Jodoh Rajawali 23
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 23
Kakek itu terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa wanita yang diserangnya memiliki sinkang sedemikian dahsyatnya. Tadi, kakek ini hanya mengintai dan menanti kesempatan baik untuk merampas Syanti Dewi. Dia tidak berani sembrono menyerbu ke dalam gua dan hanya menanti saat baik selagi puteri itu keluar sendiri. Munculnya seorang wanita yang memanggil-manggil dari luar gua membuat dia terheran-heran, akan tetapi giranglah hatinya melihat Syanti Dewi benar-benar keluar dari dalam gua dan cepat dia lalu menerjang wanita itu dengan maksud merobohkannya kemudian melarikan Syanti Dewi. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya kctika wanita itu menangkis dengan tenaga yang demikian hebatnya sehingga tubuhnya terlempar ke belakang sampai jauh!
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan Ceng Ceng harus cepat mengelak karena dari dalam gua sudah muncul seorang kakek yang menyerangnya kalang-kabut dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berputaraan. Tahulah dia bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka Ceng Ceng lalu membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya yang ampuh. Terjadilah pertempuran yang amat seru dan dahsyat di depan gua, di dalam cuaca yang remang-remang itu dan mereka berdua lebih mengandalkan ketajaman pendengaran mereka untuk mengikuti gerakan lawan daripada ketajaman pandangan mata yang tentu saja amat berkurang di dalam cuaca remang-remang itu. Syanti Dewi tadi merasa terkejut sekali ketika dia didorong ke pinggir oleh Ceng Ceng, dan dia melihat betapa Ceng Ceng tadi diserang oleh kakek tinggi besar. Kemudian, melihat Ceng Ceng diserang kakek botak dari dalam gua, dia terkejut.
Kakek itu adalah See-thian Hoat-su! Dia segera melangkah maju dan bibirnya telah bergerak untuk berseru agar mereka berhent berkelahi karena mereka bukanlah musuh, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan hitam menyambar. Syanti Dewi berusaha untuk mengelak, akan tetapi tingkat kepandaian silatnya jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Gitananda dan sekali kakek itu menepuk tengkuknya, tubuh Syanti Dewi menjadi lemas dan pingsanlah puteri itu. Gitananda cepat memondongnya dan menyelinap pergi di dalam kegelapan malam. Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su yang sedang bertanding dengan hebat itu sama sekali tidak melihat bahwa Syanti Dewi dirobohkan dan dibawa pergi orang lain. Mereka masih saling serang dengan hebat dan sungguh-sungguh karena mereka mendapatkan kenyataan bahwa lawan masing-masing amat lihai.
"Plak-plakkk!"
Untuk ke sekian kalinya kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan tubuh Ceng Ceng terdorong mundur, akan tetapi See-thian Hoat-su juga merasa betapa tubuhnya tergetar hebat! Dia terkejut sekali, maklum bahwa wanita yang dilawannya memiliki sinkang yang amat mujijat dan kalau pertandingan itu dilanjutkan beberapa kali mengadu tenaga seperti itu, amatlah berbahaya bagi jantungnya yang dapat tergetar dan rusak! Maka dia lalu mulai berkemak-kemik, hendak menggunakan ilmu sihir untuk mengalahkan lawannya. Kalau saja cuaca tidak segelap itu, dengan pengaruh pandang matanya agaknya dengan mudah, dia akan dapat menguasai lawan ini.
Akan tetapi cuaca amat gelap dan dia kini hendak menggunakan sihir, akan tetapi justeru pada saat itu lawannya mendesaknya dengan pukulan-pukulan ampuh sehingga belum beranilah kakek ini membagi tenaganya untuk menggunakan sihir karena sekali saja terkena pukulan wanita itu tanpa dilawan dengan sinkang sepenuhnya, amatlah berbahaya baginya. Sementara itu, Ceng Ceng juga makin terkejut dan heran. Disangkanya bahwa yang menculik Puteri Bhutan itu seorang penjahat biasa saja. Kiranya puteri itu benar Syanti Dewi dan penculiknya ter-nyata adalah seorang yang berkepandaian tinggi! Hal ini membuat dia menjadi marah bukan main dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, hijau kehitaman. Itulah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang bukan main ampuhnya.
Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa Ceng Ceng menerima pedang itu dari seorang iblis betina berjuluk Ban-tok Mo-li dan betapa pedangnya itu pernah terampas oleh Tambolon dan kawan-kawannya tewas dalam perang oleh Tek Hoat dan para orang gagah, Ceng Ceng akhirnya berhasil memperoleh pedangnya kembali dan semenjak dia menikah. Pedang itu selalu disimpannya saja dan tidak pernah dipergunakannya. Hanya ketika puteranya lenyap, dan dia bersama suaminya meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencarinya, dia membawa Ban-tok-kiam, hanya untuk berjaga-jaga saja karena dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, sebenarnya dia tidak usah memerlukan bantuan pedangnya. Akan tetapi, melihat ada orang menculik Syanti Dewi dan orang itu sedemikian lihainya, Ceng Ceng menjadi marah dan mencabut Ban-tok-kiam yang mengerikan itu.
"Ihhhhh....!"
See-thian Hoat-su adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, juga seorang ahli sihir yang amat pandai, akan tetapi dia bergidik juga ketika melihat berkelebatnya cahaya hijau kehitaman yang mendirikan bulu roma itu.
"Penculik hina dina!"
Ceng Ceng memaki.
"Engkau telah berani menculik kakakku, Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, maka engkau akan tewas di tanganku!"
Berkata demikian, wanita perkasa itu sudah menerjang dan terdengar suara bercicit nyaring ketika Ban-tok-kiam meluncur ke depan mencari korban dengan ganasnya!
"Heiii.... nanti dulu....!"
See-thian Hoat-su mencelat ke belakang, berjungkir balik sampai empat kali dan ketika dia turun, dia mengangkat kedua lengan ke atas sambil berseru,
"Nanti dulu, nanti dulu!"
"Kau mau bicara apa lagi?"
Ceng Ceng membentak, matanya memandang tajam dan mengeluarkan sinar seperti mata seekor naga berapi sehingga kembali See-thian Hoat-su terkejut dan merasa ragu-ragu apakah dia akan mampu menguasai lawan yang memiliki mata seperti itu dengan sihirnya.
"Engkau mengaku kakak kepada Syanti Dewi? Dan menuduh aku menculiknya? Sungguh aneh sekali. Heiii, Sang Puteri, ke sinilah dan coba jelaskan keanehan ini! Benarkah aku penculik? Dan benarkah dia ini adikmu?"
Akan tetapi, tentu saja tidak ada jawaban terhadap teriakan See-thian Hoat-su itu karena Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi. Mendengar kata-kata kakek itu, Ceng Ceng juga terkejut, lalu dia menoleh dan mencari Syanti Dewi.
"Enci Syanti Dewi....! Enci Syanti, di mana kau? Keluarlah!"
Teriaknya pula. Akan tetapi sia-sia belaka. Mereka berdua berteriak memanggil-manggil dan mencari-cari, namun Puteri Bhutan itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.
"
Celaka....!"
See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya.
"Selagi kita berdua saling hantam, ada orang ke tiga yang datang dan membawanya lari!"
Ceng Ceng terkejut dan membenarkan dugaan itu.
"Dia tentu belum lari jauh. Mari kita berpencar dan mengejar!"
Tanpa menanti jawaban, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. See-thian Hoat-su juga meloncat dan mencari-cari. Sia-sia saja mereka berdua mengejar dan mencari sampai malam terganti pagi. Akhirnya mereka kembali ke depan gua dan saling berjumpa di depan gua dengan alis berkerut. Kini mereka dapat saling memandang dengan jelas dan Ceng Ceng merasa seperti pernah melihat wajah kakek botak berambut putih itu.
