Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 47


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 47



"Aku girang sekali mendengar betapa engkau telah memperoleh banyak pengalaman berharga, Sumoi. Aku pun sudah mendengar tentang pembakaran Kuil Siaw-lim-pai itu, sungguh hal yang amat patut disesalkan."

   "Memang tindakan kaisar itu amat sewenang-wenang, akan tetapi Pangeran Mahkota lain lagi dengan Kaisar, Suheng. Dia benar-benar seorang pangeran yang amat bijaksana."

   Lalu Ci Sian menceritakan tentang tindakan Pangeran yang menentang Kaisar,

   Bahkan telah membebaskan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkurung dan terancam maut. Mendengar suara ini, Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada sumoinya dengan sinar mata penuh kagum. Sumoinya itu kini bukan seperti sebelum mereka berpisah. Dia teringat betapa sumoinya ditinggalkannya sebagai seorang dara yang lebih pantas disebut seorang anak-anak, masih amat kekanak-kanakan. Akan tetapi sekarang, yang duduk di depannya adalah seorang wanita dewasa, sudah matang, dan dari sepasang mata yang jeli dan indah itu mengandung sinar yang cerdas dan tabah, membuatnya terpesona dan memandang penuh kagum. Melihat keadaan suhengnya ini, hati Ci Sian berdebar dan mukanya berubah merah, naluri kewanita-annya merasa betapa pandang mata suhengnya itu penuh dengan kekaguman.

   "Aih, Suheng, apa sih yang kau pandang?"

   Tanyanya manja, ingin mengembalikan sifat kekanak-kanakannya yang selalu manja kepada Kam Hong untuk menutupi rasa malunya. Dan Kam Hong pun tersadarlah. Dia menunduk, mukanya sama merahnya dengan wajah Ci Sian, dan dia menarik napas berulang kali, lalu mengangkat mukanya memandang dengan jujur dia berkata,

   "Aku sungguh terpesona olehmu, Sumoi. Sungguh kagum, betapa dalam waktu tidak terlalu lama saja engkau kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang bersemangat dan berani membela kebenaran, dan yang telah dewasa, telah masak sebagai seorang wanita yang.... eh, luar biasa cantiknya!"

   Dapat dibayangkan betapa jantung Ci Sian terasa seperti melompat-lompat saking gembiranya, akan tetapi juga ia tenggelam dalam perasaan jengah, malu. Senyumnya dikulum dan pandang matanya hanya melalui kerling.

   "Ihh, Suheng.... jangan memperolokku....!"

   "Tidak, Sumoi, sungguh aku kagum kepadamu dan aku girang sekali. Tidak percuma engkau juga ikut mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut."

   "Sudahlah, Suheng, jangan terlalu memuji. Semua pengalamanku telah kuceritakan, sekarang aku ingin mendengar ceritamu semenjak kita saling berpisah. Kemana saja engkau pergi, Suheng dan kenapa engkau meninggalkan aku sendirian?"

   "Aku merantau dan menjaga guruku, Sai-cu Kai-ong yang sakit sampai beliau meninggal di puncak Bukit Nelayan."

   Lalu dia bercerita betapa ketika dia mengunjungi kakek yang hidup sendirian itu, Sai-cu Kai-ong menderita sakit.

   Tentu saja penyakitnya disebabkan oleh kekecewaannya melihat cucunya, Yu Hwi telah menikah dengan orang lain, bukan dengan keturunan Kam. Kekecewaannya membuat kakek ini bosan hidup dan ketika dia sakit, dia tidak mau minum obat. Padahal, dia adalah seorang ahli pengobatan yang lihai. Maka, ketika Kam Hong menjaganya sampai berbulan-bulan, kakek itu lalu menyerahkan kitab ilmu pengobatan peninggalan mendiang Yok-Sian-jin (Manusia Dewa Obat) kepada pendekar ini. Sampai tiba saat dia meninggal dunia. Kam Hong tidak pernah meninggalkannya dan dengan bantuan penduduk dusun di pegunungan itu, Kam Hong lalu mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya yang pertama kali itu. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa Yu Hwi, cucu tunggal kakek ini, tidak pernah datang sehingga tidak tahu akan sakit dan matinya kakek itu.

   "Setelah guruku meninggal, baru aku turun gunung dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Yu Hwi dan suaminya."

   Lalu dia menceritakan tentang peristiwa lucu itu, di mana dia mendengar bahwa Pangeran dijadikan perebutan dan dia ingin menyelamatkan Pangeran, tanpa mengetahui bahwa Pangeran yang diselamatkannya itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Betapa kemudian Yu Hwi marah-marah, dan suaminya malah sempat digoda cemburu, akan tetapi akhirnya mereka berdua itu insyaf dan minta maaf. Ci Sian tertawa geli mendengar penuturan itu.

   "Dan engkau ceritakan tentang kematian kakeknya, Suheng?"

   Kam Hong menggeleng kepala.

   "Tidak, aku tidak menceritakan hal itu. Aku tidak ingin menegurnya dan biarlah kelak ia akan mengerti dan menyesali kelalaiannya sendiri. Apalagi ketika itu aku mendengar bahwa Sang Pangeran telah lenyap lagi, maka aku meninggalkan mereka untuk mencari Pangeran. Dan hari ini, tanpa kusangka-sangka, aku bertemu dengan engkau di sini. Kalau tidak mendengar suara sulingmu, belum tentu kita dapat saling bertemu, Sumoi."

   "Aku girang sekali kita dapat bertemu di sini, Suheng. Aku sangat rindu padamu."

   "Aku pun girang dapat bertemu denganmu, Sumoi."

   "Juga rindu....?"

   "Juga rindu...."

   Girang sekali rasa hati Ci Sian, dan kembali jantungnya berdebar aneh, mukanya terasa panas.

   "Akan tetapi, Suheng.... kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi."

   "Pertanyaan yang mana?"

   "Dulu itu.... setelah kita berhasil membasmi Hek-i-mo...., kenapa Suheng lalu tiba-tiba saja meninggalkan aku sendiri?"

   Sepasang mata yang jeli itu memandang tajam penuh selidik, juga penuh dengan teguran dan penyesalan. Mendengar pertanyaan ini, berubah wajah Kam Hong dan dia merasa jantungnya terguncang. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan agak menjauh, berdiri termangu-mangu membelakangi batu di mana Ci Sian duduk memandangnya. Dara ini mengerutkan alisnya, penuh kekhawatiran, lalu ia pun turun dari atas batu, menghampiri suhengnya itu dan bertanya dengan suara lirih, akan tetapi dengan hati penuh ingin tahu,

   "Suheng, mengapakah?"

   Ketika Kam Hong membalik dan memandang sumoinya, wajahnya berubah agak pucat sehingga mengejutkan hati Ci Sian. Kam Hong lalu memegang kedua tangan sumoinya itu dan sejenak mereka berdiri berhadapan, dengan kedua tangan saling pegang, kedua mata saling pandang, tanpa berkata-kata. Akhirnya Kam Hong berkata, suaranya mengandung getaran aneh.

   "Sumoi, lihat baik-baik, pria macam apakah suhengmu ini?"

   Dan Ci Sian memandang. Seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng menurut penglihatannya, tenang dan berwibawa, dengan sepasang mata yang mencorong tajam namun mengandung kelembutan.

   "Suhengku seorang pendekar yang gagah perkasa! Kenapa?"

   "Ingatkah engkau bahwa dulu, sebelum engkau menjadi sumoiku, engkau menyebutku paman?"

   "Habis, mengapa?"

   "Tahukah engkau berasa usiamu sekarang, Sumoi?"

   "Usiaku?"

   Ci Sian tersenyum, merasa bahwa suhengnya ini menanyakan hal yang aneh-aneh saja.

   "Kalau tidak salah, tahun ini usiaku hampir sembilan belas tahun. Mengapa?"

