Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 5


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Memang jalan umum, akan tetapi kami berhak menahan setiap orang yang mencurigakan."

   Senyum manis itu melebar dan menjadi makin manis.

   "Eh, kauanggap aku mencurigakan?"

   "Engkau seorang wanita muda ber-jalan sendirian. Engkau mencurigakan dan engkau juga manis sekali menggairahkan.... eh, Nona.... kasihan sekali hawa begini dingin engkau jalan sendirian. Marilah, mari masuk ke dalam gardu penjagaan yang hangat dan kita mengobrol heh-heh...."

   Si Gendut menyeringai, nampak gigi yang panjang-panjang dan teman-temannya juga tersenyum menyeringai. Dara itu tidak menjadi marah. Agaknya semuda itu dia telah pandai menguasai hatinya dan tidak mudah menjadi marah, sungguhpun pandang matannya tetap tersenyum dan dia berkata,

   "Aihh, Paman pengawal. Jangan begitu! Aku hanyalah seorang gadis perantau yang kebetulan lewat di sini, harap jangan menggangguku dan biarkan aku lewat."

   Dia membujuk. Melihat gadis itu tidak marah malah tersenyum, Si Gendut mendapat hati dan dia melangkah maju makin dekat dan tangannya bergerak hendak memegang lengan kiri gadis itu. Akan tetapi gadis itu mundur selangkah dan menarik tangannya sehingga pegangan itu luput.

   "Ehemmmmm, Nona Manis. Engkau berpakaian seperti orang timur, engkau mencurigakan. Kalau engkau mau menemani aku di dalam gardu, aku masih bisa membiarkan kau lewat nanti. Kalau kau menolak, terpaksa aku akan menggeledah seluruh tubuhmu, kalau-kalau kau menyembunyikan sesuatu yang rahasia, heh-heh!"

   "Ho-ho, dia memang menyembunyikan banyak rahasia yang hebat-hebat!"' terdengar seorang penjaga berkata dan tertawalah mereka semua. Si Gendut sambil menyeringai kembali mendekati gadis itu. Tidak ada yang sadar bahwa kini sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar yang aneh, sinar mata yang tidak lumrah manusia, mencorong dan mengandung wibawa yang luar biasa kuatnya, akan tetapi mulut yang manis itu masih saja tersenyum sehingga sepasang lesung pipit nampak mengapit mulut di kanan kiri, menambah kemanisan wajah itu. Kembali dara jelita itu menggerak-kan tubuh dan tangkapan tangan Si Gendut mengenai tempat kosong.

   "Hei, engkau ini manusia ataukah katak? Kau lihat engkau gendut bundar mirip katak!"

   Tiba-tiba dara itu berseru, suaranya yang halus merdu melengking nyaring, menusuk telinga semua penjaga yang sudah keluar dari dalam gardu penjagaan.

   "Heiiiii, kawan-kawan penjaga, dari mana kalian memperoleh katak gendut sebesar ini?"

   Dara itu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka tangan kiri itu seperti melakukan gerakan mendorong ke arah si komandan gendut dan melambai ke arah para penjaga, senyum manisnya tetap menghias bibirnya.

   "Katak....?"

   "Katak gendut....?"

   "Katak....!

   "Heiiiii! Ada katak....!"

   "Dari mana datangnya katak raksasa ini?"

   "Wah, jangan diserang! Lihat celananya.... eh, dia....!"

   Semua penjaga terbelalak dan memandang dengan muka pucat ke arah seekor katak besar gendut yang mendekam di atas tanah di mana tadi si komandan gendut berdiri.

   Katak raksasa ini memakai pakaian si komandan, dan mendekam dengan sepasang mata terbelalak tak pernah berkedip. Para penjaga menggosok-gosok mata mereka dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja, komandan mereka telah lenyap dan sebagai gantinya di tempatnya terdapat seekor katak raksasa yang memakai pakaian si komandan tadi! Tentu saja hal yang mustahil itu membuat mereka tidak percaya dan berulang kaii menggosok mata, namun mereka tidak mimpi dan memang komandan mereka telah berubah menjadi seekor katak besar! Dan selagi lima belas orang penjaga itu terlongong keheranan memandang kepada katak raksasa itu, Si Dara jelita melenggang dengan seenaknya melewati pintu gerbang, masuk ke halaman istana Raja Bhutan!

   "Hei....!"

   Seorang penjaga yang dapat menekan ketegangan hatinya menengok dan berseru ketika melihat gadis itu. Semua orang juga menengok dan dalam sesaat mereka bengong, mata mereka menjuling ketika dari belakang melihat pemandangan yang amat mempesonakan. Lenggang lemah gemulai seperti orang menari itu mengakibatkan dua bukit pinggul yang bulat padat dan terbentuk oleh pakaian sutera ketat itu bergerak menari-nari naik turun dan dalam gerakan ini terkandung kekuatan yang seolah-olah membetot semangat lima belas orang itu!

   "Hei, tunggu dulu....!"

   Seorang penjaga yang sadar lebih dulu berteriak dan lari sambil memegang tombaknya erat-erat.

   "Tangkap....!"

   "Dia tentu siluman....!"

   Lima belas orang itu yang kini teringat bahwa komandan mereka telah dikutuk menjadi raksasa oleh dara jelita yang mereka yakin tentu sebangsa siluman, kini lari mengejar dengan senjata di tangan. Dara itu berhenti melenggang, tubuh atasnya masih tertutup payung yang di-panggul di atas pundaknya. Kini, payung itu diputar-putar, kemudian setelah lima belas orang itu mengejar dekat, dia membalikkan tubuhnya dan berkata,

   "Kalian ini sebetulnya mau apa sih?"

   Lima belas orang itu tersentak kaget dan otomatis mereka menahan kaki mereka sampai ada yang hampir terjungkal. Semua mata memandang wajah dara itu dan semuanya menahan napas, mata mereka melotot sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk mata. Muka mereka menjadi pucat dan tubuh mereka menggigil, dari tenggorokan mereka keluar suara ah-ah-uh-uh seolah-olah mereka semua mendadak telah menjadi gagu atau menjadi gila. Mereka adalah perajurit-perajurit penjaga Bhutan yang sudah biasa menghadapi bahaya melawan musuh dan rata-rata memiliki tenaga besar dan kepandaian bertempur, bukan laki-laki lemah dan penakut.

   Akan tetapi saat itu mereka menjadi ketakutan, bahkan ada yang saking ngerinya sampai terkencing-kencing, celana mereka basah tanpa mereka sadari! Siapa orangnya yang tidak akan merasa takut dan serem kalau melihat wajah wanita itu? Tadinya wanita itu demikian cantik jelita, seperti bidadari yang murah senyum manis, akan tetapi sekarang? Kalau berubah buruk saja masih tidak menakutkan, akan tetapi kini wajah itu "polos", hanya merupakan seraut wajah polos berkulit halus dan rata, tidak ada mata hidung atau mulut, tidak ada tonjolan atau lekukan, halus mulus dan polos! Mereka bergidik. Tadi saja mereka sudah merasa ngeri dan ketakutan melihat komandan mereka berubah menjadi katak, sekarang lebih lagi ketika melihat wanita yang mereka sangka siluman itu menghadapi mereka dengan muka polos seperti itu!

