Suling Emas Naga Siluman 31
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 31
"Ai Seng Kiauw murid murtad, engkau membikin kotor nama Siauw-lim-pai! Engkau tidak segan-segan untuk memperkosa murid Siauw-lim-pai dan isteri suhengnya sendiri, dan biarpun engkau kini telah bersembunyi di dalam pakaian kaisar, namun kami murid-murid Siauw-limpai sejati enggan hidup bersama orang durhaka macammu ini di atas bumi!"
Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan pedang dengan tangan kirinya, menggorok leher sendiri! Kaisar Yung Ceng terluka pundaknya dan sedang diperiksa oleh Kao Kok Cu. Akan tetapi ternyata luka itu tidak parah dan Kaisar marah sekali mendengar ucapan itu. Dia kini mengenal wajah para hwesio itu yang ternyata adalah suheng-suhengnya sendiri ketika dia belajar ilmu silat di Kuil Siauw-lim-si dahulu. Melihat bahwa masih ada seorang hwesio yang belum mati, Kaisar lalu menghampiri dan membentak,
"Pemberontak laknat, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian melakukan penyerbuan ini!"
Akan tetapi hwesio yang terluka oleh pukulan Syanti Dewi itu memandangnya dengan mata mendelik dan tidak menjawab. Dia hendak membunuh diri dengan membenturkan kepala di lantai, akan tetapi Kaisar telah mendahuluinya, menotok lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi.
"Hayo mengaku kalau engkau tidak ingin disiksa!"
Kaisar membentak lagi, wajahnya berobah merah saking marahnya.
"Ha-ha-ha-ha!"
Tiba-tiba hwesio itu tertawa dengan mata terbelalak, dan tiba-tiba dia menutup mulutnya dan melihat ini, Wan Tek Hoat cepat bergerak maju memegang dagunya dan memaksanya membuka mulut. Namun terlambat! Ketika mulut itu terbuka, mulut itu penuh darah dan lidahnya sudah putus oleh gigitannya sendiri! Sungguh mengerikan sekali melihat mulut terbuka itu penuh darah dan potongan lidahnya jatuh keluar. Syanti Dewi sendiri sampai mem-buang muka melihat pemandangan yang mengerikan itu. Kaisar semakin marah. Hwesio ini sudah putus lidahnya, berarti tidak akan mau bicara dan tentu akan mati.
"Cari gadis itu! Cari sampai dapat dan tangkap hidup-hidup!"
Teriaknya kepada para pengawal yang segera lari cerai-berai untuk memenuhi perintah Kaisar itu. Setelah para pengawal berserabutan lari untuk mengejar dan mencari gadis itu, baru Kaisar mempunyai kesempatan untuk memperhatikan empat orang penolongnya. Tentu saja dia mengenal Kao Kok Cu dan Wan Ceng, ayah dan ibu seorang panglimanya yang paling diandalkan, jaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong.
"Untung sekali kalian datang."
Kata Kaisar ketika melihat dua orang suami isteri perkasa ini memberi hormat kepadanya. Kemudian dia mengangkat muka memandang kepada Wan Tek Hoat, kemudian kepada Syanti Dewi dan wajahnya berubah, matanya mengeluarkan sinar berseri ketika dia memandang puteri itu dan agaknya pandang matanya enggan meninggalkan wajah yang luar biasa cantiknya itu.
"Dan siapakah orang gagah ini dan wanita cantik seperti bidadari ini?"
Tanyanya tanpa mengenal sungkan lagi. Syanti Dewi menunduk dan memberi hormat dengan sikap sederhana, akan tetapi diam-diam alisnya berkerut karena dia melihat pandang mata yang penuh nafsu di mata Kaisar itu yang ditujukan kepadanya. Juga Wan Tek Hoat melihat ini, akan tetapi dia pun menundukkan muka dengan sikap hormat. Kao Kok Cu dan Wan Ceng tentu saja melihat pula sikap Kaisar, maka cepat-cepat Wan Ceng memberi keterangan,
"Sri Baginda, dia ini adalah Kakak angkat hamba, yaitu puteri Bhutan bernama Syanti Dewi, bersama suaminya."
Kaisar nampak tercengang dan mengangguk-angguk.
"Ah, kiranya puteri Bhutan yang pernah membikin geger di istana belasan tahun yang lalu itu? Sungguh amat cantik luar biasa, dan memiliki kepandaian tinggi pula, pantas saja pernah membikin geger."
Kao Kok Cu yang merasa tidak enak melihat betapa Kaisar yang mata keranjang ini agaknya tertarik sekali kepada Syanti Dewi, lalu maju dan berkata,
"Sebaiknya kalau Paduka beristirahat lebih dulu, biarlah hamba semua ikut membantu pengejaran terhadap gadis itu. Siapa tahu mereka itu masih mempunyai teman-teman yang tersebar di dalam istana, sehingga keselamatan Paduka masih terancam."
Mendengar ucapan ini barulah Kaisar sadar akan keadaannya dan dia merasa betapa sikapnya tadi memang kurang sedap dipandang, apalagi mengingat bahwa wanita cantik ini disertai suaminya, bahkan suami isteri ini telah menyelamatkan dari ancaman bahaya maut. Kaisar lalu menarik napas panjang dan berkata dengan sikap ramah
(Lanjut ke Jilid 29)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
sekali,
"Baiklah, akan tetapi kami minta kepada kalian berempat untuk bersama kami makan pagi sehingga terdapat banyak kesempatan bagi kita untuk bercakap-cakap. Nah, sampai jumpa besok pagi."
Kaisar lalu diantar oleh selir dan para dayang, berikut pengawal pribadi untuk menuju ke sebuah kamar lain karena kamar itu telah dikotori oleh banyak darah.Empat orang gagah itu lalu meninggalkan ruangan itu pula untuk membantu para pengawal mencari gadis yang buron tadi, juga mereka itu diam-diam merasa heran akan lenyapnya Pangeran Kian Liong yang tadinya datang bersama mereka akan tetapi yang kini tidak lagi nampak lagi batang hidungnya! Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Memang tadi dia datang bersama dua pasang suami isteri itu.
Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang menyerang Kaisar itu melarikan diri melalul jendela kamar ayahnya, Pangeran ini lalu menyelinap dan melakukan pengejaran. Dia tahu bahwa para penyerang ayahnya itu adalah orang-orang Siauw-lim-pai, maka diam-diam dia merasa menyesal sekali karena dia sudah dapat menduga pula apa yang menyebabkan orang-orang Siauw-lim-pai itu menyerbu istana dan menyerang ayahnya. Dan biarpun Pangeran ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia mengenal semua lorong dan jalan rahasia di dalam istana, maka dia dapat mengejar dan membayangi gadis yang melarikan diri itu. Gadis itu sendiri merasa bingung. Memang ketika dia dan para susioknya (paman gurunya) menyelundup ke dalam istana, dia dan para susioknya itu menyamar sebagai pasukan pengawal.
Akan tetapi dalam keadaan melarikan diri ini, tentu saja tidak mudah baginya untuk keluar dari lingkungan istana. Di mana-mana terdapat penjaga dan bahkan kini di atas genteng pun nampak para penjaga! Maka dia lalu menyelinap dan memasuki lorong-lorong dan makin dalam dia masuk, makin bingunglah dia, tidak tahu mana jalan keluar lagi. Beberapa kali dia terpaksa mengambil jalan lain dan menyelinap sembunyi ketika hampir kepergok para penjaga. Ketika dia tiba di lorong yang lebar, sepasukan penjaga melihatnya. Mereka berteriak mengejar dan terpaksa gadis itu lari lagi mengambil jalan lain. Selagi dia kebingungan karena dari mana-mana muncul penjaga, tiba-tiba sebuah pintu di sebelah kirinya terbuka dan muncul seorang pemuda yang memberi isyarat kepadanya dengan tangan agar dia masuk ke pintu itu. Dia merasa heran dan curiga.
