Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 14


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Kita harus berlatih dulu agar cocok antara suling dan gerakan tarianmu,"

   Katanya. Dia duduk di bawah pohon dan mulai meniup sulingnya, menirukan lagu yang dinyanyikan dara itu, dan Syanti Dewi mulai menari, menggerakkan tubuhnya seperti seekor kupu-kupu beterbangan di atas kelompok bunga, dan ketika selendangnya yang merah itu digerak-gecakkan, selendang itu membentuk lengkung-lengkuk merah yang amat indah dan berubah-ubah.

   Kadang-kadang seperti seekor naga merah terbang, kadang-kadang seperti seekor kupu-kupu, lalu seperti huruf-huruf yang hanya tampak sekilas pandang saja karena sudah berubah lagi bentuknya. Bukan main! Gak Bun Beng terpesona dan lupa diri, seolah-olah dia sedang berada di kahyangan menyaksikan tarian seorang bidadari. Di dalam setiap gerakan tubuh dara itu, dari ujung jari tangan sampai ke anak rambut yang terjurai di depan dahi, semua begitu hidup, mengandung warna tertentu dan merupakan nyanyian tertentu, indah penuh rahasia seperti sajak-sajak keramat, meriah dan riang gembira seperti sinar matahari pagi di musim semi! Setelah Syanti Dewi menghentikan tariannya sambil tertawa, Gak Bun Beng baru sadar. Dia menurunkan sulingnya pula, masih terlongong dan termenung, seolah-olah orang baru terbangun dari suatu mimpi yang amat indah.

   "Paman Gak!"

   Syanti Dewi memanggil ketika melihat pendekar itu duduk termenung, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya.

   "Heh....? Ehhh....!"

   Gak Bun Beng menyeka peluh yang tanpa diketahuinya telah memenuhi dahi dan lehernya, kemudian dia memandang Syanti Dewi dengan sinar mata lembut dan penuh kasih sayang.

   "Dewi, bukan main kau....! Bukan main....!"

   Dan tak dapat ditahan lagi, dia mengatupkan bibir dan dua titik air mata menetes ke atas pipinya. Syanti Dewi menubruknya.

   "Paman, ada apakah? Paman.... paman menangis?"

   Ucapan ini dikeluarkan penuh ketidakpercayaan.

   Rasanya mustahil bagi Syanti Dewi melihat seorang pria yang demikian gagah perkasa, jantan keras bagaikan baja, lembut dan budiman seperti kapas, yang dihormati, kagumi, dan sayang dapat meruntuhkan air mata walaupun hanya dua butir! Gak Bun Beng tak mampu menjawab dan memejamkan mata ketika merasa betapa Syanti Dewi menyeka dua butir air mata itu dengan ujung selendangnya. Terbayang-lah wajah Milana, teringatlah dia akan semua kenikmatan dan kebahagiaan berkasih sayang dengan wanita itu. Kehadiran Syanti Dewi dalam hidupnya membuat luka di dalam hatinya merekah kembali dan dia menjadi amat rindu kepada Milana, amat rindu pada belaian kasih sayang wanita. Padahal selama ini, dia telah berhasil menundukkan semua itu, telah membuat hatinya mengeras seperti baja. Namun segala keindahan yang dilihatnya dalam diri Syanti Dewi, segala kelembutannya, mendobrak seluruh pertahanannya dan menjadi jebol!

   "Paman kau kenapakah? Mengapa paman berduka?"

   Kemudian Syanti Dewi bertanya dengan suara penuh kedukaan dan kecemasan. Gak Bun Beng membuka matanya, lalu memaksa diri tersenyum dan membuka capingnya, mengipasi muka dan lehernya dengan caping, bukan untuk mengusir hawa panas, melainkan dengan harapan angin dari kipasan caping itu akan mengusir keharuan yang mencekik lehernya. Sukar dia mengeluarkan suara dan hanya menggeleng kepala sambil tersenyum.

   "Paman, kau tadi kelihatan demikian berduka, sampai menangis! Padahal tadi-nya tidak apa-apa. Setelah aku menari, paman berduka dan terharu. Tentu ada sebabnya, paman. Demikian tegakah paman membiarkan aku dipermainkan kesangsian? Tidak sudikah paman mempercayaiku dan menceritakan apa yang mendukakan hatimu?"

   Gak Bun Beng menggerakkan tangan dan mengelus rambut kepala gadis itu.

   Gerakan ini meruntuhkan hati Syanti Dewi dan otomatis dia lalu menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada pendekar itu. Dia merasa begitu aman, begitu tenteram dan begitu bahagia, seolah-olah dada yang bidang itu melindunginya dari segala malapetaka yang akan mengancamnya, melindunginya dari segala kedukaan dan mendatangkan kebahagiaan yang dia tidak mengerti. Gak Bun Beng pun menerima perbuatan gadis ini dengan perasaan wajar, seolah-olah sudah semestinya demikian, dan untuk beberapa saat dia tetap mengelus rambut kepala yang panjang, hitam dan halus itu. Kemudian dia teringat betapa janggalnya keadaan mereka, maka perlahan dia mendorong kepala gadis itu dari atas dadanya. Mereka duduk berhadapan dan berkatalah Gak Bun Beng,

   "Syanti Dewi, kau lah satu-satunya manusia yang berhak mengetahui segala mengenai diriku."

   "Terima kasih, paman. Aku yakin bahwa memang engkau akan menceritakan kepadaku, karena kiranya tidak ada lagi manusia yang demikian mulia seperti engkau, paman."

   Gak Bun Beng memegang tangan dara itu, akan tetapi ketika dia merasa ada getaran kemesraan yang luar biasa keluar dari tangan dara itu, dia cepat melepaskannya kembali dan menghela napas, membuang pandang matanya ke tanah, menunduk.

   "Dewi, engkau terlalu tinggi memandang diriku. Aku hanyalah seorang tua yang bodoh, yang canggung dan lemah."

   "Bukan aku yang memandang terlalu tinggi, melainkan engkau yang selalu merendahkan diri, dan itulah satu di antara sifat-sifat paman yang kukagumi. Sekarang ceritakan, paman, mengapa paman tadi menangis ketika melihat aku menari?"

   "Syanti Dewi, karena kau mengingatkan aku akan seorang lain...."

   "Seorang wanita?"

   Gak Bun Beng mengangguk.

   "Wanita yang paman cinta?"

   Kembali Gak Bun Beng mengangguk.

   "Dan diapun mencinta paman?"

   Untuk ketiga kalinya Gak Bun Beng mengangguk. Syanti Dewi menunduk, kelihatan berduka sekali. Sampai lama keduanya diam saja, kemudian terdengar dara itu bertanya, suaranya gemetar menahan isak,

   "Paman Gak, sudah lamakah dia meninggal?"

   Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, lalu mengerti bahwa dara ini menyangka kekasihnya itu sudah meninggal.

   "Sampai sekarang dia masih hidup, Dewi."

   Muka dara itu menjadi pucat sekali, kemudian merah dan dia meloncat bangkit berdiri dan suaranya nyaring penuh rasa penasaran dan kemarahan,

   "Kalau begitu dia telah meninggalkan paman, sungguh kejam sekali!"

   Gak Bun Beng cepat menggeleng kepalanya.

   "Bukan! Bukan dia, melainkan akulah yang meninggalkan dia...."

   Wajah yang tadinya merah menyala itu menjadi pucat, kedua tangannya yang dikepal terbuka dan tubuh yang menegang itu menjadi lemas.

   "Ouhhh....!"

