Jodoh Rajawali 29
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 29
"Memang tepat menjadi seorang jenderal yang pandai!"
"Suhu, tidak percuma dia pernah menjadi panglima besar,"
Kata pula orang muda itu, lalu dia berkata lagi kepada Jenderal Kao Liang.
"Memang engkau benar, Jenderal Kao. Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Memang, kami yang telah menawan keluargamu. Akan tetapi kami tidak berniat buruk, melainkan hendak mengajak engkau untuk bekerja sama dengan kami."
Jantung Kao Liang berdebar tegang. Jadi, keluarganya masih hidup? Semua selamat? Akan tetapi, mendengar betapa orang muda asing ini mengajak dia bekerja sama, dia merasa curiga sekali. Kerja sama dalam hal apa? Betapapun juga, Kao Liang adalah bekas panglima besar dan sudah sering kali menghadapi urusan-urusan besar, sungguhpun belum pernah dia menghadapi ancaman hebat bagi seluruh keluarganya seperti sekarang ini yang membuat hatinya tegang luar biasa. Sebelum melanjutkan percakapan, dia harus melihat buktinya lebih dulu, bukti bahwa keluarganya dalam keadaan selamat semua. Dengan sikap tenang dan air muka sama sekali tidak berubah, bekas jenderal itu lalu berkata dengan sikap hormat pula,
"Soal kerja sama dan yang lain-lain baru bisa dibicarakan dengan hati terbuka kalau kami sudah diperbolehkan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa keluarga kami berada di sini dalam keadaan selamat. Sebelum itu, engkau tentu mengerti bahwa kami tidak mungkin dapat melakukan percakapan dengan hati terbuka."
Kembali Liong Bian Cu tertawa.
"Benar sekali kata-katanya itu, bukan, Suhu?"
Ban Hwa Sengjin mengangguk.
"Dia memang laki-laki sejati!"
"Suhu, harap suka membawa mereka melihat keluarga mereka. Akan tetapi hanya melihat saja karena belum tiba saatnya mereka diperkenankan bicara dan bertemu dengan keluarga mereka."
Ban Hwa Sengjin kembali mengangguk, lalu bangkit berdiri dan ditemani oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, dia lalu menghampiri Jenderal Kao Liang dan puteranya.
"Goanswe dan Sicu, mari silakan ikut bersama kami."
Dengan jantung berdebar tegang Kao Liang dan Kok Tiong mengikuti tiga orang kakek itu. Ban Hwa Sengjin berjalan di depan, diiringkan oleh Kao Liang dan Kok Tiong sedangkan dua orang kakek iblis itu mengikuti dari belakang. Mereka melalui lorong berlika-liku di dalam gedung besar itu dan akhirnya Ban Hwa Sengjin berhenti dan memberi isyarat kepada dua orang itu untuk berhenti. Mereka tiba di sebuah ruangan kecil dan tidak jauh di depan terdapat sebuah pintu yang lebar dan di depan pintu ini berdiri enam orang penjaga yang memegang senjata. Melihat kedatangan Ban Hwa Sengjin, mereka lalu cepat memberi hormat.
"Buka daun pintu kayu itu lebar-lebar agar kami dapat melihat mereka yang berada di dalam!"
Kata Ban Hwa Sengjin kepada kepala penjaga. Perintah ini cepat ditaati, rantai pintu itu dibuka dan pintu itu didorong ke samping.
Ternyata di balik pintu kayu itu terdapat pula ruji-ruji besi seperti kerangkeng dan di belakang ruji-ruji ini terdapat sebuah kamar yang besar sekali, dengan beberapa buah pembaringan, meja dan kursi-kursi. Dan di dalam kamar besar yang ditutup ruji dan dijaga ketat itu terdapat beberapa orang wanita dan anak-anak, ada yang sedang berbaring, ada yang duduk membaca, ada pula yang menyulam, ada yang sedang bercakap-cakap. Melihat mereka itu, Kao Liang dan Kao Tiong memandang dengan mata terbelalak. Mereka itulah keluarga yang hilang! Dan tidak ada seorang pun yang kurang. Masih lengkap dan kelihatannya memang sehat, sungguhpun di antara mereka ada yang kelihatan pucat dan kurus. Dan biarpun tidak ada yang kelihatan gembira, namun harus diakui bahwa mereka itu selamat dan agaknya kamar besar itu cukup baik, mereka cukup terjamin.
"Ayah....!"
Tiba-tiba seorang anak laki-laki berseru dan menuding ke arah Kok Tiong. Semua orang dalam kamar itu menengok dan terjadilah pemandangan yang amat memilukan. Para wanita itu sejenak memandang dengan mata terbelalak ke arah Kao Liang dan Kao Tiong, seolah-olah tidak percaya, kemudian terdengarlah seruan-seruan mereka memanggil dan tangis mereka riuh-rendah. Mereka semua lari ke ruji besi, seperti tawanan-tawanan yang melihat keluarga datang berkunjung. Ban Hwa Sengjin mengembangkan kedua lengannya ketika melihat Kao Liang dan Kok Tiong bergerak hendak maju, sambil berkata,
"Cukup sudah untuk membuktikan bahwa keluargamu dalam keadaan selamat, Kao-goanswe."
Lalu dia memerintahkan kepada para penjaga.
"Tutup kembali pintunya!"
Kao Liang clan Kok Tiong berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak, melihat betapa wajah-wajah orang yang mereka cinta itu lenyap kembali di pintu kayu dan tangis mereka masih terdengar lapat-lapat. Seperti ditusuk-tusuk rasa jantung Kok Tiong mendengar putera sulungnya yang baru berusia empat tahun itu memanggil-manggilnya dari balik daun pintu. Ingin dia memberontak dan memecahkan daun pintu itu, akan tetapi dia maklum bahwa itu bukanlah cara yang baik dan selamat, maka dia menekan perasaannya dan ketika tangan ayahnya menjamah lengannya, dia memutar tubuh dan bersama ayahnya mengikuti kakek botak kembali ke ruangan tadi di mana pemuda berkulit kehitaman itu masih menanti mereka sambil tersenyum-senyum. Begitu tiba di ruangan itu, Kao Liang lalu menghadapi pemuda asing itu dan berkata dengan suara tegas,
"Orang muda, apakah artinya semua ini? Lekas katakan, siapakah engkau dan kerja sama yang bagaimana yang kau minta dariku?"
"Kao-goanswe, dan Kao-sicu, duduklah kalian agar kita dapat bicara dengan baik,"
Kata Liong Bian Cu sambil memberi isyarat kepada pelayan. Segera pelayan datang membawa cawan dan meletakkan cawan dan mangkok di depan ayah dan anak itu, kemudian hidangan dikeluarkan, hidangan yang masih panas. Liong Bian Cu lalu menuangkan sendiri arak ke dalam dua cawan di depan ayah dan anak itu, mempersilakan mereka untuk minum.
"Maaf, orang muda. Sebelum kami mengenal siapa engkau dan mengetahui apa maksudmu menawan keluarga kami, bagaimana kita dapat minum dan makan seperti antara sahabat?"
Kao Liang berkata lagi dan tidak menyentuh cawan arak itu. Juga Kok Tiong duduk tegak dengan mata menatap wajah pemuda berkulit kehitaman itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Liong Bian Cu tersenyum melihat penolakan ayah dan anak itu. Dia minum araknya dari cawan, lalu meletakkan cawan itu di atas meja dan berkatalah dia sambil menatap tajam wajah bekas jenderal itu,
"Kao-goanswe, saya bernama Liong Bian Cu dan biarpun engkau belum pernah bertemu dengan saya dan belum mengenal saya, akan tetapi saya kira engkau tentu sudah mengenal baik mendiang ayah saya."
Kao Liang mengerutkan alisnya.
"She Liong....?"
Dia berkata lirih dan meng-ingat-ingat karena setahunya, yang she Liong adalah pangeran-pangeran dari Kerajaan Ceng!
