Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 42


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 42



Dan gurunya itu, Maya Dewi, adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan wanita India yang paling sempurna! Akan tetapi kini, berhadapan dengan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui melihat kecantikan yang membuat dia terpesona! Kecantikan dara ini begitu wajar, bahkan pakaiannya yang sederhana, rambutnya yang awut-awutan, matanya yang terbelalak lebar penuh kekhawatiran, bibirnya yang agak pucat dan agak gemetar karena cemas, tidak mengurangi kecantikannya! Diam-diam Ouw Yan Hui merasa penasaran sekali! Setiap kali bertemu dengan wanita cantik di manapun juga, dia selalu merasa besar hati karena ya-kin akan kecantikannya sendiri yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kini, duduk berhadapan dengan dara yang ditolongnya ini di antara api unggun, dia tiba-tiba merasa bimbang!

   "Siapa engkau? Siapa namamu?"

   Tiba-tiba Ouw Yan Hui bertanya dan suaranya juga halus merdu, seperti suara seorang dara muda, suara halus yang "basah".

   "Namaku Syanti Dewi."

   "Eh?? Engkau bangsa apakah?"

   "Aku datang dari Bhutan"

   "Hemmm, engkau tentu bukan gadis kampungan biasa. Hayo ceritakan, siapa sebenarnya engkau yang mengaku dari Bhutan ini?"

   Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Tidak senang dia melihat sikap orang yang angkuh dan kaku ini, juga sinar mata yang tiba-tiba menjadi dingin sekali dan menyeramkan itu. Syanti Dewi menegakkan kepalanya dan dengan sikap yang agung dia lalu berkata,

   "Aku adalah Puteri Bhutan!"

   Kini Ouw Yan Hui yang mengerutkan alisnya. Kiranya seorang puteri istana! Dia makin tertarik. Sudah terlalu lama dia menyembunyikan diri tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang Puteri Bhutan yang sudah banyak menggegerkan dunia kang-ouw ini.

   "Kau puteri Raja Bhutan, kenapa meninggalkan istanamu dan jauh-jauh berkeliaran sampai di sini?"

   Syanti Dewi tidak mau menjawab, hanya memandang ke dalam api unggun. Sejenak Ouw Yan Hui menatap wajah itu, lalu dia tersenyum seorang diri. Dara ini benar-benar seorang puteri yang agung dan angkuh, pikirnya. Cocok benar dengan dia! Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan Syanti Dewi mengangkat muka me-mandang, mengikuti gerakannya.

   "Kau bisa silat?"

   Kembali Ouw Yan Hui bertanya. Syanti Dewi menggeleng kepala. Ouw Yan Hui tersenyum mengejek, karena dia tadi melihat pula betapa puteri ini melawan dan sempat pula merobohkan beberapa orang perajurit sebelum dia ditangkap oleh Panglima Bhutan itu.

   "Aku hendak membunuhmu, hendak kulihat apakah kau demikian pengecut untuk menerima kematian tanpa membela diri!"

   Setelah berkata demikian, Ouw Yan Hui meloncat dan menendang ke arah tubuh Syanti Dewi untuk membuat puteri itu terlempar ke dalam api unggun.

   "Ihhh!"

   Syanti Dewi meloncat dan mengelak, gerakannya cepat juga karena selama ini dia telah memperoleh banyak kemajuan. Semenjak dia dahulu diberi petunjuk oleh Ceng Ceng, kemudian oleh pendekar sakti Gak Bun Beng (baca Kisah Sepasang Rajawali), kemudian baru-baru ini oleh Hwee Li, sang puteri ini telah memperoleh kemajuan pesat dan kalau hanya beberapa orang laki-laki biasa saja jangan harap dapat menandinginya.

   "Bagus!"

   Ouw Yan Hui berseru dan mulailah wanita ini melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan maut! Tentu saja Syanti Dewi marah sekali. Tadinya memang dia tidak tahu apa maksudnya wanita cantik ini membawanya lari keluar dari benteng, dan dia tidak tahu apakah wanita ini kawan atau lawan.

   Siapa kira, kini wanita itu hendak membunuhnya, setelah bersusah-payah membawanya ke luar dari benteng. Gila! Jangan-jangan memang gila wanita cantik ini, pikir Syanti Dewi dan bulu tengkuknya meremang ngeri. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dibunuh begitu saja tanpa melawan dan sambil mengelak atau menangkis, dia pun menyerang pula dengan dahsyat untuk merobohkan wanita ini agar dia dapat melarikan diri. Diam-diam Ouw Yan Hui terkejut juga menyaksikan beberapa gerakan pukulan yang menunjukkan bahwa dara ini pernah mempelajari ilmu silat tinggi! Hanya latihannya belum matang dan memang jiwa puteri ini adalah lemah lembut sesuai dengan kedudukannya, maka serangan balasannya juga tidak mengandung kedahsyatan.

   Mula-mula, Ouw Yan Hui yang hanya ingin menguji sampai di mana kepandaian Syanti Dewi,
(Lanjut ke Jilid 41)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 41
bergerak dengan lambat untuk mengimbangi lawan. Setelah dia puas menguji dan memperoleh kenyataan bahwa puteri ini tidak mengecewakan dan mulailah dia mempercepat gerakannya dan mulailah Syanti Dewi menjadi bingung. Tiba-tiba saja wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu selagi dia bingung, wanita itu menowel pinggulnya dari belakangnya. Dia membalik dan cepat menyerang, akan tetapi kembali wanita itu lenyap untuk muncul secara aneh di belakangnya, di kanan atau kirinya. Syanti Dewi berpusing-pusing dan akhirnya dia roboh karena pening dan duduk terengah-engah di dekat api unggun.

   "Bunuhlah kalau mau bunuh, aku tidak takut mati dan aku tidak dapat melawanmu!"

   Katanya dengan kepala ditegakkan penuh keagungan. Ouw Yan Hui makin kagum. Puteri ini selain memiliki ilmu silat yang boleh juga, ternyata tidak cengeng seperti puteri-puteri lain, tidak menangis, bahkan tabah sekali menghadapi ancaman kematian seperti sikap seorang pendekar wanita tulen! Dia pun duduk kembali seperti tadi.

   "Tadi kulihat Siluman Kecil berusaha menyelamatkanmu dari benteng. Apakah hubunganmu dengan dia?"

   Syanti Dewi terkejut dan tanpa dapat dicegahnya lagi, kedua pipinya yang tadi sudah merah karena marah dan lelah itu menjadi makin merah. Teringat dia akan cinta kasih Suma Kian Bu kepadanya. Sukar baginya untuk menjawab, maka dia hanya menggeleng kepala, lalu akhirnya dapat juga berkata,

   "Hanya teman baik, aku pun baru tahu ketika dia muncul, setelah lima tahun lebih tidak saling jumpa."

   Syanti Dewi lalu menatap wajah yang cantik itu, lalu dia pun bertanya dengan suara mengandung penasaran.

   "Dan engkau siapakah? Aku tidak minta pertolonganmu akan tetapi engkau meloloskan aku keluar dari benteng, hanya untuk kau hina. Apa maksudnya ini semua?"

   Ouw Yan Hui tersenyum.

   "Aku paling benci melihat pria, apalagi yang mengganggu wanita. Ketika kau diganggu Panglima Bhutan tadi, aku segera ingin menolongmu. Dan kau cantik sekali. Aku tidak bermaksud menghinamu."

   "Dan tadi engkau menyerangku, mempermainkan aku...."

   "Hemmm, kau tidak tahu, Syanti Dewi. Aku hanya ingin menguji sampai di mana kepandaianmu."

   "Siapakah engkau sebenarnya?"

   Syanti Dewi tertarik sekali. Wanita ini aneh, cantik jelita, dan berilmu tinggi. Seketika lenyap rasa penasaran dan marahnya karena dipermainkan tadi. Biarpun dia sendiri bukan terhitung seorang wanita kang-ouw, akan tetapi selama beberapa tahun ini kehidupan Syanti Dewi penuh dengan pengalaman, dan sudah banyak sekali dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang lihai-lihai dan yang aneh-aneh, maka dia dapat memaklumi keanehan wanita ini.