"Sssttt.... ke sinilah, Nona...."
Kata pemuda itu berbisik. Gadis itu masih meragu, akan tetapi kini terdengar derap langkah para penjaga dan pengawal yang sedang mencari-carinya, maka dia lalu menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang berwajah tenang dan tersenyum ramah.
"Masuklah dan engkau akan selamat dari pengejaran mereka"
Pemuda itu berkata. Karena tidak melihat jalan lain, gadis itu lalu memasuki pintu yang dibuka oleh pemuda itu, pedangnya masih tergenggam erat-erat di tangan kanannya. Untung dia bergerak cepat karena baru saja dia masuk, muncullah pasukan pengawal yang mengejarnya, tiba di depan pintu itu. Si Pemuda masih berdiri di depan pintu dan kini menutupkan pintunya sedikit sehingga gadis itu tidak nampak dari luar. Gadis itu mengintai, pedangnya siap menusuk pemuda itu kalau Si Pemuda ternyata mengkhianatinya dan melapor kepada pasukan. Akan tetapi, dia terheran-heran melihat betapa semua pasukan, dipimpin oleh komandan mereka, memberi hormat kepada pemuda itu dan minta maaf kalau mereka itu mengganggu.
"Kalian ini mengapa ribut-ribut di sini dan sedang mencari apa?"
Tegur pemuda itu dengan lantang. Komandan pasukan pengawal itu menjawab dengan suara penuh hormat,
"Harap maafkan kalau hamba sekalian mengganggu Paduka Pangeran. Hamba sedang mencari seorang buronan, yaitu seorang gadis yang merupakan satu di antara para penyerbu yang mengacau di istana."
"Hemm, aku sudah mendengar akan hal itu. Apakah belum tertangkap semua? Seorang gadis katamu? Sejak tadi aku berada di dalam taman dan tidak melihat seorang asing, apalagi seorang gadis. Pergilah kalian cari ke tempat lain."
Pasukan itu memberi hormat dan pergi dari tempat itu.
Derap kaki mereka makin menjauh dan akhirnya lenyap. Gadis itu memandang ke belakangnya. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman yang indah, yang cuacanya cukup terang dengan adanya lampu-lampu gantung beraneka warna menghias pohon-pohon di tempat indah itu. Sunyi sekali di situ. Akan tetapi dia pun merasa terheran-heran ketika mendengar betapa pasukan tadi menyebut pemuda ini pangeran! Kecurigaannya timbul kembali. Seorang pangeran, putera Ai Seng Kiauw, putera Kaisar yang menjadi musuh besarnya! Dia menggenggam pedang itu erat-erat ketika pemuda itu menutupkan daun pintu yang menembus ke taman itu. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Pangeran Kian Liong tersenyum melihat dara yang masih amat muda itu memandangnya penuh curiga dengan pedang siap menyerang!
"Untuk sementara ini engkau aman, Nona."
Pegangan pada gagang pedang itu mengendur, akan tetapi suaranya masih gugup ketika bertanya,
"Paduka.... Paduka seorang pangeran....?"
Pangeran Kian Liong mengangguk.
"Benar, dan namaku adalah Kian Liong."
"Ah....!"
Gadis itu nampak terkejut dan memandang wajah Pangeran, itu dengan bengong. Pangeran Kian Liong tersenyum. Ada sesuatu pada wajah dan terutama pada pandang mata gadis ini yang luar biasa baginya.
"Mari kita bicara di taman yang sunyi itu, Nona dan ceritakan siapakah Nona dan mengapa Nona yang masih begini muda tersangkut dalam urusan percobaan membunuh Sri Baginda, hal yang amat berbahaya sekali."
Sikap dan suara Pangeran Kian Liong yang halus dan penuh ketenangan itu mendatangkan ketenangan pula dalam hati gadis itu dan dia pun menurut saja ketika diajak ke dalam taman, bahkan kini dia telah menyimpan kembali pedangnya di dalam sarung pedang yang disembunyikan di bawah mantelnya. Mereka duduk berhadapan di atas bangku-bangku teruklir indah di tengah-tengah taman, menghadapi sebuah kolam ikan di mana banyak terdapat ikan-ikan emas beraneka warna dan bentuk yang berenang-renang di sekeliling bunga-bunga teratai merah dan putih.
"Nama hamba Souw Li Hwa, Pangeran dan hamba.... hamba sama sekali tidak memusuhi Sri Baginda Kaisar, hamba bukan seorang pemberontak, melainkan seorang murid yang hendak membalaskan dendam Guru hamba yang hidup sengsara karena perbuatan murid Siauw-lim-pai murtad Ai Seng Kiauw!"
Gadis itu mulai menceritakan keadaan dirinya. Pangeran Kian Liong mengangguk maklum.
"Aku pun mengerti dan dapat menduga, Nona, akan tetapi betapapun juga orang yang bernama Ai Seng Kiauw dan dahulu menjadi murid Siauw-lim-pai itu sekarang adalah Kaisar! Nah, ceritakanlah semuanya, apa yang telah terjadi sehingga engkau malam ini dengan nekat bersama beberapa orang hwesio Siauw-lim-pai menyerbu istana dan mencoba membunuh Kaisar."
Souw Li Hwa lalu bercerita. Dia seorang anak yattm piatu yang kedua orang tuanya tewas ketika dusunnya diserbu perampok. Dia masih kecil, baru berusia lima tahun ketika hal itu terjadi dan dia sendiri diselamatkan oleh pendekar Siauw-lim-pai yang kemudian mengangkatnya sebagai murid dan merawatnya seperti anak sendiri. Li Hwa diberi pelajaran ilmu silat dan ketika dia berusia empat belas tahun, penolongnya yang juga merupakan gurunya dan pengganti orang tuanya itu menikah dengan seorang gadis cantik dan dia masih terus ikut gurunya,
Sebagai murid dan juga sebagai pembantu isteri gurunya yang juga amat sayang kepadanya. Karena suami isteri itu tidak mempunyai anak biarpun mereka sudah menikah selama tiga tahun, maka mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai anak sendiri. Kemudian terjadilah malapetaka itu! Guru itu dan isterinya yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya dan yang memang memiliki wajah cantik itu, pergi mengunjungi Kaisar di istana. Kaisar adalah murid Siauw-lim-pai dan terhitung sute dari guru Li Hwa, maka kedatangan suami isteri itu diterima dengan amat ramah oleh Kaisar. Akan tetapi, watak mata keranjang Kaisar itu menimbulkan malapetaka hebat menimpa keluarga yang tadinya hidup dengan rukun, dan bahagia itu.
"Ketika Suhu sedang asyik main catur bersama seorang thaikam, dan hal ini agaknya sengaja dilakukan oleh Ai Seng Kiauw, maka isteri Suhu yang berada di dalam kamar seorang diri itu didatangi oleh Ai Seng Kiauw dan diperkosa. Memang tidak ada saksi atau bukti, akan tetapi apalagi yang menyebabkan isteri Suhu itu tiba-tiba menggantung diri dalam kamar itu? Suhu tidak berani menuduh Kaisar karena tidak ada bukti, akan tetapi peristiwa itu membuat Suhu menjadi sakit-sakitan dan bahkan akhir-akhir ini Suhu menderita tekanan batin yang membuat dia seperti orang yang tidak waras lagi...."
Sampai di sini, gadis itu mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya.