   "Hihhhhh.... hu-hu-huuhhhhh...."

   Di antara mereka ada yang menggigil dan mengeluarkan suara seperti itu. Suara ini tak tertahankan lagi oleh mereka dan larilah mereka tunggang-langgang, jatuh bangun dan saling tabrak, kembali ke gardu mereka. Apalagi ketlka mereka melihat "katak raksasa"

   Tadi sudah lenyap dan kini mereka melihat komandan mereka masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut masih menyeringai, kaku seperti arca! Dara itu mengeluarkan suara ketawa ditahan, tubuhnya membalik lagi, payungnya berputaran dan lenggangnya yang mempesona dilanjutkan menuju ke arah istana.

   "Hi-hik, orang-orang tolol....!"

   Bisiknya sambil menggunakan tangan kirinya, melepaskan "kedok"

   Atau topeng yang terbuat dari bahan semacam karet putih yang tadi dia pakai untuk menutupi mukanya sehingga membuat para penjaga lari terbirit-birit. Tiba-tiba komandan jaga yang tadinya diam seperti patung itu bergerak dan berteriak,

   "Eh, orang-orang tolol! Mengapa kalian diam saja membiarkan dia masuk? Hayo kejar dan tangkap dia!"

   Komandan itu sendiri sudah mencabut pedangnya dan lari mengejar. Para anak buahnya terbelalak ngeri.

   "Tapi.... tapi.... dia.... siluman"

   "Siluman atau setan, kalau sampai dia memasuki istana, kita celaka!"

   Si komandan membentak dan para anak buahnya sadar. Mereka lalu berteriak-teriak sambil memegang sanjata dan mengejar, termasuk mereka yang celananya basah. Teringat akan tugas dan tanggung jawab, mereka terbangun semangatnya dan menjadi berani lagi.

   "Kejar....!"

   "Tangkaaapppp....!"

   Berserabutan mereka lari mengejar. Dara itu mendengar teriakan-teriakan mereka, menengok, tersenyum mengejek dan tubuhnya mencelat ke depan, jauh sekali seolah-olah dia telah terbang saja! Terdengar suara ketawa halus merdu dan dengan beberapa lompatan lagi, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan lenyap.

   "Siluman....!"

   Semua penjaga kembali bengong dan muka mereka berubah pucat.

   "Celaka, dia masuk pagar tembok istana, kita harus melaporkan!"

   Si komandan yang masih belum sadar betapa dia tadi telah berubah menjadi katak raksasa, lalu cepat lari ke pintu depan istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada para pengawal istana. Gegerlah seluruh istana Kerajaan Bhutan dengan berita tentang siluman yang memasuki istana itu.
(Lanjut ke Jilid 05)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
Tentu saja sebagian besar orang tidak percaya, dan raja sendiri pun tidak percaya. Namun betapapun juga, para panglima mengerahkan pengawal-pengawal istana untuk melakukan penjagaan dan perondaan yang ketat untuk menjaga keselamatan keluarga istana raja. Juga para pendeta Buddha dikerahkan untuk mengusir "roh"

   Jahat atau siluman yang mengganggu istana. Kalau saja tidak ada pengerahan pendeta-pendeta untuk mengusir roh-roh jahat, kiranya tidak akan terjadi hal-hal yang menghebohkan. Malam itu juga, seorang pendeta Buddha yang terkenal sebagai seorang ahli roh-roh jahat dan siluman yang bernama Nalanda, seorang yang bertubuh tinggi besar, berusia lima puluh tahun berwajah angker dan serius, dengan membawa tempat pedupaan yang terisi dupa wangi mengebul, berjalan mengelilingi istana.

   Asap dupa mengebul dari tempat pedupaan, baunya semerbak sampai ke sudut-sudut, dan Pendeta Nalanda berkemak-kemik membaca mantera untuk mengusir roh jahat. Pada saat itu, sesosok bayangan menyelinap di antara bayangan-bayangan gedung istana. Bayangan ini bukan lain adalah dara cantik jelita yang tadi telah menggegerkan luar istana. Kini payungnya telah ditutup dan dikempit di bawah ketiak kirinya, dan dengan gerakan kaki yang ringan dan gesit, tanda bahwa gadis "siluman"

   Ini memiliki kepandaian tinggi, dan menyelinap ke sana ke mari mencari-cari. Dara itu sudah mulai kelihatan gelisah dan jengkel karena dia tidak mengenal jalan dan selalu tersesat bertemu dengan lorong buntu di komleks istana yang luas itu.

   "Siaalan....!"

   Berulang kali dia mengumpat dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Tiba-tiba hidung yang cupingnya tipis itu bergerak-gerak, seperti hidung kelinci mencium bau harimau yang berbahaya, matanya berkilat dan kepalanya menoleh ke sana-sini mencari-cari sumber bau dupa harum itu yang makin lama makin keras. Akhirnya dia bergerak menyelinap di antara pot-pot bunga antik yang besar,

   Bersembuyi di balik pot bunga dan mengintai ke arah Pendeta Nalanda yang melangkah datang perlahan-lahan dengan tangan memegang pedupaan yang mengebulkan asap putih dan bibirnya berkemak-kemik membaca mantera pengusir roh jahat. Dara itu tersenyum geli. Sekelebat mata giginya yang putih seperti mutiara itu berkilat tertimpa cahaya lampu yang banyak bergantung di lorong-lorong istana. Dara itu mengerti mengapa pendeta ini membakar dupa dan berdoa mengusir roh jahat. Matanya yang cerdik itu berkilauan dan wajahnya yang jelita berseri gembira. Dia memperoleh seorang petunjuk jalan, pikirnya! Maka dengan gerakan yang ringan menandakan bahwa dia memiliki ginkang yang tinggi, dara itu lalu menyelinap dan membayangi pendeta itu dari belakang. Pendeta Nalanda memasuki taman bunga istana, di istana bagian puteri yang terjaga ketat.

   Penjagaan di sekitar taman ini ketat bukan main dan dara cantik itu hanya bersembunyi di luar taman, akan tetapi dia dapat mengintai dari luar, melihat pendeta itu memasuki taman, tiba di tengah taman yang luas dan dari jauh dia melihat pendeta itu bicara kepada seorang wanita yang agaknya duduk di dalam taman, lalu pendeta itu mengelilingi taman dengan pedupaannya dan keluar lagi. Si Dara terus membayanginya dan akhirnya dia melihat pendeta itu memasuki sebuah kamar kosong, meletakkan pendupaan di atas lantai di tengah kamar, kemudian dia berjalan mengelilingi pendupaan, kedua tangan dirangkap di depan dada, mulutnya tiada hentinya berkemak-kemik membaca mantera. Kemudian pendeta itu berdiri tegak di tengah kamar, pendupaan mengebul di dekat kakinya, dan terdengar dia berkata,

   "Wahai semua roh penasaran yang berkeliaran di sekitar istana Bhutan, dengarlah perintahku! Aku adalah yang terkasih, Pendeta Nalanda, yang telah memperoleh penerangan dan kekuasaan untuk mengusir kalian! Jangan kalian berani mendekati dan mengganggu istana, atau aku akan menggunakan kekuasaan untuk menghukum kalian!"