"Siapakah Locianpwe? Dan bagaimanakah Locianpwe dapat membawa Enci Syanti ke sini?"
Tanyanya sambil memandang tajam. See-thian Hoat-su bersungut-sungut.
"Kalau kau benar adiknya, mengapa datang malam-malam seperti pencuri? Kalau datangmu biasa saja di waktu siang hari, tentu aku tidak menyerangmu dan Sang Puteri tidak akan lenyap. Akan tetapi sudahlah! Aku adalah See-thian Hoat-su, dan siapakah Nona yang masih muda akan tetapi memiliki kepandaian hebat sekali dan memiliki pedang yang demikian mengerikan?"
Ceng Ceng membelalakkan matanya.
"Aihhh! Kiranya Locianpwe See-thian Hoat-su!"
Tentu saja dia pernah mendengar nama ini, bahkan pernah pula melihat orangnya ketika terjadi perang melawan Tambolon dan pasukannya, karena kakek inilah yang merobohkan nenek Durganini dan membawanya pergi.
"Saya adalah adik angkat dari Enci Syanti Dewi, yaitu dahulu ketika saya masih tinggal di Bhutan. Sekarang, saya telah menjadi isteri dari suami saya yang dikenal sebagai si Naga Sakti dari Gurun Pasir."
"Aaahhhhh....!"
Kiranya begitukah? Pantas saja kepandaianmu hebat sekali, Toanio! Dan maafkan kalau aku menyerangmu tadi karena kusangka engkau adalah penculik yang membayangi kami sampai di sini."
"Sayalah yang harus minta maaf, Locianpwe, dan saya menyesal sekali karena saya tahu sekarang, bahwa saya salah duga dan saya yang menyebabkan lenyapnya Enci Syanti Dewi. Tidak salah lagi, tentu ini perbuatan dewa hitam itu!"
"Dewa hitam? Apa maksudmu, Toanio?"
See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi melihat wajah nyonya muda itu nampak lesu dan muram, juga kelihatan lelah sekali, dia cepat berkata,
"Mari kita bicara di dalam, Toanio. Agaknya banyak hal yang perlu saling kita tuturkan."
Memang Ceng Ceng merasa lesu dan muram wajahnya, hal ini karena dia selama ini berada dalam kecemasan memikirkan nasib puteranya yang lanyap dan belum juga dapat dia temukan.
Kini ditambah lagi menghadapi urusan Syanti Dewi lenyap diculik orang, tentu saja dia merasa makin gelisah dan berduka. Maka ketika kakek itu mempersilakan dia masuk ke dalam gua besar, dia Mengangguk dan mereka lalu memasuki tempat itu. Setelah duduk berhadapan, Ceng Ceng lalu menceritakan betapa dia mendengar tentang Syanti Dewi dari orang-orang dusun di sepanjang jalan yang menceritakan bahwa mereka melihat seorang dara cantik dipondong dan dilarikan oleh seorang kakek, dan betapa kemudian muncul seorang kakek hitam bersorban yang memberi tahu mereka bahwa puteri itu adalah Puteri Bhutan yang diculik oleh seorang jahat. Penghuni dusun lalu menyebarluaskan berita itu dengan cerita bahwa Puteri Bhutan diculik setan dan dikejar oleh seorang dewa hitam yang hendak menolong sang puteri.
"Mendengar puteri itu disebut Puteri Bhutan, saya sudah merasa tertarik sekali, menduga Enci Syanti Dewi yang dimaksudkan, maka saya pun lalu melakukan pengejaran. Ketika saya memanggil Enci Syanti Dewi keluar, kami bertemu dan berangkulan. Pada saat itulah saya diserang orang dari belakang. Saya mendorong Enci Syanti Dewi ke pinggir dan menangkis serangan orang itu sehingga dia terlempar ke belakang. Akan tetapi lalu Locianpwe muncul menyerang saya. Karena mengira bahwa tentu Locianpwe adalah sekutu penyerang pertama itu, maka saya tidak mempedulikan dia lagi dan melayani Locianpwe yang ternyata lebih lihai. Siapa kira, agaknya orang itulah yang disebut dewa hitam dan yang mempergunakan kesempatan selagi kita bertempur, lalu dia melarikan Enci Syanti."
See-thian Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih.
"Orang hitam bersorban? Siapa gerangan dia? Apakah dia datang dari pesta itu dan terus membayangiku?"
"Pesta apa yang Locianpwe maksudkan?"
Ceng Ceng bertanya. Kakek itu menarik napas panjang.
"Sebaiknya kuceritakan dari permulaannya,"
Katanya.
"Ketika itu aku sedang bertapa dan mengundurkan diri di gua ini setelah muridku yang bernama Siang In kuperbolehkan untuk merantau dan meluaskan pengalaman. Akan tetapi tiba-tiba datanglah nenek gila yang pernah menjadi isteriku itu...."
Dia berhenti dan menghela napas panjang.
"Nenek Durganini....?"
Ceng Ceng bertanya menegaskan, karena sesungguhnya dia sudah tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah nenek itu.
"Siapa lagi kalau bukan dia?"
Nenek gila itu mengganggu aku yang sedang siulian, datang-datang mengamuk dan hampir saja membunuhku kalau aku tidak segera sadar dari siulian. Dia datang dan marah-marah, katanya dia mendengar dari muridku bahwa aku hendak menghajarnya, maka dia datang dan menantang-nantang!
"Aku maklum bahwa tentulah muridku yang bengal itu yang menjadi gara-gara, akan tetapi aku pun mengerti bahwa tentu ada sebabnya yang amat memaksa maka Siang In sampai menggunakan akal itu untuk memancing Durganini datang ke sini. Maka aku berhasil menyabarkan hatinya dan si nenek gila itu mulai bercerita tentang Syanti Dewi."
"Ahhh....? Sungguh heran mengapa Enci Syanti yang sudah pulang ke negerinya itu tiba-tiba dapat berada di sini lagi."
"Aku pun baru mendengar tentang itu dari Puteri Syanti Dewi ketika aku membawanya lari ke sini. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku. Durganini menceritakan bahwa dia telah mempunyai seorang murid baru, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang yang tinggal di puncak Bukit Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san. Secara kebetulan saja Tang Hun ini bertemu dengan muridku, Siang In, yang melakukan perjalanan bersama Puteri Syanti Dewi. Tang Hun jatuh cinta dan menangkap Syanti Dewi dan hendak dijadikan isterinya. Siang In tidak mampu melindunginya karena di situ terdapat isteriku si nenek gila itu, maka Siang In lalu menggunakan akal, membohongi nenek itu dan mengatakan aku berada di sini dan hendak menghajarnya."
Kakek itu menarik napas panjang dan tersenyum geli teringat akan kenakalan muridnya.
"Nenek gila itu paling benci mendengar aku mengancamnya, maka dia lalu lari ke sini dan mengamuk. Dia menceritakan bahwa Syanti Dewi hendak diperisteri oleh Tang Hun dan mendengar ini, aku mengkhawatirkan keadaan muridku dan juga puteri itu. Aku lalu maninggalkan nenek gila itu dan pergi ke puncak Naga Api menyelidik. Ternyata cerita itu benar dan aku melihat betapa banyak orang bersiap-siap hendak menculik Syan-ti Dewi, di antaranya adalah muridku yang berusaha menolongnya. Akan tetapi karena aku melihat banyak orang lihai di situ, maka aku sendiri turun tangan dan membawa Sang Puteri lari sampai ke sini. Aku hendak menanti datangnya Siang In di sini, akan tetapi ternyata engkau datang lebih dulu dan Syanti Dewi terculik lagi."
Ceng Ceng mengerutkan alisnya.
"Dan bagaimana Enci Syanti Dewi meninggalkan negaranya dan berada di tempat ini?"