Pangeran Kian Liong menarik napas panjang. Cerita ini tidak aneh baginya, karena memang dia pernah mendengar persitlwa yang terjadi kurang lebih setahun yang lalu itu. Li Hwa lalu melanjutkan ceritanya. Kiranya selagi mudanya dan menjadi murid Siauw-lim-pai, Ai Seng Kiauw bersama delapan orang lainnya yang juga menjadi murid-murid terpandai di Siauw-lim-pai merupakan sekelompok sahabat-sahabat akrab yang terkenal sebagai Sembilan Pendekar Siauw-lim-pai, demikianlah nama julukan yang mereka pilih dan mereka yang sembilan orang ini pernah bersumpah untuk saling setia. Di antara delapan orang ini termasuk pula guru Li Hwa, sedangkan tujuh orang lainnya adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-si, hanya Ai Seng Kiauw dan guru Li Hwa sajalah yang tidak menjadi pendeta.
"Karena menganggap semua perbuatan Ai Seng Kiauw sebagai hal yang keterlaluan, murtad dan mengotori nama baik Siauw-lim-pai, apalagi karena mengingat betapa Ai Seng Kiauw telah berbuat laknat terhadap Guru hamba dan berarti melanggar sumpah setianya sendiri, maka tujuh Susiok itu lalu mendukung niat hamba untuk membalas dendam. Akan tetapi...."
Kembali gadis itu mengusap air matanya,
"Ternyata kami gagal...., dan entah bagaimana nasib tujuh orang Susiok yang malang itu...."
Pangeran Kian Liong memandang tajam. Biarpun dia masih muda dan tidak merupakan seorang ahli silat yang pandai, namun pergaulan Pangeran ini amat luas dan dia sudah mengenal banyak sekali orang-orang pandai dan sakti. Dia melihat bahwa dara ini sebetulnya bukan merupakan seorang kang-ouw yang keras hati, melainkan seorang nona yang halus perasaannya. Dan entah mengapa, baru pertama kali ini Pangeran Kian Liong merasa tertarik kepada seorang gadis. Terutama sepasang mata dari dara inilah yang membuat dia terpesona, sepasang mata yang membayangkan penderitaan batin yang amat mendalam dan menimbulkan rasa iba dalam hatinya. Dia dapat membayangkan betapa dukanya hati nona ini.
"Nona, menyerbu istana merupakan perbuatan bodoh, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi, mengapa engkau meninggalkan tujuh orang Susiokmu yang terkepung itu?"
Ditanya begini, dara itu nampak terkejut dan mukanya berobah pucat, lalu menjadi merah sekali, suaranya terisak ketika dia menjawab.
"Itu bukan kehendak hamba! Akan tetapi, Toa-susiok me-maksa hamba.... dan.... dan hamba pikir.... kalau kami semua harus tewas, lalu siapa yang kelak akan membalas dendam? Usaha kami ini kali tidak berhasil, mungkin semua Susiok gugur, akan tetapi hamba masih hidup dan hamba akan...."
Tiba-tiba dia teringat bahwa dia berhadapan dengan seorang pangeran, putera dari Kaisar yang hendak dibunuhnya dan dia memandang dengan mata terbelalak! Dia menjadi bingung! Pemuda ini adalah putera Kaisar, putera musuh yang akan dibunuhnya, tetapi juga penolongnya, bahkan sampai saat itu keselamatannya mungkin berada di tangan Pangeran ini!
"Nona, mengapa Nona membiarkan diri terperosok ke dalam lembah dendam ini?"
"Betapa tidak? Hamba kehilangan orang tua, guru, sahabat.... hamba kehilangan satu-satunya orang yang selama ini mengasihi hamba.... dan sekarang, hamba seolah-olah ditinggal sendiri.... dan melihat penderitaan Suhu.... ah, apa yang dapat hamba lakukan kecuali berbakti dan membalas dendam kepada musuhnya?"
Pangeran Kian Liong menggeleng kepalanya sambil tersenyum penuh kesabaran.
"Ah, engkau masih terlalu muda, engkau tidak tahu dan hanya menurutkan perasaan saja, Nona. Apakah sebabnya engkau mendendam kepada Kaisar?"
"Hamba tidak mendendam kepada Kaisar, melainkan kepada Ai...."
"Ya, katakanlah mendendam kepada Ai Seng Kiauw. Mengapa?"
Gadis itu memandang dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Karena dia membuat Suhu menjadi gila! Karena dia membunuh isteri Suhu!"
Pangeran itu menggeleng kepalanya.
"Benarkah itu? Suhumu itu menjadi sakit dan gila, menurut hematku, karena kelemahannya sendiri, Nona."
"Tidak, Suhu menjadi sakit karena kematian isterinya. Dan isterinya membunuh diri karena diperkosa...."
"Hemm, kalau dipikir secara demikian, memang segala ini ada sebab-sebabnya tentu. Misalnya, mungkin sikap isteri Suhumu terlalu manis, atau dia itu terlalu cantik, dan harus diingat lagi bahwa sebab terjadinya peristiwa itu adalah karena Suhumu datang mengunjungi Ai Seng Kiauw, dan malah membawa isterinya lagi! Coba bayangkan, andaikata dia tidak datang ke istana, dan andaikata dia tidak membawa isterinya, dan andaikata isterinya itu tidak cantik, dan andaikata dia itu tidak tergila-gila main catur.... dan masih banyak andaikata lagi yang menjadi sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena itu, mengapa Nona menyeret diri ke dalam dendam? Ingatlah bahwa Ai Seng Kiauw itu adalah kaisar, dan berusaha membunuh Kaisar, dengan dalih apapun juga, merupakan pemberontakan!"
Gadis itu kelihatan semakin gelisah dan bingung mendengar ucapan pemuda itu.
"Tapi.... tapi.... kalau hamba diam saja.... berarti hamba menjadi seorang murid yang tidak berbakti....!"
Pangeran itu tersenyum lebar.
"Ingat, Nona, tentu engkau tahu bukan siapakah aku ini? Aku adalah seorang pangeran, aku putera Kaisar, berarti aku putera seorang yang kau kenal sebagai Ai Seng Kiauw itu. Aku adalah putera musuh besar yang hendak kau bunuh! Dan apa yang kulakukan? Alangkah mudahnya kalau aku mau mencontohmu untuk berbakti! Sekali berteriak engkau akan tewas dikeroyok pengawal. Akan tetapi aku tidak mau berbakti seperti itu, berbakti dengan membunuh orang! Nona, tidak dapatkan engkau berbuat seperti aku, menghapuskan segala macam dendam sehingga tidak akan ada permusuhan di antara kita?"
Gadis itu kelihatan semakin bingung. Belum pernah dia bertemu, bahkan mendengar pun belum, akan adanya seorang putera yang tidak memusuhi orang yang hendak membunuh ayahnya seperti Pangeran ini! Malah Pangeran ini menolongnya, biarpun sudah tahu bahwa dia datang untuk membunuh ayah Pangeran itu!
"Aku.... aku tidak tahu...."
"Apakah Nona menghendaki kalau Nona bermusuhan dengan Ayahku, kemudian aku pun memusuhimu? Tidak akan ada habisnyakah dendam-mendendam ini?"
"Tapi.... tapi Ayahmu.... dia jahat...."
Pangeran itu menarik napas panjang, dan menggeleng kepala,
"Ayahku dahulu juga seorang pendekar, seorang gagah. Dan harus diakui bahwa dia seorang kaisar yang amat baik. Hanya dia mempunyai kelemahan, atau katakanlah dia sedang dalam sakit.... dan benarkah kalau kita harus membunuh orang yang sedang sakit? Ataukah tidak lebih tepat kalau kita berusaha mengobatinya?"
Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak orang berlarian, makin lama makin dekat.
"Hemm, agaknya pasukan pengawal akan mencarimu ke tempat ini, Nona."
Dara itu meloncat bangun dan mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong berkata,
"Jangan, Nona. Percuma saja engkau melawan mereka."
"Habis, apakah aku harus menyerahkan diri begitu saja?"
