Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 46


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 46



Koksu Nepal itu menuding ke belakang dua orang suami isteri itu yang segera membalikkan tubuhnya memandang. Hampir saja Ceng Ceng mengeluarkan teriakan ketika dia melihat siapa yang berada di sana, berdiri dengan sepasang mata terbelalak, dijaga oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tentu akan turun tangan dengan keji kalau sampai suami isteri ini bergerak.

   Juga Kok Cu memandang dengan sepasang mata terbelalak ketika dia melihat puteranya di situ. Sungguh sama sekali tidak pernah mereka sangka bahwa putera mereka yang terculik itu ternyata juga berada di situ pula! Sekarang mengertilah Kok Cu betapa makin berat penanggungan ayahnya. Dengan seluruh keluarga, termasuk puteranya pula di tangannya, tentu saja koksu memiliki senjata yang amat ampuh dan kuat untuk memaksa ayahnya melakukan apa pun juga. Betapapun, dia menganggap ayahnya terlalu lemah! Apa artinya pengorbanan ayahnya itu kalau dia harus melakukan sesuatu yang demikian hina? Bukankah noda dan aib yang dilakukannya itu akan mencemarkan nama seluruh keluarganya. Mengapa ayahnya tidak melihat hal ini?

   "Ayah....! Ibu....!"

   Cin Liong berseru dan air matanya lalu bercucuran dari kedua mata anak itu. Akan tetapi dia telah diancam tidak boleh mendekati orang tuanya. Seperti diremas-remas rasa jantung Ceng Ceng. Seperti hendak terbang dia mendekati puteranya, mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa. Akan tetapi ketika dia merasa betapa lengannya dipegang oleh suaminya, datang pula kekuatan di hatinya dan dia menelan ludah lalu memandang kepada puteranya dengan batin yang lebih tenang.

   "Cin Liong, kau tenanglah dan jangan menangis. Pada suatu hari, ayah ibumu pasti akan dapat membawamu pulang!"

   Kata Kok Cu, suaranya tenang sekali dan sama sekali tidak mengandung kekhawatiran sehingga semua orang yang menyaksikannya menjadi kagum bukan main. Koksu memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengajak Cin Liong pergi lagi, akan tetapi tiba-tiba anak itu membalikkan tubuhnya dan berkata lantang,

   "Ayah, yang menculikku adalah laki-laki berambut keemasan dan wanita baju hijau itu!"

   Anak itu menudingkan telunjuknya kepada laki-laki dan wanita yang berdiri tidak jauh dari Koksu Nepal, akan tetapi dua orang kakek iblis itu sudah memondong dan menariknya pergi dari situ. Namun teriakan Cin Liong itu cukup bagi Ceng Ceng untuk memutar tubuh dan memandang kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan, dengan sinar mata seperti hendak menelan bulat-bulat kedua orang itu sehingga dua orang itu merasa agak ngeri juga.

   "Kenapa kalian menculik puteraku? Kenapa?"

   Bentak Ceng Ceng, sinar matanya berapi-api. Baik Liong Tek Hwi maupun Kim Cui Yan tidak menjawab, hanya memandang kepada koksu karena mereka tahu bahwa yang dapat menanggulangi dua suami isteri yang sakti ini hanyalah koksu.

   "Sicu dan Li-enghiong, Ji-wi hendak mengetahui sebabnya? Nah, dengarlah baik-baik. Kongcu ini adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan sumoinya ini adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin! Nah, tentu Ji-wi tahu betapa keluarga Kim Bouw Sin dihukum dan dibasmi karena Jenderal Kao, dan juga betapa Pangeran Liong Bin Ong gagal dan tewas, satu antara lain juga karena Jenderal Kao. Semua orang menaruh dendam kepada Jenderal Kao Liang, oleh karena itulah maka terjadi penculikan-penculikan terhadap keluarga Kao dan juga terhadap puteramu, Sicu. Akan tetapi, kami bukanlah orang-orang yang buta oleh dendam dan sakit hati. Tidak, kami adalah orang-orang yang mementingkan perjuangan. Oleh karena itu, Sicu, maka sampai sekarang pun keluarga Kao dan puteramu masih dalam keadaan selamat semua, tidak ada seorang pun yang mengalami luka atau tewas."

   "Koksu, engkau dan semua orang yang bersangkutan tentu tahu belaka bahwa tidak ada permusuhan pribadi antara ayahku dan ayah mereka. Kematian Kim Bouw Sin atau Pangeran Liong bukan karena bermusuhan dengan ayahku. Ayahku adalah seorang panglima yang bertugas membasmi pemberontakan dan mereka itu adalah pemberontak-pemberontak. Kalau sampai mereka kalah dan tewas, hal itu tentu saja tidak boleh disalahkan kepada ayahku. Andaikata ayahku tewas dalam melaksanakan tugas, tentu aku pun tidak menaruh dendam pribadi kepada lawannya di medan perang! Oleh karena itu, sekarang aku datang bersama isteriku dan aku menuntut agar ayahku dan semua keluarga dibebaskan sekarang juga, untuk mana kami tentu akan berterima kasih sekali."

   "Hemmm, Kao-sicu, permintaanmu itu tentu saja tak mungkin kami laksanakan,"

   Kata koksu.

   "Perjuangan kami belum selesai. Kami terpaksa saja menahan keluarga Kao agar Jenderal Kao suka membantu kami sampai kami berhasil. Dan setelah berhasil, tentu kami akan membebaskan semua, bahkan akan memberi ganjaran dan penghargaan atas jasa-jasa keluarga Kao kepada kami."

   "Koksu keparat! Hayo kau maju lawan aku. Kita bertanding dengan taruhan keluarga Kao!"

   Tiba-tiba Ceng Ceng membentak nyaring dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal. Akan tetapi Sam-ok atau Koksu Nepal adalah seorang datuk sesat yang sudah banyak pengalaman. Dia tentu saja tidak jerih menghadapi Ceng Ceng, akan tetapi melihat kehadiran Si Naga Sakti Gurun Pasir di situ, dia tidak mau dipancing untuk bertanding satu lawan satu. Dia tahu bahwa di situ tidak ada seorang pun yang akan sanggup menandingi Si Naga Sakti. Bahkan Twa-ok sendiri pun agaknya tidak akan menang.

   "Li-enghiong, kami menghargai sekali kegagahanmu. Akan tetapi ketahuilah bahwa urusan tawanan bukan urusan pribadiku, melainkan urusan seluruh isi benteng. Kalau engkau dan suamimu hendak menggunakan kekerasan, tentu kalian akan berhadapan dengan kami semua berikut seluruh pasukan kami!"

   Kembali Ceng Ceng merasa tangannya dipegang oleh suaminya dan ia teringat bahwa menggunakan kekerasan tidak akan ada gunanya, maka dia mundur, biarpun matanya masih berapi-api ditujukan kepada koksu.

   "Baiklah, kami akan mundur dan kami akan berusaha menggunakan kepandaian kami untuk dapat membebaskan keluarga kami dari tempat ini. Akan tetapi kalau sampai ada seorang saja di antara keluarga Kao yang celaka selagi mereka menjadi tawanan di tempat ini, maka Im-kan Ngo-ok yang bertanggung jawab dan kelak tentu akan berhadapan dengan kami! Camkanlah ini!"

   Setelah berkata demikian, Kok Cu mengajak isterinya meninggalkan tempat itu. Koksu dan semua orang memandang dengan hati ngeri, dan dua orang suami isteri itu melangkah pergi diikuti oleh pandang mata mereka semua.