   "Dan aku hampir tiga puluh dua tahun!"

   Kata Kam Hong, suaranya mengandung kesedihan.

   "Habis mengapa?"

   "Usia kita selisih tiga belas tahun!"

   "Lalu, mengapa?"

   Kam Hong meremas-remas jari tangan itu, tanpa disadarinya karena hatinya terguncang,

   "Sumoi, Sumoi.... tidak sadarkah engkau bahwa aku adalah seorang pria yang sudah tua?"

   Dan Ci Sian tertawa, tertawa geli sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya masih dipegang suhengnya.

   "Wah, dengar ini kakek tua renta mengeluh tentang usianya! Aduh kasihan....!"

   "Harap jangan memperolokku, Sumoi."

   "Siapa mengolokmu? Engkau sendiri yang aneh-aneh, Suheng. Siapa bilang engkau sudah tua? Aku sama sekali tidak melihat engkau sebagai seorang pria yang tua."

   "Dan engkau baru sembilan belas tahun, masih anak-anak!"

   "Suheng!"

   Ci Sian kini menarik semua tangannya dan memandang dengan alis berkerut.

   "Sekarang engkau yang memperolokku! Aku seorang kanak-kanak? Siapa bilang aku masih kanak-kanak? Aku berani melindungi Pangeran dari bahaya, aku berani menghadapi Im-kan Ngo-ok dengan taruhan nyawa, dan engkau mengatakan aku masih kanak-kanak? Suheng, apakah engkau hendak menghinaku?"

   "Maaf, Sumoi....!"

   Kam Hong berkata sambil menundukkan mukanya.

   "Bukan begitu maksudku, akan tetapi aku hendak mengatakan bahwa melihat perbedaan usia antara kita, aku.... terlalu tua untukmu, dan karena itulah.... tempo hari itu.... melihat bahwa engkau lebih tepat kalau berdekatan dengan Sim Hong Bu, dia sebaya denganmu, maka aku tidak mau menjadi batu penghalang, aku lalu menjauhkan diri...."

   Ci Sian memandang bengong.

   "Tapi.... tapi.... ah, sungguh aku tidak mengerti, Suheng.... Mengapa demikian? Mengapa engkau meninggalkan aku dan apa artinya engkau mengatakan bahwa aku lebih tepat berdekatan dengan Hong Bu? Memang dia mencintaku, dia menyatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, akan tetapi apakah hal itu mengharuskan aku mendekatkan diri dengannya? Aku tidak mencintanya Suheng.

   Aku.... lebih senang berada di sampingmu daripada di samping siapapun juga di dunia ini! Karena itu, jangan engkau bertega hati, jangan engkau menyiksaku, jangan lagi tinggalkan aku seorang diri."

   "Ci Sian, tidak ada pertemuan yang tidak berakhir dengan perpisahan."

   "Aku tidak ingin berpisah darimu, Suheng. Untuk selamanya!"

   "Tidak mungkin, pada suatu waktu engkau harus menikah dan kita harus saling berpisah."

   "Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga! Dan engkau jangan menikah, Suheng, kita takkan pernah berpisah lagi...."

   Kam Hong memegang kedua tangan itu lag! dan sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, dengan hati yang tergetar aneh. Kam Hong lalu menggandeng tangan itu dan berkata,

   "Mari kita cari Sang Pangeran jangan sampai beliau tertimpa malapetaka...."

   "Tapi kau berjanji dulu tidak akan meninggalkan aku, Suheng."

   "Aku berjanji."

   "Sumpah?"

   "Sumpah!"

   Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi ditunggangi Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu. Betapa anehnya asmara! Membuat dua orang manusia, seorang wanita dan seorang pria, merasa saling tertarik dan saling terikat oleh sesuatu yang tidak mereka ketahui apa. Yang terasa hanyalah bahwa mereka itu ingin selalu saling berdekatan, saling bermesraan, dan merasa sengsara kalau berpisah. cinta asmara antara pria dan wanita adalah sesuatu yang penuh rahasia, dan di dalam cinta asmara ini,

   Mereka berdua hanyalah manusia-manusia, pria dan wanita, yang saling tertarik dan saling mengasihi. Cinta tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal perbedaan suku atau kedudukan, tidak mengenal agama atau paham kepercayaan yang berbeda. Pendeknya, cinta meniadakan semua perbedaan antara mereka, yang penting bagi cinta adalah manusianya. Sedangkan semua yang lain hanyalah embel-embel saja. Kebijaksanaan yang membuat Kam Hong meragu, melihat perbedaan usia di antara mereka. Akan tetapi, mampukah kebijaksanaan menandingi cinta? Cinta membuat segala hal mungkin saja terjadi. Bukan usia, bukan harta, bukan agama yang menentukan, melainkan manusianya. Dan dua insan yang saling mencinta itu pun tertarik oleh manusianya, bukan embel-embelnya karena kalau tertarik oleh embel-embelnya, maka itu bukan cinta namanya!

   Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Toa-ok telah melihat berkelebatnya beberapa orang yang disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran. Dan memang benar demikianlah. Selagi tiga orang datuk kaum sesat itu mengeroyok Ci Sian, muncullah tiga orang yang bergerak cepat, lalu mereka itu menyambar tubuh Sang Pangeran, menotoknya dan melarikannya dengan cepat sekali. Mereka bertiga ternyata mempergunakan ilmu berlari cepat, membuat Pangeran Kian Liong merasa seperti diterbangkan saja. Pangeran ini tahu bahwa kembali dia telah ditawan dan dilarikan orang, entah dari golongan mana. Akan tetapi Pangeran ini tidak merasa takut. Kiranya yang menculik Pangeran itu adalah tiga di antara para pendekar Siauw-lim-pai yang delapan orang banyaknya itu, yang telah diselamatkan oleh Sang Pangeran dari kepungan pasukan pada waktu Siauw-lim-si dibakar. Mereka membawa Sang Pangeran kepada sebuah kereta yang sudah dipersiapkan oleh kawan-kawan mereka, lalu melarikan Pangeran menuju ke timur.

   "Harap Paduka tidak khawatir. Kami memang menawan Paduka, akan tetapi hal ini kami lakukan bukan karena kebencian pribadi. Kami adalah patriot-patriot bangsa Han, harap Paduka memaklumi keadaan kami,"

   Kata seorang di antara mereka dengan sikap hormat. Pangeran Kian Liong hanya tersenyum mengangguk.

   "Ke manakah kalian hendak membawaku?"

   Tanyanya.

   "Kepada pimpinan kami di kota Cin-an.

   "

   Jawaban singkat ini diterima oleh Sang Pangeran tanpa banyak cakap lagi. Malah kebetulan, pikirnya. Dia kelak akan menjadi kaisar, maka dia pun harus tahu benar tentang seluk-beluk mereka yang menganggap diri mereka sebagai para patrtiot ini. Kelak, mau tidak mau, dialah yang akan berhadapan dengan mereka ini. Dan dia pun perlu melakukan pendekatan, agar selain mengetahui keadaan mereka lahir batin, juga dia akan dapat bicara dengan mereka, terutama sekali para pemimpinnya. Jadi Cin-an, di Propinsi Shantung itu sarang mereka? Perjalanan ke Cin-an itu bukan dekat, akan tetapi di sepanjang perjalanan, tiga orang pendekar Siauw-lim-pai itu bersikap sopan dan baik.

   Diam-diam Sang Pangeran memperhatikan dan dia memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka yang menamakan dirinya para patriot Han itu belumlah meluas, yaitu belum memperoleh banyak dukungan rakyat. Buktinya, di sepanjang perjalanan mereka itu merahasiakan perjalanan itu dan tidak pernah mereka menghubungi rakyat yang membantu mereka. Namun, harus dike-tahui bahwa mereka itu bersikap hati-hati sekali dan agaknya banyaknya teman-teman mereka yang diam-diam menjadi penyelidik dan pelindung sehingga perjalanan kereta itu tidak pernah mendapat gangguan. Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, akhirnya kereta memasuki kota Cin-an di Propinsi Shantung, langsung memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar dan kuno.

