Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 29


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 29



Wajah-wajah itu, biarpun di antaranya terdapat banyak wajah yang biasa dengan kekerasan, kadang-kadang tak dapat menguasai lagi keharuan hati sehingga menjadi layu, bahkan ada yang menitikkan air mata! Syanti Dewi sendiri tak dapat bertahan ketika lagu itu tiba di bagian yang sedih, seperti hati yang meratap-ratap dan menjerit-jerit. Puteri ini teringat akan keadaan dirinya sendiri yang menjadi korban cinta, maka dia pun tidak kuasa menahan air matanya dan beberapa kali menyapu air mata dari pipi dengan saputangannya. Semua ini dapat dilihat oleh Tek Hoat dan pendekar ini pun ikut menangis dengan diam-diam! Dia merasa jantungnya perih. Bukan air mata lagi yang mengalir dari matanya, akan tetapi seolah-olah jantungnya mengalir air mata darah. Ketika akhirnya suara musik itu terhenti, Sang Pangeran sendiri bangkit bertepuk tangan memuji, diikuti semua tamu yang benar-benar merasa kagum.

   Kui Lun Eng bangkit berdiri dan menjura ke arah Syanti Dewi dan Pangeran, wajahnya agak pucat karena permainan tadi dilakukan dengan sepenuh perasaannya sehingga selain makan banyak tenaga batin, juga menyeretnya ke dalam keharuan. Kemudian dengan masih diiringi tepuk sorak, dia kembali ke tempat duduknya semula. Diam-diam Sang Pangeran melihat adanya calon yang baik pada diri pemuda ahli musik ini. Patut pula menjadi calon suami Syanti Dewi, pikirnya. Sudah ada tiga orang muda yang pantas menjadi calon, yaitu Thio Seng Ki Si Hartawan, Yu Cian Si Sastrawan, dan Kui Lun Eng Si Seniman. Akan tetapi sayang, ketiganya adalah orang-orang yang lemah, tidak memiliki kepandaian silat, pikir Sang Pangeran. Padahal, dia tahu betul bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita yang lihai ilmu silatnya.

   Bahkan dia sudah melihat sendiri betapa wanita itu memiliki gin-kang yang amat luar biasa, membuat dia dapat berlari seperti terbang dan bergerak dengan amat cepatnya! Mungkinkah seorang wanita gagah dan lihai ini berjodoh dengan seorang pria yang tidak mengenal ilmu silat? Kini Ouw Yan Hui bangkit berdiri lagi. Hatinya senang karena tanpa terlalu kentara, dia telah menonjolkan tiga orang calon jodoh Syanti Dewi. Kini tinggal memperkenalkan calon keempat dan untuk itu pun dia tidak kekurangan akal. Dari para penyelidiknya dia sudah mendengar bahwa Si Pendekar Budiman Lie Siang Sun adalah orang yang tepat pula menjadi calon, dibandingkan dengan ahli-ahli silat, juga Lie Siang Sun ini terkenal sebagai pendekar yang budiman, tak pernah tercela namanya dan masih belum menikah pula. Dengan suara lantang Ouw Yan Hui lalu berkata,

   "Adik kami yang ulang tahunnya dirayakan adalah orang yang suka sekali melihat pertunjukan ilmu silat. Oleh karena itu, pesta ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Kami tahu bahwa di antara para tamu terdapat banyak sekali ahli silat. Dan setelah memeriksa daftar nama para tamu, kami minta dengan hormat kepada Pendekar Budiman Lie Siang Sun, sudilah kiranya memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan ilmu silatnya."

   Kembali banyak di antara para tamu yang bertepuk tangan karena selain nama Pendekar Budiman sudah terkenal dan banyak orang menaruh kagum kepadanya, juga mereka yang merasa memiliki kepandaian silat merasa lega ada orang lain yang disuruh maju lebih dulu. Tentu saja untuk maju sebagai orang pertama mendatangkan perasaan sungkan dan malu-malu. Seorang pria yang usianya tiga puluh tiga tahun, bangkit berdiri dan nampak betapa tubuhnya itu tinggi tegap dan gagah perkasa, sikapnya sederhana seperti juga pakaiannya. Di punggungnya nampak tergantung sebatang pedang dan dengan langkah yang lebar tegap namun tenang, orang ini berjalan menuju panggung. Dengan sopan dia memberi hormat ke arah Syanti Dewi, Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong, sambil berkata,

   "Sebutan Pendekar Budiman dan ahli silat bagi saya sungguh terlalu dilebihkan, akan tetapi karena saya hanya bisa menyumbangkan sedikit ilmu silat yang pernah saya pelajari untuk memeriahkan pesta ini, maka harap Pangeran, Nona dan Toanio, juga Cu-wi yang hadir di sini suka memaafkan jika pertunjukan ini kurang berharga."

   Setelah mengangguk ke empat penjuru, mulailah Pendekar Budiman Lie Siang Sun menggerakkan kaki tangannya. Mula-mula ia bersilat dengan lambat, akan tetapi semakin lama semakin cepat dan gerakan-gerakannya gesit pukulan-pukulannya mantap dan kadang-kadang kedua kakinya yang berloncatan itu tidak menimbulkan suara sedikit pun seperti langkah-langkah seekor kucing, akan tetapi adakalanya geseran-geseran kedua kakinya mendatangkan getaran dan membuat panggung berderak-derak! Memang harus diakui bahwa ilmu silat tangan kosong yang dimainkan oleh pendekqr ini cukup hebat dan juga indah dan bersih, ciri khas dari cabang ilmu persilatan para pendekar yang mengutamakan keindahan dan ketangguhan, bersih dari cara-cara yang curang.

   Tek Hoat juga menonton secara sepintas lalu saja karena sebagaian besar perhatiannya selalu tertuju kepada Syanti Dewi, mengerti bahwa pemuda ini memiliki ilmu silat Siauw-lim-pailim-pai dan juga Bu-tong-pai, dan memiliki tingkat yang cukup tinggi, maka patutlah kalau dia disebut pendekar. Setelah mainkan ilmu silat tangan kosong sebanyak tiga puluh enam jurus, tiba-tiba Lie Siang Sun mengeluarkan bentakan nyaring dan nampaklah sinar berkelebat yang segera bergulung-gulung dan ternyata dia telah mencabut dan mainkan pedangnya. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga kebanyakan dari para tamu tidak melihat kapan pedang itu dicabutnya dan kini pun pedang itu tidak nampak karena telah berobah menjadi gulungan sinar saking cepatnya dimainkan! Tepuk sorak menyambut permainan pedang ini dan memang Bu-tong Kiam-sut terkenal dengan keindahan gerakannya.

   Banyak para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw mengangguk-anggukkan kepala, dan memuji ketangkasan pendekar itu. Pangeran Kian Liong tidak mempelajari praktek ilmu silat secara mendalam, namun pengetahuannya tentang ilmu silat cukup banyak sehingga dia pun mengenal keindahan dan ketangguhan ilmu pedang ini, maka dia merasa kagum sekali. Dia pun diam-diam merasa setuju kalau pendekar muda ini dijadikan calon pula karena memang cukup pantaslah pemuda ini menjadi pelindung atau suami Syanti Dewi. Setelah Lie Siang Sun selesai bersilat pedang dan sudah menyimpan kembali pedangnya lalu memberi hormat ke arah deretan Pangeran, para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan memuji. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yang Hui yang tadi telah memperoleh bisikan dari Pangeran Kian Liong yang cerdik itu.

   "Cu-wi, seperti yang mungkin Cu-wi telah dengar dari kabar-kabar angin, pada kesempatan merayakan ulang tahun adik kami Syanti Dewi ini, kami telah memilih calon-calon untuk dipilih sebagai jodoh adik kami Syanti Dewi."

