Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 3


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Jangan bunuh mereka yang sudah kalah!"

   Dua orang perampok itu merangkak dan bangkit berdiri, memandang kepada Kakek Kun, tidak tahu harus marah ataukah harus berterima kasih! Mereka merasa digagalkan oleh kakek ini, akan tetapi sebaliknya, nyawa mereka pun tertolong olehnya! Mereka tadinya jerih terhadap Si Sastrawan, maka mereka selalu mencari kesempatan. Kini, sastrawan itu pergi menyelidiki pembunuh orang-orang dalam hutan itu, dan mereka turun tangan. Tak mereka sangka bahwa kakek yang pendiam dan tak acuh itu turun tangan mencampuri dan menggagalkan usaha mereka! Melihat sinar mata kedua orang itu, Kakek Kun menggerakkan tangan dan menarik napas panjang, suaranya terdengar lirih sekali,

   "Pergilah.... pergilah....!"

   Dua orang itu lalu mengangguk dan berjalan pergi menghilang ke dalam gelap. Lauw-piauwsu yang dapat merampas kembali peti hitam itu, cepat menghampiri Kakek Kun dan memberi hormat,

   "Kun-locianpwe telah menolong kami, sungguh besar budi Locianpwe dan kami menghaturkan banyak terima kasih...."

   "Kong-kong....!"

   Siauw Goat berseru dan Lauw-piauwsu bersama para piauwsu lain terkejut melihat kakek itu terhuyung-huyung, kemudian dari mulut kakek itu tersembur darah segar.

   "Kun-locianpwe....!"

   Lauw-piauwsu mendekat hendak menolong, akan tetapi kakek itu menggerakkan tangan, lalu menuntun cucunya mendekati api unggun di mana dia duduk bersila sebentar. Wajahnya pucat sekali, napasnya terengah-engah, akan tetapi makin lama pernapasannya makin baik dan normal kembali, sungguhpun wajahnya masih amat pucat.

   "Kong-kong, kenapa melayani segala macam maling dan rampok? Kong-kong telah terluka parah, masih melayani segala jembel dan perampok busuk!"

   Ter-dengar Siauw Goat mengomel.

   "Kongkong....!"

   Gadis cilik itu memegangi lengan kakeknya. Dia lebih mengenal kakeknya dan tahu bahwa kakeknya amat menderita. Lauw-piauwsu kembali mendekat dan dia melihat kakek yang disangkanya sudah sembuh itu kini merebahkan diri telentang di atas tanah bertilam daun-daun bambu, dekat api unggun. Siauw Goat berlutut didekatnya, nampak berduka dan alisnya berkerut seperti menunjukkan ketidaksenangan hatinya.

   "Kun-Locianpwe, dapatkah saya membantu Locianpwe?"

   Lauw-piauwsu mendekati dan bertanya, sedangkan anak buahnya sibuk mengurus mereka yang terluka dalam pertandingan melawan dua orang perampok Eng-jiauw-pang tadi,

   Sedangkan dua orang kuli angkut itu telah tewas. Kakek itu tidak menjawab dan Siauw Goat menunduk, memegangi tangan kakeknya dengan sikap amat berduka. Lauw-piauwsu makin mendekat, memperhatikan dan akhirnya dia memegang pergelangan tangan kakek itu. Denyut nadinya lemah sekali dan tahulah dia bahwa kakek ini telah pingsan! Maka dia lalu mengeluarkan obat gosok, membuka kancing baju kakek itu dan perlahan-lahan menggosok dadanya dengan obat gosok panas itu. Menjelang pagi Kakek Kun siuman dari pingsannya, menggerakkan pelupuk mata, lalu membuka, menatap sejenak kepada Siauw Goat yang masih duduk di dekatnya, kemudian menoleh dan memandang kepada Lauw-piauwsu yang juga tidak pernah meninggalkannya.

   "Lauw-piauwsu...."

   Katanya lemah.

   "Bagaimana, Locianpwe? Apakah Locianpwe membutuhkan sesuatu?"

   "Dekatkan telingamu...."

   Katanya semakin lemah. Ketika Lauw-piauwsu mendekatkan telinganya pada mulut tua itu, Kakek Kun berbisik-bisik menceritakan riwayatnya secara singkat. Bisikan-bisikan itu makan waktu lama juga, dan Lauw-piauwsu mendengarkan sambil mengangguk-angguk tanda mengerti, kadang-kadang matanya terbelalak seperti orang heran dan terkejut. Setelah menceritakan semua riwayatnya kepada piauwsu itu, tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak dan tahu-tahu tengkuk piauwsu itu telah dicengkeramnya. Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Jari-jari tangan kakek yang sudah terluka parah dan amat berat dan gawat keadaannya itu ternyata amat kuat dan dia tahu bahwa kakek itu masih dapat membunuhnya dengan sekali terkam!

   "Lauw-piauwsu, bersumpahlah bahwa semua itu tidak akan kau beritahukan orang lain, bahwa engkau akan merahasiakan keadaan kami. Bersumpahlah, kalau tidak terpaksa aku akan membawamu bersama untuk mengubur rahasia itu!"

   Lauw Sek terkejut bukan main. Kakek ini sungguh orang luar biasa sekali, bukan hanya berilmu tinggi, memiliki riwayat yang aneh akan tetapi wataknya juga aneh, keras dan dapat bersikap ganas sekali. Cepat dia lalu membisikkan sumpahnya.

   "Saya, Lauw Sek, bersumpah untuk merahasiakan segala yang saya dengar dari Kun-locianpwe saat ini."

   Jari-jari tangan itu mengendur dan melepaskan tengkuk Lauw Sek yang dapat menarik napas lega kembali.

   "Dan benarkah engkau bersedia menolong cucuku ini seperti yang kau janjikan tadi?"

   "Tentu saja, Locianpwe. Locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya, maka sudah tentu saya akan suka membalas budi kebaikan Locianpwe dengan melakukan perintah apapun juga."

   "Hemm.... aku.... aku tidak pernah minta tolong orang.... hanya engkau yang kupercaya. Maka, kuserahkan Siauw Goat kepadamu, biarlah kau menyebut Siauw Goat saja karena namanya termasuk rahasia itu.... dan kau harus membantu-nya sampai dia bertemu dengan orang tuanya...."

   "Baik, Locianpwe, akan saya kerjakan hal itu, betapa pun akan sukarnya."

   "Aku tidak minta tolong cuma-cuma.... ini.... coba tolong keluarkan benda dari saku bajuku, Goat-ji (Anak Goat)...."

   Siauw Goat sejak tadi tidak bicara, hanya memandang saja ketika kakeknya berbisik-bisik dekat telinga Lauw Sek tanpa dia dapat mendengarkan jelas. Kini, dia lalu memenuhi permintaan kakeknya merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kantong kain hitam.

   "Lauw-piauwsu.... inilah biayanya engkau mengantar cucuku.... kukira lebih dari cukup...."

   Dia menyerahkan kantung kain hitam itu.

   "Kun-locianpwe! Saya sama sekali tidak mengharapkan upah!"

   "Terimalah.... bukalah...."

   Suara kakek itu semakin melemah dan pandang matanya membuat Lauw Sek tidak berani membantah lagi. Dibukanya kantung kain hitam itu dan ternyata isinya hanya sebutir benda sebesar telur burung merpati. Akan tetapi ketika Lauw Sek memandang benda yang kini berada di atas telapak tangannya itu, dia terbelalak.

   "Ini.... ini.... mutiara berharga sekali.... saya.... mana berani menerimanya....?"

   Katanya gagap, terpesona oleh benda yang berkilauan biru itu.

   "Kau.... mengenalnya....?"

   Lauw Sek mengangguk.

   "Bukankah ini mutiara biru India yang hanya...."

   "Sudahlah.... laksanakan permintaanku...."

   Kakek itu lalu dengan susah payah bangkit duduk bersila. Tangannya masih mampu menangkis ketika Lauw-piauwsu mencoba untuk membantunya.

