Suling Emas Naga Siluman 35
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 35
Yang dia herankan adalah betapa delapan orang murid kepala yang masih bersamadhi itu sama sekali belum juga sadar. Hal ini saja sudah menjadi tanda betapa lihainya dua orang muda ini, gerakannya sedemikian ringannya, jejak kaki mereka tidak mengeluarkan sedikit pun bunyi sehingga delapan orang muridnya yang amat lihai itupun tidak dapat mendengar atau mengetahui apa-apa. Tanpa menoleh, hanya mengikuti mereka dengan pendengarannya, Hek-i Mo-ong diam saja dan terus memperhatikan. Dua orang itu nampak saling pandang, lalu keduanya mengangguk dan tiba-tiba saja mereka berdua melakukan gerakan meloncat tinggi, melampaui delapan orang yang duduk mengelilingi guru mereka dalam bentuk segi delapan itu dan ketika mereka berdua turun, di depan Hek-i Mo-ong, hanya dalam jarak empat meter, kaki mereka sama sekali tidak mengeluarkan suara!
Dan bahkan setelah kedua orang itu berada di dalam lingkaran delapan orang Hek-i Pat-mo itu, tetap saja Hek-i Pat-mo belum juga sadar! Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong menjadi marah kepada delapan muridnya. Dia mengerahkan tenaga dan dengan tenaga batinnya dia membentak murid-muridnya itu yang tersentak kaget dan sadar dari samadhi mereka. Tentu saja mereka terbelalak memandang kepada pemuda dan gadis yang telah berdiri di situ, di dalam lingkaran mereka. Sungguh hal ini amat mengejutkan hati mereka. Sejak kapan dua orang itu memasuki lingkaran mereka tanpa mereka ketahui? Tentu guru mereka yang melakukan ini, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba saja mereka itu mendengar bisikan suara guru mereka di dekat telinga masing-masing.
"Mereka adalah lawan-lawan lihai, hadapi mereka dengan kekuatan sihir untuk mencoba mereka!"
Barulah delapan orang itu terkejut bukan main. Maka mereka segera mengerahkan kekuatan batin, mereka dan sekali mereka mengerahkan tenaga, tubuh mereka sudah melayang turun dan mereka sudah berdiri mengepung dua orang muda itu dengan kedudukan segi delapan.Akan tetapi mereka tidak turun tangan menyerang, melainkan bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik membaca mantera. Pemuda dan gadis itu memandang mereka dengan penuh kewaspadaan. Akan tetapi, alangkah kaget hati gadis remaja itu melihat betapa delapan orang yang mengepung itu, tiba-tiba saja mengeluarkan uap hitam dan tubuh mereka segera diselubungi uap hitam yang tentu saja membuat tubuh mereka hilang dan tidak nampak.
Di dalam malam bulan purnama ini, peristiwa itu amat menyeramkan, seolah-olah delapan orang itu sedang menghilang atau berubah menjadi asap hitam, seperti yang terjadi pada setan-setan di dalam dongeng kuno. Dua orang muda itu adalah Kam Hong dan Ci Sian. Seperti kita ketahui, mereka memang pergi ke barat mencari Hek-i-mo, musuh besar Ci Sian yang merasa sakit hati karena ibunya telah meninggal akibat penyerbuannya kepada Hek-i-mo dan terluka oleh gerombolan iblis itu. Dan di sepanjang perjalanan, dengan amat tekunnya Ci Sian melatih diri dengan ilmu yang mereka dapatkan dari catatan pada mayat Pangeran Cu Keng Ong itu. Selain Ci Sian memang berbakat, juga Kam Hong mengajar dan membimbingnya dengan penuh kesungguhan hati, sehingga Ci Sian yang memang telah memiliki dasar dan bakat yang amat baik itu mulai dapat menguasai ilmu silat dan ilmu meniup suling berdasarkan pelajaran rahasia itu.
Untuk keperluan ini, Kam Hong telah menyuruh buat sebuah suling yang bentuknya sama benar dengan suling emas di tangannya, juga suling ini terbuat daripada emas, dibuat oleh seorang tukang pandai emas yang berpengalaman. Hanya bentuk suling itu lebih kecil, untuk disesuaikan dengan tenaga Ci Sian karena suling emas itu amat berat, lebih berat daripada pedang pusaka. Ketika malam itu mereka mendatangi sarang Hek-i-mo, kebetulan sekali mereka melihat kakek iblis itu bersama delapan orang murid kepala sedang berlatih ilmu hitam, maka dengan hati-hati sekali Kam Hong mengajak Ci Sian untuk menemui kakek itu. Kini, melihat Ci Sian agak gentar menghadapi ilmu hitam dari delapan orang Hek-i Pat-mo, Kam Hong segera mengerahkan khikangnya dan tanpa mengeluarkan suara, dia telah mengirim suaranya kepada Ci Sian.
"Sumoi, jangan takut. itu hanya ilmu hitam, hadapi dengan tiupan sulingmu."
Mendengar bisikan suara suhengnya ini, ketabahan hati Ci Sian timbul kembali. Ia lalu mencabut suling emas dari ikat pinggangnya, dengan tenang ia menempelkan bibirnya yang merah tipis itu ke lubang suling, jari-jari kedua tangannya siap di lubang-lubang suling dan begitu ia meniup, terdengar suara lembut.
Suara ini bukan seperti suara suling, melainkan seperti suara desir angin semilir yang menggerakkan daun-daun pohon dan menghidupkan suasana yang mati dan menyeramkan. Akan tetapi, suara lembut seperti desir angin ini mengandung kekuatan yang amat dahsyat, yang mengejutkan hati Pat-mo (Delapan Iblis) itu dan membuyarkan kekuatan slhir mereka sehingga uap hitam yang menyelubungi tubuh mereka pun perlahan-lahan lenyap seperti asap yang tertiup angin! Nampaklah kembali tubuh mereka yang masih berdiri dan bersedakap itu. Mereka merasa marah sekali, akan tetapi juga penasaran. Bagaimana seorang dara remaja dengan suara sulingnya mampu memecahkan pengaruh kekuatan sihir mereka? Mereka sudah siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu, akan tetapi terdengar suara Hek-i Mo-ong yang terdengar penuh kekuatan khikang sehingga menggetarkan tempat itu.
"Pat-mo, mundur!"
Delapan orang murid kepala itu lalu membuat gerakan mundur secara otomatis, akan tetapi tetap mereka itu membentuk lingkaran segi delapan, hanya kini di luar atau di belakang guru mereka.
"Siapakah dua orang muda yang datang mengganggu kami?"
Pertanyaan Hek-i Mo-ong ini terdengar manis, bahkan bersahabat. Akan tetapi Kam Hong yang sudah mendengar banyak tentang raja iblis ini, telah menasihati sumoinya dan mereka berdua sudah berhati-hati dan waspada, mengerahkan tenaga batin mereka untuk menolak semua pengaruh. Kam Hong membiarkan sumoinya yang menghadapi musuhnya, maka dia pun diam saja mendengar pertanyaan itu, memberi kebebasan kepada Ci Sian untuk menghadapi baik dalam percakapan maupun dalam pertempuran. Dia hanya akan membantu kalau memang sumoinya perlu dibantu saja. Ci Sian maklum akan hal ini, maka mendengar pertanyaan itu ia pun lalu melangkah maju.
"Apakah kami berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, ketua dari gerombolan Hek-i-mo?"
Suaranya lantang dan bening, tanda bahwa sedikit pun ia tidak merasa gentar menghadapi orang-orang yang menyeramkan itu. Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. Dia sudah sering menyaksikan sikap para pendekar muda yang datang dengan nyali besar, penuh keberanian namun yang pada akhirnya hanya akan menemui kematian atau kalau mujur, dapat meloloskan diri dengan membawa lari luka-lukanya. Dia tidak marah oleh sikap yang berani itu, malah merasa gembira, seperti seekor kucing yang melihat lagak seekor tikus muda yang penuh keberanian.
