Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 6


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Akan tetapi pakaian itu, seperti juga tubuh itu, masih utuh dan sama sekali tidak kelihatan lapuk atau rusak. Yang menarik hati Ci Sian adalah ketika dia melihat kedua tangan mayat itu yang dirangkap di depan dada dan kedua tangan itu dengan jari-jari tangan yang kelihatannya memegang dengan hati-hati dan erat-erat, memegang sebuah boneka kecil, yang kurang lebih dua puluh senti panjangnya. Boneka itu telanjang, dan di tubuh boneka yang putih itu nampak guratan-guratan dan huruf-huruf kecil yang terukir secara aneh. Karena tertariknya dan keadaan mayat dalam es ini, Ci Sian seperti melupakan Kam Hong. Baru setelah dia mendengar pemuda itu mengeluh, dia menengok dan melihat Kam Hong merobek celana kirinya dan membuka kaki yang berdarah itu, dia terkejut dan cepat menghampiri.

   "Eh, kakimu kenapa, Paman?"

   Tanyanya sambil berlutut dan memandang khawatir.

   "Agaknya tulangnya patah, Ci Sian. Biar kubersihkan darahnya.... auhhh...."

   Pemuda itu menggigit bibir menahan nyeri.

   "Biar aku yang membersihkannya, Paman. Engkau canggung benar dan kedua tanganmu takkan mencapai kakimu yang dilonjorkan."

   Ci Sian lalu membersihkan luka itu, mempergunakan saputangannya. Darahnya sudah membeku, dan dengan hati ngeri dia melihat bahwa di atas pergelangan kaki kiri itu kulitnya pecah dan melihat bentuk kaki itu mudah diduga bahwa memang tulangnya patah.

   "Ah, agaknya memang patah tulangnya. Habis bagaimana baiknya, Paman?"

   Kam Hong mengeluarkan buntalan dari balik jubahnya yang robek-robek, membuka buntalan dan mengeluarkan sebuah botol kecil terisi obat bubuk hijau.

   "Ci Sian, aku sendiri tidak mungkin menarik kakiku, maka kau bantulah aku menarik kakiku agar tulangnya yang patah itu dapat bertemu kembali. Lalu kau pergunakan obat penyambung tulang ini, campur dengan salju dan paramkan di sekitar kaki yang patah, kemudian balut dengan kuat-kuat."

   "Baik, Paman."

   Ci Sian, atas petunjuk Kam Hong, lalu mencari enam batang kayu, sepanjang lima belas senti, kayu dari ranting yang cukup kuat, kemudian dia mencampur isi botol itu dengan salju cair dan dia membuat balut dari lapisan baju bulunya yang tebal, kain pembalut yang cukup panjang.

   "Sekarang kau duduklah di depan kakiku, pegang kakiku dengan kedua tangan dan kerahkan tenagamu untuk menarik sekuatnya. Jangan lepaskan sebelum aku beri tanda, dan kalau aku sudah memberi tanda, engkau lepaskan perlahan-lahan agar tulang itu dapat bertemu kembali dengan bagian atas. Mengerti?"

   Ci Sian merasa ngeri, maklum bahwa sastrawan itu sedang menderita nyeri yang amat hebat, maka dia mengangguk dengan yakin sambil menelan ludah. Lalu dia duduk di depan kaki kiri yang patah tulangnya itu, menggunakan kedua tumit kakinya untulk mencari tempat menahan tubuhnya, kemudian dia memegang kaki sastrawan itu di bawah pergelangan kaki.

   "Nah, mulai tarik!"

   Kata Kam Hong yang sudah mengerahkan tenaga untuk menahan kakinya. Ci Sian menarik sekuatnya, sedikit demi sedikit. Dia melakukan ini sambil memandang kaki itu, kemudian dia meng-angkat muka memandang wajah Kam Hong. Hampir dia melepaskan kaki itu ketika melihat betapa wajah sastrawan itu jelas memperlihatkan penderitaan hebat! Sastrawan itu menggigit bibirnya, kedua tangan memegangi paha kaki kiri bertahan, matanya setengah terpejam dan di dahinya timbul keringat, padahal hawanya demikian dingin! Ci Sian mengerahkan tenaga menarik terus sampai terasa olehnya pergelangan kaki yang ditariknya itu mengeluarkan bunyi krek-krek!

   "Le.... pas.... perlahan.... lahan...."

   Terdengar Kam Hong berkata dengan terengah-engah. Ci Sian mengendurkan tenaganya sedikit demi sedikit dan tulang yang patah itu pun dapat bertemu kem-bali.

   "Lekas, beri obat itu.... dan pasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan balut!"

   Ci Sian melakukan semua itu dengan cekatan, terdorong oleh rasa khawatirnya dan rasa kasihan kepada sastrawan ini. Semua obat bubuk hijau yang sudah dicampur dengan salju cair itu diparamkan di seputar luka, kemudian dia memasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan mulai membalut. Atas petunjuk Kam Hong, dia membalut dengan pengerahan tenaga sehingga kaki itu terjepit dan tidak akan berobah lagi letak tulangnya. Setelah selesai, Kam Hong menarik napas lega dan mengusap keringat di dahi dengan ujung jubahnya.

   "Terima kasih.... Ci Sian.... kaki itu akan tersambung kembali tulangnya dalam waktu beberapa hari saja."

   Ci Sian memandang wajah itu. Mereka saling pandang dan Ci Sian melihat wajah itu agak pucat, akan tetapi tersenyum! Baru sekarang dia melihat sastrawan yang biasanya muram itu tersenyum, senyum yang bebas dan wajar, tidak seperti biasanya kalau sastrawan itu tersenyum maka senyumnya itu senyum masam! "Paman Kam, kalau mau bicara ten-tang terima kasih, akulah yang harus berterima kasih kepadamu! Engkau telah menumpuk budi, dan kalau tidak ada engkau, agaknya sudah berkali-kali aku mati!"

   "Mana mungkin orang mati berkali-kali? Dia itu sekali mati sampai seribu tahun tak dapat bangun lagi untuk mati kembali!"

   Kam Hong menuding kepada mayat dalam es itu. Ci Sian cepat menoleh. Baru dia teringat akan mayat yang aneh itu sekarang setelah Kam Hong bicara tentang itu. Segera dia mendekatinya lagi dan memeriksa dengan teliti dari segala jurusan.

   "Dia seperti masih hidup saja, Paman!"

   Teriaknya penuh gairah dan kegembiraan.

   "Sungguh ajaib! Bagaimana mendadak di tempat seperti ini muncul mayat yang kuno ini dalam balok es? Dan boneka di tangannya itu.... sungguh indah sekali....!"

   Kam Hong menjadi tertarik sekali melihat sikap Ci Sian. Dengan menggunakan kekuatan kedua tangannya bertopang pada batu menonjol tertutup salju, dia bangkit berdiri di atas satu kaki. Kebetulan dia berdiri di tempat yang agak tinggi dan sebelum dia menghampiri Ci Sian, tanpa disengajanya dia melihat ke sekeliling tempat itu. Matanya terbelalak dan dia mengeluarkan seruan kaget yang membuat Ci Sian melompat dan menghampirinya, karena gadis ini mengira tentu pendekar itu melihat hal yang lebih aneh lagi daripada mayat dalam balok es itu.

   "Ada apakah, Paman?"

   Tanyanya dengan cemas dan dia sudah memegang lengan Kam Hong sambil melihat pula ke sekeliling. Dan dia pun melihat apa yang membuat pendekar sakti itu terkejut, dan dia sendiri terbelalak.

   "Wah, tempat ini dikelilingi jurang....!"

   Dan gadis tanggung itu lalu melepaskan lengan Kam Hong, berlari-lari untuk memeriksa sekeliling tempat mereka itu.

   "Hati-hati, Ci Sian, jangan sampai jatuh. Awas salju longsor!"