   Akhirnya dia dapat duduk bersila, duduk dengan bentuk Bunga Teratai, yaitu duduk bersila dengan kedua kaki bersilang, kaki kiri telentang di atas paha kanan dan kaki kanan telentang di atas paha kiri. Ini adalah cara duduk terbaik untuk orang yang suka melakukan meditasi menghimpun kekuatan dan kini kakek itu duduk seperti ini sambil memejamkan kedua mata atau lebih tepat menundukkan pandang mata dengan pelupuk atas menutup, kedua tangannya terletak di atas kedua lutut, telentang. Melihat ini, Lauw-piauwsu lalu mengundurkan diri untuk membantu teman-temannya yang masih sibuk mengurus kawan-kawan yang terluka. Akan tetapi, ketika matahari mulai mengirim sinarnya yang merah keemasan, membuat benang-benang sutera menerobos celah antara daun-daun bambu, dia mendengar teriakan Siauw Goat,

   "Kong-kong....!"

   Dia cepat menghampiri dan melihat anak itu berlutut dan mendekap kedua tangan kakek itu yang masih duduk bersila seperti tadi akan tetapi kedua tangannya dirangkap di atas pergelangan kaki. Lauw Sek memandang wajah kakek itu, dia mengerutkan alisnya dan meraba pergelangan tangan kanan kakek itu untuk merasakan denyut nadinya. Anak perempuan itu tidak menangis, hanya berlutut dan membenamkan mukanya di atas kaki kakeknya.

   "Dia sudah meninggal dunia!"

   Lauw Sek terkejut dan menoleh. Kiranya yang bicara itu adalah Si Sastrawan muda yang entah dari mana baru saja muncul dan begitu melihat wajah kakek itu telah berhenti bernapas. Dan memang sesungguhnyalah, Lauw Sek tidak dapat merasakan ada denyut nadi, maka dia lalu mengelus kepala Siauw Goat.

   "Siauw Goat, kakekmu telah meninggal dunia dalam keadaan tenang, jangan kau berduka lagi, Nak."

   Suara piauwsu ini agak gemetar karena dia merasa terharu sekali. Dia tahu bahwa kakek ini agaknya
(Lanjut ke Jilid 03)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
mengidap penyakit berat, dan ketika malam tadi menolongnya merobohkan dua orang perampok, agaknya kakek ini terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga luka di dalam tubuhnya makin parah dan mengakibatkan tewasnya. Anak perempuan itu mengangkat mukanya. Mukanya pucat, sepasang matanya bersinar-sinar, akan tetapi tidak nampak dia menangis sungguhpun ada bekas air mata membasahi kedua mata dan pipinya. Dia sama sekali tidak terisak, bahkan kini dia mengepal tinju kanannya yang kecil sambil berkata,

   "Aku bersumpah untuk membalas kematian kakekku kepada Si Jembel tua bangka Koai-tung Sin-kai dan perkumpulan penjahat Eng-jiauw-pang!"

   "Hemm, gadis cilik engkau lancang sekali! Koai-tung Sin-kai bukan...."

   "Kau peduli apa?"

   Siauw Goat meloncat berdiri, bertolak pinggang menghadapi sastrawan yang tadi mencelanya.

   "Semalam Kong-kong yang sedang menderita luka parah telah terpaksa membantu para piauwsu menghadapi penjahat-penjahat perampok Eng-jiauw-pang dan engkau bersembunyi di mana? Sekarang setelah kakekku meninggal, engkau muncul dan pura-pura hendak menasehatiku. Bagus, ya?"

   Sastrawan itu terbelalak, tersenyum murung dan mukanya berobah merah. Wah, anak ini luar biasa, pikirnya. Ketika dia mengangkat muka, dia melihat pandang mata semua orang ditujukan kepadanya, seolah-olah mereka itu mendukung teguran anak perempuan itu.

   "Aku menemukan jejak manusia salju dan mengikutinya semalam suntuk, akan tetapi tak berhasil menemukannya."

   Dia menggumam.

   "Yeti....?"

   Lauw Sek berteriak dengan muka pucat dan semua piauwsu juga menjadi pucat mukanya, bahkan ada yang menggigil ketakutan dan memandang ke kanan kiri.

   "Di.... di mana.... dia....?"

   Lauw-piauwsu bukanlah seorang yang lemah, akan tetapi sebagai seorang piauwsu yang sering kali melalui daerah ini, tentu saja dia sudah mendengar banyak tentang manusia salju atau Yeti, betapa mahluk itu kalau sudah mengamuk amat berbahaya, tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menandinginya. Maka tidak mengherankan kalau dia menjadi pucat ketakutan. Sastrawan itu menggerakkan pundaknya.

   "Aku hanya menemukan jejak kakinya saja, dan jelas bahwa orang-orang yang terbunuh itu adalah korban-korbannya."

   "Tapi.... biasanya Yeti tidak pernah mengganggu manusia. Kecuali.... kalau dia lebih dulu diganggu. Tentu ada hal hebat dan aneh terjadi maka Yeti dapat mengamuk seperti itu, membunuh banyak orang dan melihat betapa para korban itu dikoyak-koyak jelaslah bahwa Yeti itu benar-benar sedang marah. Kita harus cepat melanjutkan perjalanan. Mari kita cepat mengubur jenazah Kakek Kun, lalu segera melanjutkan perjalanan ke dusun Lhagat!"

   Semua orang lalu sibuk bekerja menggali sebuah lubang kuburan. Akan tetapi ketika mereka hendak mengubur kakek itu, ternyata tubuh kakek itu yang masih duduk bersila telah kaku dan tidak dapat ditekuk kaki tangannya agar dapat rebah telentang.

   "Biarkan saja!"

   Tiba-tiba Siauw Goat berkata lantang.

   "Kong-kong lebih suka tidur bersila, jangan ganggu jenazahnya!"

   Anak itu tidak tega melihat betapa para piauwsu berusaha untuk menarik-narik kaki tangan kong-kongnya. Sastrawan muda itu hanya tersenyum saja dan mengangguk-angguk. Maka beramai-ramai para piauwsu lalu menggotong tubuh yang masih bersila itu, meletakkannya ke dalam lubang yang cukup dalam. Setelah Siauw Goat memberi hormat untuk yang terakhir kalinya dengan hio yang menjadi bekal para piauwsu, kemudian semua piauwsu juga memberi hormat, bahkan juga tiga orang saudagar gendut, kecuali Si Sastrawan, maka jenazah dalam lubang itu lalu ditimbuni tanah. Tidak terdengar tangis, akan tetapi sastrawan itu melihat betapa air matanya bercucuran dari kedua mata Siauw Goat yang berdiri tegak. Anak ini menangis, namun kekerasan hatinya membuat tidak ada isak keluar dari mulutnya.

   "Luar biasa.... anak luar biasa...."

   Sastrawan muda itu menggumam kepada diri sendiri. Setelah selesai penguburan itu, Siauw Goat lalu minta kepada Lauw Sek agar makam itu diberi tanda. Piauwsu itu kelihatan bingung.

   "Ah, tanda apa yang dapat dipakai di tempat ini? Kecuali batu-batu kecil ditumpuk."

   Dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengumpulkan batu-batu. Akan tetapi tiba-tiba tampak sastrawan muda itu datang dan kedua tangannya yang diangkat ke atas kepala itu membawa sebongkah batu sebesar kerbau bunting! Semua orang memandang dengan kagum dan terkejut, akan tetapi dengan seenaknya sastrawan itu menurunkan batu perlahan-lahan ke depan makam baru. Tanpa berkata sesuatu dia lalu mundur lagi. Gadis cilik itu pun hanya memandang sejenak kepada Si Sastrawan, tanpa mengucapkan terima kasihnya karena dia masih mendongkol kepada sastrawan itu. Kalau semalam sastrawan itu berada di situ dan kakeknya tidak perlu harus menandingi para perampok, kakeknya belum tentu akan mati!