"Dia menceritakan kepadaku ketika dalam perjalanan menuju ke sini. Katanya terjadi keributan di negerinya, Raja Bhutan, yaitu ayahnya memutuskan tali pertunangan ltu sehingga tunangannya, Ang Tek Hoat pergi dari Bhutan. Puteri Syanti Dewi ingin sekali menyusul, kebetulan Siang In datang mengunjunginya dan muridku itulah yang membantunya lolos dari istana Bhutan dan hendak mencari Tek Hoat, akan tetapi sebelum dapat bertemu telah ditangkap oleh ketua Liong-sim-pang."
"Hemmm, sungguh kasihan Enci Syan-ti. Siapa kiranya yang kini menculiknya malam tadi?"
Kakek itu mengepal tinjunya.
"Salahku! Aku kurang hati-hati, Akan kuselidiki sampai dapat. Akan tetapi, Toanio, engkau yang tinggal di lstana Gurun Pasir, tempat rahasia yang seperti hanya terdapat dalam dongeng, mengapa pula kau berada di sini, kalau aku boleh bertanya?"
Ceng Ceng menarik napas panjang, teringat akan puteranya yang lenyap.
"Sudah berbulan-bulan saya dan suami saya meninggalkan Istana Gurun Pasir dan menjelajahi Tiong-goan, Locianpwe. Kami suami isteri juga sedang tertimpa malapetaka. Putera kami telah hilang."
"Hilang?"
"Ya, hilang tanpa meninggalkan jejak. Tentu diculik orang pula, seperti halnya Enci Syanti Dewi. Kami telah mencari dan kadang-kadang menemukan jejaknya, akan tetapi lalu hilang lagi sehingga sampai kini kami belum berhasil."
"Aihhh, manusia mana yang berani main gila menculik puteri si Naga Sakti dari Gurun Pasir? Iblis pun akan berpikir panjang untuk melakukan hal itu,"
Kata See-thian Hoat-su dengan heran. Nama besar si Naga Sakti ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw seperti juga nama besar lainnya, misalnya Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Juga Naga Sakti tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw, bagaimana ada orang berani menculik puteranya?
"Buktinya ada yang menculiknya!"
Kata Ceng Ceng gemas.
"Kalau saja aku dapat menangkap penculik hina itu!"
Dan dia mengepal tinjunya. See-thian Hoat-su sendiri bergidik mendengar ancaman yang terkandung dalam suara itu. Dia tadi sudah merasakan kelihaian nyonya muda ini, apalagi pedangnya yang mengerikan itu. Baru nyonyanya sudah demikian hebat, entah bagaimana si Naga Sakti sendiri! Benar-benar si penculik itu mencari penyakit!
"Aku akan mencari Puteri Syanti Dewi, akan tetapi juga akan membuka mata dan telinga untuk membantumu mencari puteramu, Toanio. Berapakah usianya dan bagaimana ciri-cirinya?"
"Banyak terima kasih atas kebaikan hati Locianpwe,"
Kata Ceng Ceng yang sebagai seorang ibu, hatinya gelisah sekali dan tentu akan terasa bersyukur kalau ada orang membantunya menemukan puteranya.
"Nama putera kami adalah Kao Cin Liong, usianya sekitar lima tahun, mukanya bundar putih dan matanya lebar, di bawah telinga kirinya terdapat sebuah tahi lalat kecil. Hanya itu ciri-cirinya."
"Baik, aku akan membuka mata dan telinga. Sekarang pun aku berangkat hendak mencari jejak Syanti Dewi sambil mendengarkan tentang puteramu."
"Terima kasih, Locianpwe."
Mereka keluar dari dalam gua dan keduanya lalu pergi mengambil jalan terpisah.
Di sepanjang jalan See-thian Hoat-su mengeluh panjang pendek. Dia sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya, sudah bosan dengan urusan dunia yang hanya menimbulkan banyak persengketaan dan permusuhan. Tadinya, setelah muridnya, Siang In, meninggalkannya dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai, bahwa dia boleh menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tenang dan tenteram di dalam tempat pertapaannya, di Gua Tengkorak dan hidup penuh damai dengan diri sendiri dan dengan alam di tempat sunyi itu sampai dia mati. Siapa kira, belum ada setahun saja dia sudah terseret lagi dalam urusan dunia! Dan setelah kini melihat Syanti Dewi diculik orang dari tangannya, tentu saja dia akan selalu merasa salah dan menyesal sebelum dia dapat menyelamatkan Puteri Bhutan itu kembali.
"Uuuuuhhh, sialan kau, tua-tua tidak dapat menikmati hidup damai...."
Gerutunya, namun tetap saja dia melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Puteri Bhutan itu. Dari jejak-jejak kaki di dekat guanya, dia melihat jejak kaki itu menuju ke utara, maka dia pun tidak membuang waktu dan mengejar ke utara.
Warung nasi itu penuh dengan orang yang makan siang. Warung itu terkenal menjual nasi tim dan masakan-masakan yang cukup lezat dan terutama sekali murah harganya dibandingkan dengan harga makanan di restoran-restoran lain, maka selalu penuh dengan tamu, apalagi di waktu siang dan malam, waktunya orang-orang makan siang dan makan malam. Siang itu hawanya panas bukan main, apalagi di dalam restoran kecil atau warung nasi itu, seolah-olah merupakan pertanda bahwa di situ akan terjadi hal-hal yang hebat. Selagi banyak orang makan minum sambil bercakap-cakap, masuklah seorang wanita dan seorang pemuda. Wanita yang usianya mendekati empat puluh tahun namun masih kelihatan muda, cantik jelita dengan lirikan mata dan gerak bibir tersenyum genit, pakaiannya serba indah dan pesolek,
Bibirnya yang memang baik bentuknya itu kemerahan oleh gincu, juga kedua pipinya ditambahi bedak dan pemerah pipi, di punggungnya tergantung pedang. Wanita ini memasuki restoran dengan lenggang yang lemah gemulai, kedua bukit ping-gulnya yang terbungkus ketat oleh celana biru dari sutera itu menari-nari ketika dia melenggang, membuat beberapa orang yang sedang makan mi terpaksa harus menjulur-julurkan lehernya karena mi panjang yang ditelannya itu nyasar, mata mereka melotot dan melekat kepada buah pinggul yang menari-nari. Pemuda di sebelah wanita itu masih muda, dua puluh tiga tahun kurang lebih, tampan dengan muka yang membayangkan kekerasan, agak muram dengan mata tajam dingin, mulutnya tertarik seperti orang mengejek, dan sikapnya tidak mempedulikan siapa pun.
Wanita itu adalah Lauw Hong Kui, tokoh sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li atau Siluman Kucing, dan yang berjalan di sebelahnya adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan dari kisah ini, mereka meninggalkan sarang perkumpulan Hek-eng-pang untuk mencari jejak Syanti Dewi. Seperti kita ketahui, Ang Tek Hoat yang dibantu oleh Yang-liu Nio-nio, ketua Hek-eng-pang, telah menyerbu puncak Naga Api dan berusaha merampas Puteri Syanti Dewi dari tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Akan tetapi, ternyata yang mereka rampas dan mereka kira Syanti Dewi itu sebenarnya hanyalah seorang pelayan! Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka menjadi korban kenakalan kakek See-thian Hoat-su yang telah membawa lari Syanti Dewi. Dan ketika Tek Hoat hendak pergi meninggalkan Yang-liu Nio-nio,
Mauw Siauw Mo-li mengatakan bahwa dia melihat ada seorang gadis mencari-cari Puteri Syanti Dewi dan menawarkan bantuannya kepada Tek Hoat untuk membantu pemuda itu mencari kekasihnya. Demikianlah, hari itu mereka tiba di kota di mana Mauw Siauw Mo-li berjumpa gadis yang mencari-cari Syanti Dewi, dan memasuki restoran di mana dia beberapa hari yang lalu melihat gadis itu. Dan Mauw Siauw Mo-li memang tidak berbohong. Di restoran ini, beberapa hari yang lalu ketika dia pergi mengunjungi muridnya, Yang-liu Nio-nio, dia memang melihat seorang gadis cantik yang mencari-cari Syanti Dewi dan gadis ini bukan lain adalah Siang In yang masih terus menyelidiki dan mencari sahabatnya itu. Tentu saja Mauw Siauw Mo-li bukanlah seorang yang demikian baik hatinya untuk membantu orang lain tanpa ada pamrih lain di dalam hatinya.