"Benar, Goanswe, mendiang ayah saya adalah Pangeran Liong Khi Ong!"
"Ahhh....!"
Bukan main kagetnya Kao Liang mendengar ini, juga Kok Tiong terkejut dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya. Mendiang Liong Khi Ong adalah seorang pemberontak besar dan ayahnya adalah bekas panglima yang telah membasmi kaum pemberontak. Kenyataan ini saja sudah amat jelas berbicara mengapa keluarga Kao diculik dan ditawan!
"Antara mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan saya memang terdapat pertentangan"
Akhirnya Kao Liang berkata dengan suara berat,
"Akan tetapi itu bukan merupakan permusuhan pribadi, melainkan dalam kedudukan saya sebagai panglima perang abdi negara. Maka saya tidak melihat dasar-dasar yang kuat mengapa Kongcu mengambil tindakan terhadap keluarga saya yang tidak tahu-menahu tentang pertentangan antara mendiang ayahmu dan saya itu."
Liong Bian Cu tersenyum lebar.
"Tenanglah, Goanswe. Sudah kukatakan tadi bahwa kami menawan keluargamu sama sekali bukan dengan niat yang buruk! Dan saya sama sekali tidak menaruh dendam pribadi kepadamu. Saya bukanlah seperti orang biasa yang mabuk oleh dendam dan sakit hati pribadi. Saya adalah seorang pangeran, cucu dari raja besar di Nepal."
Kao Liang rnengangguk-angguk dan mendengar bahwa putera Pangeran Liong Khi Ong ini juga merupakan cucu Raja Nepal, tahulah dia dan teringatlah dia bahwa Pangeran Liong Khi Ong memang mempunyai seorang selir, yaitu puteri Raja Nepal. Jadi pemuda inikah keturunannya dari puteri Nepal itu? Dia lalu memandang kepada kakek botak dan kedua kakek lain yaitu Hek-tiauw Lo-mo yang seperti raksasa menyeramkan, dan kakek muka tengkorak yang tidak kalah mengerikan itu.
"Dan saya memperkenalkan Locianpwe ini adalah guru saya, juga beliau adalah koksu dari Nepal, berjuluk Ban Hwa Sengjin,"
Liong Bian Cu berkata dan kakek botak itu bangkit berdiri. Kao Liang makin kaget dan cepat dia bangkit berdiri memberi hormat yang dibalas oleh kakek botak itu. Kiranya Pangeran Nepal ini berada di situ bersama Koksu Nepal! Tentu ada apa-apa di balik ini semua, ada sesuatu yang amat penting! Akan tetapi dia menekan keheranannya dan tetap bersikap tenang.
"Mereka berdua ini adalah dua di antara pembantu-pembantu kami, Goan-swe. Beliau ini adalah Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi, dan Locianpwe ini adalah Hek-tiauw Lo-mo."
"Ha-ha-ha, Jenderal Kao Liang sudah mengenalku!"
Kata Hek-tiauw Lo-mo sambil tertawa dan minum araknya.
"Kiranya Kongcu adalah pangeran dari Nepal dan lengkap dengan para pembantu yang amat lihai. Akan tetapi apa hubungannya itu dengan keluarga saya? Kerja sama apa yang dapat saya lakukan untuk Kongcu?"
"Kami tahu bahwa Goanswe adalah seorang ahli dalam ilmu perang. Mungkin untuk seluruh Tiongkok pada waktu ini, Goanswe adalah orang yang paling pan-dai! Kami amat membutuhkan bantuanmu, Kao-goanswe. Kami ingin agar engkau suka memimpin orang-orang kami, menjadikan tempat ini, lembah ini sebagai benteng yang amat kuat. Terus terang saja, kami berniat untuk menentang kaisar, dan kami sudah menerima janji bantuan dari Gubernur Ho-nan dan banyak pula pembesar lain, baik sipil maupun militer."
Berubah wajah bekas jenderal itu. Keluarga Kao sejak turun-temurun adalah pahlawan-pahlawan yang setia! Kini, Pangeran Nepal ini mengajak dia bersekutu untuk memberontak terhadap kerajaan! Hampir saja Kao Liang menghantam meja di depannya saking marahnya, matanya mendelik dan kumisnya seolah-olah berdiri. Dia tidak mampu bicara saking marahnya.
"Engkau berjanji akan membantu kami, Kao-goanswe, dan kami pun akan berjanji untuk menjamin keselamatan jiwa raga keluargamu. Bukankah itu sudah adil sekali?"
Liong Bian Cu kembali berkata dengan suaranya yang tenang dan halus.
"Tidak....! Tidak sudi aku....!"
Tiba-tiba Jenderal Kao berteriak dan bangkit berdiri, mengepal tinjunya, mukanya merah dan matanya mendelik.
"Ayah....!"
Kok Tiong berkata lirih penuh kegelisahan.
"Ayah, harap Ayah sudi menyelamatkan dua orang cucumu!"
Muka dua orang muda ini pucat sekali karena dia maklum bahwa nyawa seluruh keluarga yang dikurung di sana tadi berada di telapak tangan ayahnya!
"Tidak....! Seribu kali lebih baik kita mati semua!", kembali Kao Liang berseru keras dan pada saat itu terdengar jerit tertahan dari balik sebuah pintu.
"Gihu (Ayah Angkat)....!"
Dan muncullah Syanti Dewi bersama Hwee Li dari balik pintu itu. Syanti Dewi lari menghampiri Kao Liang. Bekas jenderal ini terkejut, menoleh dan segera memeluk Syanti Dewi yang sudah merangkulnya dan menangis di atas dadanya yang bidang.
"Kau....? Dewi....? Kau.... juga di sini?"
Bekas jenderal itu berkata heran dan juga bingung, penuh kekhawatiran.
"Gihu, saya menjadi.... tawanan perang di sini. Baru hari ini saya mendengar bahwa keluarga Gihu semua juga menjadi tawanan di sini.... harap Gihu tidak menggunakan kekerasan dan bersikap bijaksana untuk menyelamatkan keluarga Gihu....!"
"Syanti Dewi, biarpun kami memberi kebebasan kepadamu, akan tetapi perbuatanmu ini lancang sekali dan tidak tahu tata susila. Harap kau suka meninggalkan ruangan ini,"
Kata Liong Bian Cu dengan sikap halus. Syanti Dewi melepas-kan pelukan ayah angkatnya dan mundur dengan kedua pipi kemerahan.
"Semua ini tentu gara-gara Hwee Li!"
Hek-tiauw Lo-mo membentak, lalu berkata kepada dara itu dengan nyaring,
"Hwee Li, hayo kau ajak Sang Puteri pergi dari ruangan ini!"
Dara cantik jelita yang datang bersama Puteri Bhutan itu berdiri tegak, bertolak pinggang menghadapi Hek-tiauw Lo-mo lalu berkata,
"Memang benar aku yang mengajaknya ke sini! Habis, kau mau apa?"
Sikapnya menantang sekali, mengherankan Kao Liang dan puteranya. Betapa berani sikap dara cantik jelita ini, dan anehnya, Hek-tiauw Lo-mo yang biasanya amat angkuh, kejam dan ganas, sekali ini tidak menjawab apa-apa atas tantangan itu! Pangeran Liong Bian Cu cepat bangkit berdiri dan dengan suara yang amat ramah dan halus dia berkata kepada dara itu,
"Hwee Li, kekasihku, harap engkau tidak membuat ribut di sini. Kami sedang membicarakan urusan besar, harap kau suka mengajak Syanti Dewi ke taman, Sayang"
Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran itu memperlihatkan sikap demikian ramah dan mesra kepadanya di depan banyak orang. Dia ingin marah, akan tetapi dia takut kalau-kalau pangeran itu akan makin bersikap mesra, maka dia lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajaknya pergi cepat-cepat dari ruangan itu. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum lebar, puas akan hasil dari kecerdikannya. Dia tahu benar harus bersikap bagaimana untuk mengalahkan dara yang dicintanya itu.