"Heh-heh-heh, engkau benar, Nona. Aku adalah Hek-i Mo-ong, dan mereka delapan orang ini adalah murid-murid dan wakilku yang disebut Hek-i Pat-mo."
"Bagus!"
Ci Sian berseru girang.
"Akhirnya aku dapat juga berhadapan dengan iblis-iblis jahat yang telah menumpuk dosa. Hek-i Mo-ong, malam ini tibalah saatnya engkau dan murid-muridmu menebus dosa-dosa kalian yang bertumpuk-tumpuk. Bersiaplah engkau untuk mampus!"
"Aih-heh-heh-heh-heh, sabar dulu, Nona. Kalau mata tuaku tidak menipuku, aku selama hidup belum pernah bertemu denganmu, jadi tidak ada urusan antara kita. Mengapa engkau datang dengan hati mengandung permusuhan? Siapakah engkau?"
"Hek-i Mo-ong, ingatkah engkau akan nama Sim Loan Ci?"
Kakek itu masih tersenyum lebar, dan alisnya berkerut.
"Hemm, seolah-olah nama itu tidak asing bagiku.... ya, tidak asing sama sekali, tentu pernah aku mendengarnya, akan tetapi aku sudah lupa lagi di mana.... Sim Loan Ci? Siapa itu?"
"Belasan tahun yang lalu, Sim Loan Ci pernah datang ke sini, bersama suaminya yang bernama Bu Seng Kin...."
"Oohhh.... ah, tentu saja! Bu-taihiap....! Ha-ha-ha, Bu-taihiap yang terkenal di seluruh dunia itu, hanya untuk mengaku kalah olehku! Ha-ha-ha, Bu-taihiap yang mata keranjang dan lihai, juga isterinya yang lihai. Akan tetapi, mereka itu bukan tandinganku! Hem, Nona, aku memang mengenal mereka, dan apa hubunganmu dengan mereka? Apa hubungannya kedatanganmu malam ini dengan mereka?"
"Engkau telah melukai mereka!"
"Ha-ha-ha, anehkah itu? Dalam setiap perkelahian, tentu akan ada yang luka atau mati. Aku sudah lupa lagi. Terlalu banyak orang yang kulukai atau kubunuh, akan tetapi yang aku ingat hanya bahwa mereka itu bukan tandinganku. Mungkin saja aku telah melukai mereka. Habis, kenapa?"
"Ibuku, Sim Loan Ci, tewas karena luka-luka itu! Sekarang aku, puterinya, datang untuk membalas dendam atas kematian Ibuku itu!"
"Ha-ha-ha, jadi engkau ini puteri mereka? Wah, pantas! Puteri Bu-taihiap, tentu saja pandai dan perkasa. Sayangnya, Bu-taihiap itu terlalu sembrono, membiarkan puterinya datang ke sini untuk mengantar nyawa saja. Kenapa tidak dia sendiri yang datang ke sini? Aku lebih senang kalau dia datang sendiri ke sini sehingga aku akan menghadapi lawan yang seimbang!"
Ci Sian merasa dipandang rendah dan ia pun membentak,
"Tua bangka sombong! Kau kira akan dapat bebas dari tanganku?"
Gadis ini sudah memasang kuda-kuda, tangannya yang kiri miring di depan dada sedangkan sulingnya di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala, menuding ke langit. Itu adalah kuda-kuda yang merupakan jurus pembukaan, bernama Suling Emas Menghadap Langit. Melihat ini, Hek-i Mo-ong tertawa dan memberi isarat dengan tangannya kepada Hek-i Pat-mo. Bagaikan iblis-lblis saja, delapan orang itu bergerak dan tahu-tahu mereka telah menggerakkan kaki mereka, bukan berloncatan, melainkan menggeser kaki ke depan membuat langkah aneh,
"sett-sett sett....!"
"Sumoi, biar aku saja yang menghadapi Pat-mo ini, engkau bersiap saja menghadapi musuh besarmu!"
Tiba-tiba Kam Hong berseru. Pemuda ini melihat bahwa biarpun tentu saja para murid ini tidak selihai gurunya, namun dia dapat menduga bahwa mereka ini terlatih untuk menjadi satu barisan. Dan satu barisan yang terdiri dari delapan orang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebuah tin (barisan) dari delapan orang biasanya mempunyai bentuk segi pat-kwa (segi delapan) dan pat-kwa-tin (barisan segi delapan) terkenal mempunyai perubahan-perubahan yang amat aneh dan hebat.
Seorang dara seperti Ci Sian yang belum banyak pengalamannya dalam hal bertanding melawan orang-orang pandai, sungguh berbahaya kalau dibiarkan menghadapi pat-kwa-tin sendirian saja. Pula, fihak lawan memakai siasat untuk melelahkan lawan, yaitu mula-mula disuruh maju delapan murid itu, baru kemudian andaikata delapan murid itu kalah, Si Guru yang akan maju. Kalau Ci Sian dibiarkan maju menghadapi pat-kwa-tin, andaikata ia dapat menang sekalipun, tentu sudah lelah dan kurang kuat untuk berhadapan dengan musuh besarnya. Inilah sebabnya, Kam Hong maju menggantikan sumoinya menghadapi Hek-i Pat-mo. Nanti kalau Mo-ong maju, biarlah Ci Sian menghadapinya satu lawan satu sehingga lebih mudah baginya untuk menjaga dan membantu apabila sumoinya kalah kuat. Hek-i Mo-ong terheran mendengar seruan pemuda itu, akan tetapi juga girang. Ketika dua orang muda tadi muncul, yang dia khawatirkan adalah Si Pemuda.
Dari sikapnya yang pendiam, dari sinar matanya, dia dapat menduga bahwa pemuda itulah yang harus diawasinya dan yang agaknya akan menjadi lawan tangguh. Kini, menghadapi delapan orang muridnya, malah pemuda itu yang hendak maju dan agaknya pemuda itu akan membiarkan sumoinya nanti melawannya. Biarlah, pikirnya lega, biar murid-muridnya lebih dulu menguji Si Pemuda yang dia khawatirkan sebagai lawan tangguh, dan andaikata murid--muridnya kalah, suatu hal yang tidak mungkin, sama sekali, tentu pemuda itu sudah terlalu lelah sehingga lebih ringan baginya untuk merobohkan mereka berdua. Juga Ci Sian merasa heran mengapa suhengnya hendak melawan delapan orang murid iblis itu. Akan tetapi baginya, Kam Hong bukan hanya seorang suheng atau seorang sahabat dalam perjalanan, melainkan juga seorang guru.
Oleh karena itu, semua saran Kam Hong tentu takkan dibantahnya dan mendengar ucapan suhengnya itu, ia pun sudah melompat ke belakang, berdiri tegak dengan suling siap di tangan kanan. Sementara itu, Kam Hong sudah meloncat ke tengah lingkaran Pat-mo, sengaja membiarkan diri dikurung sebelum mereka bergerak mengurung. Dengan demikian, dia dapat berdiri tegak sambil memperhatikan semua perubahan yang mereka buat ketika mereka mulai memperketat kurungan. Diam-diam dia memperhatikan dan, dari langkah-langkah kaki mereka, dia maklum bahwa delapan orang ini bukanlah ahli-ahli ginkang yang terlalu pandai sehingga dia tidak usah mengkhawatirkan tentang kecepatan mereka. Akan tetapi, setiap langkah kaki, atau setiap geseran kaki, nampak demikian mantap dan kuat, maka dia dapat menduga bahwa mereka semua rata-rata memiliki kekuatan sin-kang yang tidak boleh dipandang ringan.