   Rombongan itu lalu melanjutkan perjalanan, menuruni lembah, dari hutan bambu itu terus menurun, menuju ke dusun Lhagat. Rombongan melakukan perjalanan dengan agak tergesa-gesa dan pada wajah para piauwsu itu terbayang ketakutan setelah mereka mendengar cerita Si Sastrawan bahwa Yeti berkeliaran di daerah itu dan membunuh orang secara amat mengerikan. Mereka tidak banyak bicara selama dalam perjalanan ini, bukan hanya karena takut dan ngeri kepada Yeti, akan tetapi juga karena mereka masih menghormati kematian Kakek Kun dan berada dalam keadaan berkabung. Juga Siauw Goat yang biasanya lincah itu kini nampak pendiam, akan tetapi sepasang matanya kadang-kadang mengeluarkan sinar penuh api kemarahan.

   "Siauw Goat, Kong-kongmu meninggalkan pesan agar mulai saat ini aku menjadi walimu, mengamatimu, mengurusmu dan mengantarkan engkau untuk mencari orang tuamu."

   Di dalam perjalanan itu Lauw Sek mendekatinya dan berkata lirih. Gadis cilik itu mengangguk tanpa menjawab.

   "Oleh karena itu, mulai sekarang, kuharap engkau suka menuruti segala petunjukku, karena aku merasa bertanggung jawab atas dirimu. Engkau tentu mengerti bahwa aku harus memenuhi segala janjiku kepada Kong-kong, Siauw Goat."

   Gadis cilik itu mengangkat kepala dan memandang kepada wajah piauwsu itu dengan sinar mata penuh selidik, sinar mata yang amat tajam. Agaknya dia merasa puas dengan hasil penyelidikan sinar matanya, karena dia kembali mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar dia menjawab lirih.

   "Baiklah, Lauw-pek."

   Biarpun dia berjalan agak menyendiri dan agak jauh dari Siauw Goat, namun pendengaran yang tajam dari Si Sastrawan dapat menangkap percakapan lirih itu dari dia hanya tersenyum sendiri. Perjalanan dilanjutkan dengan secepat mungkin dan kini para piauwsu terpaksa membagi-bagi barang-barang bawaan yang dikawal karena sudah tidak ada lagi kuli-kuli angkut yang membantu mereka. Lhagat adalah sebuah dusun yang besar, mirip sebuah kota yang dikitari gunung-gunung besar.

   Lhagat merupakan sebuah tempat di perbatasan yang selalu ramai karena tempat ini merupakan tempat pemberhentian dari mereka yang melakukan perjalanan dari Tibet ke Nepal atau India, atau sebaliknya. Juga merupakan tempat di mana orang-orang memperdagangkan barang-barang dagangan mereka dari negara masing-masing, pendeknya merupakan pasar bagi para pedagang dari berbagai negeri yang bertetangga. Tempat perbatasan Lhagat ini dikepalai oleh seorang Kepala Daerah. Menurut pengakuannya, secara resmi. Lhagat termasuk wilayah atau daerah dari Negara Tibet. Akan tetapi, karena tempat ini amat jauh dari kota-kota lain, juga amat terpencil dan berada di antara gunung-gunung yang amat luas dan liar, sedangkan tetangganya hanya dusun-dusun kecil terpencil di sana-sini, maka Kepala Daerah itu memerintah tempat ini seperti seorang raja kecil saja!

   Semua hal termasuk keamanan, pajak, dan peraturan-peratuan menjadi wewenangnya, bahkan Kepala Daerah ini mempunyai pasukan sendiri. Akan tetapi dia terkenal sebagai seorang pembesar atau kepala daerah yang bijaksana, karena Kepala Daerah ini maklum bahwa tempatnya merupakan sumber penghasilan yang besar dengan adanya pusat perdagangan jual beli antara pedagang-pedagang berbagai negeri itu. Dari mereka ini dia memperoleh bantuan berupa pungutan derma semacam pajak yang diberikan secara suka rela oleh para pedagang yang tentu saja mendapatkan banyak keuntungan dari perdagangan mereka. Pada hari-hari biasa yang lalu, Lhagat merupakan tempat yang tenang dan tenteram, keramaian yang ada hanya keramaian dagang yang tidak segan-segan membuang sebagian dari pada keuntungan mereka untuk bersenang-senang.

   Akan tetapi pada waktu itu, ada semacam ketegangan yang hebat mencekam hati penduduk Lhagat, membuat semua wajah nampak muram dan ketakutan. Ada dua peristiwa terjadi dan inilah yang membuat para penghuni kehilangan kegembiraannya. Yang pertama adalah orangorang asing yang membanjiri Lhagat. Orang-orang asing dengan pakaian dan sikap aneh-aneh dan biarpun sebagian besar mereka itu mengaku pelancong dan pedagang, namun sikap mereka amat mencurigakan karena yang mengaku pelancong lebih mirip jago-jago silat sedangkan yang mengaku pedagang tidak membawa barang dagangan melainkan membawa-bawa segala macam senjata tajam dan aneh-aneh! Jelaslah bahwa mereka itu adalah petualang-petualang, orang-orang kang-ouw dan berkumpulnya mereka pada suatu saat di tempat itu tentu telah terjadi hal-hal yang amat hebat.

   Hal ini saja belum meninggalkan kecemasan bagi para penduduk Lhagat. Yang membuat mereka ketakutan adalah peristiwa ke dua, yaitu banyaknya mayat-mayat ditemukan di sekitar Lhagat, di lembah-lembah, di gunung-gunung, di rawa-rawa dan di hutan-hutan. Hampir setiap hari datang laporan kepada Kepala Daerah tentang adanya mayat-mayat yang ditemukan oleh para pelancong itu atau oleh para pemburu, pedagang dan juga para penggembala setempat. Dan selalu mayat-mayat itu ditemukan dalam keadaan mengerikan, tubuh mereka koyak-koyak. Biarpun peristiwa ini dihubungkan dengan dongeng tentang manusia salju yang mengamuk, namun para penghuni Lhagat tetap saja menyalahkan para pendatang asing itu, dan memandang mereka dengan sinar mata tidak senang.

   "Yeti tidak pernah mengamuk dan membunuhi manusia."

   Kata seorang kakek penghuni aseli Lhagat.

   "Selama hidupku belum pernah mendengar ada Yeti mengamuk karena mahluk itu bukan sebangsa binatang buas pemakan bangkai. Kalau ada Yeti mengamuk, kalau memang benar Yeti yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, maka tentu ada sebabnya, tentu dia dibikin marah dan siapa lagi yang berani membikin marah Yeti kecuali orang-orang asing itu?"

   Inilah sebabnya mengapa kota atau dusun yang biasanya ramai meriah itu kini nampak muram dan sunyi, wajah para penghuni membayangkan kegelisahan. Dalam suasana seperti itulah rombongan Lauw-piauwsu memasuki Lhagat.

   Rombongan Pek-i-piauw-kiok tentu saja sudah dikenal oleh penghuni Lhagat, bahkan Kepala Daerah sendiri memiliki hubungan baik dengan Lauw-piauwsu, maka kedatangan rombongan ini tentu saja disambut dengan gembira karena biasanya rombongan ini membawa saudagar-saudagar dan siapa pun yang datang bersama rombongan ini tentu saja tidak dicurigai. Maka, biarpun hotel-hotel sudah penuh, tempat yang disebut dusun itu banyak mempunyai hotel karena banyaknya pedagang dari luar daerah yang berdatangan, tidaklah sukar bagi rombongan Lauw-piauwsu untuk memperoleh tempat penginapan. Banyak penghuni yang menawarkan tempatnya untuk Lauw-piauwsu, akan tetapi Lauw-piauwsu yang membawa dua orang teman yang terluka itu lebih suka tinggal menumpang di rumah samping milik Kepala Daerah yang dengan senang hati menerima kedatangan Lauw-piauwsu dan rombongannya.