   Melihat ini, Hek-hwa Lo-kwi yang sejak tadi sudah memandang dengan marah dan yang sudah mengumpulkan anak buah Kui-liong-pang yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang, cepat memberi aba-aba dan majulah dua puluh lima orang Kui-liong-pang, yaitu mereka yang termasuk tokoh-tokohnya yang berkepandaian, dipimpin oleh Khiu Sek, bekas pangcu dari Kui-liong-pang dan Hoa-gu-ji, tokoh ke dua dari Kui-liong-pang yang kemudian keduanya menjadi pembantu-pembantu Hek-hwa Lo-kwi. Hek-hwa Lo-kwi penasaran sekali karena dia sudah mengenal Ceng Ceng dan tahu bahwa biarpun wanita itu lihai, namun dia sanggup melawannya, apalagi kalau dibantu oleh anak buahnya, biarpun di situ ada Si Naga Sakti! Melihat Hek-hwa Lo-kwi dan anak buahnya menghadang, Si Naga Sakti te-nang saja, akan tetapi Ceng Ceng sudah mendamprat,

   "Hek-hwa Lo-kwi iblis tua bangka bosan hidup! Mau apa kau menghadang kami?"

   "Ha-ha-ha!"

   Hek-hwa Lo-kwi tertawa.

   "Kalian dua orang manusia sombong sudah memasuki lembah kami, tidak akan mudah keluar begitu saja!"

   Lalu kakek ini melambaikan tangan kepada para anak buahnya dan berkata.

   "Tangkap mereka!"

   Kok Cu masih sempat berbisik kepada isterinya,

   "Jangan membunuh!"

   Dan isterinya yang sedang marah itu terpaksa mengangguk karena Ceng Ceng juga teringat betapa nyawa anak mereka dan keluarga Kao berada di tangan musuh. Ketika dua puluh lima orang itu menyerbu dengan senjata mereka, suami isteri itu bergerak maju dan terjadilah pertempuran yang amat luar biasa. Yang mula-mula menubruk maju adalah Khiu Sek dan Hoa-gu-ji. Dua orang tokoh pertama dan kedua dari Kui-liong-pang sesudah Hek-hwa Lo-kwi ini sesungguhnya cukup lihai. Khiu Sek adalah seorang bertubuh kecil yang lihai sekali permainan cambuknya. Cambuk hitam bercabang di tangannya itu adalah senjatanya yang istimewa.

   Adapun Hoa-gu-ji, sesuai dengan julukannya, yaitu Kerbau Belang, memiliki tenaga besar, tubuhnya tinggi kurus dan dia memegang senjata yang istimewa pula, yaitu sebatang dayung panjang yang amat berat. Dua orang tokoh Kui-liong-pang ini adalah penjahat-penjahat yang biasa menghina wanita. Mereka memang sudah mendengar nama besar Si Naga Sakti, maka mereka hendak menyerahkan lawan berat itu kepada ketua baru mereka, sedangkan mereka sendiri memilih yang lunak dan menyenangkan, yaitu Ceng Ceng. Maka dengan ganas dan sangat dahsyat, keduanya sudah menerjang Ceng Ceng. Akan tetapi, apa yang terjadi benar-benar membuat semua orang terkejut setengah mati. Mereka melihat dua orang tokoh Kui-liong-pang itu menyerang dari kanan kiri, dan ternyata wanita itu sama sekali tidak mengelak,

   Bahkan dia menggunakan lengannya yang berkulit putih halus dan kecil itu untuk menangkis dayung, sedangkan sambaran cambuk itu didiamkannya saja. Akan tetapi setelah cambuk menyambar dekat kepalanya, dia tiba-tiba saja merendahkan tubuhnya, tangannya yang tadi menangkis sudah bertemu dengan dayung dan terus tangan itu menangkap dayung, menariknya sehingga dayung bertemu cambuk dan dilibat oleh ujung cambuk. Tentu saja dua orang tokoh Kui-liong-pang yang sudah berpengalaman itu cepat menarik senjata masing-masing, akan tetapi pada saat yang hanya beberapa detik saja ketika kedua senjata mereka bertemu itu telah dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk melepaskan dayung, menggerakkan kedua tangan ke bawah dan tubuhnya meluncur ke bawah seperti hendak menelungkup.

   "Plak! Plak!"

   Kedua tangannya berhasil menghantam paha dua orang lawan itu secara bergantian dengan jari-jari tangan terbuka, kemudian dia sudah berjungkir balik dan meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan dua orang yang mengaduh-aduh dan memegang paha yang terpukul tadi karena Ceng Ceng bukan menggunakan pukulan sembarangan saja, melainkan menggunakan pukulan yang disertai dengan sinkang yang amat kuat dan panas!

   Memang berkat darah anak naga, yaitu ular luar biasa yang pernah dimakannya (baca Kisah Sepasang Rajawali), hawa beracun di tubuhnya telah hilang. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa kepandaiannya tentang pukulan beracun hilang pula. Maka dua orang tokoh Kui-liong-pang yang terkena pukulannya di paha itu merasa betapa bagian yang terpukul itu selain panas juga gatal-gatal dan mereka berloncatan seperti dua ekor monyet menari-nari. Tentu saja semua orang menjadi terkejut. Kepandaian dua orang itu, biarpun bagi para tokoh sakti di situ, tidaklah terlalu tinggi, akan tetapi bagi orang-orang kang-ouw, mereka telah termasuk orang-orang yang tangguh. Kini, dalam segebrakan saja mereka telah dibuat tidak berdaya oleh nyonya muda yang cantik itu.

   Pada saat itu, Hek-hwa Lo-kwi telah menyerang Kok Cu. Seperti telah diketahui, Hek-hwa Lo-kwi belum lama ini telah menyempurnakan semacam ilmu yang dikuasainya, yaitu ilmu pukulan beracun yang bernama Pek-hiat-hoatlek. Memang bekas pelayan dari Dewa Bongkok ini adalah seorang yang ahli tentang racun, dan ilmu pukulannya yang baru itu amatlah jahat dan kejinya. Dan melihat bahwa pemuda lengan buntung itu adalah murid dari bekas majikannya, maka begitu menyerang dia telah menggunakan ilmu barunya itu! Namun, dia sama sekali tidak tahu bahwa tingkat kepandaian Kok Cu sudah amat tinggi, bahkan tidak lagi berselisih jauh dibandingkan dengan kepandaian gurunya sendiri! Maka, menghadapi serangan yang luar biasa itu, yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengepulkan uap putih, Kok Cu bersikap tenang-tenang saja dan beberapa kali dia mengelak karena dia sedang memperhatikan isterinya. Ceng Ceng kini mengamuk seperti seekor singa betina.

   Dia menerjang ke kanan kiri, menghantam atau menendang siapa saja yang berdekatan sehingga gegerlah dua puluh lebih anggauta Kui-liong-pang itu. Terdengar teriakan susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang yang tidak dapat bangkit lagi setelah terkena tamparan atau tendangan dari nyonya yang sedang marah itu. An-daikata Ceng Ceng tidak ingat akan pesan suaminya, tentu mereka yang dirobohkannya itu akan tewas semua, termasuk dua orang tokoh Kui-liong-pang tadi. Akan tetapi dia tahu akan maksud suaminya. Dia tidak boleh membunuh agar semua orang tahu akan kelihaian mereka berdua dan juga akan iktikad baik mereka sehingga keluarga yang ditawan tidak akan mengalami gangguan. Setelah melihat betapa isterinya baik-baik saja dan tidak melanggar pesannya, Kok Cu lalu mencurahkan perhatiannya terhadap lawannya.

   Dia harus memperlihatkan kelihaiannya karena dia maklum bahwa serangan Hek-hwa Lo-kwi ini selain dimaksudkan untuk mencegahnya keluar, juga untuk mengujinya dan semua mata dari Im-kan Ngo-ok tentu sedang mengikuti gerakan-gerakannya dengan teliti. Oleh karena itu, tiba-tiba pendekar sakti ini mengeluarkan suara melengking yang amat dahsyat, yang menggetarkan semua orang, bahkan beberapa orang yang kurang kuat segera terguling roboh dan mereka yang kuat pun tergetar hebat sampai terguncang jantung mereka, kemudian tiba-tiba tubuh dari pendekar itu meluncur ke depan seperti seekor naga ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ini terkejut dan cepat dia menyambut dengan pukulan Pek-hiat hoat-lek, yang dahsyat. Pendekar itu sama sekali tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanannya mendorong.