   Kam Hong memperingatkan dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki saja dia pun mengejar untuk melindungi dara itu. Mereka memeriksa sekeliling tempat itu dan memang tempat itu kini merupakan tempat yang terpencil. Akibat longsor hebat itu, tempat ini menjadi terkurung oleh jurang-jurang yang amat curam dan agaknya tidak mungkin dapat dituruni, apalagi dengan sebelah kaki patah tulangnya seperti Kam Hong. Mereka terjebak dalam tempat yang agaknya tidak ada jalan keluarnya!

   "Wah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan, Paman?"

   "Tenanglah, Ci Sian. Andaikata tempat ini tidak terkurung, tetap saja kita tidak dapat melanjutkan perjalanan sebelum tulang kakiku tersambung dan sembuh kembali. Sebaiknya kita mencari tempat untuk tinggal selama beberapa hari ini di sekitar sini."

   "Aku mau melihat mayat aneh itu dan bonekanya!"

   Kata Ci Sian yang dalam waktu singkat sudah dapat melupakan kembali kecemasan dan berlari-larian dia kembali ke tempat di mana mereka menemukan jenazah itu. Mau tidak mau Kam Hong tersenyum. Melakukan perjalanan dengan seorang anak perempuan yang tidak cengeng seperti Ci Sian memang menyenangkan.

   Anak itu tabah dan tidak mudah putus asa, berbakat untuk menjadi seorang pendekar wanita. Maka dia pun segera mengejarnya, karena dia pun tertarik sekali untuk menyelidiki keadaan mayat yang memakai pakaian kuno sekali itu. Baru teringat dia akan suling emasnya. Hatinya gelisah sekali dan dia tidak jadi menghampiri Ci Sian, melainkan mencari-cari sambil berloncatan. Tentu sulingnya itu terlepas ketika dia tertimpa salju dan es-es balokan besar yang longsor dari atas. Tiba-tiba dia melihat sinar menyilaukan di tepi jurang. Cepat dia berloncatan ke sana dan giranglah hatinya karena sinar itu ternyata adalah ujung sulingnya yang tersembul keluar dari timbunan salju! Cepat diambilnya pusaka itu, diperiksanya dan ternyata tidak rusak sama sekali.

   Dengan hati lapang dan girang diselipkannya suling itu ditempat semula, yaitu di balik jubahnya, di ikat pinggang dekat kipasnya. Baru dia menghampiri Ci Sian yang agaknya sedang terpesona oleh jenazah dalam bongkahan es besar itu. Memang jenazah itu aneh sekali. Wajah jenazah itu seperti wajah orang hidup saja, pakaiannya yang masih rapi dan seperti baru. Juga boneka yang dipegang oleh jenazah itu merupakan boneka anak kecil yang montok dan sehat, tersenyum lebar seperti muka yang ramah dan suci dari arca Ji-lai-hud. Melihat jenazah seperti terlantar seperti itu, dan melihat keadaan pakaiannya, model pakaian itu, Kam Hong menaksir bahwa jenazah itu tentu sudah terlantar dan terbungkus es selama sedikitnya seribu tahun, timbul rasa kasihan dalam hati Kam Hong.

   "Kita harus mengubur jenazah itu dengan baik, Ci Sian. Kasihan dia dibiar, kan terlantar seperti itu."

   Akan tetapi Ci Sian seolah-olah tidak mendengar ucapan Kam Hong itu. Begitu asyiknya dia mengamati boneka di tangan mayat itu sehingga dia mendekatkan mukanya sampai hidungnya yang mancung kecil itu menyentuh balok es yang menjadi peti mayat itu. Tiba-tiba dia berseru dan matanya dilebar-lebarkan untuk dapat memandang lebih jelas lagi,

   "Paman, lihat....! Ada tulisannya pada dahi boneka itu!"

   "Ah, benarkah?"

   Kam Hong bertanya dan dia pun mendekat, lalu memandang dengan cermat ke arah boneka. Akhirnya dia berkata,

   "Benar, itu tentu huruf-huruf yang ditulis, akan tetapi terlampau kecil untuk dapat dibaca melalui es ini. Es membuat huruf-huruf itu kabur tak dapat dibaca dari luar."

   "Kalau begitu, apakah Paman tidak dapat memecahkan balok es ini?"

   "Ah, untuk apa, Ci Sian? Kita tidak boleh mengganggu jenazah manusia!"

   "Untuk dapat membaca tulisan itu, Paman. Siapa tahu tulisan itu merupakan pesan untuk kita atau siapa saja yang menemukan jenazah ini!"

   Kam Hong tertarik. Bukan tidak mungkin apa yang diucapkan gadis cilik itu. Kalau tidak mengandung maksud tertentu, mengapa dahi boneka diberi tulisan huruf-huruf amat kecilnya? Dia memandang lagi wajah dan pakaian mayat itu, kemudian dia seperti memperoleh firasat bahwa mayat itu adalah jenazah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maka dia lalu berkata kepada jenazah itu,

   "Locianpwe, harap maafkan teecu yang berani lancang memecahkan balok es. Teecu berjanji akan mengubur jenazah Locianpwe baik-baik."

   Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Kam Hong menaruh telapak tangannya pada balok es itu, mula-mula di atas kedua kaki jenazah. Dia mengerahkan sin-kangnya menekan. Terdengar suara

   "krek, krek"

   Dan balok itu pun pecah di bagian bawah! Ci Sian hampir bersorak.

   "Engkau hebat sekali, Paman!"

   Siauw Hong atau Kam Hong hanya tersenyum, lalu memecah balok es di bagian atas. Terdengar suara agak keras dan balok es itu kini terbelah menjadi dua dan mayat itu pun nampak! Sungguh aneh, tidak ada bau busuk keluar dari mayat itu! Kalau mayat itu tidak sampai rusak selama ribuan atau ratusan tahun, hal itu tidaklah aneh karena mayat itu terbungkus es dan selalu terbenam dalam tempat yang suhunya teramat dinginnya.

   Akan tetapi kalau kulit itu sama sekali tidak rusak dan tidak mengeluarkan bau busuk, hal ini adalah suatu keanehan dan tentu ada rahasia tertentu tersembunyi di balik kenyataan ini, pikir Kam Hong. Dia menduga bahwa tentu sesudah mati mayat ini diberi semacam obat yang luar biasa, yang membuat selain mayat itu tidak rusak selamanya, juga tidak mengeluarkan bau busuk. Setelah peti es itu terbuka dan kini mayat tidak lagi tertutup es, tulisan huruf-huruf kecil di atas dahi boneka itu dapat dibaca, sungguhpun untuk itu Kam Hong dan Ci Sian terpaksa harus mendekatkan mata mereka kepada boneka itu. Tulisan itu bergaya kuno, baik coretannya maupun susunan kalimatnya, akan tetapi agaknya Ci Sian terdidik baik sekali dalam hal sastra, karena ternyata dia mampu juga membaca dan mengerti artinya, membuat Kam Hong merasa kagum juga.

   "Aku mohon agar boneka ini dibakar agar pusaka keramat yang mengandung pelajaran dahsyat ini tidak terjatuh ke dalam tangan orang jahat."

   "Aihh, sungguh sayang sekali kalau boneka ini dibakar!"

   Ci Sian berseru dan memandang kepada wajah jenazah itu seolah-olah jenazah itu seorang yang masih hidup.

   "Kenapa engkau meninggalkan pesan yang demikian aneh dan gila? Kalau memang ingin melenyapkan boneka indah ini, kenapa tidak dulu-dulu kau bakar sendiri?"

   Biarpun ucapan Ci Sian itu keluar dari sifatnya yang keras, bengal dan tidak mau tunduk kepada, siapapun juga, akan tetapi Kam Hong seperti disadarkan akan sesuatu yang memang aneh sekali. Memang ucapan Ci Sian itu benar belaka. Mengapa bersusah payah menulis huruf-huruf kecil di dahi boneka itu kalau memang hendak melenyapkan boneka itu? Kenapa tidak langsung saja dibakar daripada menanti sampai ribuan tahun agar ditemukan orang dan dibakar oleh orang itu? Bukankah langsung saja dibakar jauh lebih mudah daripada membuat tulisaan huruf kecil-kecil itu? Tentu ada rahasianya di balik semua ini.