   Lauw-piauwsu menyuruh anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu untuk melanjutkan perjalanan ke perbatasan Nepal yang tidak berapa jauh lagi dari Lhagat dan melalui jalan yang sudah aman dan baik, dan dari perbatasan ini nanti barang-barang kawalan milik pedagang Katmandu itu akan dioper oleh kafilah atau rombongan penyambut dari pedagang itu sendiri, Lauw-piauwsu sendiri bersama Siauw Goat dan dua orang anak buahnya yang terluka tinggal di rumah samping gedung kepala daerah sambil merawat dan mengobatkan dua orang yang terluka itu. Tiga orang saudagar gendut yang ikut dalam rombongan, sudah memisahkan diri setelah membayar biaya pengawalan kepada Lauw-piauwsu dan mereka sudah melupakan kesengsaraan dan ketakutan yang mereka derita dalam perjalanan itu. Kini dengan muka penuh senyum mereka mulai memperdagangkan barang-barang berharga mereka di pasar dengan keuntungan yang berlipat ganda.

   Juga sastrawan muda itu sudah tidak nampak lagi, tanpa mengucapkan terima kasih kepada Lauw-piauwsu, karena memang dia tidak merasa menumpang, hanya "kebetulan"

   Saja melakukan perjalanan bersama rombongan itu. Lauw-piauwsu mendengar dari para perajurit penjaga gedung kepala daerah bahwa para pelancong asing itu tertunda keberangkatan mereka di Lhagat. Semua orang tidak dapat melanjutkan perjalanan karena pada waktu itu terdapat badai salju mengamuk, dan biasanya badai seperti ini makan waktu dua tiga pekan. Siapa yang berani melanjutkan perjalanan ke daerah Himalaya pada waktu badai mengamuk berarti ingin mati konyol. Karena hambatan inilah maka Lhagat menjadi semakin penuh saja, karena orang-orang kang-ouw makin banyak membanjir datang, sedangkan yang sudah berada di situ tidak dapat pergi karena adanya badai salju itu.

   Maka kini hampir semua rumah menerima tamu! Keadaan ini ditambah dengan laporan-laporan tentang ditemukannya mayat-mayat disekitar daerah Lhagat, cukup membuat penghuni dusun atau kota itu menjadi panik. Apalagi ketika mereka mendengar kabar bahwa Kepala Daerah yang tentu saja amat mengkhawatirkan adanya kematian-kematian aneh itu, sudah mengutus sepasukan perajurit untuk melakukan penyelidikan dan telah tiga hari lamanya pasukan itu berangkat, sampai kini belum ada kabar beritianya! Mereka semua kini menanti-nanti dengan gelisah. Karena Lauw-piauwsu sibuk merawat dua orang anak buahnya, maka Siauw Goat memperoleh banyak kesempatan untuk menyendiri. Akan tetapi dara cilik ini agaknya telah reda kedukaannya karena kematian kakeknya dan dia bahkan mendapatkan kembali kelincahan dan kegembiraannya.

   "Lauw-pek, kapan kita melanjutkan perjalanan?"

   Berkali-kali dia bertanya.

   "Sabarlah, Siauw Goat. Dua orang paman yang luka itu sudah hampir sembuh dan nanti kalau para pamanmu piauwsu itu sudah kembali, kita akan melanjutkan perjalanan memenuhi pesan kakekmu. Pula, sekarang terdapat badai salju, tak seorang pun yang akan mampu melakukan perjalanan karena badai itu berbahaya sekali."

   Siauw Goat tidak banyak membantah karena dia yang banyak berkeliaran keluar sudah mendengar jelas tentang hal itu, bahkan dia sudah mempunyai banyak sekali kenalan dan sudah banyak mengobrol dengan para penghuni dusun Lhagat. Dia dikenal sebagai Goat-siocia (Nona Goat) dan sebagai puteri angkat Lauw-piauwsu!

   "Lauw-pek, aku ingin mempunyai busur dan anak panah, ada kulihat dijual orang busur dan anak panahnya yang baik di ujung dusun."

   Lauw Sek memandang dengan alis berkerut dan penuh keheranan.

   "Busur dan anak panah? Untuk apa?"

   "Untuk mempersenjatai diri! Bukankah perjalanan yang akan kita tempuh penuh bahaya? Aku dapat melindungi diri sendiri dengan senjata itu."

   "Ah, apakah engkau bisa mempergunakan busur dan anak panah, Siauw Goat?"

   "Engkau lihat saja nanti, Lauw-pek. Mari kita membeli sebuah busur dan beberapa batang anak panah untukku!"

   Lauw Sek tersenyum mengangguk dan mereka lalu pergi ke tempat orang menjual senjata yang banyak diperjual-belikan di situ karena para pemburu sering kehilangan anak panah dan selalu membutuhkan cadangan baru. Lauw Sek lalu memilihkan sebatang busur yang tidak terlalu besar dan berat, dan segebung anak panah yang belasan batang jumlahnya. Giranglah hati Siauw Goat. Dia segera mengalungkan tempat anak panah itu di pundaknya.

   "Mari kita coba anak panahku, Lauw-pek."

   Katanya gembira dan mereka lalu pergi ke tempat sunyi.

   "Lihat, aku akan memanah batang pohon itu!"

   Siauw Goat berkata lagi sambil menuding ke arah sebatang pohon yang tidak lebih besar dari tubuhnya sendiri. Cepat sekali dia sudah mengambil dua batang anak panah, tahu-tahu sudah dipasang di busurnya dan terdengar tali gendewa menjepret dan dua batang anak panah itu meluncur cepat dan menancap tepat di tengah-tengah batang pohon, berjajar dengan rapinya! Diam-diam Lauw Sek kagum juga. Memang anak ini bukan pembual, pikirnya. Ilmunya memanah memang boleh juga dan dapat diandalkan sebagai pelindung dirinya kalau bertemu dengan orang jahat. Pantaslah kalau diingat bahwa anak ini adalah cucu dari seorang kakek lihai seperti mendiang Kakek Kun.

   "Bagus!"

   Lauw Sek memuji sambil tertawa.

   "Kiranya engkau ahli memanah, Siauw Goat. Aku girang melihat ini, dan hatiku merasa lebih aman karena engkau pandai menjaga diri. Akan tetapi jangan engkau sembarangan mempergunakan anak panah untuk melukai orang."

   Siauw Goat menghampiri pohon itu dan mencabut dua batang anak panahnya lalu disimpannya kembali ke tempat anak panah yang tergantung di punggungnya.

   "Aku tahu, Lauw-pek. Dan pula, anak panah ini pun hanya kupergunakan apabila perlu dan terdesak saja. Sebelum mempergunakan itu busur ini pun sudah cukup baik untuk kupakai menjaga diri."

   Ucapan ini makin menggirangkan hati Lauw Sek karena dia tahu bahwa selain pandai memanah, gadis cilik ini tentu pandai bermain silat menggunakan busur itu sebagai senjata, dan hal ini pun tidak mengherankan mengingat akan kepandaian kakeknya. Dia kagum karena menggunakan busur sebagai senjata bukankah hal yang mudah dan harus dipelajari secara khusus,

   Berbeda dengan senjata-senjata lain seperti pedang, golok, tombak atau toya misalnya. Akan tetapi pada keesokan harinya Lauw-piauwsu menjadi bingung sekali ketika dia tidak melihat anak perempuan itu di kamarnya. Bahkan para pelayan mengatakan bahwa pagi-pagi sekali anak perempuan itu telah pergi meninggalkan tempat itu membawa busur dan anak panah. Lauw-piauwsu segera mencarinya, akan tetapi biarpun dia bertanya-tanya dan berputar-putar di daerah dusun, tetap saja dia tidak dapat menemukan Siauw Goat. Tentu saja hatinya merasa khawatir sekali. Apalagi keadaan makin gawat saja dengan berita-berita tentang adanya banyak orang yang kedapatan mati dalam keadaan mengerikan. Akhirnya Lauw-piauwsu bertemu dengan seorang penduduk yang melihat Siauw Goat.

   "Dia pagi tadi ikut bersama pasukan keluar dari pintu gerbang!"

