantu, diam-diam dia mengamuk, dan mengacaukan pasukan Nepal yang mengepung, seperti yang juga telah dilakukan oleh Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Akan tetapi karena mereka berdua itu bergerak di kanan kiri air bah, jadi terpisah, maka mereka tidak saling jumpa. Setelah melihat betapa pasukan pemerintah Ceng berhasil merebut Lhagat, Kam Hong tidak mencampuri perang tadi dan dia menyingkir tanpa memperlihatkan diri. Akan tetapi dia melihat panglima, wanita Nepal bersama seorang dara melakukan perjalanan tergesa-gesa dan diam-diam dia membayangi mereka dari jauh sampai ke Pegunungan Kongmaa La.
"Demikianlah, tanpa tersangka-sangka olehku, aku dapat bertemu denganmu, Ci Sian."
Pendekar itu mengakhiri ceritanya.
"Mula-mula aku memang pangling, apalagi ketika melihat seorang dara memanggil ular-ular itu. Aku hanya ingin menolongnya karena dikeroyok oleh orang-orang yang sedemikian lihainya, dan baru aku mengenalmu setelah aku membawamu ke dalam guha itu."
"Dan aku merasa seperti dalam mimpi begitu membuka mata dan melihatmu, Paman. Akan tetapi sekarang, setelah aku yakin bahwa kita telah berkumpul kembali, aku merasa seolah-olah perpisahanku denganmu selama hampir lima tahun itu hanya mimpi belaka!"
Kam Hong tersenyum karena ucapan itu sama benar rasanya seperti yang berada dalam hatinya. Dia seolah-olah tak pernah berpisah dari Ci Sian, seolah-olah semua yang dialaminya sendiri tanpa Ci Sian selama ini hanya sebuah mimpi saja! Gadis itu bersilat dengan cepatnya. Gerakannya amat gesit, pukulan-pukulannya mendatangkan angin bersuitan dan daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang, Bahkan ada yang rontok tertiup angin pukulan kedua tangan dan kakinya yang berloncatan ke sana sini seperti seekor burung yang sedang berlagak di pagi hari itu.
Pagi hari itu cerah dan indah sekali dan lapangan rumput itu amat bersih kehijauan segar, hening tidak nampak seorang pun manusia lain di situ. Gadis itu memang lihai sekali karena dia ini bukan lain adalah Yu Hwi. Usianya sudah dua puluh delapan tahun, akan tetapi dia nampak masih muda, agaknya hanya dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun. Pakaiannya yang serba merah muda itu membuat dia nampak lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Dan memang gadis ini lihai bukan main. Apalagi sekarang setelah dia menjadi murid tersayang daari Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sakti, tentu saja kepandaiannya meningkat dengan amat pesatnya.
Dahulu pun, dia telah merupakan seorang pendekar wanita yang amat lihai, yang terkenal dengan julukan Ang Siocia karena pakaiannya selalu kemerahan. Dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja Maling, dia telah mewarisi ilmu silat yang tinggi, bahkan ilmunya yang disebut Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) amat hebatnya. Dengan tangan kosong dia mampu memutuskan benda-benda keras seperti disabet dengan pedang atau golok saja! Di samping ilmu Kiam-to Sin-ciang ini, dia pun terkenal pandai melakukan penyamarannya, dan pandai pula dalam ilmu mencuri atau mencopet, kepandaian khas dari Hek-sim Touw-ong! Seperti telah kita ketahui dari cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI, hati gadis ini merasa kecewa bukan main. Sebagai seorang dara jelita, dia pernah jatuh cinta.
Dia jatuh hati kepada seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu putera dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Akan tetapi cintanya bertepuk tangan sebelah, pendekar yang dicintanya itu ternyata mencinta dara lain sehingga hati gadis ini menjadi hancur dan patah-patah. Kemudian, Yu Hwi mendengar tentang rahasia dirinya, bahwa dia adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek dan bahwa semenjak kecil dia diculik oleh gurunya Si Raja Maling. Hal ini tidak menyusahkan hatinya, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia mendengar bahwa dia sejak kecil telah ditunangkan dengan seorang anak laki-laki yang bukan lain adalah Siauw Hong atau Kam Hong, pemuda yang sudah dikenalnya, bahkan pemuda yang tanpa disengaja pernah membuka rahasia penyamarannya sebagai seorang pemuda (baca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI).