   "Orang menyebutku Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan), akan tetapi namaku adalah Ouw Yan Hui. Aku juga bukan orang sembarangan, Syanti Dewi. Kalau engkau seorang Puteri Bhutan, maka aku adalah seorang ratu, ratu dari pulauku sendiri!"

   Ouw Yan Hui tersenyum dan kalau dia tersenyum, memang dia cantik sekali, sedikit pun tidak membayangkan bahwa dia adalah seorang wanita iblis yang amat lihai. Syanti Dewi menjadi heran.

   "Dan apa yang hendak kau lakukan kepadaku?"

   "Apa yang kau harapkan?"

   "Agar engkau membebaskan aku, membiarkan aku pergi setelah kau berhasil meloloskan aku dari benteng itu. Dan aku, Syanti Dewi, selamanya tidak akan melupakan budi kebaikan Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui."

   "Dan ke mana kau hendak pergi?"

   "Ke mana saja kakiku membawaku. Aku...., aku mencari dua orang."

   "Siapa mereka?"

   "Yang pertama adalah Teng Siang In, gadis sahabatku yang membawaku pergi dari Bhutan, dan ke dua adalah.... Ang Tek Hoat, dia.... dia tunanganku!"

   "Hemmm!"

   Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya. Dia merasa sayang bahwa seorang dara secantik Puteri Bhutan ini mau saja menyerahkan hatinya kepada seorang pria! Pria di dunia ini tidak ada yang baik, tidak ada yang bisa dipercaya!

   "Dengan kepandaian silatmu yang biasa saja ini, dan dengan adanya demikian banyaknya orang pandai di dunia, apalagi mereka yang berada di dalam benteng tentu akan mengejar dan mencarimu, mana mungkin kau melakukan perjalanan seorang diri saja? Baru satu dua hari saja engkau tentu akan terjatuh ke tangan orang jahat lagi.

   "Aku tidak takut."

   "Akan tetapi aku tidak mau melepasmu ke dalam bahaya."

   "Lalu apa yang akan kau lakukan terhadap diriku, Bu-eng-kwi?"

   Ouw Yan Hui memandang penuh perhatian dan Syanti Dewi menambah kayu dalam api unggun sehingga apinya berkobar lagi. Dia tidak takut kepada wanita cantik ini karena dia dapat menduga bahwa wanita ini hanya lihai dan aneh, akan tetapi agaknya tidak jahat dan pasti tidak akan mengganggunya.

   "Apa yang akan kulakukan? Hemmm, tergantung keadaanmu, Syanti Dewi. Aku akan mengambil keputusan kalau aku sudah mendengar riwayatmu mengapa engkau seorang puteri dari Bhutan sampai bisa berada di sini dan menjadi tawanan di dalam benteng itu."

   Syanti Dewi menarik napas panjang.

   Wanita ini aneh, lihai sekali, dan betapapun juga wanita ini telah menolongnya melepaskan dia dari dalam benteng yang amat kokoh kuat itu. Maka sebaiknya dia mengaku terus terang agar jangan membikin marah hati wanita aneh ini. Dengan singkat Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak dia lolos dari istana ayahnya di Bhutan, dibantu oleh Teng Siang In, untuk menyusul dan mencari tunangannya, yaitu Ang Tek Hoat. Betapa dia jatuh ke tangan Hwai-kongcu Tang Hun ketua dari Liongsiam-pang dan akan dipaksa menjadi isterinya, kemudian betapa dia diperebutkan dan akhirnya dia terjatuh ke tangan Gitananda, kakek pembantu dari Koksu Nepal itu dan akhirnya terjatuh ke tangan Pangeran Nepal dan ditawan di dalam benteng itu.

   Betapa kemudian Hwee Li, yang tadinya juga menjadi tawanan di benteng itu dan dijadikan tu-nangan oleh Pangeran Nepal secara paksa, mencoba untuk menolongnya, dibantu oleh Suma Kian Bu dan dua orang lain yang menyamar sebagai dua orang kakek iblis.

   "Suma Kian Bu? Siapa dia?"

   Ouw Yan bertanya. Kini Syanti Dewi yang memandang heran.

   "Bukankah kau tadi sudah menyebutnya, dengan sebutan aneh, kalau tidak salah, Siluman Kecil?"

   "Ah, jadi Siluman Kecil itu bernama Suma Kian Bu? Suma....? Seperti pernah kudengar nama keturunan ini...."

   "Tentu saja. Suma Kian Bu adalah putera dari Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman dari...."

   "Pulau Es....?"

   Sepasang mata yang masih indah itu terbelalak dan wajah Ouw Yan Hui agak berubah saking kagetnya mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera dari Pulau Es! Kini Syanti Dewi mengangguk bangga.

   "Benar, dia adalah putera dari pendekar sakti Suma Han, majikan dari Pulau Es. Sungguh kasihan sekali Suma-taihiap...."

   Tiba-tiba Syanti Dewi menghentikan kata-katanya, terkejut bahwa begitu menyebut nama ini, tanpa disadarinya dia teringat lagi akan hubungannya dengan pemuda itu dan begitu saja menyatakan perasaan hatinya yang selalu merasa iba kepada putera Pulau Es itu. Apalagi begitu dia teringat betapa hebat perubahan terjadi atas diri pemuda itu. Semua rambutnya telah menjadi putih! Dia merasa bahwa dialah yang berdosa, dialah yang menjadi biang keladi dan bertanggung jawab atas kedukaan yang diderita pemuda itu sampai rambutnya putih semua! Ucapan dan sikap Syanti Dewi ini membangkitkan keinginan tahu dari Ouw Yan Hui.

   "Apa maksudmu? Mengapa kasihan?"

   Dia mendesak, maklum bahwa ada sesuatu dirahasiakan oleh Puteri Bhutan itu. Ada dua macam kebanggaan yang menyelinap di lubuk hati hampir setiap orang wanita normal. Pertama adalah pernyataan bahwa dia muda dan cantik, dan ke dua adalah bahwa dia dicinta oleh pria! Apalagi kalau pria yang mencintanya itu adalah seorang pria pilihan, bukan pria sembarangan! Makin banyak pria tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya, akan makin bangga dan besarlah hatinya. Betapapun pandainya seorang wanita, betapapun majunya, betapapun dia hendak menutupinya dan merahasiakannya, namun di lubuk hatinya tentu akan terasa suatu kebanggaan besar kalau dia mengetahui bahwa dirinya dicinta oleh pria, dikagumi oleh pria.

   Andaikata dia tidak membalas cinta kasih pria itu, dan dengan sikapnya menyatakan ketidaksenangan hatinya, namun di sebelah dalam hatinya ada perasaan bangga itu, bahkan penonjolan sikap penolakannya itu adalah usaha yang tidak disadarinya untuk lebih meninggikan harga dirinya lagi, bahwa dia masih terlalu "tinggi"

   Untuk pria yang tidak dibalas cintanya itu. Syanti Dewi, biarpun dia seorang puteri, tidak terlepas dari sifat yang menjadi naluri kewanitaan ini. Kebanggaanlah yang mendorongnya untuk mengaku kepada Ouw Yan Hui. Melihat betapa wanita cantik yang lihai itu terkejut mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pulau Es, kebanggaan hati karena kenyataannya bahwa pemuda luar biasa itu jatuh cinta kepadanya membuat dia lupa dan seperti dengan sendirinya dia menjawab,

   "Aku kasihan kepadanya karena dia mencintaku tanpa aku dapat membalasnya...."

   Kembali Syanti Dewi terkejut dan menghentikan kata-katanya yang sudah terlambat. Dia merasa menyesal juga telah membuka rahasia itu, akan tetapi di samping penyesalannya ini, dia mengerling untuk melihat sikap wanita itu sewaktu mendengar pengakuannya ini. Dan memang wanita cantik itu tertarik sekali, pandang matanya penuh kagum dan heran, juga alisnya bergerak-gerak, bibirnya komat-kamit tanpa bersuara. Akhirnya, Ouw Yan Hui berkata,

   "Dan kau menolak cinta putera Pulau Es itu karena engkau telah jatuh cinta kepada.... siapa pula nama tunanganmu tadi?"