   "Desssss....!"

   Tubuh Hek-hwa Lo-kwi terpental sampai jauh, terbanting roboh pingsan! Kemudian, Kok Cu membantu isterinya mengamuk dan dalam waktu yang singkat sekali, semua orang Kui-liong-pang sudah roboh dan kedua orang suami isteri itu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke pintu gerbang pertama dari dalam, di mana terdapat banyak penjaga, akan tetapi karena tidak ada komando dari atas, para penjaga itu pun diam saja dan tidak ada yang berani mengganggu ketika Kok Cu dan Ceng Ceng lewat. Setelah melalui beberapa lapis tembok benteng yang berpintu gerbang, akhirnya suami isteri itu dapat keluar dari pintu gerbang paling luar dan mereka melangkah cepat meninggalkan benteng itu.

   Setelah mereka jauh meninggalkan benteng dan memasuki sebuah hutan yang sunyi, mereka berhenti dan Ceng Ceng lalu menjatuh diri di atas rumput di bawah pohon sambil menangis! Kok Cu berdiri memandang isterinya dan untuk beberapa saat lamanya dia membiarkan isterinya menumpahkan semua kedukaannya melalui tangis. Dia tahu betapa isterinya itu sudah berbulan-bulan ditekan oleh penderitaan batin yang hebat, yang amat mengkhawatirkan keadaan putera mereka. Dan kini isterinya menangis karena guncangan batin, karena perasaan marah, khawatir dan juga girang melihat bahwa puteranya itu ternyata masih hidup dalam keadaan sehat, akan tetapi berada di tangan musuh dan mereka tidak berdaya untuk membebaskan putera mereka itu! Tiba-tiba Ceng Ceng menghantamkan tangannya ke batang pohon di sampingnya.

   "Braaakkkkk!"

   Pohon itu tumbang!

   "Kubunuh mereka semua! Kubunuh seorang demi seorang kalau sampai Liong ji mereka ganggu....!"

   Teriaknya dengan kalap. Kini Kok Cu merangkul isterinya dan berkata tenang,

   "Mereka takkan berani, isteriku. Mereka justeru akan menjaga baik-baik semua keluarga kita sebagai sandera, mereka takkan berani mengganggu anak kita...."

   Ceng Ceng memandang wajah suaminya, kemudian mengeluh dan ibu muda ini menjadi terkulai lemas dan pingsan di dalam pelukan suaminya! Terlampau hebat kemarahan, ketegangan dan kekhawatiran selama ini menekan hatinya. Kok Cu dengan tenang merawat isterinya sehingga guncangan perasaan itu tidak sampai mengakibatkan hal yang buruk atas diri wanita itu. Setelah Ceng Ceng siuman kembali dan sudah agak tenang, Kok Cu lalu berkata,

   "Kita tentu saja dapat menyerbu ke sana dan mengamuk, akan tetapi apa artinya kalau akhirnya mereka bahkan membunuh keluarga kita? Kita harus sabar, menanti kesempatan baik dan kesempatan itu baru akan tiba apabila Bibi Milana telah menyerbu benteng itu. Selagi keadaan kacau dan semua kekuatan dikerahkan untuk menghadapi serbuan pasukan Bibi Milana kita menyelinap ke dalam dan kita bebaskan keluarga kita."

   "Akan tetapi, benteng itu sedemikian kuatnya. Kiranya tidak akan mudah saja bagi Bibi Milana untuk membobolkannya. Apalagi.... yang mengatur dan menjaga adalah.... adalah...."

   Tak sampai hatinya untuk menyebut nama mertuanya. Kok Cu mengangguk-angguk.

   "Memang ayah adalah seorang ahli siasat perang yang takkan mudah dilawan begitu saja oleh Bibi Milana. Akan tetapi, aku tidak percaya kalau ayah benar-benar hendak berkhianat. Hanya karena tidak tega melihat keluarga celaka maka ayah sengaja pura-pura menyerah, akan tetapi tentu ayah mempunyai suatu rencana lain yang menjadi rahasianya. Kita harus bersabar dan menunggu, kiranya tidak akan lama Bibi Milana datang bersama pasukannya."

   Demikianlah, suami isteri pendekar itu menunggu di tempat persembunyian di sekitar tembok benteng, dan Ceng Ceng terpaksa menurut karena dia maklum bahwa pendapat suaminya itu memang tepat. Akan tetapi, suaminya harus setiap hari menghiburnya dan di dalam keadaan menderita batin ini, sepasang suami isteri menjadi makin rapat, makin dekat dan makin mesra hubungannya karena dalam hati mereka timbul rasa iba satu kepada yang lain. Juga di dalam diri masing-masing mereka menemukan hiburan yang setidaknya meringankan penderitaan batin masing-masing itu.

   Barisan yang besar di bawah panji Puteri Milana itu bergerak dengan teratur dan tertib sekali memasuki wilayah Propinsi Ho-nan. Tidak seperti biasanya kalau ada pasukan besar lewat dengan tujuan perang, sekali ini pasukan-pasukan berjalan tertib dan tidak pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran. Biasanya, dusun-dusun yang dilalui oleh pasukan tentu akan menderita karena ada saja ulah anggauta pasukan yang melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kekerasan-kerasan. Hal ini adalah karena adanya disiplin yang kuat, ketertiban yang tidak perlu ditekankan lagi oleh para pimpinannya, karena semua dewan pimpinan sendiri juga amat tertib. Ketertiban di dalam kelompok atau golongan haruslah dimulai dari atas. Biasanya, yang di atas selalu menekankan dan menghenda-ki agar kaum bawahan berdisiplin dan tertib,

   Sedangkan mereka sendiri yang merasa berkuasa tidak memperhatikan disiplin dan ketertiban diri mereka sendiri. Hal ini adalah tak mung-kin karena manusia itu condong untuk mencontoh dan yang dicontoh selalu tentulah yang berada di atas. Kalau sang pemimpin korup, mana mungkin anak buahnya tidak korup? Dan untuk me-lenyapkan sifat buruk dari bawahan, yang di atas haruslah melenyapkan lebih dulu sifat buruknya sendiri. Kalau atasan bersih, barulah dia berhak dan dapat menunjukkan kekotoran bawahannya dan membersih-kanya. Sebaliknya, kalau dia sendiri kotor, mana mungkin dia membersihkan bawahannya? Tentu dia sendiri juga merasa sungkan dan malu karena si bawahan tentu hanya akan mentertawakannya saja dan melawan dengan menunjuk kekotorannya pula.

   Pasukan dari kota raja ini hanya mengalami sedikit perlawanan saja dari pasukan yang dipimpin oleh Gubernur Ho-nan, ketika para komandan di Ho-nan mendengar bahwa pasukan itu selain amat besar dan kuat juga dipimpin oleh Puteri Milana, sebelum bertempur nyali mereka sudah menjadi kecil dan semangat mereka menjadi lemah. Hal ini tentu saja juga menjalar kepada anak buah mereka sehingga ketika Milana menggerakkan pasukannya dan mulai terjadi pertempuran, anak buah pasukan Ho-nan hanya bertempur dengan setengah hati saja, kemudian mereka melarikan diri mundur, terus digiring dan ditekan oleh pasukan kota raja. Akhirnya pasukan kerajaan memasuki Ibu Kota Propinsi Ho-nan. Juga di sini perlawanan amat tidak berarti karena belum apa-apa gubernurnya sudah ketakutan. Kesombongan-kesombongan yang diperlihatkan oleh para komandan ternyata tidak ada kenyataannya ketika musuh sudah berada di depan pintu.