"Aku ada akal. Cepat Nona menyelam di dalam kolam ikan, dan sembunyikan kepala dibawah dan di antara daun-daun teratai. Cepat!"
Karena dia sendiri memang sedang bingung dan panik, Li Hwa tidak melihat akal lain dan dia pun lalu masuk ke dalam kolam ikan! Air kolam itu setinggi dadanya dan dia pun menekuk lututnya sehingga terbenam sampai ke bawah mulut dan dia menyembunyikan sisa kepalanya di antara daun-daun teratai, di bagian yang gelap dari kolam itu. Ketika pasukan pengawal memasuki taman dan tiba di dekat kolam ikan itu, Pangeran Kian Liong sedang melempar-lemparkan batu-batu kecil ke tengah kolam, membuat air kolam itu tergerak-gerak dan agak berombak.
"Maaf, Pangeran"
Kata seorang perwira pengawal setelah mereka semua memberi hormat.
"Akan tetapi sebaiknya kalau Paduka masuk ke istana karena ada penjahat berkeliaran di sini. Tujuh orang sudah tewas, akan tetapi seorang dari mereka masih belum tertangkap."
Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya.
"Tidak perlu kalian mengurus aku! Pergilah dan carilah dia sampai dapat. Dia tidak berada di sini. Hayo pergi dan jangan ganggu, aku lagi!"
Komandan itu dan pasukannya menjadi ketakutan melihat Sang Pangeran bicara dengan sikap marah itu. Dengan hormat mereka lalu mengundurkan diri dan baru setelah tidak terdengar lagi langkah-langkah kaki mereka, Pangeran memberi isyarat kepada Li Hwa untuk keluar dari dalam air. Gadis itu keluar dan Pangeran Kian Liong memandang dengan terpesona. Karena basah maka pakaian gadis itu melekat pada tubuhnya dan seperti mencetak bentuk tubuh yang padat langsing itu.
"Terima kasih, Paduka telah menyelamatkan hamba, Pangeran."
Baru Sang Pangeran sadar ketika mendengar ucapan itu dan timbul rasa kasihan melihat seluruh tubuh gadis itu basah kuyup.
"Ah, engkau basah kuyup, Nona. Engkau bisa sakit nanti. Mari ikut denganku, engkau harus bertukar pakaian dan baru nanti kuantar engkau keluar dari dalam istana."
Tanpa banyak cakap lagi Li Hwa lalu diajak pergi dari taman, memasuki kamar Sang Pangeran.
Beberapa orang pelayan memandang heran, juga beberapa orang thaikam yang bertugas menjaga malam itu. Akan tetapi Sang Pangeran menaruh telunjuk pada mulutnya dan mereka itu berlutut dan tidak berani mengangkat muka, maklum bahwa Sang Pangeran minta agar mereka menutup mulut. Mereka hanya merasa heran bukan main. Melihat Pangeran itu datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hal seperti itu tidak mendatangkan keheranan sungguhpun Pangeran Kian Liong bukan seorang pengejar wanita cantik. Akan tetapi datang bersama seorang gadis yang seluruh tubuhnya basah kuyup, sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali. Pangeran Kian Liong mengajak Li Hwa memasuki kamarnya dan menutupkan pintu kamar itu. Kemudian dia mengambil stel pakaiannya dan memberikannya kepada Li Hwa.
"Nah, kau boleh berganti pakaian kering ini, Nona. Dengan pakaianku ini engkau akan menjadi seorang pemuda dan akan mudah untuk kuantar keluar dari istana tanpa mendatangkan kecurigaan. Pakailah, engkau dapat berganti pakaian di balik tirai itu."
Li Hwa menerima pakaian itu dengan muka berobah merah, lalu dia pergi ke balik tirai hijau yang tergantung di sudut kamar, menanggalkan pakaiannya yang basah, lalu mengenakan pakaian Pangeran itu yang tentu saja agak terlalu besar untuknya. Ketika dia telah selesai dan keluar dari balik tirai sambil membawa pakaiannya yang basah dan sudah digulungnya, Pangeran itu meman-dang dengan wajah berseri dan kagum.
"Ah, engkau telah berobah menjadi seorang, kongcu yang tampan sekali!"
Li Hwa menunduk dan mukanya menjadi merah. Makin lama, dia merasa makin tertarik kepada Pangeran ini sebagai seorang yang amat bijaksana dan dapat menghargai orang kang-ouw, juga amat adil dan berpemandangan luas. Sekarang dia bertemu dengan Pangeran ini dan menyaksikan sendiri tindak-tanduk Pangeran ini yang memang amat bijaksana.
"Sekarang, bagaimana selanjutnya, Pangeran?"
Tanya Li Hwa sambil mengangkat muka memandang pangeran itu. Kembali Pangeran Kian Liong terpesona. Sekarang mereka berada di dalam kamarnya yang terang dan dia melihat dengan jelas wajah itu, sepasang mata itu dan dia benar-benar merasa kagum sekali sehingga pertanyaan itu seperti tidak terdengar olehnya. Melihat betapa Pangeran itu memandang bengong kepadanya, Li Hwa kembali menunduk dan barulah Sang Pangeran sadar.
"Ohh.... sekarang.... hemm, biarlah sekarang aku akan mengantarmu sendiri sampai keluar dari istana. Takkan ada yang berani menyentuh selembar rambutmu, Nona. Kemudian, setelah tiba di luar istana, engkau boleh keluar dari kota raja dan kau pakailah cincinku ini. Dengan cincin ini dan sepucuk suratku ini, engkau akan dapat pergi ke manapun juga tanpa ada yang berani mengganggumu."
Pangeran itu meloloskan sebuah cincin bermata merah yang ada ukiran huruf-huruf namanya, berikut sampul surat yang ditulisnya ketika Li Hwa bertukar pakaian tadi. Li Hwa menerima cincin dan sampul itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran.
"Pangeran telah menyelamatkan hamba, hamba telah hutang nyawa kepada Paduka. Hamba tak mungkin dapat membalasnya dan...."
"Li Hwa, bangkitlah."
Sang Pangeran memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri. Mereka berdiri berhadapan dekat sekali dan kedua tangan Pangeran itu masih berada di atas pundak Li Hwa.
"Engkau tak perlu membalas, tak perlu berterima kasih. Aku akan merasa girang sekali kalau engkau mau membuang jauh-jauh dendam dari hatimu itu."
Dara itu menunduk, dan mengangguk, kemudian mengangkat muka memandang. Sepasang matanya bersinar lembut dan bisikannya menggetar.
"Demi Paduka, mengingat akan kebijaksanaan Paduka, hamba berjanji akan membuang dendam itu, Pangeran. Kini hamba melihat bahwa memang tiada gunanya semua itu, bahkan Paduka sendiri yang semestinya yang menghukum hamba, bersikap begini mulia."
"Bagus! Aku girang sekali, Li Hwa. Dan ingatlah, kelak.... kalau aku telah menjadi kaisar...."
"Ya....?"
Li Hwa mendesak, melihat pemuda bangsawan itu nampak malu-malu untuk melanjutkan ucapannya.
".... dan kalau engkau masih bebas.... engkau boleh datang ke sini mengembalikan cincin ini...., dan engkau selamanya boleh tinggal bersamaku di dalam istana.... di sampingku...."