Dan dia melihat mereka itu tidak bersenjata, juga tidak menyembunyikan senjata tajam di balik jubah hitam mereka. Akan tetapi, Kam Hong sama sekali tidak berani memandang rendah kepada fihak lawan. Orang-orang yang tidak mempergunakan senjata dalam perkelahian, itu hanya berarti bahwa orang itu telah memiliki tingkat kepandaian yang sedemikian tingginya sehingga dia tidak membutuhkan senjata untuk membantunya, dan kaki tangannya yang penuh dengan tenaga sakti itu merupakan senjata-senjata yang cukup ampuh dan mematikan. Setelah delapan orang Hek-i Pat-mo itu bergerak-gerak memutari Kam Hong, kadang-kadang berputar ke kiri lalu tiba-tiba berbalik ke kanan, jarak waktu perubahannya menurut hitungan-hitungan tertentu, sesuai dengan i1mu barisan mereka ciptaan Hek-i Mo-ong, pemuda ini memperhatikan dengan sudut matanya dan kekuatan telinganya.
Tapi, beberapa menit kemudian, terkejutlah pemuda ini karena dia merasa semangatnya terbetot dan hampir saja kakinya ikut bergerak. Ada kekuatan mujijat yang membetot dan menariknya untuk mengikuti gerakan mereka, seperti orang-orang yang melihat penari-penari yang lemah gemulai menggerak-gerakkan tubuh lalu timbul keinginan untuk ikut menari. Cepat dia yang selalu waspada itu maklum bahwa dalam gerakan-gerakan itu terkandung kekuatan ilmu hitam yang mujijat, maka Kam Hong memusatkan perhatiannya dan mengerahkan tenaga, membebaskan diri dari pengaruh mujijat itu sehingga pikirannya menjadi terang, pandang mata dan pendengarannya menjadi terang kembali, tidak ada keinginan untuk mengikuti gerakan mereka lagi. Kini dia berdiri tegak dan tenang, sama sekali tidak bergerak, menanti gerakan lawan selanjutnya.
Bagaikan delapan orang penangkap ikan yang merasa betapa jalanya yang mereka pasang itu tidak mengenai ikan, atau ikannya telah lolos kembali dari jala begitu menyentuhnya, mereka menghentikan gerakan memutar-mutar itu dan tiba-tiba saja orang yang berada di depan Kam Hong sudah menyerangnya. Benar dugaan Kam Hong. Laki-laki baju hitam di depannya itu menyerang dengan cengkeraman tangan kanan dibarengi dengan totokan tangan kiri. Cengkeraman ditujukan ke arah kedua matanya dan totokan itu menuju ke arah dada. Serangan ini hebat dan ganas, mengandung tenaga sin-kang yang kuat sungguhpun baginya tidaklah terlalu cepat. Kam Hong menghadapi serangan ini dengan tenang dan perhatiannya terhadap tujuh orang lainnya tidak berkurang walaupun dia sedang menghadapi serangan dari depan. Dan kewaspadaannya ini menolongnya.
Cengkeraman dan totokan dari depan itu, ternyata hanyalah gerak pancingan belaka karena begitu Kam Hong mengelak dari serangan lawan di depannya, secara otomatis lawan yang berada di belakangnya telah menerjang dan menyerang dengan dahsyat, menghantam ke arah tengkuknya dengan pukulan tangan miring yang amat kuat!. Seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat seperti yang dimiliki Kam Hong telah memiliki tubuh yang begitu hidup sehingga seolah-olah di belakang tubuhnya ada matanya. Tanpa menoleh, dia tahu dengan presis bagaimana serangan itu datang mengancamnya. Dengan hanya memutar tumit kakinya, dia sudah miringkan tubuh sehingga kini serangan dari belakang itu tidak datang dari belakang lagi, melainkan dari sebelah kanannya dan sekali Kam Hong mengangkat lengan, hantaman itu tepat dapat ditangkisnya.
"Plakkk!"
Dan tubuh orang itu terpental, seolah-olah tangannya tadi bertemu dengan baja yang amat keras dan kuat, juga yang mengandung hawa dorongan kuat dan panas sekali! Akan tetapi, kembali telah datang serangan bertubi-tubi dan susul-menyusul dari delapan orang itu. Gerakan mereka seperti mesin yang sudah distel terlebih dahulu, begitu teratur dan saling menyambung. Kam Hong sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, sudah pernah pula menghadapi barisan-barisan silat seperti itu, maka dia tidak merasa gugup walaupun harus diakuinya bahwa barisan Hek-i Pat-mo ini benar-benar amat lihai dan berbahaya. Dia membenarkan tindakannya mewakili sumoinya tadi, karena biarpun tingkat kepandaian Ci Sian juga sudah tinggi,
Namun menghadapi pengeroyokan teratur seperti itu bisa membuat dara yang belum banyak pengalaman itu menjadi gugup. Delapan orang itu bergerak-gerak, saling bantu dan saling sambung melakukan penyerangan dan Kam Hong juga menggerakkan tubuhnya, menangkis ke depan ke kanan kiri dan belakang, ke delapan penjuru dan kadang-kadang mengelak. Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan yang bergerak cepat, tertutup oleh gerakan delapan bayangan hitam yang kadang-kadang berputaran dan kadang-kadang berhenti di suatu tempat tertentu. Dia tahu bagaimana harus menghadapi barisan Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan), maka dia pun sejak tadi mainkan ilmu silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) yang pernah dipelajarinya dari Sin-siauw Seng-jin, kakek pewaris ilmu-ilmu dari Pendekar Suling Emas itu.
Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu warisan nenek moyangnya, dan karena ilmu silat ini juga mempunyai dasar segi delapan, maka tentu saja amat tepat untuk menghadapi barisan pat-kwa itu. Tiba-tiba terdengar suara berkerincing dan nyaring dan ternyata delapan orang kakek itu telah menggerakkan gelang yang melingkari pergelangan tangan kanan mereka. Gelang yang berwarna hitam kemerahan. Dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan digetarkan, maka terdengarlah suara berkerincingan itu! Sungguh aneh sekali. Tadi mereka bergerak menyerang, dan tentu saja lengan kanannya berikut gelang itu bergerak pula, akan tetapi tidak terdengar sesuatu.
Akan tetapi kini gelang itu mengeluarkan suara yang nyaring dan aneh. Agaknya ada sesuatu pada
(Lanjut ke Jilid 33)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 33
gelang-gelang itu yang mengandung rahasia. Suara nyaring yang amat halus itu seperti suara emas diketuk dengan nada tinggi dan menusuk telinga, bahkan rasanya menyusup ke dalam jantung! Akan tetapi Kam Hong sudah mengerahkan sin-kangnya dan dia tidak terpengaruh. Hanya kini, delapan orang itu menyerangnya dengan gerakan yang sama, dan secara berbareng. Delapan lengan tangan yang disertai gelang hitam kemerahan itu menyerangnya dengan gerakan yang sama dan berbareng, tapi dari delapan penjuru! Melihat delapan lengan yang amat kuat itu menonjok arah dadanya dari delapan penjuru dan mendatangkan angin pukulan yang kuat, dia terkejut dan maklum bahwa penggabungan tenaga itu akan kuat bukan main.