   Yang nekat melakukan perlawanan, segera roboh dan disapu bersih dalam waktu singkat sehingga akhirnya sebagian besar pasukan yang sebetulnya merupakan pasukan kerajaan pula yang dibawa menyeleweng dan memberontak oleh gubernur, menakluk dan menyerah. Sebagian lagi mengawal Gubernur Kui Cu Kam melarikan diri meninggalkan Lok-yang menuju ke lembah Huang-ho di mana terdapat sekutunya dalam benteng yang kuat. Setelah menduduki Lok-yang, Milana memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Dia memerintahkan untuk membiarkan anak buah pasukan berpesta makan minum sepuasnya, akan tetapi melarang siapapun mengganggu penduduk sehingga para penduduk Lok-yang yang sudah ketakutan karena membayangkan bahwa tentu mereka akan dirampok habis-habisan oleh tentara kerajaan, menjadi lega dan berterima kasih.

   Dengan suka rela para penduduk, terutama yang kaya, lalu mengeluarkan kekayaan mereka untuk menjamu dan menyenangkan hati pasukan kerajaan yang menang perang. Mereka tahu bahwa semua ini berkat pimpinan Puteri Milana yang terkenal itu. Dan anehnya, begitu sadar bahwa kebersihan mereka dikagumi penduduk, para anggauta pasukan itu sendiri merasa sungkan dan enggan melakukan pelanggaran, karena kebersihan mereka itu merupakan kebanggaan mereka! Dan kebanggaan ini pun mendatangkan suatu perasaan senang yang luar biasa. Milana sendiri
(Lanjut ke Jilid 45)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 45
beristirahat di dalam kamarnya, di bekas rumah gedung gubernur. Ketika seorang pengawal memberi laporan bahwa suaminya, pendekar Gak Bun Beng datang menyusul, Milana cepat menyambut suaminya dengan hati girang. Mereka lalu bercakap-cakap di dalam kamar.

   Kiranya begitu menerima berita isterinya, Gak Bun Beng menitipkan kedua putera kembarnya, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, kepada kepala dusun di lereng bukit, dan dia sendiri cepat menyusul isterinya ke kota raja. Ketika mendengar berita bahwa pasukan isterinya sudah menyerbu ke Ho-nan, dia pun cepat menyusul dan malam itu dia dapat bertemu dengan isterinya di rumah Gubernur Ho-nan yang telah ditinggalkan oleh penghuninya yang lari mengungsi ke lembah. Ketika Milana menceritakan kepada suaminya tentang penuturan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li tentang kekuatan di lembah Huang-ho yang ternyata dipimpin oleh pangeran dari Nepal yang dibantu oleh banyak orang pandai, bahkan bentengnya dibangun dan dipimpin oleh Jenderal Kao Liang yang terpaksa menyerah karena semua keluarganya ditawan, Bun Beng menjadi terkejut bukan main.

   "Aihhh, kalau begitu berbahaya sekali! Jadi pangeran dari Nepal itu adalah pu-tera dari pangeran tua Liong yang memberontak dahulu itu? Ah, dia melanjutkan pemberontakan ayahnya?"

   "Dan agaknya dia tidak kalah licik dan cerdiknya dibandingkan ayahnya. Buktinya dia telah dapat memaksa Jenderal Kao untuk membantunya, dan menurut Kian Bu, dia dibantu oleh orang-orang pandai yang berilmu tinggi, sedangkan Koksu Nepal yang memimpin benteng itu sendiri juga memiliki kepandaian hebat. Oleh karena itulah maka aku sengaja mengundangmu, karena untuk menyerbu benteng yang dipimpin oleh Jenderal Kao, dan mendengar betapa banyaknya orang pandai di dalam benteng itu, terus terang saja, tanpa engkau di sampingku, aku merasa agak jerih juga."

   Ketika Bun Beng mendengar bahwa juga Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, Ceng Ceng, sudah lebih dulu pergi menyelidik ke benteng, dan bahwa putera mereka pun menjadi tawanan, mendengar pula betapa Kian Bu juga sudah menyelidik ke sana, dia lalu mengambil keputusan untuk mendahului pasukan.

   "Sebaiknya aku pun pergi dulu menyelidik ke sana, karena sesungguhnya aku belum percaya benar bahwa orang seperti Jenderal Kao Liang itu dapat berkhianat dan sudi membantu musuh yang memberontak, betapapun dia tertekan dan betapa terancam pun keselamatan keluarganya. Dia bukanlah seorang lemah."

   Milana juga setuju dengan usul suaminya itu dan semalam itu Bun Beng bermalam di kamar isterinya dan suami isteri ini saling melepaskan rindu mereka dan saling menasihati agar berhati-hati karena keduanya akan menghadapi bahaya dalam penyerbuan ke lembah itu. Pada keesokan harinya, Bun Beng bertemu dengan Kao Kok Han dan dari pemuda ini dia mendengar lagi penuturan yang lebih jelas tentang Jenderal Kao.

   Setelah berpamit dari isterinya, Bun Beng lalu berangkat, melakukan perjalanan secepatnya menuju ke lembah Huang-ho, mendahului pasukan yang pada hari itu juga diatur oleh Milana untuk berangkat ke benteng di lembah itu. Malam terang bulan yang indah sekali, apalagi di tempat sunyi di tebing Sungai Huang-ho yang penuh dengan batu-batu besar dan bersih itu, tempat persembunyian Kok Cu dan Ceng Ceng. Biarpun musuh pernah menemukan mereka di situ, namun suami isteri ini tidak takut dan mereka tetap menanti di situ, tempat yang paling menyenangkan bagi mereka di sepanjang tepi sungai, karena dari situ mereka dapat melihat tembok benteng, dan tempat ini selain indah, juga amat sunyi dan bersih. Hanya kini mereka selalu berjaga dengan bergilir, tidak pernah lengah karena maklum akan kelihaian musuh-musuh yang berada di dalam benteng.

   Malam itu terang bulan, karena bulan sedang purnama. Di permukaan bumi tidak ada angin, akan tetapi di angkasa awan-awan berarak dengan cepat, tanda bahwa di atas sana terdapat angin yang menggerakkan awan-awan sehingga kadang-kadang awan putih tipis menyembunyikan bulan yang menjadi agak suram cahayanya. Akan tetapi karena awan itu bergerak cepat, hanya sebentar saja bulan muncul lagi dengan lebih berseri. Kao Kok Cu nampak duduk bersila di atas sebuah batu besar, sedang teng-gelam dalam siulian (samadhi) yang hening. Samadhi akan kehilangan artinya kalau di dalamnya tersembunyi pamrih untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Samadhi adalah keadaan hening dan bersih, bersih dari segala macam pamrih, hening karena berhentinya segala pikiran.

   Keheningan barulah benar-benar hening kalau datang tanpa diundang, kalau ada tanpa diadakan, kalau tidak dibuat agar supaya hening. Di waktu segala keinginan dan pamrih berhenti, maka keheningan akan ada dan itulah samadhi yang sesungguhnya. Bukan acuh tak acuh, bukan tidur duduk, melainkan sadar dan waspada akan segala sesuatu, di luar dan di dalam diri, mengamati apa adanya tanpa keinginan, untuk mengubah, menerima atau pun menolak, tanpa menilai, tanpa membenarkan atau menyalahkan. Tanpa "aku"

   Yang bersamadhi, itulah samadhi yang sebenarnya. Ceng Ceng juga duduk tidak jauh dari suaminya, akan tetapi dia tidak dapat duduk diam karena pikirannya selalu teringat akan puteranya, akan keluarga suaminya. Dia merasa gelisah karena sudah hampir sepekan dia dan suaminya duduk menanti di tempat itu.