Jantung Li Hwa berguncang keras, jalan darahnya menjadi cepat dan dia menundukkan muka sampai dagunya menempel di dada. Sungguh tak disangka-sangkanya sama sekali ucapan Pangeran ini! Dia sudah merasa berhutang budi, putera Kaisar yang sepatutnya menyerahkannya kepada pengawal, yang sepatutnya menghukumnya sebagai seorang pemberontak yang berusaha membunuh Kaisar,
Bukan hanya malah menyelamatkannya, menolongnya, bahkan kini secara tidak langsung mengaku cinta kepadanya dan minta dia untuk kelak mendampinginya atau menjadi isterinya! Rasa haru yang amat mendalam membuat Li Hwa memejamkan matanya, hampir tidak percaya akan kata-kata yang didengarnya tadi. Kalau Pangeran ini bersikap kasar atau merayunya, mencoba untuk memperkosanya, hal itu tidak akan mengherankan hatinya, bahkan tadi dia sudah mempunyai dugaan seperti itu dan diam-diam dia sudah mengambil keputusan bahwa kalau Pangeran itu mencoba untuk memperkosanya atau bersikap kurang ajar kepadanya, dia akan membunuh Pangeran itu lalu mengamuk sampai titik darah terakhir.
Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu! Pangeran itu bukan saja menyelamatkannya, bahkan bersikap amat sopan dan baik sekali kepadanya, bahkan kini menyatakan cintanya dengan cara tidak langsung, malah "meminangnya"
Secara tidak langsung pula! Dia merasa terharu sekali, dan merasa terpukul betapa tadi dia merasa curiga dan mengira bahwa Pangeran itu akan memperkosanya. Karena sampai lama gadis itu tidak menjawab dan hanya menunduk, Sang Pangeran lalu melepaskan tangan kirinya yang berada di pundak kanan gadis itu, lalu dengan hati-hati menggunakan jari-jari tangan kiri memegang dagu gadis itu dan mengangkat muka itu perlahan-lahan menghadapinya. Muka yang agak pucat, kedua matanya terpejam dan beberapa butir air mata menitik turun dari mata itu ke atas kedua pipinya.
"Li Hwa.... jawablah, maukah engkau....?"
Li Hwa membuka mata dan sejenak mereka saling berpandangan, kemudian gadis itu mengangguk dan menggenggam cincin itu.
"Hamba.... akan menyimpan cincin ini.... sampai akhir hayat...."
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tok-tok-tokk!"
Keduanya terkejut dan otomatis Li Hwa melangkah mundur, membalikkan tubuh memandang ke arah daun pintu itu.
"Siapa....?"
Pangeran Kian Liong membentak dengan suara keren.
"Saya, Pangeran. Harap buka pintu!"
Terdengar suara wanita dari luar pintu. Mendengar suara ini, Sang Pangeran mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa dia menghadapi ancaman! Akan tetapi, dia bersikap tenang dan pura-pura tidak mengenal suara itu, lalu bertanya.
"Saya siapa?"
"Saya Ibumu ke tiga, Pangeran."
"Ah, harap Ibu tidak mengganggu, saya ingin tidur."
"Bukalah, Pangeran dan tidak perlu lagi berpura-pura. Ibumu sudah tahu bahwa engkau menyembunyikan wanita pemberontak itu di dalam kamar!"
"Singgg....!"
Li Hwa mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong memberi isyarat agar wanita itu bersikap tenang, bahkan dia lalu memegang dan menggandeng tangan kiri Li Hwa dan berbisik menyuruh gadis itu menyarungkan pedangnya. Kemudian dia berkata, menghadapi pintu.
"Tunggu, saya hendak keluar dengan teman saya."
Dan Pangeran itu lalu menggandeng tangan Li Hwa, diajaknya menghampiri pintu, membuka daun pintu dan melangkah keluar sambil menggandeng tangan gadis yang kini memakai pakaian pria yang agak kedodoran itu! Diam-diam Li Hwa merasa gelisah sekali, jantungnya berdebar tegang dan dia sudah siap untuk melawan kalau-kalau dia hendak diserang atau ditangkap. Melihat Pangeran Mahkota itu melangkah dengan amat gagah menggandeng seorang "pemuda"
Yang pakaiannya kebesaran, Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga itu terbelalak dan tahulah dia bahwa "pemuda"
Itu tentu wanita pemberontak yang dikejar-kejar. Tadi dia menerima laporan mata-matanya, yaitu seorang di antara para pelayan thaikam yang melihat Pangeran itu masuk kamar bersama wanita yang pakaiannya basah kuyup.
"Pangeran, tunggu! Engkau tidak boleh...."
"Apa?"
Pangeran itu berhenti, membalik dan menghadapi wanita tua itu, lalu memandang kepada para pengawal yang datang bersama ibu suri itu, pandang matanya penuh tantangan,
"Siapa berani menghalangi aku keluar dari sini? Siapa? Ingin aku melihat orangnya yang berani menghalangiku!"
Sikapnya amat gagah dan menantang, sehingga semua pengawal menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata Pangeran itu.
Melihat ini, Pangeran Kian Liong tersenyum dan dia pun lalu menggandeng tangan Li Hwa dan terus diajak berjalan keluar. Sejenak Sam-thaihouw tertegun menyaksikan keberanian Pangeran itu dan kemudian dia pun sadar bahwa bagaimanapun juga, tidak akan ada pengawal yang berani menghalangi Pangeran Mahkota itu. Kalau dia mengerahkan pengawal pribadinya, tentu pengawalnya akan berani, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu amat tidak baik baginya. Betapapun juga, Pangeran itu adalah Pangeran Mahkota, putera terkasih dari Kaisar, maka dia harus bersikap hati-hati. Maka, dengan marah dan mendongkol sekali dia berkata,
"Pangeran, tunggu saja nanti apa kata Sri Baginda kalau mendengar bahwa Pangeran telah meloloskan seorang pemberontak dan pembunuh Kaisar!"
Akan tetapi Kian Liong pura-pura tidak mendengarnya, terus mengajak Li Hwa keluar dari istana itu. Setiap pengawal dan penjaga yang masih sibuk mencari-cari "pemberontak"
Wanita itu, begitu melihat Pangeran itu bergandengan tangan dengan seorang "pemuda"
Yang mereka tentu saja kenal sebagai gadis pemberontak yang mereka kejar-kejar itu, berdiri tertegun, bengong dan tidak tahu harus berbuat apa, kemudian begitu bertemu dengan pandang mata Pangeran yang menantang, mereka memberi hormat dan menundukkan muka! Li Hwa merasa betapa tubuhnya panas dingin saking tegangnya ketika dia digandeng oleh Pangeran itu keluar dari istana, melalui lorong-lorong dan ruangan-ruangan luas yang penuh dengan penjaga-penjaga.
Diam-diam dia merasa semakin terharu. Pangeran ini ternyata sungguh-sungguh menolongnya dan dia tahu bahwa untuk ini, Pangeran itu mengorbankan diri terancam oleh kema-rahan Kaisar! Dia tidak dapat membayangkan bagaimana akan marahnya Kaisar kalau mendengar bahwa puteranya sendiri yang meloloskan orang yang hendak membunuhnya! Akan tetapi, tidak ada seorang pun berani menegur, apalagi menghalangi Pangeran yang menggandeng tangan gadis yang menyamar pria itu sampai mereka keluar dari pintu gerbang istana! Pangeran Kian Liong melewati penjaga terakhir di pintu gerbang dan terus mengajak Li Hwa berjalan keluar tembok istana dan berhenti di tempat yang gelap oleh bayangan tembok pagar dan pohon.
"Nah, dari sini engkau dapat melanjutkan perjalanan keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan, Li Hwa. Ingat, perlihatkan cincin dan suratku, dan kutanggung takkan ada seorang pun yang berani mengganggumu."
Li Hwa menjatuhkan diri berlutut.
"Pangeran telah menunjukkan budi kebaikan dan cinta kasih yang amat besar untuk itu hamba Souw Li Hwa tidak akan melupakan selama hidup hamba...."
Pangeran Kian Liong membungkuk dan memegang kedua pundak gadis itu, menariknya bangun berdiri dan biarpun cuaca cukup gelap di tempat ini, terlindung bayangan tembok dan pohon, akan tetapi karena mereka berdiri berhadapan dekat sekali, mereka dapat saling melihat garis muka masing-masing.