"Maaf atas gangguan tadi, Kao-goanswe. Sungguh saya tidak mengira bahwa Syanti Dewi adalah anak angkatmu. Dan gadis tadi adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, atau tunangan saya."
Diam-diam Kao Liang merasa heran dan juga terkejut. Dara cantik jelita tadi tunangan pangeran ini? Puteri Hek-tiauw Lo-mo? Kini dia mengerti mengapa Hek-tiauw Lo-mo membantu pangeran ini. Dan biarpun dia kagum akan kecantikan dan keberanian dara itu, namun diam-diam dia bergidik mengingat akan sikap dara itu terhadap ayahnya! Dasar ayahnya seorang laki-laki iblis, anaknya pun sikapnya demikian kurang ajar terhadap ayahnya sendiri! Akan tetapi, yang amat mengherankan hatinya, bagaimana Syanti Dewi yang memiliki watak mulia dan lemah lembut itu kelihatan begitu akrab dengan dara iblis tadi?
"Kao-goanswe,"
Tiba-tiba Koksu Nepal berkata kepadanya dengan suaranya yang asing karena Ban Hwa Sengjin memang seorang aseli Nepal, sungguhpun dia telah mempelajari bahasa Han dengan baik dan dapat bicara dengan lancar.
"Kita sama-sama adalah orang-orang yang tahu akan tata negara, tahu akan kebijaksanaan dan kesetiaan terhadap pemerintah. Seorang bijaksana akan setia kepada tanah air dan bangsa melalui kesetiaannya terhadap pemerintah. Akan tetapi, kalau melihat betapa pemerintah dipimpin oleh orang-orang yang lemah dan tidak bijaksana, benarkah kalau dia mengekor saja dan berarti menambah beban penderitaan rakyatnya? Tentu tidak, dan seorang bijaksana akan menentang pemerintah yang demikian, demi kebaktiannya kepada rakyat dan tanah airnya."
Kao Liang memandang wajah kakek botak itu dan sejenak mereka beradu pandang. Diam-diam bekas jenderal itu terkejut melihat sinar mata yang tajam bersinar-sinar dan penuh wibawa itu, maklumlah dia bahwa selain pandai, juga Koksu Nepal itu tentu bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kemarahan hebat yang tadi membakar dadanya kini sudah mereda setelah munculnya Syanti Dewi yang tak disangka-sangkanya.
"Ban Hwa Sengjin, ke manakah tujuan kata-katamu itu?"
"Kao-goanswe, seperti yang dikatakan oleh Puteri Bhutan tadi, seorang bijaksana akan lebih dulu mengutamakan keselamatan keluarganya dan dalam hal ini, Goanswe adalah seorang yang akan menentukan mati hidupnya keluarga Goanswe, termasuk pula Syanti Dewi."
"Hemmm, engkau hendak mengancam keselamatan mereka demi untuk memeras dan memaksaku, Koksu?"
Bekas jenderal itu mengejek.
"Bukan ancaman kosong, Kao-goanswe! Dengan sekali isyarat, saat ini pun aku sanggup menyuruh algojo memenggal leher keluargamu di depan matamu!"
Pangeran Liong Bian Cu berkata tenang dan halus, namun isi kata-katanya itu penuh ancaman yang mengerikan sehingga pucatlah wajah Kok Tiong mendengar ini.
"Bukan sekedar mengancam untuk memaksa, Jenderal Kao Liang!"
Kata pula Ban Hwa Sengjin dengan sinar mata tajam.
"Sebagai seorang ahli perang engkau tentu dapat mengetahui kalau keadaanmu sudah tersudut dan kalah total. Engkau sudah kalah dan kami yang menang, karena itu kami menggunakan hak kami sebagai pemenang dan sudah selayaknya kalau engkau tahu diri. sebagai fihak yang kalah. Akan tetapi, selain kenyataan ini aku ingin membuka mata dan kesadaran-mu akan kenyataan lain, yaitu bahwa engkau tidak mempunyai pilihan lain."
Kao Liang menegakkan kepalanya dan mengangkat dadanya.
"Bagiku, tetap saja ada pilihan, Koksu, karena aku lebih menghargai kehormatan daripada nyawa. Ancamanmu terhadap keluargaku, sama sekali tidak akan membutakan mataku terhadap nilai kehormatan kami!"
Wajah koksu itu sudah menjadi merah karena dia marah sekali melihat kekerasan hati bekas jenderal ini. Akan tetapi Liong Bian Cu memberi isyarat kepadanya dan orang muda yang cerdik ini lalu berkata,
"Jenderal Kao Liang, sikapmu yang tegas dan gagah itu amat mengagumkan hatiku. Akan tetapi engkau lupa bahwa setiap perbuatan itu tentu ada dasarnya. Setiap pemberontakan ada pula yang menjadi dasarnya. Ketika mendiang ayahku memberontak terhadap kaisar, apakah dasarnya? Karena kaisar terlalu lemah dan membiarkan para pembesar melakukan korupsi dan maksiat besar-besaran, memeras rakyat. Ayah memberontak dan gagal, hal itu sudah biasa dan tidak perlu disesalkan. Yang patut disesalkan adalah betapa kelaliman berlangsung terus. Engkau, yang ketika itu menjadi panglima, bahkan lalu diangkat menjadi panglima besar, kini dapat melihat bukti kebenaran dasar yang membuat ayahku memberontak, Jenderal Kao. Lihat betapa lalimnya kaisar! Betapa kaisar memberi hati kepada para thaikam dan pembesar-pembesar lalim dan jahat, sehingga banyak orang-orang yang benar-benar merupakan pahlawan seperti engkau, malah disingkirkan dan dipecat. Orang-orang yang penjilat dan pemeras rakyat, tukang korupsi besar malah dipakai dan memperoleh kekuasaan. Engkau yang dipecat dan diusir secara halus oleh kaisar membuktikan bahwa engkau bukan termasuk pembesar penjilat dan korup. Engkau tidak merasa sakit hati oleh tindakan lalim kaisar itu terhadapmu, itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pahlawan yang setia. Akan tetapi, sebaliknya, engkau membiarkan kaisar dan kaki tangannya melakukan kelaliman yang menyengsarakan rakyat, hal itu berarti bahwa engkau pun membantu kelaliman mereka. Bukankah orang yang tahu kejahatan dan tinggal memeluk tangan saja berarti membantu kejahatan itu pula?"
Kata-kata Liong Bian Cu merupakan ujung pedang tajam yang menusuk-nusuk hati bekas jenderal itu, membuat dia menundukkan kepalanya dan mukanya menjadi agak pucat. Harus diakui bahwa di dalam kata-kata itu terkandung kebenaran yang sukar untuk disangkal. Memang kaisar amat lemah, kaisar yang sudah terlalu tua dan sakit-sakitan itu seakan-akan menyerahkan kendali pemerintahan kepada para thaikam yang korup dan lalim, dan memang kelaliman akan terus terjadi dan berlangsung tanpa ada yang berani menentang.
"Saya.... saya tidak mungkin mau memberontak, lebih baik mati sekeluarga daripada memberontak.."
Akhirnya dia berkata dengan lirih dan memejamkan matanya.
"Ayah....!"
Kok Tiong berkata dengan suara penuh duka dan dua butir air mata jatuh ke atas pipinya. Membayangkan dia dan isterinya mati masih belum apa-apa, akan tetapi membayangkan ibunya dibunuh, dan dua orang anaknya, benar-benar membuat dia hampir tidak kuat menahan.
"Hemmm, lihat betapa lemahnya jenderal yang terkenal ini! Lihat betapa kejam hati bekas panglima yang disanjung-sanjung dan dipuji-puji sebagai pahlawan ini! Membiarkan keluarganya terancam kematian padahal dia dapat menyelamatkan mereka, membiarkan rakyat tertekan kesengsaraan padahal dia dapat pula berusaha untuk mengubah nasib mereka! Betapa lemahnya, dan hanya mementingkan diri sendiri, kehormatan dan namanya sendiri saja!"