Dia tidak berani menghadapi dengan kekerasan atau mengadu tenaga, maka tubuhnya mencelat ke atas dan delapan tangan itu berhenti dari delapan penjuru, saling bertemu angin pukulan mereka di tengah-tengah. Akan tetapi, melihat lawan mereka melayang ke atas, mereka itupun cepat menyerang ke atas, juga dengan gerakan yang sama. Angin pukulan dahsyat kini menyambar ke atas!Kam Hong maklum bahwa dia akan kerepotan menghadapi gaya serangan seperti itu, maka sambil meloncat, dia sudah mencabut suling emasnya dan berjungkir-balik, kini meluncur turun, didahului gulungan sinar emas dari suling yang diputar-putarnya. Delapan orang itu mengandalkan penggabungan tenaga mereka, berani menyambut datangnya gulungan sinar emas itu,
Akan tetapi mereka terkejut ketika dari gulungan sinar emas itu keluar hawa yang amat kuat, yang mendorong mereka dan membuat penggabungan tenaga mereka buyar dan mereka terhuyung ke belakang. Cepat mereka berloncatan untuk mematahkan tenaga dorongan, dan kini sudah berdiri mengepung lagi dalam kedudukan pat-kwa, memandang kepada benda mengkilap di tangan pemuda itu dengan melongo. Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut bukan main menyaksikan suling itu. Tadi, ketika Ci Sian meniup suling emasnya, dia sudah terheran, hanya tidak menduga atau menghubungkan suling itu dengan nama pendekar dalam dongeng, yaitu Pendekar Suling Emas. Kini, menyaksikan suling di tangan Kam Hong dan sepak terjang pemuda itu, dia terkejut dan tanpa terasa lagi olehnya, mulutnya berseru keras,
"Suling Emas....!"
Kam Hong memutar tubuhnya menghadapi Mo-ong, suling emas itu melintang di depan dadanya. Dia tersenyum dan menjura, lalu berkata,
"Tidak salah dugaanmu, Hek-i Mo-ong. Aku bernama Kam Hong, keturunan dari Pendekar Suling Emas. Aku datang mengantar sumoiku yang ingin membalas dendam kepadamu dan aku setuju karena engkau dan gerombolanmu merupakan iblis-iblis berwajah manusia yang kudengar telah melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa."
Marahlah Hek-i Mo-ong.
"Bunuh dia!"
Bentaknya dan telunjuk kirinya menuding ke arah Kam Hong dan tiba-tiba saja dari telunjuk itu menyambar benda yang berkilauan ke arah tenggorokan Kam Hong!
"Tikkk....!"
Benda itu terpukul oleh suling dan lenyap ke dalam bumi. Sungguh itu merupakan senjata rahasia yang amat keji, yang amat kecil dan yang dilepaskan dari bawah kuku telunjuk yang panjang. Mendengar perintah suhu mereka, Hek-i Pat-mo lalu saling memberi isarat. Mereka mengeluarkan sesuatu dari balik jubah hitam mereka dan tahu-tahu kini tangan kiri mereka telah disambung dengan sebuah cakar setan yang berwarna hitam, dengan kuku-kuku melengkung runcing terbuat dari baja dan tak perlu diragukan lagi bahwa kuku-kuku baja itu sudah pasti mengandung racun ganas!
Dan kini mereka bergerak menyerang dari delapan penjuru! Kuku cakar setan tangan kiri itu menyambar-nyambar dan tercium bau amis, sedangkan tangan kanan yang bergelang hitam kemerahan itupun menyambar-nyambar mengeluarkan suara berkerincingan. Menyaksikan kebuasan delapan orang itu, diam-diam Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia harus menang, pikirnya sambil melihat suhengnya memutar suling emasnya. Kalau suhengnya kalah, ia sendiri pun tidak tahu apakah ia akan mampu menghadapi iblis-iblis ini. Gerakan delapan orang itu sungguh dahsyat sekali, dan ia merasa menyesal mengapa suhengnya masih saja mempergunakan ilmu-ilmu silatnya, yang lama."
Dan memanglah, Kam Hong sejak tadi mempergunakan ilmu-ilmunya yang lama. Pertama-tama tadi ia mainkan Pat-sian-kun, dan kini pun setelah memegang suling, ia masih melanjutkan dengan ilmu Pat-sian Kiam-hoat, menggunakan sulingnya sebagai pengganti pedang. Memang ilmu ini hebat sekali, akan tetapi delapan orang pengeroyoknya itu benar-benar amat tangguh. Biarpun Kam Hong dapat membela diri dengan sulingnya, namun dia tidak diberi kesempatan sama sekali untuk balas menyerang! Kemudian Kam Hang mencoba untuk mengganti dengan ilmu-ilmu lain yang dimilikinya. Mula-mula dia mengubah Pat-sian Kiam-hwat dengan Hong-in Bun-hoat, yaitu ilmu sliat yang gerakannya dilakukan dengan membuat huruf-huruf di udara ini merupakan gerakan ilmu silat yang lihai sekali.
Kemudian, karena ilmu ini juga kurang berhasil dipergunakan untuk menghadapi begitu banyak pengeroyok yang rata-rata memlilki ilmu silat tinggi, dia mengubah lagi ilmunya dan berturut-turut dia mainkan Khong-sim Sin-ciang, Kim-kong Sin-Im yang membuat sulingnya mengaung-ngaung, lalu mencabut keluar kipasnya dan menggabungkan sulingnya dengan permainan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Namun, tetap saja dia terdesak dan belum mampu merobohkan para pengeroyoknya. Memang, setiap kali dia mengganti ilmu, delapan orang pengeroyoknya itu terkejut dan terdorong, akan tetapi segera mereka menerima bisikan-bisikan guru mereka melalui pengiriman suara dari jauh sehingga mereka dapat segera mengubah gerakan mereka sesuai dengan petunjuk gurunya! Dengan demikian, walaupun delapan orang Hek-i Pat-mo itu yang maju mengeroyok Kam Hong,
Sesungguhnya yang dilawan Kam Hong adalah otak dari Hek-i Mo-ong yang mengatur gerakan para muridnya itu dengan bisikan-bisikannya. Diam-diam Kam Hong terkejut. Dia, tahu bahwa ilmu-ilmu yang diwarisinya dari nenek moyangnya melalui Seng-siauw Seng-jin adalah ilmu-ilmu yang amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, ternyata semua ilmu ini tidak mampu merobohkan delapan orang pengeroyoknya ini. Jelaslah bahwa mereka ini benar-benar merupakan gerombolan yang amat tangguh dan juga amat berbahaya, dan kalau tidak dibasmi, tentu akan mendatangkan banyak sekali korban. Teringat dia akan hasil penyelidikannya di mana dikabarkan orang-orang kang-ouw bahwa entah sudah berapa ratus tokoh-tokoh kang-ouw yang gagah perkasa roboh dan tewas menghadapi Hek-i Pat-mo ini,
Juga dia teringat akan nasihat gurunya yang pertama, yaitu Sai-cu Kai-ong bahwa gerombolan Hek-i-mo itu amat berbahaya. Memang tadinya Kam Hong tidak hendak mengeluarkan ilmu barunya yang menjadi ilmu simpanannya. Dia sudah mempunyai banyak ilmu-ilmu silat tinggi dari nenek moyangnya, dan kalau tidak terpaksa sekali dia tidak akan menggunakan Kim Siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Ci Sian, bahkan yang sampai saat itu masih terus diperdalamnya karena ilmu itu merupakan ilmu yang amat luar biasa dan agaknya sampai mati pun orang tidak mungkin dapat mencapai titik kesempurnaannya. Kini, dia tahu bahwa kalau dia bertahan terus dengan ilmu-ilmunya yang lain, sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan dan dia pun harus menghemat tenaganya.
Siapa tahu, dia harus mengerahkan sepenuh tenaga nanti kalau Mo-ong sendiri yang maju dan kalau sumoinya tidak mampu menahan raja iblis itu. Tiba-tiba Kam Hong mengubah gerakannya. Gerakannya itu lambat-lambat saja, akan tetapi dari suling yang dia gerakkan, terdengarlah suara melengking, mula-mula rendah dan lambat, akan tetapi sesuai dengan gerakan sinar suling, makin cepat sinar itu bergulung, makin besar sinarnya, makin tinggi melengking suara suling itu! Ini bukanlah ilmu Kim-kong Sin-im seperti yang pernah dimainkannya tadi. Memang, Kim-kong Sin-im juga dapat membuat pedang atau suling mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung seperti suling bernyanyi, akan tetapi tidak seperti ilmu Kim-siauw Kiam-sut ini.