   "Ci Sian, siapa pun adanya Locianpwe ini, beliau tidak minta kita menemukannya. Biarpun kita juga tidak sengaja mencarinya, akan tetapi kita toh bertemu dengan beliau. Maka ini namanya jodoh. Dan pesanan orang yang sudah mati merupakan perintah keramat yang harus dipenuhi, apalagi Locianpwe ini sampai memohon dan permintaannya itu pun tidak sukar. Mari kita bakar boneka ini seperti yang dipesankan."

   Ci Sian mengerutkan alisnya.

   "Terlalu! Itu namanya mempermainkan perasaan orang! Kenapa boneka yang indah ini dibawa mati, dibiarkan terlihat orang? Membiarkan orang merasa suka lalu menyuruh orang itu membakarnya, sungguh merupakan perbuatan yang kejam sekali. Wah, jenazah orang ini dahulu diwaktu hidupnya tentu membuat banyak dosa, Paman. Sampai sudah ribuan tahun menjadi mayat pun masih melakukan perbuatan kejam! Jangan dibakar saja, Paman, aku ingin melihat dia bisa apa!"

   "Hemm, tidak boleh begitu, Ci Sian. Pesan Locianpwe ini tentu mengandung maksud amat penting. Siapa tahu boneka ini yang disebutnya benda keramat benar-benar mengandung pelajaran yang mujijat dan kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah dunia ini akan menjadi semakin kacau?"

   "Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau bukanlah orang jahat, Paman! Mungkin aku masih layak disebut orang jahat, akan tetapi engkau sama sekali bukan orang jahat! Engkau seorang pendekar yang budiman. Kalau memang boneka ini mengandung pelajaran tinggi, bukankah akan berguna sekali kalau dipelajari olehmu? Memang orang ini mempermainkan dan memperolok orang saja! Pantas dia tersiksa, sampai sudah mati pun tidak dapat sempurna."

   "Hushh, sudahlah Ci Sian. Engkau tidak tahu. Seorang Locianpwe melakukan hal-hal yang aneh bukan tidak mengandung maksud yang tersembunyi. Siapa tahu ilmu yang terkandung dalam boneka itu mempunyai pengaruh dan daya yang aneh sehingga siapa pun yang mempelajarinya akan berobah menjadi tersesat dan jahat. Biarkan aku membakarnya."

   "Sesukamulah!"

   Kata Ci Sian agak marah.

   "Kau bakarlah boneka tak berguna itu. Aku sendiri lebih senang membakar sesuatu yang lebih berguna bagi perutku yang lapar ini."

   Setelah berkata demikian, gadis cilik ini meninggalkan Kam Hong karena dia melihat banyak sekali burung-burung yang berbulu putih dengan kepala hitam beterbangan dan ada yang hinggap di tepi jurang dari tempat yang kini seolah-olah menjadi semacam pulau kecil itu. Pulau yang dikelilingi jurang curam, bukan dikelilingi laut. Matahari telah condong ke barat ketika Kam Hong akhirnya berhasil membuat api. Tidak mudah membuat api di tempat dingin itu. Akan tetapi pendekar ini memang menyimpan batu api, bahan bakar dan dengan mengumpulkan kayu-kayu ranting yang terbawa longsor dan membersihkannya, akhirnya dengan susah payah dapat juga dia membuat api dan membakar boneka itu. Selagi dia membakar boneka itu, Ci Sian datang membawa dua ekor burung yang gemuk. Burung itu bentuknya seperti bebek, besarnya mirip ayam dan setelah dibubuti semua bulunya, tiada bedanya dengan bebek.

   "Seorang seekor, Paman. Paman tentu lapar, bukan?"

   Katanya sambil memandang ke arah boneka yang dibakar itu dengan mulut cemberut.

   "Bukankah lebih berguna membakar bebek-bebek ini?"

   Kam Hong tersenyum.

   "Engkau pandai sekali, Ci Sian. Di tempat seperti ini engkau bisa mencari makanan."

   Kam Hong membakar boneka dan Ci Sian membakar dua ekor burung. Daging burung sudah matang, akan tetapi boneka itu tidak juga hancur! Hanya gosong saja! Padahal pakaian yang dipakai boneka itu sudah hancur sama sekali. Boneka kecil itu kini telanjang, akan tetapi tubuhnya masih utuh!

   "Sungguh ajaib. Boneka apa ini, dibakar tidak rusak?"

   Ci Sian menjadi tertarik dan sambil makan daging burung mereka lalu menambah kayu bakar memperbesar api untuk terus membakar boneka itu sampai hancur.

   Sinar api menciptakan pemandangan yang mentakjubkan. Sinar api itu terpantul oleh bongkahan es yang besar-besar itu, dan timbullah beraneka warna gemilang seperti pelangi di mana-mana. Mereka merasa aneh, seolah-olah mereka berada di dalam dunia lain, atau dalam dunia mimpi anak-anak yang amat luar biasa. Seperti berada di dalam ruangan penuh dengan cermin. Bayangan mereka berdua nampak di mana-mana, akan tetapi bayangan-bayangan itu menjadi aneh bentuknya seperti ada ratusan buah cermin palsu mengelilingi mereka, ada yang membuat mereka menjadi berbentuk gemuk sekali, ada yang membuat mereka menjadi tinggi kurus dengan muka pletat-pletot lucu sekali. Dua ekor burung panggang sudah mereka makan habis, akan tetapi boneka itu masih tetap utuh!

   "Hentikan saja, Paman. Engkau sudah membakarnya sejak tadi. Kakek itu memang agaknya sengaja mempermainkan kita. Lebih baik kita mengaso, sebentar lagi akan gelap. Tadi aku melihat di sebelah sana terdapat sebuah guha yang cukup besar untuk kita berlindung dari angin dan beritirahat."

   Kam Hong mengerutkan alisnya. Walaupun nampaknya benar ucapan Ci Sian itu, akan tetapi dia tidak percaya bahwa orang seperti locianpwe itu sengaja mempermainkan orang dengan bonekanya.

   "Ci Sian, biarlah engkau pergi istirahat dulu di sana. Aku akan melanjutkan membakar boneka ini."

   Dengan marah Ci Siang bangkit berdiri, lalu dia menuding-nuding ke arah mayat yang rebah di atas tanah tertutup salju itu sambil berkata.

   "Awas kau, kalau kau yang menyiksa Paman Kam ini kemudian tidak memberi sesuatu kepadanya sebagai balasan, engkau tentu akan kukutuk habis-habisan!"

   "Ci Sian....!"

   Kam Hong mencela, akan tetapi gadis cilik itu sudah meloncat dan lari meninggalkannya. Kam Hong merasa penasaran sekali dan menghabiskan kayu yang disediakannya tadi untuk membakar boneka itu. Akan tetapi sampai api padam kehabisan bahan bakar, boneka itu tetap utuh saja sedangkan cuaca mulai gelap sekarang.

   "Maaf, Locianpwe. Bukan maksud teecu tidak mau mentaati perintah Locianpwe, akan tetapi
(Lanjut ke Jilid 06)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
agaknya boneka ini memang tidak dapat terbakar."

   Katanya. Dia mengambil boneka yang sudah telanjang karena pakaiannya sudah hancur menjadi abu itu, dan yang gosong kehitaman, meletakkannya kembali ke dalam tangan jenazah yang masih rebah telentang, kemudian sambil berloncatan dengan satu kaki Kam Hong pergi menyusul Ci Sian. Dia harus bersama gadis cilik itu untuk melindungi dan menjaganya. Dia mendapatkan Ci Sian meringkuk di dalam guha, agaknya kedinginan. Melihat bayangan yang dipantulkan oleh sinar terakhir dari matahari yang mulai bersembunyi di balik bukit salju, bayangan Kam Hong berdiri di depan guha. Ci Sian segera menyambutnya dengan pertanyaan.