   Mendengar ini Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya. Pasukan itu adalah pasukan yang diutus oleh Kepala Daerah untuk menyusul pasukan pertama yang sudah tiga hari tidak ada kabar beritanya!

   Mau apa anak itu ikut dengan rombongan pasukan,yang bertugas menyusul pasukan pertama itu? Teringat akan janjinya kepada Kakek Kun, Lauw Sek merasa tidak enak sekali dan karena keadaan kedua orang temannya yang terluka kini sudah mendingan, dia lalu pergi pula untuk menyusul dan mencari Siauw Goat. Ke mana perginya anak perempuan itu? Memang benar seperti apa yang didengar oleh Lauw Sek dari penghuni Lhagat itu. Siauw Goat yang banyak kenalan itu. mendengar bahwa Kepala Daerah mengirim pasukan untuk mencari pasukan pertama yang sudah tiga hari pergi untuk menyelidiki tentang kematian-kematian aneh yang terjadi di sekitar Lhagat. Mendengar ini, hati Siauw Goat tertarik sekali dan diam-diam dia lalu membujuk komandan pasukan itu untuk diperkenankan ikut!

   Sang Komandan, seperti juga orang-orang lain, suka kepada gadis cilik yang lincah ini, apalagi dia tahu bahwa gadis cilik ini adalah "puteri angkat"

   Dari Lauw-piauwsu yang telah dikenalnya, bahkan yang kini tinggal di rumah samping dari gedung Kepala Daerah. Oleh karena itu dengan senang hati komandan itu menerima permintaan Siauw Goat dan demikianlah, pagi-pagi benar Siauw Goat sudah bangun, membawa gendewa dan anak panahnya lalu ikut dengan rombongan pasukan itu keluar dari Lhagat untuk menyusul dan mencari pasukan pertama. Biarpun hati Lauw Sek sudah tidak begitu khawatir lagi setelah mendengar bahwa Siauw Goat ikut bersama pasukan, namun dia tetap keluar dari dusun itu untuk mencarinya. Adalah menjadi kewajibannya seperti dijanjikan kepada mendiang Kakek Kun untuk menjaga Siauw Goat.

   Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anak itu, dia akan merasa menyesal selama hidupnya! Lauw Sek berlari cepat mengejar rombongan pasukan yang menuju ke barat. Dia telah ketinggalan beberapa jam lamanya. Menjelang tengah hari, ketika dia tiba di puncak sebuah bukit, dan memandang ke bawah ke arah barat, nampaklah olehnya serombongan orang. Hatinya berdebar tegang karena dia mengenal orang yang berpakaian seragam. Yang membuatnya tegang dan khawatir adalah ketika dia melihat mereka itu menggotong mayat beberapa orang! Larilah Lauw Sek dan baru hatinya merasa lapang ketika dia mengenal Siauw Goat berada di antara mereka. Dara cilik ini masih memegang busur dan dia berjalan dengan langkah tegap di samping komandan pasukan, sedangkan anak buah pasukan itu ternyata menggotong mayat-mayat sebanyak tujuh orang!

   "Siauw Goat....!"

   Lauw Sek memanggil girang sambil berlari menghampiri.

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lauw-pek, engkau mau ke mana?"

   Tanya gadis cilik itu. Lauw Sek memandang dengan mata terbelalak, menahan kemarahannya.

   "Ke mana lagi kalau tidak mencarimu, anak nakal? Kenapa engkau pergi tanpa pamit?"

   Siauw Goat tersenyum.

   "Habis, kalau pamit tentu Lauw-pek tidak akan menyetujui."

   Komandan itu cepat menghampiri Lauw Sek.

   "Ah, Lauw-piauwsu, jadi puterimu ini tidak memberitahu bahwa dia ikut bersama kami? Ah, maafkan kami, kami kira dia sudah memberl tahu dan...."

   "Sudahlah, syukur tidak terjadi sesuatu dengan dia. Dan mayat-mayat ini...."

   Dia tidak melanjutkan karena pandang matanya mengenal sepatu dan pakaian seragam pada mayat-mayat itu maka mengertilah dia bahwa mayat-mayat itu adalah mayat-mayat para perajurit pasukan pertama yang tiada kabar beritanya itu! Ternyata mereka juga telah menjadi korban, entah korban Yeti seperti yang dikabarkan orang, entah korban apa.

   "Kami menemukan mereka di lereng bukit di sana, hanya ada tujuh orang yang telah tewas, sedangkan sisanya semua berada di dalam jurang yang amat curam, tak mungkin diambil lagi mayat-mayat mereka yang berada di dasar jurang itu."

   Kata komandan pasukan sambil menarik napas panjang.

   "Siapa.... yang melakukan itu!"

   Tanya Lauw Sek, pertanyaannya yang sia-sia karena sebetulnya semua orang, juga dia, menduga keras bahwa tentulah semua pembunuhan itu dilakukan oleh Yeti! Komandan itu mengangkat pundak, lalu berkata lirih.

   "Kami tidak menemukan siapa-siapa di sana, hanya melihat jejak kaki yang besar dan dalam...."

   "Jejak...."

   "Yeti, Pek-pek! Sudah pasti jejak mahluk kejam itu! Aku sudah minta kepada paman-paman ini untuk melanjutkan perjalanan mencari mahluk itu, akan tetapi mereka tidak mau dan lebih dulu hendak membawa pulang mayat-mayat itu. Aku ingin bertemu dengan dia, dan akan kuhabiskan panahku untuk membunuhnya!"

   "Hushh, Siauw Goat, jangan lancang bicara kau!"

   Lauw-piauwsu berkata dan dia merasa serem, memandang ke kanan kiri.

   "Apakah Pek-pek juga takut terhadap Yeti yang jahat itu?"

   "Hemm, kalau Kong-kong masih hidup, tentu kong-kong akan mencarinya dan membunuhnya agar dia tidak lagi membunuhi banyak orang."

   Diam-diam Lauw Sek kagum sekali kepada anak perempuan ini dan mengertilah dia mengapa anak ini minta dibelikan busur dan anak panah. Kiranya diam-diam anak itu marah kepada Yeti yang membunuh banyak orang dan ketika terbuka kesempatan, dia ikut bersama pasukan itu dengan harapan untuk dapat membunuh Yeti! Akan tetapi, keberanian yang nekat dari anak ini kelak dapat membuat repot kalau dia mengantar anak ini mencari orang tuanya, pikirnya. Maka di sepanjang perjalanan kembali ke Lhagat, Lauw Sek mengomeli Siauw Goat dan memesan dengan keras bahwa anak itu selanjutnya tidak boleh pergi tanpa pamit.

   "Siauw Goat, engkau tahu bahwa akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu, maka engkau tidak boleh pergi begitu saja tanpa sepengetahuanku. Mengerti?"

   Melihat wajah yang marah dan suara yang kaku itu, mulut kecil mungil itu merengut dan dia tidak menjawab, hanya mengangguk kaku. Selanjutnya, Siauw Goat tak pernah mau bicara lagi dalam perjalanan itu sampai mereka memasuki dusun Lhagat, disambut dengan wajah pucat oleh semua orang yang melihat mayat-mayat para perajurit keamanan itu dan mendengar tentang kematian seluruh pasukan pertama secara mengerikan dan juga aneh. Makin paniklah orang-orang di situ, dan kini mereka membicarakan Yeti dengan suara berbisik-bisik, seolah-olah takut kalau-kalau mahluk iblis itu akan muncul kalau namanya disebut-sebut dengan keras.