Begitu dia bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat, pemuda yang pernah membangkitkan gairah berahinya lima tahun yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali), maka timbuliah hasratnya untuk mendekati pemuda tampan dan gagah ini. Maka dia menawarkan bantuannya yang hendak dipergunakan menjadi jalan agar dia dapat mendekati Si Jari Maut, pendekar muda yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu. Akan tetapi selama tiga hari tiga malam ini, dia sama sekali belum berhasil "mendekati"
Ang Tek Hoat yang bersikap dingin dan tak acuh kepadanya! Bahkan pagi hari tadi, ketika mereka melewatkan malam di hutan dan pagi tadi dia sengaja mandi di sumber air dengan bertelanjang bulat dan berusaha menarik perhatian Tek Hoat,
Pemuda itu malah marah-marah dan berdiri membelakanginya, sedikit pun tidak pernah mau melirik, apalagi mengagumi keindahan bentuk tubuhnya! Diam-diam Mauw Siauw Mo-li menjadi gemas dan marah sekali, hatinya terasa sakit sekali. Tidak mengindahkan dan tidak menyatakan kagum terhadap keindahan tubuhnya merupakan penghinaan! Dan kalau saja bukan Tek Hoat, tentu dia sudah akan membunuh pria yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi terhadap Tek Hoat dia tidak berani main-main karena dia maklum betapa lihainya pemuda ini dan betapa berbahayanya untuk memusuhi Si Jari Maut di tempat sunyi itu tanpa pembantu. Maka dia menahan kesabarannya dan mengambil keputusan untuk berhati-hati dan bersikap cerdik menghadapi pemuda ini, akan perlahan-lahan memasang jaringnya untuk menjebak Tek Hoat ke dalam pelukannya.
Semua mata para tamu yang terdiri dari kaum prla itu tidak ada yang tidak memandang kepada Mauw Siauw Mo-li, atau setidaknya tentu mengerling kagum. Seorang wanita yang cantik manis dan sudah matang! Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mempedulikan mereka, melainkan tersenyum bangga dan sadar akan kekaguman yang membanjiri dirinya dan matanya memandang ke arah seorang pelayan gendut lalu dia menggapai ke arah pelayan itu. Pelayan itu sedang membawa baki melayani beberapa orang tamu, ketika melihat Mauw Siauw Mo-li menggapai kepadanya, dia cepat-cepat menyerahkan baki berisi masakan kepada seorang rekannya dan dia sendiri tergesa-gesa menghampiri wanita cantik itu dan terbongkok-bongkok dan tersenyum--senyum dengan sikap penuh hormat dan penjilatan.
"Ahhh.... apakah Toanio dan Kongcu yang terhormat ingin makan? Mari, saya pilihkan tempat yang kosong dan enak bagi Ji-wi (Anda berdua)."
Mauw Siauw Mo-li mengangguk dan pelayan itu dengan terbongkok-bongkok lalu mengantar mereka ke sudut di mana terdapat meja kosong yang cepat dibersihkannya dengan kain yang selalu tergantung di pundaknya.
"Toanio hendak pesan apa? Dan Kongcu?"
Tanyanya ramah.
"Keluarkan mi, daging dan sayur terbaik untuk dua orang, kemudian harus engkau sendiri yang melayani kami karena kami ingin bicara denganmu."
Pelayan itu membelalakkan matanya yang kecil sipit, akan tetapi lalu tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk seperti seekor ayam sedang makan beras.
"Baik, Toanio, baik...."
Dan dia lalu mengundurkan diri untuk memenuhi pesanan Mauw Siauw Mo-li itu.
"Dialah yang ketika itu ditanyai oleh gadis yang kumaksudkan, maka aku minta dia yang melayani klta,"
Bisik wanita cantik itu kepada Tek Hoat yang hanya mengangguk. Pelayan itu datang membawa masakan dan arak yang dipesan, kemudian setelah mengatur semua itu di atas meja, dia berdiri tak jauh dari situ sambil tersenyum-senyum dan siap untuk melayani dua orang ini kalau-kalau membutuhkan sesuatu. Mauw Siauw Mo-li mengajak Tek Hoat makan minum tanpa berkata-kata. Baru setelah dia merasa kenyang dan menyusut bibirnya yang merah dan berminyak itu dengan saputangan, dia memberi isyarat kepada pelayan itu untuk mendekat. Si pelayan mendekat dan membongkokkan tubuhnya agar kepalanya lebih dekat dengan wanita itu untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan wanita itu.
"Aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu dan kau harus menjawab sejujurnya dan sebenarnya. Kalau kau memberi keterangan yang menyenangkan, jangan khawatir, aku akan memberi hadiah kepadamu. Akan tetapi kalau kau membohong atau menyembunyikan sesuatu, pedangku tidak akan segan-segan untuk menyembelih lehermu."
"Uhhhhh....! Ti.... tidak.... mana saya berani...."
Pelayan gendut itu berkata dan tubuhnya menggigil. Mauw Siauw Mo-li terkekeh sehingga empat orang pria yang duduk di meja yang tidak jauh dari situ menoleh semua.
Melihat wanita cantik itu terkekeh genit dan matanya mengerling penuh daya tarik kepada mereka, empat orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentu terdiri dari kongcu yang beruang itu juga tersenyum-senyum. Bahkan seorang di antara mereka yang termuda, usianya paling banyak tiga puluh tahun, pakaiannya rapi dan indah, mengedipkan mata kepada Mauw Siauw Mo-li. Sambil terkekeh genit wanita ini membalas dengan kedipan mata kanan sehingga laki-laki itu kelihatan girang bukan main lalu minum araknya lalu mereka berempat tertawa-tawa dan berbisik-bisik. Tek Hoat melihat ini semua dengan hati muak, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan diam saja, hanya memandang kepada pelayan gendut itu. Setelah sedikit gangguan main mata dengan empat orang pria itu, Mauw Siauw Mo-li kembali menghadapi pelayan dan mulailah dia bertanya,
"Beberapa hari yang lalu aku juga makan di sini...."
(Lanjut ke Jilid 23)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
"Ah, saya ingat, Toanio. Saya ingat, maka ketika Toanio datang tadi, saya cepat menyambut karena saya merasa pernah melihat Toanio...."
Pelayan itu cepat berkata.
"Dan pada waktu itu, engkau melayani seorang gadis cantik berbaju sutera merah indah dan membawa payung. Dia bertanya kepadamu tentang seorang gadis cantik yang dibawa dengan paksa oleh seorang kakek."
Mauw Siauw Mo-li membiarkan pelayan itu mengerutkan alis mengingat-ingat. Ketika dia membayangi gadis yang dijumpainya di tepi jalan di dusun Khun-kwa tak jauh dari kota ini, dia terus mengikuti gadis itu sampai gadis itu memasuki rumah makan di kota ini. Akan tetapi karena pada waktu itu terdapat banyak sekali tamu dan suasana amat berisik, maka dia tidak dapat mendengarkan percakapan antara gadis itu dan pelayan gendut ini dengan jelas, hanya melihat si gendut ini menggerak-gerakkan tangan. Pada waktu itu dia tidak begitu memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan urusan itu, akan tetapi setelah dia berniat membantu Tek Hoat, barulah dia teringat bahwa yang dimaksudkan oleh gadis itu tentulah Puteri Syanti Dewi.