   Sampai berapa lama dia harus menanti, membiarkan puteranya terancam bahaya di dalam tangan musuh-musuh yang dia tahu adalah orang-orang yang amat kejam dan jahat itu? Dia tidak dapat beristirahat seperti suaminya, makin lama makin merasa gelisah sehingga akhirnya dia turun dari atas batu dan berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai. Malam itu memang indah sekali, namun sayang, bagi seorang yang sedang kacau batinnya oleh kegelisahan seperti Ceng Ceng, tidak ada apa pun yang kelihatan indah di dunia ini. Tiba-tiba sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar dan tubuhnya yang tadinya kelihatan lemas itu tiba-tiba saja menjadi cekatan. Dia melihat sesuatu yang tentu saja menimbulkan kecurigaannya. Melihat bayangan manusia berkelebat tak jauh dari situ. Tentu musuh yang datang!

   Atau mata-mata musuh yang mengintai! Kemarahannya bangkit dan dengan gerakan ringan dan cepat sekali Ceng Ceng sudah bergerak melakukan pengejaran, menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu. Akan tetapi bayangan itu dapat bergerak cepat sekali dan sekali berkelebat, bayangan itu menyusup dan lenyap di balik semak-semak belukar. Ceng Ceng makin curiga, akan tetapi karena dia maklum akan kelihaian orang-orang di dalam benteng dan dia yakin bahwa yang nampak bayangannya tentulah orang dari dalam benteng, dia bersikap hati-hati sekali dan menyelidik dengan jalan memutar. Bulan kadang-kadang tertutup awan sehingga cahayanya menjadi remang-remang saja. Dengan langkah satu-satu dan amat waspada, Ceng Ceng memutari semak-semak di mana dia melihat bayangan tadi lenyap.

   Seluruh perhatian dicurahkannya melalui pendengaran dan penglihatannya. Tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang dan ketika secepat kilat dia membalik, dari sudut matanya Ceng Geng melihat bayangan orang menyerangnya dengan totokan yang cepat dan hebat. Akan tetapi Ceng Ceng memang sejak tadi sudah siap sedia, maka diserang seperti itu dia tidak menjadi gugup. Dia miringkan tubuh mengelak dan tangannya membalas dengan tamparan kilat ke dada penyerangnya itu. Orang itu terkejut bukan main, agaknya tidak mengira bahwa yang diserangnya itu selain dapat mengelak, juga dapat membalas dengan tamparan yang demikian hebatnya, terbukti dari sambaran angin yang menandakan sinkang yang dahsyat. Maka dia pun menggerakkan lengannya menangkis.

   "Dukkk....!"

   Keduanya terhuyung ke belakang dan mereka kaget bukan main mengetahui betapa kuatnya lawan. Ceng Ceng cepat memandang akan tetapi karena bulan masih tertutup awan, cuaca remang-remang dan dia hanya melihat seorang pria yang berdiri di depannya, seorang pria yang memiliki sepasang mata yang tajam bersinar.

   "Manusia curang, siapakah engkau? Mengakulah sebelum engkau mati tanpa nama!"

   Bentak Ceng Ceng dengan marah sekali. Orang itu kelihatannya terkejut mendengar suara ini.

   "Ehhh....? Kau...."

   Pada saat itu awan telah meninggalkan bulan dan cahaya bulan yang terang menyinari wajah kedua orang yang saling pandang itu. Keduanya kini kelihatan makin kaget.

   "Kau Ceng Ceng....!"

   "Tek Hoat....!"

   Memang orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini terus-menerus mengikuti jejak Puteri Syanti Dewi setelah dia gagal merampas Syanti Dewi dari puncak Naga Api sarang dari perkumpulan Liong-simpang yang diketuai oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun. Dia dibantu oleh Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang katanya tahu di mana harus mencari Syanti Dewi. Akan tetapi sebetulnya Siluman Kucing itu pun tidak tahu, hanya menduga-duga saja dan sebenarnya wanita cabul itu bermaksud untuk mendekati pemuda ini dan kalau mungkin mencengkeram pemuda lihai ini untuk menjadi korban nafsu berahinya.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang mulai sadar akan kesesatannya itu, apalagi setelah dia berjumpa dengan seorang pelacur yang membuka matanya, dia malah mempermainkan Siluman Kucing dan meninggalkannya pergi untuk mencari sendiri jejak Syanti Dewi. Akhirnya dia mendengar tentang keadaan di lembah Huang-ho dan dia menaruh hati curiga. Dia pernah menyerang lembah itu sebagai sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang untuk memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pang, bersama dengan Siluman Kucing yang menjadi guru dari ketua Hek-eng-pang, sehingga mereka akhirnya dapat membobolkan bendungan air dan membuat lembah itu tenggelam dalam genangan air bah setelah tanggul atau bendungannya itu dijebolkan oleh alat-alat peledak dari Mauw Siauw Mo-li.

   Kini dia mendengar berita angin bahwa lembah itu telan berubah menjadi benteng yang kuat. Dia merasa curiga sekali dan ingin tahu, maka dia lalu menyelidiki ke lembah. Siapa tahu kalau-kalau Syanti Dewi yang seperti lenyap ditelan bumi itu berada di tempat itu, pikirnya. Hal ini memasuki pikirannya ketika dia mendengar bahwa banyak tokoh kaum sesat kabarnya juga berada di dalam benteng itu. Andaikata Syanti Dewi tidak berada di situ, setidaknya dia akan dapat bertanya kepada para tokoh sesat itu dan tentu ada di antara mereka yang tahu di mana adanya Syanti Dewi dan siapa yang telah menculiknya. Malam itu dia tiba di dekat benteng lembah dan selagi dia berjalan dan hendak mulai dengan penyelidikannya, dia melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan mengejarnya.

   Maka dia lalu menyelinap dan menyerang bayangan itu untuk menotoknya, karena dia menduga bahwa bayangan itu tentulah mata-mata dari dalam benteng. Akan tetapi betapa kagetnya ketika bayangan itu sedemikian lihainya, dan makin kagetlah dia ketika cahaya bulan menyinari wajah yang cantik itu, wajah dari Ceng Ceng, saudara tirinya seayah berlainan ibu! Ibu dari Ceng Ceng adalah Lu Kim Bwee, sedangkan ibu dari Tek Hoat bernama Ang Siok Bi. Ketika kedua orang wanita itu masih gadis, mereka telah tertimpa malapetaka dan aib. Mereka itu dicemarkan oleh seorang laki-laki yang berilmu tinggi sehingga mereka keduanya mengandung. Dari kandungan itulah terlahir Ceng Ceng dan Tek Hoat. Karena mereka terlahir sebagai akibat perkosaan, maka mereka berdua menggunakan she ibu masing-masing.

   Ceng Ceng menggunakan she Lu sedangkan Tek Hoat menggunakan she Ang. Ayah kandung mereka yaitu pria yang mencemarkan ibu masing-masing itu bukanlah orang sembarangan, karena dia adalah putera tiri dari Pendekar Super Sakti yang bernama Wan Keng In (baca cerita Sepasang Pedang Iblis dan Kisah Sepasang Rajawali). Ketika masih kecil, baik Ceng Ceng maupun Tek Hoat tidak tahu akan rahasia itu karena ibu masing-masing tidak mau menceritakan aib itu kepada anak masing-masing. Baru setelah kedua orang anak ini menjadi dewasa, di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, mereka bertemu dan bahkan mereka hampir saling jatuh cinta. Kemudian terbukalah rahasia itu dan keduanya baru tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah saudara tiri, seayah berlainan ibu! Dan keduanya sesungguhnya adalah she Wan.

   "Ah, kusangka engkau seorang mata-mata dari benteng!"

   Seru Tek Hoat. Ceng Ceng cemberut.

   "Engkaulah yang kukira mata-mata dari dalam benteng!"

   Keduanya lalu tersenyum dan saling pandang. Memang keduanya mempunyai perasaan suka satu sama lain, apalagi setelah mereka tahu bahwa mereka adalah saudara seayah. Dalam pandang mata mereka itu terdapat keharuan karena memang keduanya tidak mempunyai saudara lain, bahkan tidak bersanak kadang lagl.