   "Ang Tek Hoat. Benar, aku telah saling jatuh cinta dengan Ang Tek Hoat!"

   Jawab Syanti Dewi dengan tegas dan memang suara ini adalah suara hatinya.

   "Akan tetapi Ang Tek Hoat itu meninggalkanmu dan kau, perempuan bodoh ini, mengejar dan mencari-carinya dari Bhutan sampai ke sini?"

   Pandang mata Ouw Yan Hui berkilat karena dia merasa marah dan penasaran sekali! Dan sebelum Syanti Dewi menjawab, dia melanjutkan dengan suara yang kedengaran marah,

   "Dan kau percaya saja kepada laki-laki itu? Laki-laki yang sudah meninggalkanmu begitu saja? Kau, seorang puteri yang begini muda, begini cantik jelita, yang akan disembah oleh laksaan Laki-laki, kau begini merendahkan diri, begini menjual murah, merantau dan bersengsara hanya oleh seorang laki-laki yang tak dapat dipercaya mulutnya?"

   Syanti Dewi terkejut melihat kema-rahan ini. Dia menggeleng kepala.

   "Tidak, dia..... dia amat gagah dan baik.... dia terpaksa meninggalkan Bhutan, karena ayah marah kepadanya...."

   "Huh! Laki-laki di dunia ini, di manapun sama saja. Mahluk yang palsu, tak dapat dipercaya sama sekali. Apa kau kira Ang Tek Hoat itu pun Laki-laki yang dapat dipercaya? Semua Laki-laki di dunia ini adalah jahat dan palsu!"

   "Tetapi.... tapi dia baik sekali...."

   "Itulah kalau wanita sudah jatuh cinta! Dan kau akan kecelik kelak, akan kecewa dan merana seperti aku...."

   Syanti Dewi terkejut sekali, melihat kepada wanita yang tiba-tiba kelihatan berduka itu.

   "Apakah yang telah terjadi denganmu.... Enci Ouw Yan Hui?"

   Pertanyaan dari Puteri Bhutan ini terdengar begitu wajar, begitu halus karena memang merupakan suara dari hatinya yang mengandung penuh rasa iba sehingga Ouw Yan Hui merasa tersentuh perasaannya. Dia menunduk, lalu berkatalah dia dengan suara gemetar.

   "Aku mencinta dia, suamiku itu.... apalagi aku dalam keadaan mengandung untuk yang pertama kalinya.... akan tetapi.... malam itu.... aku melihat suamiku bermain cinta, berjina di dalam kamar seorang wanita tetangga...."

   "Ahhh....!"

   Syanti Dewi mengeluh penuh rasa iba dan penasaran.

   "Kubunuh dia! Kubunuh mereka! Aku menjadi buronan! Hemmm, anak yang kukandung terlahir mati, kebetulan malah. Huh, sekarang, jangan harap ada pria akan mampu mempermainkan aku, kalau perlu akulah yang mempermainkan mereka! Syanti Dewi, jangan kau menjual dirimu demikian murah. Kau harus yakin dulu akan hati orang bernama Ang Tek Hoat itu! Uji dia sampai habis-habisan, dan engkau dapat melakukan hal itu jika engkau memiliki kepandaian."

   "Akan tetapi dia lihai sekali...."

   "Apa artinya kelihaiannya kalau engkau dapat bergerak seperti aku? Pria mana yang akan mampu menangkapku? Aku bebas, aku tidak dapat ditundukkan siapapun, dan aku dapat memperlakukan pria sesuka hatiku! Syanti Dewi, kalau kulepaskan engkau sekarang, akhirnya engkau hanya akan menjadi permainan pria. Lupakah engkau betapa sudah berkali-kali engkau terjatuh ke tangan pria-pria jahat? Kalau engkau berkepandaian, tak mungkin mereka itu dapat memandang rendah kepadamu."

   "Maksudmu....?"

   "Kau ikutlah bersamaku. Aku akan mengajarkan ginkang yang akan membuat engkau dapat bergerak seperti aku, sehingga tidak akan ada seorang pun pria di dunia ini yang dapat berbuat sesuka hatinya kepadamu, tanpa kau kehendaki. Engkau akan menjadi bagaikan seekor burung di angkasa yang dapat dipandang, dikagumi, akan tetapi tidak dapat ditangkap tangan!"

   Syanti Dewi termenung. Dia masih belum tahu di mana adanya Tek Hoat. Dan kalau dia mengingat bahwa orang-orang di dalam lembah itu, Pangeran Nepal, Mohinta, dan semua anak buah Pangeran Nepal yang amat banyak dan amat lihai, tentu akan mengejar dan mencarinya, dia menjadi ngeri juga. Apalagi janji yang diberikan Ouw Yan Hui ini amat menarik hatinya. Kalau dia pandai "terbang"

   Seperti itu, tentu selain tidak akan mudah ditangkap orang jahat, juga akan lebih mudah baginya untuk mencari Tek Hoat. Untuk sementara ini lebih banyak selamatnya daripada ruginya kalau dia ikut bersama dengan wanita cantik itu, Maka dia mengangguk.

   "Baiklah, aku mau ikut bersamamu, Enci."

   "Sialan! Pangeran Nepal bedebah! Kalau dapat dia oleh tanganku, hemmm, akah kupatahkan batang hidungnya yang panjang bengkok itu!"

   Ang-siocia atau Kang Swi Hwa mengomel panjang pendek sambil melempar-lemparkan penyamarannya sebagai Hek-tiauw Lo-mo

   "Sudah payah-payah aku setengah mati menyamar seperti setan dan hampir berhasil, eh, tahu-tahu si hidung kakatua itu membikin gagal saja."

   Tiba-tiba dia menoleh kepada Hwee Li seperti orang teringat akan sesuatu dan cepat berkata,

   "Ah, maafkan aku, Adik Hwee Li, bukan maksudku menyinggung engkau."

   Hwee Li tadinya tersenyum mendengar omelan Swi Hwa, akan tetapi mendengar ucapan ini dia mengerutkan alisnya dan bertanya,

   "Mengapa kau minta maaf kepadaku, Enci Hwa?"

   "Aku telah memaki dan mengancam mematahkan batang hidung.... eh, tunanganmu."

   Sepasang mata Hwee Li memancarkan sinar marah.

   "Hemmm, sekali lagi kau menyebut dia tunanganku, hidungmu sendiri yang akan kupatahkan!"

   Katanya. Ang-siocia tertawa. Dia kecewa dan penasaran oleh kegagalan itu, akan tetapi tadi dia melihat Hwee Li masih dapat tersenyum-senyum, maka dia sengaja menggoda dara itu yang kini juga menjadi marah, maka legalah hatinya.

   "Tidak ada yang harus dipersalahkan,"

   Terdengar Hek-sin Touw-ong berkata sambil menggeleng kepala. Dia pun sudah melemparkan semua penyamarannya.

   "Benteng itu kokoh kuat bukan main. Masih untung kita dapat menyelamatkan diri keluar dari sana. Hemmm, hebat sekali benteng itu dan penjagaannya amat kuat. Kalau saja Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan orang seperti Koksu Nepal itu berada di lembah, mana mungkin kita dapat menyelamatkan diri?"

   "Ucapan Touw-ong memang tepat. Benteng itu tidak mungkin dapat ditembus tanpa bantuan pasukan yang kuat. Dan tanpa penyerbuan oleh pasukan, tidak mungkin menyelamatkan keluarga Jenderal Kao dan Puteri Syanti Dewi."

   Dia diam sejenak, teringat akan puteri itu, hatinya menjadi gelisah sekali.

   "Sekarang juga aku akan pergi ke kota raja untuk minta bantuan dan melaporkan keadaan di dalam benteng yang siap untuk memberontak itu."

