Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 34


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 34



"Engkau memang seorang wanita yang cantik sekali, Mo-li...."

   Akhirnya dia berkata, ucapan yang bukan pujian kosong belaka melainkan pengakuan yang keluar dari lubuk hatinya. Sepasang mata itu terbelalak seperti orang heran, kemudian bersinar-sinar dan wajah yang berkulit putih kemerahan dan halus itu berseri.

   "Aihhh.... benarkah itu? Tek Hoat, kuminta kepadamu, dalam saat seperti ini.... aku bersungguh-sungguh, jangan kau goda aku, jangan kau-permainkan aku, benarkah kata-katamu itu?"

   "Kau memang cantik sekali."

   "Akan tetapi, orang menyebutku iblis betina....!

   "Mungkin kau iblis betina, akan tetapi iblis betina yang cantik,"

   Tek Hoat membelai rambut panjang yang sanggulnya terlepas itu,

   "Dan rambutmu amat halus mengkilap dan panjang."

   Makin berseri wajah itu dan bibir yang memang bentuknya manis itu ter-senyum.

   "Ahhh, Tek Hoat, jangan mempermainkan aku....! Aku lebih tua darimu, aku sudah tua sekali, sudah hampir nenek-nenek...."

   Tek Hoat juga tersenyum. Dalam percakapan seperti ini, dia menemukan dalam diri Mauw Siauw Mo-li itu seorang manusia wanita biasa! Sama sekali bukan wanita iblis yang jahat dan keji, melainkan seorang wanita yang kalau dipuji oleh pria lalu menjadi bahagia hatinya, menjadi manja dan memancing pujian-pujian berikutnya!

   "Usia tidak penting, yang nyata engkau adalah seorang wanita cantik yang kelihatannya tidak lebih dari dua puluh tahun usianya...."

   Rangkulan kedua lengan itu mengetat di pinggang Tek Hoat.

   "Benarkah itu? Tek Hoat...., ah, benarkah bahwa akhirnya ada pula rasa sayang dalam hatimu terhadapku? Benarkah bahwa engkau juga.... cinta kepadaku, Tek Hoat? Ahhh, betapa hatiku menanti jawabanmu seperti rumput kering menantikan turunnya hujan...."

   Tek Hoat tersenyum dalam hatinya. Teringat dia akan perasaan hatinya terhadap Syanti Dewi! Tiap kali dia berhadapan dengan kekasihnya itu dan bercakap-cakap, terus saja timbul sifat romantisnya, timbul pula keinginannya untuk bernyanyi, bersajak atau setidaknya mempergunakan kata-kata yang indah-indah! Kini Mauw Siauw Mo-li agaknya pun tidak terluput dari dorongan suasana hati itu. Kata-katanya mulai indah-indah dan muluk-muluk!

   "Mo-li, terus terang saja, aku hanya mencinta seorang di dunia ini. Akan tetapi aku suka kepadamu, Mo-li, dan aku tidak berbohong ketika kukatakan bahwa engkau seorang wanita yang cantik sekali."

   Tangan kanan wanita itu melepaskan rangkulan di pinggang dan kini mengusap dagu Tek Hoat dengan mesra dan manja.

   "Aku masih belum, percaya benar.... apanya yang cantik pada diriku yang tua ini....?"

   Jelas bahwa wanita ini yang sedang dibuai cinta memancing-mancing pujian lebih banyak lagi!

   "Wajahmu, alismu, matamu, hidungmu, mulutmu dan.... hemmm, bentuk tubuhmu juga amat indah menggairahkan...."

   "Hi-hik....!"

   Mauw Siauw Mo-li meloncat berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari.

   "Engkau menduga-duga saja, untuk menyenangkan hatiku. Engkau kejam, Tek Hoat, engkau hanya mengejek dan mempermainkan aku yang benar-benar tergila-gila kepadamu, yang mencintamu seperti yang belum pernah kurasakan terhadap pria yang manapun!"

   Dalam hatinya, Lauw Hong Kui merasa bahwa dia berbohong karena sebelum ini pernah dia merasakan cinta yang sama seperti ini, yaitu terhadap Suma Kian Bu (baca Kisah Sepasang Rajawali).

   "Tidak, aku tidak mempermainkanmu ketika aku memuji kecantikanmu, Mo-li."

   "Dan tubuhku?"

   "Hemmm.... dan tubuhmu."

   "Menggairahkan katamu?"

   Wajah Tek Hoat menjadi merah, akan tetapi dia mengangguk.

   "Ya, menggairahkan."

   Mauw Siauw Mo-li tertawa. Memang manis dia kalau tersenyum atau tertawa, memperlihatkan sekilas pandang giginya yang rata dan putih, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, dengan suara tenggorokan yang ditahan.

   "Hi-hik! Engkau hanya menduga-duga saja. Engkau belum pernah melihat tubuhku, bagaimana bisa mengatakan bahwa bentuk tubuhku indah menggairahkan?"

   Wajah Tek Hoat makin menjadi merah.

   "Mudah dilihat dan diduga...."

   Dia menjawab juga. Mauw Siauw Mo-li melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, menariknya perlahan sehingga Tek Hoat juga berdiri. Mauw Siauw Mo-li lalu merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu, mendekatkan mukanya sampai napasnya terasa oleh pipi Tek Hoat dan dia berbisik setelah mengeluarkan suara erangan kecil seperti kucing diusap kepalanya,

   "Tek Hoat, aku ingin kau tidak menduga-duga, melainkan melihatnya sendiri bentuk tubuhku. Kau bukalah...."

   Akan tetapi Tek Hoat yang mulai terseret oleh rayuan dan suasana romantis yang ditimbulkan oleh sikap dan kata-kata Mauw Siauw Mo-li, menggeleng kepala sungguhpun dia masih tersenyum.

   "Hi-hik, kau malu-malu? Engkau memang seorang pemuda hebat. Keras, angkuh, berkuasa, berwibawa, tidak mudah tunduk, mau menang selalu, dan kadang-kadang amat lembut seperti sekarang ini! Dan engkau tidak mudah terayu oleh wanita! Ah, betapa hebat dan kagum sekali hatiku, Tek Hoat. Baiklah, biar aku sendiri yang akan membuka pakaian ini, agar engkau tidak hanya menduga-duga saja dalam menilai tubuhku."

   Mauw Siauw Mo-li lalu mendorong tubuh pemuda itu dengan lembut sehingga Tek Hoat terduduk di atas pembaringan. Pemuda ini memandang dan jantungnya berdebar tegang. Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita cantik yang sudah mahir sekali berlagak dan bergaya untuk memikat hati pria. Dia sudah mengenal betul sifat-sifat pria pada umumnya dan dengan mudah dia dapat pula menjajagi perasaan hati Tek Hoat.

   Dengan gerakan yang lemah gemulai, genit namun tidak menjemukan, mulailah wanita ini melepaskan kancing bajunya satu demi satu, gerakannya lambat, ragu-ragu, dengan jari-jari tangan gemetar buatan, dengan kerling mata dan senyum bibir malu-malu seperti seorang perawan yang baru pertama kalinya berhadapan dengan pria. Tek Hoat benar-benar menghadapi rayuan maut yang amat hebat. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika dia melihat pakaian itu tanggal satu demi satu dengan cara penanggalannya demikian memikat, setiap potong pakaian diloloskan dari tubuh secara perlahan, sedikit demi sedikit sampai akhirnya Mauw Siauw Mo-li berdiri tanpa penutup tubuh sama sekali bermandikan sinar api lilin yang kemerahan dan bergoyang-goyang membentuk bayang-bayang aneh di dinding.

   "Ihhh.... hi-hik, matamu seperti mengeluarkan api, Tek Hoat...."

   Bisiknya halus dan wanita ini lalu mengangkat kedua lengannya ke atas, menggunakan jari-jari tangannya untuk membereskan rambut kepala yang awut-awutan. Gerakan ini benar-benar merupakan gerakan khas wanita di bagian manapun di dunia ini dan pengangkatan kedua lengan ke atas itu menonjolkan keindahan bentuk tubuh wanita, dadanya makin menonjol, kerampingannya makin nampak dan tubuhnya makin polos, dan terbuka. Tek Hoat adalah seorang pemuda normal yang biasa saja. Menyaksikan semua pertunjukan ini, napasnya agak memburu dan mukanya merah sekali.