"Ah, sekarang saya ingat, Toanio. Benar...., gadis membawa payung...."
"Nah, dengarlah. Aku juga ingin mencari gadis yang dibawa oleh kakek itu. Ke manakah mereka?"
Lalu dia menambahkan,
"Awas, jangan berbohong kau!"
"Aihhh, mana saya berani berbohong? Saya akan menceritakan kepada Toanio seperti yang saya ceritakan kepada nona itu, seperti yang saya ketahui. Memang ada kakek dan gadis seperti yang dimaksudkan itu makan di sini, akan tetapi tentu saja saya tidak tahu ke mana mereka pergi. Hanya di waktu makan, saya mendengar kakek itu menyebut-nyebut pantai Laut Po-hai. Hanya itulah yang saya ketahui dan demikian pula saya ceritakan kepada gadis itu, Toanio."
"Pantai Lautan Po-hai?"
Tek Hoat mengulang dan alisnya berkerut.
"Kalau begitu, aku akan menyusul ke sana!"
Katanya dan alisnya berkerut makin dalam ketika dia melihat Mauw Siauw Mo-li sudah tersenyum-senyum dan bermain mata lagi dengan laki-laki berbaju kuning di meja lain itu. Ternyata Siluman Kucing ini sama sekali tidak mendengarkan atau mempedulikan keterangan si pelayan, melainkan asyik bermain mata dengan laki-laki itu! Tiba-tiba laki-laki itu yawg agaknya sudah setengah mabuk dan tidak kuat menyaksikan permainan mata dan bibir Mauw Siauw Mo-li, berdiri dan dengan langkah agak terhuyung dia menghampiri meja wanita itu, berpegang pada ujung meja dan dengan berdiri tidak lurus, agak tergoyang-tergoyang, dia tersenyum lebar kepada Mauw Siauw Mo-li.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He-he-he, engkau.... he-he, cantik seperti bidadari.... marilah kita makan minum bersama.... he-he-he, tentu kita berdua akan senang sekali...."
"Prattt....!"
Laki-laki itu menjerit dan menutupi mukanya yang disiram kuah panas oleh Mauw Siauw Mo-li. Bukan hanya karena kuah itu panas yang membuat laki-laki itu kini berggulingan dl atas lantai sambil menjerit-jerit, akan tetapi karena kuah itu dilemparkan dengan pengerahan tenaga sakti oleh Mauw Siauw Mo-li yang kini tertawa terkekeh-kekeh dan suara ketawa ini mengandung suara seekor kucing! Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi duduk saja dengan tenang. Tentu saja tiga orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah menjadi terkejut dan marah sekali melihat teman mereka bergulingan seperti itu. Mereka menyangka bahwa teman mereka itu dipukul atau terkena senjata lain karena kalau hanya kuah, tidak mungkin teman mereka sampai menderita seperti itu. Serentak mereka bangkit dan lari menghampiri meja Mauw Siauw Mo-li.
"Kau apakan teman kami?"
Bentak mereka.
"Hi-hik, dia terlalu mabuk dan kalian juga!"
Kini berhamburanlah mangkok-mangkdk dan sumpit-sumpit dari atas meja di depan wanita itu dan terdengar suara berteriak-teriak kesakitan dan tiga orang laki-laki ini pun terpelanting dan roboh bergulingan seperti teman mereka yang pertama. Muka mereka luka-luka, ada yang tertusuk sumpit matanya, ada yang pecah pelipisnya terkena sambaran mangkok yang menghantam kepala sampai pecah mangkok itu dan pecahannya melukai muka. Tentu saja restoran itu menjadi geger dan para tamu banyak yang lari keluar. Melihat ini, hati Tek Hoat terasa muak dan dia lalu bangkit berdiri, terus keluar dari tempat itu tanpa mempedulikan Mauw Siauw Mo-li lagi. Wanita ini Cepat memburu.
"Eh, nanti dulu, Angsicu....!"
Dia mengejar, akan tetapi Tek Hoat tidak menengok lagi, bahkan tidak peduli ketika Mauw Siauw Mo-li melangkah di sampingnya dan mereka keluar dari kota itu. Setelah mereka jauh meninggalkan pintu gerbang kota, dan melihat Tek Hoat sama sekali tidak mempedulikannya, Mauw Siauw Mo-li berkata,
"Ang-sicu, apakah kau marah kepadaku?"
Tek Hoat tidak menjawab dan ketika untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li bertanya sambil memegang tangannya, Tek Hoat mengibaskan tangan itu ter-lepas dan membalik, matanya memancarkan sinar berkilat.
"Pergilah dan jangan membikin aku merah!"
Hardiknya, Dia sudah siap untuk menyerang!
"Eh, eh, Ang Tek Hoat!"
Mauw Siauw Mo-li berkata dengan alis berkerut.
"Berhari-hari aku selalu bersikap hormat dan baik kepadamu, akan tetapi mengapa engkau sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku? Lupakah engkau bahwa aku berada di sampingmu karena hendak membantumu mencari Syanti Dewi?"
Tek Hoat menghela napas. Benar juga, betapapun wanita ini telah berusaha membantunya menemukan kembali jejak Syanti Dewi. Kembali dia menarik napas panjang dan kemarahannya mereda.
"Sepak terjangmu membuat aku kesal dan marah."
Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Mulut yang bibirnya merah basah itu terbuka sehingga nampak deretan gigi yang rapi dan putIh, rongga mulut yang merah seperti dagIng mentah yang masih segar. Melihat pemuda itu reda kemarahannya, hati wanita ini menjadi gembira kembali.
"Sepak terjangku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?"
Tanyanya halus, sikapnya merendah. Tek Hoat merasa tidak enak hatinya. Mengapa dia mempedulikan benar apa yang dilakukan oleh wanita ini?
"Perbuatanmu terhadap empat orang di restoran itu memuakkan hatiku!"
Akhirnya dia berkata dengan terus terang menyatakan isi hatinya.
"Ehhh?? Hi-hik, Ang-sicu yang baik. Mereka adalah laki-laki tak berharga yang sudah sepantasnya dihajar! Perlukah orang-orang macam mereka itu diperlakukan dengan baik dan dihormati?"
Mereka saling pandang sejenak dan Tek Hoat mendengus lalu membuang muka.
"Aku tidak membela mereka atau siapapun juga. Akan tetapi, engkau telah bermain mata dengan mereka, lalu menyiksa mereka. Siapa tidak menjadi sebal melihatnya?"
Senyum itu melebar, mata yang masih indah itu terbelalak dan dari kerongkongannya terdengar suara lembut seperti suara seekor kucing kalau dibelai.
"Jadi engkau.... engkau memperhatikan semua itu? Dan hatimu tidak senang melihat aku bermain mata dengan mereka?"
Pandang mata itu kini penuh selidik. Wajah Tek Hoat menjadi merah.
"Sudahlah! Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan, akan tetapi di depanku selama kita melakukan perjalanan bersama, kau tidak boleh bertindak seperti itu yang hanya menimbulkan kekesalan hatiku."
"Aihhh.... Sicu. Sungguh aneh sekali mendengar ini dari mulutmu. Bukankah aku berhadapan dengan Si Jari Maut? Bukankah dalam hal kekerasan, aku sendiri masih boleh berguru kepada Si Jari Maut? Kita berdua adalah orang-orang dari golongan hitam, tindakan kekerasan merupakan kesenangan kita, kepandaian dan kekerasan merupakan hukum kita. Ataukah terjadi hal mujijat di mana Si Jari Maut telah berubah menjadi lemah dan lunak, si harimau ganas yang gagah perkasa telah berubah menjadi seekor domba yang jinak?"