   Syanti Dewi mengeluh dan duduk kembali di depan pendekar itu. Syanti Dewi melihat Gak Bun Beng pendekar pujaannya itu duduk termenung, wajahnya pucat sekali, alisnya yang tebal berkerut dan di permukaan wajah itu terbayang kenyerian yang sukar dilukiskan. Melihat wajah pendekar itu sepecti ini, Syanti Dewi tidak dapat menahan tangisnya. Dia terisak dan memegang kedua tangan pendekar itu, mengguncang-guncangnya sambil bertanya di antara isaknya.

   "Akan tetapi.... mengapa, paman? Mengapa....? Mengapa....?"

   Suaranya bercampur isak dan dia membiarkan air matanya berderai menuruni pipinya.

   Melihat keadaan dara ini, Gak Bun Beng merenggutkan kedua tangannya. Dia takut kepada dirinya sendiri karena seluruh tubuhnya, seluruh hati dan perasaannya, seakan-akan mendorongnya untuk memeluk dan mendekap dara itu penuh cinta kasih. Dia melawan hasrat ini dan karenanya dia merenggutkan ketua tangan dari pegangan dara itu, lalu menutupkan keduanya tangannya ke mukanya sambil menahan air matanya dengan jari-jari tangannya. Sampai lama mereka tidak berkata-kata, yang terdengar hanya suara isak Syanti Dewi dan tarikan napas panjang Gak Bun Beng. Setelah Syanti Dewi agak mereda dan berhasil menekan perasaan harunya dan ibanya, dia mengangkat muka yang basah dan merah, memandang punggung kedua tangan yang menutupi muka pendekar itu, bertanya,

   "Paman, saya yakin pasti ada sebab-sebab yang memaksa paman meninggalkannya. Pasti ada, dan maukah paman menceritakan kepadaku?"

   Mendengar suara gadis itu telah tenang kembali biarpun masih gemetar, Gak Bun Beng yang juga telah berhasil meredakan gelora hatinya, menurunkan kedua tangannya dan tampaklah wajahnya yang pucat dan muram.

   "Syanti Dewi, sudah kukatakan bahwa aku akan menceritakannya kepadamu. Memang ada se-babnya, dan sebab itu adalah karena aku bodoh dan serba canggung! Begitu banyak aku melihat perkawinan gagal, cinta kasih berantakan setelah terjadi perkawinan, kemesraan lenyap terganti cemburu, kekecewaan dan kemarahan yang berakhir dengan kebencian dan dendam, sehingga aku menjadi muak dan ngeri. Aku menjadi takut kalau-kalau diapun akan menderita apabila kasih di antara kita yang murni itu akan menjadi palsu dan kotor setelah kita menikah. Aku tidak tega membiarkan dia kelak menderita, karena itu, aku mundur.... tidak tahu bahwa aku membawa pergi racun yang menggerogoti dan merusak hidupku hari demi hari. Dengan kekuatan batin aku bisa menundukkan semua itu, membuat hatiku keras dan melupakan segala."

   Dia menarik napas panjang dan menengadah, memandang ke langit seolah-olah hendak mengadukan nasibnya kepada Thian.

   "Jadi.... itukah sebabnya, paman, seorang pendekar besar mengasingkan dan menyembunyikan diri di antara orang-orang biasa, menjauhkan diri dari segala urusan dan kesenangan duniawi?"

   Gak Bun Beng mengangguk.

   "Dan selama itu paman tidak lagi tertarik kepada wanita yang manapun?"

   "Hemmm.... sebelum mengenal dia, aku belum pernah mencintai orang lain, sesudah itupun aku tidak ada minat dan waktu.... aku malah muak dan tidak percaya akan cinta kasih antara pria dan wanita yang kesemuanya kuanggap palsu belaka! Aku tidak percaya lagi akan kata-kata cinta yang pada hakekatnya hanyalah penonjolan keinginan pribadi untuk mencari kesenangan dan kepuasan hati sendiri. Akan tetapi.... sikapku karena patah hati itu ternyata keliru dan baru aku sadar bahwa memang ada cinta kasih yang murni, yang tanpa pamrih.... yaitu setelah aku bertemu denganmu, Dewi. Setelah aku berjumpa denganmu, setelah aku bergaul beberapa lamanya denganmu, kau mengingatkan aku kepada dia...."

   "Aduh, paman Gak.... sungguh kasihan kau! Kalau begitu, mengapa kita tidak pergi mencari dia? Di manakah kekasihmu itu? Sekarang belum terlambat untuk menyambung kembali pertalian kasih sayang yang secara paksa paman putuskan itu! Marilah, aku akan menceritakan kepadanya betapa paman adalah seorang jantan yang hebat, seorang pria yang budiman, yang sampai saat inipun tidak pernah melupakan dia, tidak pernah mengurangi cinta kasihnya yang mendalam dan murni!"

   Gak Bun Beng menggeleng kepala.

   "Dia.... dia sudah menikah dengan orang lain, Dewi...."

   "Ihhhh....!"

   Mata yang indah itu terbelalak memandang Bun Beng.

   "Mana mungkin....? Bukankah dia mencinta-mu, paman?"

   "Dia tidak berdaya, kehendak orang tuanya."

   Tiba-tiba Gak Bun Beng teringat bahwa dia telah berlarut-larut, melihat wajah dara itu yang biasanya seperti matahari pagi kini menjadi muram, pucat dan layu, dia hampir memukul kepalanya sendiri. Tiba-tiba dia memegang tangan dara itu, ditariknya berdiri dan sambil tersenyum dia berkata,

   "Aahhh, apa yang telah kita lakukan ini? Kita mendongeng tentang cerita-cerita duka, menggali pendaman-pendaman busuk! Padahal dunia ini begini indah, matahari begitu terang! Hapuskan air matamu itu, Dewi! Engkau masih muda belia, muda remaja. Lihat, masa depanmu seperti sinar matahari itu, cerah dan terang! Perlu apa hidup sekali ini di dunia harus berkeluh kesah dan berduka cita! Air mata darah sekalipun tidak akan dapat membangkitkan kembali yang telah mati! Ha-ha-ha, aku bodoh dan canggung! Mari, Dewi, kita lanjutkan perjalanan. Lihat di sana itu, genteng-gentengnya masih baru, tentu itu merupakan bangunan baru, dan kalau tidak salah, itulah markas pasukan yang akan kita selidiki."

   Melihat perubahan sikap pendekar itu, Syanti Dewi yang berperasaan tajam halus dan memang cerdik itu, maklum bahwa pendekar itu selain hendak mengkubur kembali kenangan yang menyedihkan, juga tidak ingin menyeretnya berlarut-larut ke dalam awan kedukaan. Dia makin kagum dan bersyukur, dan diapun membantu agar pendekar itu tidak kecewa. Dia menghapus semua keharuannya dan mulai tampaklah senyum di bibir dara itu dan matanya mulai bercahaya ketika dia memandang wajah Gak Bun Beng.

   "Baik, paman. Marilah, akan tetapi harap paman menjagaku baik-baik karena aku masih ngeri kalau teringat akan kekasaran perajurit-perajurit itu."

   "Jangan khawatir. Betapapun juga, andaikata terjadi apa-apa yang tak dapat kucegah, kita masih mempunyai jimat berupa nama jenderal itu, bukan? Cuma satu hal yang harus kau jaga. Jangan kau menari seindah tadi!"

   "Eh, mengapa, paman?"

   "Mana mungkin ada penari dusun dapat menari seindah tarian bidadari seperti tadi! Jangan, gerakkan selendangmu biasa saja, agak perkasarlah, gerakan kaki tanganmu."