   Kereta itu terus bergerak masuk ke belakang melalui jalan samping sehingga tidak nampak lagi dari depan. Sang Pangeran dipersilakan turun, lalu diiringkan memasuki rumah besar melalui pintu belakang. Ruangan di dalam rumah besar kuno itu luas sekali. Ketika Pangeran Kian Liong memasuki ruangan itu, dia memandang ke kanan kiri dengan penuh perhatian. Ruangan itu nampak sunyi karena tidak ada suara, akan tetapi ternyata di situ duduk banyak orang. Laki-laki dan wanita-wanita yang kelihatan penuh semangat dan gagah perkasa. Lima orang pendekar Siauw-lim-pai yang lain hadir pula di situ, jadi lengkap delapan orang dengan yang membawanya ke situ. Nam-pak pula beberapa orang hwesio, bahkan ada pula yang berpakaian seperti tosu. Akan tetapi yang terbanyak adalah pria-pria berpakaian seperti pendekar.

   Mereka duduk di atas bangku-bangku tidak teratur, akan tetapi semua menghadap kepada seorang laki-laki setengah tua yang usianya kira-kira lima puluh tahun namun masih nampak tampan dan gagah. Ada beberapa orang duduk di dekat pria ini, termasuk tiga orang wanita cantik setengah tua. Pangeran Kian Liong segera mengenal pria gagah ini, dan dia pun dipersilakan untuk duduk berhadapan dengan pria gagah yang agaknya menjadi pimpinan para patriot di tempat itu. Di antara orang-orang yang duduk di dekat pria gagah itu, nampak pula seorang pemuda yang kelihatan lebih gagah lagi, bersama seorang dara yang menggunakan pakaian pria sehingga nampak-nya sebagai seorang pemuda yang amat tampan. Akan tetapi sekali pandang saja tahulah Sang Pangeran bahwa pemuda yang amat tampan itu adalah seorang gadis.

   "Ah, selamat datang, Pangeran!"

   Kata pria tua yang gagah itu sambil bangkit berdiri memberi hormat, suaranya halus dan ramah, juga sikapnya menghormat.

   "Maafkan kalau kami membuat Paduka banyak kaget dan lelah, akan tetapi kami girang bahwa Paduka tiba di sini dalam keadaan sehat dan selamat."

   Pangeran Kian Liong tersenyum, seperti biasa sikapnya tenang sekali dan yang mengagumkan para patriot adalah bahwa Pangeran ini biarpun masih amat muda, namun sikapnya seperti seorang dewasa yang menghadapi sekelompok anak nakal saja.

   "Silakan duduk, Pangeran,"

   Kata pula pria tua gagah itu.

   "Terima kasih, Bu-taihiap,"

   Jawab Sang Pangeran sambil duduk dan memandang ke sekeliling. Sedikitnya ada dua puluh lima orang di dalam ruangan yang luas itu, kesemuanya adalah orang-orang yang bersikap gagah. Diam-diam dia merasa amat sayang bahwa orang-orang gagah seperti ini sekarang berdiri berhadapan dengan dia sebagai orang-orang yang memusuhinya, atau setidaknya memusuhi kerajaan ayahnya.

   "Kalau boleh aku bertanya, mengapa dalam waktu singkat saja terjadi perubahan besar dan sikap Bu-taihiap menjadi berlawanan? Ketika aku hendak ditangkap Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap melindungiku, dan sekarang Bu-taihiap menawanku sebagai musuh. Apa artinya semua ini?"

   Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, tersenyum lebar dan kelihatan semakin ganteng biarpun usianya sudah setengah abad.

   "Tidak perlu diherankan, Pangeran, karena semua itu hanya menjadi akibat dari keadaan Pangeran dan Kaisar yang juga berlawanan. Kalau tempo hari kami menyelamatkan Paduka, hanyalah karena kami hendak menolong seorang pangeran yang bijaksana dari ancaman penjahat-penjahat macam Im-kan Ngo-ok. Dan kalau sekarang kami terpaksa menawan Paduka adalah karena kami adalah patriot-patriot dan Paduka adalah putera mahkota."

   Pangeran muda itu mengangguk-angguk.

   "Aku dapat mengerti, Bu-taihiap. Lalu, setelah aku ditawan dan dibawa sini, apakah yang hendak kalian lakukan terhadap diriku?"

   "Tentu Paduka tidak mau menerima kalau kami mengatakan bahwa ayah Paduka, Sri Baginda Kaisar Yung Ceng, telah melakukan banyak sekali kejahatan dan kelaliman, bertindak sewenang-wenang terhadap para orang gagah?"

   "Aku maklum apa yang kau maksudkan, akan tetapi bagaimanapun juga, pada waktu ini, aku hanya seorang Pangeran Mahkota dan seluruh kekuasaan mutlak berada di tangan Kaisar."

   "Kaisar telah melakukan tindakan sewenang-wenang, bahkan baru-baru ini telah membasmi dan membakar biara Siauw-lim-si. Tentu Paduka mengetahuinya, bahkan juga Paduka menyaksikannya dan Paduka pula yang menyelamatkan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai."

   "Aku sudah tahu akan semua itu. Lalu apa kehendakmu?"

   "Kaisar bukan seorang penguasa yang baik, dan menambah dendam dan sakit hati para pendekar yang sejak dahulu tidak rela membiarkan tanah air dan bangsa dicengkeram penjajah Mancu. Harap Paduka maafkan kalau kami bicara sejujurnya, karena Paduka adalah seorang yang juga memiliki kegagahan dan kebi-jaksanaan."

   Pangeran Kian Liong kembali tersenyum, bukan tersenyum pahit, sama sekali tidak membayangkan perasaan sakit mendengar ucapan itu, melainkan tersenyum maklum akan "kenakalan"

   Anak-anak di sekelilingnya.

   "Nanti dulu, Bu-taihiap. Yang dinamakan penjajah itu adalah kalau satu negara menjajah negara lain, satu bangsa menjajah bangsa lain. Akan tetapi kurasa bangsa Mancu tidak mempunyai negara lain kecuali di sini, dan bangsa Mancu sekarang pun sudah tidak ada dan menjadi satu dengan bangsa Han! Aku sendiri, sebagai Pangeran, sama sekali tidak merasa sebagai bangsa Mancu, tanah airku di sini dan negaraku juga di sini. Memang pada mulanya, bangsa Mancu yang merupakan bangsa Nomad itu menyerbu ke selatan dan karena kelemahan dan kesalahan bangsa Han sendirilah, yang tidak ada persatuan, sering berkelahi sendiri, dan Kaisar amat lemah, para pembesarnya tidak ada yang jujur dan setia, semua tukang korup, maka akhirnya bangsa Mancu menjatuhkan Kaisar yang berkuasa dan selanjutnya sampai sekarang memimpin bangsa Han untuk membangun negara. Akan tetapi aku bukan membela kerajaan Ayahku, sama sekali tidak, hanya bicara menurut kenyataan saja. Memang, Ayahku telah menyeleweng, menyerbu Siauw-lim-si dan semua itu dilakukan hanya karena urusan-urusan pribadi. Ayah telah menjadi lemah pula dan hal ini amat kusesalkan. Kalau aku menjadi kaisar, semua hal yang bengkok pasti akan kubikin lurus, dan niatku hanya ingin memajukan bangsa, membangun negara dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat jelata."

   Semua patriot mendengarkan dengan alis berkerut. Mereka semua tahu bahwa Pangeran ini memang amat bijaksana dan andaikata Pangeran ini yang menjadi kaisar, agaknya keadaan pun akan berubah. Akan tetapi kenyataannya sekarang, Kaisar Yung Ceng telah menimbulkan dendam di hati para pendekar dan patriot.