"Sudahlah! Jangan sebut-sebut tentang Si Jari Maut.... Aku benci kepadanya! Aku benci....! Tek Hoat lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya ke timur. Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan mengikutinya terus tanpa berani bicara apa-apa lagi sampai mereka berdua berhenti dl dalam hutan karena malam telah tiba dan malam itu gelap sekali tiada bulan, hanya ada sedikit bintang yang tidak cukup terang untuk memungkinkan mereka melakukan perjalanan melewati hutan lebat itu. Seperti biasa, Tek Hoat tidak pernah mau repot-repot dan setelah bersamadhi beberapa lama lalu tidur sambil bersandar pada batang pohon,
Dan kembali Mauw Siauw Mo-li yang bekerja mengumpulkan kayu dan daun kering, membuat api unggun dan duduk melamun. Sampai lama wanita ini memandang ke arah Tek Hoat yang sudah tidur pulas karena kehangatan api unggun mendatangkan kantuk pada matanya yang dibayangi kedukaan dan kekhawatiran dan pada tubuhnya yang lelah. Berkali-kali Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, mengamati wajah yang ditimpa api unggun itu, wajah seorang pemuda yang kelihatan masih remaja kalau sedang tidur memejamkan mata seperti itu lenyaplah garis-garis kekerasan di wajah Tek Hoat. Di waktu tidak tidur, maka tarikan dagu yang mengeras, pandang matanya yang memancarkan ketajaman yang menusuk, bayangan muram pada wajah yang kelihatannya tidak acuh, semua itu membuat wajah Si Jari Maut menjadi matang dan menyeramkan.
Akan tetapi di waktu tidur seperti itu, lenyaplah sifat-sifat Si Jari Maut dan wajah itu membayangkan seorang pemuda yang patut dikasihan! Teringat betapa selama berhari-hari dia tidak berhasil "mendekati"
Pemuda ini, Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang penuh penyesalan, kekecewaan dan juga penasaran. Jarang ada pria yang sanggup bertahan terhadap rayuan mautnya. Baru kerling dan senyumnya saja tadi telah membuat empat orang lakilaki di restoran itu tergila-gila. Dan rayuan-rayuannya dahulu pernah menundukkan putera dari Pendekar Siluman! Kalau dia mengenang kembali peristiwa itu, terdapat rasa kebanggaan yang luar biasa di dalam lubuk hatinya. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu orang pria yang jatuh bertekuk lutut di depan kakinya, yang mabuk kepayang dalam pelukan dan belaiannya,
Namun kalau dia terkenang kepada Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, jantungnya berdebar penuh kebanggaan! Betapa bangganya mengenangkan betapa pemuda Pulau Es itu, yang tampan sekali dan gagah perkasa, pernah mabuk kepayang di dalam pelukan dan belaiannya, pernah menjadi kekasihnya. Dialah yang memperoleh perjakanya pemuda sakti itu! Kembali dia memandang wajah Tek Hoat. Pemuda ini tidak banyak selisihnya dengan Suma Kian Bu. Sama muda, sama tampan, dan sama gagah perkasa. Ada perbedaannya, yaitu kalau Suma Kian Bu adalah seorang tokoh dari golongan putih yang selalu menentang kejahatan, adalah Tek Hoat sebaliknya seorang tokoh hitam yang mengerikan, yang berjuluk Si Jari Maut! Jadi lebih cocok dengan dia!
"Aihhh.... mengapa engkau begitu angkuh....?"
Keluhnya, membayangkan betapa akan nikmatnya kalau malam itu dia dapat terbuai dalam pelukan pemuda itu. Sudah berhari-hari dia tidak pernah berdekatan dengan pria, padahal Tek Hoat si pemuda ganteng ini setiap hari berada di sampingnya. Sungguh keadaannya seperti seekor kucing kelaparan yang dekat dengan daging segar akan tetapi tidak dapat menerkam daging yang menggairahkan itu! Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mendengar suara yang tidak wajar. Dia lalu bangkit dan melirik ke arah Tek Hoat. Masih tidur nyenyak pemuda itu. Dengan gerakan ringan dan tanpa mengeluarkan suara, Mauw Siauw Mo-li meninggalkan api unggun, menyelinap di antara pohon pohon yang gelap.
Tak lama kemudian dia melihat lima orang laki-laki dan di antara mereka terdapat dua yang dikenalnya, karena dua orang ini adalah dua orang di antara empat orang yang tadi dihajarnya di restoran. Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Dia sedang "haus"
Dan kini datang lima orang laki-laki. Setidaknya ada dua orang di antara mereka yang masih cukup muda dan tidak buruk. Lumayan untuk memuaskan kehausannya yang menyiksa karena selalu dekat dengan Tek Hoat yang tidak mempedulikannya. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan senyumnya melebar. Mengapa tidak? Mungkin ini merupakan jalan dan siasat yang amat baik, pikirnya. Cepat dia membuka kancing bajunya luar dalam sehingga dadanya kelihatan terbuka dan sebagian dari bukit-bukit dadanya nampak. Lalu dia berjalan memapaki lima orang itu.
"Ohhh....!"
Dia menahan seruannya ketika sudah berhadapan dengan mereka. Lima orang laki-laki itu terkejut, akan tetapi seorang dari mereka yang mengenal Mauw Siauw Mo-li berseru,
"Ini dia siluman itu!"
Dan mereka berlima lalu menyerbu Mauw Siauw Mo-li? Wanita ini mengelak ke sana-sini dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan mengenal pundaknya dan dia terhuyung. Lima orang itu menerkam dan Mauw Siauw Mo-li mempertahankan diri mati-matian sehingga pakaiannya koyak-koyak.
"Toloooooonggggg....! Tolooonggggg.... Ang-sicu....!"
Terdengar dia menjerit-jerit. Tek Hoat terbangun dan terkejut mendengar jeritan itu. Otomatis dia meloncat dalam keadaan sadar sepenuhnya dan di lain saat dia telah berlari cepat menuju ke arah datangnya suara itu. Dan ketika dia tiba di tempat itu, apa yang dilihatnya membuat Tek Hoat mengerutkan alis saking marahnya. Dia melihat Mauw Siauw Mo-li rebah terlentang di atas tanah, pakaiannya tidak karuan dan di sana-sini terbuka, sedangkan lima orang laki-laki sedang memegangi tubuh yang meronta-ronta itu! Dia tidak tahu betapa di dalam gelap itu, Mauw Siauw Mo-li masih sempat melirik ke arah Tek Hoat.
"Uhhh.... uhhhhh.... keparat kalian.... iiihhhhh, tolooonggggg....!"
"Jahanam....!"
Tubuh Tek Hoat mencelat ke tempat itu, kemudian kaki tangannya bergerak-gerak, jari tangannya seperti senjata ampuh menyambar-nyambar lima kali dan lima orang laki-laki itu terlempar ke sana-sini dan roboh tak dapat bangkit kembali, di dahi dan muka yang tercium jari-jari tangan itu kini terdapat bekas tapak tangan menghitam dan tubuh mereka tidak bernyawa lagi!
"Uuuhhhhh.... hu-huuuk, Sicu....!"
Mauw Siauw Mo-li mengeluh, bangkit berdiri lalu lari menubruk Tek Hoat sambil menangis. Kedua lengannya merangkul leher pemuda itu dan mukanya menangis di atas dada Tek Hoat. Pemuda ini tertegun dan bengong memandang ke arah lima orang laki-laki yang telah menjadi mayat itu. Dia menuduk, memandang ke arah muka yang tersembunyi di dadanya sambil bertanya,
"Kenapa.... apa yang terjadi....?"
Akan tetapi tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mengangkat mukanya dan menyambut muka pemuda yang menunduk itu dengan ciuman pada mulutnya! Sejenak saking kagetnya Tek Hoat tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya merasakan ciuman yang berapi-api itu. Bibir Mauw Siauw Mo-li terasa basah dan panas sekali. Akan tetapi ketika Tek Hoat merasakan lidah wanita, itu menjilat-jilat, dia cepat melepaskan rangkulan wanita itu dan melangkah mundur, memandang kepada wajah yang merah itu, mata yang meredup seperti mengantuk, cuping hidung yang kembang-kempis, pernapasannya yang memburu, terengah-engah dan mulut yang agak terbuka itu.