Ilmu ini dibarengi dengan khikang yang amat kuat dan jangankan sinar suling yang bergulung-gulung itu, apalagi sulingnya sendiri, baru suaranya saja sudah mampu merobohkan lawan! Melihat ini, lega dan giranglah hati Ci Sian. Suhengnya mulai mengeluarkan Kim-siauw Kiam-sut dan memang hebat sekali akibatnya! Hek-i Mo-ong sendiri kelihatan terkejut dan bingung melihat betapa delapan orangnya menjadi kacau gerakannya dan terdesak hebat. Dia mencoba untuk mengirim suara, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa suaranya itu lenyap dan membuyar oleh getaran suara suling pemuda itu! Memang hebat bukan main ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) ini. Begitu Kam Hong memainkannya dengan pengerahan tenaga sin-kang sepenuhnya, didorong oleh kekuatan khikang yang telah dilatihnya dengan tekun semenjak dia menemukan ilmu itu,
Maka belum sampai dua puluh jurus saja, sinar suling yang keemasan itu dan suara melengking-lengking penuh getaran yang amat kuat itu telah mengurung dan mendesak delapan orang lawannya. Akan tetapi, Kam Hong bukanlah seorang yang berhati kejam. Ketika dia menambahkan tenaga sedikit lagi, terdengar suara nyaring delapan kali dan delapan orang itu telah terpelanting ke kanan kiri, dan ketika mereka bangkit berdiri, ternyata cakar setan yang menyambung tangan kiri mereka itu telah hancur semua! Wajah mereka berubah pucat dan semakin mengerikan dalam sinar bulan purnama. Delapan orang murid kepala dari Hek-i Mo-ong ini adalah orang-orang yang tidak biasa kalah dalam perkelahian. Bertahun-tahun mereka selalu menang menghadapi orang-orang kang-ouw yang berani menentang guru mereka, dan biarpun sudah memiliki kepandaian tinggi,
Mereka masih terus melanjutkan pelajaran mereka, belajar segala ilmu dari guru mereka sehingga semakin lama mereka itu menjadi semakin lihai. Maka, kini, menghadapi kekalahan mutlak melawan seorang pemuda, mereka merasa penasaran bukan main. Mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit ini, karena selama ini, kemenangan demi kemenangan telah membangun suatu keyakinan di hati mereka bahwa selain guru mereka, tidak ada lagi orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkan mereka! Mereka saling bertukar pandang, kemudian tiba-tiba mereka itu sudah duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha, kedua lengan bersilang di depan dada, dan kedua mata terpejam. Lalu terdengarlah suara mereka, keluar dengan berbareng, suara yang terdengar oleh Ci Sian dan Kam Hong sebagai suara mengaum lirih, terdengarnya seperti.
"Auuuummmm....!"
Akan tetapi bukan main kagetnya hati Kam Hong ketika suara itu terus berdengung dan suara itu seperti memiliki kekuatan gaib yang menyerangnya, mula-mula memasuki kedua telinganya dan terus menyusup masuk, tak tertahankan lagi, demikian kuatnya sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya digetarkan oleh suara itu. Dia mulai menggigil dan mukanya pucat.
Namun, pemuda ini memiliki dasar yang amat kuat, sehingga dia yang selalu waspada itu sudah cepat menutup sulingnya. Dia membawa suling ke mulutnya, memegangi suling dengan hanya tangan kanan saja karena dia sudah meniup dengan pengerahan hawa khi-kang tingkat yang tinggi sekali sehingga dia tidak perlu menggunakan jari-jari untuk membuka dan menutup lubang-lubang suling. Tangan kirinya, telapak tangan itu, dia pergunakan untuk menekan dadanya dan dari saluran hawa hangat yang keluar dari telapak tangannya sendiri, mendatangkan getaran halus yang melindungi jantungnya. Dan terdengarlsh kini suara melengking tinggi dan suara lengkingan itu mulai berlagu!
Biarpun suling itu tidak dimainkan lubang-lubangnya, hanya dibiarkan terbuka dan ditiup, namun tenaga tiupan yang sudah mencapai kekuatan tinggi itu dapat mengatur sendiri lagunya dan naik turun menurut kehendak Kam Hong. Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa! Pertandingan antara suara! Akan tetapi suara yang bagaimana! Bukan sembarangan suara, melainkan suara yang mengandung kekuatan dasyat untuk menjatuhkan lawan masing-masing! Suara yang terus berdengung dari delapan orang itu amat kuatnya, dan biarpun langsung ditujukan kepada Kam Hong, namun Ci Sian sendiri merasakan aklbatnya sehingga dara ini pun mengerahkan sin-kang untuk melindungi dirinya. Karena suara itu ditujukan langsung kepada Kam Hong, maka dara ini hanya terserang getaran yang lemah saja. Tidak demikian dengan Kam Hong. Akan tetapi, suara suling Kam Hong yang lembut itu, berbeda sekali pengaruhnya dari suara auman mereka.
Suara suling ini memang amat halus, bersih, dan kuat bukan main, akan tetapi tidak mempunyai daya untuk mencelakakan orang, bahkan terdengar merdu dan menenangkan hati. Namun, bagi Hek-i Pat-mo, suara itu merupakan malapetaka! Suara itu menyambut auman mereka dan kini tenaga getaran suara auman mereka itu kembali dan menyerang mereka sendiri! Mereka merasakan gelombang suara yang menggetar ini, akan tetapi karena mereka merasa penasaran sekali, mereka menjadi nekat dan mereka bahkan mengerahkan tenaga mereka sepenuhnya dengan tekad membunuh atau dibunuh! Kalau mereka lebih kuat, tentu tangkisan lawan itu akan bobol dan lawan akan tewas seketika, dan kalau sebaliknya mereka kalah kuat, mereka tidak peduli lagi!
Melihat kenekatan ini, diam-diam Kam Hong terkejut sekali. Dia maklum bahwa lawan-lawannya itu hendak mengadu nyawa dan dia tidak mempunyai jalan lain untuk menghindarkan adu tenaga itu. Kalau dia menghindar, berarti dia kalah, bahkan dia terancam bahaya maut. Maka dengan prihatin sekali, terpaksa dia pun memperkuat pengerahan khi-kangnya, disalurkan melalui suara suling. Sungguh mengerikan sekali suara auman yang bertemu dan bercampur dengan suara suling melengking-lengking itu. Getarannya sampai terasa amat jauh dan kini bukan hanya Ci Sian, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri terpaksa harus mengerahkan sin-kang untuk melindungi dirinya dari pengaruh getaran suara. Akan tetapi, kakek ini mengerutkan alisnya dan maklum bahwa para muridnya itu terancam bahaya maut.
Dan dugaannya ternyata benar karena tidak lama kemudian, suara auman para muridnya itu menjadi semakin lemah, tergulung oleh lengkingan suara suling, bahkan kini wajah para muridnya itu nampak pucat, juga penuh keringat dan napas mereka terengah-engah. Melihat hal ini, Hek-i Mo-ong yang maklum bahwa murid-muridnya akan celaka, tiba-tiba mengeluarkan teriakan melengking, atau lebih mirip gerengan seekor binatang buas, tangan kirinya sudah mengeluarkan sebuah kipas merah dan tangan kanannya mencabut keluar senjatanya Long-gee-pang (Tombak Gigi Srigala) dan dengan kipas merahnya itu dia mengipas ke arah Kam Hong. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda itu. Akan tetapi, Ci Sian yang sejak tadi waspada dan sudah menduga bahwa kakek ini tidak dapat dipercaya kejujurannya, lalu meloncat ke depan dan menggunakan sulingnya untuk diputar cepat dan menyerangnya.