   "Aku ikut!"

   Hwee Li sudah memotong cepat.

   "Sayang kami tidak dapat membantu,"

   Kata Hek-sin Touw-ong.

   "Kami mempunyai urusan kami sendiri. Taihiap, kami ingin mohon pertolonganmu sedikit, yaitu, dapatkah Taihiap memberi tahu kepada kami, di mana adanya orang muda yang bernama Siauw Hong itu?" "Siauw Hong?"

   Kian Bu memandang kepada guru dan murid itu, dan melihat betapa Ang-siocia menundukkan mukanya. Dia tidak tahu akan peristiwa yang terjadi antara Siauw Hong dan Ang-siocia.

   "Maksudmu pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu? Tentu saja dia berada di Bukit Nelayan di lereng Pegungungan Tai-hang-san itu."

   Kian Bu tidak mau banyak ber-cerita tentang Siauw Hong, pemuda yang ternyata adalah keturunan dari keluarga Suling Emas yang hebat itu.

   Karena hal itu amat dirahasiakan tadinya oleh kedua fihak yang bersangkutan, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Seng-jin, maka dia pun tidak mau membuka rahasia itu dan hanya mengatakan bahwa Siauw Hong yang telah diketahuinya bernama Kam Hong, keturunan langsung dari keluarga Suling Emas, kini berada bersama gurunya, Sai-cu Kai-ong di Tai-hang-san.

   "Terima kasih, Suma-taihiap. Kami akan pergi ke Tai-hang-san,"

   Kata Hek-sin Touw-ong dengan singkat pula. Mereka lalu mengucapkan selamat berpisah. Hwee Li memegang tangan Swi Hwa.

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Enci Hwa, jangan kau lupa padaku, ya? Aku kagum sekali akan ilmu penyamaranmu dan kalau ada waktu kelak aku ingin belajar menyamar seperti engkau."

   "Mana mungkin aku dapat melupakan orang seperti engkau, Adik Hwee Li? Engkau mempunyai seorang ayah yang jelek sekali...."

   "Hanya ayah paksaan!"

   "Dan engkau mempunyai tunangan yang lebih jahat lagi...."

   "Juga tunangan paksaan!"

   "Akan tetapi engkau sendiri amat cantik jelita, lihai dan manis, adikku. Sebetulnya, kalau tidak bersama Suhu.... aku, aku akan suka sekali melakukan perjalanan bersamamu!"

   Sambil berkata demikian, mata dara ini mengerling kepada Suma Kian Bu, karena sesungguhnya yang membuat hatinya merasa berat adalah berpisah dari Siluman Kecil yang amat dikaguminya itu. Maka berpisahlah empat orang itu. Ang-siocia yang merasa berat berpisahan dengan Hwee Li dan terutama Kian Bu, terpaksa ikut bersama suhunya untuk mencari Siauw Hong! Sedangkan Hwee Li pergi bersama Suma Kian Bu menuju ke kota raja karena Kian Bu melihat bahaya besar mengancam keamanan kerajaan dengan adanya bencana di lembah Huang-ho itu.

   Sementara itu, kebakaran di dalam benteng itu akhirnya dapat dipadamkan juga. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu marah bukan main karena mendengar berita bahwa Puteri Syanti Dewi hilang diculik orang dan terutama sekali bahwa Hwee Li, dara yang dicintanya itu pun telah melarikan diri. Mendengar betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi secara aneh telah berkhianat, membantu Siluman Kecil dan bahkan telah menculik Puteri Syanti Dewi, dan juga membakar benteng, kemarahannya memuncak akan tetapi karena kedua orang kakek iblis yang dianggapnya berkhianat itu telah tidak ada lagi, maka kemarahannya dia timpakan kepada Jenderal Kao Liang!

   "Ternyata engkau seorang yang tidak dapat memegang janji!"

   Bentaknya ketika jenderal tua ini dihadapkan kepadanya.

   "Engkau telah menipu kami! Engkau tidak sungguh-sungguh dalam pembuatan benteng ini sehingga mudah saja dikacau orang! Padahal yang mengacau hanya empat orang, yaitu Hek-tiauw Lo-mo si keparat dan anaknya, Hek-hwa Lo-kwi si pengkhianat, dan Siluman Kecil. Benteng macam apa yang kau buat ini?"

   Jenderal Kao Liang memandang kepada Pangeran Nepal itu dengan sikap tenang.

   "Pangeran, sama sekali bukan salahku! Coba ada datang pasukan besar menyerbu, sudah pasti aku akan dapat menahan mereka dengan bentengku dan dengan pasukan penjaga benteng. Jangan harap pasukan musuh akan dapat dengan mudah membobolkan bentengku ini! Akan tetapi, yang menimbulkan kekacauan adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang sakti dari dunia kang-ouw. Benteng ini bukan dibuat untuk menghadapi orang kang-ouw, melainkan untuk menghadapi pasukan musuh. Tentu saja pasukan yang terdiri dari orang-orang biasa tidak mampu menghadapi ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Adalah kesalahan Pangeran sendiri yang memusuhi orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Mengapa menyalahkan aku?"

   Melihat sikap Jenderal Kao Liang itu, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dengan geram dia lalu memberi aba-aba dan beberapa orang pengawal pribadinya cepat maju dan menangkap Jenderal Kao! Jenderal itu hanya memandang dengan tersenyum pahit, sikapnya tenang sekali dan memandang rendah. Sudah lama dia kehilangan perhatiannya terhadap keselamatan dirinya sendiri sehingga baginya tidak ada lagi rasa takut. Melihat sikap ini, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dia lalu memerin-tahkan para pengawalnya untuk menyeret jenderal itu ke pintu gerbang dan mencambukinya sebagai hukuman atas kelalaiannya sehingga benteng itu sampai dapat diserbu dan dimasuki oleh musuh!

   Dengan penerangan obor dan lampu karena malam mulai tiba, Jenderal Kao, yang dibelenggu kedua tangannya itu diseret menuju ke lapangan terbuka di dekat pintu gerbang. Para pengawal Nepal itu telah mengikatnya pada balok kayu yang berbentuk salib, mengikat kaki dan tangannya pada balok itu. Seorang pengawal lain telah membuka baju atasnya dan pengawal algojo sudah mempersiapkan cambuknya, menanti tanda dari Pangeran Nepal itu yang juga mengikuti sampai di tempat itu. Tanda itu diberikan dengan mengangkat tangan kiri dan menganggukkan kepala ke arah algojo itu. Dan menyeringai puas algojo itu menghampiri Jenderal Kao. Tidak ada kesenangan yang lebih memuaskan bagi algojo ini daripada kalau dia melaksanakan tugasnya menghajar atau membunuh seorang hukuman.

   Di dalam pelaksanaan hukuman ini, tanpa mempedulikan siapa korbannya, dia menemukan kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa yang mendatangkan perasaan puas dan lega, penyaluran dari rasa dendamnya terhadap manusia lain! Setelah menerima tanda dari sang pangeran, algojo ini tidak segera mau menjatuhkan pukulan cambuk pertama, melainkan mengayun-ayunkan cambuknya di udara, di atas kepalanya dan matanya berkilat memilih bagian punggung yang paling lunak untuk dijadikan sasaran lecutan pertama. Biasanya dia paling senang menikmati lecutan pertama ini, melihat betapa korbannya menegang dan menjerit, melihat darah pertama nampak memanjang di kulit punggung korbannya. Seperti seorang yang ingin menikmati makanan lezat, sebelum memakannya dia hendak memuaskan hatinya dulu dengan memandanginya, menghemat gerakannya agar kenikmatan itu dapat dikunyahnya lebih lama lagi.

   "Wirrr.... siuuuuuttttt....!"