   "Hi-hik, kau kenapa, Tek Hoat?"

   Mauw Siauw Mo-li lalu melangkah maju, langkahnya perlahan dan seperti orang menari, kemudian tahu-tahu dia telah duduk di atas pangkuan pemuda itu, merangkulkan kedua lengannya ke leher Tek Hoat dan tahu-tahu pula Tek Hoat merasa betapa mulutnya dicium oleh bibir yang panas dan lembut. Belum pernah selama hidupnya dia dicium wanita seperti ini! Semua bagian mulut wanita itu hidup dan membelai mulutnya. Tek Hoat hanyut dan terseret oleh gelombang nafsu yang ditimbulkan oleh Mauw Siauw Mo-li secara hebat itu dan hampir Tek Hoat tenggelam.

   Seluruh perasaannya terpusat pada ciuman wanita itu dan belaian tangan Mauw Siauw Mo-li yang mulai menggerayangi tubuhnya dan jari-jari tangan wanita itu mulai menyentuh kancing-kancing bajunya. Ketika Tek Hoat mendengar suara aneh dari kerongkongan wanita itu, suara seperti seekor kucing mengerang-erang, dia merasa seperti disambar petir. Teringatlah dia bahwa yang memeluknya di atas pembaringan ini bukan Syanti Dewi! Dia tadi seperti dalam mimpi, seolah-olah Syanti Dewi yang memeluk dan menciumnya, sungguhpun dia tadi merasa terheran-heran karena seingatnya, Syanti Dewi tidak pernah bersikap "menyerang"

   Sehebat itu dalam pencurahan kasih sayang. Pernah dia mencium kekasihnya itu, namun sungguh berbeda sekali sikap dan gerak sambutan Puteri Bhutan itu dengan Mauw Siauw Mo-li.

   Syanti Dewi adalah lambang kesucian dan kehalusan, akan tetapi wanita ini amat ganas! Erangan seperti suara kucing itu menyadarkan Tek Hoat dan kalau tadi dia menutupkan kedua matanya, kedua tangannya membalas pelukan dan dia mem-biarkan mulutnya diciumi secara luar biasa itu, kini dia membuka matanya dan ternyata bahwa lilin telah padam sehingga kamar itu menjadi gelap sekali. Kiranya dengan gerakan tangannya, Mauw Siauw Mo-li telah memadamkan lilin di atas meja. Dengan susah payah akhirnya Tek Hoat dapat melepaskan bibirnya dari cengkeraman mulut Mauw Siauw Moli. Terdengar napas mendengus-dengus, napasnya sendiri dan napas wanita itu setelah ciuman dilepaskan. Rintihan Mauw Siauw Mo-li makin panas, tangannya merenggut lepas tiga buah kancing baju Tek Hoat sekali tarik.

   "Nanti dulu.... Mo-li, nanti dulu...."

   "Tek Hoat...."

   Mauw Siauw Mo-li menahan ketika Tek Hoat hendak bangkit duduk. Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena sudah mengerang lagi seperti seekor kucing. Bulu tengkuk Tek Hoat meremang mendengar suara ini.

   "Nanti dulu, Mo-li. Dengar, aku hendak.... hendak ke belakang dulu...."

   Katanya.

   "Ehhh....? Hi-hik.... baiklah, tapi jangan lama-lama, kekasih...."

   Kedua tangannya melepaskan pelukan. Tek Hoat bangkit duduk dan turun dari pembaringan, sudah setengah telanjang. Tidak ingat lagi dia kapan Mauw Siauw Mo-li telah hampir menelanjanginya itu. Akan tetapi sebelum dia melangkah, Mauw Siauw Mo-li rengerang.

   "Tek Ho-at.... katakan dulu.... benarkah kau menganggap aku cantik menarik?"

   "Ya, aku tidak berbohong."

   "Dan kau suka kepadaku?"

   "Aku suka sekali...."

   "Kalau begitu, coba kau cium aku...."

   Di dalam gelap, Tek Hoat tersenyum, lalu dia menghampiri pembaringan dan membungkuk, menggunakan tangannya meraba dan setelah dia menyentuh pundak wanita itu, dia lalu mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita yang panas itu dengan mesra. Dicium semesra itu, Mauw Siauw Mo-li mengerang dan merangkul, hendak menarik lagi Tek Hoat ke atas pembaringan.

   "Nanti dulu, sebentar, aku takkan lama, Mo-li...."

   Tek Hoat melepaskan rangkulan dua tangan itu, meraba-raba di atas meja dan tak lama kemudian dia membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu, menuju ke belakang, ke kamar kecil! Terlalu lama bagi Mauw Siauw Mo-li menanti di dalam kamar, akan tetapi membayangkan penyerahan diri pemuda yang membuatnya tergila-gila itu membuat dia bersabar menanti dengan tubuh panas semua karena api berahi telah membakarnya berkobar-kobar. Terdengar daun pintu terbuka, sesosok bayangan masuk dan daun pintu ditutup iagi.

   "Ahhhhh.... kekasih.... pujaanku.... kesinilah.... cepat sini....!"

   Mauw Siauw Mo-li berbisik. Bayangan itu menghampiri pembaringan dan segera disambar oleh kedua tangan Mauw Siauw Mo-li, ditariknya ke atas pembaringan.

   Di luar jendela kamar itu, Ang Tek Hoat berdiri dan tersenyum. Tangannya memegang segulungan pakaian, pakaian Mauw Siauw Mo-li yang diam-diam dibawanya keluar tadi. Ketika tadi dia dibelai dan dirayu oleh wanita itu, hampir saja dia terseret dan tenggelam. Akan tetapi, suara mengerang seperti kucing itu menyadarkannya bahwa dia berada dalam pelukan Siluman Kucing! Maka timbuliah akalnya untuk mempermainkan wanita ini. Dia pura-pura hendak ke belakang, akan tetapi diam-diam dia menambah minyak dalam api berahi itu dengan bersikap manis dan memberi ciuman, dan disambarnya semua pakaian Mauw Siauw Mo-li, dibawa keluar. Setelah tiba di luar kamar, Tek Hoat mempergunakan kepandaiannya, mendatangi kamar pelayan berwajah bopeng dan buruk sekali itu. Pelayan ini masih belum tidur dan menjadi terkejut ketika tiba-tiba pintunya terbuka dan pemuda yang dilayaninya tadi berdiri di situ.

   "Sssttttt.... Paman, cepat kau ikut aku!"

   Pelayan itu mengenal Tek Hoat sebagai tamu yang royal dengan hadiah, akan tetapi juga galak, maka dia cepat turun dari pembaringan.

   "Ada apa, Kongcu?"

   "Kau mau.... eh, bermain dengan seorang wanita cantik? Lebih cantik dari Kim Lian tadi?"

   "Aihhh, jangan main-main, Kongcu. Orang seperti saya mana ada uang untuk...."

   "Tak usah bayar, aku sudah membayarnya. Aku lelah, dan kauwakili aku, tapi diam-diam saja jangan keluarkan suara, ya? Kau harus begini...."

   Tek Hoat berbisik-bisik di dekat telinga pelayan itu yang membelalakkan mata, terkekeh dan nengangguk-angguk. Dengan tergesa-gesa, pelayan itu ditarik oleh Tek Hoat sampai ke depan pintu kamarnya, dalam keadaan tidak berpakaian sama sekali! Kemudian, setengah didorong, pelayan itu memasuki kamarnya yang gelap dan pelayan itu segera disambut oleh kedua lengan Mauw Siauw Mo-li yang mulus dan tubuhnya yang hangat. Mauw Siauw Mo-li sedang terbakar nafsu berahi, dalam gelap itu mana dapat membedakan orang? Apalagi, nafsu berahi, seperti nafsu lain, hanyalah merupakan permainan dari dirinya sendiri belaka. Jika nafsu berahi telah berkobar, bantuan dari luar untuk pemuasan nafsu tidaklah merupakan hal yang mutlak penting.