   "Kami dapat percaya apa yang Paduka katakan, akan tetapi kenyataan sekarang ini amat pahit bagi kami, dan Paduka masih belum menjadi kaisar. Oleh karena itu, kami harus bertindak, dan tidak
(Lanjut ke Jilid 44)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 44
mungkin kami diam saja membiarkan Kaisar melakukan kelaliman sambil menanti Paduka menggantikannya."

   "Hemm, Bu-taihiap, katakan saja. Apa yang hendak kalian lakukan kepadaku? Membunuhku? Aku tidak takut mati. Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku memberontak terhadap Ayah dan pemerintahku sendiri."

   Bu Seng Kin tertawa.

   "Kami pun tidak begitu bodoh, Pangeran. Mana mungkin kami mengharapkan Paduka, seorang Pangeran Mancu, memberontak terhadap Kerajaan Mancu sendiri? Tidak, kami cukup menghargai sikap Paduka yang baik dan kami percaya bahwa Paduka akan menjadi kalsar yang paling bijaksana di antara semua Kaisar Mancu yang pernah ada."

   "Lalu apa kehendak kalian sekarang?"

   "Kami tidak akan menggang-gu Paduka, hanya untuk sementara ini terpaksa Paduka kami tahan dulu sebagai sandera. Dengan Paduka sebagai sandera, kami hendak mengajukan tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar, dan sebelum tuntutan kami dipenuhi, Paduka tidak akan kami bebaskan."

   Pangeran itu tetap saja bersikap tenang.

   "Apakah adanya tuntutan-tuntutan kalian, kalau boleh aku tahu?"

   "Tuntutan pertama, agar biara Siauw-lim-si yang telah dibakar itu dibangun kembali. Ke dua, agar semua pendekar Siauw-lim-pai dan para pendekar lain, patriot-patriot bangsa, tidak dikejar-kejar dan dibebaskan dari tuduhan memberontak. Ke tiga, agar bangsa Han diperlakukan sama rata dengan orang-orang Mancu dan ke empat, agar para pendekar diberi kebebasan untuk membawa senjata guna bekal dan perlindungan diri di waktu mengadakan perjalanan jauh."

   Pangeran Kian Liong mengangguk-angguk.

   "Tuntutan yang cukup patut, hanya yang nomor dua itu harus ada pelaksanaan timbal-balik. Kalau para patriot tidak ingin dikejar dan dianggap memberontak tentu saja mereka jangan melakukan gerakan memberontak. Aku akan ikut membujuk Kaisar untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan kalian itu."

   Semua patriot yang berkumpul di situ merasa lega dan girang. Kalau tuntutan-tuntutan mereka dipenuhi, tentu saja tidak ada alasan bagi mereka untuk memberontak. Pemberontakan bukanlah soal yang mudah. Untuk memberontak terhadap kerajaan yang demikian kuatnya, harus mempunyai ratusan ribu orang pasukan dan perlengkapan yang besar. Kalau hanya sekelompok pendekar saja, mana mungkin dapat melakukan pemberontakan? Demikianlah, mulai hari itu, Sang Pangeran diperlakukan sebagai seorang agung walaupun dia tidak mempunyai kebebasan dan menjadi tawanan. Siang malam dikawal dan dijaga, dan Bu-taihiap lalu mengirim utusan dan surat kepada Kaisar untuk menyampaikan tuntutannya. Tentu saja tempat di mana Pangeran ditahan itu amat dirahasiakan.Pemuda gagah perkasa dan gadis berpakaian pria yang duduk di dekat Bu-taihiap ketika Pangeran Mahkota dihadapkan itu adalah Sim Hong Bu dan Cu Pek In!

   Bagaimanakah kedua orang dari Lembah Suling Emas yang kini berubah nama menjadi Lembah Naga Siluman itu dapat tiba di tempat itu dan bergabung dengan para patriot? Untuk mengetahui hal ini, mari kita ikuti perjalanan pemuda Sim Hong Bu, pewaris dari ilmu mujijat keluarga Cu di Lembah Naga Silu-man. Pemuda inilah satu-satunya orang yang mewarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang hebat, bahkan pedang pusaka itu pun kini berada di tangannya, lalu disembunyikan di balik bajunya yang panjang Seperti telah kita ketahui, Sim Hong Bu secara kebetulan bertemu dengan Ci Sian ketika dia muncul membantu dara itu menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai itu. Kemudian, karena diam-diam Kam Hong pergi, maka Ci Sian melakukan perjalanan bersama Sim Hong Bu.

   Akan tetapi, sebentar saja terjadi percekcokan ketika Ci Sian mendengar bahwa Sim Hong Bu yang mewakili Lembah Naga Siluman dan keluarga Cu, kalau bertemu dengan Kam Hong hendak menantang Kam Hong mengadu ilmu, yaitu mengadu Ilmu Padang Kim-siauw Kiam-sut melawan ilmunya, Koai-liong Kiam-sut, Mendengar ini, Ci Sian marah-marah dan menantang Hong Bu, bahkan lalu menyerangnya sehinga terjadi pertandingan seru di mana Hong Bu mengalah. Ci Sian meninggalkannya dan pemuda ini berduka sekali. Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak perjumpaannya dahulu, beberapa tahun yang lalu ketika Ci Sian masih seorang dara kecil di pegunungan yang tertutup salju. Semenjak itu dia tidak pernah dapat melupakan Ci Sian, dan pertemuan terakhir ini menimbulkan kekaguman hebat melihat betapa dara itu telah menjadi seorang pendekar wanita. yang amat lihai.

   Kekaguman yang mempertebal cintanya dan yang membuatnya tanpa ragu-ragu lagi menyatakan cintanya kepada dara itu. Akan tetapi, dara itu agaknya membencinya! Karena dia adalah pewaris Koai-liong Po-kiam dan dia dianggap musuh besar dari Kam Hong, suheng dara itu, Hong Bu merasa sedih sekali. Perasaan duka delam hati seorang pemuda yang merasa ditolak cintanya memang amat menyiksa. Segala sesuatu tampak hampa dan hidup rasanya hambar. Kegembiraan lenyap dan yang ada hanya perasaan iba duka yang semakin besar. Dalam keadaan seperti ini, Hong Bu melanjutkan perjalanannya. Dia merasa seperti sebuah boneka hidup yang hidupnya hanya untuk melaksanakan tugas belaka. Tugasnya adalah pertama-tama, menyelamatkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam agar jangan sampai terampas oleh utusan Kaisar yang mencari dan mengejarnya sebagai buronan.

   Ke dua, dia harus mencari Kam Hong untuk mempertahankan nama keluarga Cu dan untuk menyatakan bahwa Ilmu Koai-liong Kiam-sut tidak kalah oleh Ilmu Kim-siauw Kiam-sut. Dan juga, dia harus menebus kekalahan para gurunya itu dari tangan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Pada suatu hari yang amat panas, lewat tengah hari, Hong Bu duduk beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Keteduhan di bawah sebatang pohon terasa nikmat sekali setelah dia tadi terpanggang di dalam terik matahari, membuatnya mengantuk. Akan tetapi dia tidak tidur, melainkan melamun. Ter-bayanglah di pelupuk matanya tentang peruba-han dirinya dan keadaannya. Dahulu, ketika dia masih menjadi seorang pemburu biasa, tanpa ilmu yang tinggi, hanya seorang pemburu kasar biasa, kehidupannya selalu penuh dengan kegembiraan.