Maka, karena malu terhadap Kam Hong, juga karena berduka mengingat bahwa hatinya telah jatuh cinta kepada Siluman Kecil, Yu Hwi lalu melarikan diri, meninggalkan kakeknya, dan mengambil keputusan tidak mau kembali lagi. Dia telah gagal cintanya dengan Siluman Kecil, dan dia tidak sudi dikawinkan dengan orang lain, apalagi yang bukan pilihannya sendiri, sungguhpun harus diakuinya bahwa tunangannya itu adalah seorang pemuda yang hebat pula. Dia sudah terlanjur malu dan tidak mau kembali lagi. Dan di dalam perjalanannya itulah dia bertemu dengan Cui-beng Sian-Ii Tang Cun Ciu dan diambil sebagai murid. Hatinya girang sekali, apalagi ketika dia diperkenalkan dengan keluarga sakti yang menjadi penghuni Lembah Suling Emas.
Hatinya kagum bukan main, terutama sekali kepada seorang di antara para tokoh lembah itu, yang masih terhitung susioknya (paman seperguruannya), yaitu yang bernama Cu Kang Bu, pemuda sakti tinggi besar dan gagah itu. Dia merasa kagum bukan main terhadap keluarga yang amat sakti itu, terutama para paman gurunya yang menurut subonya bahkan lebih lihai daripada subonya sendiri yang sudah amat dikaguminya itu! Selama beberapa hari ini, subonya nampak murung saja, akan tetapi hatinya girang karena subonya mengatakan bahwa pelajarannya telah tamat, dan bahwa waktu yang lima tahun itu sudah hampir tiba dan dia akan harus berhadapan dengan murid See-thian Coa-ong untuk memenuhi janji dua orang yang bermusuhan secara aneh itu, untuk menentukan siapa yang lebih unggul.
Dahulu, dalam pertempuran mati-matian, antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dan See-thian Coa-ong, tidak ada yang kalah atau menang, kepandaian mereka seimbang. Maka kini, murid-murid mereka yang akan menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka. Yu Hwi merasa girang, bukan hanya karena dia akan bertanding mewakili subonya, melainkan karena dia telah bebas dan setelah melakukan pertandingan itu, dia boleh turun gunung atau pergi dari tempat itu, melanjutkan perjalanan atau perantauannya. Dan dia sudah merasa rindu untuk kembali ke timur, ke dunia ramai. Akan tetapi, harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat dia merasa berat meninggalkan Lembah Suling Emas, dan selama berbulan ini wajah yang gagah dari susioknya sering muncul di alam mimpi, menggerakkan gairah dalam hatinya yang sudah lebih dari dewasa, bahkan yang sudah agak lambat itu, mengingat usianya sudah dua puluh delapan tahun!
Pagi hari itu, dalam cuaca cerah dari hari yang indah itu, Yu Hwi bersilat dengan tangan kosong, berlatih sebaik-baiknya dan dia merasa girang karena dia dapat bergerak dengan lancar sekali dan merasa yakin bahwa dalam mewakili subonya, dia tentu akan dapat mengalahka anak perempuan murid See-thian Coa-ong yang bicara lancang tentang Kam Hong itu! Setelah dia berhenti bersilat dan menghapus keringat di lehernya, tiba-tiba terdengar tepuk tangan. Yu Hwi terkejut bukan main. Kalau ada orang mampu datang ke tempat itu tanpa diketahuinya, tentu ilmu kepandaian orang itu tinggi bukan main. Akan tetapi ketika dia menoleh dengan kaget dan melihat siapa yang bertepuk tangan itu, wajahnya berseri dan kedua pipinya berobah kemerahan.
"Aihh.... kiranya Sam-susiok (Paman Guru ke Tiga).... ah, gerakanku amat buruk, harap Susiok jangan mentertawakan."
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya dengan sikap agak genit, tersenyum manis dan mengerling tajam. Pria yang tinggi besar dan berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu, tersenyum dan meloncat turun dari atas sebuah batu besar di mana dia tadi berdiri, menghampiri gadis itu dengan pandang mata penuh kagum.
"Sungguh mati, Yu Hwi, aku tidak mentertawakan. Gerakan-gerakanmu tadi lincah dan hebat, dan amat manis sekali, sungguhpun aku melihat adanya beberapa kelemahan yang agaknya tidak nampak oleh Subomu."