   Para tamu menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai dan Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berobah pucat. Biarpun dia sudah tahu akan hal ini, akan tetapi begitu tiba saatnya diumumkan, dia merasa jantungnya seperti ditusuk! Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, di tempat persembunyiannya, Tek Hoat juga memejamkan matanya karena merasa hatinya seperti diremas-remas mendengar betapa di situ telah dipilih calon-calon jodoh untuk Syanti Dewi. Setelah sorak-sorai berhenti, Ouw Yan Hui melanjutkan kata-katanya,

   "Pertama-tama kami mengumumkan pemilihan kami, yaitu Thio Seng Ki. Ke dua adalah Yu Cian, ke tiga Kui Lun Eng, dan ke empat adalah Lie Siang Sun! Cu-wi telah menyaksikan sendiri kecakapan mereka dalam ilmu kepandaian masing-masing, sedangkan Thio-kongcu telah memberi sumbangan yang sedemikian besar nilainya."

   Kembali terdengar sorakan menyambut, akan tetapi tidak sehebat tadi karena kini banyak yang merasa kecewa karena nama mereka tidak disebut. Banyak yang mulai digoda rasa iri hati terhadap empat orang yang dipilih sebagai calon itu! Tiba-tiba terdengar suara nyaring di antara penonton,

   "Bagaimana menentukan pemenang di antara calon-calon yang kepandaiannya berbeda-beda itu? Kalau berdasarkan kekayaan, tentu orang she Thio yang menang, kalau berdasarkan ilmu silat, tentu orang she Lie yang menang!"

   Orang-orang tidak memperhatikan lagi siapa yang bicara, akan tetapi semua tamu merasa setuju dengan ini dan keadaan menjadi bising. Ouw Yan Hui mengangkat kedua tangan ke atas dan baru dia mengakui bahwa akal yang dibisikkan oleh Pangeran kepadanya tadi memang baik sekali, karena kalau tidak, dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan orang itu.

   "Harap Cu-wi mendengarkan dengan tenang!"

   Kata Ouw Yan Hui dan karena dia mengeluarkan kata-kata ini disertai khi-kang, maka suaranya mengatasi semua kegaduhan dan para tamu lalu diam.

   "Cu-wi yang mulia! Biarpun ada terdapat calon-calon yang telah kami pilih, akan tetapi penentuannya siapa yang akan terpilih tentu saja sepenuhnya berada di tangan adik kami. Oleh karena itu, mereka berempat itu akan diuji. Siapa di antara mereka yang dapat menangkap Adik Syanti Dewi selama terbakarnya setengah bagian dupa, maka dialah yang dianggap memenuhi syarat dan menang, dan berhak untuk membicarakan tentang jodoh dengan adik kami!"

   Kembal para tamu menjadi, berisik ketika mendengar pengumuman ini dan semua orang merasa bahwa aturan ini berat sebelah. Tentu saja yang akan menang adalah Si Pendekar Budiman, karena tiga orang calon-calonnya lainnya hanya orang-orang yang lemah, mana mungkin dapat menangkap Syanti Dewi yang terkenal lihai itu? Akan tetapi, empat orang calon itu adalah orang-orang yang cerdas, maka mereka pun mengerti maksud-nya pengumuman ini. Itu adalah suatu cara halus untuk memberi kesempatan kepada Sang Puteri untuk menentukan pilihan tanpa mengeluarkan kata-kata, hanya dengan membiarkan dirinya tertangkap oleh calon yang dipilihnya.

   Dan memang benarlah pendapat mereka ini karena tadi Sang Pangeran berbisik kepada Ouw Yang Hui, bertanya apakah Si Pendekar Budiman itu akan mampu menangkap Syanti Dewi selama setengah batang hio terbakar habis, dan dijawab dengan pasti oleh Ouw Yan Hui bahwa hal itu tidak mungkin dapat terjadi kalau Syanti Dewi tidak menghendakinya, karena gin-kang yang dikuasai oleh Syanti Dewi sudah setingkat dengan dia sendiri. Jawaban inilah yang meyakinkan hati Sang Pangeran untuk mempergunakan akal untuk membiarkan Syanti Dewi memilih dan disetujui pula oleh Ouw Yan Hui. Sementara itu, wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali mendengar pengumuman itu dan dia menoleh dan memandang ke arah Sang Pangeran karena dia dapat menduga bahwa tentu Ouw Yan Hui mengeluarkan pengumuman itu setelah berdamai dengan Sang Pangeran Kian Liong juga memandang kepadanya, tersenyum mengangguk sambil berbisik lirih,

   "Nah, pemilihannya sepenuhnya berada kepadamu, Enci Syanti!"

   Maka mengertilah Syanti Dewi bahwa memang hal itu sengaja diumumkan agar dia dapat menentukan pilihannya di antara empat orang calon itu.

   Wan Tek Hoat yang sejak tadi mengintai dengan hati yang perih, mengerti pula akan maksud dari ujian menangkap Syanti Dewi itu dan diam-diam dia pun, setuju karena hal itu berarti memberi kesempatan kepada Syanti Dewi sendiri untuk menentukan pilihannya. Diam-diam dia pun ikut membanding-bandingkan antara empat orang itu dan dia melihat bahwa mereka itu memang merupakan orang-orang yang pilihan dan pantas menjadi jodoh Syanti Dewi, jauh lebih pantas dibandingkan dengan dia. Akan tetapi dia ikut mengharapkan agar Syanti Dewi tidak memilih Pendekar Budiman, karena mempunyai suami seorang pendekar berarti menjadi isteri orang yang banyak dimusuhi orang lain. Sementara itu, melihat betapa Syanti Dewi hanya duduk dengan kepala ditundukkan dan muka merah, Ouw Yan Hui lalu berbisik,

   "Hayo, majulah Adikku, tentukan pilihanmu!"

   Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan riuh dia lalu melangkah ke tengah panggung, berdiri menghadap ke arah tamu sambil tersenyum dengan muka merah.

   "Dipersilakan calon pertama, Thio Seng Ki untuk maju!"

   Ouw Yan Hui berseru dan kembali orang-orang bersorak ketika melihat pemuda hartawan itu bangkit dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi dengan muka merah dan sikap malu-malu pula. Seorang pembantu lalu menyalakan hio yang sudah dipotong setengahnya, lalu menancapkan hio sepotong itu di atas meja yang sudah dipersiapkan. Pembantu ini segera mundur dan Syanti Dewi yang sudah mengenal pemuda she Thio itu lalu menjura dan berkata,

   "Silakan mulai, Thio-kongcu."

   "Maafkan saya...."

   Thio Seng Ki lalu mulai bergerak hendak menangkap atau memegang lengan tangan Syanti Dewi, akan tetapi wanita ini melangkah mundur dan mengelak. Thio Seng Ki melangkah maju dan terus mengejar, akan tetapi dia seperti mengejar bayangan saja. Tangan yang kecil halus itu kelihatan begitu dekat, akan tetapi begitu sukar ditangkap bahkan untuk menjamahnya sedikit pun amatlah sukarnya. Hanya keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian puteri itu saja yang dapat ditangkap oleh hidungnya. Makin lama, makin penasaran dan khawatirlah hati pemuda hartawan itu.

   Dengan hartanya yang bertumpuk-tumpuk, dengan kemudaan dan ketampanannya, juga nama baiknya, dia mengira bahwa dia akan pasti dapat memperoleh dara manapun juga yang dikehendaki atau diinginkannya. Akan tetapi mengapa Syanti Dewi selalu mengelak. Karena penasaran, juga karena dia ingln sekali menang dalam pemilihan jodoh ini, dia mengejar terus dan biarpun dia tidak pandai ilmu silat, dia mengejar dengan secepatnya sampai kadang-kadang terhuyung-huyung apabila tangkapannya dielakkan tiba-tiba oleh Syanti Dewi. Pertunjukan ini amat menegangkan, lucu dan menarik sehingga mulailah terdengar suara ketawa dan teriakan-teriakan mengejek apabila tubrukan atau tangkapan dari pemuda hartawan itu luput. Akhirnya hio yang setengahnya itu habis terbakar.