   Syanti Dewi tertawa. Sedap perasaan Gak Bun Beng mendengar suara ketawa ini dan buyarlah semua awan mendung.

   "Perintahmu ini jauh lebih sukar daripada perintah memperbaiki atau memperhalus tarian, paman. Memperkasar tarian? Betapa sukarnya, akan tetapi biarlah kucoba asal paman membantu dengan suara sulingmu."

   "Membantu bagaimana?"

   "Jangan terlalu merdu! Bikin agak sumbang begitulah, jadi aku akan tetap teringat untuk membikin gerakannya kaku."

   Keduanya tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekelompok bangunan di depan sambil bergandengan tangan. Sekali ini Gak Bun Beng tidak ragu-ragu lagi untuk menggenggam tangan yang kecil halus itu. Mereka bergandengan sebagai dua orang sahabat, sebagai ayah dan anak, bukanlah sebagai sepasang kekasih!

   Markas itu adalah markas pasukan penjaga tapal batas. Biasanya mereka bermalas-malasan, akan tetapi semenjak Jenderal Kao Liang datang beberapa hari yang lalu, mereka tidak berani bermalas-malasan lagi dan penjagaan dilakukan dengan tertib. Juga tidak ada yang berapi berkeliaran mengganggu dusun-dusun terdekat karena Jenderal Kao Liang terkenal sebagai seorang pembesar yang keras dan kedatangannya otomatis membuat para komandan pasukan di tempat itu juga menjadi tegas dan keras terhadap bawahannya. Banyak juga orang preman, penduduk dusun yang keluar masuk pintu gerbang benteng, ada yang mengantar kayu bakar, sayur-sayuran dan lain-lain. Gak Bun Beng berjalan tenang bersama Syanti Dewi dan sambil berjalan dia meniup sulingnya. Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, empat orang penjaga menghadang mereka dan seorang di antaranya menghardik,

   "Berhenti! Siapa kalian dan mengapa engkau meniup-niup suling di tempat ini? Tak tahukah bahwa di sini adalah markas pasukan?

   "Maaf, kami memanglah rombongan tari maka sudah menjadi kebiasaan saya kalau berjalan meniup suling agar tidak lekas lelah. Jadi di sini adalah markas pasukan pemerintah? Kebetulan sekali! Kami sedang menuju ke timur dan karena kami ingin mendengar secara resmi bagaimana keadaan di sana, maka kami ingin memperoleh keterangan dari komandan kalian. Untuk itu, kami bersedia menghibur kalian dengan tari-tarian dan memberi obat luka yang manjur."

   Para penjaga itu saling pandang dan mereka berkali-kali memandang wajah Syanti Dewi yang amat cantik biarpun sederhana pakaiannya itu.

   "Kau tunggu sebentar, aku akan melapor kepada komandan!"

   Kata seorang di antara mereka penuh gairah. Gak Bun Beng mengangguk dan duduk di sudut sambil meniup sulingnya, sengaja dia mainkan sulingnya sebaik mungkin untuk menarik perhatian. Sedangkan Syanti Dewi menunduk saja
(Lanjut ke Jilid 14)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
karena dia merasa "ngeri"

   Melihat pandang mata para penjaga itu yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat! Tak lama kemudian muncullah si penjaga tadi mengiringkan seorang perwira gendut pendek yang mukanya bulat dan lucu kelihatannya.

   Perwira itu adalah komandan sementara di markas itu karena panglimanya sedang pergi mengikuti Jenderal Kao Liang yang sedang memimpin pasukan beroperasi di daerah barat. Perwira itu sebetulnya seorang yang sabar dan baik, akan tetapi begitu melihat bahwa yang disebut rombongan tari itu terdapat seorang gadis yang demikian denok, kontan saja sikapnya menjadi berubah dari biasanya. Dia memasang aksl seolah-olah dialah komandan terbesar, dialah panglima tertinggi atau bahkan kaisar sendiri! Sambil bertolak pinggang dia memandang kepada Gak Bun Beng yang sudah berdiri dan menjura di depannya. Pandang matanya menyapu pendekar itu dan dara di sebelahnya, seolah-olah dia sama sekali tidak acuh akan kecantikan dara itu dan hanya menjalankan tugasnya sebagai "komandan"

   Betul-betul, lalu dia membentak dengan suara nyaring,

   "Siapa kau dan dari mana hendak ke mana?"

   Gak Bun Beng yang sudah berpengalaman dan pandai membaca sikap dan isi hati orang, tersenyum geli karena maklum bahwa kegagahan perwira ini adalah dibuat-buat untuk menarik perhatian Syanti Dewi, tentunya dengan maksud agar dara itu kagum melihat seorang "komandan sungguhan"! Ingin sekali dia melihat akan bagaimana wajah badut ini kalau dia tahu bahwa gadis dusun yang cantik dan dipasangi aksi itu adalah Puteri Bhutan yang akan menjadi mantu kaisar! Bisa dibayangkan bahwa si gendut pendek ini tentu akan bertiarap di depan kaki Syanti Dewi, menyusup-nyusup seperti ular di antara rumput dan minta-minta ampun!

   "Maafkan kami berdua, tai-ciangkun!"

   Kata Gak Bun Beng yang makin geli hatinya melihat betapa perwira itu ketika mendengar sebutan tai-ciangkun terus saja melembungkan dadanya dan mengempiskan perutnya, akan tetapi karena tidak dapat menahan lama-lama, segera dadanya mengempis dan perutnya mengembung kembali seperti biasanya. Dicobanya lagi beberapa kali, namun makin lama makin tak kuat sampai napasnya senin kemis dan akhirnya dia membiarkan saja perutnya gendut bergantung dan dadanya mengempis.

   "Saya bernama Gak Bun Beng dan dia adalah anakku bernama Dewi, ibunya seorang Tibet. Kami hendak pergi ke timur, akan tetapi di sepanjang jalan saya melihat pasukan pemberontak yang melarikan diri dan kabar selentingan bahwa di timur geger karena perang. Hal ini sangat menggelisahkan kami karena kabar yang kami terima tidak jelas. Maka kami ingin memperoleh keterangan yang resmi dan jelas dari tai-ciangkun agar hati kami lega untuk melanjutkan perjalan ke timur yang amat jauh itu. Untuk kebaikan tai-ciangkun, sebelumnya kami menghaturkan terima kasih dan untuk membalas budi, kami akan mengadakan pertunjukan tari-tarian dan membagi obat luka yang mujarab untuk tai-ciangkun."

   Perwira gendut itu menggerak-gerakkan alisnya seperti orang yang berpikir keras. Memang dia berpikir, akan tetapi alis tipis yang digerak-gerakkan itu termasuk aksinya agar kelihatan sebagai panglima ahli siasat yang pandai. Lagi-lagi, matanya yang agak bulat dan kecil melirik ke arah Syanti Dewi. Lirikan cepat tidak kentara akan tetapi tentu saja tidak terlepas dari pandang mata Gak Bun Beng.

   "Dewi.... hemmm...."

   Perwira itu menggumam, agaknya tertarik oleh nama itu dan sama sekali tidak memperhatikan nama lakl-laki bercaping itu.

   "Bagaimana, tai-ciangkun?"

   Gak Bun Beng bertanya ketika melihat perwira itu seperti mimpi menyebut nama Dewi.

   "Ohhh.... ya, kami pikir dulu. Eh, engkau kelihatan begini tabah menghadapi pasukan, seperti sudah biasa. Engkau bukan mata-mata pemberontak, bukan?"