   "Sudah hancurkah dia?"

   "Belum, sampai apinya padam boneka itu masih tetap utuh."

   "Huh! Lalu kau apakan dia?"

   "Kukembalikan kepada Locianpwe itu."

   "Sudah kukatakan, Paman. Jenazah itu adalah mayat seorang badut dulunya, atau seorang yang memang jahat dan suka mempermainkan orang."

   "Biar besok akan kubakar kembali jenazah itu bersama bonekanya."

   Tidak ada jawaban, akan tetapi Kam Hong mendengar suara Ci Sian kedinginan. Dia lalu memasuki guha dan duduk di dekat gadis yang merebahkan diri miring itu. Dia melihat Ci Sian meringkuk bulat menarik kaki tangannya dan agak menggigil.

   "Kau merasa kedinginan?"

   "Tentu saja.... uhhh.... Paman, bagaimana kalau kita tidak dapat keluar dari sini? Kalau begini terus aku akan menjadi seperti badut itu!"

   Ci Sian menggigil.

   "Sayang aku tidak dapat memikirkan sesuatu yang baik untuk meninggalkan permainan seperti dia untuk mempermainkan orang!"

   "Hushh, jangan bicara seperti itu, Ci Sian. Nah, duduklah bersila, aku akan membuat tubuhmu hangat. Dan mulai sekarang engkau harus menurut petunjukku, aku akan mengajarmu bagaimana untuk mengerahkan hawa murni di dalam tubuh agar dapat melawan dingin."

   Ci Sian menjadi girang sekali dan dengan taat dia lalu bangkit duduk dan bersila. Kam Hong juga duduk bersila, dengan hati-hati menggerakkan kakinya yang patah tulangnya, kemudian dia me-nempelkan telapak tangan kanannya di atas punggung gadis cilik itu.

   "Dengarkan baik-baik."

   Bisiknya.

   "engkau sudah diajari mendiang Kakekmu tentang jalan darah, nah, kalau aku menyebutkan jalan darah tertentu, engkau harus mencoba untuk membuka jalan darah itu dengan mengerahkan tenaga dari hawa murni dalam tubuhmu. Aku akan mendorongnya dengan tenagaku...."

   Tak lama kemudian Ci Sian merasa ada hawa yang amat kuat dan hangat masuk melalui punggungnya.

   Dia menjadi girang sekali dan dengan tekun dia mempelajari ilmu ini, mendengarkan petunjuk-petunjuk dari Kam Hong dan akhirnya dia dapat membuat tubuhnya menjadi hangat, sama sekali tidak lagi menderita oleh serangan hawa dingin dari luar tubuhnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Sian sudah keluar dari guha. Kam Hong masih duduk bersamadhi setengah tidur. Pendekar itu tidak tahu berapa lama Ci Sian pergi, akan tetapi ketika dia sudah bangun, dia melihat Ci Sian sudah membuat api unggun dan dara itu sedang membakar atau memanggang sesuatu yang sedap baunya. Kiranya Ci Sian sudah pandai membuat api dengan batu api dan bahan bakarnya, dan ketika Kam Hong mendekat, ternyata gadis cilik itu sedang memanggang daging, entah daging apa!

   "Heii, darimana engkau memperoleh daging itu? Daging apakah itu?"

   Ci Sian tertawa dan mengangkat kulit yang berbulu putih ke atas.

   "Entah binatang apa, macamnya seperti kelinci, gemuk sekali, Paman dan baunya sedap, ya?"

   Melihat kulit berbulu putih itu, Kam Hong menahan ketawanya dan tidak mau memberitahu kepada Ci Sian bahwa yang sedang dipanggangnya itu adalah daging tikus salju! Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, daging tikus pun baik saja untuk pengisi perut, daripada kelaparan.

   "Paman, aneh sekali. Ketika tadi aku lewat di dekat jenazah itu dan melihat boneka hangus itu, ternyata pada tubuh boneka itu pun ada huruf-hurufnya."

   "Eh....? Apa bunyinya?"

   "Entah aku tidak membacanya. Aku tahu pasti huruf-huruf itu merupakan siasat baru dari badut itu untuk mempermainkan kita. Aku lebih tertarik mengejar kelinci ini daripada membaca tulisan tiada gunanya itu."

   Malam tadi Kam Hong memang sudah amat tertarik untuk mencari tahu rahasia dari jenazah itu. Dia tidak percaya akan kelakar Ci Sian bahwa jenazah itu dahulunya adalah seorang badut yang sengaja hendak meninggalkan lelucon untuk mempermainkan orang lain. Tentu ada rahasia yang tersembunyi, terkandung dalam semua pesan yang ditinggalkan oleh jenazah itu.

   Apakah dia yang keliru mengartikan pesan itu? Ah, tidak mungkin. Kalimat-kalimat pada dahi boneka itu tidak bisa diartikan lain. Mungkin orang lain akan merasa sayang kepada boneka itu. Ci Sian tidak rela boneka itu dibakar, akan tetapi anak perempuan itu hanya menyayangkan keindahan boneka itu saja, merasa sayang bahwa benda mainan yang demikian bagusnya dibakar! Akan tetapi orang lain, terutama orang-orang kang-ouw, setelah melihat tulisan itu yang menyebutkan bahwa boneka itu merupakan benda keramat yang mengandung pelajaran dahsyat, pasti akan menyimpannya dan berusaha untuk mencari rahasia pelajaran dahsyat itu. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal seperti itu. Dia adalah keturunan Suling Emas, dan dia sendiri sudah memiliki kepandaian peninggalan nenek moyangnya yang tinggi dan hebat, perlu apa dia menginginkan kepandaian lain?

   Juga, dia tidak sudi melanggar pesan orang yang sudah mati. Kini, mendengar bahwa boneka yang dibakar sekian lamanya tetap utuh itu ada huruf-hurufnya, Kam Hong menjadi tertarik sekali. Tanpa berkata apa pun dia lalu meninggalkan Ci Sian yang masih sibuk memanggang daging "kelinci"

   Sambil mengomel karena di situ tidak terdapat bumbu masak, dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki, Kam Hong menuju ke tempat jenazah itu. Dia melihat jenazah itu masih rebah telentang seperti malam tadi, boneka itu masih terletak di atas dadanya, di antara tangannya seperti yang dia letakkan semalam, lalu dia mengamati boneka yang gosong itu. Benar! Ada huruf-huruf pada tubuh boneka itu! Agaknya huruf-huruf itu timbul setelah boneka itu terbakar! Sungguh aneh akan tetapi nyata!

   Dia tahu benar bahwa ketika dia membakar boneka itu, tidak terdapat huruf apa pun pada tubuh boneka, kecuali pada dahinya itu. Cepat dia mengambil boneka gosong itu dan membersihkan angus dari tubuh boneka yang masih utuh. Bukan main girang hatinya ketika dia melihat bahwa huruf-huruf yang timbul setelah boneka dibakar itu merupakan kalimat yang urut dan dapat dibaca dengan mudah. Dia membersihkan seluruh tubuh boneka, kemudian mulai membaca dengan jantung berdebar tegang dan tertarik sekali. Makin lama, sepasang matanya makin terbelalak, mukanya pucat dan tangan yang memegang boneka itu menggigil. Lalu dia menggoyang-goyang kepala dan mengejap-ngejapkan kedua matanya seolah-olah tidak percaya akan apa yang dibacanya, lalu dibacanya lagi huruf-huruf yang tersusun rapi dari atas ke bawah di tubuh boneka itu.