   "Waktunya habis, calon pertama telah gagal!"

   Demikian peng-umuman pembantu wanita dan terpaksa Thio Seng Ki menghentikan usahanya. Wajah dan lehernya basah oleh keringat dan Syanti Dewi lalu menjura dan memberi hormat.

   "Harap Kongcu suka memaafkan saya."

   Thio Seng Ki menarik napas panjang, kecewa sekali, akan tetapi dia membalas penghormatan itu sambil berkata.

   "Sudahlah, saya yang tidak mampu dan tidak beruntung, Nona."

   Dia pun mengundurkan diri, duduk di kursinya kembali, disambut sorakan para tamu, terutama mereka yang tadi merasa iri karena tidak memperoleh kesempatan.

   "Dipersilakan calon ke dua, Yu Cian untuk maju!"

   Kembali Ouw Yan Hui berseru. Sastrawan muda itu tersenyum, bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi. Juga sastrawan ini disambut oleh suara ketawa karena semua orang maklum bahwa kalau wanita itu tidak menghendaki, biar sampai selama hidup pun sastrawan lemah ini tak mungkin akan dapat menyentuh Syanti Dewi. Akan tetapi Yu Cian kelihatan tenang menanti sampai sebatang hio yang sudah dipatahkan menjadi dua itu terbakar.

   "Silakan, Yu-siucai."

   Kata Syanti Dewi yang menyebut siucai kepada sastrawan yang telah lama dikenalnya ini.

   Yu Cian mengangguk dan dia lalu melangkah maju, tangannya digerakkan dengan sikap sopan untuk menyentuh tangan Syanti Dewi. Wanita itu menarik tangannya. Yu Cian melangkah lagi, diulanginya hendak menyentuh tangan Syanti Dewi yang kembali menarik tangannya sehingga tidak dapat disentuh. Setelah mengulangi sampai lima kali, Yu Cian lalu menjura ke arah Syanti Dewi, mukanya berobah agak pucat, suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan,

   "Saya menyerah karena merasa tidak mampu. Maafkanlah atas kelancangan saya selama ini."

   Dan sastrawan itu pun lalu mundur. Semua tamu yang melihat ini menjadi diam, dan sastrawan itu tidak diejek ketika kembali ke bangkunya dengan sikap masih tenang, bibir tersenyum dan muka agak pucat. Syanti Dewi merasa kasihan sekali dan dia hanya dapat menjura ke arah pemuda itu.

   "Harap maafkan saya...."

   Katanya perlahan. Ketika Kui Lun Eng maju dan berhadapan dengan Syanti Dewi, seniman ini tersenyum lebar berkata,

   "Nona, kita adalah kenalan lama, tidak perlu saling sungkan lagi. Saya tahu bahwa sampai matipun saya tidak mungkin akan dapat menangkap Nona yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka, biarlah saya menerima keputusan melalui jawaban Nona saja, dan untuk memudahkan, biar Nona menjawab dengan gelengan atau anggukan. Kalau Nona berkenan memilih saya, Nona mengangguk dan kalau tidak, Nona menggeleng. Nah, apa jawaban Nona?"

   Semua tamu mendengarkan dengan hati tertarik dan tegang. Seniman ini ternyata bersikap jujur dan terus terang, sungguhpun dengan kejujurannya itu dia membuat Syanti Dewi merasa terdesak. Akhirnya, dengan halus Syanti Dewi menggeleng kepala lirih.

   "Harap maafkan saya...."

   Kui Lun Eng tertawa dan menengadah.

   "Aih, sudah kudapatkan lagi suatu segi kebaikan pada diri Nona di samping semua keindahan itu, yaitu kebijaksanaan dan kejujuran. Terima kasih, Nona, biarlah kita tinggal menjadi kenalan yang baik saja."

   Dan dia pun mengundurkan diri, kembali ke tempat duduknya dan menuangkan arak, ke dalam mulutnya! Kini tinggal seorang lagi dan semua tamu hampir dapat memastikan bahwa tentu Pendekar Budiman inilah yang menang, sebagai calon terakhir dan di samping itu juga sebagai seorang pendekar berilmu tinggi yang agaknya dapat menangkap wanita cantik jelita itu. Ketika dia dipersilakan maju, Lie Siang Sun melangkah dengan tegap tanpa ragu-ragu menghadapi Syanti Dewi dan menjura dengan hormat.

   "Ingin saya mencontoh perbuatan Saudara Kui Lun Eng, akan tetapi karena pihak nyonya rumah sudah mengadakan peraturan, saya tidak berani melanggar."

   Ketika hio sudah dinyalakan, Lie Siang Sun lalu mulai bergerak begitu Syanti Dewi mempersilakan. Dan terjadilah kejar-kejaran yang amat menarik hati.

   Kini, Lie Siang Sun berusaha menangkap lengan atau ujung baju nona itu, dengan gerakan silat yang amat indah, dengan geseran-geseran kaki yang tegap dan cepat sekali, namun Syanti Dewi juga bergerak, sedemikian cepatnya sehingga tubuh yang ramping itu mula-mula nampak seperti menjadi banyak, dan kemudian, ketika Pendekar Budiman mengejar semakin cepat, tubuh Syanti Dewi lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang berkelebatan ke sana kemari. Memang menarik sekali pertunjukan ini sehingga semua orang memandang dengan ternganga dan kadang-kadang terdengar seruan-seruan kagum kalau kedua orang itu mempergunakan gerakan yang indah, seperti meloncat dan berjungkir balik ke atas dan sebagainya. Namun, dalam pandang mata Tek Hoat, juga beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi,

   Maklumlah mereka ini bahwa Sang Pendekar Budiman itu ternyata tidak benar-benar hendak menangkap Syanti Dewi, bahkan selalu menjaga agar jangan sampai mereka bersentuhan, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa Syanti Dewi akan dapat tertangkap kalau dia menghendaki. Tidak, wanita itu memiliki gin-kang yang jauh lebih tinggi daripada Pendekar Budiman, sehingga andaikata Lie Siang Sun mengejar dengan sungguh-sungguh sekalipun, dia tetap saja tidak akan mampu berhasil. Betapapun juga, melihat betapa Lie Siang Sun tidak benar-benar berusaha untuk menangkap Syanti Dewi, mereka yang dapat mengikuti gerakan mereka itu, juga Wan Tek Hoat, merasa kagum. Akan tetapi Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan hatinya terasa kesal bukan main. Tahulah dia bahwa Syanti Dewi jelas menolak semua calon itu!

   "Ah, dia akan gagal pula...., Pangeran sungguh hamba tidak mengerti sikap Adik Syanti...."

   Keluhnya. Sang Pangeran mengerti dan dia tersenyum. Dia tahu bahwa Syanti Dewi memang tidak suka dijodohkan dengan siapa pun. Wanita itu terlalu setia kepada pria yang masih dicintanya sampai saat itu. Karena melihat kenyataan bahwa benar-benar Syanti Dewi tidak mau memilih seorang pun di antara empat calon yang baik itu, terpaksa dia harus turun tangan seperti yang telah dijanjikan kepada Syanti Dewi.

   "Kalau begitu, biarlah aku menjadi calon ke lima, Ouw-toanio."