   Gak Bun Beng tersenyum. Pertanyaan ini saja sudah membuktikan betapa tololnya perwira ini dan dengan seorang perwira seperti ini menjadi komandan markas, tidak akan heran kalau mata-mata dapat menyelundup masuk.

   "Tentu saja bukan, tai-ciangkun. Kalau mata-mata musuh, masa kami mencari penyakit datang ke sini? Saya memang sudah biasa dengan pasukan, apalagi pasukan pemerintah sendiri, karena belasan tahun yang lalu saya pun pernah menjadi perajurit dalam pasukan istimewa yang dipimpin oleh Puteri Nirahai sendiri."

   "Ohhh....!"

   Seruan ini terdengar dari banyak mulut para perajurit yang sudah mengerumuni tempat itu. Pasukan istimewa dari Puteri Nirahai memang terkenal sekali dan mendengar ini, perwira gendut itu berseri wajahnya.

   "Apa katamu tadi? Tepat sekali, bukan? Sudah kulihat bahwa engkau adalah seorang yang biasa dengan pasukan. Kiranya masih bekas rekan sendiri, ha-ha! Kalau begitu, tentu saja kalian kami sambut dengan kedua tangan terbuka. Selamat datang dan marilah masuk. Mari silahkan, nona.... eh, nona Dewi. Indah sekali nama puterimu, saudara Gak!"

   Syanti Dewi menjura dengan hormat dan Gak Bun Beng tersenyum girang ketika keduanya diiringkan oleh sang perwira gendut sendiri memasuki pintu gerbang markas itu. Hari telah mulai gelap karena tadi mereka berangkat dari dusun setelah berbelanja dan sudah lewat tengah hari. Dan tadi mereka agak lama berhenti bercakap-cakap sehingga menjelang senja mereka baru tiba di depan markas itu.

   "Sebaiknya tari-tarian dilakukan di waktu malam hari, di dekat api unggun, barulah tampak lebih indah dan meriah,"

   Kata Gak Bun Beng.

   "Baik, dan memang sebaiknya demikian agar semua anak buah dapat ikut menonton karena sudah bebas tugas,"

   Kata perwira itu yang mulai kelihatan kebaikan hatinya seperti biasa.

   "Sekarang kalau kau tidak berkeberatan, ciangkun, harap suka menceritakan kepadaku tentang keadaan di kota raja. Saya ingin membawa anak saya ke kota raja, akan tetapi tentu saja hati saya tidak akan tenteram sebelum tahu bagaimana keadaan di sana."

   Perwira itu menggeleng kepalanya.

   "Sebetulnya, perjalanan ke sana dari sini sudah tidak akan terganggu oleh para pemberontak lagi karena belum lama ini telah dilakukan operasi pembersihan besar-besaran. Akan tetapi, tentu saja kau harus berhati-hati terhadap perampok dan orang jahat, saudara Gak."

   "Harap ciangkun tidak usah khawatir. Kalau hanya menghadapi para perampok, kiranya saya tidak percuma menjadi bekas anak buah Puteri Nirahai. Akan tetapi, bagaimanakah keadaan kerajaan sendiri? Mengapa banyak timbul pemberontakan? Kalau kiranya memang perlu, biarpun sekarang sudah mulai tua, aku akan menghadap panglima di kota raja untuk menjadi perajurit lagi, membela pemerintah."

   Perwira itu menggeleng-geleng kepala.

   "Memang kurang baik keadaannya. Karena itulah Jenderal Kao Liang sendiri sibuk ke sana ke mari, mengadakan pengontrolan dan perondaan sendiri, hanya dengan beberapa orang pembantu dan pengawalnya. Tentu kau tahu, setelah sri baginda menjelang tua, biarpun tahta kerajaan sudah ditentukan akan jatuh kepada Putera Mahkota Yung Ceng, tetap saja timbul perebutan. Kabarnya banyak pangeran yang diam-diam melakukan pemberontakan secara rahasia sehingga sukar diketahui yang mana yang setia kepada kerajaan dan yang mana yang memberontak. Apalagi akhir-akhir ini keadaan dibikin ramai dan ribut lagi dengan adanya pertalian jodoh antara Puteri Kerajaan Bhutan dan seorang pangeran."

   Perwira itu agaknya senang bercerita, apalagi melihat Syanti Dewi mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga mata yang indah itu jarang berkedip, pandangannya seolah-olah bergantung kepada bibirnya yang sedang bercerita, bibir yang tebal membiru karena terlalu banyak menghisap tembakau. Disebutnya Puteri Bhutan itu mengejutkan hati Gak Bun Beng dan karena dia ingin agar perhatian perwira itu beralih dari wajah Syanti Dewi yang tentu saja lebih kaget lagi, dia cepat berkata,

   "Mengapa pertalian jodoh dapat menimbulkan ramai dan ribut, ciangkun?"

   "Sebetulnya pernikahan itu sendiri tidak akan menimbulkan ribut, bahkan merupakan peristiwa yang menggembirakan. Kabarnya Puteri Bhutan itu cantik bukan main, seperti bidadari...."

   "Hemm, sayapun sudah mendengar, bahkan melebihi bidadari,"

   Kata Gak Bun Beng secara kelakar untuk sekedar melenyapkan kekagetan Syanti Dewi. Dara itu menoleh kepada "ayahnya"

   Dan tersenyum.

   "Akan tetapi di balik pernikahan itu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari kedua pihak. Pihak Bhutan tentu saja suka berbesan dengan kaisar kita, karena ingin mendapat perlindungan dari para pemberontak Tibet dan Mongol yang dipimpin Raja Muda Tambolon. Sebaliknya, pihak kaisar juga ingin menaklukkan negara itu secara halus melalui ikatan kekeluargaan tanpa perang. Namun maksud kaisar ini mendapatkan tantangan dari banyak pangeran dengan bermacam-macam dalih, akan tetapi saya kira dasarnya hanyalah karena tidak ingin melihat kedudukan kaisar makin kuat dengan adanya banyak negara lain yang bersekutu! Maka kabarnya terjadi bermacam-macam usaha untuk menggagalkan pernikahan itu, bahkan kabarnya rombongan penjemput puteri yang dipimpin Panglima Tan Siong Khi telah diserbu dan puteri itu sendiri kabarnya lenyap ditawan pemberontak. Inilah sebabnya mengapa Jenderal Kao Liang mengamuk dan menumpas para pemberontak di perbatasan. Celakanya ada kabar angin bahwa usaha itu diatur dari kota raja sendiri, oleh para pangeran yang secara rahasia memberontak."

   Kaget bukan main hati Gak Bun Beng mendengar ini. Kiranya segala kekacauan itu bersumber kepada perebutan kekuasaan di istana! Bagaimana dengan Milana?

   "Lalu bagaimana kabarnya sikap pangeran yang akan dikawinkan dengan Puteri Bhutan?"

   "Pangeran Liong Khi Ong? Hemm, tidak ada berita tentang dia, kelihatannya tenang-tenang saja, bahkan belum lama ini diapun ikut rombongan Jenderal Kao Liang meninjau ke barat, akan tetapi lalu terpisah dan berpesiar menggunakan perahu melalui sungai dikawal oleh pasukannya sendiri. Masih untung Puteri Bhutan yang seperti bidadari itu tidak jadi menikah dengan pangeran itu!"

   "Kenapa demikian? Bukankah enak menikah dengan pangeran yang tinggi kedudukannya?"

   Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya, tidak dapat menahan hatinya lagi karena yang dibicarakan itu sesungguhnya adalah dirinya sendiri. Perwira gendut memandang dan tersenyum menyeringai, senang hatinya mendengar dara itu bertanya,

   "Menarik sekali ceritaku, ya?"

   "Ceritamu menarik dan hebat, tai-ciangkun,"

   Jawab Syanti Dewi.

   "Biarpun andaikata engkau sendiri, nona, akan sengsara kalau menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong."

   Perwira itu berkata sambil mengurut kumisnya yang tebal.

   "Pangeran itu terkenal sebagai seorang mata keranjang, selain selirnya banyak sekali, juga setiap malam dia harus berganti teman baru. Maka, andaikata puteri itu menjadi isterinya, dalam beberapa hari saja tentu dia akan disia-siakan begitu saja!"

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ahhh....!"

   Tentu saja berita ini membuat Syanti Dewi terkejut dan marah.

   "Ceritamu menarik sekali, ciangkun dan terima kasih atas segala keterangannya. Dengan ceritamu itu, saya malah ingin sekali segera tiba di kota raja untuk mendaftarkan masuk perajurit lagi. Sekarang, hari sudah malam, mari kita mulai dengan pertunjukan sebagai upah kebaikan ciangkun. Dan sebungkus obat ini adalah obat yang amat manjur terhadap luka-luka, saya haturkan kepada ciangkun."

   "Terima kasih, terima kasih."

   Perwira itu menerima bungkusan obat, lalu mengantarkan mereka keluar. Api unggun dipasang di pelataran yang luas itu, dan para perajurit sudah berkumpul untuk menonton. Gak Bun Beng mengeluarkan sulingnya dan Syanti Dewi mengeluarkan selendang. Suling kemudian ditiup, semakin malam semakin mengalun nyaring dan kemudian mulailah Syanti Dewi menari dengan selendang merahnya. Gak Bun Beng meniup suling sambil duduk dan matanya mengikuti gerakan Syanti Dewi, juga siap waspada melindungi dara itu, sedangkan Syanti Dewi menari di dalam api unggun, membuat selendang itu nampak seperti api bernyala dan wajah yang cantik itu kemerahan, amat cantik jelitanya.

   Ketika melihat betapa dara itu tenggelam ke dalam tariannya dan menari dengan amat indah, Gak Bun Beng cepat mengangkat sedikit jari penutup lubang sulingnya sehingga suara sulingnya menjadi sumbang. Syanti Dewi terkejut mendengar suara ini, teringat dan menengok ke arah Gak Bun Beng sambil tersenyum, lalu tangan kanannya digerakkan secara kaku, sungguhpun tangan kirinya masih bergerak halus dan lemas sekali. Makin sumbang suara suling, makin kaku gerakan Syanti Dewi dan tak lama kemudian suara suling itu bunyinya se-perti suling ular! Tari-tarian dara itupun makin kacau, akan tetapi karena hatinya geli, dia tersenyum-senyum dan senyumnya inilah yang menyelimuti semua kejanggalan itu! Seluruh penonton terpesona oleh senyumnya!

   Setelah suara suling berhenti dan Syanti Dewi juga menghentikan tariannya, terdengar tepuk sorak riuh rendah diselingi permintaan agar dara itu melanjutkan tari-tariannya. Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dituruti para prajurit yang sudah lama tinggal di asrama dan rata-rata "haus wanita"

   Itu keadaannya akan menjadi runyam, apalagi kalau Syanti Dewi secara tak sadar begitu banyak mengobral senyumnya. Selain itu, juga si perwira gendut bisa saja menuntut yang bukan-bukan nanti. Keterangan yang resmi dan jelas tentang keadaan di kota raja sudah didapat, dan itulah memang sasaran utamanya. Setelah berhasil, perlu apa tinggal lebih lama lagi di tempat ini? Bagi dia tidak apa-apa, akan tetapi bagi Syanti Dewi amat berbahaya. Juga dia yakin kalau Jenderal Kao Liang tiba, tentu jenderal itu akan marah dan mungkin akan menghukum si perwira gendut yang melalaikan tugas dan bersenang-senang.

   "Saudara sekalian,"

   Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan menghampiri Syanti Dewi yang masih menerima sorak sorai itu sambil tersenyum dan membungkuk-bungkuk. Suara berisik berhenti dan semua orang hendak mendengarkan kata-kata ayah dara yang amat mempesona itu.

   "Saudara-saudara sekalian, kami masih mempunyai pertunjukan yang menarik lagi, yaitu tarian bersama antara anakku dan aku sendiri, akan tetapi harap Saudara sekalian suka duduk dan jangan berdiri agar yang berada di belakang dapat menonton pula dengan senang."

   Semua orang tertawa dan mulailah mereka duduk di atas tanah dengan hati senang karena jarang terdapat hiburan seperti ini. Setelah melihat semua orang duduk, Gak Bun Beng lalu meniup sulingnya sambil menggerakkan kedua kaki seperti orang menari. Hal ini mengherankan Syanti Dewi. Dia tahu bahwa "ayahnya"

   Ini mempunyai suatu niat tertentu, akan tetapi tidak tahu niat apa. Diapun membantu dan mulai menari lagi dengan indahnya. Tiba-tiba Gak Bun Beng berbisik sambil menghentikan sebentar tiupan sulingnya,

   "Kau nanti naik ke punggungku!"

   Lalu terus menyuling, mengejapkan mata ke pada Syanti Dewi agar mendekati dan mengikutinya. Gak Bun Beng melangkah makin ke pinggir, kemudian secara tiba-tiba dia berbisik,

   "Hayo sekarang!"

   Syanti Dewi yang cerdik mengerti bahwa pendekar itu tentu akan membawanya lari tanpa menimbulkan pertempuran, maka cepat dia meloncat ke punggung pendekar itu. Gak Bun Beng mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, tangan kirinya menahan tubuh Syanti Dewi yang digendongnya di belakang punggung, tangan kanan memegang suling dan tubuhnya sudah melesat seperti terbang saja melalui kepala orang-orang yang duduk itu! Semua orang bersorak, mengira bahwa ayah dan anak itu masih memperlihatkan pertunjukan yang memang amat hebat dan menarik. Akan tetapi ketika kedua orang itu lenyap ditelan kegelapan malam dan keadaan sunyi kembali, terdengar mereka ribut-ribut,

   "Ke mana mereka?"

   "Mereka menghilang!"

   "Wah, tentu telah lari!"

   "Mengapa lari?"

   "Mata-mata! Mereka tentu mata-mata!"

   Perwira gendut itu memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari dan mengejar, namun sia-sia belaka karena Gak Bun Beng dan Syanti Dewi telah pergi jauh sekali, jauh dari markas itu dan sudah berjalan sambil tertawa-tawa.

   "Paman, mengapa kau harus mempergunakan akal untuk lari? Bukankah perwira itu baik sekali dan kita tidak akan terganggu?"

   "Hemm, belum tentu. Kalau hanya aku sendiri, pasti tidak ada gangguan. Akan tetapi ada engkau, Dewi!"

   Syanti Dewi mengerti dan menghela napas panjang.

   "Sungguh tidak enak menjadi wanita...."

   "Heh....?"

   "Apalagi kalau masih muda...."

   "Hemm...."

   "Dan cantik pula. Selalu menghadapi gangguan pria."

   "Tidak semua pria, Dewi."

   "Tentu saja, paman. Pria seperti paman tidak akan mengganggu wanita, akan tetapi ada berapa gelintir orang seperti paman di dunia ini? Justeru itulah celakanya, pria seperti paman tidak pernah mengganggu, dan yang mengganggu hanyalah laki-laki ceriwis macam tikus yang menjemukan saja!"