   Apalagi semua indera dari Mauw Siauw Mo-li seolah-olah telah menjadi tumpul dan buta sehingga dia tidak lagi dapat membedakan orang dan di dalam gelap itu, dia segera menggelut pelayan bopeng yang merasa terkejut, heran, juga amat girang karena dia seolah-olah menjadi seperti seorang kelaparan yang diberi hidangan lezat dan banyak sehingga dia pun makanlah dengan lahap dan rakusnya! Dari luar jendela, Tek Hoat tersenyum mendengar erangan seperti kucing itu, dan bisikan-bisikan yang menyatakan kagum dan pujian terhadap dirinya oleh Mauw Siauw Mo-li. Maka dia lalu meloncat pergi sambil tersenyum lebar. Mudah-mudahan saja besok Mauw Siauw Mo-li akan sadar bahwa cinta tidak dapat dipaksa-paksakan, pikirnya. Kini berkurang rasa bencinya terhadap Mauw Siauw Mo-li.

   Dia tahu bahwa wanita itu telah menjadi hamba dari nafsu berahinya, yang merupakan semacam penyakit yang mendalam sehingga selama hidupnya, wanita itu akan menjadi tersiksa oleh penyakit itu, hidupnya tidak akan dapat tenteram, nafsu berahinya seperti api yang berkobar dan makin lama makin berkobar, membara dan membakar segala-galanya tanpa pernah mengenal kepuasan. Dalam diri wanita itu seperti telah dicengkeram oleh racun yang amat dahsyat! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah kegelapan dalam kamar terusir oleh sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui lubang-lubang di atas jendela, terdengar teriakan panjang mengerikan dari dalam kamar Tek Hoat. Teriakan ini keluar dari mulut pelayan bopeng, disusul oleh suara maki-makian yang marah dari Mauw Siauw Mo-li.

   Ketika wanita ini terbangun dan mendapatkan dirinya dalam pelukan seorang laki-laki yang berwajah buruk sekali, dia menjerit dan melemparkan pelayan itu dengan sekali gerakan saja ke atas lantai! Pelayan itu terkejut dan berteriak, akan tetapi teriakkannya memanjang mengantar nyawanya ketika Mauw Siauw Mo-li sudah meloncat dan sekali tangannya terayun, pelayan itu roboh dengan kepala pecah! Mauw Siauw Mo-li mencari pakaiannya dan ketika melihat bahwa pakaiannya hilang, dia memaki-maki dengan kemarahan meluap-luap. Tahulah dia bahwa dia telah dipermainkan oleh Ang Tek Hoat! Dua titik air mata meloncat keluar dari matanya, akan tetapi kini kemarahannya mengatasi kekecewaannya dan dia memaki-maki dan menendang, membanting dan menghancurkan seisi kamar itu.

   "Tek Hoat keparat! Jahanam besar kau! Kubunuh kau....!"

   Tiba-tiba pintu kamar itu terketuk orang keras-keras dari luar dan terdengar suara ribut-ribut. Itu adalah suara para pelayan lain, dan para pengurus rumah penginapan dan para tamu yang mendengar teriakan mengerikan tadi. Mauw Siauw Mo-li terkejut dan bingung. Dia telanjang bulat!

   "Braaaaakkkkk....!"

   Pintu dijebol banyak orang dari luar. Melihat ini, Mauw Siauw Mo-li terpaksa meloncat keluar dari jendela dalam keadaan telanjang bulat. Akan tetapi, ternyata di luar jendela telah banyak orang pula, bahkan ada petugas keamanan mengurung tempat itu. Tentu saja semua ini adalah perbuatan Tek Hoat yang memberi tahu orang-orang dan petugas itu bahwa di dalam kamarnya terdapat siluman yang suka membunuh orang! Beberapa orang yang melihat wanita cantik jelita dan telanjang bulat itu menjadi terkejut, akan tetapi ketika melihat pelayan bopeng rebah di atas lantai berlumur darah mukanya dan telah tewas, mereka menjadi marah.

   "Tangkap siluman!"

   "Dia membunuh orang!"

   "Bunuh saja dia! Awas, hadang dia, jangan sampai kabur!"

   Banyak orang menyerbu ke dalam kamar,

   Akan tetapi tentu saja dengan sekali gerakan Mauw Siauw Mo-li telah berhasil merobohkan beberapa orang, kemudian dia menerobos keluar jendela, menendang dan memukul roboh mereka yang berani menghalanginya dan dengan beberapa kali lompatan di atas genteng-genteng rumah orang, lenyaplah wanita telanjang bulat yang cantik itu! Tentu saja peristiwa itu menjadi "dongeng"' yang banyak diceritakan orang yang rnenganggap bahwa wanita cantik itu pasti benar-benar siluman! Kalau manusia, mana mungkin ada seorang wanita yang demikian cantiknya suka bermain cinta dengan seorang laki-laki yang demikian buruknya seperti pelayan itu, yang selain buruk, juga sudah setengah tua dan miskin? Dan pelayan itu dibunuhnya. Siapa lagi wanita itu kalau bukan siluman? Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li menjadi marah dan sakit hati sekali terhadap Tek Hoat.

   Akan tetapi ke manakah dia harus mencari Tek Hoat? Pemuda itu sudah pergi jauh, dan selain itu, andaikata dia dapat bertemu dengan pemuda itu, apa yang dapat dia lakukan terhadapnya? Dia tahu bahwa Tek Hoat memiliki kepandaian yang amat tinggi dan dia tidak akan menang melawan pemuda itu. Ingin dia menangis kalau mengingat betapa dia gagal mendapatkan diri pemuda itu. Bagaikan sepotong daging, pemuda itu sudah berada di dalam mulutnya, tinggal menelannya saja, akan tetapi daging itu terloncat keluar dari dalam mulutnya dan dia bukan hanya gagal mendapatkannya, bahkan sebaliknya dia dipermainkan! Hatinya sakit sekali dan dalam keadaan seperti ini, Mauw Siauw Mo-li berjanji dalam hati sendiri untuk mencari jalan agar kelak dia dapat membalas penghinaan itu.

   Lereng Bukit Tai-hang-san memiliki pemandangan alam yang amat indah. Terutama sekali di lereng gunung di mana berdiri Kuil Kwan-im-bio itu. Sungguh bagian lereng gunung ini merupakan tempat yang subur sekali tanahnya karena sumber air di dekat puncak mengalir melalui lereng ini. Segala macam tanaman rempah-rempah yang mengandung khasiat pengobatan dan racun ampuh dan bunga-bunga indah dan aneh-aneh yang tidak terdapat di daerah lain. Mungkin terpengaruh oleh cara hidup para nikouw (pendeta wanita) yang mendiami Kuil Kwan-im-bio itu, cara hidup penuh ketenteraman, ketenangan dan kedamaian, maka para penduduk di dusun-dusun sekitar daerah lereng ini pun hidup tenteram dan tenang.

   Bahkan binatang-binatang hutan yang terdapat di lereng itu, burung-burung yang berkembang biak dengan amannya, kelihatan jinak dan tidak takut kepada manusia karena manusia yang tinggal di sekitar daerah itu tidak pernah ada yang mengganggu mereka. Kuil Kwan-im-bio yang berada di lereng itu dipimpin oleh Kim Sim Nikouw, seorang pendeta wanita yang lemah lembut dan manis budi, yang dikenal oleh seluruh penduduk pegunungan itu sebagai seorang pendeta yang suka menolong mereka yang sedang dilanda kesusahan, dikenal sebagai seorang ahli pengobatan dan juga seorang yang biarpun kelihatan lemah namun sesungguhnya merupakan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga tidak ada orang jahat pernah berani mencoba-coba untuk mengganggu daerah itu.