   "Bagaimana keadaanmu....?"

   Keduanya bicara berbareng dan dengan pertanyaan yang sama. Kemudian keduanya tersenyum dan pada saat itu muncullah Kao Kok Cu. Di dalam siulian tadi, Kok Cu mendengar suara isterinya, maka dia pun cepat meloncat turun dan mencari. Dia merasa heran sekali melihat isterinya berhadapan dengan seorang pria dan ketika dia tiba di situ, segera dia mengenal Tek Hoat.

   "Ah, kiranya engkau, Tek Hoat!"

   Katanya. Tek Hoat memandang wajah Kok Cu penuh perhatian. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan bahwa antara Tek Hoat dan Kok Cu sesungguhnya terdapat hubungan yang tidak asing lagi, akan tetapi sesungguhnya baru sekarang inilah Tek Hoat sempat mengenal dan memandang wajah Kok Cu, karena dahulu Kok Cu selalu memakai topeng yang amat buruk sehingga dia pun hanya dikenal sebagai Si Topeng Setan. Setelah memandang wajah suami Ceng Ceng itu dia menarik napas panjang.

   "Ah, kiranya engkau adalah seorang yang gagah dan tampan, Topeng Setan!"

   Katanya.

   "Aku girang sekali bahwa saudaraku ini memperoleh seorang suami hebat seperti engkau."

   Akan tetapi hanya sebentar saja Tek Hoat kelihatan gembira dengan pertemuan ini. Segera wajahnya murah kembali, apalagi karena dia teringat betapa keadaannya jauh dibandingkan dengan Ceng Ceng yang berbahagia dengan suaminya, sedangkan dia, sampai sekarang pun belum juga dapat mengetahui di mana adanya Syanti Dewi.

   "Bagaimana engkau sampai tiba di sini?"

   Tanya Ceng Ceng.

   "Aku memang perantau yang bisa berada di mana saja. Akan tetapi kalian? Mau apa di sini?"

   Tek Hoat balas bertanya karena dia tidak suka menceritakan keadaan dirinya.

   "Ah, engkau tidak tahu, Tek Hoat. Malapetaka besar menimpa keluarga kami,"

   Kata Ceng Ceng dan dia lalu bercerita tentang keluarga Kao dan juga puteranya yang diculik orang dan ditawan di dalam benteng itu. Kok Cu tidak sempat mencegah isterinya bercerita, apalagi dia merasa kurang enak karena dia maklum bahwa isterinya sangat suka kepada saudara tirinya itu. Dia melihat betapa Tek Hoat mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang mengeluarkan seruan kaget mendengar betapa orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, bahkan Im-kan Ngo-ok yang terkenal itu semua berkumpul di dalam benteng! Bukan tidak mungkin Syanti Dewi berada di situ pula sebagai tawanan, pikirnya. Dia tidak dapat memikirkan lain kecuali Syanti Dewi. Setelah Ceng Ceng selesai bercerita, Tek Hoat menegur,

   "Kalau begitu, kenapa kalian tidak segera masuk dan menolong mereka yang tertawan?"

   "Ah, kami sudah masuk, akan tetapi kami melihat betapa keluarga kami terancam, maka kami hendak menanti saat baik untuk menolong mereka,"

   Jawab Ceng Ceng, akan tetapi jawaban ini seolah-olah tidak didengar oleh Tek Hoat. Dia lalu bangkit berdiri, dan berkata kepada suami isteri itu.

   "Aku pergi dulu....!"

   "Engkau hendak ke mana?"

   Kok Cu menegur.

   "Aku akan mencoba masuk ke dalam benteng itu!"

   "Tek Hoat, jangan....!"

   Ceng Ceng berkata.

   "Keadaannya amat berbahaya, engkau akan celaka di sana sebelum berhasil...."

   "Aku tidak takut!"

   Jawab Tek Hoat dengan sikapnya yang keras kepala. Ceng Ceng merasa terharu sekali. Dia mengira bahwa Tek Hoat kini telah berubah menjadi seorang yang berwatak pendekar gagah, dan yang merasa penasaran mendengar tentang ditawannya Cin Liong dan keluarga Kao lainnya, dan bermaksud untuk nekat memasuki benteng dan menolong keluarga yang tertawan itu.

   "Tek Hoat, tidak perlu engkau mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Keluarga kami terlalu banyak untuk dapat kauselamatkan seorang diri saja. Sebaiknya tunggu kesempatan dan kelak bersama kami bergerak."

   Sebetulnya, niat dari Tek Hoat itu amat cocok dengan niat di hati Ceng Ceng yang juga sudah tidak sabar lagi menanti kesempatan, dan ingin dia mengajak suaminya untuk bersama dengan Tek Hoat malam itu juga menyerbu benteng. Akan tetapi ucapan Tek Hoat sungguh tidak diduganya sama sekali.

   "Aku harus mencari Syanti Dewi, sekarang juga!"

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat sudah lenyap dari situ. Ceng Ceng termangu-mangu, kemudian mengepal tinjunya dan merasa mendongkol sekali.

   "Ah, kiranya dia hendak mencari Enci Syanti Dewi? Hemmm, tidak sempat kutanya dia mengapa dia meninggalkan Enci Syanti Dewi di Bhutan dan sekarang pura-pura ribut mencarinya, hemmm...."

   Ceng Ceng marah dan mendongkol karena kecewa. Tadinya dia kira Tek Hoat mau membela keluarga suaminya, tidak tahunya pemuda itu sama sekali tidak memikirkan tentang keluarga Kao, dan keinginannya memasuki benteng itu tidak lain hanya untuk mencari Syanti Dewi. Kok Cu maklum akan kejengkelan hati isterinya, dia merangkul isterinya dan berkata,

   "Kasihan dia. Dia menderita tekanan batin yang hebat sekali, hal itu dapat kulihat dari wajahnya."

   "Hemmm, mungkin dia menjadi jahat lagi...."

   Ceng Ceng berkata, membayangkan kembali cerita tentang ayah kandungnya, seorang manusia yang amat jahat!

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia merasa beruntung bahwa dia menjadi isteri seorang bijaksana seperti Kok Cu, karena kalau dia teringat akan pengalamannya dahulu, setelah dia menjadi murid Ban-tok Mo-li, mungkin saja dia pun menjadi seorang tersesat yang jahat, seperti mendiang ayah kandungnya. Dan tiba-tiba dia bergidik dan menyembunyikan mukanya dalam rangkulan lengan kanan suaminya. Malam telah larut, lewat tengah malam. Bulan purnama telah condong ke barat dan malam itu dingin dan sunyi sekali. Akan tetapi, sesosok bayangan seperti setan berkelebatan di bawah tembok benteng. Bayangan orang itu bukan lain adalah Tek Hoat yang telah meninggalkan Ceng Ceng dan suaminya. Ceng Ceng tidak melihat Syanti Dewi di dalam benteng, akan tetapi siapa tahu?

   Dan seandainya dia tidak menemukan Syanti Dewi di situ, tidak pula bisa memperoleh kabar tentang puteri itu, setidaknya dia akan dapat menuntut agar putera Ceng Ceng dibebaskan. Dia tidak perlu banyak berjanji kepada suami isteri itu, akan tetapi kalau di sana tidak ada Syanti Dewi, dia tentu akan membebaskan putera Ceng Ceng! Saudara tirinya itu kelihatan demikian gelisah, dan diam-diam dia merasa amat kasihan kepada Ceng Ceng. Dia tidak takut biarpun di sana ada Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi dan yang disebut Im-kan Ngo-ok yang tidak dikenalnya itu. Biar semua iblis dan setan berkumpul di sana, dia tidak takut! Ketika dia mulai mendekati tembok benteng, Tek Hoat yang berpenglihatan tajam itu mengerti bahwa ada bayangan yang mengikutinya. Orang yang membayanginya itu juga amat cepat gerakannya.