Kata Liong Bian Cu berkata lagi.
"Brakkk!"
Jenderal Kao menggebrak meja sampai tergetar dan cawan mangkok piring mencelat berkerontangan.
"Cukup!"
Bentaknya.
"Baiklah, aku mau membantu kalian, akan tetapi hanya untuk memimpin lembah ini yang akan dibangun sebagai benteng. Aku mau memimpin dan mengatur agar benteng ini tidak dapat diduduki oleh musuh manapun, akan tetapi hanya sekian saja, dan biar kalian mengancam bagaimanapun, jangan harap dapat memaksaku memimpin pasukan menyerbu kerajaan!"
Liong Bian Cu tersenyum dan cepat bangkit berdiri dan menjura.
"Terima kasih, Goanswe. Siapa yang mengharapkan engkau menyerbu ke kota raja? Asal engkau dapat membuat lembah ini menjadi benteng yang kuat, sudah cukuplah. Berjanjilah bahwa engkau akan mempertahankan benteng ini dengan sekuat tenaga dan seluruh jiwa ragamu!"
"Hemmm, Liong-kongcu, lebih dulu berjanjilah demi nama nenek moyangmu bahwa engkau akan menjamin keselamatan keluargaku dan Puteri Bhutan!"
"Baik, aku berjanji akan menjamin keselamatan keluargamu dan Puteri Bhutan, demi nama nenek moyangku!"
Liong Bian Cu berkata dengan sikap sungguhsungguh.
"Dan aku berjanji akan mempertahankan lembah ini dengan jiwa ragaku, demi nama keluarga Kao!"
Kata bekas jenderal itu. Hidangan dan minuman ditambah dan mereka merayakan persekutuan itu. Untuk melupakan perasaannya yang tertindih, bekas jenderal itu minum arak tanpa batas sampai akhirnya dia mabuk dan diantar oleh pengawal memasuki kamar keluarganya, bersama Kok Tiong. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan hujan tangis terjadi.
Demikianlah, mulai hari itu, Kao Liang dengan sungguh hati lalu membangun lembah itu menjadi sebuah benteng yang kokoh kuat. Pelaksanaannya dibantu oleh tukang-tukang dan tenaga dari Gubernur Ho-nan dan semua rencana dan gambar yang dibuat oleh Jenderal Kao dilaksanakan sehingga tempat itu menjadi sebuah benteng yang sukar sekali ditembus musuh. Sungai yang mengelilingi lembah itu diperdalam dan diperlebar, ditambah air yang mengalir dari atas bukit ke dalam lembah. Di sekeliling lembah dibangun tembok benteng yang tebal dan kokoh, dan dibuat pula banyak tempat-tempat jebakan yang amat berbahaya. Jenderal Kao dan seluruh keluarganya hidup bebas di tempat itu, bersama Hwee Li dan Puteri Syanti Dewi yang seperti telah bergabung menjadi anggauta keluarga jenderal itu.
Akan tetapi biarpun mereka kelihatan bebas, sesungguhnya mereka sama sekali tidak bebas! Jenderal Kao dan Kok Tiong memang dapat pergi ke mana saja, akan tetapi selalu di situ terdapat anggauta keluarga mereka menjadi sandera dan tidaklah mungkin untuk mencoba-coba meloloskan diri beserta seluruh keluarga yang terdiri dari wanita-wanita dan anak-anak itu! Dalam waktu beberapa pekan saja, rambut Jenderal Kao sudah berubah menjadi putih semua. Hal ini terjadi karena memang batinnya amat tertekan dan dia melakukan semua itu demi menyelamatkan keluarganya. Di dalam hatinya, dia merasa malu sekali kepada mendiang ayahnya, kakeknya dan nenek moyangnya yang turun-temurun merupakan panglima-panglima besar yang setia.
"Satu-satunya sumber yang baik dan dapat dipercaya adalah Pangeran Yung Hwa,"
Kata Ceng Ceng kepada suaminya setelah mereka tiba di kota raja dan bermalam di sebuah rumah penginapan.
"Kalau masih ada Puteri Milana yang terhitung bibi tiriku pula, tentu beliau dapat membantu. Akan tetapi kini Puteri Milana sudah tidak ada di kota raja, tidak berada di istana, telah pergi entah ke mana semenjak lima tahun yang lalu, maka satu-satunya orang di lingkungan istana yang dapat kupercaya adalah Pangeran Yung Hwa."
Kao Kok Cu menggunakan tangan kanan untuk meraba dagunya, kebiasaannya kalau dia sedang berpikir, matanya memandang kepada isterinya penuh selidik.
"Akan tetapi, bukankah dahulu pernah dia jatuh cinta kepadamu seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku? Dan kau sekarang hendak menemuinya?"
Ceng Ceng tersenyum, mendekati dan merangkul leher suaminya, dengan sikap manja.
"Ihhh! Jangan kau bilang bahwa engkau cemburu!"
Kao Kok Cu tertawa dan mecium isterinya. Semenjak putera mereka hilang, hanya kalau dia berada di dekat isterinya sajalah maka hatinya terhibur dan sejenak dia atau mereka, dapat melupakan kedukaan yang menindih hati.
"Engkau salah duga, isteriku. Kau tahu betapa aku mencintamu, betapa kita saling mencinta, dan cinta adalah kepercayaan. Seujung rambut pun tidak ada penyakit cemburu menyentuh hatiku, aku hanya bertanya karena agaknya tidak tepatlah kalau engkau mencari keterangan dari seorang pangeran yang telah patah hati terhadap dirimu. Pertemuan itu selain hanya akan menyakitkan hatinya, membuat luka kambuh, juga mana mungkin dia mau membantu kita?"
"Engkau belum mengenal siapa dia, suamiku. Pangeran Yung Hwa bukanlah sembarang pangeran yang mabuk kekuasaan dan rusak oleh keangkuhan seperti biasanya para muda bangsawan. Sama sekali bukan. Dia menuruni watak gagah, seperti juga Bibi Milana, hanya bedanya, pangeran itu tidak mempelajari ilmu silat."
Ceng Ceng lalu menceritakan sifat-sifat dan watak pangeran yang pernah jatuh cinta kepadanya itu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Setelah mendengar penuturan Ceng Ceng, akhirnya Kok Cu percaya juga bahwa mungkin dari pangeran itu isterinya akan dapat menyelidiki rahasia dari sernua malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.
"Selain menyelidiki rahasia itu, juga aku ingin sekali menyampaikan rasa penyesalanku kepada kaisar melalui Pangeran Yung Hwa atas peristiwa dipecatnya ayahmu."
Demikian Ceng Ceng berkata dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah mencari istana Pangeran Yung Hwa dan menghadap pangeran itu. Pangeran Yung Hwa menyambut kedatangan Ceng Ceng yang mengunjunginya itu dengan perasaan heran dan gembira. Begitu melihat siapa wanita yang menghadap dan memberi hormat kepadanya, dia segera teringat kepada wanita perkasa itu.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ahhh.... engkau....?"
Serunya dan mempersilakan nyonya muda itu duduk di atas kursi di depannya.
"Aku telah mendengar bahwa engkau menjadi mantu Jenderal Kao Liang! Bagaimana keadaanmu? Kuharap baik-baik saja dan berbahagia."
Melihat sikap pangeran itu yang ramah dan jujur, Ceng Ceng merasa terharu.
"Terima kasih atas kebaikan dan perhatian Paduka, Pangeran. Sesungguhnya saya cukup berbahagia kalau saja tidak timbul peristiwa-peristiwa yang menimpa keluarga kami, merupakan bencana yang didatangkan dari istana."
Pangeran Yung Hwa mengerutkan alisnya.
"Ehhh? Apa maksudmu? Istana mendatangkan bencana terhadap keluargamu?"