   Akan tetapi, Kim Sim Nikouw tidak pernah mau memperlihatkan kepandaiannya, apalagi untuk berkelahi, bahkan dia selalu mengalah dan bersikap manis terhadap siapapun juga sehingga banyak orang jatuh olehnya bukan dengan kekerasan atau kepandaian silat, melainkan oleh sikapnya yang manis budi. Kejatuhan seperti ini bukan merupakan kejahatan yang mengandung dendam dan sakit hati, sebaliknya malah kejatuhan seperti ini mengandung daya tarik yang membangkitkan rasa sayang di dalam hati semua orang terhadap nikouw tua ini. Usia Kim Sim Nikouw sudah mendekati enam puluh tahun namun wajahnya masih nampak berkulit halus dan kemerahan, tanda sehat dan segar, masih jelas nampak bekas kecantikan wajahnya. Memang nikouw ini dahulu adalah seorang wanita yang amat cantik dan tangkas.

   Dan ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali karena dia bukan lain adalah bekas suci dari Pendekar Super Sakti yang kini menjadi Majikan Pulau Es (baca cerita Pendekar Super Sakti). Biarpun nikouw ini kelihatan lemah dan manis budi, namun sesungguhnya di waktu mudanya dia pernah menjadi murid seorang datuk kaum sesat yang bertangan kejam sekali. Bahkan nikouw ini memiliki pula pukulan yang dinamakan Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), di samping tenaga dingin Swat-im Sin-kang yang amat mujijat. Akan tetapi, belum pernah ada orang yang menyaksikan nikouw itu mempergunakan pukulan mengerikan dan tenaga mujijat itu, kepandaian yang oleh nikouw itu sendiri tidak disukainya. Akan tetapi yang pernah nampak oleh orang lain adalah kepandaian berlari cepat dari nikouw ini.

   Kim Sim Nikouw selama puluhan tahun telah menciptakan ilmu meringankan tubuh yang amat hebat sehingga dia dapat berlari seperti terbang cepatnya dan kedua kakinya seolah-olah menginjak ujung rumput-rumput di atas tanah. Ilmu ciptaannya ini adalah Ilmu Jouw-sang-hui-eng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) dan ada pula gerakan-gerakan yang luar biasa cepatnya dan yang diberinya nama Ilmu Sin-ho Coan-in (Bangau Sakti Terjang Awan). Sikap dan sifat Kim Sim Nikouw memang membuat dia pantas sekali menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, karena dewi yang dipuja-puja di kuil itu sendiri, yaitu Kwan Im Pouwsat, adalah dewi lambang dari kebijaksanaan dan belas kasih, penolong dan pengampun. Murid-muridnya, yaitu para nikouw yang berada di kuil itu, semua tunduk kepadanya, taat bukan karena takut melainkan karena mencinta pendeta wanita ini. Dan para nikouw itu hanya menjadi muridnya dalam hal keagamaan saja.

   Satu-satunya nikouw yang menjadi muridnya dalam hal ilmu silat hanyalah seorang, yaitu Liang Wi Nikouw yang usianya malah lebih tua dari padanya! Liang Wi Nikouw telah berusia enam puluh lima tahun sedangkan Kim Sim Nikouw kurang lebih enam puluh tahun! Akan tetapi, semenjak beberapa bulan ini, Kim Sim Nikouw membawa pulang seorang dara remaja yang usianya baru delapan belas tahun, seorang dara yang bersikap lemah lembut, berwajah cantik dan gerak-geriknya halus. Dara ini bukan lain adalah Phang Cui Lan, puteri mendiang kepala kampung Cian-li-cung di dekat Lok-yang, dara yatim piatu yang hidup sebatangkara dan yang pernah menjadi dayang atau pelayan dari keluarga Gubernur Ho-nan. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, dayang yang muda dan cantik ini, biarpun merupakan seorang wanita lemah,

   Namun dia memiliki keberanian yang amat mengagumkan dan dengan cara luar biasa dia telah berhasil menyelamatkan Gubernur Ho-pei dari ancaman bahaya ketika Gubernur Ho-pei ini tertawan oleh Gubernur Ho-nan yang hendak memberontak. Dan telah dituturkan pula betapa Cui Lan diangkat anak oleh Gubernur Ho-pei dan diajak pulang ke Ho-pei. Akan tetapi di tengah jalan, Cui Lan bertemu kembali dengan satu-satunya, pria yang dipujanya dan yang diam-diam dicintanya, yaitu Siluman Kecil yang bertanding melawan kakek pembawa suling emas. Sikap Siluman Kecil yang tidak mempedulikannya, membuat hati dara ini hancur dan terluka. Kembali terbukti betapa cinta kasih yang sesungguhnya bukan cinta kasih murni melainkan cinta kasih yang mengikat, yang mengandung pamrih, yang disebut cinta kasih akan tetapi sebenarnya hanya merupakan pengejaran kesenangan diri pribadi,

   Selalu pasti mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan! Betapa banyak terjadi di dalam dunia ini cinta-cinta yang mendatangkan korban tak terhitung banyaknya dan bermacam-macam lika-likunya. Cinta seperti itu yang mendatangkan korban di antara manusia telah terjadi semenjak ribuan tahun, sedang terjadi pula sekarang ini dan mungkin akan terus terjadi selama manusia tidak menyadari betapa palsunya cinta kasih seperti itu. Betapa banyaknya kaum muda-mudi yang saling tertarik, bersumpah saling mencinta ketika mereka masih diombang-ambingkan oleh pengejaran untuk menyenangkan dirinya sendiri itu. Kemudian, setelah datang badai berupa sesuatu yang membuat hati mereka tidak senang, lunturlah cinta kasih itu, bahkan tidak jarang cinta mereka berubah menjadi kebencian!

   Cinta kasih macam itu tak dapat tiada tentu akan mendatangkan kepahitan, patah hati, kekecewaan, kebosanan, cemburu, dan sebagainya. Karena cinta kasih seperti itu isinya penuh dengan pamrih dan harapan, bayangan untuk kesenangan pribadi, maka apabila ternyata bahwa cinta kasih itu tidak mendatangkan kesenangan lagi, bahkan merugikan dan menyakitkan, cinta kasih itu berubah menjadi penderitaan dan kesengsaraan batin. Demikian pula dengan Phang Cui Lan. Dia mencinta Siluman Kecil, cinta yang didorong oleh rasa kagumnya terhadap Siluman Kecil yang pernah menolongnya. Cintanya berselubung harapan agar dia menjadi milik pria itu, agar pria itu membalas cintanya, agar dia selalu dapat berdampingan dengan pria itu karena hal ini akan amat menyenangkan hatinya.

   Demikianlah gambaran yang diharap-harapkannya. Oleh karena itu, karena melihat kenyataan betapa pendekar yang dipujanya itu sama sekali tidak mempedulikannya, sama sekali tidak menerima apalagi membalas cintanya, Phang Cui Lan mengalami pukulan batin yang hebat dan yang membuatnya merana.Untung baginya bahwa dalam keadaan itu dia bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang menaruh kasihan kepadanya dan mengajak dara itu tinggal di kuilnya. Kim Sim Nikouw merasa tertarik dan sayang kepada Cui Lan, karena dia melihat persamaan nasib antara dia dan dara itu. Dia sendiri di waktu mudanya juga mengalami patah hati yang amat membuatnya sengsara, yaitu ketika cintanya terhadap Pendekar Super Sakti tidak berhasil membuat dia berjodoh dengan pendekar itu.

   Dia pun pernah mengalami derita batin karena cinta gagal, maka kini menyaksikan keadaan Cui Lan, timbul rasa iba di dalam hatinya. Dara itu pun seorang yang yatim piatu seperti dia, dan gagal pula dalam cintanya. Dulu dia gagal dalam cintanya terhadap Pendekar Super Sakti dan kini Cui Lan gagal terhadap putera pendekar itu. Hati Cui Lan banyak terhibur dan terobati setelah dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Bahkan dara ini yang telah mengalami banyak hal-hal pahit dan maklum bahwa sebagai seorang wanita muda yang lemah dia terancam oleh berbagai kejahatan di dunia ramai, kini mulai mempelajari ilmu silat dari ketua Kwan-im-bio itu di samping menerima wejangan-wejangan kebatinan yang dapat dia pergunakan untuk mengatasi penderitaan batinnya.