   "Mau membakar boneka pertanda jujur dan tidak tamak akan pusaka orang lain. Berarti berjodoh untuk mewarisi ilmu-ilmuku. Fa Sian sendiri pun tidak berhasil membujukku menyerahkan ilmu ini, kecuali hanya suling emas buatanku. Akan tetapi suling itu tanpa ilmu sejati, apa artinya? Muridku, rendamlah boneka itu dalam air, dan pergunakan airnya untuk memandikan jenazahku. Kemudian, pelajari semua ilmu yang ada padaku dengan hati yang bersih. Tunggui aku selama tiga hari tiga malam, baru boleh engkau menguburku. Mulai saat ini engkaulah muridku dan ahli warisku. SULING EMAS"

   Dapat dibayangkan mengapa Kam Hong menjadi terbelalak lalu bengong seperti orang kehilangan ingatan saking bengong, heran dan kagetnya. Jenazah yang meninggalkan pesan itu menamakan dirinya sendiri Suling Emas! Padahal, bukankah Suling Emas itu adalah Pendekar Suling Emas bernama Kam Bu Song yang merupakan nenek moyangnya? Apakah.... apakah jenazah ini jenazah nenek moyangnya itu, jenazah Suling Emas Kam Bu Song? Ah, tidak bisa jadi! Nenek moyangnya itu meninggal dunia di utara, bukan di Pegunungan Himalaya. Dan pula, tulisan itu menyebutkan bahwa penulisnya yang bernama Suling Emas itu hidup di jaman Pendeta Fa Sian yang amat sakti itu hidup pada jaman sesudah Dinasti Cin atau pada kurang lebih tahun empat ratus, jadi sudah seribu empat ratus tahun kurang lebih. Sedangkan nenek moyangnya itu, Pendekar Suling Emas Kam Bu Song hidup dalam tahun sembilan ratus lebih.

   Jadi ada selisih lima ratus tahunan antara penulis surat ini dan nenek moyangnya yang berjuluk Suling Emas itu. Penulis atau jenazah ini jauh lebih tua. Akan tetapi, jenazah ini menyebut-nyebut tentang suling emas. Suling emas yang dikatakan buatannya itu diberikan kepada Pendeta Fa Sian yang masyhur itu, pendeta yang amat sakti dan yang terkenal menjelajah sampai jauh ke luar Cina. Pendeta Fa Sian ini terkenal di seluruh dunia karena dia telah mencatat semua perjalanannya sehingga catatannya itu merupakan catatan sejarah yang amat penting. Ada, hubungan apakah antara jenazah ini dengan nenek moyangnya, Kam Bu Song? Dan ada hubungan apakah antara suling emas buatan jenazah ini yang diberikan kepada Pendeta Fa Sian itu dengan suling emas peninggalan nenek moyangnya yang kini terselip di ikat pinggangnya? Sampai bagaimanapun juga, Kam Hong tidak mungkin dapat menyelidiki pesoalan itu tanpa bahan-bahan.

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tidak ada hal yang lebih ajaib daripada hal yang telah terjadi secara "kebetulan". Dia tidak tahu bahwa memang suling emas yang berada di pinggangnya itu adalah buatan jenazah inilah! Kurang lebih seribu empat ratus tahun yang lalu! Dan memang pencipta ilmu-ilmu suling emas yang sejati adalah kakek yang kini membujur di depannya sebagai jenazah ini. Entah sudah berpindah tangan berapa puluh kali ketika suling emas itu terjatuh ke dalam tangan pendekar Kam Bu Song. Seperti dapat dibaca dalam cerita SULING EMAS, pendekar Kam Bu Song memperoleh suling itu di Pulau Pek-coa-to, dari tangan sastrawan terkenal Ciu Bun dan juga memperoleh kitab terisi sajak-sajak yang menjadi pelengkap suling emas itu dari tangan sastrawan besar Ciu Gwan Liong adik sastrawan Ciu Bun itu. Dan kedua orang sastrawan besar she Ciu ini menerima kitab sajak dan suling emas itu dari seorang tokoh manusia sakti yang dianggap dewa, yaitu Bu Kek Siansu!

   Mungkin saja Bu Kek Siansu menerima suling emas itu dari orang lain, ataukah dari Pendeta Fa Sian sendiri? Tidak ada yang mengetahui karena memang apa pun boleh saja dan mungkin saja terjadi pada dua orang tokoh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu, yaitu Pendeta Fa Sian dan Bu Kek Siansu! Kakek pembuat suling emas itu telah lenyap dari dunia selama seribu empat ratus tahun, dan kini secara kebetulan yang amat aneh sekali, kakek itu, dengan jasad yang masih utuh, telah berhadapan dengan ahli waris suling emas buatannya itu, ahli waris yang terakhir dan yang memegang suling emas itu! Bagaikan orang yang kehilangan ingatan Kam Hong masih memegangi boneka itu dan entah sudah berapa kall dia membaca tulisan itu, ketika Ci Sian datang membawa panggang daging.

   "kelinci"nya dengan wajah berseri.

   "Paman, sarapan dulu! Eh, mengapa engkau melamun? Lelucon apa lagi yang ditulis oleh badut kuno itu?"

   Suara bening merdu ini menyeret Kam Hong kembali ke alam kenyataan. Dia menoleh, tersenyum dan menaruh kembali boneka gosong itu ke atas dada jenazah, lalu menghampiri Ci Sian sambil berkata.

   "Ada perintah baru dari Locianpwe ini. Baiklah kita sarapan, dan akan kuceritakan kepadamu suatu keanehan yang benar-benar ajaib sekali, Ci Sian."

   Mereka lalu makan panggang daging tikus salju itu yang terasa sedap karena memang di situ tidak ada apa-apa lagi untuk dijadikan perbandingan. Setelah makan dan minum air cairan es, dan mencuci tangan, barulah Kam Hong menceritakan tentang tulisan pada boneka gosong itu. Ci Sian mendengarkan dengan ragu-ragu karena dia sudah curiga saja kalau-kalau pamannya ini akan menjadi korban lelucon permainan yang ditinggalkan oleh jenazah badut itu! Akan tetapi ketika dia mendengar tentang suling emas, membuat dia mengerutkan alisnya dan terheran-heran.

   "Suling Emas? Paman Kam, bukankah engkau juga memiliki suling emas itu?"

   Kam Hong mengangguk dan mencabut sulingnya. Nampak sinar keemasan berkilat dan pendekar ini. mengangkat sulingnya ke atas.

   "Bukan hanya memiliki suling pusaka ini, Ci Sian, bahkan kepadamu aku tidak perlu merahasia-kan bahwa aku adalah keturunan terakhir dari Pendekar Sakti Suling Emas"

   "Ahhh....!" "Kenapa?"

   "Aku pernah mendengar dari mendiang Kong-kong, kiraku hanya nama dalam dongeng saja...."

   "Bukan dongeng, Ci Sian. Pendekar Suling Emas bernama Kam Bu Song dan menjadi nenek moyangku. Maka dapat kau mengerti betapa anehnya penemuan ini! Locianpwe ini, seperti dapat kita baca pada pesanannya, memakai nama Suling Emas dan bahkan mengaku dialah pembuat suling emas! Membuat aku berpikir-pikir apakah hubungan Locianpwe ini dengan nenek moyangku? Dan apakah suling emas buatannya yang dimaksudkan ini adalah suling yang kini menjadi milikku ini?"

   Ci Sian yang merasa tertarik sekali ikut pula membaca huruf-huruf pada tubuh boneka itu, yang kembali dibaca oleh Kam Hong untuk ke sekian kalinya. Setelah ikut membaca, Ci Sian berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh, tidak lagi memandang rendah kepada jenazah itu.

   "Paman, mengapa tidak kau taati perintahnya? Ternyata dia tidak main-main! Mungkin suling emas yang diberikan olehnya kepada Pendeta Fa Sian itulah yang terjatuh ke tangan nenek moyangmu dan kini menjadi milikmu. Akan tetapi ilmu yang disebut-sebutnya itu, sepatutnya kau pelajari. Sekarang engkau telah menjadi murid dari Locianpwe ini, Paman! Engkau memang berjodoh dengan dia. Buktinya, engkaulah yang berkeras hendak membakar boneka itu. Kalau aku, aku tadinya merasa sayang, dan kalau menurut aku tentu boneka itu tidak akan pernah kubakar."