   Ratap tangis terdengar di Lhagat hari itu ketika keluarga para perajurit yang tewas itu menangisi kematian mereka. Penduduk merasa prihatin dan juga diam-diam marah sekali. Kaum tua di Lhagat masih tetap berpendapat bahwa semua ini adalah gara-gara para orang kang-ouw yang berdatangan di Lhagat. Tentu di antara mereka itu ada yang mengusik Yeti sehingga mahluk yang oleh para penghuni Lhagat dianggap dewa penjaga gunung salju itu kini mengamuk dan membunuh orang tanpa pilih bulu lagi. Maka kaum tua ini lalu mendesak kepala daerah untuk melakukan upacara sembahyang agar dewa itu berhenti mengamuk. Akan tetapi di kalangan orang kang-ouw yang berada di Lhagat, diam-diam merasa curiga. Mungkinkah Yeti yang mengamuk? Seorang atau seekor Yeti saja? Ataukah ada rahasia tersembunyi di balik pembunuhan-pembunuhan itu?

   Mereka semua tahu bahwa kini banyak tokoh-tokoh besar kaum sesat juga berada di daerah itu untuk mencari dan memperebutkan pedang pusaka yang dicuri orang dari dalam istana. Dan pembunuh-pembunuhan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh golongan sesat, tentu saja kalau bukan Yeti pelakunya. Siauw Goat yang agak marah karena terus diomeli oleh Lauw-piauwsu, tidak mau ikut pulang melainkan memasuki sebuah warung yang pemiliknya telah menjadi kenalan baiknya. Melihat gadis cilik itu kelihatan marah, Lauw-piauwsu hanya menarik napas panjang saja dan maklum bahwa dia sungguh memperoleh tugas yang amat berat dari mendiang Kakek Kun. Gadis cilik ini sukar sekali dikendalikan! Masuknya Siauw Goat ke dalam restoran kecil itu disambut oleh pemilik warung dan para pelayannya dengan senyum gembira.

   "Heii, Goat-siocia! Kami dengar engkau ikut bersama rombongan pasukan yang menemukan mayat-mayat itu! Ceritakanlah kepada kami!"

   Teriak Si Pemilik Warung.

   "Ceritakan apa lagi!"

   Kata Siauw Goat dengan nada tak senang.

   "Mereka semua telah mati oleh iblis terkutuk Yeti itu!"

   "Siocia....!"

   Semua orang terkejut dan memandang kepada dara cilik itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. Yeti dianggap dewa penunggu Gunung Salju oleh mereka, merupakan mahluk yang sakti dan dapat memberkahi atau mengutuk mereka. Dan kini gadis cilik itu seenaknya saja menamakan dewa itu iblis terkutuk! Melihat sikap ini, Siauw Goat menjadi makin mendongkol. Betapa semua orang takut kepada Yeti, bahkan Lauw-piauwsu juga ketakutan! Dia lalu membusungkan dadanya yang masih belum penuh betul itu, lalu berkata,

   "Tunggu saja, kalau aku bertemu dengan Yeti si iblis terkutuk, aku akan menghabiskan semua anak panahku untuk membunuhnya!"

   Semua orang menjadi semakin kaget, dan pada saat itu terdengar suara ketawa seorang laki-laki di sudut warung. Laki-laki ini sedang minum arak dari sebuah cawan, agaknya dia setengah mabok. Kepalanya bergoyang-goyang ketika dia tertawa dan berkata,

   "Ha-ha, omongan bau kentut busuk, bau kentut busuk....!"

   Semua orang menahan ketawanya. Tentu saja yang dimaksudkan oleh Si Pemabok itu adalah omongan Siauw Goat yang dianggap kentut busuk alias omong kosong. Dan memang semua orang menganggapnya omong kosong. Gadis cilik seperti ini menantang Yeti dan bersumbar akan membunuhnya? Akan tetapi Siauw Goat menjadi marah bukan main mendengar ejekan itu. Secepat kilat dia telah memasang sebatang anak panah pada busurnya dan sekali busurnya menjepret, anak panah itu menyambar ke arah Si Pemabok.

   "Tringgg!"

   Cawan di tangan Si Pemabok itu tepat terkena anak panah dan terlepas dari tangannya. Arak muncrat dan menyiram mukanya.

   "Ehhh....?"

   Si Pemabok bangun dan memandang kepada Siauw Goat dengan marah.

   "Berani engkau....?" . Akan tetapi beberapa orang pelayan memegang pundaknya dan berkata,

   "Ssttt.... kau sudah mabok rupanya. Pulanglah, A-kauw, kau lupa bahwa dia ini adalah Goat-siocia puteri Lauw-piauwsu. Pergilah....!"

   Ternyata nama Lauw-piauwsu sudah amat terkenal di Lhagat dan akhirnya Si Pemabok dapat dibujuk-bujuk meninggalkan warung itu, sedangkan Siauw Goat masih berdiri tegak sambil tangan kirinya bertolak pinggang dan tangan kanan memegang busurnya.

   "Hemm, engkau makin angkuh saja....!"

   Tiba-tiba terdengar suara halus. Siauw Goat cepat memutar tubuhnya menengok ke arah suara itu dan ternyata di sudut yang lain duduk seorang sastrawan muda yang pernah dikenalnya. Hatinya sedang kesal, maka bertemu dengan orang yang pernah dikenalnya, bahkan yang diketahuinya merupakan seorang yang berilmu tinggi, maka gembiralah hatinya, lupa bahwa dahulu dia juga sering kali mendongkol kepada sastrawan muda itu.

   "Eh, kau di sini?"

   Tegurnya seperti menegur seorang kawan sebaya saja, dan Siauw Goat dengan wajah yang manis berseri lalu berloncatan menghampiri. Sikap yang demikian lincah, senyum yang demikian manis dan wajah yang berseri-seri itu tidak mungkin membuat hati orang tinggal beku. Sastrawan muda itu pun menahan senyumnya dan setelah me-reka saling berpandangan, sastrawan muda itu lalu bangkit berdiri dan berkata.

   "Duduklah, dan kalau engkau suka, mari makan dan minum denganku."

   "Kalau suka? Tentu saja! Aku haus sekali dan.... wah, perutku lapar bukan main, agaknya...."

   Dia menengok ke arah pemilik warung dan pelayannya, lalu melanjutkan dengan kesengajaan yang nakal.

   "Agaknya aku bisa menghabiskan seekor Yeti panggang saus tomat sekarang ini!"

   Tentu saja wajah pemilik warung dan para pelayannya amat lucu untuk dipandang, dan sastrawan muda itu pun hampir tak kuat menahan senyumnya.

   "Lopek, tambahkan lagi bakminya, daging panggang dan.... eh, Siauw Goat, apa engkau suka minum arak?"

   Gadis cilik itu menggeleng kepala.

   "Untuku teh panas saja!"

   Dia pun lalu duduk dan tak lama kemudian gadis cilik ini sudah makan minum sambil mengobrol dengan asyiknya bersama sastrawan itu. Kalau tadi dia tidak mempedulikan permintaan pemilik warung dan para pelayan, kini dengan sukarela tanpa diminta dia menceritakan pengalamannya ketika dia mengikuti rombongan pasukan dan menemukan mayat-mayat dari pasukan pertama di bukit itu.

   "Wah, jejak kaki itu besar dan dalam sekali, Paman! Agaknya itulah jejak kaki Yeti. Apakah dulu Paman juga pernah melihatnya?"

   Cara gadis cilik ini bicara amat ramah dan seolah-olah dia bicara dengan seorang pamannya sendiri, membuat sastrawan itu pun merasa gembira dan sebutan paman yang demikian akrab itu membuatnya tersenyum. Selama dalam perjalanan, belum pernah Siauw Goat melihat orang ini tersenyum maka ketika melihat wajah tampan itu tersenyum, dia kagum dan memandang dengan bengong.

   "Hei, apa yang kau pandang?"

   Sastrawan itu berseru.

   "Wajahmu! Engkau.... tampan sekali kalau tersenyum, Paman! Kenapa engkau tidak mau sering tersenyum atau tertawa, sebaliknya selalu muram saja yang menyelimuti ketampananmu?"

   Sepasang mata yang biasanya muram dan mencorong aneh itu kini terbelalak. Kejujuran dan kepolosan watak gadis cilik ini amat menarik hatinya, juga mengejutkan. Perlahan-lahan wajah yang muram itu berseri.

   "Engkau pun manis sekali, Siauw Goat."