   Seketika wajah itu berseri dan Sang Pangeran melihat betapa masih cantik jelitanya wanita ini dan dia merasa kagum. Ouw Yan Hui memandang Sang Pangeran dengan wajah berseri-seri! Kalau Pangeran itu mau menjadi calon, tentu Syanti Dewi tidak akan berani menolak! Wajahnya menjadi berseri-seri dan dia memandang dengan senyum di bibirnya, hal yang jarang terjadi, ke arah Syanti Dewi yang masih bergerak cepat dikejar oleh Lie Siang Sun.Setelah pembantu mengumumkan bahwa dupa yang menyala itu telah habis, Lie Siang Sun menghentikan gerakannya, menjura kepada Syanti Dewi dan berkata,

   "Ginkang dari Nona sungguh amat mengagumkan sekali. Aku Lie Siang Sun mengaku kalah dan maaf."

   "Harap maafkan aku, Lie Siang Sun Enghiong!"

   Kata Syanti Dewi dengan suara mengandung penyesalan karena betapa pun juga, dia mengerti bahwa pendekar ini tadi tidak berusaha sungguh-sungguh untuk menyentuhnya. Kalau saja hatinya mau mendekati pria lain, agaknya pendekar inilah yang patut untuk menjadi jodohnya. Tiba-tiba terdengar suara Ouw Yan Hui yang sudah bangkit berdiri dan suara itu kini terdengar amat nyaring dan mengandung kegembiraan, tidak seperti tadi,

   "Pengumuman penting! Harap Cu-wi Yang Mulia ketahui bahwa calon jodoh untuk adik kami Syanti Dewi ditambah dengan seorang lagi, yaitu bukan lain adalah Yang Mulia Pangeran Kian Liong sendiri!"

   Para tamu tadinya sudah merasa gembira sekali melihat betapa empat orang calon itu gagal dan tidak ada yang terpilih. Hal itu berarti membuka kesempatan baru bagi mereka, karena tentu akan diadakan pemilihan calon baru lagi. Akan tetapi, mendengar bahwa kini Sang Pangeran Mahkota maju sebagai calon, tentu saja semangat mereka mengempis dan mengendur, tubuh menjadi lemas karena mana mungkin mereka dapat bersaing dengan putera mahkota, Pangeran yang merupakan orang yang amat besar kedudukan dan kekuasaannya?

   "Dan sekarang dipersilakan kepada Yang Mulia Pangeran untuk maju dan mencoba untuk menangkap Syanti Dewi"

   Demikian Ouw Yan Hui mengumumkan pula. Pembantu wanita sudah pula menyalakan dupa, akan tetapi sesungguhnya hal ini sama sekali tidak perlu. Syanti Dewi memandang kepada Pangeran itu yang telah bangkit dan melangkah tenang menghampirinya, dengan pandang mata berterima kasih karena dia tahu bahwa perbuatan pangeran ini hanya untuk menolongnya, sesuai dengan percakapan mereka malam tadi.

   "Sudah siapkah engkau?"

   Sang Pangeran bertanya. Syanti Dewi mengangguk.

   "Silakan, Pangeran."

   Pangeran Kian Liong tersenyum dan melangkah maju menangkap lengan Syanti Dewi. Wanita itu mengelak dengan langkah mundur sambil tersenyum pula.

   Sang Pangeran terus mengejar dan setelah berusaha menangkap sampal lima kali, barulah dia berhasil memegang pergelangan tangan Syanti Dewi. Melihat ini, Ouw Yan Hui girang bukan main. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Syanti Dewi akan membiarkan dirinya tertangkap oleh Pangeran itu. Saking girangnya, wanita pemilik Pulau Kim-coa-to ini sampai bangkit berdiri. Dan terdengarlah sorak-sorai para tamu melihat betapa Sang Pangeran berhasil menangkap pergelangan tangan Syanti Dewi dengan demikian mudahnya. Jelaslah bagi semua orang bahwa memang Sang Puteri itu sengaja membiarkan lengannya ditangkap, kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin Sang Pangeran akan mampu menangkapnya. Sang Pangeran berdiri sambil menggandeng tangan Syanti Dewi, wajahnya berseri, sedangkan wajah Syanti Dewi menjadi kemerahan, mukanya menunduk.

   Wan Tek Hoat juga mengikuti semua peristiwa ini dan melihat gerak-gerik Syanti Dewi, dia pun tahulah bahwa kekasihnya itu, sengaja membiarkan lengannya ditangkap Pangeran, atau lebih jelas lagi, Syanti Dewi telah memilih Sang Pangeran untuk menjadi calon jodohnya! Pilihan yang tepat, pikirnya dengan hati perih. Pemuda manakah yang lebih hebat daripada seorang Pangeran Mahkota, apalagi Pangeran Kian Liong yang terkenal akan kebijaksanaannya itu? Hanya sedikit saja hal yang membuat hatinya tidak enak dengan pilihan itu, ialah melihat kenyataan bahwa Pangeran itu masih muda sekali, tentu kurang lebih baru dua puluh tahun usianya. Padahal, dia tahu benar bahwa usia Syanti Dewi tentu antara tiga puluh enam tahun, sungguhpun wanita itu tidak nampak lebih tua daripada Sang Pangeran.

   Sudah, habislah riwayatnya dengan Syanti Dewi, pikirnya dengan lesu. Dia harus pergi cepat-cepat dari tempat itu, jangan sampai mengganggu kebahagiaan Syanti Dewi. Baru sekarang dia tahu bahwa pada dasar hatinya, dia ingin melihat Syanti Dewi berbahagia dan kini melihat betapa Syanti Dewi bergandeng tangan dengan wajah kemerahan dengan Sang Pangeran, dia tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka dan ingin pergi secepatnya tanpa ada yang melihatnya. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan, juga semua tamu melihat ini dan tahu-tahu di atas panggung di tengah ruangan itu telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh keriput dan pucat sekali, kepalanya botak dan sikapnya garang.

   "Sungguh tidak adil sekali!"

   Laki-laki yang usianya tentu sudah sedikitnya enam puluh lima tahun itu berseru, suaranya lantang dan penuh wibawa, kakinya yang bersepatu baja itu dibanting keras dan lantai panggung itu pun melesak sampai beberapa senti meter dalamnya! Melihat ada orang yang berani mengacau, Ouw Yan Hui yang masih berdiri itu berseru,

   "Siapa berani lantang menentang keputusan? Apanya yang tidak adil?"

   Kakek itu tertawa, suara ketawanya, bergema di seluruh ruangan.

   "Ha-ha-ha, mana bisa dibilang adil kalau kemenangan ini disengaja dan dibuat?"

   "Adik kami Syanti Dewi berhak memilih siapapun juga menjadi jodohnya!"

   Kembali Ouw Yan Hui berseru sambil memandang wajah pucat itu dengan penuh perhatian karena dia tidak mengenal siapa adanya kakek ini.

   "Ha-ha-ha! Kalau memang hendak memilih Pangeran, mengapa pakai mengadakan sayembara segala macam? Sayembara menangkap Nona ini berarti menguji ketangkasan dan ilmu kepandaian, akan tetapi ternyata Nona ini sengaja menyerahkan diri kepada Pangeran.

   Bukankah itu berarti menghina orang-orang yang menghargai ilmu silat? Urusan mengadu kepandaian adalah urusan dunia kang-ouw, mengapa sekarang Pangeran yang berkedudukan tinggi, seorang Pangeran Mahkota malah hendak mencampuri dan memperlihatkan kekuasaan menangkan seorang dara? Bukankah hal itu berarti Pangeran tidak memandang mata dan menghina para orang kang-ouw pada umumnya? Apakah orang-orang kang-ouw hendak dijadikan semacam pelawak-pelawak belaka? Hayo, hendak kucoba sampai di mana kesigapan Puteri Syanti Dewi ini, boleh nyalakan dupa dan aku akan menangkapnya!"

   Semua orang kang-ouw terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang berani bersikap begini kasar terhadap Pangeran Mahkota? Mereka sudah melihat betapa para pasukan pengawal sudah maju mengepung tempat itu untuk melindungi Sang Pangeran.