Betapapun juga, kipas merah itu lihai bukan main dan Kam Hong merasa betapa pihak lawan ditambah oleh tenaga yang amat hebat. Kiranya sambaran angin kipas itu menambah kuat getaran suara auman lawan. Dia mengerahkan tenaganya dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan ketika tubuh delapan orang itu terjengkang, dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah dan mereka itu tidak bergerak-gerak lagi karena nyawa mereka telah melayang. Mereka itu tewas karena tenaga mereka sendiri yang membalik dan merusak isi dada mereka, terutama jantung mereka. Akan tetapi, Kam Hong juga terkejut sekali ketika merasa betapa dadanya agak sesak dan panas, tanda bahwa dia pun menderita luka dan hal ini terjadi karena delapan orang itu tadi dibantu oleh Hek-i Mo-ong secara tiba-tiba, di luar persangkaannya sehingga dia kurang dapat menjaga diri.
Sementara itu, Ci Sian sudah menyerang kakek raja iblis itu dengan sulingnya dan karena ia tahu bahwa lawannya itu amat sakti, maka Ci Sian tidak mau membuang banyak waktu, begitu maju ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang selama ini dilatihnya dengan amat tekun dibawah bimbingan Kam Hong. Memang tak dapat disangkal bahwa kematangan dalam ilmu ini yang dimiliki oleh Ci Sian masih jauh dibandingkan dengan suhengnya yang sudah lebih lama melatih diri, akan tetapi Ci Sian telah menguasai dengan baik pokok-pokok dan dasar-dasarnya, dan karena Kam Hong memberi petunjuk dengan sungguh-sungguh, sedangkan dara itu pun dengan amat tekunnya berlatih, ditambah lagi dengan bakatnya yang luar biasa dalam hal ginkang sehingga ia memiliki gerakan yang amat cepat,
Maka ia bukan merupakan lawan yang ringan bagi ketua Hek-i-mo itu. Hek-i Mo-ong sedang marah bukan main. Dia merasa amat terkejut dan berduka melihat delapan orang murid utamanya itu tewas dan dia merasa menyesal bukan main mengapa dia tadi menyuruh mereka maju. Kehilangan mereka sama saja baginya dengan kehilangan tangan kanannya, maka dengan kemarahan yang meluap-luap kini dia menghadapi Ci Sian. Dan memang kakek ini luar biasa ganas dan tangguhnya. Tombak Long-gee-pang itu adalah semacam toya yang pada ujungnya dipasangi kaitan runcing tajam agak melengkung seperti gigi srigala, dan tentu saja ujung senjata itu mengandung racun yang amat berbahaya, telah bettahun-tahun direndam semua racun-racun yang paling jahat.
Dia mainkan Long-gee-pang ini seperti orang memainkan tombak atau toya, akan tetapi dia lebih sering menggunakan sebelah tangan saja, yaitu tangan kanan, untuk memainkan Long-gee-pang, sedangkan tangan kirinya hanya kadang-kadang saja membantu karena tangan ini lebih sering memainkan kipas merahnya. Kipas merah ini ujungnya runcing dan dipergunakan untuk menotok jalan darah. Memang hebat bukan main gerakan-gerakannya, tombaknya itu bergulung-gulung sinarnya dan di antara gulungan sinar tombak itu nampak berkelebatnya sinar merah dari kipasnya. Angin dahsyat menyambar-nyambar keluar dari gerakan tombaknya. Ci Sian memutar sulingnya dan terdengar suara melengking-lengking, sungguhpun tidak sehebat permainan Kam Hong, namun ternyata dara ini telah menguasai inti dari ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut.
Biarpun lawannya bergerak bukan hanya mengandalkan ilmu silat dan serangan tombak dan totokan-totokan kipas, melainkan juga dibantu oleh kekuatan ilmu hitam untuk menguasai semangat lawan, namun Ci Sian terlindung oleh suara yang keluar dari sulingnya, karena suara ini pun mengandung kekuatan khi-kang yang hebat. Betapapun juga, setelah lewat puluhan jurus, Ci Sian mulai merasakan betapa kuatnya kakek itu. Ia mulai merasa terdesak dan terhimpit, dan hanya berkat kelincahannya sajalah maka ia masih mampu menghindarkan diri dari cengkeraman-cengkeraman maut. Selama itu, Kam Hong duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk mengobati lukanya. Akan tetapi, perhatiannya tidak pernah terlepas dari Ci Sian.
Bagaimanapun juga, dia harus membantu sumoinya. Akan tetapi dalam keadaan terluka, tentu saja amat berbahaya untuk mengerahkan tenaga membantu sumoinya, apalagi kalau yang dilawannya itu seorang yang demikian sakti seperti raja Iblis itu. Dan dalam jurus-jurus pertama, Ci Sian masih cukup kuat untuk dapat membela dan melindungi diri sendiri. Dia tahu bahwa seorang diri saja, Ci Sian masih terlalu hijau untuk dapat menandingi raja Iblis itu. Akan tetapi, dia harus mengobati lukanya lebih dulu kalau tidak ingin nanti tertimpa malapetaka kalau dia berhadapan dengan Hek-i Mo-ong. .Setelah rasa sesak dan panas di dadanya sudah agak berkurang, dan melihat pula betapa Ci Sian sudah terdesak hebat, Kam Hong sudah siap untuk membantu sumoinya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring.
"Hek-i Mo-ong iblis yang kejam, akulah lawanmu! Ci Sian, jangan khawatir, mari kita sama-sama basmi Iblis ini!"
Dan nampaklah sinar berkilauan dibarengi dengan suara berdengung-dengung amat kuatnya, bahkan dalam suara mengaung ini pun terkandung kekuatan yang mujijat.
"Sim Hong Bu, bagus kau datang membantuku!"
Ci Sian berseru girang. karena tadi ia memang sudah merasa terdesak hebat, kini muncul pemuda yang sudah dikenalnya sebagai seorang pemuda yang amat lihai itu, tentu saja ia merasa lega dan girang.
Ia mengira bahwa suhengnya telah terluka dan tidak dapat maju lagi. Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut setengah mati ketika menangkis sinar pedang di tangan pemuda yang baru muncul itu dan merasa betapa lengannya tergetar hebat! Kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dibandingkan dengan dara remaja ini! Adapun Kam Hong yang melihat munculnya Sim Hong Bu, diam-diam melihat dengan penuh perhatian, mengikuti pertandingan itu dan melihat betapa gerakan-gerakan pedang pemuda itu memang hebat bukan main. Tahulah dia bahwa itulah Koai-liong-pokiam, yaitu pedang pusaka yang terkenal itu, dimainkan dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut yang dibanggakan oleh keluarga Cu yang telah dikalahkannya. Keluarga Cu itu berkeinginan untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut!
Dan sekarang, dari tempat dia duduk bersila, dia melihat betapa Kim-siauw Kiam-sut dimainkan dengan suling emas oleh sumoinya, sedangkan Koai-liong Kiam-sut dimainkan oleh Sim Hong Bu, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai kawan. Dua ilmu pedang itu kini bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai dan diam-diam dia memandang bengong dan kagum. Sungguh mengherankan sekali karena begitu dipakai untuk bekerja sama, kedua ilmu pedang itu ternyata amat hebat, dapat saling mengimbangi bahkan saling cocok, saling isi dan saling lindungi! Teringatlah dia bahwa kalau Kim-siauw Kiam-sut diciptakan oleh Kakek Cu Keng Ong yang merupakan nenek moyang keluarga Cu, maka Koai-liong Kiam-sut itu diciptakan pula oleh keturunannya, yaitu Cu Hak pembuat pedang itu.