Ceng Ceng lalu menceritakan tentang dipecatnya ayah mertuanya secara halus oleh kaisar. Kemudian diceritakannya pula betapa ketika ayah mertuanya beserta seluruh keluarga melakukan perjalanan menuju ke kampung halaman, di tengah jalan diganggu oleh berbagai golongan dan di antara gerombolan yang mengganggu itu terdapat pengawal-pengawal istana! Kemudian diceritakan pula akan hilangnya puteranya yang diduga ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa keluarga Jenderal Kao Liang.
"Coba Paduka pikir, siapa lagi yang menyuruh pengawal-pengawal itu menghadang dan mengganggu keluarga Kao? Bukankah semua itu amat mencurigakan sekali?"
Pangeran Yung Hwa meraba dahinya dan berpikir, lalu dia memandang wanita yang pernah dicinta-nya itu, bertanya,
"Nyonya muda yang baik, apa maksudmu mengunjungi aku dan menceritakan semua ini kepadaku?"
Ceng Ceng membalas pandang mata itu dan berkata terus terang,
"Saya dan suami saya menduga keras bahwa kunci semua peristiwa itu berada di istana, oleh karena itu kami datang ke kota raja untuk melakukan penyelidikan. Mengingat bahwa Padukalah satu-satunya orang yang saya percaya sebagai seorang keluarga istana yang adil dan bijaksana, maka saya sengaja menghadap untuk mohon pertolongan Paduka sehingga saya dapat mengetahui ke mana putera saya dibawa dan di mana pula adanya keluarga Kao yang terculik."
Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang.
"Aihhhhh.... kalau saja aku tahu, tentu sekarang juga aku akan turun tangan membebaskan mereka dan mengembalikan puteramu. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku dapat menyelidikinya? Harus kuakui bahwa keadaan kaisar amat lemah, sudah tua dan tidak begitu memperhatikan keadaan para pembantunya yang banyak melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku memang mendengar bahwa Jenderal Kao mengundurkan diri, akan tetapi kusangka tadinya bahwa hal itu terjadi secara wajar sebagaimana biasanya pembesar yang sudah tua dan mengundurkan diri. Kelemahan kaisar memang membuat para pembesar yang tidak jujur untuk bergerak demi keuntu-ngan diri pribadi sehingga terjadi banyak hal yang buruk. Biarpun aku tidak dapat membantumu secara langsung, akan tetapi munculmu di sini menggerakkan hatiku dan mendorongku untuk bertindak, Nyonya Kao. Hari ini juga aku akan menemui kakakku, Pangeran Mahkota, karena hanya beliau saja yang akan dapat turun tangan membersihkan segala kekotoran yang menodai istana. Mudah-mudahan saja dengan pembersihan yang pasti akan dilakukan oleh kakakku, Pangeran Yung Ceng, urusanmu itu akan terbongkar pula dan engkau dapat menemukan kembali puteramu dan keluarga Kao yang hilang. Hanya inilah yang dapat kulakukan."
Tentu saja Ceng Ceng tidak merasa sangat puas dengan hasil ini akan tetapi dia pun maklum bahwa Pangeran Yung Hwa tidak berdaya menolongnya karena memang tidak tahu di mana adanya puteranya atau keluarganya, tidak tahu pula siapa biang keladinya. Sudah jelas bahwa bukan kaisar yang melakukan tindakan itu, melainkan pembesar lalim yang amat banyak terdapat di waktu itu. Terpaksa dia lalu berpamit setelah mengha-turkan terima kasih, pergi meninggalkan istana Pangeran Yung Hwa untuk menemui suaminya dan menceritakan semua hasil pertemuannya dengan pangeran itu.
Sementara itu, Pangeran Yung Hwa juga tidak lama kemudian meninggalkan istananya, dengan menyamar pangeran ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Kuil Siauw-lim-si untuk menemui kakaknya, yaitu Pangeran Yung Ceng. Hal ini tentu menimbulkan perasaan heran bagi yang belum mengetahuinya. Mengapa pangeran itu mencari kakaknya, Pangeran Yung Ceng atau Pangeran Mahkota, ke kuil Siauw-lim? Tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa Pangeran Yung Ceng memang menjadi murid Siauw-lim-pai! Pangeran ini sejak kecil memang suka akan ilmu silat, apalagi setelah dia diangkat menjadi Pangeran Mahkota, dia makin tekun mempelajari ilmu silat karena dia berpendapat bahwa untuk dapat menjadi kaisar yang baik, selain harus ahli dalam soal-soal bun yang meliputi juga soal-soal tata negara, harus mahir pula dalam bu atau ilmu silat, juga ilmu perang.
Maka dia lalu masuk ke Siauw-lim-si dan menjadi murid kuil yang juga menjadi partai persilatan yang amat besar dan telah terkenal sebagai sumber ilmu silat yang tinggi itu. Pangeran Yung Hwa menjumpai kakaknya dan menceritakan akan segala yang terjadi selama kakaknya tenggelam dalam pelajaran ilmu silat di kuil itu, akan penyelewengan para pembesar. Pangeran Yung Hwa menceritakan tentang pemecatan-pemecatan yang dilakukan kaisar karena bujukan pembesar-pembesar penjilat, pemecatan yang dilakukan terhadap pemimpin-pemimpin yang setia, jujur dan pandai, bahkan menceritakan betapa Jenderal Kao Liang juga dipecat. Kemudian, Pangeran Yung Hwa menceri-takan pengalamannya ketika dia hampir tewas di Ho-nan.
"Kenapa kau tidak adukan semua itu kepada kaisar?"
Pangeran Yung Ceng menegur adiknya.
"Gubernur Ho-nan yang memberontak itu harus ditindak!"
Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang.
"Itulah sebabnya mengapa aku terpaksa menyusulmu ke sini. Kaisar sama sekali tidak mau mendengar laporanku, bahkan marah-marah dan kalau bukan aku yang melapor, agaknya tentu sudah dihukum. Betapa banyaknya pem-besar jujur yang sudah mencoba untuk menyadarkan beliau, akan tetapi malah menerima hukuman. Pengaruh para thaikam (pembesar kebiri) amat besar dan kaisar amat lemah, seperti bersikap masa bodoh."
"Hemmm, sampai sekian jauhnya keadaan buruk itu?"
Tanya Pangeran Yung Ceng.
"Malah lebih lagi,"
Kata Yung Hwa.
"Semenjak kakak kita, Puteri Milana tidak ada, dan engkau sendiri pergi memperdalam ilmu silat di sini, tidak ada lagi orang kuat di dalam istana. Aku sendiri biarpun telah terbebas dari cengkeraman Gubernur Ho-nan dan berkali-kali tertolong oleh orang-orang gagah, akan tetapi tidak pernah terlepas dari pengawasan mereka. Bahkan aku percaya bahwa ketika aku menyamar dan datang ke sini ada orang-orang yang diam-diam membayangiku."
"Ahhh! Sampai begitu hebat?"
Pangeran Yung Ceng mengepal tinjunya.
"Yung Hwa, wajah kita mirip sekali seperti saudara kembar, maka biarlah aku memakai pakaianmu dan keluar lebih dulu dari kuil ini. Engkau boleh menyusul besok dan dikawal oleh murid-murid Siauw-lim-pai. Hendak kulihat sendiri sampai di mana keberanian pengkhianat-pengkhianat itu!"
Dengan marah sekali Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengenakan pakaian adiknya, setelah berpamit kepada para guru di kuil itu dan memesan agar besok adiknya dikawal ke kota raja, dia lalu meninggalkan kuil. Memang wajah Pa-ngeran Yung Ceng mirip sekali dengan wajah Pangeran Yung Hwa.