"Ah, betulkah Sam-susiok? Harap Susiok sudi memberi petunjuk kepadaku. Harap Susiok ingat bahwa beberapa hari lagi aku harus menghadapi murid See-thian Coa-ong mewakili Subo untuk mengadu kepandaian seperti janji mereka lima tahun yang lalu. Pria itu menarik napas panjang.
"Ahhh Toaso, Subomu itu, selalu menuruti hati panas sehingga suka berjanji untuk mengadu ilmu. Mempelajari Ilmu silat bukan untuk diadu seperti ayam jago atau jangkerik."
Yu Hwi tersenyum.
"Betapa pun, janji tetap janji dan apa jadinya kalau Subo melanggar janjinya? Sam-susiok, berlakulah baik untuk memberi petunjuk agar aku dapat memperbaiki kekurangan atau kesalahan itu. Susiok tidak ingin melihat aku kalah dalam pertandingan itu, bukan?"
"Tentu saja tidak. Nah, dalam jurus ke sebelas dan dua belas, juga jurus ke sembilan belas dan ke dua puluh, engkau terlalu menekankan kepada penyerangan, terlalu bernafsu sehingga engkau melalaikan pertahananmu sehingga pada bagian-bagian itu pertahananmu amat lemah dan mudah sekali dimasuki lawan."
"Ah, begitukah, Susiok? Akan tetapi menurut Subo, permainanku sudah sempurna."
Kata Yu Hwi dengan kaget.
"Mari kita coba. Kau seranglah aku dengan jurus ke sebelas itu."
Karena maklum betapa lihainya susioknya yang ganteng dan gagah ini, yang menurut subonya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari subonya, dan karena dia akan memperoleh petunjuk, maka Yu Hwi menjadi girang dan tanpa ragu-ragu dia lalu mengerahkan tenaganya dan menyerang sambil berseru,
"Awas Susiok!"
Jurus ke sebelas ini disebut Lam-hong Tong-te (Angin Selatan Getarkan Bumi), dilakukan dengan pukulan tangan kiri yang disambung dengan langkah kaki kanan ke depan kemudian kaki kiri menyambar dari samping dengan jalan memutar. Amat cepat dan tidak tersangka lawan, berbahaya sekali.
"Pinggang kananmu terbuka!"
Kata Kang Bu dan dengan memutar tubuh, setelah mengelak dan menepuk kaki yang menendang, tahu-tahu tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang kanan Yu Hwi. Tentu, saja tidak dia lanjutkan, hanya jari-jari tangannya menyentuh pinggang itu, menimbulkan rasa geli.
"Seharusnya tangan kananmu merapat ke pinggang, seperti ini!"
Dengan jelas Kang Bu lalu memberi contoh dan memegang tangan kanan Yu Hwi, merapatkan di pinggang.
"Mengertikah engkau? Setiap serangan sudah tentu membuka sebagian dari tubuh kita, dan hal itu akan dipergunakan oleh lawan yang tangguh untuk mencari titik kelemahan kita, oleh karena itu di samping penyerangan, kita harus mengenal titik kelemahan sendiri sewaktu menyerang dan sedapat mungkin melindungi kelemahan itu. Yu Hwi mengerti dan mengulang jurus itu sampai beberapa kali dan Kang Bu mengangguk-angguk puas.
"Nah, sekarang coba serang aku dengan jurus ke dua belas."
Katanya pula.
"Baik, nah, awas Susiok! Haittt....!"
Jurus ke dua belas ini memang seharusnya dilakukan dengan bentakan nyaring. Jurus ini disebut Sia-hong-khai-bun (Angin Bawah Membuka Pintu). Serangan ini lebih hebat daripada tadi karena tiba-tiba dara itu merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya mendorong dari bawah ke atas dengan kekuatan hebat karena didasari tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga angin pukulannya menyambar dahsyat. Namun tiba-tiba tubuh Kang Bu meloncat ke atas, berjungkir balik dan kedua tangannya dari atas melakukan dua pukulan, yang kiri menusuk ke arah mata Yu Hwi sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun!
"Aihhh....!"
Yu Hwi terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh ke belakang dan bergulingan, mukanya berobah pucat. Kang Bu sudah berdiri di depannya sambil tersenyum.