   Ucapan itu dilanjutkan dengan doa-doa dan mantera lagi dan pada saat itulah, selagi Pendeta Nalanda.

   melakukan upacara pengusiran roh jahat, tiba-tiba saja pandang mata pendeta itu ter-belalak menatap bayangan yang muncul dari pintu kamarnya! Bayangan seorang wanita yang cantik jelita, yang mengempit sebuah payunng! Pendeta yang selamanya menjadi pengusir roh ini hanya mengusir siluman-siluman dalam khayalnya saja, kini melihat pemandangan itu, merasa tengkuknya dingin dan tebal, semua bulu di tubuhnya, dan banyak memang bulu ini karena semua tubuhnya berbulu, berdiri satu-satu! Makin diperhebat doa dan manteranya, kulit di antara alisnya berkerut ketika dia memusatkan kekuatan batinnya. Akan tetapi, ketika dia melirik ke depan.

   "roh jahat"

   Itu masih berdiri di situ, malah makin mendekat memasuki kamar dan tersenyum-senyum!

   "Wahai, roh yang keras kepala!"

   Bentaknya menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung "roh"

   Itu.

   "Pergilah kau kalau tidak ingin merasakan ampuhnya pusakaku!" "Roh"

   Cantik itu tersenyum, manisnya bukan main, membuat tangan pendeta yang mencabut keluar sebatang pedang kayu itu gemetar. Tersenyum lagi dan mengerling dengan sikap menggoda dan mempermainkan.

   "Sliuman jahat.... pedang pusakaku akan menghukummu!"

   Dengan suara gemetar pula pendeta Nalanda itu menggerakkan pedang kayu yang berbau harum itu, terbuat dari semacam kayu cendana yang berkhasiat melumpuhkan siluman, menusuk ke arah dada wanita cantik itu.

   "Plakkkkk!"

   Sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang kayu telah dirampasnya, kemudian pedang itu bergerak dua kali menotok dan tubuh pendeta yang tinggi besar itu jatuh bertekuk lutut! Dara jelita itu terkekeh, menutupi mulutnya, kemudian menggunakan pedang kayu yang dia oles-oleskan abu pendupaan untuk mencoret-coret muka pendeta itu dengan arang hitam! Setelah melakukan kenakalan ini sambil tertawa, dia lalu merenggut lepas jubah pendeta itu, menyelimutkan di atas tubuhnya sendiri, menyambar kopyah pendeta dan menaruhnya di atas kepala, lalu diambilnya pendupaan itu dan keluarlah dia dari kamar itu, mengepit payung dan memegang pendupaan, lalu menuju ke taman istana yang tadi pernah dikunjungi oleh Pendeta Nalanda!

   "Eh, Losuhu, kenapa kembali lagi?"

   Penjaga taman itu berseru heran dan menghadang di tengah pintu taman.

   "Minggir, ada siluman di dalam taman!"

   Kata dara itu dengan suara dibesarkan, dan dia cepat membaca mantera dengan ngawur dan berjalan masuk. Para penjaga sudah menjadi ketakutan mendengar itu, maka mereka tidak begitu memperhatikan di dalam kegelapan malam yang mulai tiba itu bahwa si pendeta kini tiba-tiba berubah kecil tubuhnya, dan kini mengempit payung di bawah ketiaknya! Dara itu terus memasuki taman. Setelah para penjaga tidak kelihatan lagi, dia melemparkan pendupaan, kopyah dan jubah ke belakang semak-semak dan dia cepat menyelinap ke belakang pohon-pohon dan semak-semak, menuju ke tengah taman.

   Seperti telah diceritakan di bagian terdahulu, pada saat itu Puteri Syanti Dewi tengah duduk melamun seorang diri di dalam taman, termenung memandangi bunga teratai merah di dalam empang. Bunga teratai.... engkau jauh lebih bahagia daripada manusia, demikian keluhan hati Sang Puteri. Dia teringat akan kekasihnya. Betapa sukarnya menjadi manusia. Kotor atau bersihnya manusia ditentukan oleh keadaan, oleh lingkungan, dan terutama oleh pendapat orang lain atau umum. Sebelum pergi meninggalkan Bhutan, Tek Hoat dikenal sebagai seorang pahlawan, seorang calon mantu raja, seorang yang patut dihormati dan dimuliakan. Akan tetapi sekali saja suara orang lain dijatuhkan, Tek Hoat menjadi orang yang direndahkan.

   "Tidak....!"

   Bantah hatinya.

   "Bagiku, engkau masih bersih, Tek Hoat. Seperti bunga teratai itu biar direndam ke dalam lumpur masih tetap bersih dan cemerlang. Dan selamanya aku akan menganggapmu begitu"

   Dia menghela napas panjang dan teringat akan pesan pendeta Nalanda tadi.

   Pendeta itu memasuki taman dan menasihati agar dia masuk ke kamarnya karena ada "hawa siluman"

   Mengotori istana dan pendeta itu tengah berusaha untuk mengusir roh jahat. Akan tetapi Syanti Dewi tidak merasa takut! Puteri ini telah terlepas dari ketahyulan semenjak dia terjun di dunia bebas dahulu, setelah dia mengalami banyak sekali hal-hal hebat sehingga membuka matanya bahwa segala macam ketahyulan itu hanyalah kebohongan semata (baca Kisah Sepasang Rajawali). Dia telah mengalami hal-hal yang nyata, dan dalam keadaan bagaimanapun juga, dia tidak pernah mengalami hal-hal aneh seperti yang dipercaya oleh orang-orang yang suka menerima ketahyulan sebagai sesuatu yang benar. Maka, nasihat pendeta itu tidak dipedulikannya dan puteri ini masih saja duduk seorang diri di dalam taman itu.

   "Selamat malam, Adinda Syanti Dewi!"

   Puteri itu menengok dan hatinya berbisik mencela,

   "Hemmm, kalau memang di dunia ini ada siluman, dia inilah siluman bagiku."

   Akan tetapi Syanti Dewi adalah seorang yang berperangai halus, dan biarpun hatinya tidak senang kepada Panglima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa senyum dan menjawab,

   "Selamat malam, Panglima Mohinta."

   Mohinta menyeringai dan kumis tipisnya yang membuat wajahnya tampan menarik itu bergerak sedikit. Dia kecewa karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini selalu menyebutnya "panglima", dan hanya dalam pertemuan resmi yang disaksikan oleh keluarga istana saja puteri itu mentaati ayahnya dan menyebut "kakanda"

   Kepada tunangannya ini! Sebutan "panglima"

   Sungguh sama sekali tidak mesra, bahkan membayangkan kedudukan puteri itu yang lebih tinggi, seorang puteri yang bicara dengan seorang panglima kerajaan, seorang bawahan!