   Akhirnya cambuk itu yang berputar makin cepat, kini turun meluncur dan menyambar ke arah punggung Jenderal Kao yang sudah siap untuk menghadapi segala macam siksaan, bahkan kematian sekalipun, dengan tenang dan dia tidak akan menyenangkan hati para musuh dan penyiksanya dengan keluhan sedikit pun juga. Akan tetapi, algojo yang sudah meringis seperti seekor harimau yang sedang menubruk mangsanya itu, tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget dan heran. Cambuknya tertahan di udara! Dia mengerahkan tenaga, akan tetapi tetap saja cambuknya tidak dapat meluncur terus, dan ketika dia menengok, bukan main kagetnya melihat betapa ujung cambuknya itu telah ditangkap oleh tangan seorang kakek botak yang bukan lain ada-lah Ban Hwa Sengjin atau juga yang dikenalnya sebagai Pendeta Lakshapadma, koksu dari Nepal!

   "Mundur kau!"

   Koksu itu berkata dan sang algojo tentu saja tidak berani membantah. Walaupun dia akan melakukan tugas menurut perintah Pangeran Bharuhendra, akan tetapi kakek botak ini adalah guru negara, dan juga merupakan guru dari sang pangeran itu. Dia membungkuk dengan hormat, menggulung cambuknya dan setelah melepaskan kerling kecewa ke arah Jenderal Kao, dia lalu mengundurkan diri.

   Pangeran Liong Bian Cu memandang kepada Ban Hwa Sengjin yang datang bersama dengan Hek-hwa Lo-kwi, Hektiauw Lo-mo, kakek seperti gorilla, nenek bermuka tengkorak, hwesio gundul katai, dan kakek yang tingginya luar biasa itu. Pangeran ini belum pernah bertemu dengan empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama mereka. Dalam keadaan lain tentu dia akan merasa girang dan menyambut mereka dengan keramahan, akan tetapi pada saat itu, Pangeran Liong Bian Cu sedang marah bukan main. Dia marah melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia tidak mempedulikan lagi betapa perintahnya menghajar Jenderal Kao tadi dihentikan oleh koksu, dan kini dia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya secara bergantian kepada dua orang kakek raksasa itu.

   "Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua orang pengkhianat besar! Kalian masih berani muncul di hadapanku? Koksu, kenapa dua orang manusia pengkhianat ini tidak ditangkap dan diberi hukuman yang berat?"

   Pangeran itu menoleh kepada gurunya dengan pandang mata penuh penasaran. Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi saling pandang dengan penuh keheranan, dan koksu itu lalu berkata,

   "Harap Paduka tenang, Pangeran. Mengapa Paduka marah-marah, hendak menghukum cambuk kepada Jenderal Kao, dan mengapa pula Paduka marah kepada mereka berdua ini? Dan kami melihat tadi di dalam benteng terjadi kebakaran-kebakaran. Apakah yang telah terjadi?"

   "Musuh telah memasuki benteng dengan bantuan dua orang pengkhianat ini! Dan selain melakukan pembakaran-pembakaran, juga musuh yang dibantu dua orang pengkhianat ini telah melarikan Puteri Syanti Dewi!"

   Pangeran Liong Bian Cu berkata marah.

   "Ini dia orangnya!"

   Teriak seorang pengawal yang tadi kena dirobohkan oleh Hek-tiauw Lo-mo palsu sehingga sampai sekarang pun dia masih terpincang-pincang, kini jari tangannya menuding ke arah kakek raksasa dari Pulau Neraka itu dengan penuh kebencian.

   "Mereka inilah yang tadi membantu melarikan Puteri Syanti Dewi!"

   Tiba-tiba terdengar Mohinta berseru.

   "Dengan bantuan para pengawal saya telah dapat menyingkirkan Sang Puteri dan dua orang pengkhianat ini bersama pemuda berambut putih itu dan.... puteri Hek-tiauw Lo-mo mengamuk, dikeroyok oleh para pengawal. Akan tetapi tiba-tiba saya diserang secara menggelap, tentu oleh seorang di antara mereka ini dan Sang Puteri dilarikan!"

   "Koksu, cepat tangkap mereka!"

   Bentak Liong Bian Cu dengan marah. Dia sudah kehilangan kekasihnya, dan kehilangan Puteri Bhutan yang amat penting baginya, ditambah lagi kenyataan betapa dua orang pembantunya ini melakukan pengkhianatan! Akan tetapi, Ban Hwa Sengjin bersikap tenang saja.

   "Pangeran, tidak baik membiarkan diri terseret oleh kemarahan. Marilah kita bicarakan hal ini dengan tenang, karena di sini terjadi keanehan dan kesalahfahaman besar. Kerugian kita yang paling besar adalah kalau musuh sampai berhasil membuat kita semua saling mencurigai dan terjadi perpecahan sehingga melemahkan kedudukan kita sendiri."

   Koksu lalu melepaskan belenggu kaki tangan Jenderal Kao dan mengajaknya untuk melakukan perundingan pula di sebelah dalam. Liong Bian Cu terheran-heran mendengar ucapan gurunya itu, akan tetapi dia dapat melihat kebenaran kata-kata gurunya bahwa perpecahan antara dia dan para pembantunya sungguh amat merugikan dan melemahkan kedudukannya sendiri. Maka dengan menahan kemarahan dan penasaran, dia pun lalu tidak bicara apa-apa lagi melainkan melangkah menuju ke dalam gedungnya, langsung menuju ke ruangan tamu yang luas, diikuti oleh Ban Hwa Sengjin, empat orang dari Im-kan Ngo-ok, Jenderal Kao Liang, Mohinta, Hwa-i-kongcu dan beberapa orang pembantu utama lagi.

   Mereka semua duduk mengelilingi meja besar dan karena Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya sedang berada dalam keadaan tegang, maka Ban Hwa Sengjin juga tidak memakai banyak peraturan dan dia tidak memperkenalkan empat orang rekannya itu, melainkan segera minta penjelasan dari Liong Bian Cu tentang peristiwa yang terjadi di dalam benteng. Liong Bian Cu lalu menceritakan semua yang telah disaksikannya sendiri dan yang dilengkapi oleh pelaporan semua pembantunya, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ban Hwa Sengjin dan dengan penuh keheranan oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Dua orang kakek raksasa lni marah bukan main dan mereka dapat menduga siapa adanya kedua orang yang telah menyamar sebagai mereka itu! Maka, setelah Pangeran Liong Bian Cu selesai mencerita-kan semua peristiwa yang terjadi dalam benteng, Hek-tiauw Lo-mo berseru,

   "Si keparat itu! Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong dan muridnya!"

   "Benar, guru dan murid itulah yang telah menyamar sebagai kita dan membikin kacau di dalam benteng!"

   Hek-hwa Lo-kwi juga berseru marah. Liong Bian Cu terkejut sekali dan memandang kepada mereka bergantian dengan alis berkerut, karena masih belum hilang rasa penasaran dan marahnya kepada dua orang tokoh yang tadinya dianggap sebagai pengkhianat-pengkhianat ini.

   "Apa maksud kalian?"

   "Pangeran, mereka berdua ini sama sekali tidak pernah kembali ke dalam benteng, karena mereka telah dirobohkan musuh dan baru kembali ke sini bersama kami tadi. Yang memasuki benteng bukanlah mereka, melainkan dua orang yang telah menyamar sebagai mereka. Dan menurut cerita Paduka, dua orang palsu yang pandai itu bukan hanya dapat mengelabuhi para penjaga dan para pengawal, bahkan mereka telah berani menghadap Paduka dalam penyamaran mereka dan Paduka sendiri sampai tidak dapat melihat bahwa mereka adalah dua orang musuh yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Dan mengapa Paduka tadi hendak menjatuhkan hukuman kepada Jenderal Kao?"

   Liong Bian Cu masih terheran-heram mendengar bahwa dua orang kakek yang menghadapnya sambil membawa tawanan Siluman Kecil dan membawa kembali tunangannya itu bukanlah Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, menjadi bingung dan ketika dia ditanya tentang hukuman terhadap Jenderal Kao, dia menjawab,

   "Koksu, kuanggap bahwa dialah yang bertanggung jawab sehingga benteng ini dengan mudah dapat diserbu musuh yang mengacau dan mendatangkan kebakaran di banyak rumah dalam benteng ini. Akan tetapi dia tidak mau mengakui kesalahannya bahkan mengatakan bahwa benteng ini dibangun untuk menghadapi serbuan pasukan besar, bukan penyelundupan beberapa orang sakti, dan dia menyalahkan kami yang dianggap memusuhi orang-orang kang-ouw."