   Akan tetapi, bukan hanya menjadi maksud hati Kim Sim Nikouw untuk sekedar mengobati luka di hati Cui Lan, agar dara itu dapat melupakan kedukaannya dan melupakan Kian Bu. Sama sekali tidak! Nikouw ini melihat kenyataan bahwa menghibur hati yang sengsara dengan cara memaksa diri menjadi nikouw bukanlah merupakan jalan yang baik, karena dia sendiri sudah merasakan betapa sampai sekarang pun hatinya kadang-kadang terluka dan perih kembali! Oleh karena itu, dia tidak ingin melihat Cui Lan mencontoh perbuatannya. Tidak, Cui Lan adalah seorang dara yang amat cantik dan baik, hal ini sudah diketahuinya benar selama beberapa hari saja setelah dara itu ikut bersamanya. Dara ini baik sekali, cukup baik dan cukup berharga untuk menjadi mantu Pendekar Super Sakti! Karena itu, diam-diam dia akan turun tangan, dia yang akan menjadi wali dan wakil orang tua dara ini untuk menjodohkan Cui Lan dengan Kian Bu!

   Cui Lan sendiri hanya dapat menduga-duga saja siapakah sebenarnya nikouw yang kini menjadi gurunya ini. Dia hanya tahu bahwa nikouw ini bersama Kim Sim Nikouw dan menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, akan tetapi dia tidak tahu apa hubungan nikouw ini dengan Siluman Kecil. Dia mendengar ketika dia mengintai bersama Hwee Li betapa Siluman Kecil menyebut nikouw ini "ibu". Akan tetapi dia tidak berani menanyakan kepada subonya. Pada suatu hari, setelah kurang lebih tiga bulan dia berguru kepada Kim Sim Nikouw, dan untuk ke sekian kalinya dia mengajukan permintaan agar diterima menjadi nikouw karena di dunia baru ini dia merasa seperti menemukan ketenteraman batin. Kim Sim Nikouw kembali menolaknya dan berkata kepada dara yang berlutut di depannya itu.

   "Cui Lan, ketahuilah bahwa engkau tidak berjodoh untuk menjadi pendeta."

   Cui Lan mengangkat mukanya yang tadi menunduk dan memandang kepada subonya dengan sinar mata penuh permohonan.

   "Akan tetapi, Subo. Teecu telah merasa tenteram dan senang hidup sebagai seorang pendeta. Apakah Subo hendak mengata-kan bahwa teecu masih terlalu kotor untuk menjadi nikouw?"

   "Omitohud....! Sama sekali tidak demikian muridku."

   "Kalau begitu, kenapakah, Subo? Harap Subo suka memberi penerangan kepada teecu."

   "Engkau ingin tahu mengapa aku melarangmu menjadi nikouw, Cui Lan? Karena.... karena pinni menyayangmu seperti anak sendiri, karena pinni tidak ingin engkau yang begini muda menyia-nyiakan hidupmu dan tidak menikmati hidupmu. Karena pinni tidak ingin engkau menjadi korban dari cinta gagal yang akan membuat hidupmu selalu merana dan sengsara, biarpun hal itu akan kau tutupi dengan jubah pendeta sekalipun!"

   Wajah Cui Lan berubah, agak pucat ketika dia memandang kepada nikouw itu dengan sinar mata terbelalak.

   "Apa.... apa maksud Subo....?"

   Nenek itu memandang kepada muridnya dengan sepasang matanya yang bersinar lembut namun tajam dan agaknya dapat menjenguk isi hati yang dipandangnya,

   "Cui Lan, engkau masih mencinta Siluman Kecil, bukan?"

   Wajah Cui Lan berubah menjadi merah dan dia menunduk, akan tetapi lalu menarik napas panjang dan sampai lama baru menjawab,

   "Teecu.... cinta padanya dan selama hidup teecu akan tetap mencintanya, Subo. Akan tetapi apa artinya semua itu? Tidak ada gunanya dan karena itulah maka teecu mengambil keputusan untuk menggunduli kepala dan masuk menjadi nikouw saja. Harap Subo suka mengabulkan permintaan teecu ini...."

   "Tahukah engkau siapa sebetulnya Siluman Kecil itu?"

   Cui Lan memandang gurunya.

   "Teecu tidak tahu, Subo. Dia.... dia diliputi penuh rahasia.... dan teecu pernah mendengar betapa dia menyebut Subo dengan sebutan ibu.... ah, bukan sekali-kali teecu bermaksud untuk menanyakan hal ini kepada Subo, teecu tidak berhak mengetahui...."

   "Anak baik, engkau amat sopan dan baik. Akan tetapi jangan khawatir. Dia bukanlah puteraku sungguhpun dia kuanggap sebagai anakku sendiri dan dia pernah mempelajari beberapa macam ilmu dari pinni. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan itu, melainkan bahwa dia itu putera dari Majikan Pulau Es, putera dari Pendekar Super Sakti, dan namanya adalah Suma Kian Bu."

   Cui Lan mengerut-kan alisnya, mengingat-ingat. Dia sama sekali tidak pernah mengenal nama Pendekar Super Sakti atau Majikan Pulau Es, akan tetapi nama Suma Kian Bu tidak asing baginya, terutama she Suma itu. Kemudian dia teringat,

   "Ah, teecu pernah mengenal seorang pendekar perkasa yang amat berbudi dan bernama Suma Kian Lee...."

   "Ehhh? Suma Kian Lee? Dia adalah kakak dari Suma Kian Bu atau Siluman Kecil!"

   "Ohhhhh....!"

   Cui Lan terbelalak dan kini dia mengerti mengapa dia merasa kagum dan suka sekali kepada Suma Kian Lee, bukan hanya karena Kian Lee merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi sekarang dia melihat bahwa memang terdapat persamaan antara kedua orang pemuda itu! Banyak sekali persamaan malah. Memang wajah mereka agak berbeda, memiliki ketampanan masing-masing, akan tetapi kini nampak olehnya bahwa memang terdapat persamaan yang kuat sekali, entah di dalam sinar matanya, atau dalam sikap mereka yang gagah.

   "Dan ketahuilah bahwa pinni adalah sahabat baik dari ayah mereka. Pendekar Super Sakti. Bukan hanya sahabat baik sekali, Cui Lan, bahkan dia itu dahulu adalah suteku sendiri. Pinni menganggap Kian Bu sebagai anak sendiri dan pinni melihat engkau memang pantas menjadi jodohnya, Cui Lan...."

   "Subo....!"

   Cui Lan menjerit dan mukanya berubah makin merah.

   "Dia.... dia tidak suka kepada teecu....!"

   "Ah, mana mungkin ada orang tidak suka kepadamu, Cui Lan? Dan anakku Kian Bu itu bukanlah pembenci orang."

   "Akan tetapi dia.... dia.... agaknya tidak dapat menerima perasaan teecu, Subo."

   Dia berhenti sebentar.

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dia.... tidak mencinta teecu.... tidak mungkin dia sudi berjodoh dengan, teecu."

   "Jangan khawatir, muridku. Aku cukup mengenal anakku Kian Bu. Bukannya dia tidak mencintamu, akan tetapi mungkin ada hal lain yang membuat dia agaknya sengaja menjauhimu. Akan tetapi, biarlah pinni yang akan menemuinya dan kalau perlu pinni yang akan membicarakan urusan perjodohan antara engkau dan Kian Bu dengan ayahnya, Pendekar Super Sakti. Kalau pinni yang bicara, pinni yakin akan ada perhatian dari keluarga mereka."

   Tiba-tiba Cui Lan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya, air mata yang terdorong oleh bermacam perasaan. Ada kesedihan, ada keharuan, akan tetapi juga ada kegirangan yang timbul oleh harapan baru. Hampir dia tidak percaya bahwa dia kelak akan dapat menjadi jodoh Siluman Kecli. Akan tetapi siapa tahu? Nasibnya berada di tangan subonya. Dia lalu memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai.