   "Mengapa Adinda masih di sini? Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin."

   "Biarlah, Panglima Mohinta. Aku sedang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang menemuiku di sini ada urusan apakah?"

   Kembali panglima muda itu menyeringai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap tunangannya ini, melebihi dinginnya hawa udara di waktu itu.

   "Saya.... saya.... hanya menjenguk, khawatir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya.... hemmm.... ada siluman berkeliaran.... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu...."

   "Hemmm, apakah seorang panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut. Sudahlah, Panglima, tinggalkan aku sendiri menikmati kesunyian."

   Akan tetapi panglima itu tidak pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan mesra. Alangkah cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu, putih halus wajah dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu tanpa diminta dia duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi.

   "Adinda Syanti Dewi...."

   "Panglima, aku ingin sendirian!"

   "Aduhai, Adinda sayang. Bukankah sudah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah calon suami isteri. Apakah aku tidak boleh mendekati calon isteriku yang tercinta? Adinda Syanti, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan menunda-nunda pernikahan kita?"

   "Panglima, aku tidak ingin bicara tentang itu!"

   "Adinda, itu adalah urusan kita berdua, urusan pribadiku dan pribadi...."

   "Sudahlah. Kalau kau mau bicara tentang itu, bicara dengan Sri Baginda. Beliau sebagai Ayahku yang berhak membicarakan soal itu, bukan aku."

   "Adinda, aku.... aku cinta padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku menyatakan ini....?"

   "Sudah terlalu sering sampai membosankan!"

   "Duhai, Adinda.... jangan begitu"

   Panglima Mohinta memegang tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih sayang hatinya. Syanti Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya menjadi merah dan matanya berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya.

   "Panglima, bukan aku tidak kasihan kepadamu. Akan tetapi.... aku tidak suka membicarakan hal itu. Pergilah!"

   "Adinda.... Syanti Dewi, kau kasihanilah aku....!"

   Panglima itu kini menjatuhkan diri berlutut! Pada saat itu, dara cantik jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan keluar dari tempat sembunyinya, melangkah ringan sampai dekat. Syanti Dewi melihatnya, memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang sedang mabuk asmara dan berlutut itu tidak melihatnya.

   "Siapa kau....?"

   Syanti Dewi bertanya suaranya halus nyaring. Panglima Mohinta menengok kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah sebuah arca batu sebesar manusia di dekat empang, lalu tangannya yang agak tergetar bergerak ke arah Panglima Mohinta. Syanti Dewi terbelalak pucat melihat sesuatu yang amat luar biasa. Dia melihat Panglima Mohinta memandang seperti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit berdiri, menghampiri arca batu dan mencumbu-rayu arca itu, menyebutnya.

   "Adinda Syanti Dewi"! Jelas bahwa Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan kini panglima itu merayu arca, merangkul dan menciumi Wajah Syanti Dewi yang pucat menjadi merah sekali dan kembali dia memandang dara yang cantik dan aneh itu. Dara itu melangkah dekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil tersenyum manis, berbisik,

   "Puteri, lupakah engkau padaku?"

   Syanti Dewi memandang penuh selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik yang bersikap jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi kapan dan di mana.

   "Aku Siang In.... eh, yang dulu pernah membantumu.... guruku adalah See-thian Hoat-su yang pernah menolongmu "

   Berseri wajah Syanti Dewi.

   "Aihhh, Si tukang sulap itu....?"

   Teriaknya.

   "Sssttttt....!"

   Dara itu tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mohinta yang masih merayu arca.

   "Mari kita bicara di dalam. Aku sengaja datang untuk menjengukmu, Puteri Syanti Dewi."

   Siang In, dara itu, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mereka berdua lalu melang-kah keluar dari taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghu-bungkan taman dengan gedung istana tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang penjaga. Melihat ini, Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In memberi isyarat dengan kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng tangan Syanti Dewi sambil mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung rambutnya yang panjang dan memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah hidungnya, seolah-olah dia hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian, dengan lenggang gagah dan lucu sambil menggandeng Syanti Dewi, dia lewat di pintu.

   "Heh, semua penjaga jangan lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?"

   Bentaknya dengan suara dibesarkan dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis suara Panglima Mohinta! Tujuh orang penjaga berdiri dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka menjawab "perintah"

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dara itu,

   "Siap, Panglima!"

   Setelah mereka memasuki kamar Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi yang juga tersenyum geli akan tetapi keheranan itu bertanya,

   "Eh, apa yang telah kau lakukan tadi? Mengapa Panglima Mohinta merayu patung dan para penjaga itu menyebut engkau panglima?"

   Siang In melempar payungnya ke atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah yang penuh bantal dan meneliti kamar yang amat indah itu.

   "Aaahhhhh, nyamannya di kamar ini!"

   Dia mengeluh panjang dan memejamkan matanya sejenak, dipandang oleh Syanti Dewi yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu.

   "Hi-hik, masih mending merayu arca batu yang dingin daripada merayu seorang gadis yang bersikap dingin seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira bahwa aku adalah panglima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?"

   "Tapi.... tapi mengapa bisa begitu? Bingung aku.... apa sih yang sebetulnya telah terjadi?"

   "Aihhhhh.... kau tadi bilang sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu saja pandai main sulap juga."

   Syanti Dewi terbelalak, kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara ha-ha-hi-hi keduanya tertawa dan baru sekarang selama bertahun-tahun ini Syanti Dewi dapat tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main.

   "Ah-he-heh-hi-hik, jadi kau.... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu, panglima itu.... hik, hik, dia menganggap arca tadi?"

   "Disangkanya engkau, maka dipeluk dan diciumnya, ah, dia tampan dan ganteng juga, eh!"

   Syanti Dewi bersungut-sungut.

   "Huh, siapa sudi? Kalau aku yang dibegitukan, kutampar dia! Kusuruh tangkap pengawal dan kusuruh gantung....!"

   "Ee-eeeiiiiittt, mengapa begitu? Puteri Syanti Dewi, aku mendengar dari luaran bahwa Panglima Mohinta itu adalah tunanganmu, bukan?"

   Tiba-tiba hati puteri itu menjadi nelangsa lagi, diingatkan akan kenyataan yang tidak disukanya itu.

   Dia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan muka di bantal. Siang In meloncat dan duduk mendekatinya, merangkul dan menariknya bangun. Pipi yang halus itu basah. Siang In tersenyum, menghibur dan menghapus air mata itu. Dua orang dara ini memang sama-sama cantik jelita, hanya bedanya, bagaikan bunga, Syanti Dewi adalah bunga halus yang terpelihara di dalam taman, kelihatan lembut dan lunak, sebaliknya Siang In seperti setangkai bunga di hutan, cantik jelita kuat, bebas, liar dan memiliki daya tarik tersendiri. Melihat kemesraan yang diperlihatkan Siang In, Syanti Dewi teringat akan adik angkatnya, yaitu Candra Dewi atau Ceng Ceng, yang amat dicintanya maka dia merangkul leher Siang In.