   Gadis cilik itu mengangguk! Agaknya dia pun sudah yakin akan kemanisan wajahnya, yakin akan dirinya sendiri seperti sudah diperlihatkan tadi ketika dia memanah cawan dari tangan Si Pemabok tadi. Kalau tidak yakin kepada diri sendiri tentu dia akan merasa ragu dan takut kalau-kalau panahnya meleset dan mengenal tubuh orang itu!

   "Paman, engkau tentu seorang siucai (sastrawan), bukan? Pakaianmu itu...."

   Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum.

   "Biarlah kupanggil engkau Paman Sastrawan! Namamu tidak dapat diberi-tahukan orang lain, bukan?"

   Kembali pria itu terkejut. Bocah ini sungguh bermata tajam dan agaknya mampu menjenguk isi hatinya.

   "Bagaimana engkau bisa menduga begitu?"

   Siauw Goat mengangguk-angguk.

   "Engkau seperti mendiang kakekku, selalu menyelimuti diri dengan rahasia dan keanehan. Kau tahu bahkan namaku pun dirahasiakan, setidaknya, nama lengkapku dan aku hanya boleh memperkenalkan diri dengan nama Goat saja, yang hanya merupakan sebutan. Dan nama kakek hanya diperkenalkan sebagai Kun saja. Biarlah, aku pun tidak akan mendesak untuk bertanya siapa namamu, karena andaikata kau berikan pun, tentu itu nama palsu. Akan tetapi, boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke mana, Paman?"

   Ditanya demikian, sastrawan itu termangu-mangu, lalu menarik napas panjang dan berkata,

   "Ke mana, ya? Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tempat tertentu, hanya merantau saja. Sudah puluhan propinsi kulalui, ratusan kota kukunjungi, ribuan dusun kujelajahi. Entah sudah berapa ratus buah gunung kudaki, ratusan batang sungai kuseberangi...."

   "Aihh senangnya....!"

   Siauw Goat berseru lalu menengadah seperti orang yang membayangkan semua itu dengan wajah berseri dan bibir yang mungil kemerahan itu tersenyum! Sastrawan itu memandang heran.

   "Apanya yang senang?"

   "Tidak senangkah engkau?"

   "Entahlah...."

   "Tentu senang sekali."

   Tiba-tiba dia menggerakkan tangan, telunjuk kirinya yang kecil menuding ke luar jendela warung, ke arah seekor burung yang sedang beterbangan di angkasa.

   "Lihat, engkau seperti burung itu! Alangkah senangnya, terbang bebas lepas tanpa ada yang mengikat!"

   Sastrawan itu memandang sebentar, lalu dia menatap wajah mungil itu sambil berkata.

   "Siauw Goat, engkau agaknya tidak mendengar keluhan burung itu...."

   "Apa? Dia hanya berkicau riang! Apakah dia mengeluh, dan apa yang dikeluhkannya?"

   "Dengar baik-baik. Kalau dia sudah kelelahan terbang, kepanasan, kehujanan, akhirnya dia mengeluh, merindukan sebuah sarang di mana dia dapat beristirahat dengan tenang dan aman...."

   "Ohhh.... ahhh.... benarkah itu, Paman?"

   Gadis itu termenung, agaknya kata-kata sastrawan itu menimbulkan kebimbangan di dalam hatinya. Dia sendiri selama ini membayangkan betapa bahagianya hidup bebas lepas seperti burung di udara, akan tetapi ternyata sastrawan yang hidup seperti burung ini agaknya merasakan kebahagiaan itu, bahkan agaknya merindukan rumah, merindukan ikatan!

   Memang selama manusia belum dapat bebas dalam arti yang sebenarnya, dia akan selalu merindukan sesuatu yang tidak atau belum ada! Tidaklah mengherankan apabila manusia yang tinggal di tepi laut merindukan keindahan alam pegunungan, sebaliknya mereka yang tinggal di lereng gunung merindukan keindahan pantai lautan! Manusia yang belum bebas selalu menganggap keadaan orang lain lebih menyenangkan daripada keadaan diri sendiri, milik orang lain lebih menarik daripada miliknya sendiri, dan selanjutnya. Pendeknya, yang terbaik dan terindah itu selalu berada di SANA, sedangkan yang berada di SINI selalu membosankan, buruk dan tidak seindah yang di sana! Hanya kalau orang sudah benar-benar bebas daripada permainan pikiran yang mengejar kesenangan, kalau sudah bebas dari bayanganbayangan kesenangan masa lalu yang menjadi kenangan,

   Bebas dari penilaian, bebas dari perbandingan, maka dia dapat membuka mata dan memandang dengan wajar, memandang dengan waspada dan dengan penuh perhatian, sepenuh perhatiannya, kepada apa adanya di saat ini! Dan kalau sudah dapat memandang seperti itu, setiap saat terhadap apa yang ada, tanpa dikotori perbandingan dan penilaian, maka batin tidak lagi digoda oleh bayangan-bayangan yang hanya mendatangkan pengejaran kesenangan dan akhirnya menuntun kita kepada kebosanan, kekecewaan dan kesengsaraan. Hanya kalau mata kita terbuka dan mengamati apa adanya setiap saat, maka akan nampaklah segala yang ada pada apa adanya itu. Dan apabila dalam penglihatan hasil pengamatan ini masih ada ini baik dan menyenangkan,

   "Itu buruk dan tidak menyenangkan", maka pengamatan itu pun akan menjadi kotor dan ternoda karena yang berkata baik atau buruk, itu bukan lain adalah pikiran yang selalu menjangkau kesenangan! Maka, dapatkah kita mengamati segala sesuatu yang terjadi, baik di luar maupun di dalam diri, mengamati segala macam benda di luar kita dan segala macam gerak-gerik tubuh kita, kata-kata kita, pikiran kita, tanpa penilaian, tanpa perbandingan dan hanya pengamatan saja yang ada, tanpa adanya si aku atau pikiran yang mengamati? Pengamatan seperti ini bebas dari baik buruk atau susah senang, pengamatan seperti ini melahirkan tindakan-tindakan wajar yang tidak dipengaruhi untung rugi. Pengamatan seperti ini adalah bebas, dan hanya dalam kebebasan inilah cinta kasih dapat menembuskan sinarnya.

   "Paman Sastrawan, kalau memang engkau merasa bosan merantau bebas seperti seekor burung, kenapa tidak kau hentikan saja?"

   Siauw Goat memang seorang anak yang cerdik, maka kini dia mendesak pemuda sastrawan itu.

   "Karena aku tidak mungkin berhenti, aku harus mencari...."

   "Mencari apa? Mencari siapa?"

   "Mencari isteriku...."

   "Eh....?"

   Siauw Goat memandang dengan matanya yang bening tajam. Sastrawan itu menarik napas panjang. Anak perempuan itu demikian menarik hatinya dan merupakan satu-satunya orang yang selama bertahun-tahun ini dapat menggerakkan hatinya. Sehingga dia mau bicara tentang dirinya. Kini dia berkata dengan nada suara berat.

   "Sudah hampir lima tahun aku mencarinya.... ke seluruh kolong langit.... dan aku sudah hampir putus asa...."

   "Isterimu kenapa, Paman? Bagaimana mungkin seorang isteri lari darimu? Siapa dia dan siapa namanya, bagaimana macamnya? Biar aku bantu mencari!"

   Menghadapi pertanyaan bertubl-tubi itu, sastrawan muda ini menahan senyum. Dia sudah sadar lagi dan kini hanya menggeleng kepala. Siapakah sebenarnya sastrawan muda ini? Pernah dia mengaku kepada Koai-tung Sin-kai Bhok Sun bahwa Sai-cu Kai-ong adalah gurunya. Dari pengakuan ini para pembaca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu akan dapat mengenalnya atau menduga siapa adanya sastrawan muda ini. Sastrawan muda yang berwajah tampan gagah dan bertubuh jangkung tegap ini bernama Kam Hong. Dia adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas yang pernah menggegerkan dunia persilatan.