"Li Hwa, kalau benar engkau tidak akan melupakan, kelak engkau tentu akan memenuhi janji datang kepadaku dan hidup bersamaku."
Li Hwa merasa demikian terharu dan juga berbahagia sehingga dia agak terisak ketika dia berbisik,
"Hamba bersumpah...."
Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena bibir pangeran itu telah menutup mulutnya dalam sebuah ciuman yang mesra dan penuh kasih sayang. Dalam dorongan gairah asmara yang bergelora, dibangkitkan oleh rasa terima kasih, gadis itu hanya merintih dan membalas ciuman itu dan merangkulkan kedua lengannya pada leher Sang Pangeran.
"Pemberontak, kalian hendaklari. ke mana?"
Bentakan ini tentu saja membuat mereka terkejut, melepaskan ciuman dan rangkulan masing-masing dan Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Sesosok bayangan orang yang tinggi besar telah berada di situ, berdiri bertolak pinggang dengan sikap mengejek. Pangeran Kian Liong yang mengira bahwa orang itu tentu seorang di antara para penjaga pintu gerbang istana, menjadi marah.
"Hemm, manusia lancang. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?"
Akan tetapi, sikap dan jawaban orang itu sungguh mengejutkan hati Sang Pangeran. Orang itu tertawa bergelak,
"Hoa-ha-ha-ha-ha, tentu saja aku tahu. Engkau adalah Pangeran yang mengkhianati Kaisar, membantu pembunuh melarikan diri!"
"Eh, siapa engkau? Dan mau apa kau?"
Pangeran membentak, wajahnya berobah agak pucat karena dia maklum bahwa ada terjadi sesuatu yang luar biasa dan yang mengancam keselamatan-nya, terutama sekali keselamatan Li Hwa.
"Aku? Ha-ha, aku adalah orang yang hendak menangkap kalian, mati atau hidup!"
Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar orang tinggi besar ini bergerak maju. Melihat ini, Li Hwa yang sudah memegang pedang di tangan kanannya itu cepat menerjang, mendahului orang yang mengancam keselamatan Pangeran Kian Liong. Gerakannya cepat dan ganas sekali karena dara ini sudah menjadi marah dan nekat. Kalau orang ini hendak mencelakai Sang Pangeran, biarlah dia mengadu nyawa! Maka, seluruh kekuatan dan kepandaiannya dikerahkan dalam serangan-serangannya tanpa mempedulikan bagian pertahanan lagi. Akan tetapi, orang tinggi besar itu hanya tertawa dan dengan lengan dan tangan kosong dia menangkis pedang nona itu.
"Trakkk!"
Sekali tangkis, pedang di tangan gadis itu patah menjadi dua seperti bertemu dengan benda yang luar biasa kerasnya! Li Hwa terkejut bukan main, akan tetapi dia tidak mundur sama sekali.
"Keparat, jangan kau berani mengganggu Pangeran!"
Bentaknya dan dengan pedang buntung itu dia menerjang lagi, pedang buntungnya membacok dan tangan kirinya mengirim pukulan ke arah pusar lawan, gerakannya amat ganas.
"Bresss....!"
Orang tinggi besar itu memapaki dengan tendangan tanpa mempedulikan serangan gadis itu yang ketika bertemu dengan tubuhnya yang kebal seperti menyerang orang-orangan dari karet yang amat kuat saja sedangkan tendangan itu membuat tubuh Li Hwa terjengkang dan terbanting sampai berguling-gulingan.
"Li Hwa....!"
Pangeran Kian Liong lari menghampiri dan berlutut, merangkul dara itu.
"Hamba tidak apa-apa, Pangeran. Paduka menyingkirlah, biar hamba mengadu nyawa dengan keparat ini!"
Li Hwa bangkit lagi akan tetapi dia dirangkul oleh Pangeran Kian Liong. Melihat ini, orang tinggi besar itu tertawa.
"Biarlah kami menyerah, engkau boleh menangkap kami dan kami tidak akan melawan"
Kata Pangeran itu yang merasa khawatir kalau-kalau gadis yang dicintanya itu akan terluka atau tewas di tangan orang yang lihai itu.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu! Pangeran Mahkota berpacaran dengan perempuan pemberontak, yang berusaha membunuh Kaisar, ayahnya sendiri. Ha-ha, sayang sekali, Pangeran, perintah yang kuterima adalah menangkap kalian dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Bersiaplah kalian untuk mati bersama, mati yang mesra, ha-ha-ha!"
Orang tinggi besar itu menerjang maju. Pangeran Kian Liong dan Li Hwa yang maklum akan kesaktian orang itu, hanya menanti datangnya pukulan maut tanpa mampu membela diri lagi.
"Desss....!"
Tubuh orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak mencoba menembus kegelapan malam dalam pandang matanya ketika dia melihat seorang laki-laki yang berlengan satu sudah berdiri di situ dan laki-laki itulah yang tadi menangkisnya!
"Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir...."
Orang tinggi besar itu tergagap.
"Hemm, Sam-ok, keberanianmu melewati batas!"
Kata orang berlengan satu itu yang bukan lain adalah Kao Kok Cu. Kiranya orang tinggi besar yang lihai itu adalah Sam-ok Ban Hwa Sengjin maka pantas saja Li Hwa sama sekali tidak berdaya menghadapi datuk kaum sesat yang sakti ini. Karena usahanya digagalkan, biarpun dia tahu akan kesaktian Si Naga Sakti, Sam-ok menjadi nekat dan rasa penasaran membuat dia lupa diri!
Tubuhnya sudah membuat gerakan berpusing cepat dan dia sudah mainkan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu ilmu Silat Thian-te Hong-i (Badai Mengamuk Langit Bumi), dan sambil berpusing, tubuhnya yang lenyap menjadi bayangan berpusing cepat itu telah meluncur ke arah Si Naga Sakti. Kao Kok Cu adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali, maka melihat gerakan lawan ini dia bersikap tenang-tenang saja dan hanya berloncatan ke kanan kiri untuk menghindar setiap kali dari bayangan berpusing itu mencuat sinar yang merupakan serangan-serangan tangan atau kaki yang amat berbahaya dari Sam-ok. Sementara itu, melihat munculnya pendekar sakti itu yang menolongnya, hati Pangeran Kian Liong menjadi lega dan dia lalu rnendekap Li Hwa, menciumnya satu kali dan berkata,
"Li Hwa, cepat kau pergilah dari sini. Ingat, pergunakan cincin dan surat!"
Li Hwa terisak,
"Pangeran.... selamat tinggal...."
"Jangan lupa pesanku, Li Hwa."
Gadis itu lalu meloncat dan melarikan diri kedalam kegelapan malam, menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah selatan dengan cincin dan surat itu,
Tentu saja dia akan dengan mudah keluar dari kota raja, karena di dalam surat itu Sang Pangeran memerintahkan agar gadis itu dilindungi dan siapa yang berani membangkang terhadap perintah gadis itu berarti membangkang terhadap perintahnya dan si pembangkan akan dihukum berat! Sungguh terjadi perobahan besar sekali atas batin Li Hwa. Kalau tadi ketika dia memasuki istana dia merupakan seorang gadis yang penuh semangat permusuhan, penuh kebencian dan dendam terhadap Kaisar, kini dia meninggalkan kota raja dengan hati seperti tertinggal di istana penuh keharuan, kekaguman dan juga cinta kasih terhadap Pangeran Kian Liong, juga kedukaan bahwa dia harus berpisah dari Pangeran yang amat dikaguminya itu. Dia masih merasa putus asa untuk dapat berjumpa kembali dengan Pangeran yang dicintanya itu, sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa kelak dialah yang menjadi selir paling terkasih di antara para selir Pangeran Kian Liong setelah Pangeran itu menjadi Kaisar yang amat berkuasa kelak!