Dan ilmu pedang itu kemudian ditemukan dan disempurnakan oleh Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti. Pantas saja ada kecocokannya karena penciptanya adalah seketurunan. Sedikit banyak pencipta Koai-liong Kiam-sut tentu mewarisi pula sebagian dari Kim-siauw Kiam-sut, seperti halnya keluarga Cu di lembah itu. Melihat hasil kerja sama antara Ci Sian dan Hong Bu, Kam Hong kagum sekali, amat kuat dan bahkan saling mengisi kekosongan atau kelemahan masing-masing. Dapat dikatakan bahwa penggabungan itu malah membuat Kim-siauw Kiam-sut menjadi sempurna, dan membuat Koai-liong Kiam-sut menjadi lengkap! Dan dia melihat pula hal lain! Dia melihat betapa Hong Bu selalu dengan mati-matian melindungi Ci Sian, dan di antara gerakan cepat mereka, dia dapat melihat pula sinar mata Hong Bu kalau melihat atau mengerling Ci Sian.
Pemuda itu mencinta Ci Sian! Dan dia melihat pula betapa dua orang muda remaja ini memang serasi, cocok sekali, sebaya dan juga sama-sama gagah perkasa. Dan dia pun melihat betapa Ci Sian bertempur dengan wajah berseri dan tersenyum, tanda bahwa hati dara itu pun girang sekali bertemu dengan Hong Bu, apalagi dapat bersama-sama pemuda itu melawan musuh tangguh. Padahal, dia mengenal benar watak Ci Sian dan andaikata yang membantunya itu orang lain, tentu Ci Sian akan marah dan menolak bantuan itu. Kini, melihat betapa Ci Sian malah girang dibantu Hong Bu, maka kenyataan ini hanya menjadi bukti bahwa Ci Sian juga mencinta, atau setidaknya merasa suka kepada pemuda ini. Teringat pula dia betapa Ci Sian pernah memuji-muji Hong Bu di depannya. Aneh, Kam Hong merasa jantungnya seperti tertusuk!
"Bodoh kau! Manusia lemah yang hanya mementingkan diri sendiri! Lemah dan bodoh!"
Kam Hong mencela diri sendiri karena dia tahu apa artinya perasaan tertusuk itu. Dia merasa cemburu! Bodoh, dia harus tahu diri, pikirnya penasaran. Cintanya kepada Ci Sian tidak benar, tidak wajar dan tidak tepat. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun! Dan Ci Sian baru delapan belas tahun! Dia terlalu tua untuk Ci Sian.
Hong Bu itulah yang tepat menjadi jodoh Ci Sian, tentu usianya sebaya, atau kalau Hong Bu lebih tua pun selisihnya hanya satu dua tahun, Dan Ci Sian telah mewarisi Kim-siauw Kiam-sut, hanya tinggal mematangkannya saja dengan jalan berlatih dan menggunakannya dalam praktek. Tidak ada lagi yang dapat diajarkannya kepada Ci Sian. Dan amat tidak baik kalau dia terus mengajak dara itu melakukan perjalanan bersama. Tidak baik bagi dara itu, juga bagi dirinya sendiri karena dia akan semakin terikat. Tidak, dia harus mengalah, dia harus mengundurkan diri, dia harus tahu diri. Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan teriakan nyaring dan sebagai sambutan dari teriakan itu, puluhan orang berpakaian hitam bermunculan dari semua penjuru. Tahulah Kam Hong bahwa kakek itu merasa kewalahan dan memanggil anak buahnya. Maka dia pun lalu meloncat bangun dan siap dengan sulingnya.
Ketika anak buah Hek-i Mo-ong itu hendak mengeroyok Hong Bu dan Ci Sian, Kam Hong sudah menyerbu dan menyambut mereka dengan putaran sulingnya yang berobah menjadi sinar emas bergulung-gulung. Dan biarpun anak buah Hek-i Mo-ong rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi suling di tangan Kam Hong tentu saja mereka itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat. Ke mana pun gulungan sinar emas itu menyambar, tentu sedikitnya ada dua orang anggauta Hek-i Mo-ong yang roboh. Dan para anggauta Hek-i Mo-ong yang besar jumlahnya itu, sebagian lagi mengepung Hong Bu dan Ci Sian, akan tetapi mereka itu hanya bergerak-gerak tanpa ada yang berani ikut membantu ketua mereka karena gerakan tiga orang itu terlalu dahsyat bagi mereka.
Apalagi ikut berkelahi, baru terlalu dekat saja mereka sudah mundur lagi oleh sambaran angin yang amat dahsyat. Dan ketua gerombolan itu sudah mulai lelah, dan mulai terdesak hebat. Bukan main marahnya kakek itu. Gerombolan yang dibentuknya dan telah berdiri dan terkenal di seluruh propinsi itu sebagai perkumpulan yang besar dan amat berpengaruh, yang sudah belasan tahun merajalela dan tidak ada yang berani melawan, klni mengalami ambang kehancuran. Tiba-tiba kakek itu menggereng dan dia mengeluarkan beberapa buah benda hitam dari balik jubahnya dan begitu dia melempar dan membanting benda-benda hitam itu, terdengar ledakan-ledakan nyaring dan nampak asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat itu. Melihat ini, Kam Hong cepat berteriak,
"Hong Bu! Ci Sian! Mundur!"
Dua orang muda remaja itu juga terkejut dan tidak berani sembrono untuk mengejar kakek yang sudah lenyap di balik asap hitam itu. Mereka tahu apa maksud Kam Hong menyuruh mereka mundur dan mereka pun bersikap waspada. Kalau saja mereka mengejar, tentu jarak serang itu akan lebih dekat dan bahaya yang mengancam lebih besar. Kini, mereka berdua memutar pedang dan suling, dan runtuhlah paku-paku dan jarum-jarum beracun yang tadi berhamburan menyerang mereka dari balik asap hitam. Dan asap itu sendiri pun mengeluarkan bau yang amat busuk, tanda bahwa asap itu mengandung racun pula.
Kam Hong, Hong Bu dan Ci Sian berloncatan jauh ke belakang menjauhi asap. Akan tetapi para anggauta Hek-i-mo yang puluhan orang banyaknya itu mengurung dan menghujani mereka dengan senjata rahasia beracun. Dengan mudah mereka bertiga memutar suling dan pedang, membuat semua senjata rahasia itu runtuh dan mereka bertiga lalu dikeroyok. Akan tetapi, karena Hek-i Mo-ong tidak nampak lagi, tentu saja anak buah Hek-i Mo-ong itu bukanlah lawan tiga orang pendekar muda yang perkasa ini. Berturut-turut robohlah mereka itu satu demi satu. Akhirnya, setelah lebih dari setengah jumlah anggauta Hek-i-mo roboh dan setelah mereka sadar bahwa ketua mereka telah lari meninggalkan mereka sisa anggauta Hek-i-mo lalu melarikan diri, menghilang di malam gelap.
"Eh, di mana Suheng?"
Tiba-tiba Ci Sian sadar bahwa suhengnya tidak berada di tempat itu. Tadi, di antara pertempuran keroyokan yang gaduh itu, Ci Sian melawan pengeroyokan di samping Hong Bu dan ia melihat Kam Hong memisahkan diri dan mengamuk di bagian lain. Akan tetapi setelah semua musuh pergi dan sebagian roboh malang melintang di tempat itu, ia tidak lagi melihat Kam Hong. Hong Bu juga melihat ke kanan kiri, bahkan lalu mereka berloncatan ke sana sini untuk mencari Kam Hong. Namun tidak nampak bayangan pendekar itu.
"Suheng....!"
Ci Sian berteriak memanggil beberapa kali, namun tidak terdengar jawaban dan tidak nampak pula pendekar itu muncul. Maka mulailah la merasa khawatir.
"Mungkin dia mengejar Mo-ong"
Kata Hong Bu. Ci Sian mengangguk dan mengerutkan alisnya.