   Mula-mula dia menduga bahwa bayangan itu tentulah Ceng Ceng atau Kok Cu, akan tetapi setelah dia melihat sekelebatan, dia tahu bahwa bayangan itu bukan Ceng Ceng, karena orang itu tinggi besar tidak seperti bentuk tubuh Ceng Ceng dan lengannya lengkap tidak seperti lengan Kok Cu. Akan tetapi karena bayangan itu hanya mengikutinya, maka dia pun tidak mempedulikan dan melanjutkan gerakannya meloncat naik ke atas tembok benteng seperti seekor burung garuda terbang saja. Loncatannya tidak mungkin dapat mencapai di atas tembok yang demikian tingginya, akan tetapi seperti seekor cecak terbang, dia hinggap di tembok dan mengguna-kan kaki tangannya menempel tembok dan terus merangkak ke atas menggunakan sinkangnya yang membuat telapak tangannya menyedot dan menempel dinding, menahan tubuhnya.

   Dengan cepat dia merayap seperti seekor cecak dan akhirnya dia dapat mencapai pinggiran tembok dan meloncat naik ke atas tembok benteng yang tinggi itu. Akan tetapi baru saja dia berdiri, kakinya telah menginjak alat jebakan dan dari bawah menyambar belasan batang anak panah ke arah tubuhnya! Namun, Tek Hoat telah siap waspada dan begitu mendengar bunyi berdesir dari bawah, dia telah meloncat ke atas dan mengelak, lalu turun lagi di atas dinding tembok di depan. Kiranya semenjak benteng itu kebobolan, Im-kan Ngo-ok telah memasang jebakan-jebakan di atas tembok benteng dan satu di antara alat jebakan itu tadi terinjak oleh Tek Hoat. Tek Hoat terus berloncatan di atas tembok benteng yang berlapis-lapis itu, dari tembok pertama ke atas tembok ke dua. Dia melihat bayangan di belakangnya tetap mengikutinya akan tetapi dia tidak peduli dan terus meloncat ke tembok sebelah dalam.

   Tiba-tiba dia terkejut sekali ketika tembok yang diinjaknya bergoyang dan melesak ke bawah! Karena secara tiba-tiba tubuhnya terjeblos ke bawah, tentu saja dia tidak dapat meloncat lagi ke atas dan ketika dia memandang ke bawah, ternyata di bawahnya telah menanti ujung-ujung tombak yang meruncing. Dari atas, ujung-ujung tombak itu kelihatan menyeramkan dan orang yang terjatuh ke tempat itu tentu akan tembus-tembus tubuhnya oleh puluhan batang tombak itu. Untuk meloncat ke lain tempat sudah tidak mungkin lagi, maka mau tidak mau Tek Hoat harus terus meluncur ke bawah! Dia cepat mengerahkan ginkangnya dan ketika ujung-ujung tombak itu telah dekat sekali, dia menggunakan ujung kakinya menotol ujung tombak dan mengenjot ke atas untuk mematahkan tenaga luncuran tubuhnya,

   Kemudian dia turun lagi dan hinggap dengan kedua kakinya ke atas ujung dua batang tombak. Akan tetapi tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia mengerahkan tenaganya dan mematahkan tenaga luncuran tubuhnya, kemudian dia turun lagi dan hinggap dengan kedua ka-kinya ke atas ujung dua batang tombak seperti seekor burung saja! Dengan berjongkok tangannya mencabut sebatang tombak. Akan tetapi tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia mengerahkan tenaganya dan mematahkan gagang tombak itu, lalu dia mengenjot tubuhnya meloncat ke atas. Ketika dia tidak mencapai atas tembok, dia menggunakan tombak patahan tadi untuk menyodok dinding dan dengan tenaga sodokan ini dia dapat berpoksai lagi ke atas. sehingga akhirnya dapat juga dia hinggap di atas tembok kembali.

   "Bagus sekali....!"

   Pujian ini terdengar dari bayangan yang masih mengikutinya dari jauh.

   Akan tetapi Tek Hoat tidak peduli lagi dan melanjutkan penyelidikannya, meloncat terus ke tembok sebelah dalam lagi. Kini Tek Hoat telah tiba di lapisan tembok benteng yang paling dalam. Tiba-tiba terdengar suara berdering-dering ketika kakinya menyangkut tali rahasia dan Tek Hoat melihat pasukan berbondong-bondong datang ke sebelah dalam tembok. Bahkan ada pasukan dua puluh orang lebih yang menghujankan anak panah ke arah dia berdiri di atas tembok. Akan tetapi, Tek Hoat sama sekali tidak menjadi gentar, dia malah terus meloncat ke dalam sambil memutar tombak yang dicabutnya dari tempat jebakan tadi dan semua anak panah dapat ditangkisnya dan runtuh ke bawah. Dengan ringan kakinya menginjak tanah di tengah-tengah lapangan di sebelah dalam benteng itu dan sebentar saja dia sudah terkurung oleh pasukan penjaga yang banyak sekali.

   Akan tetapi, pemuda ini berdiri tenang dan sepasang matanya bersinar-sinar menyeramkan. Tidak ada anggauta pasukan yang berani menyerang karena selain tidak ada perintah dari atasan, juga mereka maklum bahwa yang datang ini adalah seorang pemuda yang lihai sekali, seperti Si Naga Sakti dan isterinya yang juga datang ke benteng ini beberapa hari yang lalu. Menghadapi orang-orang sakti seperti ini bukanlah tugas mereka dan memang benar saja, tak lama kemudian terdengar aba-aba dari komandan mereka untuk membuka jalan dan nampaklah Koksu Nepal dan para pembantunya menghampiri tempat itu dan berhadapan dengan Tek Hoat yang memandang kepada rombongan ini dengan sikap tenang dan sinar mata tajam penuh selidik.

   "Ha-ha-ha, dia adalah Si Jari Maut! Dari tadi aku sudah mengenalnya!"

   Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah Hek-hwa Lo-kwi. Juga Hek-tiauw Lo-mo yang ikut datang bersama Koksu Nepal segera mengenal pemuda itu.

   "Ang Tek Hoat si Jari Maut, mau apa kau berkeliaran ke sini?"

   Bentaknya. Tek Hoat memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, kemudian terdengar dia berkata dengan sikap angkuh dan tenang,

   "Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apakah kalian menjadi pimpinan di sini ataukah hanya sebagai pembantu-pembantu belaka? Kalau begitu, siapakah pemimpinnya? Aku mau bicara dengan pemimpin benteng ini."

   Begitu mendengar julukan Si Jari Maut, biarpun dia belum pernah mendengar julukan yang memang belum lama terkenal di dunia kang-ouw ini, namun koksu sudah merasa kagum. Orang yang mendapat pujian dari dua orang kakek iblis itu tentulah bukan orang biasa, dan pemuda ini masih begini muda, dan cekatan pula, buktinya dapat melalui jebakan-jebakan dengan begitu mudah. Maka dia lalu melangkah maju dan tersenyum lebar.

   "Kami, koksu dari Nepal, adalah yang mewakili Pangeran Bharuhendra memimpin benteng ini. Ang-sicu sudah memerlukan malam-malam datang ke tempat ini, ada keperluan apakah?"

   Tanyanya dengan sikap ramah. Sinar bulan tenggelam, akan tetapi sebagai gantinya, banyak obor dinyalakan untuk membantu penerangan lampu yang banyak tergantung di tempat itu sehingga Tek Hoat dapat mengamati wajah banyak orang itu. Kini dia berhadapan dengan Ban Hwa Sengjin dan setelah sejenak memandang wajah kakek ini dengan penuh selidik, dia lalu berkata dengan lantang,

   "Kiranya yang memimpin adalah koksu dari Nepal! Sungguh hebat benteng ini, dan kulihat banyak orang-orang pandai membantu di sini. Koksu, aku sama sekali tidak mau mencampuri urusan pemberontakan. Aku datang untuk urusan pribadi, yaitu aku mencari Puteri Bhutan...."