Sementara itu pertandingan antara Kao Kok Cu melawan Sam-ok tidak berjalan lama. Baru belasan jurus saja sudah dua kali tubuh Sam-ok terpental sampai jauh dan biarpun dia tidak mengalami luka parah, namun dadanya terasa sesak setiap kali dia bertemu tangan dengan pendekar sakti itu dan akhirnya Sam-ok lalu melompat dan melarikan diri karena kalau sampai datang pasukan pengawal, tentu dia akan celaka. Kao Kok Cu tidak mengejar, melainkan berkata kepada Pangeran Kian Liong dengan tenang,
"Sebaiknya Paduka kembali ke dalam istana."
"Kembali engkau telah menyelamatkan aku, Paman."
Jawab Pangeran Kian Liong yang lalu menambahkan,
"Harap Paman menyimpan rahasia tentang apa yang Paman lihat pada malam hari ini."
Kao Kok Cu mengangguk, mengerti bahwa yang dimaksudkan tentulah rahasia Pangeran itu yang mengenal diri gadis Siauw-lim-pai itu. Dia lalu mengawal Sang Pangeran kembali ke istana, disambut oleh Wan Ceng, Wan Tek Hoat, dan Syanti Dewi. Lima orang ini bercakap-cakap dan Wan Tek Hoat yang pernah mengintai keadaan Im-kan Ngo-ok, menceritakan bahwa Im-kan Ngo-ok adalah tokoh-tokoh yang diperalat oleh Sam-thaihouw, demikian pula murid-murid Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-bi Mo-li. Pangeran Kian Liong yang sudah menduga akan hal ini, diam-diam marah sekali dan mengambil keputusan untuk tidak mendiamkan saja sepak terjang Sam-thaihouw yang amat membahayakan ayahnya itu.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, setelah menanti sampai lama, dua pasang suami isteri pendekar itu dipersilakan memasuki ruangan makan pagi seperti yang dikehendaki oleh Kaisar, yaitu mereka diundang untuk makan pagi bersama Kaisar untuk bercakap-cakap. Dalam pertemuan ini hadir pula Pangeran Kian Liong yang sekalian membuat laporan kepada Kaisar tentang perjalanan ke Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi, Kaisar agaknya hanya setengah hati mendengarkan laporan puteranya dan pandang matanya lebih banyak ditujukan kepada Syanti Dewi yang lebih sering menundukkan mukanya. Wan Tek Hoat, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, juga Sang Pangeran sendiri, dengan mudah dapat menduga bahwa Kaisar yang terkenal mata keranjang itu mulai tertarik oleh kecantikan Syanti Dewi yang memang luar biasa itu.
"Kami mendengar bahwa Anda memiliki ilmu silat amat lihai,"
Dalam suatu kesempatan Kaisar berkata, ditujukan kepada Syanti Dewi.
"Timbul keinginan hati kami untuk menyaksikan, bagaimana seorang puteri yang demikian halus dan cantik, lemah lembut seperti Anda pandai main silat. Maka, hendaknya Anda suka memperlihatkan ilmu pedang Anda antuk membuka mata kami yang selalu haus untuk mengagumi ilmu silat yang baik."
Semua orang diam-diam terkejut mendengar ini. Ini namanya sudah keterlaluan. Biarpun dia seorang kaisar, akan tetapi yang diperintahnya adalah tamu, dan seorang wanita yang baru saja menikah pula. Mana mungkin Kaisar memerintah orang yang bukan menjadi pengawal atau anak buahnya begitu saja, apalagi kalau orang itu seorang wanita seperti Syanti Dewi dan perintahnya untuk bermain silat lagi? Syanti Dewi dengan sikap tenang lalu menjura.
"Harap Paduka sudi mengampunkan hamba. Hamba hanya belajar sedikit, mana berani hamba memperlihatkan kejelekan di hadapan Paduka?"
"Aih, Anda terlalu merendahkan diri. Kami sendiri telah mendengar desas-desus, bahwa dewi dari Kim-coa-to selain cantik jelita seperti bidadari juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi, yang sukar dicari bandingannya. Kecantikan seperti bidadari itu telah kami buktikan dan malah melebihi desas-desus itu kenyataannya, hanya ilmu silat itu belum kami saksikan. Harap Anda jangan menolak, demi untuk menggembirakan suasana pagi ini."
Kaisar mendesak sambil tersenyum dengan sikap ceriwis, tanpa sungkan sedikitpun juga sungguhpun di situ hadir suami puteri itu, hadir pula puteranya dan suami isteri pendekar yang selama ini amat dikaguminya. Syanti Dewi melirik ke arah suaminya, akan tetapi Tek Hoat duduk dengan tenang-tenang saja, jelas bahwa suaminya tidak hendak mencampuri dan menyerahkan Si Isteri untuk mengambil keputusan sendiri bagaimana cara menghadapi permintaan Kaisar itu. Akan tetapi pada saat itu, terdengar pemberitahuan dari pengawal yang berseru dengan suara lantang,
"Yang Mulia Sam-thaihouw berkenan menghadap Sri Baginda Kaisar!"
Kaisar menoleh dan mengerutkan alisnya karena merasa terganggu, akan tetapi sebelum dia membantah, dan kiranya belum tentu Kaisar berani membantah kalau ibu suri ke tiga itu muncul, Sang Ibu Suri sudah memasuki ruangan itu dari pintu. Seorang nenek yang masih nampak jelas bekas-bekas kecantikannya, dengan muka yang dirias tebal, rambut yang ditambah dengan cemara tebal dan hitam digelung rapi, pakaian yang mewah sekali dan begitu dia muncul tercium bau semerbak wangi yang amat mencolok hidung. Tentu ada setengah botol minyak wangi yang dihamburkan di atas pakaian dan tubuhnya. Setelah menghampiri meja itu, Sam-thaihouw menjura ke arah Kaisar dan untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang tahu aturan, Kaisar juga bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang yang menjadi Ibu tirinya itu.
"Semoga Thian memberkahi Sri Baginda!"
Kata Sam-thaihouw.
"Semoga Ibu selalu dalam keadaan sehat."
Balas Sri Baginda Kaisar. Sam-thaihouw lalu memutar tubuhnya dan menghadapi Pangeran Kian Liong yang masih tetap duduk di atas bangkunya, bersikap tidak mengacuhkan ketika wanita ini masuk. Kemudian dengan gerakan lambat seperti gerakan teratur seorang pemain wayang. Sam-thaihouw mengangkat lengan kirinya, mengeluarkan tangannya yang tersembunyi di dalam lengan baju yang panjang, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Pangeran itu dan mulutnya mengeluarkan kata-kata lantang,
"Sri Baginda telah makan pagi bersama dengan seorang pengkhianat."
Tentu saja Kaisar merasa terkejut sekali dan dengan alis berkerut dia memandang kepada ibu tirinya itu dan akhirnya bertanya,
"Apa yang Ibunda maksudkan?"
"Tentu Sri Baginda sudah memaklumi bahwa seorang di antara gerombolan pemberontak yang semalam menyerang Paduka, yaitu seorang penjahat wanita, telah berhasil lolos. Tahukah Paduka apa yang terjadi semalam? Saya telah melihat sendiri di mana adanya gadis pemberontak itu semalam!"
Dia berhenti lagi, untuk menambah ketegangan dan memperbesar keinginan tahu kaisar.
"Di mana?"
Kaisar mendesak dan memang Kaisar merasa terkejut, heran dan ingin tahu sekali.
"Di dalam kamar Pangeran Kian Liong!"
"Ahhh...."