   Menyusuri jejak binatang saja sudah mendatangkan kegembiraan tersendiri. Lalu dalam keadaan berburu sudah mendatangkan ketegangan dan kegembiraan yang penuh harapan. Apalagi kalau dia berhasil merobohkan binatang buruannya, girangnya bukan main. Dilanjutkan dengan penjualan hasil buruan, juga mendatangkan kegembiraan tertentu. Dan sekarang? Sekarang jauh berbeda daripada dahulu. Dia kini bukan seorang pemburu kasar biasa lagi. Dia seorang ahli waris ilmu silat tinggi yang tiada keduanya di dunia. Dia telah menjadi seorang berilmu, seorang pendekar! Katakanlah dia telah maju! Akan tetapi bagaimana jadinya? Lenyaplah kegembiraan hidup seperti yang dirasakannya ketika dia masih menjadi seorang pemburu kasar dan bodoh.

   Kini dia menjadi seorang yang mempunyai banyak musuh! Lenyaplah semua kebahagiaan, Lenyaplah semua ketenteraman. Dia dikejar-kejar dan dibebani tugas berat. Dan lebih dari itu malah, dia berjumpa dengan Ci Sian hanya untuk patah hati! Sedih hatinya, dan orang yang berduka biasanya memang selalu mudah mengantuk. Dalam kedukaan, orang membuang dan menghamburkan banyak sekali kekuatan batin, maka mudah membuatnya mengantuk. Tanpa disadarinya, sambil bersandar batang pohon, Hong Bu pun tertidur. Kebanyakan dari kita saling berlumba untuk mengejar yang kita namakan KEMAJUAN. Semenjak masih kecil sekali, sejak duduk di kelas nol, kita didorong dan dibentuk oleh orang-orang tua kita dan oleh guru-guru kita untuk mencari kemajuan.

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Angka-angka di buku laporan sekolah menunjukkan apakah kita maju ataukah tidak, dan kemajuan selalu dianggap sebagai sesuatu yang amat baik, menjadi tujuan kita sejak kecil sehingga setelah kita dewasa, tak mungkin lagi kita terlepas dari kehausan akan apa yang kita namakan kemajuan itu. Apakah yang sesungguhnya yang kita namakan kemajuan? Dalam buku laporan sekolah, angka-angka kita menunjukkan bahwa kemajuan adalah apabila angka-angka kita lebih baik daripada yang sudah. Jadi kemajuan tampak setelah ada perbandingan. Sekarang kelas satu, lain tahun kelas dua, itu namanya maju. Sekarang berpenghasilan sepuluh rlbu rupiah sebulan, lain waktu dua puluh lima ribu rupiah, itu namanya kemajuan! Si A lebih maju daripada si B dan si C lebih maju lagi. Semua orang berlari, berlumba un-tuk mencapai apa yang kita namakan kemajuan.

   Jadi kemajuan adalah suatu keadaan yang kita anggap lebih baik daripada keadaan lain yang sudah ada. Bukankah demikian? Lebih dari itu. Kemajuan kita anggap sebagai sesuatu yang jauh lebih baik, lebih menyenangkan, lebih enak, pendeknya lebih mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Oleh karena itulah maka kita berlumba untuk mengejar kemajuan. Akan tetapi, benarkah demikian keadaannya? Benarkah kemajuan akan mendatangkan kesenangan dan kepuasan? Memang, tujuan yang tercapai mendatangkan kepuasan dan kesenangan, akan tetapi hanya sejenak saja. Penyakit yang sudah mendarah daging pada diri kita, yaitu mencari kemajuan, akan timbul pada saat kita telah mencapai sesuatu yang kita kejar-kejar itu, yaitu mencari kemajuan lain yang lebih menyenangkan daripada apa yang kita capai.

   Diberi sejengkal ingin sehasta, ingin sedepa, ingin yang lebih panjang lagi. Dan kita terseret ke dalam saluran keinginan untuk maju ini sampai kita masuk lubang kubur. Ini pun tidak menjadi soal kalau saja kita tidak melihat bahwa dalam pelaksanaan pengejaran suatu cita-cita, pengejaran ambisi, pengejaran sesuatu atau suatu keadaan yang kita inginkan, menimbulkan tindakan-tindakan yang kadang-kadang merupakan penyelewengan. Untuk dapat maju, kadang-kadang kita tidak segan untuk mendorong orang lain, untuk melangkahi orang lain, mendahului orang lain. Bahkan tidak jarang, untuk mencapai apa yang kita cita-citakan, apa yang menjadi tujuan kita, maka kita mempergunakan segala daya upaya, tidak peduli lagi apakah daya upaya itu benar ataukah tidak.

   Maka, dapatlah kita lihat keadaan di sekeliling kita. Mengejar "kemajuan dalam harta"

   Menimbulkan korupsi, penyelundupan, perdagangan morphin dan sejenisnya, perdagangan gelap, pencopetan dan banyak lagi pekerjaan kotor lain. Pengejaran "kemajuan dalam kedudukan"

   Menimbulkan perebutan kekuasaan yang menyeret orang banyak ke dalam permusuhan, jegal-menjegal, bahkan dapat memuncak sampai berbunuh-bunuhan. Mengapa kita harus mengejar kemajuan? Sampai di manakah batas kemajuan itu? Kalau kita mempelajari sesuatu, kalau kita mengerjakan sesuatu, mengapa harus ada dorongan untuk memperoleh kemajuan? Apakah untuk memperoleh hasil baik dalam sesuatu yang kita kerjakan itu harus didasari hasrat untuk maju? Ke manakah minat dan rasa cinta kita kepada apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan?

   Dengan minat dan rasa cinta, maka pikiran untuk memperoleh kemajuan tidak dipedulikan lagi! Si A dan si B berdagang kuih yang mereka buat sendiri. Usaha mereka serupa, dengan modal yang sama. Si A membuat kuih dengan penuh minat dan penuh rasa cinta kepada pekerjaannya. Si B membuat kuih dengan penuh keinginan untuk memperoleh "kemajuan"

   Yang dalam hal ini tentu saja agar banyak laku dan banyak untung, terutama sekali banyak untung dan lekas memperoleh hasil besar. Siapakah di antara mereka yang akan menghasilkan kuih yang baik? Si A tentu saja. Minatnya dan rasa cintanya terhadap pekerjaannya akan membuat dia melakukan pekerjaannya, membuat kuih dengan tekun, sebaik mungkin, selezat mungkin atau dalam istilah dagangannya, menjaga mutu yang utama, sedangkan soal keuntungan tidak membuat dia buta.

   Sebaliknya si B yang ingin lekas mendapatkan hasil banyak, mungkin saja mengurangi gulanya, mengurangi mutu bahannya, agar kalkulasi lebih rendah, agar untung lebih banyak, dan tentu saja dia akan membuat secepat dan sebanyak mungkin. Nah, jelas nampak perbedaan antara perbuatannya yang didorong oleh keinginan maju dan pekerjaan atau perbuatan yang didorong oleh minat dan cinta terhadap apa yang dilakukannya. Mengapa kita tidak menanamkan cinta ini kepada anak-anak, agar mereka itu mencintai apapun yang mereka lakukan atau kerjakan? Mengapa selalu mengiming-imingi mereka dengan pujian, kemajuan, lebih pintar daripada anak lain, lebih menang daripada anak lain? Mengapa menanamkan benih persaingan dan, ingin selalu paling tinggi dalam batin mereka yang masih bersih dan murni itu?

   Hong Bu yang tertidur pulas di bawah pohon menjadi terkejut, seolah-olah ada yang menggugahnya. Dia terkejut oleh kenyataan bahwa dia tertidur tanpa disadarinya itu, suatu hal yang amat tidak baik bagi seorang ahli silat, apalagi kalau di mana-mana terdapat musuh dan bahaya. Dia pun meloncat dan memandang ke kanan kiri. Tiba-tiba telinganya mendengar suara beradunya senjata. Ada orang-orang sedang berkelahi, pikirnya. Cepat dia pun menyambar bungkusan pakaiannya dan larilah dia ke arah suara itu, suara orang-orang berkelahi, di dalam hutan. Ketika dia tiba di tempat itu, dia semakin terkejut mengenal seorang pemuda yang amat tampan sedang dikeroyok oleh belasan orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang daun telinga sebelah kirinya buntung. Tentu saja dia mengenal pemuda tampan itu yang bukan lain adalah Cu Pek In!