   "Engkau cantik sekali, Puteri,"

   Siang In berkata. Syanti Dewi mengambung pipi dara itu.

   "Terima kasih, Siang In, engkau pun manis sekali dan engkau mengingatkan aku kepada adik angkatku yang tercinta, Ceng Ceng."

   Sejenak mereka saling pandang, mengagumi kecantikan masing-masing. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa puteri itu mempunyai seorang adik angkat yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau juga disebut Candra Dewi.

   Ceng Ceng kini telah menjadi isteri dari pendekar sakti yang terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu Kao Kok Cu putera sulung dari Jenderal Kao Liang. Dan siapakah dara cantik jelita, jenaka dan aneh yang bernama Teng Siang In itu? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali juga diceritakan dengan jelas tentang dara ini yang pada waktu it baru berusia lima belas tahun. Teng Siang In adalah seorang dara berasal dari Lembah Pek-thouw-san (Gunung Kepala Putih), dan dia adalah puteri dari mendiang Yok-sian (Dewa Obat), seorang ahli pengobatan yang amat terkenal. Dalam keadaan sebatangkara, karena orang tuanya telah meninggal, dan juga encinya yang merupakan satu-satunya keluarganya juga mati terbunuh (baca Kisah Sepasang Rajawali),

   Akhirnya dara jelita ini bertemu dengan seorang kakek aneh yang ber-ilmu tinggi dan pandai ilmu sihir. Kakek itu bernama See-thian Hoat-su dan Siang In lalu diambilnya sebagai murid. Selama empat tahun lamanya Siang In digembleng oleh gurunya itu, tidak hanya menerima pelajaran ilmu silat tinggi, melainkan juga menerima pelajaran ilmu sihir sehingga kini Siang In muncul sebagai seorang dara yang dewasa, cantik jelita, lihai ilmu silatnya dan lebih hebat lagi ilmu sihirnya! Demikianlah sedikit riwayat Teng Siang In, dara cantik yang menggegerkan Bhutan karena begitu dia muncul, terjadilah geger dan tersiar berita bahwa Kerajaan Bhutan kemasukan siluman cantik! Tidak lama setelah Syanti Dewi dan Siang In meninggalkan taman, sedikit demi sedikit buyarlah pengaruh sihir yang dilakukan oleh dara itu atas diri Panglima Mohinta.

   Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati panglima muda ini ketika dia sadar dan mendapatkan dirinya memeluk dan menciumi arca batu, sedangkan ketika dia menengok ke arah bangku, Puteri Syanti Dewi telah tidak berada di tempat itu lagi! Dia merasa serem dan ngeri, juga bingung. Sejenak dia memandang ke kanan kiri, mengingat-ingat dan tengkuknya terasa dingin, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan berita tentang siluman! Tadi jelas bahwa Syanti Dewi duduk di bangku itu, dan dia berusaha untuk merayu tunangannya yang bersikap dingin itu. Entah bagaimana, dia tadi melihat seolah-olah Syanti Dewi menyambut cumbu rayunya, bahkan membalas pelukannya, dan membalas pula ciuman-ciumannya penuh gairah. Akan tetapi ternyata bahwa yang dipeluk-ciumnya itu adalah arca batu yang kotor dan Syanti Dewi sudah lenyap!

   "Uhhhhh....!"

   Panglima Mohinta menggigil dan meraba tengkuknya. Dia adalah seorang panglima muda yang berani, namun sekarang dia merasa ngeri dan takut juga berada seorang diri di dalam taman yang sepi itu. Penerangan di dalam taman itu yang hanya datang dari dua buah lentera yang tergantung di bawah pohon, tertiup angin bergerak-gerak, menghidupkan bayang-bayang di sekelilingnya, menambah serem keadaan. Suara belalang, jengkerik dan burung malam yang mengasyikkan bagi mereka, menambah serem suasana dan Panglima Mohinta yang pemberani itu kini bergegas setengah lari melangkah keluar dari taman.

   "Siap....!"

   Teriakan dan gerakan tujuh orang penjaga taman itu membuat Panglima Mohinta hampir menjerit dan panglima muda ini terloncat kaget me-mandang kepada tujuh orang itu. Akan tetapi sebaliknya, tujuh orang penjaga itu pun memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh keheranan. Panglima Mohinta mengerutkan alisnya. Mengapa mereka memandang kepadanya seperti itu? Adakah sesuatu yang aneh pada mukanya? Dia meraba-raba mukanya dan menghapus-hapus muka itu, kalau-kalau ada coreng-moreng di situ. Akan tetapi tujuh orang itu tetap saja memandang kepadanya dengan mata aneh dan bingung.

   "Heh, kalian melihat apa?"

   Bentaknya marah, hampir memukul kepala penjaga yang menjadi ketakutan.

   "Ah, maaf, Panglima.... eh, kapankah Panglima masuk lagi ke taman? Baru saja kami melihat Pang-lima keluar"

   "Heh, apa maksudmu? Bicara yang benar!"

   Panglima Mohinta membentak.

   "Kami bertujuh baru saja melihat Panglima keluar, menggandeng Puteri memasuki istana dan.... dan panglima menggandeng Puteri dengan mesra, dan mengempit payung"

   "Mengempit payung? Gilakah kalian?"

   Panglima Mohinta membentak, akan tetapi kembali tengkuknya terasa dingin karena dia sudah merasa ngeri. Pada saat itu terdengar teriakan mengerikan dari istana. Panglima Mohinta dan para penjaga terlonjak kaget, akan tetapi, mereka dipimpin oleh panglima segera lari cepat ke arah istana dan di jalan mereka bertemu dengan para penjaga dan pengawal yang juga sudah berlari-larian menuju ke arah datangnya teriakan itu.

   "Tolong.... aduhhh, tolooonggg.... si.... siluman.... ssssetannnnn....!"

   Terdengar teriakan itu. Ketika mereka semua tiba di tempat suara, ternyata yang berteriak-teriak itu adalah Pendeta Nalanda, pendeta tinggi besar yang tidak mengenakan jubah lagi, juga kopyahnya hilang dan sebagai gantinya, mukanya coreng-coreng hitam. Dia berteriak-teriak ketakutan, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. Seorang pengawal cepat mengambil air, dan ketika pendeta yang akan diberi minum itu masih berteriak-teriak dan tidak mau minum, air itu disiramkan ke atas kepalanya yang gundul. Pendeta Nalanda gelagapan dan sadar.

   "Ah.... eh.... ya ampun.... ada.... setan.... wanita cantik...."

   Dia lalu menceritakan munculnya siluman cantik yang membuatnya tidak berdaya, merampas jubah dan kopyahnya, dan mencoreng mukanya dengan pedang kayu yang dilumuri abu pendupaan. Seorang siluman cantik yang memegang payung.

   "Membawa payung?"