"Bagus sekali cara engkau menyelamatkan diri. Akan tetapi hal itu tidak perlu karena apa kau kira aku hendak mencelakakan engkau dengan sungguh-sungguh?"
"Aku.... aku kaget, Susiok...."
Kata Yu Hwi dan dia pun tersenyum malu-malu ketika Kang Bu membantunya membersihkan pakaiannya yang terkena tanah ketika dia bergulingan tadi.
"Nah, engkau lihat betapa berbahayanya kalau engkau mencurahkan seluruh tenaga dan perhatianmu untuk jurus ke dua belas itu. Memang jurus ini merupakan jurus berbahaya bagi lawan, akan tetapi kalau lawanmu memiliki gin-kang yang tinggi dan melihat keterbukaan bagian kepalamu, engkau sebaliknya akan terancam bahaya. Oleh karena itu, pada saat memukul, perhatikan gerakan musuh, kalau dia membalikkan keadaan dengan meloncat dan mengancam kepalamu, kau tinggal melanjutkan pukulan itu ke atas, mendahuluinya, dan menghantamnya dari bawah. Mengertikah engkau?"
"Baik, aku mengerti dan terima kasih, Sam-susiok. Memang engkau benar sekali, Susiok."
"Sekarang jurus ke sembilan belas dan dua puluh. Kedua jurus itu merupakan jurus yang bergandengan, yaitu See-hong-coan-in (Angin Barat Menerjang Awan) yang disambung dengan Pak-hong-sang-thian (Angin Utara Naik Langit) merupakan dua jurus terampuh darl Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) itu. Coba kau serang aku dengan dua jurus yang bersambungan itu."
"Baik, Susiok."
Yu Hwi lalu menyerang, gerakannya cepat bukan main, kedua tangan bergantian melakukan pukulan sambil meloncat, kemudian dengan kedua kaki ditekuk dua tangannya menyambar ke depan ke arah leher dan pusar lawan.
"Lihat dadamu terbuka!"
Terdengar susioknya itu berkata dan kedua tangannya telah terpentang oleh tangkisan dan tangan susioknya yag besar dan kuat itu sudah mencengkeram ke arah dadanya, hampir saja menyentuh buah dadanya, akan tetapi Kang Bu sudah cepat menarik kembali tangannya. Kemudian Yu Hwi melanjutkan gerakannya, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya menye-rang dengan totokan dari atas ke arah pundak dan ubun-ubun kepala lawan. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga dalam pertandingan yang sungguh-sungguh, fihak lawan akan terancam bahaya.
"Bagian belakangmu kosong!"
Teriak pula Kang Bu dan dia sudah menggeser kaki sehingga dua tendangan itu luput dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di sebelah belakang Yu Hwi dan sekali tangannya menyambar, sepatu kiri Yu Hwi telah copot!
"Ihhh....!"
Yu Hwi terkejut dan melayang turun dengan muka merah, memandang ke arah kakinya yang hanya tinggal berkaus saja sedangkan sepatu kaki kirinya telah berada di tangan susioknya.
"Maaf, ini hanya untuk membuktikan betapa bahayanya jurus-jurus itu kalau engkau tidak hati-hati. Jadi ingat baik-baik, jurus ke sembilan belas jaga baik-baik dadamu dan jurus ke dua puluh memiliki kelemahan di bagian belakang tubuhmu ketika engkau meloncat."
Yu Hwi tidak dapat berkata-kata, mukanya merah sekali dan jantungnya berdebar-debar, ketika dia melihat betapa paman gurunya itu berjongkok dan memasangkan sepatu kirinya. Lebih berdebar lagi rasa jantungnya ketika dia melihat betapa jari-jari tangan yang kokoh kuat dari pendekar yang lihai itu gemetar tidak karuan ketika membantunya memakai kembali sepatunya! Mereka lalu duduk berhadapan di atas rumput hijau, bercakap-cakap dengan mesranya.