   Syanti Dewi maklum bahwa ada orang yang hendak mengacau, maka dia pun lalu menarik Sang Pangeran untuk mundur dan mengajak Sang Pangeran duduk kembali di tempatnya agar lebih mudah dilindungi oleh para pasukan pengawal apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia sendiri sudah memandang kepada kakek tinggi besar itu dengan pandang mata marah. Demikian pula Ouw Yan Hui sudah marah sekali. Akan tetapi sebelum kedua orang wanita ini sempat mengeluarkan kata-kata atau melakukan sesuatu, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan Pendekar Budiman telah berada di atas panggung berhadapan dengan kakek raksasa itu. Pendekar Budiman menjura dengan hormat, diam-diam merasa heran mengapa dia tidak mengenal kakek ini, padahal jarang ada tokoh kang-ouw yang tidak dikenalnya.

   "Sobat, harap engkau sudi memandang mukaku dan tidak menimbulkan keributan di tempat ini. Puteri Syanti Dewi telah memilih Pangeran Yang Mulia sebagai jodohnya, bukankah hal itu harus disambut dengan gembira oleh kita semua?"

   "Ha-ha-ha, engkau percuma saja berjuluk Pendekar Budiman, sebaiknya diganti saja dengan julukan Pendekar Pengecut! Engkau memasuki sayembara sebagai calon, akan tetapi engkau tidak sungguh-sungguh ketika mengejar Sang Puteri tadi."

   Pendekar Budiman Lie Siang Kun diam-diam terkejut. Orang ini dapat mengetahui hal itu menanda-kan bahwa kepandaiannya tinggi dan matanya, awas benar.

   "Sobat hal itu merupakan urusan pribadiku sendiri yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Sudahlah, harap engkau suka memandang kepadaku, dan mengingat bahwa tidak baik bagimu untuk membikin kacau di tempat ini, di mana hadir pula Paduka Yang Mulia Pangeran Mahkota."

   "Tidak, bagaimanapun juga, Syanti Dewi harus maju dan akan coba kutangkap selama setengah dupa bernyala-nyala. Ini adalah pertemuan orang-orang gagah, bukan pertemuan badut-badut!"

   "Orang tua, ini adalah tempatku dan aku tidak pernah mengundangmu datang! Apakah engkau sengaja hendak mengajak berkelahi?"

   Tiba-tiba Ouw Yan Hui berseru dari tempat duduknya.

   "Ha-ha-ha, orang-orang kang-ouw kalau sudah berkumpul, tentu mengadakan pertandingan ilmu silat. Ini baru menggembirakan dan gagah, bukan membiarkan kita menjadi badut-badut yang dipermainkan oleh Sang Pangeran hanya untuk menjilat. Pangeran tidak menghargai kita, bahkan memandang rendah dan menghina, hal ini tidak boleh dibiarkan saja. Kita orang-orang kang-ouw mempunyai harga diri. Hayo, kalau Sang Puteri tidak mau memenuhi syarat yang diajukan tadi, mari kita mengadakan pertandingan silat, siapa pun boleh maju melawanku!"

   "Sobat engkau sungguh terlalu!"

   Pendekar Budiman berseru.

   "Sikapmu sama sekali tidak patut menjadi pendekar kang-ouw, melainkan lebih tepat sebagai seorang pengacau jahat. Nah, kalau engkau ingin berkelahi, akulah lawanmu."

   "Bagus! Aku sudah lama mendengar nama Pendekar Budiman, majulah!"

   Tantang kakek itu dengan sikap memandang rendah sekali.

   "Lihat seranganku!"

   Pendekar Budiman sudah menerjang dengan sungguh-sungguh karena dia tahu bahwa kakek ini sengaja hendak mengacau dan menentang Pangeran.

   Dia sudah mendengar akan usaha-usaha jahat mereka yang telah menculik Pangeran sebelum Pangeran itu tiba di Pulau Kim-coa-to, maka dia merasa berkewajiban untuk melindungi Pangeran, juga untuk membela Syanti Dewi yang terancam oleh kekerasan dan pengacauan orang tua tak terkenal ini. Akan tetapi ketika Pendekar Budiman sudah menerjang maju, dia terkejut bukan main. Kakek itu sama sekali tidak mengelak, dan baru setelah tamparan pendekar itu datang dekat, kakek ini menggerakkan tangan menangkis dan akibatnya tubuh pendekar itu terpelanting! Bukan main kuatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam tangkisan lengan itu. Lie Siang Sun sudah meloncat bangun dan dia memandang tajam. Orang ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti, akan tetapi mengapa menentang Pangeran Mahkota?

   Dia mengingat-ingat para tokoh kaum sesat, akan tetapi tetap saja tidak mengenal wajah yang pucat itu. Karena dia harus melindungi Pangeran dan juga harus membela Syanti Dewi, maka dia lalu menerjang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi segera dia mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat kakek yang luar biasa ini sehingga belum, sampai tiga puluh jurus dia sudah kena ditendang terpelanting sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di situ dan merasa penasaran, sudah maju berturut-turut, namun empat lima orang yang maju itu satu demi satu dirobohkan dengan mudah oleh kakek pucat itu. Sambil tertawa-tawa kakek itu memenantang.

   "Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak mencoba kepandai-an?"

   Semua orang menjadi gentar dan melihat betapa kakek itu dengan mudah menjatuhkan para lawan itu, tanpa membunuhnya, tidak ada yang lebih dari dua puluh jurus, tahulah mereka bahwa kakek ini sungguh merupakan seorang yang lihai sekali. Melihat ini Ouw Yan Hui sebagai nyonya rumah merasa malu dan terhina sekali. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan sekali berkelebat, tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan kakek itu.

   "Ha-ha-ha, tidak bohonglah berita yang mengatakan bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, penghuni Pulau Kim-coa-to, memiliki gin-kang yang amat hebat. Nah, ini namanya baru lawan yang boleh ditandingi. Majulah, Bu-eng-kwi, hendak kulihat sampai di mana kehebatanmu!"

   "Pengacau jahat, menggelindinglah!"

   Bentak Ouw Yan Hui dan wanita ini sudah menerjang dengan amat cepatnya. Gerakannya memang luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jari tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan yang botak itu, sedangkan dua jari tangan kanan sudah menusuk ke arah kedua mata lawan! Hebat sekali serangan ini, dan kakek itu pun mengeluarkan suara kaget dan cepat melempar tubuh ke belakang.

   "Hebat, gin-kang yang hebat!"

   Kakek itu memuji, akan tetapi Ouw Yan Hui sudah menyerang lagi dengan lebih cepat dan lebih ganas karena dia merasa penasaran. Namun, kakek itu dapat menangkis dan balas menyerang. Terjadilah serang-menyerang, pertandingan yang amat seru, jauh lebih seru dibandingkan dengan yang sudah-sudah tadi.

   Wanita itu memang memiliki gin-kang yang hebat, sukar dicari bandingnya di dunia kang-ouw. Tubuhnya seperti seekor burung saja yang beterbangan dan berkelebatan ketika mengelak atau balas menyerang. Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki ilmu silat yang amat hebat, dan lebih lagi, dalam hal tenaga sin-kang, Ouw Yan Hui kalah jauh maka biarpun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, tetap saja setelah lewat tiga puluh jurus, dia kena ditampar pundaknya sampai terlempar dan terguling-gullng. Melihat ini, Syanti Dewi marah sekali dan sambil mengeluarkan lengking panjang dia telah meloncat dari tempat duduknya seperti terbang saja dan tahu-tahu dari atas dia sudah menyambar dengan pukulan tangan terbuka ke arah kepala kakek itu.

   "Plakk!"