   Koksu Nepal itu mengangguk-angguk dan dia memandang kepada Jenderal Kao yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil menundukkan muka saja. Kemudian kakek botak ini berkata,

   "Pangeran, alasan Jenderal Kao memang benar. Untuk menghadapi penerobosan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, haruslah dipergunakan kesaktian untuk melawannya pula. Dan dengan girang saya beritahukan kepada Pangeran bahwa sekarang sahabat-sahabat saya ini telah datang untuk membantu kita. Andaikata tadi sewaktu musuh menyelundup ke sini ada seorang di antara kami berlima, sudah pasti mereka itu tidak akan dapat bergerak seenaknya. Pangeran, dan juga para rekan dan sahabat, perkenalkanlah empat orang sahabat saya ini."

   Dengan bangga Ban Hwa Sengjin memperkenalkan empat orang itu dan para tokoh yang baru pertama kali ini bertemu dengan mereka, memandang dengan hati terkejut dan penuh kekaguman, juga kengerian karena sesungguhnya mereka sudah pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok! Melihat mereka, para tokoh ini seolah-olah melihat iblis-iblis yang keluar dari dalam neraka, iblis-iblis yang tadinya hanya mereka dengar seperti dalam cerita dongeng saja!

   "Pangeran, seperti saya katakan tadi, kalau musuh mempergunakan pasukan, maka saya percaya bahwa Jenderal Kao dengan bentengnya akan mampu menghalau setiap pasukan musuh yang bagaimana besar pun juga. Akan tetapi karena musuh yang datang adalah orang-orang yang menggunakan ilmu kepandaian, maka biarlah saya minta bantuan Su-ok dan Ngo-ok untuk melakukan pengejaran."

   Pangeran Liong Bian Cu hanya mengangguk.

   "Su-te dan Ngo-te, harap kalian suka sedikit melelahkan diri dan melakukan pengejaran terhadap para pengacau yang telah membikin pusing kepala Sang Pangeran. Kalian sudah mendengar bahwa dua orang yang menyamar itu adalah Hek-sin Touw-ong dan muridnya, dan tentu kalian tahu di mana adanya mereka itu."

   Kakek cebol dan kakek tinggi itu bangkit berdiri, dan mengangguk kepada Liong Bian Cu. Kalau kakek tinggi itu hanya cemberut saja, adalah kakek gundul pendek yang tertawa dan berkata kepada Ban Hwa Sengjin,

   "Ahhh, Koksu, kalau saja tidak mengingat betapa Pangeran telah dibikin pusing oleh penjahat-penjahat itu, tentu kami malas untuk pergi karena kami baru saja datang be-lum disambut dengan makanan lezat dan arak wangi!"

   Pangeran Liong Bian Cu merasa tidak enak sekali dan dia sudah hendak menyuruh pengawal memerintahkan pelayan mengeluarkan hidangan, akan tetapi Ban Hwa Sengjin sambil tertawa menjawab,

   "Su-te, jangan khawatir. Mengejar orang-orang macam raja maling itu saja bersama muridnya, apa sih sukarnya bagi kalian? Sebelum masakan-masakan itu dingin, tentu kalian sudah datang kembali membawa mereka sebagai tawanan dan masih belum terlambat bagi kalian untuk makan minum sepuasnya nanti!"

   Si pendek dan si tinggi itu lalu menggerakkan tubuh dan dalam sekelebatan saja mereka telah lenyap dari tempat itu! Semua orang merasa kagum sekali, bahkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi diam-diam harus mengakui bahwa kini mereka mendapatkan saingan yang amat berat! Pangeran Liong Bian Cu menjadi girang dan terhibur melihat datangnya orang-orang pandai yang membantunya, maka dia cepat memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan untuk menyambut Twa-ok Su Lo Ti dan Ji-ok Kui-bin Nio-nio.

   "Harap Pangeran mengijinkan saya untuk kembali ke kamar saya,"

   Kata Jenderal Kao Liang. Pangeran Liong Bian Cu mengangguk dengan sikap tidak begitu mempedulikan. Jenderal tua ini lalu meninggalkan ruangan di mana pangeran itu mulai berpesta dengan gembira bersama para pembantunya. Dengan hati berat Jenderal Kao Liang kembali ke dalam kamarnya lalu dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringannya. Kedua matanya yang sejak tadi terbelalak memandang ke langit-langit dalam kamarnya tak pernah berkedip itu, perlahan-lahan menjadi basah! Setelah berkumpul, akhirnya dua butir air mata bergerak keluar dari sepasang matanya dan jatuh menimpa bantal. Hanya dua butir air mata akan tetapi hal ini sudah merupakan suatu hal yang amat luar biasa.

   Jenderal Kao adalah seorang laki-laki sejati yang pantang menitikkan air mata, lebih baik mengucurkan peluh dan darah daripada air mata bagi jenderal yang gagah perkasa ini. Akan tetapi, pada saat ini hatinya tersiksa bukan main rasanya. Pangeran Nepal itu mendatangkan kelima Im-kan Ngo-ok! Negara berada dalam bahaya. Dan dia malah menjadi kaki tangan pangeran pemberontak itu! Ah, kalau saja keluarganya dapat lolos dari tempat itu, berada dalam keadaan selamat, tentu dia tidak akan merasa begini tersiksa. Dia tentu akan dapat melaksanakan segala rencananya yang telah dipersiapkannya semenjak dia membangun benteng itu secara terpaksa sekali untuk menyelamatkan nyawa semua keluarganya! Akan tetapi, agaknya tidak ada jalan bagi keluarganya untuk dapat lolos dari tempat itu. Bahkan Si-luman Kecil, atau Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti itu sendiri tidak berdaya!

   "Suhu, aku tidak mau!"

   Seperti seorang anak kecil yang ngambek, Kang Swi Hwa berhenti di tepi jalan dan duduk di atas batu besar, sepasang alisnya bertemu, mulutnya cemberut dan matanya hampir menangis. Hek-sin Touw-ong memandang kepada muridnya itu dan tersenyum melihat murid yang dicintanya itu mogok berjalan! Biarpun mukanya berwarna hitam, namun muka raja maling ini membayangkan kelembutan apalagi kalau dia berhadapan dengan muridnya itu.

   "Hayaaa...."

   Dia menarik napas panjang dan duduk pula di atas batu tak jauh dari tempat duduk muridnya.

   "Swi Hwa, berkali-kali kau mengatakan tidak mau. Eh, muridku yang baik, tahukah engkau apa yang paling berharga bagi seorang wanita?"

   "Aku tahu, aku tahu, berapa kali Suhu menanyakan itu? Yang paling berharga adalah kehormatan."

   "Nah, engkau sudah tahu! Dan engkau tahu apa yang telah terjadi antara engkau dan pemuda bernama Siauw Hong itu."

   "Akan tetapi, tidak terjadi apa-apa antara dia dengan aku, hanya dia melihat bahwa aku seorang wanita."

   "Hemmm, muridku yang baik. Tidak ada wanita yang membiarkan tubuhnya dilihat, apalagi disentuh oleh seorang pria yang bukan suaminya. Dan Siauw Hong itu telah menyentuhmu. Hal itu dilakukannya tanpa sengaja, bahkan dia bermaksud menyelamatkanmu dari bahaya maut. Mengingat bahwa dia murid Sai-cu Kai-ong, maka kuanggap bahwa hal itu memang telah diatur oleh Thian, dan agaknya Tuhan sendiri yang menjodohkan engkau dengan dia, muridku. Bagi se-orang wanita terhormat, tubuhnya hanya boleh disentuh oleh suaminya, dan kalau ada pria lain yang melakukan hal itu, pria itu harus dibunuhnya!"