Kaisar terkejut sekali dan menoleh, memandang kepada puteranya.
"Bukan itu saja, Sri Baginda. Bahkan Pangeran Kian Liong telah membantu pemberontak itu, membawanya sendiri sampai keluar dari dalam istana, menyelamatkan perempuan jahat itu dari tangan para pasukan pengawal. Itulah sebabnya maka saya berani mengatakan bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pengkhianat!"
Wajah Kaisar berobah merah dan sinar matanya jelas membayangkan kemarahan besar ketika kini dia memandang kepada Pangeran Kian Liong. Dua pasang suami-isteri pendekar itu memandang kepada Pangeran dengan hati gelisah, akan tetapi juga mereka kagum bukan main ketika melihat betapa Pangeran itu kelihatan tenang-tenang saja, bahkan ada senyum bersembunyi di balik sinar matanya.
"Pangeran, apa jawabanmu sekarang? Benarkah apa yang dikatakan oleh Sam-thaihauw?"
Karena di situ terdapat orang-orang lain sebagai tamu, maka sikap Kaisar terhadap puteranya itu kaku dan penuh aturan. Pangeran Kian Liong mengangguk!
"Harap Paduka dengarkan dengan sabar penjelasan hamba tentang gadis itu. Gadis itu datang bersama orang-orang Siauw-lim-pai yang tentu Paduka kenal, dan gadis itu datang bukan sebagai pemberontak melainkan ada kujungan dengan urusan pribadi, yaitu antara Suhunya dan Paduka. Jadi urusan semalam adalah urusan dalam keluarga perguruan Siauw-lim-pai, tidak ada hubungannya dengan pemberontak dan Kaisar. Memang hamba telah menyuruh Nona itu pergi setelah hamba berhasil menyadarkannya akan kekeliruan tindakan murid-murid Siauw-lim-pai.
Hamba juga menyuruh dia menyadarkan para murid Siauw-lim-pai bahwa menganggap Paduka sebagai murid Siauw-lim-pai adalah keliru, dan hamba ingatkan Paduka adalah Kaisar dan siapa pun yang menentang Paduka, dengan dalih apa pun, berarti memberontak. Hamba mengampuni dan menyelamatkannya demi untuk menghentikan rasa permusuhan dari para murid Siauw-lim-pai terhadap Paduka. Kalau Paduka menganggap hamba bersalah, hamba hanya menyerahkannya kepada kebijaksanaan Paduka Ayahanda Kaisar!"
Mendegar jawaban yang terus terang ini, Kaisar mengangguk-angguk. Tentu saja dia mengerti apa yang telah terjadi. Dia pun mengenal tujuh orang suheng-suhengnya dari Siauw-lim-pai yang telah tewas semua itu dan dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu murid dari suhengnya yang datang bersama isterinya yang cantik beberapa bulan, bahkan sudah setahun yang lalu itu.
Agaknya puteranya itu pun tahu akan hal itu dan betapa bijaksana puteranya yang tidak membuka rahasia itu. Biarpun dia kurang puas karena seorang di antara calon-calon pembunuhnya itu lolos, bahkan diselamatkan oleh puteranya sendiri, namun betapapun juga puteranya berusaha untuk menghentikan permusuhan dalam hati para murid Siauw-lim-pai terhadap dirinya. Melihat Kaisar mengangguk-angguk, diam-diam Sam-thaihouw merasa tidak puas sama sekali. Dia melihat kesempatan baik sekali untuk menjatuhkan Sang Pangeran yang dibencinya, untuk menjauhkan Pangeran ini dari ayahnya, untuk membangkitkan kebencian atau setidaknya kemarahan di hati Kaisar terhadap Pangeran Mahkota, akan tetapi melihat Kaisar itu mengangguk-angguk mendengar jawaban Pangeran Kian Liong, dia kecewa sekali.
"Sungguh keterangan yang bohong!"
Teriaknya. sambil menudingkan telunjuknya kepada Pangeran Muda itu.
"Pangeran telah jatuh cinta kepada gadis itu! Kedua mataku belum lamur, aku melihat sendiri betapa gadis itu memakai pakaian Pangeran! Dan betapa Pangeran menggandeng tangan gadis itu amat mesranya! Dan kalau pangeran sudah bersekongkol, bercinta dengan seorang musuh yang baru saja hendak membunuh Paduka, sungguh hal itu merupakan bahaya besar bagi Sri Baginda, seolah-olah mempunyai musuh di dalam selimut! Karena itu, sudah sepantasnya kalau Paduka mengeluarkan perintah menangkap pemberontak ini, pengkhianat ini dan menyelidikinya dengan cermat berapa jauh hubungannya dengan para pemberontak. Siapa tahu dia pula yang memungkinkan para pemberontak malam tadi itu memasuki istana...."
Pangeran Kian Liong bangkit berdiri, sikapnya masih tenang saja, akan tetapi suaranya lantang ketika dia memotong kata-kata nenek tirinya itu,
"Tidakkah akan lebih lengkap lagi bagi Sri Baginda untuk mendengar cerita Sam-thaihouw tentang Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat itu yang kini menjadi kaki tangan Sam-thaihouw, termasuk juga Su-bi Mo-li, empat orang siluman betina itu?"
Sam-thaihouw terkejut mendengar itu, akan tetapi dia cepat menegakkan lehernya dan berkata dengan suara mengandung wibawa yang keluar dari keangkuhannya dan keyakinan akan kekuasaannya,
"Apa salahnya aku mempergunakan tokoh-tokoh kang-ouw dari golongan mana pun juga? Dari golongan mana pun, mereka adalah rakyat yang setia kepada kerajaan, dan aku menggunakan mereka demi untuk menyelamatkan negara, bukan sebaliknya untuk mengkhianati negara bahkan Kaisar sendiri!"
Sam-thaihouw menyerang dan memang nenek ini pandai berdebat. Mendengar perdebatan mereka, Kaisar menjadi bingung dan dia hanya menoleh kepada dua orang itu berganti-ganti mengikuti perdebatan itu dan nampaknya tertarik. Pangeran Kian Liong tersenyum. Pangeran ini biarpun masih muda namun sesungguhnya dia amat cerdik dan memang tadi dia hanya memancing saja. Begitu mendengar pembelaan diri Sam-thaihouw, dia tersenyum dan merasa pancingannya berhasil dan merasa yakin akan kemenangannya. Memang jawaban inilah yang ditunggu-tunggunya.
"Sam-thaihouw menuduh saya bersekutu dengan pemberontak, padahal sudah jelas bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu bukan pemberontak dan saya berusaha melenyapkan sikap bermusuhan mereka terhadap Kaisar. Akan tetapi Sam-thai-houw agaknya sengaja hendak menutup mata akan kenyataan siapa adanya Im-kan Ngo-ok! Sam-thaihouw kiranya dapat menceritakan kepada Sri Baginda, siapa adanya orang ke tiga dari Im-kan Ngook? Siapakah adanya Sam-ok Ban Hwa Sengjin itu? Yang sudah berkali-kali hendak menculik saya ketika saya pergi ke Kim-coa-to?"
Wajah Sam-thaihouw menjadi agak pucat dan dia mulai bingung dan gelisah, memandang kepada wajah Kaisar, kemudian kepada wajah Pangeran itu dan mulutnya bergerak-gerak, akan tetapi tidak mengeluarkan suara apa-apa.
"Kenapa Sam-thaihouw tidak mau berterus-terang saja? Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang kini menjadi orang yang paling dipercaya di antara Im-kan Ngo-ok oleh Sam-thaihouw, bukan lain adalah bekas koksu dari Nepal yang pernah mengatur pemberontakan dan penyerangan terhadap tanah air kita."
Jodoh Rajawali Eps 39 Jodoh Rajawali Eps 30 Jodoh Rajawali Eps 57