   "Ah, Puteri Syanti Dewi?"

   Koksu Nepal itu memotong sambil tersenyum lebar.

   "Benar!"

   Jantung Tek Hoat berdebar keras.

   "Bukankah dia berada di sini? Aku datang untuk mencari dia!"

   "Ah, tentu saja sang puteri berada di sini, Ang-sicu. Beliau berada di sini sebagai tamu agung!"

   Tek Hoat mengerutkan alisnya.

   "Hem, siapakah yang tidak tahu bahwa Nepal selamanya tidak pernah bersahabat dengan Bhutan?"

   Mendengar ini, Koksu Nepal terkejut dan tiba-tiba Gitananda berbisik dalam bahasa Nepal kepada koksu itu. Wajah koksu itu menjadi berseri.

   "Aha, kiranya engkau adalah panglima muda yang amat terkenal di Bhutan, yang pernah akan menjadi mantu Raja Bhutan itu? Ah, sungguh kebetulan sekali! Agaknya engkau telah meninggalkan Bhutan dan tidak tahu bahwa antara Bhutan dan Nepal telah terjadi persahabatan. Buktinya, Puteri Syanti Dewi kini menjadi tamu kami, diantar oleh panglimanya."

   Dia lalu bicara kepada Gitananda untuk memanggil Mohinta. Tek Hoat terkejut melihat munculnya panglima muda Bhutan itu di situ. Sebaliknya, ketika Mohinta melihat Tek Hoat, dia menjadi marah sekali dan bersama para pengikutnya, dia sudah melolos senjata dan hendak menyerang. Akan tetapi koksu mengangkat tangannya dan memberi isyarat kepada Mohinta untuk mundur.

   "Ang-sicu, kau lihat sendiri, Panglima Mohinta dari Bhutan sendirilah yang mengawal Sang Puteri Syanti Dewi dan menjadi tamuku. Kita semua adalah merupakan satu keluarga, mengingat bahwa Sicu juga sudah berjasa untuk Bhutan. Nah, sekarang katakanlah, apa maksud kedatanganmu? Sebagai kawan ataukah sebagai lawan?"

   Semua orang terkejut dan merasa heran mendengar ucapan koksu yang mengaku bahwa Puteri Bhutan itu berada di situ sebagai tamu. Padahal, bukankah puteri itu telah terculik orang dan sampai kini beium diketahui di mana adanya? Akan tetapi tidak ada orang yang tahu akan kelicikan koksu ini. Dia memang sengaja mengatakan bahwa Syanti Dewi masih berada di situ, karena dia mempunyai rencana yang dianggapnya baik sekali untuk dapat menahan pemuda yang lihai ini agar dapat membantunya.

   "Terserah kepada koksu akan menganggap aku sebagai kawan atau lawan. Maksud kedatanganku sudah jelas, yaitu aku ingin melihat Puteri Syanti Dewi dalam keadaan selamat.

   "Ha-ha-ha, permintaan yang amat mudah, Ang-sicu. Tentu engkau maklum bahwa keselamatan sang puteri sepenuhnya berada di tangan kami. Kalau Sicu mau membantu kami, sudah pasti sang puteri akan selamat...."

   "Sudah kukatakan bahwa aku tidak hendak mencampuri urusan pemberontakanmu!"

   Tek Hoat memotong cepat.

   "Baiklah, setidaknya asal engkau suka berjanji bahwa engkau tidak akan membantu fihak musuh kami dan bahwa engkau suka melindungi Puteri Syanti Dewi di sini."

   "Tentu saja aku akan suka melindunginya dari siapapun juga!"

   Jawab Tek Hoat.

   "Akan tetapi biarkan aku lebih dulu bertemu dengan dia."

   "Ang-sicu, hendaknya Sicu maklum bahwa setelah Sicu berada di dalam benteng, maka kamilah yang menentukan segala sesuatu, karena betapapun lihainya Sicu, seorang diri saja tidak berdaya terhadap kami. Sicu baru saja datang, tentu tidak baik kalau bertemu dengan sang puteri. Akan tetapi tunggulah satu dua hari, kalau memang Sicu benar-benar mau tinggal di sini melindunginya dan memperlihatkan iktikad baik bahwa Sicu bukan mata-mata musuh kami, barulah Sicu akan dapat bertemu dengan Puteri Syanti Dewi."

   Tek Hoat memandang ke sekeliling. Dia melihat bahwa selain Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, juga terdapat banyak orang yang kelihatan berilmu tinggi. Semua tokoh ini sudah berbahaya, apalagi ditambah dengan banyak pasukan dan keadaan benteng yang kokoh kuat, memang kalau dia menggunakan kekeras-an hal itu adalah bodoh sekali. Apalagi setelah ada kepastian bahwa Syanti Dewi berada di situ dan dalam keadaan selamat, apalagi yang dikehendakinya? Dia harus bersabar sampai dia benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi, setelah bertemu barulah dia akan mencari akal bagaimana untuk dapat membawa keluar puteri itu dari benteng ini. Kalau hal ini tidak mungkin, setidaknya dia berdekatan dengan wanita yang dicintanya itu dan dapat melindunginya dari gangguan siapapun juga dengan taruhan nyawanya.

   "Baiklah, asal benar-benar dia berada di sini, aku akan melindunginya di sini dan tidak akan mencampuri urusan kalian dengan mnusuh-musuh kalian,"

   Katanya. Tek Hoat lalu diberi sebuah kamar dan diam-diam gerak-geriknya selalu diikuti. Pemuda ini pun tidak memperlihatkan sikap mencurigakan karena dia hanya menanti sampai dia dapat dipertemukan dengan kekasihnya. Satu dua hari, kata koksu. Baik, dia akan bersikap baik selama dua hari sampai dia benar-benar melihat sang puteri dalam keadaan selamat. Sementara itu, kalau semua orang merasa heran, koksu dengan tenang lalu memanggil pembantunya yang ahli dalam hal itu, yaitu Ang-siocia dan gurunya, yaitu Hek-sin Touw-ong. Adanya dua orang yang pandai melakukan penyamaran inilah yang membuat koksu tanpa ragu-ragu mengatakan kepada Tek Hoat bahwa Syanti Dewi memang berada di situ sebagai tamu!

   "Pemuda selihai itu sebaiknya kalau berfihak kepada kita,"

   Kata koksu kepada para pembantunya setelah Ang-siocia dan gurunya hadir,

   "atau setidaknya, dalam menghadapi masa gawat ini, sebaiknya kalau dia di sini dan tidak membantu musuh. Karena itulah aku menggunakan dalih adanya Puteri Syanti Dewi untuk menahan dia di sini, dan untuk melaksanakan akal ini, aku mengharapkan bantuan Kang-siocia, dan Hek-sin Touw-ong."

   Dara itu saling pandang dengan guru-nya. Mereka itu semenjak berada di dalam benteng, tidak pernah melihat kesempatan untuk melarikan diri karena biarpun mereka itu dianggap pembantu-pembantu, akan tetapi seperti juga Jenderal Kao, mereka adalah pembantu-pembantu yang dicurigai sehingga selalu terjaga dan tidak pernah diperkenankan keluar dari benteng.

   "Memang hal itu mudah dilakukan karena kami melihat di sini banyak wanita Nepal yang potongan wajahnya agak mirip sang puteri sehingga mudahlah untuk meriasnya sehingga tidak akan ada bedanya dengan wajah sang puteri sendiri, kata Touw-ong."

   "Menghias mukanya memang mudah sekali, juga pakaian dan gerak-geriknya, akan tetapi meniru suaranya harus dipimpin oleh seorang yang mengenal betul cara sang puteri bicara,"

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 6 Kisah Sepasang Rajawali Eps 4 Kisah Sepasang Rajawali Eps 56

Cari Blog Ini