   Gak Bun Beng tertawa karena kini dia melihat segi-segi lain yang mengagumkan hatinya dalam diri gadis ini. Kalau tiba saatnya, gadis ini dapat pula bersikap jenaka dan lucu, sungguhpun tidak selincah Milana misalnya. Dia terkejut, dan mengepal tinjunya. Mengapa dia jadi teringat kepada Milana dan membanding-bandingkan dengan dara ini?

   "Paman, kalau hanya ingin mendengar berita tentang kota raja, bertanya biasapun bisa. Mengapa paman harus menggunakan siasat penyamaran kemudian melarikan diri?"

   "Ah, tidak mudah, Dewi. Bertanya kepada orang biasa, tentu tidak tahu jelas. Bertanya kepada mereka secara biasa, tentu menimbulkan kecurigaan dan selain tidak akan memperoleh penuturan jelas, mungkin malah ditangkap dengan tuduhan mata-mata yang melakukan penyelidikan."

   "Setelah mendengar penuturan itu, aku makin tidak suka pergi ke kota raja, paman."

   "Hem, aku mengerti. Akan tetapi kita harus ke sana lebih dulu, harus melihat sendiri keadaannya. Bagaimana kalau si gendut tadi hanya membual saja?" "Akan tetapi aku tidak sudi menjadi isteri pangeran itu!"

   Kata Syanti Dewi dengan tarikan muka jijik dan mengkal hatinya.

   "Habis bagaimana?"

   "Terserah kepada paman saja, ke manapun juga, selama hidupku. Aku suka menjadi apa saja, murid, anak, keponakan, pelayan, atau.... ah, apa saja terserah paman."

   "Hemm.... hemm...."

   Gak Bun Beng mengelus jenggotnya yang pendek.
"Kalau paman keberatan, aku akan kembali ke Bhutan saja!"

   Gak Bun Beng menengok dan terse-nyum melihat betapa kini gadis itupun bisa memperlihatkan sikap merajuk dan manja seperti biasanya kaum wanita.

   "Kita ke kota raja dulu dan nanti kita lihat bagaimana perkembangannya, Dewi."

   Berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke timur. Di sepanjang perjalanan mulailah Gak Bun Beng memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Syanti Dewi.

   "Coba kau mainkan jurus-jurus pilihan dari gurumu, perwira Bhutan murid kakek adik angkatmu itu."

   "Baik dan aku mengharapkan petunjuk dan bimbingan paman."

   Puteri itu lalu bergerak dan bersilat, memilih jurus-jurus yang dianggapnya paling ampuh. Kadang-kadang Gak Bun Beng memandang penuh perhatian, menyuruhnya berhenti tiba-tiba dan memperbaiki jurus itu, dan demikianlah, perlahan-lahan dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat tinggi, dimasukkan dalam jurus-jurus yang telah dikenal oleh puteri itu. Dengan adanya pelajaran silat ini yang selalu dilatih setiap kali ada kesempatan, perjalanan jauh itu tidaklah terasa melelahkan, apalagi memang ada daya tarik luar biasa yang mempesonakan hati masing-masing dari teman seperjalanan itu. Diam-diam Gak Bun Beng membayangkan dengan hati khawatir apa yang telah terjadi di kerajaan.

   Cerita dari perwira gendut itu hanya menggambar-kan keadaan luarnya saja, namun tidak menceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi dan siapakah di antara para pangeran yang merencanakan pemberontakan, siapa pula yang bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Tibet. Hal ini menggelisahkan hatinya, terutama kalau dia teringat bahwa kini Milana tinggal di kota raja. Dia sudah mendengar berita bahwa Milana telah menikah. Biarpun tidak disengaja, berita ini menghancurkan dan sekaligus mendinginkan hatinya. Dia tahu bahwa Milana amat mencintanya dan tentu pernikahan itu atas desakan ayah dara itu, Pendekar Super Sakti. Maka dia menerima nasib dan memang dialah yang meninggalkan kekasihnya itu. Akan tetapi, kini mendengar tentang pergolakan di kota raja, timbullah kekhawatirannya tentang diri kekasihnya itu.

   Sebetulnya, apakah yang telah terjadi di istana Kaisar Kang Hsi? Agar lebih jelas, sebaiknya secara singkat kita mempelajari keadaannya. Telah ditetapkan bahwa yang menjadi Pangeran Mahkota adalah Pangeran Yung Ceng, seorang pangeran dari permaisuri yang amat dikasihi kaisar. Tentu saja masih banyak para pangeran yang lahir dari selir-selir kaisar, namun yang dicalonkan hanya Pangeran Yung Ceng seorang. Kaisar masih mempunyai dua orang adik tiri, yaitu dua orang pangeran yang lahir dari selir ayahnya, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Dua orang pangeran tua inilah yang tidak setuju akan pengangkatan Pangeran Yung Ceng sebagai pangeran mahkota karena mereka tahu bahwa kelak mereka tidak akan dapat mempermainkan pangeran ini yang tidak suka kepada kedua pamannya itu.

   Maka diam-diam dua orang pangeran tua ini merencanakan pemberontakan secara rahasia dan menghasut para pangeran lainnya. Pada suatu hari, seorang pangeran dari selir, yang sebaya dengan Pangeran Yung Ceng, bernama Pangeran Yung Hwa, setelah mendengar akan kecantikan Puteri Bhutan, mengajukan permohonan kepada ayahanda kaisar agar dapat menikah dengan puteri terkenal itu. Kaisar merasa senang dan setuju dengan keinginan hati Pangeran Yung Hwa ini. Akan tetapi seorang menteri setia, yaitu perdana menteri, yang sekaligus menjadi penasehat kaisar, membisikkan kaisar bahwa kurang tepatlah kalau putera kaisar dijodohkan dengan puteri sebuah negeri sekecil Bhutan!

   Pangeran Yung Hwa sepatutnya dijodohkan dengan puteri kerajaan yang lebih besar lagi sehingga kehormatan kaisar tidak menurun. Adapun Puteri Bhutan itu, untuk menarik Bhutan negara kecil itu sebagai keluarga, sebaiknya dilamar untuk dinikahkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang biarpun sudah berusia lima puluh tahun namun masih "perjaka"

   Dalam arti kata belum mempunyai isteri sah melainkan hanya berpuluh-puluh selir saja. Perdana menteri mengemukakan hal ini menurut perhitungannya yang bijaksana. Dia sendiri tidak tahu akan pemberontakan rahasia yang diusahakan oleh Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi dia tahu bahwa dua pangeran tua itu diam-diam tidak menyukai pangeran mahkota, maka pemberian "hadiah"

   Ini untuk melunakkan hati Liong Khi Ong!

   Kaisar yang mendapat keterangan panjang lebar ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan memuji akan kecerdikan perdana menterinya, maka dia lalu menolak permintaan Yung Hwa dengan alasan bahwa Yung Hwa akan dinikahkan dengan seorang Puteri Birma yang lebih cantik dan lebih hebat lagi. Adapun Puteri Bhutan lalu dipinang untuk Pangeran Liong Khi Ong! Justeru kesempatan ini dipergunakan secara licin oleh dua orang pangeran pemberontak itu untuk menggagalkan semua rencana, hanya dengan niat agar Bhutan menjadi musuh Pemerintah Ceng dan kelak mudah mereka ajak bersekutu untuk melawan pemerintah kakak mereka atau keponakan mereka sendiri. Betapapun kedua orang pangeran itu merahasiakannya, namun tetap saja terasa oleh semua orang suasana panas, suasana tidak enak yang meliputi istana.