   Semenjak kecil Kam Hong sudah menjadi yatim piatu dan dia dirawat oleh seorang kakek sakti berjuluk Sin-siauw Seng-jin (Manusia Dewa Suling Sakti) yang sebetulnya merupakan keturunan dari seorang hamba dari Suling Emas dan kakek inilah yang secara rahasia menyimpan kitab-kitab peninggalan Suling Emas, menyimpannya untuk kelak diserahkan kepada yang berhak yaitu Kam Hong sebagai keturunan langsung dari pendekar sakti Suling Emas. Ketika dia masih kecil sekali, Kam Hong telah ditunangkan dengan seorang anak perempuan yang merupakan keturunan langsung dari keluarga Yu, yaitu yang dahulu menjadi sahabat baik Suling Emas dan menjadi pendiri dari perkumpulan pengemIs Khong-sim Kai-pang. Kemudian, Sin-siauw Seng-jin menyerahkan Kam Hong kepada Sai-cu Kai-ong untuk digembleng, sedangkan Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek yang telah ditunangkan dengan Kam Hong itu sebaliknya oleh kakeknya diserahkan kepada Sin-siauw Seng-jin untuk dididik.

   Jadi, dua orang kakek ini telah saling menukar cucu dan momongan masing-masing untuk digembleng, dengan maksud agar keturunan Suling Emas itu memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi dan juga agar dapat tersembunyi karena Suling Emas mempunyai banyak musuh-musuh yang selalu berusaha untuk membasmi keturunannya. Akan tetapi Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong yang diserahkan kepada Sin-siauw Seng-jin itu diculik orang dan penculiknya itu bukan orang sembarangan, melainkan Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling Sakti Hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan dia menculik anak itu bukan dengan niat buruk, bahkan dia mengambil anak perempuan itu sebagai muridnya yang terkasih! Peristiwa ini menimbulkan hal-hal yang lucu dan menarik seperti yang dapat diikuti dalam cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI. Dalam cerita itu dituturkan betapa setelah mereka menjadi dewasa, akhirnya Kam Hong dapat bertemu dengan Yu Hwi yang telah dijodohkan kepadanya oleh dua orang kakek itu.

   Akan tetapi Yu Hwi yang sebelumnya oleh gurunya diberi nama Kang Swi Hwa dan berjuluk Ang-siocia, agaknya tidak mau menerima perjodohan itu apalagi karena dalam perantauannya dia tadinya menyamar sebagai pria dan ketika dia terluka dan pingsan, Kam Hong yang menolongnya pernah membuka bajunya dan melihat rahasianya bahwa dia seorang dara yang menyamar pria, maka peristiwa ini membuatnya merasa malu dan mendongkol kepada Kam Hong. Maka, ketika ia diberitahu bahwa dia adalah cucu Sai-cu Kai-ong bernama Yu Hwi dan bahwa dia telah dijodohkan sejak kecil kepada Kam Hong, dan menjadi marah lalu melarikan diri minggat! Demikianlah riwayat singkat dari Kam Hong. Pemuda ini kemudian mempelajari ilmu-ilmu peninggalan dari nenek moyangnya, yaitu Suling Emas.

   Dan memang dia berbakat sekali maka akhirnya dia dapat menguasai semua ilmu-ilmu itu, membuat Sin-siauw Seng-jin menjadi girang bukan main. Ilmu-ilmu itu amat sukar, dan Sin-siauw Seng-jin sendiri yang sudah selama puluhan tahun berusaha menguasainya, tetap gagal sungguhpun dengan latihan-latihan itu dia telah merupakan seorang tokoh puncak di dunia persilatan. Kini, pemuda keturunan Suling Emas itu mampu menguasai seluruh ilmu itu! Dan tentu saja, dengan ilmu-ilmu yang amat hebat ini. Kam Hong kini menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur tingginya, bahkan Sin-siauw Seng-jin sendiri, maupun bekas gurunya sendiri. Sai-cu Kai-ong, kini bukan tandingannya! Akan tetapi, biarpun dia memiliki ilmu kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) yang amat tinggi, namun di dalam hati Kam Hong menderita.

   Telah bertahun-tahun dia berusaha mencari Yu Hwi, mencari tunangannya atau yang bahkan telah dilakukan sebagai isterinya di depan Siauw Goat itu, namun hasilnya sia-sia belaka. Kam Hong sendiri belum yakin benar apakah dia mencinta Yu Hwi, juga dia tidak tahu apakah tunangannya itu mencintanya, sungguhpun mudah dugaannya bahwa tentu Yu Hwi tidak mencintanya, bahkan membencinya melihat betapa dara itu melarikan diri ketika diberitahu bahwa antara mereka telah ada ikatan perjodohan. Akan tetapi, ikatan jodoh itu telah ditentukan oleh kedua fihak wali mereka semenjak mereka masih kanak-kanak, oleh karena itu, dia tidak mungkin dapat memutuskannya begitu saja! Janji antara keluarga merupakan hal yang harus dipegang teguh, karena menyangkut kehormatan dan nama keluarga!

   Apalagi kalau dia mengingat bahwa antara keluarga Kam, yaitu keluarga Suling Emas dan keluarga Yu, yaitu keluarga para ketua Khong-sim Kai-pang, terdapat hubungan yang amat baik. Ikatan perjodohan yang sudah ditentukan oleh kedua kakek yang mewakili dua keluarga itu adalah urusan kehormatan, maka bagaimanapun juga harus dipegang teguh, harus dilaksanakan. Oleh karena itulah maka dia mati-matian mencari Yu Hwi tunangannya itu dan akan dicarinya terus sampai dapat, ke mana pun dia harus pergi. Kenekatan Kam Hong dalam mencari Yu Hwi itu sama sekali bukan terdorong oleh cintanya karena dia sendiri belum tahu apakah dia mencinta dara yang ditunangkan kepadanya itu, melainkan terdorong oleh kebiasaan atau tradisi atau kebudayaan atau pandangan umum pada waktu itu yang dianggapnya benar dan baik.

   Dan bukan Kam Hong saja yang berkeadaan seperti itu. Bahkan sampai sekarang pun, kehidupan kita penuh dengan pengaruh-pengaruh yang datang dari tradisi, kebiasaan, kebudayaan atau pandangan umum ini. Semua itu membentuk kita menjadi manusia-manusia yang tidak bebas, yang terikat oleh ketentuan-ketentuan itu, membuat kita menjadi manusia-manusia robot yang bergerak menurut apa yang telah digariskan oleh tradisi, oleh kebiasaan, oleh kebudayaan atau oleh pandangan umum itu. Kita ingin dianggap benar, dianggap baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan itu. Segala perbuatan yang dilakukan menurut contoh-contoh ketentuan yang dianggap baik, maka jelas perbuatan itu adalah palsu adanya. Kalau seorang melakukan sesuatu yang DIANGGAPNYA baik,

   Maka di balik perbuatan yang dilakukannya itu terkandung pamrih, yaitu agar dianggap baik oleh orang lain atau dirinya sendiri! Setiap perbuatan yang didasari dengan cinta kasih adalah spontan, tidak dinilai sebagai baik atau buruk, pikiran tidak mencampuri, dan si pelaku bahkan tidak ingat bahwa dia melakukan suatu perbuatan yang baik. Tradisi atau kebiasaan yang dinamakan pandangan atau pendapat umum telah kita terima sebagai garis ketentuan hidup, membelenggu kita lahir batin sehingga kita hidup seperti pelawak-pelawak yang bermain di atas punggung! Kita tidak berani menanggalkan itu semua karena kita takut akan pandangan orang, takut akan pendapat umum, dan takut kalau-kalau kita akan terasing. Terutama sekali kita takut karena de-ngan menanggalkan itu semua kita akan menjadi kosong dan tidak berarti apa-apa lagi!

   

Jodoh Rajawali Eps 57 Jodoh Rajawali Eps 52 Jodoh Rajawali Eps 1

Cari Blog Ini