   Pukulan itu kena ditangkis dan tubuh Syanti Dewi terlempar! Untung dia dapat berjungkir balik dengan cepat sehingga tidak jatuh terbanting. Pangeran sudah memberi isyarat kepada para pengawal untuk maju membantu Syanti Dewi, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring,

   "Sam-ok, engkau sungguh keterlaluan!"

   Nampaklah kini seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan dan bermuka penuh cambang dan kumis meloncat ke tengah panggung berhadapan dengan kakek tinggi besar. Semua orang memandang, juga Syanti Dewi. Akan tetapi begitu Syanti Dewi memandang wajah tertutup brewok itu, seketika wajahnya menjadi pucat sekali, kedua matanya terbelalak, dan tiba-tiba dia mengulurkan kedua tangan ke arah pengemis itu, mulutnya mengeluarkan jerit melengking dan tubuhnya roboh terguling! Ketika Ouw Yan Hui cepat merangkulnya, ternyata Sang Puteri itu telah jatuh pingsan! Sejenak Tek Hoat memandang ke arah Syanti Dewi, dan ketika melihat betapa Syanti Dewi dipondong masuk oleh Ouw Yan Hui, dia pun lalu menghadapi lagi kakek raksasa itu.

   "Sam-ok, tidak perlu engkau menyembunyikan lagi mukamu di belakang kedok, karena aku telah mengenalmu! Para tamu sekalian, ketahuilah bahwa kakek yang menutupi mukanya dengan kedok kulit tipis ini bukan lain adalah, Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, atau juga Ban Hwa Sengjin, bekas koksu dari Negara Nepal! Dia mempunyai niat tidak baik terhadap Sang Pangeran, bahkan inilah orangnya yang mengatur segala pencegatan dan penculikan terhadap Pangeran!"

   Setelah berkata demikian, dengan cepat Tek Hoat sudah menyerang dengan pukulan maut ke arah leher Sam-ok. Kakek itu yang merasa bahwa tidak perlu menyembunyikan dirinya lagi, tertawa dan sekali renggut saja kedok kulit tipis yang menutupi mukanya terbuka dan nampaklah wajah aselinya. Dia masih sempat tertawa-tawa, akan tetapi segera dia harus mencurahkan perhatiannya karena sekali ini dia menghadapi Si Jari Maut, seorang yang amat lihai, sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan lawan-lawannya yang tadi. Maka dia pun mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya. Sementara itu, ketika para tamu mendengar bahwa kakek itu adalah Sam-ok atau bekas Koksu Nepal yang hendak mencelakai Pangeran Mahkota, mereka menjadi marah.

   "Tangkap musuh negara!"

   "Bunuh penjahat itu!"

   Bukan hanya orang-orang kang-ouw, juga kini Souw Kee An telah menggerakkan pasukannya untuk mengepung dan mulai bergerak, sedangkan para anak buah Kim-coa-to juga digerakkan oleh Ouw Yan Hui yang merasa terkejut bukan main mendengar bahwa kakek itu adalah orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok! Dan pada saat itu muncullah berturut-turut empat orang yang amat mengejutkan semua orang.

   Mereka itu bukan lain adalah Toa-ok Su Lo Ti, kakek bermuka gorila, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, nenek yang berkedok tengkorak, Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio cebol dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu yang tingginya dua setengah meter itu. Kini lengkaplah sudah Im-kan Ngo-ok muncul di situ setelah Tek Hoat membuka kedok Sam-ok tadi! Melihat ini, para tamu, tentu saja mereka yang mempunyai kepandaian, sudah menerjang ke depan, membantu para pasukan pengawal dan para anak buah Kim-coa-to, mengeroyok lima orang datuk kaum sesat itu. Akan tetapi, lima datuk itu bukanlah orang-orang sembarangan sehingga dalam waktu singkat saja sudah banyak perajurit pengawal, anak buah Kim-coa-to dan orang-orang kang-ouw yang roboh terjungkal. Hanya Wan Tek Hoat dan Souw Kee An, dibantu oleh para perajurit pengawal, yang masih terus melawan.

   Tek Hoat masih bertanding dengan amat hebatnya melawan Sam-ok, keduanya tidak mau mengalah dan mengeluarkan seluruh kepandaian mereka sehingga bayangan mereka seolah-olah telah menjadi satu. Akan tetapi setelah Ji-ok membiarkan tiga orang saudaranya menghadapi pengeroyokan para pengawal dan dia sendiri membantu Sam-ok, Tek Hoat menjadi terdesak hebat. Memang hebat sekali sepak terjang Tek Hoat. Biarpun dia menghadapi orang ke dua dan ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, dia masih mampu melindungi dirinya, bahkan membalas dengan tamparan-tamparannya yang amat dahsyat. Akan tetapi ketika Toa-ok maju pula dengan pukulan yang mendatangkan angin amat kuatnya, Tek Hoat menjadi repot sekali dan akhirnya sebuah pukulan yang amat keras dari tangan kiri Sam-ok mengenai punggungnya.

   "Ughhh....!"

   Tek Hoat muntahkan darah segar, akan tetapi dia masih sigap dan cepat melompat ke belakang, kemudian mengamuk lagi tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang telah terluka di sebelah dalam oleh hantaman telapak tangan Sam-ok tadi. Kegagahannya ini membuat para lawannya menjadi kagum juga.

   "Jari Maut, jangan khawatir, kami datang membantumu!"

   Tiba-tiba terdengar suara halus namun mendatangkan getaran amat kuatnya, dan nampaklah berkelebatnya bayangan dua orang ke tempat itu. Tek Hoat girang sekali.

   "Naga Sakti Gurun Pasir! Bagus engkau datang! Dan Ceng Ceng! Bagus, kau bantulah saudaramu yang sudah kepayahan ini!"

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Yang datang itu adalah seorang laki-laki yang perkasa yang buntung lengan kirinya, berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian sederhana dan memiliki sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, bersama seorang wanita cantik sekali biarpun usianya sudah hampir empat puluh tahun, dan masih lincah sekali. Mereka ini adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isteri yang menjadi penghuni Istana Gurun Pasir, ayah bunda dari Jenderal Muda Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu!

   "Huh, baru dikeroyok oleh lima si-luman kecil itu saja engkau sudah kerepotan, Tek Hoat!"

   Nyonya itu mengejek pengemis yang sedang repot didesak tiga orang lawannya itu.

   "Dan engkau kini telah menjadi jembel, ganti saja julukanmu menjadi Jembel Maut! Hi-hi-hik!"

   "Wah, engkau masih cerewet seperti dulu juga, Ceng Ceng. Bantulah, mengapa cerewet?"

   Tek Hoat mencela.

   Memang dua orang ini sejak dulu suka ribut saja kalau jumpa, sungguhpun di dalam hati mereka terdapat kasih sayang yang besar karena mereka itu adalah saudara seayah berlainan ibu, bernasib sama pula karena mereka dilahirkan sebagai anak-anak haram, ibu mereka telah menjadi korban perkosaan ayah mereka (baca cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI). Bahkan di waktu muda, keduanya hampir saling jatuh cinta ketika mereka belum mengetahui bahwa mereka itu sesungguhnya seayah. Ceng Ceng masih mengejek, akan tetapi sambil mengejek dia sudah menerjang Ji-ok, sedangkan suaminya, Si Naga Gurun Pasir yang pendiam, telah menerjang Toa-ok. Sekali terjang saja, Toa-ok yang mencoba menangkis itu telah terjengkang! Bukan main kagetnya hati Im-kan Ngo-ok ketika melihat munculnya pria berlengan satu yang amat sakti ini.