Seperti biasa, dalam pertemuan dan percakapan ini, Cu Kang Bu memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat kepada Yu Hwi, sikapnya amat ramah dan juga mesra, jelas sekali nampak betapa pria muda itu "ada hati"
Terhadap murid keponakan yang manis itu! Dan diam-diam Yu Hwi juga harus mengakui bahwa dia amat tertarik kepada pemuda ini, seorang pria yang jantan, matang, pendiam, jujur dan tidak pernah berpura-pura, sikapnya terbuka dan Ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Pria seperti ini dapat dibandingkan dengan Pendekar Siluman Kecil sekalipun! Tanpa mereka sadari, dari tempat yang agak jauh, sepasang mata yang bening memandang ke arah mereka, dan kemudian sepasang mata itu nampak tidak senang, kemudian lenyap. Tiba-tiba Yu Hwi berkata, suaranya halus dan lembut, agak mengandung kemanjaan seorang wanita yang yakin bahwa dirinya dicinta.
"Sam-Susiok...."
"Eh, mengapa? Mengapa tidak kau lanjutkan bicaramu?"
Kang Bu bertanya sambil memandang heran, melihat betapa dara itu memanggilnya kemudian menunduk, dan kelihatannya seperti ragu-ragu dan bimbang.
"Aku hendak bertanya sesuatu, akan tetapi takut Susiok marah."
Kang Bu tertawa, ketawanya bebas lepas.
"Ha-ha-ha-ha, engkau aneh sekali, Yu Hwi. Pernahkah aku marah kepadamu? Dan pula, kenapa aku harus marah?"
Yu Hwi mengingat-ingat dan memang belum pernah susioknya ini marah. Semenjak dia diperkenalkan kepada para penghui Lembah Suling Emas, dia merasa amat takut kepada toa-susioknya, yaitu Cu Han Bu, yang sikapnya pendiam, serius dan kelihatan galak. Juga dia tidak pernah bicara dengan ji-susioknya, yaitu Cu Seng Bu yang juga pendiam. Hanya kepada sam-susiok ini saja dia merasa suka dan cocok, dan susioknya ini selain amat ramah dan baik, juga usianya tidak banyak selisihnya dengan dia. Susioknya ini paling banyak berusia tiga puluh empat tahun. Apalagi semenjak diperkenalkan, dari sinar mata sam-susioknya ini dia tahu bahwa pendekar gagah ini tertarik dan sayang kepadanya. Naluri kewanitaannya amat tajam dan tentu saja dia dapat menangkap hal ini.
"Tapi aku khawatir kalau-kalau engkau marah mendengar pertanyaanku ini, Sam-susiok."
"Ha-ha, kalau aku marah, biarlah engkau hitung-hitung mengalami satu kali mendapat marah dariku!"
Pendekar itu lalu memandang dengan matanya yang lebar dan mencorong.
"Yu Hwi, katakanlah, apa yang akan kau tanyakan kepadaku?"
"Sam-susiok.... aku ingin sekali tahu lebih banyak tentang keluargamu, keluarga Suling Emas yang amat sakti itu. Kulihat Toa-susiok sudah menduda, padahal dia belum tua benar, dan Pek In semenjak kecil tidak beribu. Kenapa Toa-susiok tidak pernah menikah lagi, Susiok? Dan juga Ji-susiok tidak pernah menikah...."
"Ah, engkau tidak tahu, Yu Hwi. Twako kematian isterinya yang sangat dicintainya dan dia tidak berani menikah lagi, tidak melihat adanya wanita yang dapat menggantikan isterinya, apalagi setelah melihat betapa mendiang Twako Cu San Bu suami Subomu itu menderita karena ulah isterinya. Maka dia tidak percaya lagi kepada wanita dan memilih tidak kawin lagi selamanya. Adapun Ji-ko Cu Seng Bu, dia.... dia itu mempunyai penyakit sejak kecil, penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan kalau dia menikah, maka penyakit itu akan membahayakan nyawanya. Selain itu, dia melihat kehidupan yang sengsara dari mendiang Twako Cu San Bu dan Cu Han Bu sehingga dia merasa ngeri untuk menikah."
"Akan tetapi, keluarga Cu belum memiliki keturunan seorang laki-laki "
Cu Kang Bu menghela napas panjang.
"Memang hal itu kadang-kadang menggelisahkan kami. Akan tetapi semenjak datang Sim Hong Bu, hati kami terhibur. Anak itu baik sekali, dan memiliki bakat yang amat besar. Dia telah dipilih oleh mendiang Toapek, dan ternyata dia dapat mewarisi ilmu kami dengan baik. Biarlah dia yang menjadi murid dan juga keturunan kami, siapa tahu dia kelak akan dapat menjadi suami Pek In seperti yang telah direncanakan dan diharapkan oleh Twako Han Bu...."