   "Kalau begitu, aku akan membunuhnya!"

   Kang Swi Hwa masih mengambek.

   "Dan engkau menjadi seorang yang paling tidak kenal budi, bahkan seorang yang membalas kebaikan dengan kejahatan? Dia telah menolongmu, menyelamatkannu, dan kau hendak membunuhnya?"

   "Habis, bagaimana? Hanya ada dua pilihan kata Suhu, kawin dengan dia atau membunuhnya. Aku tidak mau kawin dengan dia, maka aku akan membunuhnya."

   "Swi Hwa, muridku yang baik. Mengapa engkau berkeras tidak mau menikah dengan dia? Apakah dia seorang pemuda yang berwajah buruk? Ataukah tubuhnya cacat?"

   "Tidak, tidak sama sekali, Suhu. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah...."

   "Nah, kalau begitu, mengapa menolak?"

   "Dia hanya seorang pengemis, Suhu! Aku tidak mungkin menikah dengan seorang pengemis!"

   Kakek itu tertawa bergelak. Melihat ini, Ang-siocia yang tadinya menundukkan mukanya, kini dia mengangkat muka memandang gurunya, mukanya merah dan sinar matanya marah.

   "Suhu, hatiku sedang mengkal, Suhu malah tertawa-tawa, mentertawakan aku! Apanya yang lucu?"

   "Ha-ha-ha, Swi Hwa, memang aku mentertawakan engkau. Engkau sungguh tidak mau bercermin!"

   "Bercermin?"

   Tangan kiri Swi Hwa dengan jari-jarinya yang lentik halus itu otomatis meraba-raba rambut kepala dan mukanya. Setiap hari aku bercermin. Apakah mukaku coreng-moreng, rambutku awut-awutan?"

   Kakek itu makin geli tertawa, lalu dia memandang kepada muridnya yang dianggapnya seperti anaknya sendiri itu.

   "Swi Hwa, maksudku bukan bercermin untuk melihat wajahmu, melainkan bercermin untuk mengenal dirimu sendiri. Engkau memandang rendah pengemis, agaknya lupa siapakah kita ini! Engkau hanyalah murid seorang maling, apakah maling lebih tinggi derajatnya daripada seorang pengemis?"

   Makin merah wajah Swi Hwa, merah karena penasaran dan marah.

   "Akan tetapi kita adalah maling bukan sembarang maling! Suhu adalah Raja Maling! Mana bisa disamakan dengan pengemis....?"

   "Hemmm, Swi Hwa, apakah kau lupa bahwa pemuda itu juga bukan sembarang pengemis, melainkan murid dari Raja Pengemis Sai-cu Kai-ong? Dan tahukah engkau? Sai-cu Kai-ong itu adalah seorang.... sahabat baikku, setidaknya adalah seorang bekas sahabat baikku. Maka, muridnya tentu saja bukan merupakan seorang yang asing sama sekali."

   Swi Hwa masih cemberut. Dia membayangkan wajah Siauw Hong. Seorang pemuda yang tampan memang. Akan tetapi, ketika dia mengenal Siauw Hong dan Siluman Kecil, bahkan lalu melakukan perjalanan bersama, dia menganggap Siaw Hong sebagai seorang pemuda remaja yang belum dewasa benar, bahkan sering kali dia menyuruh Siauw Hong, sebagai pelayan! Betapa jauhnya kalau dibandingkan dengan Siluman Kecil, pendekar yang sakti itu, pria yang sudah matang dan amat mengagumkan hatinya.

   "Tidak, Suhu, aku tidak mau! Aku tidak suka!"

   "Agaknya engkau masih kukuh bahwa engkau jatuh cinta kepada pendekar Siluman Kecil. Benarkah itu, Swi Hwa?"

   Wajah itu menjadi makin merah dan dia menunduk.

   "Swi Hwa, aku adalah seorang tua yang sudah dapat melihat tanda-tanda orang yang jatuh cinta. Dan dalam pertemuan kita dengan Siluman Kecil, aku tidak yakin bahwa engkau mencinta dia. Engkau hanya kagum saja kepadanya dan memang sudah sepatutnya orang kagum kepada pendekar yang berkepandaian tinggi itu. Akan tetapi, dia bukan jodohmu, muridku."

   "Tapi, Suhu, bagaimana mungkin perjodohan dilangsungkan tanpa cinta kasih?"

   "Mengapa tidak mungkin? Perjodohan antara dua orang muda yang tidak saling mencinta bisa saja kelak mendatangkan rasa cinta kasih yang amat mendalam, dan sebaliknya mungkin saja apa yang dinamakan cinta kasih antara dua orang muda sebelum perjodohan akan menjadi luntur setelah mereka memasuki pintu gerbang pernikahan. Pula, aku tidak melihat tanda-tanda, baik dari sikapnya, kata-katanya maupun pandang matanya bahwa pendekar itu mencintamu, Swi Hwa. Dan bagaimana mungkin engkau mengikat perjodohan dengan seorang pendekar besar dan aneh seperti dia? Apalagi mengingat dia adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ah, tempat dia berpijak lebih tinggi daripada bintang di langit, muridku, agaknya lebih sukar berjodoh dengan dia daripada dengan seorang pangeran sekalipun untukmu."

   Mendengar ini, Swi Hwa makin menunduk dan wajahnya membayangkan kecewa dan duka sekali. Kini teringatlah dia akan hubungan antara Siluman Kecil dengan Hwee Li. Ah, gurunya benar! Agaknya Siluman Kecil terlalu tinggi untuknya. Dia, hanya seorang maling, pantasnya hanya berjodoh dengan seorang pengemis! Tak terasa lagi air matanya bercucuran didorong oleh rasa iba diri. Kakek itu menyentuh tangan murid-nya.

   "Hidup memang penuh dengan kepahitan-kepahitan yang ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan, muridku. Kekecewaan timbul karena harapan-harapan kita tidak tercapai, dan harapan-harapan selalu memang lebih indah daripada kenyataan...."

   Tiba-tiba ucapan Hek-sin Touw-ong itu terhenti karena guru dan murid ini mendengar suara aneh, suara ketawa yang terdengar amat kerasnya seolah-olah orang yang tertawa itu berada di dekat mereka, padahal mereka tidak melihat seorang pun manusia di situ. Pagi hari itu sunyi saja. Mereka berdua telah melarikan diri semalam, dan baru pagi ini mereka berhenti di tempat itu setelah semalam suntuk mereka tidak melihat ada orang mengejar mereka.

   "Ha-ha-ha, sekali ini aku mengaku kalah kepadamu, Ngo-te! Matamu memang awas sekali dan benar saja, mereka berada di sini!"

   Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa meloncat berdiri dan siap menghadapi bahaya. Swi Hwa sudah mencabut pedangnya, dan gurunya yang tidak pernah berpedang lagi, berdiri dengan penuh kewaspadaan. Maklumlah kakek pandai ini bahwa ada orang bicara mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh, orangnya masih jauh akan tetapi suaranya sudah tiba di situ, tanda bahwa ada orang pandai agaknya mengejar mereka. Tak lama kemudian, nampaklah dua orang yang bentuk tubuhnya amat aneh datang dengan kecepatan yang mengejutkan hati guru dan murid itu. Gurunya menggeleng kepala.

   "Mereka sudah mengetahui kita di sini, dan percuma saja melarikan diri. Kau berhati-hatilah, Swi Hwa,"

   Bisik gurunya sambil memandang dengan penuh perhatian ke depan. Bayangan dua orang itu cepat sekali gerakannya dan sebentar saja mereka sudah tiba di depan guru dan murid itu.