   Dia terheran mengapa Cu Pek In dapat berada di tempat itu, padahal jaraknya dari lembah di mana dara itu tinggal terpisah ribuan lie jauhnya. Cu Pek In menggunakan sebatang pedang untuk melawan. Semenjak lembah itu meninggalkan nama Lembah Suling Emas dan ber-ganti nama menjadi Lembah Naga Siluman, Cu Pek In juga tidak lagi mau mempergunakan suling emas untuk senjata. Ia sudah mengganti suling emasnya dengan sebatang pedang yang baik karena memang di lembah itu banyak terdapat senjata yang baik, dan ia tidak kaku memainkan pedang karena selain sejak kecil Pek In menerima gemblengan ayahnya sendiri dengan berbagai macam ilmu silat dengan senjata apapun, juga gerakan sulingnya sesungguhnya merupakan gerakan pedang pula. Akan tetapi, belasan laki-laki yang mengeroyok Pek In itu adalah orang-orang kasar yang semua memiliki kepandaian lumayan dan tenaga besar.

   Terutama sekali pemimpin mereka yang buntung daun telinga kirinya itu, sungguh merupakan lawan yang tangguh. Dara yang berpakaian pria itu mulai terdesak dan terkurung rapat. dan karena Si Telinga Buntung itu memainkan sepasang goloknya dengan hebat, maka Pek In tidak diberi kesempatan lagi untuk me-robohkan anak buahnya, melainkan terpaksa memutar pedang hanya untuk melindungi tubuh dari hujan serangan senjata para pengeroyoknya itu. Melihat sumoinya terdesak dan terancam bahaya, apalagi melihat Si Telinga Buntung itu lihai sekali, Hong Bu menjadi marah. Cepat dia mencabut Koai-liong-kiam yang tersembunyi di balik jubahnya dan sekali dia meloncat dan menggerakkan senjata pusakanya, nampak sinar biru yang menyilaukan mata dan biarpun, kepala perampok telinga buntung itu berusaha memapakinya dengan sepasang goloknya,

   Seketika goloknya itu terbabat putus dan sinar biru yang menyambar itu menembus lehernya. Sinar itu terus menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja, robohnya kepala rampok yang lehernya tertembus sinar pedang itu disusul oleh enam orang anak buahnya. Melihat ini, sisa para perampok menjatuhkan diri berlutut dan minta-minta ampun. Akan tetapi Pek In mengamuk dan merobohkan mereka semua. Hong Bu cepat mencegahnya, akan tetapi dalam amukannya, dara itu telah membunuh lima orang, dan hanya ada empat orang lagi saja yang sempat diselamatkan Hong Bu dan mereka hanya mengalami luka-luka oleh pedang Pek In! Setelah semua perampok roboh, barulah Pek In membalik dan menghadapi Hong Bu. Mereka berdiri saling berpandangan, dan kemudian terdengar Pek In terisak menangis.

   "Suheng, kau.... kau kejam sekali.... uhu-hu-huuuuh...."

   Hong Bu memandang heran. Baru saja dia hendak menegur dan mengatakan betapa kejamnya sumoinya hendak membunuh lawan yang sudah mengaku kalah dan minta ampun, malah didahului oleh dara itu yang menangis dan mengatakannya kejam sekali!

   "Sumoi, apa maksudmu mengatakan aku kejam?"

   Mendengar pertanyaan ini, Pek In menangis semakin terisak-isak. Hong Bu yang melihat betapa empat orang anggauta perampok yang belum tewas, hanya terluka itu, mengerang kesakitan akan tetapi juga dapat mendengar percakapan mereka, lalu menggandeng tangan Pek In dan dara itu ditariknya pergi dari situ.

   "Mari kita bicara di tempat lain, Sumoi...."

   Katanya. Pek In masih menangis dan membiarkan dirinya digandeng dan dibawa ke tempat lain, agak jauh dari tempat para perampok menggeletak itu.

   "Nah, katakanlah mengapa aku kejam?"

   "Suheng.... kau.... pergi begitu saja meninggalkan aku.... hu-huuuuh, aku telah mencari-carimu setengah mati, berbulan-bulan lamanya.... sampai aku hampir putus harapan.... hu-hu-hu.... kenapa engkau begitu kejam meninggalkan aku....?"

   Melihat dara yang biasanya amat tabah dan belum pernah dilihatnya menangis itu kini sesenggukan, Hong Bu merasa kasihan juga. Dara ini ditinggal ayahnya yang mengasingkan diri sebagai pertapa, dan dia tahu bahwa dara ini amat dekat dengan dia, maka setelah dia pergi, memang seolah-olah Pek In hidup sendirian saja di lembah yang sunyi itu. Karena merasa kasihan, maka dia lalu merangkul gadis itu dan mengelus rambutnya. Merasa betapa pemuda itu merangkul dan mengelus rambutnya, Pek In menangis makin keras dan ia pun balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.

   "Suheng.... aku cinta padamu, Suheng.... aku tidak mau terpisah darimu lagi.... lebih baik aku mati saja daripada harus berjauhan darimu...."

   Bukan main kagetnya hati Hong Bu mendengar ini. Memang dia tahu bahwa gadis ini mencintanya, akan tetapi kalau gadis ini akan terus bersamanya, tidak mungkin pula, dia mencinta Ci Sian, bukan gadis ini. Akan tetapi dengan halus dia melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya perlahan dan sambil memegang kedua pundak itu dengan lengan diluruskan, dia memandang wajah yang manis dan basah air mata itu. Gadis ini masih terisak, sesenggukan.

   "Sumoi, dengarlah baik-baik. Bukan aku tidak suka kalau engkau ikut denganku, akan tetapi engkau tentu tahu bahwa aku mempunyai tugas yang luar biasa beratnya dan berbahayanya. Pertama, aku menjadi orang buruan dan dikejar-kejar oleh utusan Kaisar yang amat sakti. Engkau sendiri tahu betapa ayahmu dan Susiok Cu Seng Bu yang demikian saktinya, tidak mampu menandingi Pendekar Sakti Gurun Pasir. Dan aku dicari oleh pendekar itu dan isteri-nya dan puteranya, jenderal muda yang juga amat lihai. Ke dua, aku harus menebus kekalahan para guru dari Naga Sakti Gurun Pasir, tugas yang amat berat dan berbahaya. Ke tiga, aku harus menebus kekalahan Suhu dari Suling Emas Kam Hong. Nah, bagaimana engkau dapat ikut denganku? Membela diri sendiri saja sudah amat berat bagiku, apalagi harus melindungi engkau?"

   "Aku tidak akan menggang-gumu, Suheng. Engkau tidak perlu melindungi aku, karena aku dapat membela diri sendiri. Kalau perlu, jangan kau cari mereka, pendeknya, terserah apa saja yang hendak kau lakukan, tapi aku tidak mau kau tinggal lagi, tidak mau aku berpisah darimu."

   "Tapi, Sumoi, Suhu akan marah kepadaku. Engkau harus kembali ke lembah Sumoi. Aku berjanji, kalau sudah selesai semua urusan dan tugasku, aku pasti akan kembali ke sana...."

   "Tidak, aku tidak mau kembali ke tempat yang sunyi itu. Aku bisa mati kesepian di sana, tanpa engkau. Aku ingin mati hidup bersamamu, Suheng."

   "Ahh....!"