"Ah, apakah di antara Sumoi dan Sute itu ada pertalian cinta....?"
Yang ditanya menggeleng kepala.
"Mereka itu masih terlalu muda kiraku untuk itu, akan tetapi hubungan di antara mereka cukup baik. Kau tahu, murid kami Hong Bu itu memang hebat sekali. Dia bahkan sudah berhasil, atau hampir berhasil melatih ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang-toapek, ilmu yang amat sukar dan mujijat itu...."
"Koai-liong Kiam-sut?"
Yang ditanya mengangguk dan sejenak mereka diam.
"Sam-susiok "
"Ya....?"
"Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Aku mengapa?"
"Maksudku.... eh, apakah engkau juga seperti Ji-susiok yang merasa ngeri menghadapi pernikahan dan menganggap tidak ada wanita yang patut menjadi.... eh, jodohmu?"
Pertanyaan itu membuat wajah pendekar tinggi besar itu menjadi merah.
"Aku.... eh, aku tidak pernah.... aku belum memikirkan soal jodoh...."
Jawabnya gagap. Pendekar sakti yang menghadapi ancaman maut apapun juga akan bersikap tenang ini, menghadapi pertanyaan tentang jodoh itu menjadi gugup. Sungguh hebat!
"Ah, Sam-susiok, kenapa?"
"Aku.... eh, kurasa belum waktunya bagiku untuk memikirkan jodoh.
"Belum waktunya? Menurut dugaanku, Sam-susiok tentu sudah berusia tidak kurang dari tiga puluh tiga tahun sekarang...."
"Sudah tiga puluh lima."
"Nah, kenapa masih belum waktunya? Apakah engkau tidak hendak menikah kalau sudah berusia setengah abad?"
"Ha, bukan begitu, Yu Hwi, akan tetapi.... selama ini memang belum ada seorang gadis yang cocok untukku.... dan sekarang.... setelah ada yang cocok, hemm.... aku mungkin sudah terlalu tua untuknya."
Yu Hwi adalah seorang dara yang sudah matang, maka tentu saja dia dapat menduga ke mana tujuan percakapan itu dan siapa yang dikatakannya tidak cocok itu. Dengan sikap tidak tahu dan manja dia bertanya.
"Siapakah dara itu, Susiok? Mengapa mengatakan terlalu tua! Aihh, coba dengar ini kakek-kakek yang berusia seabad mengeluh...."
Dia menggoda. Kang Bu tidak pandai bicara, akan tetapi sekali ini dia bercakap-cakap sampai sedemikian banyaknya dengan Yu Hwi, sungguh membuat dia sendiri merasa terheran. Mendengar godaan itu dia tersenyum, akan tetapi segera memandang tajam kepada Yu Hwi dan memegang tangan dara itu. Sekali ini Yu Hwi terkejut, tidak dibuat-buat karena tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu akan memegang tangannya dan dia merasa betapa jari-jari tangan yang amat kuat itu menggenggam tangannya dan ada terasa getaran olehnya, getaran hangat dan mesra yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
"Yu Hwi, katakanlah, engkau pun seorang dara yang usianya sudah cukup dewasa, kenapa sampai sekarang engkau belum juga menikah?"
"Aku.... aku sudah ditunangkan dengan orang, Susiok!"
"Ah....!"
Tiba-tiba Kang Bu menarik kembali tangannya seolah-olah dia telah memegang bara api, wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu.
"Maafkan aku.... ah, mafkan aku...."
Katanya gagap.
"Sungguh aku lancang.... nah, habislah harapan Cu Kang Bu!"
"Susiok, aku.... aku ditunangkan di luar kehendakku, di waktu aku masih kecil, dan karena itulah aku pergi minggat dari rumah Kakekku, tidak mau kembali lagi ke sana. Aku tidak sudi dipaksa berjodoh dengan orang bukan pilihanku sendiri.
"Aku telah membebaskan diri, yang menyatakan pertunangan itu adalah orang-orang tua, sedangkan aku tidak merasa terikat jodoh dengan siapapun juga!"