   Setelah dua orang kakek yang bentuk tubuhnya amat luar biasa dan berlawanan itu tiba di depan mereka, Swi Hwa memandang penuh perhatian. Biarpun masih muda, dara ini sudah banyak pengetahuannya di dunia kang-ouw dan sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar, akan tetapi betapapun dia mengingat-ingat, belum pernah dia bertemu dengan dua orang kakek aneh ini, yang seorang tingginya hanya sampai di pundaknya, akan tetapi kakek ke dua tingginya bukan main sehingga dia harus menengadah kalau hendak memandang wajahnya. Kakek yang pendek gundul itu tersenyum-senyum lebar, akan tetapi yang membuat Swi Hwa merasa ngeri adalah kakek tinggi itu, karena biarpun kakek tinggi itu hanya cemberut saja, namun matanya yang sipit itu seolah-olah hendak menelanjanginya dengan pandang matanya!

   "Su-ko, yang tua untukmu, aku perlu dengan yang muda!"

   Tiba-tiba si tinggi kurus bermata sipit itu berkata, dan sebelum suaranya yang menyeramkan itu habis, tangannya yang berlengan panjang sekali itu tahu-tahu sudah menjangkau ke arah pundak Swi Hwa! Gerakannya itu mengerikan sekali karena jarak antara dia dan Swi Hwa cukup jauh, terlalu jauh bagi orang yang berlengan bagaimana panjang pun untuk dapat menjangkaunya. Akan tetapi kakek tinggi itu tidak melangkahkan kakinya, dan lengannya seperti dapat diulur lebih panjang daripada semestinya. Gerakan yang mengerikan sekali!

   "Ihhh....!"

   Swi Hwa berseru kaget dan juga jijik melihat lengan itu seperti se-ekor ular panjang hidup meluncur ke arah pundaknya. Dia cepat menarik kaki melangkah mundur, akan tetapi hebatnya, tangan itu terus mengejarnya, sebuah tangan yang lebar dengan jari-jari yang panjang dan besar, kotor dan kukunya panjang hitam! Swi Hwa kaget setengah mati dan agaknya sukar baginya untuk dapat mengelak. Pada saat itu, Hek-sin Touw-ong yang mengenal ilmu luar biasa dari si jangkung itu, yaitu ilmu mengulur lengan yang tidak mudah dipelajari, kecuali oleh mereka yang telah menguasai ilmu melepas tulang, maklum bahwa muridnya terancam ba-haya. Dia cepat menggerak-kan tangan kirinya.

   "Cusssss....!"

   Tangan kiri dari Hek-sin Touw-ong yang digerakkan ini bukan sembarang tangan, melainkan tangan yang mengandung Ilmu Kiam-to Sin-ciang sehingga tangan itu seperti berubah tajam bagaikan pedang atau golok, bahkan hawa pukulannya saja dapat membabat putus benda keras!

   "Wusss.... aha....!"

   Si jangkung terkejut sekali dan biarpun lengannya tidak terluka karena dia sudah menarik kembali lengannya sambil mengerahkan sinkang untuk melindungi lengan itu, namun tetap saja Lengan bajunya terobek oleh hawa yang menyambar dari Kiam-to Sin-ciang tadi. Si pendek gundul tertawa.

   "Ha-haha, engkau mendapat malu, Ngo-te! Jangan terlalu memandang rendah kepada Hek-sin Touw-ong yang kabarnya memiliki Kiam-to Sin-ciang. Dan engkau sama sekali tidak boleh main hakim sendiri, ingat bahwa tugas kita hanya untuk menawan mereka ini!"

   Si jangkung hanya cemberut, akan tetapi matanya terus mengincar Swi Hwa dan gadis ini diam-diam bergidik. Dia tadi melihat betapa gurunya menggunakan ilmu ini. Lengan si jangkung tadi jelas terkena sambaran hawa sakti itu, akan tetapi Lengan itu sama sekali tidak terluka dan hanya Lengan bajunya saja yang terobek! Tahulah dia bahwa si jangkung yang luar biasa itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Biarpun wajahnya tidak menunjukkan perasaan, namun di dalam hatinya, Si Raja Maling juga menjadi terkejut bukan main. Tadi dia sudah menduga-duga, akan tetapi kini melihat kelihaian si jangkung, melihat bentuk tubuh mereka dan cara kedua orang itu saling memanggil,

   Yaitu Ngo-te dan Su-ko (adik ke lima dan kakak ke empat), dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu kedua orang inilah tokoh-tokoh dari Im-kan Ngo-ok yang telah puluhan tahun lamanya tidak pernah terdengar lagi turun ke dunia ramai. Hampir dia tidak percaya karena memang selama dia menjelajahi dunia kang-ouw, Raja Maling ini tidak pernah berjumpa dengan mereka dan menganggap bahwa nama mereka itu hanya merupakan dongeng di antara orang-orang kang-ouw saja. Kini, melihat keadaan dua orang ini yang ternyata bukan hanya mengenalnya, bahkan mengenal pula Ilmu Kiam-to Sin-ciang, dia yakin bahwa tentu mereka ini adalah orang ke empat dan ke lima dari Im-kan Ngo-ok. Maka cepat dia menjura dengan hormat kepada datuk-datuk kaum sesat itu sambil berkata dengan suara halus merendah.

   "Siauwte yang bodoh pernah mendengar nama besar dari Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tidak tahu apakah dua nama besar itu adalah nama Ji-wi?"

   Tosu jangkung bermata sipit itu hanya cemberut, akan tetapi hwesio cebol gendut itu tertawa.

   "Ha-ha-ha, kiranya Si Raja Maling juga dapat mengenal kami, itu menunjukkan bahwa engkau memang bukan orang sembarangan!"

   Kembali Hek-sin Touw-ong menjura.

   "Maaf kalau siauwte yang bodoh kurang menghormat, karena sungguh mati kami berdua tidak pernah mimpi akan dapat jumpa dengan tokoh-tokoh besar seperti Ji-wi (Anda berdua). Setelah kami mendapat kehormatan bertemu dengan Ji-wi, siauwte mohon bertanya ada keperluan apakah gerangan maka Ji-wi memberi kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?"

   "Su-ko, mulutnya terlalu manis!"

   Tiba-tiba tosu tinggi kurus itu mencela. Akan tetapi hwesio cebol itu hanya tersenyum lebar. Girang sekali hatinya. Memang sudah menjadi watak Si Jahat Ke Empat dari Im-kan Ngo-ok ini untuk beramah-tamah dengan orang untuk kemudian mencelakai orang yang diajaknya beramah-tamah itu!

   "Hek-sin Touw-ong, sudah lama kami mendengar nama besarmu dan ternyata engkau memang seorang yang lihai sekali. Kiam-to Sin-ciang tadi amat hebat, dan engkau mempunyai seorang murid yang cantik jelita dan pandai. Sungguh beruntung sekali hidupmu. Aku Su-ok Siauw-siang-cu ikut merasa girang melihat keberuntunganmu dan sayang di sini tidak ada arak untuk menghaturkan selamat kepadamu. Ha-ha-ha!"

   Si Raja Maling. mengerutkan alisnya. Dia hanya pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok akan tetapi tidak mengenal watak mereka seorang demi seorang, maka dia pun tidak tahu akan watak Su-ok ini. Dia sendiri adalah seorang tokoh besar di dalam dunia kang-ouw, maka teritu saja dia tidak mudah tertipu oleh sikap ramah-tamah yang luar biasa itu. Maka dia hanya menjura sambil berkata.

   "Terima kasih atas kebaikan Su-ok Siauw-siang-cu Lo-enghiong."

   "Akan tetapi, Ngo-ok Toat-beng Sian-cu tidak sabar menyaksikan sikap ramah-tamah dari kawannya itu, maka dia berkata singkat,

   "Hek-sin Touw-ong, hayo lekas menyerah untuk kami tangkap dan bawa kembali ke benteng lembah, di mana engkau dan muridmu mengacau malam tadi!"

   Hek-sin Touw-ong tidak terkejut mendengar ini, karena memang dia sudah menduga bahwa dua orang sakti dari kaum sesat ini tentu muncul sehubungan dengan perbuatan mereka di benteng lembah semalam. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa Koksu Nepal adalah orang ke tiga dari, Im-kan Ngo-ok!

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 39 Kisah Sepasang Rajawali Eps 6 Kisah Sepasang Rajawali Eps 34

Cari Blog Ini