   Kam Hong mengangguk.

   "Memang benar ucapanmu, Ci Sian. Aku juga hendak mentaati perintahnya."

   Kam Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan jenazah yang rebah telentang itu, kemudian berkata,

   "Teecu Kam Hong, hendak melaksanakan perintah Locianpwe, harap Locianpwe memberi berkah."

   Setelah memberi hormat, dia lalu merendam boneka gosong itu dalam air. Kemudian, air rendaman itu dipergunakan untuk memandikan jenazah. Ci Sian yang merasa agak ngeri dan jijik, menjauh. Apalagi karena dia mengerti bahwa dia adalah "orang luar"

   Dan tidak berhak ikut-ikut. Setelah memandikan jenazah itu dan membereskan kembali pakaian jenazah itu, Kam Hong berpendapat bahwa tidak baik membiarkan jenazah itu di tempat terbuka, maka dia lalu memondong jenazah itu dan dibawanya masuk ke dalam guha lebih kecil yang berada di sebelah kanan guha tempat dia dan Ci Sian bermalam. Guha ini juga diliputi es dan salju, jadi merupakan "peti"

   Es yang lebih besar lagi.

   "Ci Sian, aku harus mentaati perintah Locianpwe ini yang aku percaya adalah pembuat suling emas ini, sehingga dengan demikian agaknya beliau ini malah merupakan pencipta suling emas dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan pusaka itu. Maka beliau ini terhitung nenek moyang perguruanku yang pertama! Maka, harap kau tidak mengganggu selama tiga hari tiga malam ini, karena aku hendak menjaganya seperti yang diperintahkannya itu."

   Ci Sian mengerutkan alisnya, agak cemberut karena dia merasa betapa beratnya kalau dia selama tiga hari tiga malam harus sendirian saja, akan tetapi dia pun sudah membaca sendiri pesan itu maka dia mengangguk dan berkata,

   "Baiklah, Paman. Itu urusan keluargamu. Aku akan menangkap burung, kelinci dan mencoba-coba untuk mencari jalan keluar dari tempat ini."

   "Akan tetapi hati-hatilah, Ci Sian. Dan engkau berteriaklah kalau terjadi sesuatu. Biarpun aku sedang menjaga jenazah, kalau engkau terancam sesuatu tentu aku akan datang menolongmu."

   Lenyaplah rasa tidak enak di dalam hati Ci Sian. Dia kini tidak cemberut lagi, bahkan tersenyum manis sekali. Baru dari ucapan itu saja dia sudah maklum bahwa sebetulnya, pada dasarnya, Kam Hong masih lebih sayang kepadanya daripada kepada mayat itu!

   "Bagaimana dengan makan dan minummu selama tiga hari itu, Paman?"
Kam Hong tersenyum.

   "Kalau engkau memperoleh sesuatu, taruh saja bagianku di dekatku tanpa bicara. Kalau aku lapar atau haus tentu akan kumakan dan kuminum."

   "Baik, Paman."

   Kata Ci Sian lalu dia pergi meninggalkan Kam Hong yang duduk bersila seorang diri di dekat jenazah. Setelah dia memandikan mayat itu, dia tadinya mengira tentu akan timbul petunjuk baru. Akan tetapi ternyata tidak terjadi apa-apa sehingga dia merasa heran. Pikirannya dikerahkan untuk menduga-duga, di mana kiranya mayat ini menyimpan ilmunya yang katanya dalam pesan terakhir itu agar dipelajarinya dengan hati bersih.

   Apakah tersembunyi di dalam tubuhnya? Akan tetapi, ketika memandikan tubuh itu, dia tidak melihat sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk. Kini, untuk menggeledah badan mayat itu, dia merasa tidak berani karena betapapun juga, dia mempunyai perasaan menghormat terhadap jenazah orang yang selain telah mengangkatnya sebagai murid, juga diduganya merupakan nenek moyang perguruan Suling Emas itu. Dia tahu bahwa keadaan jenazah ini memang penuh rahasia, dan agaknya pengasuhnya sendiri, Sin-siauw Seng-jin, yang merupakan keturunan pengasuh kepercayaan nenek moyangnya dan bahkan yang menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu nenek moyangnya yang kemudian diturunkan kepadanya, agaknya juga tidak akan dapat memecahkan rahasia jenazah ini.

   Sampai tiga hari tiga malam lamanya Kam Hong menjaga jenazah itu, tepat seperti yang diperintah-kan oleh tulisan jenazah itu pada boneka. Selama tiga hari tiga malam itu, dia sama sekali tidak pernah makan panggang daging yang setiap hari dihidangkan oleh Ci Sian. Bukankah jenazah itu memesan agar dia mempelajari ilmu-ilmunya dengan hati yang bersih? Dan untuk menjaga agar Ci Sian tidak kecewa atau menyesal, Kam Hong mengubur panggang daging itu di bawah salju, seolah-olah dia telah menghabiskan semua hidangan gadis itu. Pada hari ke empat, dia sudah merasa sangat yakin bahwa jenazah itu memang tidak meninggalkan suatu petunjuk apa pun, maka dia mengambil keputusan untuk menguburnya. Pagi hari ia berlutut didekat tubuh yang rebah telentang itu sambil berkata.

   "Locianpwe, teecu telah memenuhi perintah Locianpwe, perkenankan hari ini teecu mengubur jenazah...."

   Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat sesuatu pada kuku-kuku jari tangan yang terletak di atas dada memegang boneka gosong itu. Pada kuku-kuku itu nampak ada huruf-hurufnya! Padahal pada hari-hari sebelumnya huruf-huruf itu belum ada! Hal ini dia ketahui benar karena dia sudah memeriksa seluruh bagian tubuh yang nampak, dan ketika dia memandikan jenazah itu pun dia melihat bahwa pada kuku yang panjang terpelihara itu tidak ada apa-apanya. Bagaimana kini dapat timbul huruf-huruf itu? Akan tetapi pikirannya yang cerdas itu segera dapat menangkap rahasianya. Tentu huruf-huruf itu ditulis oleh tinta istimewa yang baru timbul setelah tiga hari sesudah dicuci dengan air rendaman boneka gosong itu! Cepat diteliti dan dibacanya huruf-huruf itu dari kuku ibu jari sampai kuku kelingking.

   "Muridku, salurkan tenaga "Yang"

   Ke badanku agar aku tidak kedinginan."

   Sungguh aneh, pikir Kam Hong. Mana mungkin jenazah merasa kedi-nginan? Memang aneh-aneh saja pesan dari jenazah ini, dan pantaslah kalau Ci Sian menganggapnya seorang badut yang suka mempermainkan orang, biar sudah mati sekalipun. Akan tetapi, karena ada rasa hormat yang mendalam terhadap jenazah itu, Kam Hong tidak merasa ragu-ragu lagi. Dia meletakkan kedua tangannya ke atas dada jenazah itu, kemudian dia mengerahkan tenaga "Yang"

   Yaitu tenaga sin-kang yang mendatangkan hawa panas dan disalurkannya ke dalam tubuh itu melalui dada. Tubuh jenazah yang tadinya dingin itu perlahan-lahan menjadi hangat, makin lama menjadi semakin panas.

   Pada saat itu, Ci Sian datang membawa hidangan panggang daging burung seperti biasanya. Karena sekarang sudah hari ke empat, maka dia pun berani memasuki guha mendekati Kam Hong, terheran-heran melihat betapa Kam Hong mengerahkan sin-kang disalurkan kepada tubuh jenazah itu. Apa yang hendak dilakukan oleh pendekar ini? Dia merasa heran dan juga ngeri. Bagaimana kalau mayat itu tiba-tiba dapat bangkit dan hidup kembali? Meremang bulu tengkuknya memikirkan kemungkinan yang tak masuk akal ini. Akan tetapi mengapa Kam Hong mengerahkan sin-kang sampai tubuhnya gemetaran ke dalam tubuh mayat itu. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang membuat menjerit.