Tentu saja, kalau mereka berdua berbuka pakaian, nampak perbedaan yang menyolok karena kalau tubuh Pangeran Yung Hwa halus lemah lembut, sebaliknya tubuh Pangeran Yung Ceng yang sejak kecil gemar berolah raga itu kokoh dan kekar. Akan tetapi, kalau tubuh mereka disembunyikan dalam pakaian dari luar, nampak serupa, bertubuh sedang dan berwajah tampan. Hari telah senja ketika Pangeran Yung Ceng memasuki kota Thian-cin di sebelah selatan kota raja. Karena menyamar sebagai adiknya, pangeran ini tidak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat dan dia sengaja melakukan perjalanan lambat untuk melihat-lihat keadaan. Banyak sudah dia mendengar
(Lanjut ke Jilid 29)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
percakapan di antara rakyat tentang penyelewengan para petugas, dan dia pun mendengar berita-berita tentang sikap memberontak dari para pembesar di Ho-nan yang tentu saja mencontoh sikap gubernur mereka.
Dia juga tahu bahwa diam-diam dia selalu dibayangi orang seperti yang diceritakan oleh adiknya. Ketika malam hari itu Pangeran Yung Ceng memasuki sebuah restoran di kota Thian-cin, dia tahu bahwa ada lima orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa mereka adalah jagoan-jagoan, diam-diam membayanginya dan mereka pun masuk pula di restoran itu, mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja pangeran itu. Restoran itu tidak begitu ramai dan banyak kursi yang kosong. Ketika pangeran itu memesan masakan kepada seorang pelayan, tiba-tiba seorang di antara lima orang yang duduk di meja yang berdekatan itu bangkit berdiri dan menghampiri Pangeran Yung Ceng, menjura dan berkata,
"Harap maafkan! Kalau tidak salah lihat, bukankah Kongcu datang dari kota raja?"
Yung Ceng memandang dengan sikap tak acuh, lalu menggelengkan kepalanya dan menjawab,
"Bukan, saya memang hendak pergi ke kota raja, akan tetapi saya bukan dari kota raja, saya orang dari selatan."
Orang itu berkata "maaf"
Sambil tersenyum, lalu kembali duduk di tempat teman-temannya. Percakapan pendek itu disaksikan oleh pelayan yang kini sudah pergi untuk mempersiapkan pesanan Pangeran Yung Ceng.
"Ha-ha, memang mirip, akan tetapi dia tentu bukan pangeran pengecut itu,"
Tiba-tiba terdengar seorang di antara lima orang itu berkata, kata-katanya cukup keras sehingga terdengar oleh Pangeran Yung Ceng.
"Kalau dia Pangeran Yung Hwa, sudah kuhancurkan kepalanya sejak tadi,"
Terdengar pula mereka bicara.
"Ha-ha, yang ini hanyalah seorang sastrawan lemah, tidak ada harganya untuk dipandang. Dan kita telah membayanginya sehari penuh. Sialan!"
"Karena gara-gara dia kita membuang tenaga sia-sia, sebaiknya kalau kita hajar kutu buku ini."
"Akan tetapi, bagaimana kalau dia benar Pangeran Yung Hwa....?"
Terdengar suara lain, berbisik dan kalau yang duduk di situ adalah Pangeran Yung Hwa, tentu tidak akan dapat mendengar bisikan itu. Akan tetapi, Pangeran Yung Ceng telah mempelajari ilmu yang tinggi. sehingga panca inderanya lebih peka dan tajam daripada orang biasa. Dia mampu mendengarkan bisikan ini.
"Lebih baik lagi kalau begitu! Dan kita tidak akan salah, karena bukankah dia menyangkal siapa dirinya? Pelayan itu menjadi saksi."
Kini maklumlah Pangeran Yung Ceng mengapa seorang di antara mereka tadi menegurnya. Kalau dia sudah menyangkal sebagai pangeran, maka andaikata mereka itu membunuhnya, mereka dapat menggunakan alasan bahwa mereka tidak mengenalnya sebagai pangeran, seperti disaksikan pula oleh pelayan tadi. Pelayan tadi datang membawa masakan, langsung menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.
"Heeeii, itu pesanan kami!"
Teriak seorang di antara mereka sambil bangkit berdiri dan menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.
"Tidak, Sicu, ini adalah pesanan Kongcu ini!"
Bantah si pelayan.
"Setan! Kami juga memesan masakan seperti ini sejak tadi. Hayo berikan kepada kami. Apakah kau hendak menjilat kutu buku ini?"
Pangeran Yung Ceng maklum bahwa orang yang berkumis tebal, seorang di antara mereka itu yang kini bersikap kasar, memang sengaja hendak mencari keributan, maka dia berkata tenang,
"Sobat, harap jangan membikin ribut!"
Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Si Kumis Tebal itu. Dengan mata melotot dia menghampiri Pangeran Yung Ceng, menghardik,
"Kalau aku membikin ribut, engkau mau apa, cacing buku yang busuk?"
Akan tetapi, biarpun Yung Ceng juga seorang kutu buku atau cacing buku, yaitu sebutan mengejek bagi seorang sastrawan, dia bukanlah seorang yang lemah. Sama sekali bukan! Dia adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang tekun dan berbakat, bahkan telah diberi pelajaran istimewa oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai sehingga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Tidak apa-apa,"
Jawab Pangeran Yung Ceng tenang.
"Hanya kalau kau tidak segera pergi dari sini, aku akan mencabuti kumismu!"
Sepasang mata itu terbelalak makin lebar, mulutnya ternganga seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Benarkah si kutu buku ini berani berkata demikian kepadanya?
"Keparat....!"
Teriaknya dan kepalan tangannya yang sebesar kepala anak kecil, yang keras dan terlatih karena sering kali dilatih memukuli batu sampai remuk, kini menyambar ke arah kepala Pangeran Yung Ceng. Akan tetapi, dengan gerakan ringan dan tenang, pangeran itu miringkan kepalanya, membiarkan tangan yang memukul itu lewat, kemudian secepat kilat jari-jari tangannya menyambar dan membetot.
"Auuuwwwhhhhh....!"
Si Kumis Tebal itu menjerit-jerit dan kedua tangannya menutupi bawah hidungnya yang berdarah karena kumisnya telah dicabut dengan paksa oleh Pangeran Yung Ceng.
"Manusia bosan hidup!"
Terdengar teriakan dan empat orang lainnya sudah berloncatan dari kursi mereka dan menerjang Pangeran Yung Ceng. Pelayan itu lari ketakutan dan kini pangeran itu bangkit berdiri wajahnya merah karena marah. Empat orang itu menerjang dengan kepalan tangan mereka, dan dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa mereka memang bukan orang-orang sembarangan, melainkan jagoan-jagoan yang pandai ilmu silat. Akan tetapi, yang mereka keroyok adalah murid Siauw-lim-pai yang sudah matang ilmu silatnya, maka terdengar suara mereka mengaduh dan meja kursi berserakan ketika pangeran itu membagi-bagi pukulan dan tendangan yang membuat mereka terlempar ke sana-sini.
Mengertilah lima orang itu sekarang bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah itu, yang mereka sangka adalah Pangeran Yung Hwa, ternyata adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak lemah, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Kemarahan, mereka memuncak dan mereka berlima termasuk Si Kumis Tebal yang kini berubah menjadi Si Kumis Buntung karena masih ada sisa kumisnya menempel di bawah hidung, segera mencabut senjata mereka berupa golok besar dan dengan teriakan-teriakan ganas mereka kini menerjang pemuda itu. Yung Ceng meraba pinggangnya dan nampaklah cahaya berkelebat ketika pangeran ini sudah mencabut sebatang pedang pendek yang tadi disembunyikan di bawah baju sastrawannya.
Pedang pendeknya itu digerakkan dengan hebat, nampak gulungan sinar menyambar-nyambar dan terjadilah pertempuran yang seru di dalam rumah makan itu. Para tamu sudah sejak tadi lari meninggalkan restoran itu, demikian pun para pelayan ada yang lari, ada pula yang sembunyi dengan tubuh menggigil. Dengan marah sekali Pangeran Yung Ceng menggerakkan pedangnya dan berturut-turut terdengar-lah pekik mengerikan disusul robohnya lima orang pengeroyok itu, ada yang lehernya terpancung hampir putus, ada yang perutnya robek dan dadanya berlubang. Pangeran Yung Ceng menyimpan pedangnya dan melihat bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas, yaitu yang tadi sengaja dia lukai pahanya, dia cepat mencengkeram pundak orang itu, ditariknya naik dan dia membentak,
"Kalian telah membayangi aku dan sekarang sengaja menyerang, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian!"