   Hong Bu menjadi bingung sekali. Dia tahu bahwa Pek In adalah seorang gadis yang keras hati dan yang sejak kecil terlalu dimanja oleh ayahnya sehingga apapun yang diinginkannya, harus terlaksana! Kalau dia menolak, tentu Pek In akan marah dan sukar dibayangkan apa yang akan dilakukan oleh gadis yang keras hati ini. Dia lalu berjalan pergi dari situ dengan muka tunduk, maklum bahwa gadis itu mengikutinya dari belakang. Sampai lama mereka berjalan tanpa berkata-kata. Akhirnya Pek In mempercepat langkahnya berjalan di samping suhengnya dan menyentuh lengan suhengnya itu.

   "Suheng, apakah engkau marah kepadaku?"

   Tanyanya sambil memandeng wajah yang tampan itu.

   "Hemm....? Tidak marah, aku hanya bingung, Sumoi."

   "Suheng, kau maafkanlah diriku kalau aku menyusahkan dan membingungkan hatimu. Akan tetapi sungguh mati, aku tidak dapat berpisah darimu, Suheng. Aku.... aku cinta padamu dan lebih baik aku mati saja daripada harus kau tinggalkan...."

   Hong Bu menarik napas panjang. Sejenak ia menatap wajah itu. Wajah yang manis. Seorang gadis yang baik dan gagah perkasa keturunan pendekar. Alangkah mudahnya baginya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini, kalau saja dia tidak lebih dulu tergila-gila kepada Ci Sian. Bagi seorang pemburu sederhana seperti dia, Pek In merupakan dara yang sudah terlampau baik. Akan tetapi, apa hendak dikata, dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Ci Sian, dan tidak mungkin agaknya untuk melupakan Ci Sian dan menengok kepada gadis lain, walaupun dia masih merasa perih hatinya melihat Ci Sian tidak membalas cintanya, bahkan memusuhinya!

   "Ahhh, betapa penuh derita hidup ini,"

   Pikirnya,

   "Dara yang dicintanya malah memusuhinya, dan dara yang mencintanya tak mungkin dibalasnya."

   Demikianlah, dengan terpaksa sekali Hong Bu melakukan perjalanan bersama Pek In. Dia masih bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian dia teringat bahwa mereka berada dekat dengan kota Cin-an di mana menurut berita yang didengarnya terdapat sarang pendekar patriot. Memang sejak lama Hong Bu telah merasa setia kawan dengan para pendekar patriot, terutama sekali setelah terjadi pembakaran biara Siauw-lim-si. Memang tadinya dia sudah mempunyai keinginan untuk singgah di Cin-an dan mengunjungi pusat perkumpulannya para pendekar patriot itu.

   Kini setelah Pek In ikut bersamanya, timbul pikirannya bahwa sebaiknya kalau dia mengajak gadis itu ke pusat para pen-dekar. Siapa tahu Pek In yang berwatak pendekar itu akan tertarik hatinya dan kalau saja dia bisa menitipkan Pek In untuk sementara di tempat itu, bersama dengan para pendekar patriot, maka selain dia sendiri tidak dibebani berat untuk melindunginya, juga mungkin gadis itu mau ditinggalkannya. Orang seperti Pek In harus diberi kesibukan yang mengasyikkan dan menyenangkan hatinya. Demikianlah, Hong Bu lalu mengajak sumoinya melanjutkan perjalanan menuju ke Cin-an. Akan tetapi karena mereka memasuki kota Cin-an setelah lewat senja, maka Hong Bu merasa tidak enak untuk langsung mencari dan mengunjungi para pendekar. Maka dia lalu mencari penginapan dan menyewa dua buah kamar yang berdampingan untuk melewatkan malam itu.

   "Suheng, engkau sengaja menuju ke kota ini, hendak mencari siapakah?"

   Pek In bertanya setelah mereka makan malam dan duduk di ruangan dalam, tak jauh dari kamar mereka. Melihat di kanan kiri tidak ada orang Hong Bu lalu menjawab sambil berbisik,

   "Sumoi, selama engkau meninggalkan lembah, di dalam perantauanmu, apakah engkau mendengar tentang para pendekar patriot yang mulai bergerak karena penekanan Kaisar?"

   Pek In mengangguk.

   "Aku pernah mendengar tentang dibakarnya biara Siauw-lim-si, Suheng. Mereka itukah yang kau maksudkan?"

   Hong Bu mengangguk.

   "Mereka dan banyak orang lagi yang merasa tidak suka melihat kelaliman Kaisar dan tidak suka melihat penjajahan bangsa Mancu atas bangsa kita. Apakah engkau tidak tertarik?"

   Pek In mengangguk

   "Memang mereka itu hebat dan gagah sekali, Suheng. Akan tetapi apa hubungannya dengan kita?"

   "Memang tidak ada hubungannya secara langsung, Sumoi. Akan tetapi apakah kita juga harus diam saja menyaksikan kelaliman Kaisar itu? Bayangkan saja. Para pendeta di Siauw-lim-si, para pendekar Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu, yang selalu membela kaum lemah tertindas dan menentang mereka yang jahat sewenang-wenang, dibasmi dan biaranya dibakar. Entah berapa banyaknya pendekar gagah perkasa yang tidak berdosa dibunuh, dibantai oleh pasukan besar. Bukankah kita ini juga merasa sebagai pendekar, Sumoi?"

   "Lalu apa yang hendak kau lakukan, Suheng?"

   "Aku ingin menemui mereka, ingin berkenalan dengan orang-orang gagah itu."

   "Baik sekali! Di mana? Di sini?"

   Hong Bu mengangguk.

   "Ya, aku mendengar bahwa mereka berkumpul di Cin-an ini, dan aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Kabarnya, aku mendengar dari seorang pendekar yang hidup sebagai nelayan sungai yang kulalui, mereka itu berkumpul di sebuah rumah kuno yang disebut Gedung Mawar Kuning. Kiraku tidak sukar mencari rumah dengan nama seperti itu."

   "Baik, aku ikut, Suheng. Aku pun senang sekali kalau dapat berkenalan dengan mereka, dan...."

   Tiba-tiba Hong Bu mengeluarkan bunyi

   "Ssttt....!"

   Dan memberi tanda agar Sumoinya tidak bicara lagi. Seorang pelayan rumah penginapan membawa lentera mengantar masuk tiga orang tamu baru yang agaknya baru tiba di malam itu. Karena mereka diberi kamar agak ke belakang, maka mereka itu melewati kamar-kamar Hong Bu dan Pek In ketika diantar oleh pelayan ke kamar mereka di belakang. Diam-diam Hong Bu memperhatikan mereka, juga Pek In dan wajah Pek In berubah pucat sekali, lalu gadis ini menundukkan mukanya, atau lebih tepat menyembunyikan mukanya dan memutar tubuh membelakangi tamu-tamu itu. Hong Bu memandang dengan penuh perhatian dan jantungnya berdebar tegang.

   Dia tidak mengenal mereka itu, akan tetapi mereka segera dapat menduga siapa adanya pria setengah tua gagah perkasa yang buntung sebelah le-ngannya itu! Ciri khas dari Pendekar Sakti Gurun Pasir! Kalau saja orang ini tidak datang bersama seorang wanita setengah tua yang cantik jelita dan gagah dan seorang pemuda yang ganteng sekali, juga amat gagah, tentu dia dapat menduga bahwa mungkin saja orang itu bukan Si Pendekar Buntung Lengan. Akan tetapi, melihat dua orang teman Si Buntung itu, hatinya tidak ragu-ragu lagi. Siapa lagi kalau bukan Naga Sakti Gurun Pasir dan anak isterinya yang lihai itu? Akan tetapi tiga orang itu agaknya tidak mempedulikan dia, juga tidak melihat kepada Pek In yang sudah membuang muka. Setelah mereka itu lewat dan memasuki tikungan, barulah Pek In memegang lengan Hong Bu dan berbisik,

   "itu mereka...."