   Panglima Mohinta bertanya dengan mata terbelalak dan punggungnya terasa dingin. Tidak salah lagi, tentu ada siluman yang membawa payung, karena tadi pun para penjaga melihat dia membawa payung. Tentu siluman itu! Dan siluman itu menyamar sebagai dia menggandeng tangan Syanti Dewi!

   "Celaka, kita harus melapor kepada Sri Baginda!"

   Teriaknya dan dia bergegas memasuki istana. Sementara itu, di dalam kamar Syanti Dewi, puteri itu masih tertawa-tawa bersama Siang In yang menceritakan betapa dia telah menggoda para penjaga.

   "Apakah mereka di pintu gerbang tidak menyerangmu?"

   Tanya Syanti Dewi dengan senyum lebar selalu menghias bibirnya, senyum yang selama ini hampir dilupakannya. Berdekatan dengan Siang In, mendengar penuturan dara itu, telah membuat Sang Puteri timbul kembali kegembiraannya dan membawa dia kembali ke alam bebas, alam liar seperti ketika dia berkelana dahulu.

   "Tentu saja mereka mengejarku, dan aku cepat mengenakan sesuatu dan ketika mereka sudah dekat, aku membalik seperti ini...."

   "Ihhhhh....!"

   Syanti Dewi menjerit, terbelalak menatap wajah yang tadinya begitu cantik manis, akan tetapi sekarang telah berubah menjadi wajah yang luar biasa mengerikan, wajah yang halus polos tanpa tonjolan, tanpa mata hidung atau mulut!

   "Hik-hik, kau juga ngeri!"

   Siang In melepaskan kedoknya dan Syanti Dewi terkekeh-kekeh saking geli hatinya, mengambil kedok itu dari tangan Siang In dan memandanginya. Kedok itu hanya sehelai penutup muka seperti karet yang halus sekali, entah dibuat dari apa.

   "Dan pendeta gundul yang lucu itu, hi-hik."

   "Kau maksudkan Pendeta Nalanda? Kau apakan pula dia?"

   Syanti Dewi makin tertarik dan bertanya.

   "Tidak apa-apa, hanya kucoreng-moreng mukanya."

   Siang In lalu menceritakan pertemuannya dengan pendeta itu dan berderailah suara ketawa Syanti Dewi.

   Dua orang dara yang sedang bergembira itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Sri Baginda Raja Bhutan sendiri sedang berdiri di luar kamar Syanti Dewi dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar suara ketawa puterinya. Tentu saja hati raja ini senang mendengar suara ketawa puterinya, suara yang beberapa tahun lamanya tidak pernah didengarnya lagi. Akan tetapi karena suara ketawa ini dilakukan puterinya yang berada sendirian di dalam kamar, tentu saja menimbulkan perasaan bim-bang dan khawatir, juga ngeri. Hanya seorang gila saja yang tertawa-tawa geli seperti itu seorang diri saja di dalam kamar. Empat orang pengawal Sri Baginda, dua orang kepala pendeta, dan Panglima Mohinta yang mene-mani raja juga terbelalak dan saling pandang penuh kengerian. Jelaslah bagi mereka yang sedang panik oleh berita siluman, bahwa Sang Puteri tentulah diganggu siluman!

   "Syanti....! Buka pintu....!"

   Ketukan pintu dan suara Sri Baginda ini membuat Syanti Dewi terlonjak kaget. Mukanya menjadi pucat ketika dia memandang kepada Siang In. Akan tetapi Siang In hanya tenang-tenang saja, ma-lah tersenyum dan berbisik,

   "Bukalah pintu dan anggap saja aku tidak ada di kamar ini."

   Syanti Dewi bimbang. Dia khawatir sekali karena tentu Siang In akan ditangkap dan dihukum karena dianggap mengacau istana. Akan tetapi dengan gerakan kepala dan tangan Siang In mendesaknya untuk membuka pintu karena ketukan pada pintu makin gencar dan suara Sri Baginda makin mendesak. Syanti Dewi melangkah, menghampiri pintu dan sekali lagi dia menengok dan dia melihat Siang In sudah duduk bersila di atas lantai dekat pembaringannya.

   Gadis itu tersenyum dan kelihatan tenang saja sehingga mau tak mau Syanti Dewi menjadi kagum dan juga terheran-heran. Dia menurunkan ganjal pintu dan membuka daun pintu. Serentak masuklah Sri Baginda yang ditemani oleh Panglima Mohinta, empat orang pengawal dan dua orang pendeta. Semua mata memandang ke seluruh kamar dan Syanti Dewi sudah menanti dengan hati berdebar akan seruan mereka melihat Siang In yang duduk bersila di lantai. Akan tetapi, aneh bin ajaib! Tidak ada seorang pun yang menyinggung-nyinggung kehadiran gadis asing itu di dalam kamarnya. Padahal dia melihat sendiri betapa semua mata tentu dapat melihat gadis itu yang masih duduk tersenyum setelah tadi tangan kiri nya diangkat dan digerakkan seperti memberi salam kepada mereka yang baru memasuki kamar!

   "Syanti, dengan siapa engkau di kamarmu ini?"

   Sri Baginda bertanya sedangkan Panglima Mohinta berjalan hilir mudik dengan mata mencari-cari, bahkan kakinya lewat dekat sekali dengan tubuh Siang In.

   "Tidak dengan siapa-siapa, Ayah. Saya sedang tidur, mengapa Ayah dan semua orang ini datang mengganggu dan membangunkan saya?"

   Syanti Dewi berkata dengan nada suara tidak senang.

   "Hemmm.... tidur? Akan tetapi tadi dari luar kami mendengar engkau tertawa-tawa, Syanti. Jangan engkau membohongi Ayahmu."

   "Sungguh saya sedang tidur dan kalau saya tertawa, agaknya itu terjadi dalam mimpi."

   "Ah, engkau mimpi? Mimpi apa? Bertemu dengan siluman...., dengan siapa?"

   Sri Baginda yang sudah dicekam rasa ngeri yang meliputi seluruh istana itu bertanya. Syanti Dewi menjadi bingung dan melirik ke arah Siang In. Gadis ini menudingkan telunjuknya ke arah Panglima Mohinta yang masih hilir mudik.

   "Saya mimpi bertemu dengan.... Panglima Mohinta...."

   "Ah, jadi Adinda mimpi bertemu dengan saya?"

   Panglima muda itu bertanya dengan wajah berseri. Syanti Dewi mengangguk.

   "Di dalam mimpi, saya melihat.... Kakanda Mohinta menjadi seorang badut yang sangat lucu, maka saya tertawa...."

   Wajah yang tadinya berseri itu berubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang In yang sedang duduk bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga menujukan pandang matanya kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Agaknya mereka kini telah dapat melihat gadis itu, pikirnya khawatir.

   "Syanti Dewi, sejak kapan ada kursi bagus ini di dalam kamarmu?"

   Sri Baginda tiba-tiba bertanya sambil menuding ke arah Siang In yang duduk bersila. Syanti Dewi terkejut dan terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu adalah seorang ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat menduga bahwa tentu Siang In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya seperti sebuah kursi!