Orang itu meringis kesakitan, mukanya pucat dan dia ketakutan, menggelenggelengkan kepala.
"Hayo mengaku! Kau tahu siapa aku? Aku adalah Pangeran Mahkota Yung Ceng!"
Orang itu terbelalak.
"Am.... ampunkan hamba.... hamba hanya utusan.... dari.... dari....!"
Pada saat itu nampak sinar berkelebat menyambar. Pangeran Yung Ceng terkejut sekali karena sinar itu datangnya cepat bukan main, menyambar dari luar rumah makan. Karena tidak mungkin dapat mengelak lagi, pangeran itu cepat mengangkat tubuh orang yang dicengkeram pundaknya itu, dipakai sebagai perisai.
"Crottt....auggghhhhh....!"
Orang itu menjadi lemas dan melihat betapa tawanannya itu tewas, Pangeran Yung Ceng melemparkannya ke atas lantai dan dia cepat meloncat ke pintu. Akan tetapi dia hanya melihat bayangan penyerangnya itu berkelebat cepat dan sudah lenyap di antara banyak orang di jalan raya. Dia kembali lagi dan melihat bahwa punggung orang tadi tertusuk jarum berwarna kehijauan yang menancap sampai hanya kelihatan sedikit saja ujungnya, tahulah dia bahwa penyerangnya adalah seorang yang mahir menggunakan senjata rahasia jarum beracun. Dia merasa menyesal karena tawanan ini belum sempat mengaku siapa yang menyuruh mereka. Ketika pembesar setempat mendengar bahwa pangeran mahkota diserang orang di kotanya, dia tergopoh-gopoh datang diiringkan oleh pasukan pengawal.
Kiranya ketika Pangeran Yung Ceng tadi mengakui dirinya untuk memaksa tawanannya mengaku, ada beberapa orang yang mendengar dan cepat mereka itu melaporkan kepada para penjaga keamanan sehingga pembesar kepala daerah sendiri kini datang ke restoran itu. Pangeran Yung Ceng menerima penghormatan mereka yang berlutut dan dengan singkat dia lalu memerintahkan untuk menyelidiki lima orang itu, ke-mudian dia minta seekor kuda dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat ke kota raja, menolak ketika hendak dikawal. Pangeran mahkota ini marah sekali karena kini dia mendapatkan bukti sendiri betapa memang terjadi kekacauan sehingga ada penjahat-penjahat yang menghendaki nyawa adiknya, yaitu Pangeran Yung Hwa. Dia dapat menduga bahwa lima orang itu tentulah orang-orang yang diutus oleh Gubernur Ho-nan yang memperlihatkan sikap memberontak itu.
Setelah tiba di kota raja, pangeran mahkota yang sedang marah itu langsung saja menghadap ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan pikun. Dengan tegas dia menceritakan keadaan yang amat kacau karena tingkah polah para pembesar yang menyeleweng itu kepada kaisair. Kaisar Kang Hsi adalah seorang kaisar yang tadinya amat terkenal karena pandai mengatur pemerintahan, berwibawa dan juga bijaksana. Kerajaan Mancu berkembang dengan baiknya, dan harus diakui bahwa dialah yang berjasa dalam menaikkan nama Dinasti Kerajaan Cengtiauw. Akan tetapi, setelah dia menjadi tua dan pikun, dia menjadi tidak acuh dan malas. Kini, mendengar teguran pu-teranya yang telah dipilihnya untuk kelak menggantikan dia menjadi kaisar, Kaisar Kang Hsi mendengarkan dengan sabar dan dengan sikap tidak acuh, kemudian dia menggerakkan tangan dan berkata,
"Puteraku yang baik, ayahmu ini sudah tua dan sudah malas untuk mengurus segala macam hal yang memusingkan belaka. Di dalam tahun-tahun terakhir dari usiaku ini, aku ingin hidup tenteram dan enak, ingin menikmati hidup ini, dan yang kupentingkan adalah keuntungan bagi negeriku. Mengapa aku tidak boleh menikmati kehidupan di dalam usia setua ini? Engkau saja yang harus rajin dan mematangkan dirimu agar kelak kalau kau menggantikan aku, engkau sudah benar-benar cakap."
"Maafkan hamba, bukan maksud hamba untuk membantah. Akan tetapi lupakah Paduka akan Sri Baginda Raja, Liang Hwi Ong?"
Kaisar yang tua itu memandang puteranya sambil tersenyum.
"Hemmm, maksudmu?"
Dengan tegas Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengingatkan kaisar akan pelajaran dalam kitab Beng Cu. Beng Cu adalah seorang murid Nabi Khong Cu yang amat bijaksana dan banyaklah contoh-contoh diambil dari Beng Cu ini sebagai pewaris pelajaran Nabi Khong Cu. Yang dimaksudkan oleh Pangeran Yung Ceng dengan Raja Liang Hwi Ong adalah pelajaran Beng Cu yang menuturkan tentang pertemuan antara Raja Hwi Ong dari Negeri Liang dengan Beng Cu. Raja Hwi Ong bertanya kepada Beng Cu, ajaran apakah yang dapat membawa keuntungan bagi negerinya di waktu itu. Mendengar pertanyaan ini, Beng Cu lalu menjawab.
"Mengapa Baginda menanyakan keuntungan? Yang saya bawa hanyalah cinta kasih dan kebenaran. Apabila Paduka bertanya tentang keuntungan bagi negeri Paduka, para pembesar tentu akan bertanya tentang keuntungan bagi keluarga mereka, dan rakyat pun akan bertanya tentang keuntungan bagi diri sendiri. Apabila yang berkedudukan tinggi maupun yang rendah hanya memperebutkan atau menginginkan keuntungan saja, negara tentu akan berada dalam bahaya. Raja yang memiliki berlaksa kereta perang kalau sampai terbunuh tentu oleh pangeran yang memiliki ribuan kereta perang, dan pangeran itu kalau sampai terbunuh tentu oleh keluarga yang hanya memiliki seratus kereta perang. Apabila yang memiliki selaksa kereta perang mengambil yang seribu, tentu yang memiliki seribu mengambil yang seratus dan selanjutnya. Jumlah itu bukan kecil, akan tetapi apabila manusia membelakangi kebenaran dan mengutamakan keuntungan, pasti dia tidak puas sebelum memperoleh seluruhnya. Sebaliknya, belum pernah ada seorang manusia yang mempunyai cinta kasih menyia-nyiakan orang tuanya, dan belum pernah ada seorang manusia yang menjunjung kebenaran membelakangi rakyatnya. Seharusnya Paduka bertanya tentang cinta kasih dan kebenaran. Untuk apa bertanya tentang keuntungan?"
Demikianlah pelajaran dalam kitab Beng Cu yang kini dikemukakan oleh Pangeran Yung Ceng untuk menyadarkan ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi. Kaisar Kang Hsi sudah amat tua dan sakit-sakitan tubuhnya, juga batinnya tidak sehat lagi semenjak dia berduka atas kematian saudara-saudaranya yang memberontak.
"Sudahlah, Yung Ceng, jangan ganggu aku dengan segala isi kitab lama itu. Aku sudah lelah dan aku tidak ingin memusingkan keadaan di luar kamarku."
"Akan tetapi Paduka masih seorang kaisar, Paduka masih mempunyai tanggung jawab yang amat besar terhadap rakyat jelata. Apakah Paduka masih belum tahu akan segala peristiwa di luaran? Apakah Paduka tidak tahu betapa hampir saja Adik Yung Hwa terbunuh karena Gubernur Ho-nan hendak memberontak? Betapa pembesar-pembesar jahat sekarang ini sudah bersekongkol dengan penjahat-penjahat dari dunia hitam dan menanti saatnya saja untuk memberontak? Betapa para pembesar setia dan bijaksana Paduka pecat karena bujukan para pembesar palsu yang menjilat-jilat? Betapa kedudukan Paduka menjadi lemah karena kekuasaan secara diam-diam diambil alih oleh mereka yang berpengaruh di dalam istana?"