   Hong Bu mengangguk dan memberi isyarat kepada sumoinya untuk memasuki kamar sumoinya. Setibanya di dalam kamar, Hong Bu berkata,

   "Aku mengenal mereka. Tentu inilah Naga Sakti Gurun Pasir dan anak isterinya, bukan?"

   "Benar! Apakah mereka melihatku, Suheng? Mereka tentu mengenalku."

   "Agaknya mereka tidak menoleh kepadamu, akan tetapi siapa tahu? Mereka adalah orang-orang sakti, dan kedatangannya di rumah penginapan ini sungguh suatu hal yang terlalu kebetulan. Mereka mencari-cariku, kenapa kebetulan mereka datang ke rumah penginapan di mana aku berada? Sumoi, kita harus pergi sekarang jugal"

   "Tidak, aku tidak takut!"

   Pek In berseru dan mengepal tinju.

   "Aku tidak sudi melarikan diri!"

   "Bukan melarikan diri karena takut, Sumoi melainkan...."

   "Apa....?"

   "Sudahlah,"

   Hong Bu tidak mau me-ngatakan bahwa dia terpaksa melarikan diri karena dia berada bersama Pek In. Betapapun lihainya Pek In, gadis ini sama sekali bukan tandingan para pendekar sakti itu dan kalau harus melindungi gadis itu, tentu dia tidak akan dapat bergerak leluasa.

   "Sumoi, bukankah engkau ingin ikut denganku?"

   "Benar...."

   Dan wajah yang manis itu kembali nampak khawatir.

   "Jangan.... tinggalkan aku, Suheng!"

   "Nah, aku mau pergi sekarang. Engkau ikut ataukah tidak?"

   Setelah berkata demikian, Hong Bu meninggalkan gadis itu, memasuki kamarnya dan mengambil buntalan pakaiannya. Pek In tidak menjawab, akan tetapi tahu-tahu ia telah mengikuti pemuda itu dan sudah membawa pula buntalan pakaiannya. Wajahnya cemberut, akan tetapi masih manis. Setelah mereka meninggalkan rumah penginapan itu melalui jalan jendela dan melakukan perjalanan cepat, Pek In mengomel,

   "Sungguh memalukan sekali kalau kita harus melarikan diri dari mereka."

   "Sumoi, seorang pendekar bukan saja harus berani dan gagah perkasa, akan tetapi juga harus cerdik. Aku bukan takut kepada mereka, akan tetapi kita harus cerdik. Mereka bertiga itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi sekali. Sebaiknya kalau kita lebih dulu menemui para pendekar patriot yang tentu tidak bersahabat dengan mereka, mengingat mereka itu adalah kaki tangan Kaisar."

   "Huh, jadi engkau hendak mencari teman?"

   "Bukan, hanya hendak mengimbangi mereka kalau-kalau mereka maju mengeroyok."

   Pek In memandang dengan tajam.

   "Aih, bagaimana engkau dapat menduga serendah itu kepada Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Dia dan anak isterinya mendatangi lembah bertiga saja, sama sekali tidak takut akan dikeroyok, karena mereka percaya bahwa seorang pendekar tidak nanti akan berlaku curang! Dan aku pun percaya bahwa Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bukanlah orang yang curang!"

   Hong Bu hanya tersenyum. Tetap saja dia tidak mau mengatakan bahwa tindakannya itu bukan sekali-kali karena takut, melainkan karena dia harus menyelamatkan pedang, jangan sampai terampas utusan Kaisar. Pula, dia pun harus me-lindungi Pek In.

   Bagaimana mungkin dia sekaligus melindungi pedang dan Pek In? Kecuali kalau Pek In sudah berada di tempat aman, misalnya di antara para pendekar patriot itu barulah dia akan merasa lega dan mungkin saja dia malah akan menantang siapa yang berhak memiliki pedang pusaka juga menebus kekalahan gurunya. Tidak sukar bagi mereka untuk mencari Gedung Mawar Kuning itu. Setiap orang tahu di mana adanya gedung tua itu yang kini menjadi sebuah perkumpul-an silat yang bernama perguruan silat Kim-jiauw-eng (Garuda Kuku Emas). Memang gedung ini pernah menjadi pusat perguruan silat yang masih merupakan cabang dari Siauw-lim-pai itu. Gurunya adalah seorang she Ciong yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai dan memang Ilmu Silat Kim-jiauw-eng yang diajarkannya itu masih bersumber pada ilmu silat Siauw-lim-pai.

   Karena itulah, maka ketika ada pergerakan para pendekar patriot, gedung tua yang besar ini dipilih menjadi pusat tempat pertemuan mereka. Gedung itu dikurung pagar tembok yang tingginya hampir tiga meter. Akan tetapi bukan merupakan penghalang yang sulit bagi Hong Bu dan Pek In. Mereka meloncat ke atas pagar tembok itu dan melayang ke sebelah dalam. Akan tetapi begitu kedua kaki mereka turun ke atas tanah, terlihat berkelebatnya bayangan banyak orang dan tahu-tahu mereka telah dikepung oleh belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi! Kiranya gerak-gerik mereka sejak mendekati gedung sampai ketika mereka berdua melompat ke atas pagar tembok telah diketahui oleh para penjaga dan hal ini saja menunjukkan betapa kuatnya penjagaan para pendekar di ternpat itu!

   "Kami bukan musuh!"

   Hong Bu cepat berkata sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat.

   "Kami adalah sahabat-sahabat yang ingin bertemu dengan pimpinan para Enghiong di sini!"

   Tentu saja ucapan itu tidak bisa diterima begitu saja. Dua orang ini masuk secara gelap bukan melalui pintu sebagai tamu, mana bisa mereka mempercayai keterangan itu? Pula, keadaan para pendekar patriot di situ merupakan rahasia, tidak ada yang tahu bahwa tempat itu menjadi sarang mereka. Maka, orang yang datang dan tahu akan hal itu, sungguh merupakan orang yang patut dicurigai.

   "Siapa engkau?"

   Bentak seorang di antara mereka.

   "Namaku Sim Hong Bu, dan ini adalah Cu Pek In...."

   "Aihh, kiranya benar Pek In....!"

   Tiba-tiba terdengar seruan suara wanita dan seorang wanita berkelebat datang dan berdiri di depan Pek In. Tempat itu mendapat penerangan dari obor yang dibawa datang seorang pendekar sehingga mereka dapat saling memandang. Kini Hong Bu dan Pek In segera mengenal wajah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Melihat bibinya, Pek In cepat memberi hormat, diturut pula oleh Hong Bu.

   "Dan ini Hong Bu malah! Ah, masuklah. Kawan-kawan, mereka ini adalah keponakan-keponakanku sendiri!"

   Hong Bu dan Pek In merasa terheran-heran melihat bahwa bibi mereka berada di tempat itu, akan tetapi keheranan mereka lenyap ketika mereka dihadapkan dengan pimpinan para pendekar itu yang ternyata adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap!

   Biarpun di dalam hatinya ada rasa tidak senang, namun Pek In dapat mengerti mengapa bibinya berada di situ. Kiranya bibinya ini telah menyusul bekas kekasihnya, si pendekar perayu wanita itu yang sekarang telah menjadi pimpinan para pendekar patriot! Bu-taihiap girang bukan main menerima Hong Bu dan Pek In. Dia sudah mendengar dari isterinya, yaitu Tang Cun Ciu tentang diri pemuda ini yang katanya merupakan pewaris pedang Koai-liong Po-kiam berikut Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang tiada tandingannya di dunia ini! Maka pemuda itu merupakan tenaga yang amat boleh diandalkan, dan juga dia sudah mendengar tentang Cu Pek In, puteri tunggal dari penghuni Lembah Suling Emas yang kini menjadi Lembah Naga Siluman itu.

   

Jodoh Rajawali Eps 58 Jodoh Rajawali Eps 23 Jodoh Rajawali Eps 56

Cari Blog Ini