   Apalagi ketika dikabarkan bahwa Pangeran Yung Hwa yang "patah hati"

   Itu lolos meninggalkan istana tanpa pamit! Dan dikabarkan bahwa ada bentrok yang mulai terasa di antara perdana menteri dan kedua orang pangeran tua. Suasana panas ini tidak langsung ditimbulkan oleh mereka yang bersangkutan, melainkan oleh kaki tangan masing-masing dan mulailah terjadi pelotot-mempelototi, sindir-menyindir antara pengawal masing-masing apabila bertemu di jalan raya di kota raja. Bahkan telah terjadi beberapa kali bentrokan bersenjata, sungguhpun hanya kecil-kecilan dan secara bersembunyi. Puteri Milana yang juga merasakan suasana panas ini sesungguhnya dia tidak lagi tinggal di istana, melainkan tinggal di gedung suaminya yang menjadi perwira tinggi dan pengawal istana.

   Dari suaminya, yang biarpun hubungan mereka seperti saudara saja namun masih bersikap baik kepadanya, dia mendengar tentang keadaan di istana. Dengan hati khawatir Milana mulai sering mengunjungi Istana untuk mendengar-dengar dan melakukan penyelidikan. Jiwa patriotnya tersentuh dan agaknya sifat kepahlawanan ibunya menurun kepadanya. Dia menghadap kaisar yang menjadi kakeknya itu, dengan terus terang menyatakan kekhawatirannya tentang desas-desus bahwa ada persekutuan pemberontak mengancam pemerintah. Kakeknya menertawakan cucunya ini, akan tetapi tidak melarang ketika Milana membentuk sebuah pasukan pengawal khusus yang dipimpinnya sendiri untuk melakukan penyelidikan dan untuk membasmi pemberontak yang berani mengacau kota raja!

   Pendeknya dia mencontoh ibunya, Puteri Nirahai, untuk menjaga keselamatan kota dan semua keluarga kaisar! Dan dengan adanya pasukan istimewa inilah maka keadaan kota raja mulai agak tenang dan keselamatan penghuninya terjamin. Dua orang pangeran tua itu lebih berhati-hati, tidak berani melakukan tindakan terlalu menyolok karena merekapun maklum betapa lihainya cucu keponakan mereka, Puteri Milana. Demikianlah sedikit gambaran keadaan kota raja, dan sudahlah sepatutnya kalau Gak Bun Beng merasa gelisah karena memang dia sedang menuju ke tempat yang amat gawat, yang setiap saat dapat meletus menjadi perang pemberontakan yang dahsyat. Namun, tujuan yang utama Gak Bun Beng bukanlah untuk menyelidiki kota raja atau untuk melihat keselamatan Milana, melainkan untuk mengantar Syanti Dewi.

   Andaikata tidak ada Puteri Bhutan ini yang ditolongnya, kiranya mendengar apapun tentang kota raja dan istana, tidak akan menggerakkan hatinya untuk mengunjungi tempat itu. Di sepanjang perjalanan, makin dekat dengan kota raja makin tampaklah suasana pertentangan. Bahkan di antara rakyat sendiri, ada yang pro dan ada yang anti kepada kaisar dan putera mahkota. Hal ini lumrah karena rakyat, betapapun juga menyadari bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah yang bagaimanapun tidak bisa mendapat-kan dukungan sepenuhnya dari lubuk hati mereka. Syanti Dewi memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat. Gak Bun Beng tidak tanggung-tanggung mengajarkan rahasia-rahasia ilmu silat tinggi, bahkan dia telah mengoperkan hawa sin-kang gabungan Swat-im-sin-kang (Tenaga Inti Salju) dan Hui-yang-sin-kang (Tenaga Inti Api) yang amat mujijat dari dalam tubuhnya ke dalam tubuh dara itu.

   Sampai pingsan Syanti Dewi menerima tenaga dahsyat ini, dan bagi Gak Bun Beng sendiri, pengoperan tenaga sin-kang ini membuat dia selama tiga hari tiga malam harus berdiam diri mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya. Dengan memiliki dasar tenaga sin-kang gabungan ini, biarpun ilmu silat yang dimainkan oleh Syanti Dewi masih sama dengan beberapa bulan yang lalu, namun kelihaiannya naik menjadi sepuluh kali lipat! Juga, biarpun dalam waktu singkat itu dia hanya menerima jurus-jurus baru yang tidak lebih dari belasan macam saja banyaknya, namun jurus-jurus ini sudah cukup untuk dipergunakan melindungi diri dari ancaman lawan yang amat kuatpun! Mereka sudah menyeberangi Sungai Huang-ho dan tiba di kota Ban-jun di sebelah barat kota raja.

   Hari sudah siang ketika mereka memasuki kota itu dan karena kota raja sudah dekat dan mereka telah melakukan perjalanan yang melelahkan sekali, Gak Bun Beng mencari sebuah rumah penginapan. Akan tetapi baru saja mereka sampai di jalan perempatan, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan tampak dari jauh mendatangi sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda besar dan dikusiri oleh seorang yang berpakaian tentara dan yang memegang golok. Dari simpangan yang lain tampak belasan orang yang juga berpakaian tentara, dipimpin oleh seorang perwira dan mereka ini membalapkan kuda mengejar kereta itu! Kemudian betapa kagetnya hati Gak Bun Beng dan Syanti Dewi ketika melihat anak panah berapi menyambar ke arah kereta dan dalam sekejap mata saja kereta itu terbakar!

   "Ohhh....!"

   Syanti Dewi berseru, seruannya kabur di dalam seruan-seruan semua orang yang melihat peristiwa itu dan yang segera lari cerai berai bersembunyi di balik-balik rumah penduduk.

   "Kita harus menolong penumpang....!"

   Kata pula puteri ini. Gak Bun Beng memegang tangan dara itu mencegahnya bertindak lancang. Dia masih tidak tahu siapa penumpang kereta, siapa pula yang mengejar dan melepaskan anak panah berapi itu. Sementara itu, perwira yang memimpin belasan orang perajurit sudah tiba di situ. Kusir kereta itu bangkit berdiri dan berusaha melawan dengan goloknya, akan tetapi karena di belakangnya ada api berkobar, dan gerakan perwira itu tangkas sekali,

   Ketika kuda perwira itu meloncat dekat dan pedang perwira itu menyambar, robohlah kusir itu dari atas kereta, terjungkal di atas tanah jalan sedangkan dua ekor kuda yang panik karena "dikejar"

   Api di belakang mereka itu, terus membalap sambil meringkik-ringkik. Kini Gak Bun Beng tidak dapat tinggal diam lagi. Apa dan siapapun yang bermusuhan, kusir itu tewas dan penumpang kereta terancam maut. Dia harus menolongnya dulu dan baru kemudian mendengar urusannya. Bagaikan kilat tubuhnya melesat berkelebat dan angin menyambar dan pendekar itu telah lenyap. Syanti Dewi kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir ketika melihat bayangan Gak Bun Beng melesat ke dalam kereta yang terbakar. Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pendekar itu melesat ke luar lagi memondong seorang pemuda yang terluka ringan di pahanya.

   "Keparat, berani mencampuri urusan kami?"

   Perwira itu bersama belasan orang perajuritnya sudah menerjang maju kepada Gak Bun Beng yang menurunkan pemuda itu di tepi jalan dekat Syanti Dewi.

   "Hemm, kalian terlalu kejam!"

   Gak Bun Beng berkata lalu menerjang ke depan karena dia tidak ingin pemuda itu diserang.