"Mungkin, akan tetapi mengapa dia mengejar kalau dia sendiri yang menyuruh kita mundur tadi? Pula, mengejar seorang manusia iblis yang curang seperti Mo-ong itu amat berbahaya. Mari kita ikut mengejar dan membantunya."
Tanpa menanti jawaban Ci Sian sudah meloncat ke depan.
"Tunggu, Nona. Lihat ini....!"
Ci Sian berhenti dan membalikkan tubuhnya. la melihat Hong Bu menghampiri sebatang pohon tak jauh dari tempat itu dan di batang pohon itu nampak ada benda putih seperti kertas tertempel di bawah dahan rendah. Biarpun cuaca agak suram karena ada awan tipis lewat di bawah bulan, namun tulisan itu masih dapat dibaca.
"Ci Sian, ke sinilah dan baca surat ini. Agaknya Kam-twako yang meningalkan surat ini!"
Kata Hong Bu. Ci Sian segera berlari menghampirinya dan membaca tulisan di atas kertas putih itu. :
Bu-sumoi yang baik,
Selesailah sudah tugasku, mengajarkan Kim-siauw Kiam-sut kepadamu. Tidak ada gunanya lagi bagimu aku menemani. Biarlah kita saling berpisah di sini. Jaga dirimu baik-baik, Sumoi. Tiada pertemuan tanpa perpisahan dan aku tidak ingin perpisahan antara kita menimbulkan duka.
Suhengmu : Kam Hong.
"Ah, Suheng....!"
Ci Sian mengeluh dan ia berdiri termangu-mangu, mengambil kertas itu dan merasa kehilangan sekali. Tak terasa lagi matanya terasa panas dan berlinang air mata. Mengapa suhengnya meninggalkannya? Hong Bu yang melihat keadaan Ci Sian merasa kasihan kepada dara itu.
"Suheng-mu pergi meninggalkanmu? Ke manakah dia pergi?"
Ci Sian tersadar mendengar suara ini, sadar bahwa ia tidak sendirian di situ. Ia menarik napas panjang.
"Aku sendiri tidak tahu mengapa dia tiba-tiba saja meninggalkan aku, tanpa pamit, hanya meninggalkan sehelai surat seperti ini.... sungguh aneh sekali...."
"Kalau aku boleh bertanya.... ke manakah engkau hendak pergi, Ci Sian? Dan ke mana pula Suhengmu itu hendak pergi?"
Ci Sian menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu, Hong Bu. Kami berdua tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami melakukan perjalanan bersama mencari Hek-i-mo membalas dendam kematian Ibuku, dan di sepanjang perjalanan Suheng mengajarkan ilmu kepadaku. Tapi.... ah, tak kusangka dia akan pergi begitu saja...."
Ci Sian benar-benar merasa kehilangan dan berduka. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa di dunia ini tidak ada lagi lain orang kecuali Kam Hong baginya. Dan Kam Hong pergi begitu saja meninggalkannya tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membantah atau menahannya.
"Jadi engkau tidak tahu dia akan pergi ke mana? Kalau engkau tahu, kita akan dapat mengejarnya."
"Kita....?"
"Ya, aku akan membantumu, Ci Sian. Aku pun tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalananku ini. Aku mau membantumu mencari Kam-twako."
"Mari kita pergi dulu dari tempat terkutuk ini!"
Ci Sian berkata sambil melompat pergi. Hong Bu mengejar dan mereka berlari-lari meninggalkan sarang Hek-i-mo itu. Mereka berlari terus dan Ci Sian terus berlari, membiarkan Hong Bu mengikutinya, tanpa bicara. Mereka keluar dari daerah itu akan tetapi ketika mereka tiba di luar kota, di jalan kecil yang sunyi, dan malam menjadi agak gelap karena bulan telah condong ke barat. dan tertutup awan yang mulai berkumpul, Ci Sian berhenti berlari. Di tepi jalan terdapat sebuah pondok kosong, tempat para petani mengaso di waktu siang sehabis bekerja. Mereka duduk di atas bangku bambu di bawah pondok.
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita menanti sampai pagi di sini saja."
Kata Ci Sian. Hong Bu mengangguk.
"Sebaiknya begitulah."
Dan mereka pun hanya duduk diam, tidak ada yang mulai bicara. Suasana amat sunyi dan Hong Bu dapat merasakan betapa kesedihan menyelubungi hati dara itu. Dia merasa kasihan, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana dapat menghiburnya dan dia khawatir kalau-kalau salah bicara, maka dia memilih diam saja. Berulang kali Ci Sian menarik napas panjang. Memang dara ini membiarkan pikirannya melayang-layang, membayangkan semua pengalamannya sejak kecil sampai ia bertemu dengan Kam Hong dan mengalami banyak hal bersama. Kiranya pendekar itu melakukan perjalanan bersama hanya untuk dua hal,
Yaitu pertama untuk mengajarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang mereka temukan berdua, dan membantunya membalas dendam terhadap Hek-i-mo. Tidak ada hal lain lagi kecuali itu! Tidak ada hal lain! Inilah yang membuat Ci Sian termenung dan merasa berduka. Dia.... dia tidak mencintaku! Demikian pikiran yang membuat Ci Sian merasa berduka. Kalau Kam Hong mencintanya, tidak mungkin mau meninggalkannya, meninggalkannya seorang diri saja di dunia ini. Kembali ia menarik napas panjang. Hong Bu yang sejak dahulu telah jatuh hati kepada dara ini, dan sekarang dia merasa kagum bukan main karena tadi dia melihat sendiri betapa lihainya Ci Sian sekarang dengan ilmu sulingnya, merasa tidak tega. Dia dapat menduga bahwa Ci Sian merasa berduka ditinggalkan suhengnya, dan merasa hidupnya kesepian, merasa sendirian saja di dunia yang luas ini.
"Bagaimana kalau engkau beristirahat dan tidur di sini? Biar kubuatkan api unggun dan aku menjaga di sini."
Kata Hong Bu dengan lirih dan halus. Hampir saja Ci Sian lupa dan mengira bahwa yang bicara itu adalah Kam Hong! Akan tetapi begitu ia menoleh dan melihat bahwa yang duduk di sampingnya dan yang bicara halus tadi adalah Hong Bu, ia menggeleng kepala.
"Aku tidak mengantuk. Dan lebih baik tidak membuat api unggun. Setelah apa yang terjadi di sana tadi, tentu ada orang-orang jahat yang mengejar kita. Biarlah kita beristirahat sambil duduk di sini sampai pagi. Eh Hong Bu, bagaimana engkau dapat muncul secara tiba-tiba dan membantuku menghadapi, raja iblis itu?"
Tiba-tiba Ci Sian teringat dan perhatiannya mulai teralih kepada Hong Bu dan hal ini cukup untuk membuat ia melupakan kesedihannya karena ia seperti tidak merasa kesepian dan sendiri lagi. Hong Bu tersenyum, akan tetapi senyum pahit.
"Nasibku agaknya tidak lebih menyenangkan daripada nasibmu, Ci Sian. Aku pun hidup sendirian saja di dunia ini, tiada sanak saudara, tiada handai taulan, bahkan tanpa tujuan sama sekali! Kadang-kadang kalau aku sedang berjalan seorang diri dan memandang ke atas, aku merasa seakan-akan menjadi segumpal kecil awan yang terpencil sendirian terbawa angin, entah hendak dibawa ke mana oleh angin itu. Kadang-kadang aku merasa kesepian dan bingung. Apalagi kalau teringat bahwa, aku telah menjadi seorang buronan dan dikejar-kejar oleh orang-orang sakti yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan aku!"
Jodoh Rajawali Eps 48 Jodoh Rajawali Eps 12 Jodoh Rajawali Eps 14