   "Subo.... teecu menyerahkan mati hidup teecu di tangan Subo, dan teecu hanya akan mentaati segala perintah Subo...."

   Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan menggerakkan tangannya, dengan lembut dia mengusap rambut kepala muridnya itu. Tak lama kemudian dia berkata,

   "Aihhh, betapa cinta kasih di dunia ini mendatangkan banyak korban di antara manusia! Pinni akan berusaha sungguh-sungguh, Cui Lan, karena pinni tidak menghendaki engkau mengalami nasib seperti wanita-wanita yang gagal dalam bercinta sehingga akhirnya hidup menderita selamanya. Pinni sendiri telah menemui kebahagiaan dalam penghambaan diri kepada Pouwsat, akan tetapi betapa banyaknya orang yang hanya menggunakan agama sebagai pelarian belaka? Apalagi kalau pinni teringat kepada sucimu Yan Hui.... hemmm, pinni merasa ngeri...."

   Wajah nikouw itu menjadi muram ketika menyebut nama Yan Hui itu. Cui Lan yang telah mereda keharuannya dan telah mengusap air matanya itu memandang subonya, hatinya tertarik.

   "Subo, siapakah Suci (Kakak Seperguruan) yang bernama Yan Hui itu?"

   Tanyanya. Kembali Kim Sim Nikouw menarik napas panjang.

   "Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lalu, pinni belum mendidik Liang Wi Nikouw sucimu itu sebagai murid, pinni tadinya tidak berniat untuk menurunkan ilmu silat kepada siapapun karena pinni menganggap bahwa ilmu silat hanyalah ilmu yang dipergunakan orang untuk menunjukkan kekerasan belaka. Akan tetapi pada suatu hari, pinni bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi dan dia pinni temui hampir membunuh diri di dalam kamar kuil ini ketika pada suatu malam dia bermalam di sini. Pinni mencegah dia membunuh diri dan memutuskan tali penggantung lehernya. Dara itu bernama Ouw Yan Hui, cantik jelita dan berilmu tinggi. Melihat betapa pinni menggagalkan maksudnya membunuh diri, setelah dia siuman kembali, dia menjadi marah dan menyerang pinni. Kami bertanding dan ternyata ilmunya memang hebat! Kalau saja pinni tidak memiliki ilmu ginkang yang telah pinni latih secara tekun sekali sehingga dalam hal kecepatan pinni dapat mengatasinya, agaknya pinni tidak akan menang menghadapinya."

   Sampai di sini nikouw itu berhenti dan memejamkan mata mengingat-ingat.

   "Akan tetapi pinni tidak mau melukai orang, apalagi membunuh orang. Maka perlahan-lahan pinni menasihatinya dengan pelajaran agama dan akhirnya dia sadar dan insyaf, lalu dia menangis dan berlutut mohon menjadi murid pinni. Seperti juga engkau, dia ingin menjadi nikouw, akan tetapi pinni yang melihat ada ganjalan hati yang membuatnya keras luar biasa, tidak mau menerimanya, hanya menerimanya sebagai murid. Pinni mengajarkan ginkang itu kepadanya dan ternyata dia berbakat sekali. Dalam waktu tiga tahun saja ginkangnya bahkan sudah melampaui tingkat pinni sendiri!"

   "Ah, dia tentu hebat....!"

   Cui Lan berseru kagum.

   "Memang dia hebat! Yan Hui seorang wanita yang hebat sekali. Akan tetapi dia pun menjadi rusak oleh patah hati karena cinta gagal!"

   "Ohhh....!"

   Cui Lan berseru kaget dan kasihan.

   "Sebetulnya dia sudah bersuami dan dia amat mencinta suaminya itu. Akan tetapi, selagi dia mengandung tua, suaminya itu menyeleweng dan dia menangkap basah suaminya yang berjina dengan seorang gadis tetangganya. Yan Hui tidak mampu menahan kemarahannya dan dia membunuh suaminya dan gadis itu, menjadi buronan dalam keadaan mengandung tua. Dengan sengsara dia melarikan diri, melahirkan anak seorang diri di dalam kuil tua dan anak itu mati ketika dilahirkan. Dia sendiri hampir saja mati, dan biarpun akhirnya dia dapat memulihkan kembali kesehatannya, namun hatinya telah terluka. Dalam keadaan seperti itulah pinni bertemu dengan dia, ketika dia hendak membunuh diri."

   Cui Lan makin tertarik.

   "Sungguh kasihan sekali dia Subo, di mana sekarang adanya suci itu?"

   Kim Sim Nikouw menghela napas panjang.

   "Dia tinggal di Pulau Ular Emas, di mana dia hidup sebagai seorang ratu yang amat mewah. Dia berhasil menemukan harta pusaka yang disimpan kaum bajak jaman dahulu di pulau itu. Aihhh.... sungguh menyedihkan. Dia menjadi seorang wanita yang mabuk oleh dendam, menjadi pembenci kaum pria.... menyedihkan sekali, dia berubah menjadi seorang yang kejam, seperti iblis. Pinni tidak berdaya, karena dengan ginkang yang sudah melebihi pinni tingkatnya, mana pinni mampu menghadapinya? Kiranya, hanya Kian Bu saja yang akan sanggup menghadapi sucimu itu.... ah, sudahlah, hati pinni merasa tidak enak kalau membicarakan sucimu Yan Hui itu karena pinni merasa betapa pinni telah menambah sayap pada seekor harimau betina yang haus darah! Karena itulah, Cui Lan, maka pinni tidak ingin melihat engkau menjadi seorang wanita yang putus asa karena cinta gagal. Pinni akan berusaha agar engkau dapat berjodoh dengan Kian Bu karena pinni yakin bahwa baik engkau maupun Kian Bu kelak akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia."

   "Teecu merasa amat berterima kasih atas budi kecintaan Subo kepada teecu,"

   Jawab Cui Lan dan
(Lanjut ke Jilid 34)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 34
semenjak percakapan itu, dara ini berlatih makin tekun dan wajahnya mulal berseri karena timbul harapan baru dalam hatinya.

   Gadis itu memang cantik bukan main. Bukan hanya wajahnya yang cantik jelita dengan raut muka yang sempurna, kulitnya berwarna putih kemerahan, terutama sekali di kedua pipinya dan dahinya yang halus seperti lilin diraut, akan tetapi juga tubuhnya yang tinggi ramping itu amat lemas dan memiliki kepadatan dan lekuk lengkung yang tidak dapat disembunyikan oleh pakaiannya yang serba indah. Aneh sekali melihat seorang dara cantik jelita berjalan seorang diri memasuki hutan itu, dengan tangan kiri memegang gagang payung yang terbuka dan yang melindunginya dari sengatan matahari yang terik itu. Setelah memasuki hutan yang penuh pohon dan tedub sekali, dia menurunkan payungnya, menutup payung itu dan mengempitnya di ketiak lengan kiri tanpa menunda langkahnya yang satu-satu dan yang membuat tubuhnya melenggang-lenggok dengan patutnya.

   Memang seorang dara yang cantik manis dan menggairahkan. Akan tetapi pada wajah yang manis itu terbayang kemurungan hati. Memang hati Siang In, gadis itu, sedang murung. Sudah lama sekali dia berputar-putar mencari jejak Syanti Dewi tanpa hasil! Dia merasa bertanggung jawab atas hilangnya Puteri Bhutan itu, karena sesungguhnya dialah yang membantu puteri itu melarikan diri dari istana Kerajaan Bhutan. Akhir-akhir ini dia mendengar bahwa jejak puteri itu menuju ke pantai Po-hai, akan tetapi telah berhari-hari dia mencari-cari di seluruh pantai, tetap saja tidak ada hasilnya. Dalam perantauannya mencari jejak Syanti Dewi yang kini lenyap seperti ditelan bumi itu, Siang In banyak mendengar tentang keributan dan pergolakan di tapal batas Propinsi Ho-nan.