   "Kursi....? Eh, inikah, Ayah? Ini adalah kursi hadiah yang saya terima dari seorang pelayan, katanya kursi antik....

   "

   "Memang bagus sekali, tentu enak diduduki...."

   Panglima Mohinta kini menghampiri Siang In, siap untuk duduk di atas kepala gadis itu! Pantatnya sudah dipasang hendak duduk. Tentu saja Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak sudi membiarkan kepalanya diduduki orang. Cepat dia menggerakkan payungnya yang tadi telah disambarnya dari atas meja ketika rombongan raja masuk dan ujung payungnya digerakkan menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki kepalanya.

   
"Cusssss.... aduhhhhh....!"

   Panglima Mohinta terloncat kaget ketika merasa betapa pantatnya ditusuk ujung payung.

   "Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!"

   Akan tetapi diam-diam panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku di kursi itu! Setelah melihat jelas bahwa kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman di situ, Sri Baginda lalu berkata,

   "Syukurlah kalau tidak ada apa-apa, anakku. Tidurlah dengan tenang."

   Dia lalu keluar lagi dari kamar Puteri Syanti Dewi, diikuti oleh rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa untuk melindungi puteri dari gangguan siluman. Setelah Syanti Dewi menutupkan kembali daun pintu kamarnya, dia dan Siang In tertawa-tawa lagi, akan tetapi Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona itu agar jangan tertawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan kembali kegembiraan hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk bersanding di atas pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih amat muda akan tetapi sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh.

   "Siang In, engkau sungguh hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka, menjadi sebuah kursi?"

   Tanya puteri itu, memandang kagum. Siang In mengangguk dan cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja kelihatan manis,

   "Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biarpun orangnya tunanganmu yang tampan dan ganteng itu, Puteri...."

   "Hushhh, jangan berkata demikian, aku.... aku benci padanya!"

   "Eihhhhh? Aku mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta, dan melihat tadi rayuan maut di taman...."

   "Sudahlah, Siang In."

   Syanti Dewi menghela napas panjang.

   "Aku tidak ingin bicara tentang dia. Sekarang katakan, apakah kehendakmu maka engkau bersusah payah menggunakan kepandaian menempuh bahaya mencari aku di sini?"

   "Aku sedang mencari seseorang, Puteri. Dan karena aku merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga mengenal Panglima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan mendengar bahwa engkau masih belum menikah, Puteri akan tetapi sudah bertunangan dengan Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran, karena bukankah.... eh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu dahulu...."

   Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari puteri itu menjadi pucat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat dia menyebut nama pemuda itu.

   "Adik yang baik."

   Syanti Dewi kini memandang dara itu.

   "Apakah yang telah kau dengar tentang Ang Tek Hoat?"

   "Aku dahulu mendengar bahwa Ang Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bahkan diangkat menjadi panglima dan dijadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau sekarang menjadi tunangan Panglima Mohinta?"

   Ditanya begini, tiba-tiba Puteri Syanti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tidak pernah menangis lagi, seolah-olah air matanya sudah mengering akan tetapi kegembiraan tadi, tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengembalikan pula kemampuannya untuk menangis. Melihat puteri yang keadaan hidupnya dilimpahi kemuliaan itu agaknya menderita kesengsaraan batin, Siang In memegang tangannya dengan sikap menghibur dan berkata lembut,

   "Puteri, jangan terlalu membiarkan diri terseret oleh arus kesedihan. Segala kesukaran di dunia ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus berusaha, tidak hanya cukup untuk ditangisi dan disedihkan belaka. Ceritakanlah kepada adikmu ini, apakah yang terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek Hoat dan menjadi tunangan panglima yang tidak kau cinta itu?"

   Dia mengangguk-angguk meyakinkan.

   "Ceritakan dan aku akan menolongmu sedapat mungkin, Puteri."

   Karena baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang memperhatikan nasibnya, yang tidak akan mungkin dilupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi dan berceritalah dia tentang kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa kemudian dia dipaksa untuk menjadi tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai saat ini, setelah lewat empat tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan karena sampai kini dia masih menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih pemuda itu.

   "Aku tidak percaya kalau dia pergi begitu saja meninggal-kan aku. Aku yakin pasti ada sesuatu terjadi. Kalau saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang terjadi, dan andaikata dia memutuskan cinta secara terus terang, tentu aku tidak akan menderita dalam keadaan yang serba tidak menentu ini. Adik Siang In"

   Puteri mengakhiri ceritanya. Siang In mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang dara yang sejak kecilnya biasa hidup bebas, tidak pernah terkekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi, seperti juga burung yang bebas, kadang-kadang dia harus menderita kekurangan makan, menderita kepanasan dan kehujanan, namun semua itu tidak mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas. Tidak seperti Syanti Dewi yang andaikata seekor burung hidup di dalam sangkar, biarpun sangkar itu terbuat daripada emas dan dihias permata, biarpun di dalam sangkar itu penuh dengan makanan berlimpah.

   "Puteri...."

   "In-moi (Adik In), setelah semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka janganlah kau menyebut Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak)."

   "Baiklah Enci Syanti Dewi,"

   Jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri.

   "Aihhhhh, siapa sangka aku akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini, Enci Syanti Dewi. Terus terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini. Mengapa selama bertahun-tahun ini engkau diam saja, menenggelamkan diri dalam air mata dan kedukaan? Mengapa engkau tidak mau bertindak?"

   "Bertindak? Tindakan apa yang dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah mengambil keputusan itu tentu demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat membantah kehendak Ayah?"

   "Hemmm.... mencintamu? Terus terang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin tidak enak didengar ini. Akan tetapi.... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja itu, tidak mencintamu, Enci."

   Dengan wajahnya yang agak pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat mukanya memandang wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu.

   "Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan seperti juga semua ayah di dunia ini, dia melakukan semua itu demi cintanya kepadaku."

   "Hemmm, pendapat yang kolot dan keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, seperti juga kebanyakan ayah di dunia ini, pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan tetapi cinta pada dirinya sendiri ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih mencinta anak-anaknya! Semua tindakannya terhadap dirimu itu sama sekali bukan karena cintanya kepadamu, melainkan karena cintanya kepada diri sendiri!"

   "Eh, bagaimana kau bisa bilang begitu Siang In?"

   "Coba saja renungkan. Orang yang mencinta tentu selalu menunjukkan tindakan-tindakannya untuk membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta, bukan?"

   Syanti Dewi mengangguk.

   "Nah, tindakan Ayahmu memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksamu berjodoh dengan Mohinta ini, apakah tindakan ini membahagiakan dan menyenangkan hatimu?"

   "Tidak, akan tetapi dia maksudkan demi kebaikanku."

   "Itulah kepalsuanya, itulah tutup-tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya. Sebetulnya semua itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya sendiri! Betapa banyaknya, bahkan hampir semua, orang-orang tua yang menujukan segala tindakan demi untuk memenuhi kehendaknya sendiri, demi untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi mereka menggunakan dalih membahagiakan anak, padahal si anak hanya dijadikan alat untuk dia mencapai keinginan hati-nya itulah! Si anak tidak penting lagi, yang penting adalah rencananya untuk membahagiakan anak, sungguhpun pada hakekatnya si anak tidak bahagia dengan rencananya itu!"