"Apa yang kau lakukan ini?"
Dia membentak.
"Tek Hoat.... ahhh, Tek Hoat...."
Mauw Siauw Mo-li mengembangkan kedua lengannya, akan memeluk lagi, akan tetapi Tek Hoat memandangnya dengan bengis dan melangkah mundur lagi.
"Mo-li, apa yang kau lakukan ini?"
Kembali dia membentak.
"Tek Hoat.... ahhh, betapa besar rasa bahagia dan terima kasihku.... engkau telah menyelamatkan aku daripada penghinaan.... lihatlah pakaianku.... dan mereka.... mereka.... jahanam-jahanam itu...."
Mauw Siauw Mo-li meraba dadanya yang hampir telanjang sama sekali, menggerakkan jari-jarinya seperti membelai dadanya sendiri. Tek Hoat membuang muka.
"Huh, kau.... kau telah menipuku, Mo-li!"
Tek Hoat berseru marah dan kini dia memandangi lima orang yang telah menjadi mayat itu.
"Kau pura-pura kalah oleh mereka, memancingku agar aku turun tangan"
"Tidak.... tidak.... aku.... aku hampir...."
"Cukup! Tak perlu bersandiwara lagi! Mereka itu hanyalah laki-laki lemah, sekali serang mereka roboh dan tewas. Engkau yang berkepandaian tinggi, jangankan baru dikeroyok lima orang seperti ini, biar ada lima puluh orang engkau tidak akan kalah. Akan tetapi engkau sengaja mengalah dan aku.... si tolol.... aku terjebak! Engkau wanita iblis! Siluman betina kejam!"
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li terkekeh genit.
"Hi-hik, dan engkau Si Jari Maut telah memperlihatkan kehebatanmu! Lihat tapak jarimu di dahi dan pipi mereka, Tek Hoat. Bukankah engkau masih Si Jari Maut dan aku adalah Mauw Siauw Mo-li? Kita berdua memang cocok sekali bukan? Kita satu golongan dan pantas menjadi kawan akrab, bukan? Mana aku cocok dengan laki-laki macam mereka, yang lemah? Kita seperti sajak dengan nyanyian, apakah tidak terasa olehmu betapa tubuh kita saling membutuhkan, betapa nikmat ciuman tadi, Tek Hoat?"
"Wuuuuuttttt....!"
Jari tangan Tek Hoat menyambar namun dengan gesit Mauw Siauw Mo-li dapat mengelak dari sambaran jari tangan maut itu.
"Perempuan tak tahu malu!"
Tek Hoat memaki karena marah sekali, marah yang ditimbulkan oleh penyesalan mengapa dia tadi menyambut ciuman itu dengan sepenuh hatinya, mengapa tadi bibirnya menyambut dengan kecupan penuh rangsangan nafsu berahi! Tadi, ketika mulutnya bertemu dengan mulut Mauw Siauw Mo-li, seluruh kerinduannya terhadap Syanti Dewi tertumpahkan dan tersalurkan dalam ciuman itu dan tentu saja hal itu terasa oleh Mauw Siauw Mo-li.
"Hi-hik, Tek Hoat. Tak perlu engkau mengingkari suara hatimu sendiri, kebutuhan jasmanimu sendiri. Marilah, Tek Hoat, marilah ke dalam pelukanku. Sudah lama aku tergila-gila dan rindu kepadamu!"
"Wuuuttttt.... brakkkkk!"
Sebatang pohon roboh oleh hantaman tangan Tek Hoat, kemudian pemuda ini membalikkan tubuhnya dan dengan muka panas dia meninggalkan hutan itu. Mauw Siauw Mo-li mengejarnya, namun Tek Hoat tidak mau berhenti dan terus melangkah maju, meraba-raba dalam gelap, melawan hambatan duri-duri dan cabang-cabang pohon yang menjuntai ke bawah, tersaruk-saruk dalam kegelapan malam. Pada keesokan harinya, dia berhasil keluar dari hutan itu.
"Tek Hoat tunggu....!"
Terdengar teriakan dari belakang.
"Keparat....!"
Tek Hoat berhenti dan membalikkan tubuh, matanya bernyala dan dia mengambil keputusan untuk membunuh wanita itu. Mauw Siauw Mo-li menghampiri dan ketika dia melihat sikap Tek Hoat, melihat sinar maut dalam mata pemuda itu, dia berhati-hati dan tidak mau terlalu mendekat. Tangannya sudah siap di pinggangnya di mana tersimpan senjata rahasianya yang amat hebat, yaitu bahan peledak.
"Tunggu, Tek Hoat. Aku tidak akan main-main lagi, aku bicara dengan sungguh-sungguh. Dengarlah, engkau tidak akan berhasil menemukan Syanti Dewi tanpa bantuanku. Kau kira di mana engkau akan dapat menyusul Syanti Dewi?"
Bicara tentang Syanti Dewi, tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sungguhpun dia masih marah.
"Di pantai Po-hai, di mana lagi? Dan aku tidak butuh bantuanmu."
"Hemmm, jangan sombong kau, Tek Hoat. Pantai Po-hai merupakan pantai yang amat luas, apakah kau hendak menjelajahi seluruh pantai di sepanjang teluk itu? Sampai berapa tahun kau akan berhasil? Sebaliknya, kalau kau mau menerima bantuanku, aku tahu dan mengenal seorang kakek yang tinggal di pantai Pohai, seorang kakek yang lihai dan aku berani bertaruh bahwa agaknya kakek itulah yang dimaksudkan orang, kakek yang singgah di restoran itu bersama Syanti Dewi."
Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali, akan tetapi dia masih curiga dan tidak mau percaya begitu saja.
"Mo-li, kalau engkau mempermainkan aku sekali ini, demi Tuhan, aku tentu akan mem-bunuhmu!"
"Hi-hik, kau kira aku wanita macam apa mudah saja kau bunuh? Pula, perlu apa aku main-main denganmu kalau aku benar-benar cin.... eh, suka kepadamu?"
"Kalau begitu, katakan siapa kakek itu dan di mana tempat tinggalnya!"
"Hemmm, nanti dulu, jangan mau enaknya saja. Sudah kukatakan bahwa aku suka sekali kepadamu, Tek Hoat. Engkaulah satu-satunya pria yang cocok berada di sampingku, sebagai.... apa pun, pendeknya, sebagai sahabat. Karena itu, tidak mungkin aku memberi tahu kepadamu lalu engkau pergi meninggalkan aku begitu saja. Kalau kau mau berbaik denganku, mau melakukan apa yang kuminta, aku akan mengantarmu ke tempat kakek itu dan aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan kembali Puteri Syanti Dewi. Bagaimana?"
Tek Hoat mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Dia tidak mungkin dapat me-maksa wanita ini untuk mengaku. Andaikata dia dapat mengalahkan Mauw Slauw Mo-li sekalipun, agaknya wanita seperti dia itu tidak akan mau mengaku biar dibunuh sekalipun. Lebih menguntungkan berbaik dengan orang seperti ini daripada memusuhinya, apalagi dia memang amat membutuhkan petunjuknya agar dapat menemukan kembali Syanti Dewi yang hilang.
"Baiklah, Mo-li, akan tetapi engkau pun tahu bahwa orang macam aku tidak akan menuruti permintaanmu begitu saja kalau permintaan itu tidak cocok dengan rasa hatiku. Seperti juga engkau, aku pun tidak takut mati. Kita bersahabat, cukup sekian saja, jangan mengharapkan yang bukan-bukan."
Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita yang sudah banyak mengenal pria, sudah memiliki banyak sekali pengalaman, maka jawaban ini tidak mengecilkan hatinya. Dia maklum bahwa dalam hubungan antara pria dan wanita, yang terpenting adalah keakraban lebih dulu, karena dari keakraban ini mudah sekali berubah menjadi cinta! Pendekatan antara minyak dengan api memang tidak begitu saja menimbulkan kebakaran, akan tetapi setidaknya membuka kesempatan besar sekali untuk terjadinya kebakaran itu, dan dengan pengalamannya, dengan kecantikannya dan tubuhnya yang masih padat dan nampak muda, dia akan dengan mudah menimbulkan kebakaran itu!
"Baiklah, Tek Hoat. Dan langkah pertama setelah kita menjadi sahabat adalah agar engkau jangan menyebutku Mo-li (lblis Betina) lagi. Betapa tidak enaknya mendengar sebutan itu dari mulut seorang.... sahabat. Namaku adalah Lauw Hong Kui. Nama yang indah sekali, bukan? Memang mendiang orang tuaku pandai memilih nama untuk anaknya. Nah, mulai sekarang kau sebut saja namaku seperti aku menyebut namamu."
Tentu saja hal semacam itu tidak terlalu dipedulikan benar oleh Tek Hoat.
"Baiklah, Hong Kui. Dan mari kita melanjutkan perjalanan."
Mauw Siauw Mo-li tersenyum manis, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan mendengar namanya disebut oleh Tek Hoat.
"Mari, Tek. Hoat, mari kita datangi kakek itu!"
Kedua orang itu melanjutkan perjalanan, jalan berendeng dan kalau dilihat dari jauh memang mereka itu serasi sekali. Yang pria tampan gagah, yang wanita cantik manis. Hanya kalau dilihat dari dekat dengan penuh perhatian baru dapat diketahui bahwa yang wanita jauh lebih tua dan memang banyak berbeda usia mereka. Tek Hoat berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, sedang Lauw Hong Kui, Siluman Kucing itu, sedikitnya berusia tiga puluh lima tahun. Mereka melakukan perjalanan menuju ke timur, menuju ke pantai Teluk Po-hai.
Setelah berhasil memperoleh ramuan obat seperti yang dipesan oleh Sai-cu Kai-ong untuk mengobati kakaknya, Kian Bu dan Siauw Hong dengan cepat meninggalkan kota kecil di perbatasan Ho-pei sebelah barat itu untuk kembali ke puncak Nelayan di pegunungan Tai-hang-san, Yaitu tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Obat yang dicarinya itu agak sukar sehingga mereka berdua telah melewati beberapa buah kota, barulah dapat membeli di toko obat dalam kota di perbatasan itu, setelah melakukan perjalanan dua hari! Maka kini, khawatir kalau ditunggu-tunggu oleh Sai-cu Kai-ong, dua orang muda ltu bergegas pulang. Dalam perjalanan ini, Kian Bu mencoba ilmu kepandaian berlari cepat dari pengemis muda yang kini telah berpakaian biasa itu, dan dengan kagum dia mendapatkan kenyataan bahwa Siauw Hong benar-benar merupakan seorang pemuda remaja yang memiliki dasar ilmu kepandaian tinggi yang hanya perlu dimatangkan saja. Ketika mereka melewati jalan sunyi dan berbatu-batu di luar sebuah dusun, ditimpa terik matahari lewat tengahari yang masih bersinar sepenuh kekuatannya, tiba-tiba pada suatu tikungan jalan Siauw Hong berseru,
"Eh, ada orang berkelahi....!"
Kian Bu juga sudah melihatnya. Agak jauh di depan, dia melihat dua orang sedang berkelahi dan dari jauh sudah dapat dilihat bahwa dua orang yang sedang berkelahi itu keduanya menggunakan ilmu silat yang cukup hebat. Dan di tepi jalan nampak rebah seorang laki-laki yang bergerak-gerak lemah.
"Siauw Hong, jangan sembarangan mencampuri urusan mereka sebelum kita mengetahui duduk persoalan, bisik Kian Bu dan Siauw Hong mengangguk. Setelah mereka tiba di tempat itu, Siauw Hong melihat bahwa yang rebah itu adalah seorang laki-laki tua yang gagah kelihatannya, dan agaknya dia itu telah terluka. Dia menggigit bibir dan menahan rasa nyeri, akan tetapi tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Ketika dia melihat mereka yang berkelahi, Siauw Hong terkejut karena dia mengenal bekas teman seperjalanannya, yaitu Kang Swi, si pemuda royal yang menjadi pengawal dari Gubernur Ho-nan! Adapun yang menjadi lawan Kang Swi adalah seorang gadis cantik berbaju hijau yang hidungnya mancung. Siauw Hong tertarik sekali.
Dia maklum betapa lihainya Kang Swi karena dia pernah bertanding dengan pemuda kaya raya itu di atas panggung lui-tai ketika diadakan sayembara pemilihan pengawal oleh Gubernur Ho-nan dan dia harus mengakui keunggulan Kang Swi. Akan tetapi kini, Kang Swi seperti terdesak oleh wanita baju hijau yang amat lihai itu! Kian Bu juga memandang dengan tertarik dan kagum. Dia mengenal gadis baju hijau yang hidungnya mancung itu. Pernah dia bertemu dengan wanita ini di dalam restoran. Bahkan wanita ini pernah menjamu para tamu dan membayar harga makanan dan minuman mereka, termasuk dia. Dan kemudian muncul seorang pemuda yang kulitnya putih, matanya agak biru dan rambutnya coklat yang diakui sebagai suheng oleh wanita hijau itu dan mereka berdua kemudian terluka dan pingsan oleh jarum-jarum beracun dari huncwe yang dilepas oleh Boan-wangwe.
Benar, dia mengenal wanita itu dan kini diam-diam dia memperhatikan betapa Kang Swi repot juga menghadapi wanita baju hijau yang gerakannya amat cepat dan aneh itu, mengandung gerakan liar yang tidak dia kenal. Entah dari cabang persilatan apakah ilmu silat yang dimainkan oleh wanita baju hijau ini. Melihat Kang Swi terdesak dan gerakan pemuda tampan itu agak kaku, Kian Bu menarik napas panjang. Dia tahu bahwa pemuda tampan itu masih menderita luka akibat bentrok dengan dia ketika mereka memperebutkan Pangeran Yung Hwa di gubernuran Ho-nan. Beberapa kali Kang Swi terdesak dan terhuyung sambil menyeringai tanda bahwa dia merasa nyeri di dalam tubuhnya. Akan tetapi baik dia sendiri maupun Siauw Hong, kini telah menganggap Kang Swi sebagai musuh karena pemuda itu telah menjadi kaki tangan Gubernur Ho-nan yang dianggap memberontak, maka mereka berdua hanya menonton saja ketika melihat Kang Swi terdesak.
Sementara itu, ketika Kang Swi melirik dan mengenal Kian Bu dan Siauw Hong, mukanya menjadi merah karena marahnya. Dua orang itu tadinya adalah sahabat-sahabat baiknya, yang tidak saja pernah melakukan perjalanan dengan dia, malah di dalam perjalanan mengobrol dan bergurau sebagai sahabat, bukan itu saja, malah dia telah membelikan kuda tunggangan untuk mereka! Akan tetapi kini mereka hanya menonton, padahal dia terdesak oleh lawan yang lihai ini. Hatinya terasa mendongkol bukan main dan kemarahannya memuncak, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan menerjang ke arah lawan dengan pukulan tangan kanan yang dimiringkan. Melihat serangan dahsyat ini, Kian Bu terkejut. Dia mengenal pukulan sakti, maka karena dia mengkhawatirkan keselamatan gadis baju hijau itu, dia berseru,
Kisah Sepasang Rajawali Eps 32 Kisah Sepasang Rajawali Eps 42 Kisah Sepasang Rajawali Eps 57