   Dia mendengar pula tentang peristiwa yang menimpa diri Pangeran Yung Hwa, betapa pangeran itu tertolong dari Ho-nan oleh pendekar yang namanya dia dengar di mana-mana, yaitu Siluman Kecil. Ketika dia mendengar penuturan orang-orang kang-ouw di sepanjang perjalanan bahwa Siluman Kecil adalah seorang pemuda lihai sekali yang rambutnya sudah putih semua, dia teringat akan pemuda yang bertanding melawan kakek raksasa botak bermantel merah yang amat lihai itu. Teringat dia ketika dia membantu pemuda itu karena melihat betapa kakek raksasa itu mempergunakan ilmu sihir dalam pertandingan. Jadi pemuda itukah yang berjuluk Siluman Kecil dan yang namanya amat terkenal di seluruh tapal batas propinsi, bahkan, terdengar pula sampai ke tempat-tempat terpencil di pantai Po-hai?

   Dia merasa kagum. Memang, dia teringat betapa pertandingan itu membuktikan akan kelihaian pemuda rambut putih itu. Dan kini dia mengerti bahwa lawan pemuda itu adalah Ban Hwa Seng-jin, koksu dari Nepal! Dunia begini kacau, pikirnya. Pembesar-pembesar melakukan pergolakan, pemberontakan. Tokoh-tokoh dunia hitam seperti iblis-iblis merayap keluar dari gua-gua tempat persembunyian mereka untuk mendatangkan kekacauan dan mengail di air keruh. Dalam keadaan sekacau ini, tentu saja makin sukarlah untuk mencari Syanti Dewi. Dia makin murung. Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia yang mengajak dan membantu puteri itu minggat dari Bhutan, tentu dia tidak akan peduli lagi, tidak mau melanjutkan penyelidikannya mencari Syanti Dewi.

   Karena Syanti Dewi, maka dia sampai mengesampingkan urusannya sendiri, yaitu mencari pemuda yang selama ini selalu merupakan gangguan dalam hatinya, dalam perasaannya, merupakan duri dalam daging. Pemuda yang kadang-kadang menimbulkan rasa gemas sampai benci, kadang-kadang menimbulkan rasa gembira, malu sampai terasa bahagia, pemuda yang pernah menciumnya! Suma Kian Bu! Dia terpaksa mengesampingkan pencariannya terhadap pemuda itu karena urusan Syanti Dewi. Apalagi ketika dia yang sudah hafal akan keadaan pantai Po-hai itu mencari-cari tanpa hasil, kemudian malah mendapatkan Gua Tengkorak, tempat pertapaan gurunya di pantai Po-hai juga kosong dan tidak ada pesan apa pun dari gurunya, hatinya makin menjadi murung,

   Sungguhpun pada wajah yang cantik jelita dan manis, itu tidak pernah kelihatan kegembiraan, sikapnya selalu lincah berseri, penuh kegembiraan, sikapnya selalu lincah jenaka, bibirnya selalu tersenyum sehingga sukarlah membayangkan wajah seperti ini berduka atau muram. Satu-satunya yang membuktikan betapa murung hati dara ini adalah cara dia melakukan perjalanan itu. Sama sekali dia tidak mempedulikan kanan kiri, bahkan tidak lagi mempedulikan ke mana kakinya melangkah dan sama sekali dia tidak pernah berhenti melangkahkan kaki memasuki hutan itu. Sampai matahari telah jauh condong ke barat, sinarnya tidak lagi dapat menembus daun-daun pohon sehingga keadaan dalam hutan mulai gelap sampai kedua kakinya terasa amat lelah dan perutnya lapar, barulah dara ini merasa betapa sejak pagi tadi dia belum makan apa-apa!

   "Uhhh....!"

   Dia melempar payungnya ke atas rumput di bawah pohon besar, diikuti oleh pinggulnya yang mendarat dengan lunaknya ke atas rumput tebal dan Siang In sudah merebahkan diri di atas rumput berbantal kedua lengannya, mata-nya menerawang daun-daun yang masih menguning tertimpa sinar matahari senja.

   Perhatiannya segera tercurah kepada suara burung-burung yang bercuitan, burung-burung yang berkelompok datang beterbangan di atas pohon itu, hingga di ranting-ranting dan dahan-dahan, bersahutan-sahutan kemudian tiba-tiba mereka terbang pergi. Suara sayap mereka terdengar nyata dan sebentar saja mereka sudah jauh, hanya terdengar suara mencicit mereka lapat-lapat. Akan tetapi tak lama kemudian burung-burung itu datang lagi memenuhi pohon. Agaknya mereka masih sangsi dan terkejut melihat ada manusia di bawah pohon yang menjadi tempat mereka bermalam itu. Tiba-tiba Siang In membuat gerakan cepat dan tubuhnya yang tadi rebah terlentang itu, tahu-tahu sudah meloncat dan bangkit duduk, alisnya berkerut dan pendengarannya dicurahkan kepada suara yang sayup sampai dihembus angin lalu. Demikian penuh perhatian dia akan suara itu sehingga andaikata dia seekor kelinci, tentu daun telinganya bergerak-gerak. Suara orang!

   Ada orang di tempat sunyi ini, di waktu matahari mulai terbenam! Tentu hal ini amat mencurigakan! Dengan langkah-langkah ringan sekali. Siang In sudah melangkah berindap-indap ke arah datangnya suara, payungnya telah dipegang gagangnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Suara itu makin jelas, suara seorang saja yang membaca sajak! Sungguh mengherankan. Di tempat sunyi seperti itu, bukan suara harimau atau monyet atau binatang buas lain yang didengarnya, melainkan suara seorang laki-laki membaca sajak! Sungguh tidak umum, tidak lumrah! Orang gila agaknya. Akan tetapi kata-katanya jelas dan lantang, dan isi kata-kata itu amat menarik hatinya, membuatnya berdiri termangu-mangu dan biarpun dia belum melihat orangnya, dia telah mendengar semua isi sajak yang diucapkannya dengan suara lantang itu. :

   Bahagia, hanya sebuah kata!
penuh daya tarik, penuh rahasia dikejar,
Dia lari dicari, dia sembunyi
Makin dibutuhkan makin manja bahagia,
Hanya sebuah kata!
Harta benda bukanlah bahagia
Nafsu berahi bukan bahagia dia
Bukan pula kebesaran nama
Bukan pula kedudukan mulia
Tak mungkin didapat melalui pengejaran
seperti halnya kesenangan!
Yang mengejar bahagia selamanya takkan bahagia
Yang tidak butuh bahagia adalah orang yang benar-benar bahagia
Itulah hakekat bahagia hanya sebuah kata belaka!

   Siang In bengong terlongong mendengar ini. Mimpikah dia? Di tempat seperti ini bertemu dengan seorang manusia pun sudah merupakan suatu hal yang langka, suara hal yang aneh dan andaikata bertemu orang pun, pantasnya orang itu hanyalah seorang pencari kayu, seorang pemburu binatang buas atau paling hebat juga seorang perampok! Akan tetapi, dia mendengar orang membaca sajak tentang bahagia! Dan isi kata-kata yang dirangkai seperti sajak itu amat mengesankan hatinya. Mendengar itu, dia termenung, bahkan lalu duduk di atas batu besar di tempat itu dan tak pernah pikirannya dapat melepaskan isi sajak itu. Dia seperti terkena pesona, terkena sihir oleh kata-kata itu dan tanpa disadarinya sendiri, dia pun kini termenung-menung mencari arti dari kata aneh itu. BAHAGIA! Sesungguhnya, apakah bahagia itu? Semua orang di dunia ini seolah-olah berlumba untuk mencari kebahagiaan. Bahkan segala sesuatu ditujukan ke arah pencapaian kebahagiaan itu.

   "Yang mengejar bahagia selamanya tidak akan bahagia!"