Kata-kata yang tegas ini seolah-olah mengembalikan darah ke muka Kang Bu. Dia memandang dengan sinar mata mencorong, kemudian dia memegang lagi tangan Yu Hwi, harapannya pulih kembali.
"Benarkah itu, Yu Hwi?"
"Aku bersumpah bahwa apa yang kukatakan itu setulusnya dari hatiku, Susiok."
"Kalau begitu biarlah aku berterus terang. Aku.... aku telah menemukan wanita yang cocok dengan hatiku itu, Yu Hwi, dan wanita itu adalah engkau. Aku cinta padamu!"
Bukan main bahagia rasa hati Yu Hwi. Dia balas memegang tangan pemuda itu dan memandang dengan wajah berseri, dan senyum malu-malu. Dari pandangan matanya saja, sudah jelas terlukislah bahwa dia menerima cinta kasih pemuda itu dan bahwa pemuda itu tidak bertepuk tangan sebelah.
"Yu Hwiii....!"
Tiba-tiba terdengar suara panggilan, subonya. Yu Hwi terkejut dan melepaskan tangannya.
"Sam-susiok, Subo memanggilku. Sampai jumpa nanti.... ah, aku bahagia sekali, Susiok!"
Dan dara itu lalu meloncat dan berlari-lari meninggalkan Kang Bu menuju ke pondok subonya, diikuti pandangan Kang Bu yang tersenyum dengan hati penuh kebahagiaan. Ketika ia duduk berhadapan dengan subonya, Yu Hwi dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu karena sikap subonya tidak seperti biasa. Subonya kelihatan berwajah muram, bahkan seperti orang marah ketika memandang wajahnya.
"Yu Hwi, engkau jangan main-main dengan keluarga Lembah Suling Emas."
Begitu dia berhadapan dengan Subonya, dia mendengar kata-kata yang aneh-aneh dan mengejutkan ini.
"Subo, apa maksud Subo dengan kata-kata itu?"
Tanyanya sambil memandang wajah gurunya dengan heran dan penuh selidik. Sepasang mata subonya yang biasanya jeli dan cemerlang itu kini nampak agak muram dan terbayang kemarahan.
"Engkau saling mencinta dengan Kang Bu, bukan?"
Yu Hwi tidak merasa terkejut karena dia tahu bahwa subonya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka tentu sudah dapat menduga tentang hubungannya yang mesra dengan Kang Bu. Maka dia tidak mau banyak menyangkal, melainkan mengangguk.
"Hemm, apakah engkau akan meng-ulangi pengalamanku yang pahit? Engkau jatuh cinta, kemudian menjadi isteri Kang Bu, berarti menjadi keluarga Lembah Suling Emas dan hidup terkurung di situ, seperti seekor burung dalam sangkar, tidak boleh keluar, tidak boleh berhubungan dengan dunia luar sampai engkau tua dan mati di situ!"
"Eh, Subo! Apa artinya ini? Teecu tidak mengerti...."
"Tidak ingatkah engkau kepada apa yang kualami di lembah itu? Aku menjadi isteri mendiang Cu San Bu, kakak tertua mereka, dan aku hidup seperti boneka di dalam lembah itu, tidak pernah keluar, dan tidak diperbolehkan ber-hubungan dengan dunia luar. Siapa kuat? Siapa dapat bertahan? Maka ketika datang tamu yang menarik dan amat ramah, aku mudah tertarik, salah siapa? Dan kau ingat lagi Ibunya Pek In! Mana mungkin dia dapat tahan hidup seperti burung dalam sangkar? Keluarga Cu itu adalah keluarga iblis! Mereka mau hidup enak sendiri, mau merahasiakan tempat mereka dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga mereka. Mereka menganggap keluarga mereka sebagai keluarga langit, tidak boleh dikotori dengan hubungan bersama manusia lain di luar lembah. Dan engkau mau membiarkan dirimu tersesat ke dalam neraka itu?"
"Ahhh....!"
Yu Hwi benar-benar terkejut bukan main mendengar ini.
"Aku sebagai Gurumu, aku sayang kepadamu, maka kuperingatkan engkau tentang hal ini, karena aku akan pergi meninggalkan tempat ini."
"Subo mau pergi....?"