   Mereka mengenal siapa adanya Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, maka mereka kini tahu bahwa kini keadaan menjadi berbalik dan mereka terancam bahaya. Maka, setelah melawan beberapa lamanya dan mereka terdesak hebat, Sam-ok yang merupakan otak mereka biarpun dia itu orang ke tiga, bersuit nyaring dan lima orang itu lalu berlompatan jauh dan melarikan diri. Tek Hoat terhuyung-huyung dan terguling, pingsan. Pukulan yang diterimanya dari Sam-ok tadi amat hebat. Melihat ini Ceng Ceng cepat menubruknya dan memeriksa. Suaminya juga mendekati dan tidak mengejar lima orang datuk sesat itu yang segera melarikan diri ke perahu mereka dan cepat berlayar pergi meninggalkan pulau yang kini terlalu berbahaya bagi mereka itu.

   "Bagaimana dia?"

   Kao Kok Cu, Si Nsga Sakti bertanya kepada isterinya sambil memeriksa.

   "Agaknya dia mengalami luka di dalam tubuhnya. Lihat ini punggungnya."

   Kata Wan Ceng. Punggung yang telah dibuka bajunya itu nampak kebiruan. Kao Kok Cu lalu menempelkan telapak tangannya untuk mengobati Tek Hoat. Sementara itu, Pangeran Mahkota yang sejak tadi tenang-tenang saja menonton pertempuran, kini menghampiri dengan wajah girang.

   "Wah, untung ada Paman Kao dan Bibi yang datang!"

   Katanya. Melihat Pangeran yang mereka kenal baik ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng menjura dan Kao Kok Cu lalu melanjutkan pengobatannya. Sementara itu, Wan Ceng bercerita kepada Pangeran.

   "Kami bertemu dengan Cin Liong. Dia masih sibuk setelah membuat pembersihan di barat dan dia mengatakan bahwa Paduka berada dalam bahaya, dan dia minta kepada kami untuk menyusul ke Pulau Kim-coa-to ini. Kami terlambat, akan tetapi untung ada saudara hamba Si Jari Maut ini yang menghadapi Im-kan Ngo-ok yang berbahaya."

   "Hemm, jadi Paman pengemis itu adalah saudara Bibi, ya? Dan dia itu Si Jari Maut? Pantas demikian lihainya. Dia pernah menyelamatkan aku dari para perampok pula. Ah, tak kusangka bahwa dialah orangnya.... pantas Enci Syanti Dewi pingsan seketika setelah tadi melihatnya."

   "Syanti Dewi? Di mana dia sekarang?"

   Tanya Wan Ceng dengan girang. Memang dia sudah mendengar bahwa Syanti Dewi berada di pulau itu, maka dia bersama suaminya yang menyusul Sang Pangeran itu sekalian hendak menjenguk Puteri Bhutan itu yang menjadi saudara angkatnya.

   "Dia tadi pingsan ketika melihat Si Jari Maut dan digotong ke dalam oleh Ouw-toanio."

   Mendengar ini, Wan Ceng lalu bangkit berdiri dan setelah melihat bahwa Tek Hoat tidak berbahaya keadaannya, dia lalu lari memasuki gedung untuk mencari Syanti Dewi. Ternyata Syanti Dewi telah mengalami kejutan yang menggoncangkan batinnya. Melihat munculnya Tek Hoat dalam keadaan seperti jembel, dia terkejut, terheran, dan terharu sehingga dia jatuh pingsan. Melihat Ceng Ceng memasuki kamar itu, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya. Akan tetapi Ceng Ceng berkata dengan suara berwibawa.

   "Minggirlah, biar kuperiksa Enci Syanti."

   Akan tetapi Ouw Yan Hui masih memandang dengan curiga.

   "Aku adalah Candra Dewi, saudara angkatnya."

   Ceng Ceng memperkenalkan diri. Mendengar ini, barulah Ouw Yan Hui bangkit. Kiranya inilah orang yang sering dibicarakan Syanti Dewi, wanita yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti dari Gurun Pasir itu! Ceng Ceng lalu memeriksa keadaan Syanti Dewi. Tahulah dia bahwa saudara angkatnya itu mengalami pukulan batin yang mengguncangkan jantungnya dan perlu beristirahat.

   "Dia tidak berbahaya akan tetapi perlu beristirahat, biarlah saya menjaganya di sini."

   Katanya lagi kepada Ouw Yan Hui.

   Ouw Yan Hui mengangguk, lalu dia keluar. Sebagai nyonya rumah, tentu saja dia harus mengatur keadaan di luar yang tadi menjadi kacau oleh Im-kan Ngo-ok. Di ruangan itu dia melihat Pangeran bersama Naga Sakti Gurun Pasir berlutut di dekat tubuh Si Jari Maut yang masih pingsan, sedangkan Souw-ciangkun repot mengurus anak buahnya yang luka-luka. Ouw Yan Hui lalu mengepalai anak buahnya untuk membersihkan tempat, mengangkuti yang luka ke belakang dan mempersilakan para tamu untuk duduk kembali dan memerintahkan para pembantunya menyuguhkan minuman baru. Sementara itu, Tek Hoat siuman dari pingsannya. Begitu membuka mata, dia cepat bangkit duduk dan melihat di situ terdapat Kao Kok Cu dan Pangeran, pandang matanya liar mencari-cari ke kanan kiri.

   "Mana dia....? Ke mana dia....?"

   "Engkau mencari siapa?"

   Kao Kok Cu bertanya karena ketika pendekar ini tadi datang bersama isterinya, dia tidak melihat Syanti Dewi. Akan tetapi Pangeran Kian Liong mengerti. Setelah dia mendengar bahwa pendekar yang seperti pengemis ini adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka tahulah dia mengapa Syanti Dewi pingsan ketika melihatnya. Dia tahu bahwa inilah pria yang diceritakan oleh Syanti Dewi kepadanya, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicinta dan masih dicinta oleh Sang Puteri itu. Maka Pangeran pun tersenyum.

   "Paman, engkau mencari Syanti Dewi? Dia berada di dalam gedung, engkau susullah dia ke sana"

   Dia menuding ke arah gedung.

   "Akan tetapi, keadaanmu seperti ini, Paman. Sebaiknya kalau engkau berganti pakaian lebih dulu...., tidak baik engkau bertemu dengannya dalam pakaian seperti ini...."

   Wan Tek Hoat bangkit berdiri dan menggeleng kepadanya, memandang kepada Pangeran itu dengan sinar mata berterima kasih.

   "Biarlah, Pangeran. Biar hamba menemuinya seperti ini, biar dia melihat keadaan hamba yang sebenarnya. Setelah berkata demikian, dia pun berjalan cepat memasuki gedung. Melihat itu, Kao Kok Cu menggeleng kepala dan berkata, tidak langsung ditu-jukan kepada Sang Pangeran, seperti bicara kepada diri sendiri,

   "Sungguh dia itu menyiksa diri sendiri sampai sedemikian rupa...."

   "Akan tetapi dia tidak menderita seorang diri, juga Enci Syanti Dewi menderita batin hebat sekali karena dia. Cinta asmara antara dua orang itu memang Sungguh amat luar biasa sekali."

   Kata Sang Pangeran. Pendekar berlengan satu itu memandang kepada Sang Pangeran dan tersenyum, sinar matanya yang mencorong itu menatap kagum. Pangeran ini masih begini muda, akan tetapi nampaknya me-miliki kebijaksanaan yang besar dan pandangannya amat mendalam.

   "Jadi Paduka telah mengetahui apa yang terjadi di antara mereka berdua?"

   Pangeran itu mengangguk.

   "Enci Syanti telah bercerita kepadaku dan karena Si Jari Maut itulah maka sampai sekarang Enci Syanti tidak mau menyerahkan hatinya kepada pria lain sehingga tadi terpaksa aku turun tangan untuk membantunya."