   Demikian bunyi baris antara sajak tadi. Benarkah ini? Kalau tidak dikejar, mana bisa dapat? Untuk mendapatkan sesuatu, tentu saja harus dilalui pengejaran, demikian suara hati Siang In membantah. Orang gilakah yang membaca sajak tadi? Dia sendiri pernah membaca banyak kitab kuno, akan tetapi dia tidak pernah mendengar sajak seperti itu. Sajak orang sinting, kata-kata yang dirangkai seperti teka-teki. Teringat dia akan kitab kuno yang menceritakan tentang aliran Agama Beng yang paling suka mempermainkan katakata sebagai jembatan untuk menyelami kehidupan dan filsafatnya, misalnya "kuda putih bukanlah kuda!" "anjing putih adalah hitam", dan sebagainya.

   Semua itu menyimpan maksud agar kita tidak terpengaruh oleh keadaan luar seperti warna, sikap, kedudukan, harta, kepintaran dan sebagainya yang kesemuanya itu hanyalah keadaan lahiriah belaka. Kuda putih, yang penting bukanlah putihnya, melainkan anjingnya. Keadaan lahiriah itu berubah selalu, dan tidak menentukan isinya! Agar faktor bendanya, dalam hal ini tentu saja manusianya, yang penting bukan segala keadaan lahiriahnya. Apakah pembaca sajak itu seorang di antara sisa-sisa penganut kebatinan Beng itu? Akan tetapi kabarnya kini sudah tidak ada lagi sisa pengikut aliran itu yang sudah amat kuno, yang hidup di sekitar jaman Dinasti Cou (abad ke 4 sebelum Masehi). Ataukah dia seorang tosu? Mungkin, pikir Siang In. Pendeta beragama To memang banyak aneh, dan kadang-kadang pendeta agama ini suka mengambil filsafat-filsafat lain aliran ke dalam agamanya.

   Betapapun juga, siapapun adanya orang itu, sungguh amat aneh dan menarik hatinya. Akan tetapi, sebagai seorang kang-ouw, Siang In juga maklum bahwa orang yang membaca sajak di dalam hutan seperti itu tentu bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap hati-hati, dia tidak berani muncul begitu saja memperlihatkan diri, melainkan berindap-indap mengintai dari balik sebatang pohon yang besar, sepasang matanya mencoba untuk mencari orang yang tadi bersajak dengan suara cukup jelas itu, di dalam cuaca yang remang-remang dan telah mulai agak gelap itu dia tidak dapat melihat adanya seorang pun manusia di situ. Maka dia lalu bergerak maju pula, dengan pengerahan ginkangnya sehingga daun kering yang terpijak kakinya pun tidak mengeluarkan suara, seperti langkah seekor kucing saja layaknya.

   Siang In terus mencari-cari, namun ternyata dia tidak dapat menemukan orang yang tadi membaca sajak itu. Sedangkan malam mulai tiba. Bulu tengkuknya mulai meremang. Setankah yang dia dengar membaca sajak tadi? Kalau manusia, tidak mungkin dapat bergerak secepat itu dan dapat menghilang begitu saja dari pencariannya. Padahal tadi jelas terdengar suaranya tidak jauh dari tempat dia bersembunyi. Kalau bukan setan, kalau manusia, tentu manusia itu memiliki kepandaian yang hebat bukan. Dia tidak lagi melanjutkan pencariannya, mengira bahwa tentu setan atau orang itu tadi hanya lewat saja di hutan itu dan kini telah pergi jauh. Mulailah dia teringat lagi akan perutnya yang lapar ketika perutnya berbunyi. Bunyi perutnya berkeruyuk itu sampai mengagetkan hatinya, karena pada saat itu dia sedang mengerahkan seluruh perhatian pada pendengarannya.

   "Ihhh, tak tahu malu!"

   Siang In menepuk perutnya sendiri ketika dia terkejut mendengar bunyi berkeruyuk itu. Karena menganggap bahwa di hutan itu pasti tidak ada orang lain, karena kalau ada tentu dia sudah dapat menemukannya, maka Siang In lalu mulai mencari sesuatu untuk dapat dimakan. Akan tetapi, hutan itu penuh dengan pohon liar, sama sekali tidak terdapat sebatangpun pohon yang mengeluarkan buah yang dapat dimakan. Dia mencari-cari, selain buah juga mencari binatang hutan yang dapat ditangkap dan dimakan dagingnya, namun hasilnya sia-sia belaka karena malam telah tiba dan cuaca mulai gelap.

   "Sialan!"

   Dia memaki.

   "Sialan setan yang bersajak tadi!"

   Gerutunya karena dia terpaksa harus melewatkan malam dengan perut lapar dan dia menimpakan kesalahan kepada si pembaca sajak tadi. Kalau dia tidak mencari-cari orang itu, tentu dia dapat mencari makanan selagi cuaca masih belum gelap tadi, pikirnya dengan hati kesal. Siang In lalu mencari tempat yang kering di bawah pohon, duduk dan bersandar batang pohon melepaskan lelah. Dalam keadaan sendirian di tengah hutan yang gelap itu, dengan perut menderita gigitan rasa lapar, Siang In melamun dan terkenang akan keadaan dirinya. Tiba-tiba jantungnya seperti ditusuk rasanya, rasa sedih menyelimuti hatinya. Teringatlah Siang In akan keadaannya yang sebatangkara itu.

   Semenjak dia masih kecil, orang tuanya telah meninggal dunia. Dia tadinya hidup berdua dengan encinya yang bernama Teng Siang Hwa, hidup berdua di Lembah Pek-thouw-san. Akan tetapi, encinya itu tewas ketika berhadapan dengan anak buah raja liar Tambolon sehingga dia menjadi sebatangkara sampai dia bertemu dengan See-thian Hoat-su yang mengambilnya sebagai murid. Dia tidak mempunyai siapapun di dunia ini, hanya gurunya itu. Akan tetapi kakek aneh yang menjadi gurunya itu pun tidak pernah mau tinggal diam, bahkan kini pun tidak berada di tempat pertapaannya, di Gua Tengkorak di pantai Po-hai. Entah ke mana perginya gurunya itu. Hanya ada gurunya, kakek tua itu dan.... Siang In melihat bayangan wajah di depan mata hatinya. Wajah seorang pemuda yang tampan, gagah, lincah jenaka dan suka menggoda orang.

   Wajah yang selama ini sering kali dijumpainya dalam mimpi. Wajah pemuda yang selama ini dicari-carinya sampai dia bertemu dengan Syanti Dewi sehingga pencariannya itu tertunda karena urusan Syanti Dewi. Wajah Suma Kian Bu, pemuda yang pernah mencium bibirnya! Semua peristiwa itu terbayang di dalam benaknya (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali) dan membuatnya merasa amat kesepian. Dia menghela napas dan memejamkan kedua matanya, ingin mengusir semua kenangan itu, akan tetapi sinar mata tajam dan nakal, senyum yang menarik dari wajah pemuda itu malah terbayang makin jelas! Tiba-tiba Siang In membuka mata dan bangkit duduk dengan tegak, cuping hidungnya kembang-kempis seperti cuping hidung seekor kelinci. Memang hidungnya mencium bau sesuatu, bau yang sedap dan gurih, bau daging panggang!

   
"Kruuuyuuuuukkk....!"

   "Ihhh!"

   Siang In menepuk perutnya yang kecil dan kosong itu. Akan tetapi dia tidak dapat mencegah air liurnya membasahi mulut. Terpaksa dia menelan ludahnya karena seleranya timbul secara tiba-tiba. Berindap-indap dia melangkah setelah menyambar buntalan dan payungnya, menghampiri tempat dari mana dia mencium bau sedap gurih itu. Dia harus berhati-hati sekali. Biarpun kini di langit nampak bulan yang sinarnya merah kehijauan di dalam hutan itu, namun keadaan masih gelap karena lebatnya hutan itu. Hanya bau sedap itu yang menjadi penunjuk jalan. Akhirnya dia keluar dari hutan itu dan ternyata di luar hutan itu terdapat sebuah padang rumput yang luas dan nampak indah sekali karena bermandikan cahaya bulan tanpa terganggu bayangan pohon.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 39 Kisah Sepasang Rajawali Eps 14 Kisah Sepasang Rajawali Eps 9

Cari Blog Ini