   "Heiii! Ada huruf-huruf timbul di punggung tangannya!"

   Kam Hong juga melihat hal itu dan dia menjadi terkejut.

   Tentu saja dia menghentikan pengerahan sin-kangnya dan sempat membaca sedikit tulisan pada punggung lengan tangan itu yang ternyata berisi catatan-catatan pelajaran ilmu yang aneh. Akan tetapi, baru sedikit dia membaca, huruf-huruf itu sudah memudar dan lenyap kembali. Padahal tadi amat jelas, yaitu ketika dia masih mengerahkan sin-kangnya. Maka dicobanya lagi. Begitu dia mengerahkan tenaga "Yang", huruf-huruf itu timbul kembali dengan jelasnya. Mengertilah kini Kam Hong. Dia lalu membuka jubah jenazah itu setelah memberi hormat, dan begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, maka pada dada, perut, dan lengan jenazah itu terdapat huruf-huruf yang disusun rapi, dimulai dari dada dekat leher terus me-nurun. Akan tetapi, untuk mengerahkan sin-kang sambil mempelajari huruf-huruf itu sungguh merupakan hal yang tidak mungkin. Maka dia lalu mencari akal.

   "Ci Sian, engkau harus membantuku. Tanpa bekerja sama, tidak mungkin aku dapat mempelajari ilmu yang diwariskan oleh Locianpwe ini. Dan memang sesungguhnya beliau adalah nenek moyang perguruanku, pembuat suling emas ini."

   "Bagaimana engkau bisa tahu, Paman?"

   "Lihat, sedikit tulisan yang sampai kubaca tadi menyebutkan tentang pelajaran meniup suling!"

   "Wah, untuk apa pelajaran meniup suling, Paman?"

   "Aku ingin mempelajarinya. Maukah engkau membantuku, Ci Sian?"

   "Tentu saja. Akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu?"

   "Aku akan mengerahkan sin-kang dan ketika huruf-huruf itu timbul, engkau mencatatnya dari permulaan dekat leher ke bawah."

   "Hemm, dengan apa aku harus menulis? Tidak ada alat tulis...."

   Akan tetapi dia menghentikan kata-katanya karena dari balik jubahnya Kam Hong mengeluarkan alat tulis berikut tinta keringnya.

   "Kau kira aku berpakaian sastrawan hanya untuk aksi saja? Aku selalu membawa alat tulis ke mana pun aku pergi. Dan engkau dapat menuliskannya di sini."

   Kam Hong merobek sebagian dari baju dalamnya dan menyerahkan baju dalam berwarna kuning muda itu kepada Ci Sian. Ci Sian menggosok bak (tinta kering) dan mempersiapkan alat tulisnya. Kemudian mulailah mereka bekerja sama, Kam Hong menyalurkan sin-kangnya ke dalam tubuh jenazah itu dan Ci Sian mencatat semua huruf yang timbul.

   Ternyata huruf-huruf itu memang aneh sekali. Makin kuat Kam Hong mengerahkan sin-kangnya, makin jelas pula huruf-huruf itu timbul, akan tetapi begitu Kam Hong mengurangi tenaganya, maka huruf-huruf itu pun menyuram! Mereka bekerja sama dengan tekun. Akan tetapi, sering kali mereka terpaksa harus berhenti, karena Kam Hong harus beristirahat dulu untuk mengumpulkan tenaga yang terus-menerus dikerahkan itu. Sampai tiga hari lamanya barulah habis semua tulisan yang terdapat pada dada, perut dan dengan itu ditulis Ci Sian. Ternyata di bagian punggung tidak terdapat tulisan, dan tulisan itu terus menurun sampai ke pusar dan bawah pusar! Akan tetapi, ketika mereka sudah mengutip tulisan itu sampai ke pusar, Kam Hong maupun Ci Sian tidak melanjutkan lebih ke bawah lagi.

   "Paman, kalau engkau hendak membuka celana itu aku tidak mau melanjutkan dan biar kau tulis saja sendiri!"

   Katanya.

   "Ah, aku pun tidak mau melakukan hal itu, Ci Sian. Aku menghormati Guruku, tidak mungkin akan melakukan hal tidak sopan terhadap beliau, biar diupah pelajaran yang bagaimana hebat sekalipun."

   Maka berhentilah mereka.

   Kam Hong yang kelelahan itu lalu bersamadhi mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaga sin-kangnya yang selama tiga hari ini terus-menerus dikerahkannya itu, sedangkan Ci Sian lalu menyusun tulisannya itu agar teratur. Kalau saja keduanya tahu bahwa sikap mereka yang sopan terhadap jenazah itu ternyata malah menyelamatkan mereka, atau setidaknya menyelamatkan Kam Hong! Kiranya, locianpwe yang luar biasa saktinya itu, memang sebelum mati telah memperhitungkan segala-galanya. Di dalam tempat-tempat terlarang itu memang ada dibuatnya tulisan-tulisan, akan tetapi tulisan-tulisan di tempat terlarang ini mengandung pelajaran-pelajaran menyesatkan yang hanya dapat menyeret orang yang mempelajarinya ke jurang kesesatan! Jadi locianpwe itu telah memperhitungkan dengan cermat sekali,

   Memberi ganjaran kepada penemu mayatnya yang berwatak baik, sebaliknya memberi hukuman kepada penemu mayatnya yang berwatak buruk! Hanya orang-orang kurang menghormat, tidak sopan dan serakah akan ilmu sajalah yang akan membuka celana untuk menuliskan huruf-huruf di bagian tubuh yang terlarang itu! Setelah tenaga sin-kangnya pulih kembali, mulailah Kam Hong membaca catatan-catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu. Memang kurang tersusun baik, akan tetapi akhirnya Kam Hong dapat menyusunnya kembali dan dia menjadi girang sekali. Ternyata catatan-catatan itu mengandung dua macam pelajaran. Pelajaran pertama adalah pelajaran meniup suling! Akan tetapi bukan sembarangan meniup suling, melainkan meniup suling dengan mempergunakan khi-kang dan sin-kang yang amat aneh dan tinggi.

   Menurut catatan itu, kalau orang berhasil mempelajari cara meniup suling menurut pelajaran ini, dia akan dapat meniup suling yang semua lubangnya ditutup, dimulai satu demi satu, sampai akhirnya bahkan dia akan mampu meniup suling tanpa suling! Memang aneh dan gila! Akan tetapi bukan tidak mungkin. Kalau tingkat khi-kang dan sin-kang yang dimiliki sudah setinggi itu, dia akan mampu mengeluarkan hawa tiupan melalui tenggorokkannya sendiri tanpa suling dan akan dapat mengeluarkan bunyi seindah suara suling yang berlagu! Dan kalau sudah setinggi ini tingkatnya, kiranya di dunia ini akan jarang sekali terdapat orang yang akan mampu menandingi sin-kang dan khi-kangnya, dan pantaslah disebut Pendekar Suling Emas yang sejati! Pelajaran ke dua mengandung pelajaran gerakan ilmu pedang yang hanya terdiri dari delapan belas jurus.

   Ilmu pedang ini tidak begitu baik kalau dimainkan dengan pedang, melainkan baru tepat kalau dimainkan dengan suling emas! Dan namanya adalah Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)! Giranglah hati Kam Hong dan sambil menanti sembuhnya tulang kakinya yang patah, mulailah dia berlatih meniup suling! Kadang-kadang Ci Sian mentertawakan pendekar ini. Kalau meniup suling dengan cara biasa, pendekar ini mampu meniup lagu-lagu indah yang mempesona. Bahkan Ci Sian sendiri menjadi kagum mendengarnya. Akan tetapi kini dia belajar meniup. seperti seorang anak kecil yang belum pandai meniup suling. Suaranya tidak karuan. Tentu saja demikian karena dia meniup dengan menurut pelajaran dalam catatan itu, yaitu setiap lubang harus dapat dipergunakan untuk meniupkan suara bermacam-macam not!