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"In-moi....!"

   Syanti Dewi berseru dengan mata terbelalak.

   "Apakah kau hendak mengatakan bahwa Ayahku jahat....?"

   Dara itu menggeleng kepala,

   "Siapapun adanya dia itu, kalau dia masih belum sadar akan kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa tindakanya itu benar belaka dan semua tindakan yang dianggap benar itu hanya akan mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan, seperti yang kau alami ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh cinta kasih terhadapmu. Enci, apakah tindakan cinta kasih menimbulkan kesengsara dan kedukaan?"

   Syanti Dewi memegangi kedua pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng kepalanya.

   "Ah, aku tidak tahu.... semua kata-katamu membuat aku bingung sekali, Adik In! Habis, apa yang harus kulakukan?"

   "Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan kalau memang Enci yakin bahwa dia mencintamu...."

   "Aku yakin benar akan cintanya!"

   "Kalau begitu, tentu ada sesuatu yang memaksa dia meninggalkan Enci tanpa pamit!"

   "Kalau begitu, mengapa Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih Eci itu, daripada menerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon jodoh yang tidak Enci cinta?"

   "Pergi....? Kau maksudkan minggat dari istana?"

   Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih.

   "Aihhh, In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos saja dari sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu menjagaku dan istana ini siang malam dikepung oleh ratusan orang pengawal."

   "Hal itu tidak penting. Yang penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi mencari Tek Hoat?"

   "Tentu saja aku mau!"

   "Meninggalkan kedudukan Enci sebagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan ini, mungkin menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan....?"

   "Tentu aku mau dan aku berani menghadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek Hoat."

   "Bagus!"

   Siang In berseru girang.

   "Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sangkar emas ini, Enci."

   Syanti Dewi girang sekali dan dia merangkul dara itu. Sejenak mereka berangkulan, lalu Siang In berkata,

   "Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman dalam perantauan "

   "Siapa bilang belum berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah merantau dan menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama sekali tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran seperti itu."

   "Bagus, akan tetapi betapapun juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya perjalananmu ke timur. Besok aku akan mencari akal untuk membawamu keluar dari sini dengan aman."

   Syanti Dewi lalu berkemas, hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu berseri. Membayangkan betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran dalam mencari kekasihnya, mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa pun demi pertemuannya kembali dengan Tek Hoat!

   Dan malam itu, tidak seperti malam yang sudah, puteri ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang In. Mereka tidak tahu bahwa setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa curiga lalu mengerahkan jagoan-jagoan istana untuk mengurung dan menjaga kamar sang puteri. Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri tunangannya itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia sendiri pun melakukan penjagaan di sekitar istana tunangannya. Oleh karena penjagaan yang diperketat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang hendak memeriksa keadaan keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi sekali pada keesokan harinya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang membentak nyaring,

   "Siluman jahat!, jangan lari!"

   Siang In terkejut. Tak disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agaknya memiliki kepandaian lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat keluar dari semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam runcing dari kanan kiri ke arah lambungnya! Siang In tersenyum manis sekali sambil menoleh ke kanan kiri memandangi kedua orang perwira itu yang menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka todong adalah seorang dara remaja yang sedemikian cantik jelitanya. Akan tetapi mereka telah mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda bahwa mereka tidak boleh sekali-kali terbujuk dan tertipu oleh seorang dara remaja yang cantik, karena dia itu adalah siluman!

   "Eh-eh, kalian ini mau apakah?"

   Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang matanya yang indah jeli itu menyambar keluar sinar yang amat kuat dan aneh, sedangkan tangannya bergerak-gerak.

   "Menyerahlah engkau, siluman, kalau tidak, pedang kami akan menembus tu-buhmu!"

   Bentak di sebelah kirinya.

   "Berlututlah engkau!"

   Perwira di sebelah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung pedangnya pada pinggang yang ramping itu. Siang In tertawa dan berkata dengan suara meyakinkan,

   "Ihhh, kalian berdua ini apakah sudah gila? Mana pedang kalian? Dan mengapa kalian berdua memegang dan bermain-main dengan ular? Awas, kalian akan digigit oleh ular-ular itu!"

   Dua orang perwira itu terkejut dan memandang pedang mereka. Wajah mereka menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata benar-benar bukanlah sebatang pedang melainkan seekor ular cobra! Mereka memegang ular itu pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka, lehernya menggembung dan mulutnya mengeluarkan desis mengerikan, matanya bersinar-sinar, siap untuk mematuk.

   "Ihhhhh.... ularrrrr....!"

   "Hiiiiihhhhh.... aih, celaka....!"

   Mereka berdua berusaha untuk membuang ular-ular itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang mereka genggam itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat dilepaskan lagi! Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apalagi ketika ular-ular itu makin mendekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting meninggalkan taman itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat kembali ke dalam istana Syanti Dewi. Mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang adalah seekor ular cobra!

   "Siapakah yang berteriak-teriak itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?"

   Syanti Dewi menyambut kedatangan dara itu dengan hati tegang.

   "Dua orang pengawal. Wah, benar seperti yang kau ceritakan, Enci, tempat ini penuh dengan penjagaan pengawal."

   "Habis, bagaimana kita dapat lolos dari sini? Apakah engkau tidak bisa mempergunakan ilmu sihirmu itu, In-moi?"

   Syanti Dewi makin gelisah ketika mendengar suara ribut-ribut di luar dan agaknya dua orang pengawal yang berteriak-teriak tadi sudah menyebarkan cerita tentang siluman cantik yang mempermainkan mereka. Siang In duduk dan menopang dagunya yang manis itu, kedua alis matanya yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis itu berkerut merut. Dia menggeleng kepala menjawab pertanyaan puteri itu.

   "Aku dapat mempengaruhi belasan orang dengan permainan sihir, akan tetapi sukar sekali mempengaruhi ratusan orang pengawal sekaligus, Enci. Pula di antara mereka terdapat banyak orang-orang yang berkemauan dan berbatin kuat sehingga belum tentu usahaku akan berhasil. Bagi aku sendiri, tentu saja dapat lolos dengan mudah. Akan tetapi kalau membawamu, kurasa akan sukar sekali hasilnya. Sebaiknya diatur begini saja, Enci. Aku akan menimbulkan geger, menggoda dan mempermainkan mereka, memancing mereka agar seluruh pengawal yang berjaga di sini akan ter-tarik ke suatu jurusan. Dalam saat itu, selagi semua pengawal ribut mengurungku, engkau meloloskan diri dari istana ini. Kemudian kita bertemu di luar istana dan aku selanjutnya akan membawamu melarikan diri. Bagaimana?"

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 36 Kisah Sepasang Rajawali Eps 50 Kisah Sepasang Rajawali Eps 51

Cari Blog Ini