   Dengan singkat Sang Pangeran lalu bercerita tentang sayembara "menangkap"

   Syanti Dewi tadi dan dia maju untuk membantu Sang Dewi keluar dari pulau itu tanpa menyinggung perasaan Ouw Yan Hui yang sudah menanam banyak sekali budi terhadap Syanti Dewi. Mendengar penuturan Pangeran itu, Kao Kok Cu menarik napas panjang. Dia termenung sebentar, kemudian berkata lirih.

   "Mereka itu saling mencinta dan patut dipuji kesetiaan mereka. Mudah-mudahan saja pertemuan sekali ini akan membuat mereka bersatu dan takkan terpisah kembali."

   Mereka berhenti bicara ketika Ouw Yan Hui datang menghampiri. Wanita ini menjura kepada Kao Kok Cu dan berkata,

   "Harap maafkan bahwa baru sekarang saya mengetahui bahwa Taihiap adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya amat terkenal itu. Dan saya menghaturkan terima kasih atas bantuan Taihiap dan isteri Taihiap yang telah mengusir Im-kan Ngo-ok yang datang mengacau di sini. Adik saya, Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang keluarga Taihiap, terutama tentang isteri Taihiap."

   Melihat sikap yang ramah ini, Kao Kok Cu balas menjura dan berkata,

   "Memang, Enci Syanti Dewi adalah kakak angkat dari isteri saya."

   Mereka lalu dipersilakan duduk di tempat kehormatan dan pesta yang tadi terganggu itu dilanjutkan, biarpun kini para tamu saling bicara sendiri, membicarakan peristiwa yang baru terjadi. Kemunculan Im-kan Ngo-ok itu saja sudah mengejutkan dan mengherankan semua orang karena sebagian besar dari mereka baru sekali itu berkesempatan melihat datuk-datuk kaum sesat yang namanya sudah sering mereka dengar itu.

   Apalagi kemudian muncul Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya seperti dongeng, sebagai penghuni Istana Gurun Pasir yang tidak kalah terkenalnya dengan nama-nama seperti Istana Pulau Es! Dan menyaksikan betapa Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya tadi menghadapi Im-kan Ngo-ok, bersama Si Jari Maut yang juga telah mereka dengar namanya membuat para tokoh kang-ouw itu kagum bukan main. Tak mereka sangka bahwa di Pulau Kim-coa-to itu mereka akan menyaksikan perkelahian tingkat atas yang demikian hebatnya. Sementara itu, dengan jantung berdebar dan kedua kaki gemetar, Tek Hoat memasuki ruangan di mana Syanti Dewi masih rebah ditunggu oleh Wan Ceng. Dia ingin berjumpa dengan Syanti Dewi, sebentar saja, untuk minta ampun atas semua dosa dan kesalahannya. Dia tidak ingin mengganggu Syanti Dewi, ingin membiarkan wanita itu berbahagia bersama Pangeran,

   Bahkan tadinya dia sudah hendak meninggalkan tempat itu tanpa diketahui seorang pun. Akan tetapi, melihat Syanti Dewi terancam bahaya, tentu saja tidak mungkin mendiamkan begitu saja dan ketika dia muncul dan melihat wanita itu roboh pingsan, hatinya seperti diremas-remas rasanya. Kini tak mungkin dia pergi tanpa menengok dulu bagaimana keadaan wanita itu, dan minta ampun. Kalau Syanti Dewi sudah mengampuni, barulah dia akan hidup dengan hati bebas daripada penyesalan. Pengampunan dari Syanti Dewi akan merupakan dorongan hidup baru baginya, dan kebahagiaan Syanti Dewi, biarpun di samping pria lain, akan membuat dia rela untuk menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan bebas dan dia tentu akan merasa seperti hidup kembali, tidak seperti sekarang seolah-olah terbelenggu oleh rasa penyesalan dan kedukaan!

   "Syanti....!"

   Dia memanggil lirih ketika melihat wanita itu masih rebah telentang di atas pembaringan dengan muka pucat dan tidak bergerak seperti telah mati, sedangkan Ceng Ceng duduk di atas bangku dekat pembaringan.

   "Ssttt....!"

   Wan Ceng menengok dan menyentuh bibirnya.

   "Biarkan dia beristirahat, dia mengalami guncangan batin yang cukup parah."

   "Syanti....!"

   Tek Hoat mengeluh dan dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, menatap wajah itu dengan penuh kerinduan, penuh keharuan dan penuh penyesalan mengapa dia sampai menyiksa hati seorang dara seperti ini! Dua titik air mata membasahi bulu matanya dan melihat ini, Wan Ceng menjadi terharu. Dipegangnya tangan saudara tirinya itu.

   "Tek Hoat, mengapa engkau sampai menjadi begini? Bukankah dahulu engkau dan Syanti Dewi berada di Bhutan, engkau malah menjadi panglima dan kalian akan kawin....?"

   Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Ceng Ceng, aku memang bodoh, aku seorang laki-laki yang tidak berharga sama sekali, apalagi untuk menjadi suaminya, bahkan men-dekatinya pun aku terlalu kotor. Akan tetapi.... aku tak mungkin kuat untuk hidup lebih lama lagi sebelum mendapat pengampunannya.... maka aku datang untuk minta ampun kepadanya...."

   Wan Ceng menatap wajah pengemis itu dan tak dapat menahan runtuhnya air matanya. Dia merasa kasihan sekali kepada saudaranya ini.

   "Tek Hoat...., Tek Hoat, mengapa engkau menyiksa hatimu sampai begini? Mengapa engkau begini sengsara, Saudaraku....?"

   Dia memegang lengan yang tegap kuat itu. Tek Hoat menunduk.

   "Entahlah, mungkin darah yang jahat dari Ayah kita lebih banyak mengalir dalam tubuhku. Biarlah, Ceng Ceng, biarlah aku yang menanggung semua dosa Ayah kita.... kudoakan saja engkau berbahagia.... biarlah aku seorang yang menanggungnya...."

   "Tek Hoat....!"

   Wan Ceng sejenak merangkul pundak itu, kemudian dia bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, sebaiknya membiarkan dua orang itu bertemu dan bicara berdua saja, setelah Syanti Dewi sadar. Akan tetapi Tek Hoat tidak bangkit dari berlututnya. Dia mengambil keputusan untuk terus berlutut sampai menerima pengampunan dari mulut Syanti Dewi! Dia memperhatikan pernapasan Syanti Dewi dan merasa lega bahwa keadaan wanita itu memang tidak lagi mengkhawatirkan, dan agaknya Syanti Dewi da-lam keadaan tidur. Satu jam lebih Tek Hoat berlutut di depan pembaringan dan akhirnya Syanti Dewi bergerak, membuka mata dan mulutnya berbisik,

   "Tek Hoat...., Tek Hoat...."

   Tek Hoat merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Syanti Dewi memanggil-manggil dia!
(Lanjut ke Jilid 28)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28
"Aku.... aku di sini...."

   Katanya dengan suara gemetar dan muka menunduk, tidak berani memandang wanita itu. Syanti Dewi bangkit duduk, matanya terbelalak dan ketika dia melihat pengemis yang berlutut di depan pembaringan itu, dia mengeluh,

   "Tek Hoat....!"

   Isaknya membuat dia sesenggukan dan tidak kuasa mengeluarkan suara lagi. Setiap dia memandang keadaan pria itu, dia mengguguk menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya dan air matanya mengalir turun melalui celah-celah jari-jari tangannya.

   "Syanti.... Syanti Dewi.... ampunkanlah aku.... aku datang hanya untuk minta ampun kepadamu, kau ampunkanlah aku, Syanti.... agar aku dapat melanjutkan hidup ini...."

   

Jodoh Rajawali Eps 56 Jodoh Rajawali Eps 23 Jodoh Rajawali Eps 63

Cari Blog Ini