"Sudahlah Yung Ceng. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang tua seperti aku yang sudah bosan dengan semua itu?"
"Paduka dapat turun tangan, Paduka dapat bertindak sekarang juga, dan pertama-tama Paduka seyogyanya dapat membebaskan diri dari pengaruh para thaikam...."
Pada saat itu, thaikam kepala yang bernama Kong Tek Jin dan yang hadir pula di situ, tiba-tiba berkata,
"Pangeran, harap jangan terlalu mendesak kepada Sri Baginda. Beliau sedang kurang sehat dan lelah...."
"Diam kau! Jangan mencampuri!"
Yung Ceng membentak.
"Yung Ceng, tidak boleh kau bersikap begitu terhadap dia yang amat berjasa...."
Kaisar mencela.
"Justeru dia inilah seorang di antara mereka yang jahat dan palsu, akan tetapi dia pandai menjilat!"
"Pangeran, tidak boleh Paduka berkata demikian...."
"Yung Ceng, Kong Tek Jin adalah seorang yang amat setia!"
Akan tetapi Yung Ceng sudah meloncat dan menyambar pundak thaikam itu, mengangkatnya dan membantingnya ke atas lantai.
"Brukkk....!"
Thaikam yang gendut itu mengeluh dan ketika para pengawal dalam bergerak maju, Yung Ceng bertolak pinggang dan membentak,
"Kalian mundur! Berani melawan Pangeran Mahkota?"
Tentu saja para pengawal itu meragu dan mereka memandang ke arah Sri Baginda. Kalau Sri Baginda memberi aba-aba atau isyarat, tentu tanpa ragu-ragu lagi mereka akan menerjang pangeran itu. Akan tetapi Sri Baginda diam saja, hanya memandang kepada puteranya dan kembali Yung Ceng membentak,
"Kalian keluar dari sini, jaga di luar pintu kamar!"
Kembali para pengawal memandang kepada kaisar. Sekali ini kaisar mengangguk dan menggerakkan tangan memberi isyarat agar mereka keluar. Setelah para pengawal keluar, Yung Ceng berkata kepada ayahnya,
"Sekarang hamba akan membuktikan siapa adanya manusia macam ini!"
Dia sudah mendekati Thaikam Kong Tek Jin, menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah tengkuk thaikam itu, lalu menghardik.,
"Hayo kau mengaku sebenarnya! Bukankah seluruh keluargamu telah kau datangkan ke sini dan kau angkat menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi? Hayo jawab, kalau membohong akan kuhancurkan kepalamu sekarang juga?"
Sambil berkata demikian, Yung Ceng menggunakan tangannya mencengkeram jalan darah di tengkuk yang menimbulkan rasa nyeri yang amat hebat. Thaikam itu ketakutan karena dia tahu bahwa pangeran ini memang berilmu tinggi. Dia harus menyelamatkan diri dulu, baru kelak mencari jalan untuk melenyapkan pangeran ini. Sekarang, dia benar-benar tidak berdaya dan kalau dia membohong, tentu dia benar-benar akan dibunuh.
"Be.... benar, Pangeran. Akan tetapi apakah salahnya itu? Tentu saja hamba ingin menolong keluarga hamba...."
"Dan untuk itu kau memecat pejabat-pejabat lama? Dan engkau sudah menumpuk harta kekayaan berlimpah-limpah? Engkau sudah makan sogokan dari pembesar-pembesar bawahan agar engkau suka membujuk Kaisar demi keuntungan mereka, bukan?"
"Ini.... ini...."
"Hayo katakan yang benar! Bukankah Gubernur Ho-nan telah mengirimkan seribu tail emas dan dua buah kereta bertabur emas kepadamu baru-baru ini?"
Yung Ceng mendengar ini semua dari Pangeran Yung Hwa.
"Dan dengan pemecatan Jenderal Kao Liang, engkau memper-oleh hadiah sepeti permata dari Panglima Ciu yang diangkat menjadi panglima penggantinya? Dan engkau juga telah menyuruh orang-orang untuk membasmi keluarga Yauw, ketika pembesar Yauw bermaksud untuk membongkar kepalsuanmu di depan Kaisar? Hayo jawab, tidak benarkah semua itu?"
"Ti.... tidak.... tidak...."
Yung Ceng mencabut pedang pendeknya.
"Crottt....!"
Ujung pedang itu menusuk paha sampai beberapa senti dalamnya, dan dia mencengkeram otot di punggung sehingga thaikam itu memekik-mekik seperti seekor babi disembelih saking nyerinya.
"Hayo kau menjawab, benarkah semua itu?"
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya.... ya.... benar....!"
Thaikam Kong Tek Jin menangis, akan tetapi diam-diam dia bersumpah untuk membalas pangeran ini.
"Sekarang, katakan, bukankah engkau tahu pula bahwa Gubernur Ho-nan akan memberontak? Hayo jawab!"
Tubuh thaikam itu menggigil.
"Hamba.. hamba tidak ikut-ikut.."
"Tapi engkau tahu?"
"Ya... ya.."
Kaisar kini mengerutkan alisnya.
"Kong Tek Jin! Engkau tahu ada gubernur hendak memberon-tak dan kau tidak melaporkan kepada kami?"
"Hamba... hamba tidak berani... hamba..."
"Yung Ceng, kiranya benar pelaporanmu. Keadaan sudah demikian buruk, sama sekali tidak kusangka. Suruh bawa dia pergi!"
Yung Ceng memanggil pengawal.
"Seret dia ke dalam tahanan!"
Kini kaisar memandang puteranya dengan kagum. Lalu dia mencabut pedangnya, pedang kerajaan yang merupakan lambang kekuasaan, menyerahkannya kepada pangeran itu.
"Terimalah ini dan kau wakili aku melakukan pembersihan di dalam dan di luar istana. Aku sudah lelah, aku ingin beristirahat dan jangan ganggu aku dengan tugasmu itu. Harus kau selesaikan seluruhnya dan kalau sudah selesai saja melaporkan kepadaku."
Pangeran Yung Ceng menerima pedang pusaka itu sambil berlutut, menghaturkan terima kasih dan meninggalkan kamar ayahnya. Mulailah pangeran mahkota ini melakukan pembersihan. Tindakannya yang pertama adalah menangkapi para thaikam yang menjadi kaki tangan Thaikam Kong Tek Jin, menjatuhkan hukuman mati! Dan semua pembesar yang diangkat oleh para thaikam ini, para keluarga thaikam dan sobat-sobat mereka, yang memperoleh kedudukan dengan jalan menyogok, dipecat dari kedudukannya dan ada pula yang dijatuhi hukuman. Kota raja geger!
Para pembesar palsu yang kerjanya hanya korupsi dan menumpuk kekayaan pribadi tanpa menghiraukan tugas-tugasnya menggigil. Mereka tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan dalam keadaan seperti itu, sogok-menyogok makin menghebat karena mereka yang merasa terancam, kembali mencari perlindungan dengan cara sogok sana sogok sini. Kalau dunianya para koruptor itu geger, adalah para petugas yang setia dan jujur merasa bersyukur sekali. Mereka seolah-olah melihat cahaya terang, melihat matahari muncul kembali di tengah-tengah kegelapanan yang ditimbulkan oleh awan tebal yang sudah bertahun-tahun mengancam kerajaan. Setelah pembersihan di dalam istana dilakukan, Yung Ceng melanjutkan tindakannya dengan melakukan pembersihan-pembersihan di luar istana atas nama kaisar.
Sepasang Pedang Iblis Eps 51 Kisah Sepasang Rajawali Eps 45 Kisah Sepasang Rajawali Eps 35