   Dan untuk menguasai ini tidaklah mudah, karena dia harus dapat mengatur tenaga khi-kang sedemikian rupa sehingga sesuai benar dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menciptakan not itu. Mulailah Kam Hong belajar dengan amat tekunnya, Ci Sian sendiri yang menjadi pencatat dari ilmu-ilmu itu sama sekali tidak mengerti, karena dasar ilmu silatnya masih terlampau rendah kalau harus mengerti ilmu-ilmu yang amat tinggi itu. Ci Sian, kadang-kadang dibantu oleh Kam Hong yang sudah mulai dapat menggunakan kakinya yang patah tulangnya, akan tetapi terpincang-pincang, sering kali mencari-cari jalan keluar, namun mereka terpaksa harus melihat kenyataan bahwa tempat itu benar-benar dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam sekali sehingga seolah-olah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk keluar dari tempat itu. Ci Sian hampir menangis melihat kenyataan ini.

   "Haruskah kita hidup terus di sini sampai mati menjadi orang-orang terasing di tempat dingin ini?"

   Keluhnya.

   "Sabarlah, Ci Sian. Tunggu sampai kakiku sembuh sama sekali. Aku akan mencari jalan keluar dan aku akan menuruni jurang itu untuk memeriksa kemungkinan keluar dari tempat ini. Jangan khawatir. Sementara ini, untungnya di sini engkau bisa mendapatkan burung dan.... eh, kelinci itu untuk makan, bukan?"

   "Aih, bosan aku! Setiap hari makan daging burung dan kelinci tanpa bumbu! Lama-lama kita bisa berubah menjadi binatang buas!"

   Betapapun juga, Ci Sian bukanlah seorang anak perempuan cengeng yang suka mengeluh. Dia sudah menjadi lincah gembira kembali dan dia pun membuang waktu luangnya untuk berlatih ilmu silat atas petunjuk dari Kam Hong sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat.

   Kita tinggalkan dulu dua orang anak manusia yang terpencil di tempat sunyi dan dingin itu dan mari kita mengikuti perjalanan Sim Hong Bu dan pamannya Sim Tek. Seperti telah kita ketahui, dua orang paman dan keponakan yang merupakan pemburu-pemburu yang gagah perkasa ini telah menolong Ci Sian akan tetapi sebaliknya mereka malah terancam bahaya maut dan baru selamat setelah Kam Hong turun tangan. Mereka berdua kagum bukan main menyaksikan kelihaian pendekar yang memegang kipas dan suling emas itu, dan diam-diam Sim Hong Bu merasa kecewa dan bahwa dia tidak dapat berkenalan lebih jauh dengan gadis cilik yang pemberani dan dengan pendekar yang demikian perkasa. Dua orang pemburu ini melanjutkan perjalanan dan ketika mereka melihat adanya banyak mayat berserakan di mana-mana dalam keadaan terluka parah dan mengerikan, timbul keraguan dalam hati Sim Hong Bu yang biasanya tabah itu.

   "Paman, di mana-mana terdapat bekas amukan binatang buas seperti yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Kalau benar ini semua perbuatan Yeti seperti yang dikabarkan orang selama ini, sungguh amat berbahaya sekali kalau kita bertemu dengan dia. Perlukah perjalanan ini dilanjutkan?"

   Tanyanya sambil membantu pamannya mengubur setiap mayat yang mereka temukan di jalan.

   "Hong Bu, engkau tentu mengerti dan dapat merasakan desir darah dan tuntutan hati seorang pemburu! Setelah melihat seekor binatang yang begini buasnya, yang bukan hanya amat menarik akan tetapi juga telah membunuh banyak manusia, bagaimana mungkin kita dapat kembali sebelum berusaha menangkap atau membunuhnya!"

   "Aku mengerti, Paman, akan tetapi yang kita buru sekali ini adalah mahluk yang luar biasa kuat dan kejamnya melebihi setan! Mana mungkin kita akan mampu menangkapnya apalagi membunuhnya kalau sekian banyaknya orang kang-ouw saja juga tidak mampu, bahkan menjadi korban dan mati konyol di bawah kebuasannya?"

   "Kalau tidak mungkin menangkap atau membunuh, baru melihatnya saja pun sudah merupakan suatu kebanggaan besar bagi seorang pemburu sejati! Pemburu manakah di dunia ini yang sudah dapat melihat, bertemu dan berhadapan muka dengan Yeti? Belum ada, dan aku mengharapkan untuk menjadi pemburu pertama yang mengalaminya!"

   Hong Bu tidak membantah lagi. Dia dapat merasakan hasrat itu di dalam hatinya, hasrat seorang pemburu yang seperti juga setiap orang pemburu atau penangkap ikan, selalu rindu akan kebanggaan bercerita tentang keanehan binatang yang diburunya. Makin ganas binatang itu, makin buas dan makin berbahaya, akan makin banggalah untuk menceritakan pengalamannya!

   Dia pun terus mengikuti pamannya tanpa mem-bantah lagi, bertekad untuk menghadapi segala kemungkinan bersama pamannya tanpa mengenal takut. Paman dan keponakan ini tidak tahu bahwa di balik puncak yang menjulang di depan mereka, yang akan mereka lewati siang hari itu, terjadi hal yang lebih hebat dan mengerikan lagi. Di antara para orang kang-ouw yang ramai-ramai mendatangi Himalaya, tertarik akan berita tentang pedang pusaka yang diperebutkan itu, terdapat lima orang murid-murid Kun-lun-pai. Mereka berlima ini tidak ada hubungannya dengan tiga orang tokoh Kun-lun yang pernah diceritakan dalam awal cerita ini, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti, dan Hui-siang-kiam Ciok Kam yang terluka, biarpun tiga orang tosu itu pun datang dari Pegunungan Kun-lun-san.

   Sama sekali tidak ada hubungannya, karena lima orang ini adalah murid dari partai persilatan besar Kun-lun-pai yang berpusat di pegunungan Kun-lun-san. Mereka adalah murid-murid kelas atau tingkat dua, yang bagi dunia kang-ouw sudah merupakan tingkat yang lumayan dan mereka telah memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Mereka terdiri dua orang pemuda dan tiga orang gadis yang kesemuanya memiliki sikap yang gagah perkasa. Yang pertama bernama Tan Coan, merupakan orang pertama dan tertua, usianya dua puluh lima tahun dan merupakan pemimpin rombongan mereka itu. Orang ke dua adalah seorang pria pula, bernama Lim Sun berusia dua puluh tiga tahun. Orang ke tiga adalah adiknya yang bernama Lim Siang, seorang gadis berusia dua puluh tahun.

   Yang ke empat dan ke lima juga wanita, kakak beradik bernama Tio Gin Bwee berusia delapan belas tahun dan Tio Ang Bwee berusia enam belas tahun. Lima orang murid Kun-lun-pai ini pun tertarik oleh berita tentang pedang pusaka yang dilarikan pencuri dari istana dan kabarnya dibawa ke daerah Himalaya. Kebetulan mereka berada di Pegunungan Kun-lun-san, maka mereka minta perkenan dari para pimpinan Kun-lun-pai untuk pergi ke Himalaya, sekedar untuk meluaskan pandangan, menambah pengetahuan dan kalau mungkin mendapatkan kembali pedang pusaka kerajaan itu untuk berbakti kepada negara. Para pimpinan Kun-lun-pai merasa khawatir, akan tetapi karena lima orang muda itu mendesak, akhirnya para tosu Kun-lun-pai memberi ijin dengan pesan agar mereka tidak melayani orang-orang kang-ouw dan tidak menimbulkan perkelahian dan permusuhan,

   

Jodoh Rajawali Eps 5 Jodoh Rajawali Eps 5 Jodoh Rajawali Eps 12

Cari Blog Ini