"Benar, sekarang juga. Karena itulah kau kupanggil, bukan hanya untuk memperingatkanmu tentang hal tadi, akan tetapi juga untuk memberi tahu bahwa hari ini kita saling berpisah. Engkau harus tidak mengecewakan aku. Kau wakililah aku, temui See-thian Coa-ong dan kau kalahkan muridnya agar hatiku puas."
"Baik, Subo. Akan tetapi, Subo sendiri.... hendak pergi ke manakah?"
Wanita itu menoleh dan memandang keluar pondok, ke arah puncak yang jauh.
"Entahlah, aku hendak pergi menurutkan kata hatiku. Aku sudah tidak tinggal dalam Lembah Suling Emas, maka aku bebas pergi ke manapun juga. Dan aku mungkin tidak akan kembali lagi ke tempat ini untuk selamanya."
"Tapi.... tapi ke mana Subo pergi? Agar teecu dapat tahu dan dapat menyusul kelak."
"Mau apa kau menyusulku? Engkau kembalilah ke tempat asalmu, ke dunia ramai di timur. Aku akan merantau di pegunungan ini, Pegunungan Himalaya yang maha luas...."
"Subo akan pergi mencari Bu-taihiap?"
Tiba-tlba wanita itu bergerak dan tahu-tahu lengan tangan Yu Hwi sudah dicengkeramnya,
"Bagaimana kau tahu?"
Yu Hwi tidak kaget dan juga tidak takut, melainkan tersenyum.
"Subo demikian dekat dengan teecu, sudah seperti Ibu sendiri atau kakak sendiri. Subo pernah bercerita tentang Bu-taihiap, dan teecu tahu bahwa Subo masih mencintanya. Maka begitu Subo mengatakan hendak merantau ke Pegunungan Himalaya, siapa lagi yang Subo cari kecuali Bu-taihiap?"
Wanita itu mengangguk lesu,
"Engkau memang cerdik sekali, muridku. Akan tetapi.... aku berhak menikmati hidupku, berhak meraih cintaku...."
"Demikian pula teecu, Subo."
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tahu, akan tetapi engkau akan sengsara kalau menjadi keluarga di Lembah Suling Emas.... tapi kau cerdik, engkau lebih cerdik daripada aku, semoga saja kau berhasil mengatasi hal itu. Nah, kau berangkatlah mencari See-thian Coa-ong, muridku, aku pun akan pergi sekarang juga."
Dua orang wanita itu sejenak saling berpandangan, kemudian mereka saling rangkul untuk beberapa lamanya.
"Hati-hatilah engkau, muridku."
Kata Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu lirih dan mereka lalu saling melepaskan rangkulan dan berpisahlah mereka.
"Akan tetapi janji itu masih kurang beberapa hari lagi, Subo."
Yu Hwi berkata ketika mereka akan berpisah.
"Memang, kurang sebulan lagi. Nah, aku pergi dulu, selamat tinggal, Yu Hwi."
"Selamat jalan, Subo, harap Subo jaga baik-baik diri Subo."
Kata dara itu dengan hati terharu. Memang, subonya berhak menikmati hidupnya, berhak meraih cintanya. Akan tetapi, pria yang dicinta oleh subonya itu sudah beristeri! Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada wanita yang menjadi gurunya itu. Setelah tiba waktunya, kurang lebih sebulan kemudian, berangkatlah Yu Hwi mencari See-thian Coa-ong di tempat pertapaan kakek itu.
Dia berangkat dengan hati besar karena selain dia percaya kepada diri sendiri dan merasa yakin akan dapat mengalahkan murid Raja Ular itu, juga dia merasa tenang karena dia tahu bahwa diam-diam kekasihnya atau juga paman gurunya, Cu Kang Bu, diam-diam membayanginya dari jauh seperti yang telah dijanjikan oleh pendekar sakti itu. Kang Bu tidak mau datang berterang membantu Yu Hwi karena hal ini amat merendahkan nama keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal, maka dia hendak melindungi ke-kasihnya secara diam-diam saja. Akan tetapi betapa kecewa hati Yu Hwi ketika dia tiba di tempat pertapaan kakek itu, seperti yang diberitahukan subonya, dia hanya mendapatkan kakek itu seorang saja! See-thian Coa-ong bangkit berdiri, menyambut kedatangannya dan kakek ini berkata ramah,
Jodoh Rajawali Eps 59 Jodoh Rajawali Eps 46 Jodoh Rajawali Eps 46