   "Dewi, lindungi dia!"

   Katanya dan begitu perwira itu sudah dekat, dia menyambut pedang yang menusuknya dengan sentilan jari tangannya.

   "Tringg.... krekkk!"

   Pedang itu patah menjadi dua! Gak Bun Beng lalu berkelebat di antara mereka, dan ke manapun dia berkelebat, tentu senjata seorang perajurit penunggang kuda patah atau terlempar. Dua orang perajurit menghampiri pemuda yang terluka itu dengan golok terangkat, akan tetapi Syanti Dewi yang sudah siap dengan dua buah batu sebesar kepalan tangannya, menggerakkan tangan kanan dua kali. Terdengar teriakan mengaduh dan dua batang golok terlepas dari tangan yang disambar batu itu.

   "Mundur....! Pergi....!"

   Perwira itu memberi aba-aba dan pasukan kecilnya yang telah "dilucuti"

   Senjatanya itu tidak menanti perintah kedua, terus membalikkan kuda dan terjadilah lomba balap kuda yang ramai, meninggalkan debu mengebul tinggi. Gak Bun Beng menarik napas panjang. Hatinya lega bahwa urusan itu dapat diselesaikan sedemikian mudahnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia menoleh ke tempat Syanti Dewi berada, dia hanya melihat dara ini saja sedangkan pemuda yang terluka ringan dan hampir mati terbakar dalam kereta tadi tidak tampak lagi. Cepat dia menghampiri Syanti Dewi.

   "Apa yang terjadi? Mana dia?"

   "Dia telah pergi, paman. Dia hanya menanyakan nama paman, kemudian dia mengatakan bahwa dia berterima kasih sekali, bahwa selama hidupnya dia tidak akan melupakan budi paman."

   "Dalam keadaan terluka itu dia pergi?"

   Syanti Dewi mengangguk.

   "Dia tidak mau ditahan, agaknya tergesa-gesa sekali. Dan dia hanya menyatakan bahwa namanya adalah Yung Hwa."

   "Hemm.... sungguh aneh sekali. Mari kita pergi dari kota ini, Syanti Dewi, aku tidak mau menjadi perhatian orang."

   Memang pada saat itu, orang-orang sudah berkumpul dan menghampirinya sambil membicarakan kegagahannya ketika menolong penumpang kereta dan melawan belasan orang pasukan tadi.

   Akan tetapi sebelum ada yang sempat bertanya, Gak Bun Beng sudah menggandeng tangan Syanti Dewi dan cepat-cepat meninggalkan kota itu, tidak menengok ketika mendengar ada orang-orang menegur dan memanggilnya menyuruh berhenti. Tentu saja orang-orang itu hanya melongo, dan laki-laki perkasa itu tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang memang selalu bersikap dan berwatak aneh. Peristiwa itu menambah dorongan bagi Gak Bun Beng dan Syanti Dewi untuk cepat menuju ke kota raja. Mereka menduga bahwa tentu bentrokan yang terjadi itu ada hubungannya dengan kerusuhan di kota raja. Sama sekali Gak Bun Beng tidak menyangka bahwa yang ditolongnya itu adalah putera kaisar sendiri! Dia adalah Pangeran Yung Hwa, adik Pangeran Mahkota Yung Ceng.

   Pangeran Yung Hwa itulah tadi yang tergila-gila mendengar kecantikan Syanti Dewi dan ingin menikah dengan puteri itu. Tentu saja Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tidak tahu sama sekali akan urusan itu, juga bagi pangeran muda yang tampan itu, sama sekali tidak pernah mimpi bahwa puteri yang membuatnya tergila-gila itu pernah berdiri di depannya, bahkan pernah menolongnya dengan merobohkan dua penyerangnya dengan sambitan batu, pernah dia bercakap-cakap dengan puteri itu! Tentu saja dia hanya mengira bahwa wanita muda yang menolongnya itu hanyalah seorang dara kang-ouw yang lihai saja. Juga dia masih terlalu muda untuk mendengar nama Gak Bun Beng yang hanya dikenal oleh golongan yang lebih tua karena selama belasan tahun ini nama Gak Bun Beng tidak pernah disebut-sebut orang lagi, apalagi memang orangnya telah menghilang tanpa meninggalkan jejak.

   Dengan cepat Gak Bun Beng melanjutkan perjalanan karena dia ingin cepat-cepat melihat keadaan kota raja. Apalagi ketika di sepanjang jalan setelah makin dekat kota raja dia melihat banyaknya pasukan-pasukan kecil yang hilir mudik dan kelihatan sibuk sekali. Kelihatannya memang amat gawat keadaannya dan di sepanjang jalan dia mencari keterangan, namun para penduduk juga hanya mengetahui sedikit sekali tentang keadaan sedalam-dalamnya dari kota raja yang diliputi penuh rahasia itu, hanya mengatakan bahwa di sekitar kota raja muncul banyak orang-orang aneh dan lihai seolah-olah semua tokoh kang-ouw dan para datuk kaum sesat muncul dari tempat pertapaan mereka,

   Semua orang sakti turun dari pegunungan dan semua iblis keluar dari neraka! Dan bahwa kini sering sekali tampak perondaan pasukan tentara dari kota raja dan banyak terjadi pertempuran, bahkan antara pasukan dengan pasukan lain sehingga membingungkan dan mendatangkan rasa takut kepada rakyat jelata. Beberapa hari kemudian, tibalah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi di depan pintu gerbang kota raja sebelah barat. Di depan pintu gerbang ini, Gak Bun Beng berhenti dan termenung dengan muka berubah pucat. Terbayanglah olehnya semua pengalamannya belasan tahun yan lalu (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS) dan jantungnya berdebar tegang ketika teringat bahwa di dalam lingkungan tembok kota raja inilah adanya wanita yang pernah dan masih dicintanya. Puteri Milana!

   Pintu gerbang itu terbuka lebar dan terjaga oleh sepasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan yang memandangi orang-orang yang lalu lalang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kalau ada orang yang kelihatan mencurigakan, tentu akan dipanggil dan diperiksa. Akan tetapi keadaan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi sama sekali tidak mencurigakan. Wajah Gak Bun Beng bukanlah wajah yang menyeramkan, bahkan seperti seorang petani biasa saja yang tampan, sedangkan biarpun wajah Syanti Dewi mempunyai kecantikan yang khas, namun kecantikannya yang mirip kecantikan wanita Mancu ini malah menyelamatkannya dari kecurigaan para penjaga. Apalagi karena kulit mukanya sudah agak gelap terbakar sinar matahari selama berpekan-pekan, dia mirip seorang gadis dusun biasa saja sungguhpun amat manisnya.

   "Paman, hayo, kita masuk. Mengapa paman berdiri saja di sini?"

   Syanti Dewi menegur dan menarik tangan pendekar itu.

   "Ahhh.... eh.... benar kau.... mari...."

   Kata Gak Bun Beng, suaranya agak parau dan gemetar.

   "Paman, engkau kenapakah? Mukamu pucat sekali seperti orang sakit."

   "Sakit? Siapa....? Aku sakit? Ah, tidak....!"

   Jawab Gak Bun Beng akan tetapi kedua kakinya tersaruk-saruk seolah-olah tubuhnya menjadi lemah kehabisan tenaga.

   "Agaknya kau masuk angin, paman. Biar kubawakan buntalan itu."

   Syanti Dewi mengambil buntalan dari tangan Gak Bun Beng dan memandang pamannya itu penuh kekhawatiran.

   Ternyata Gak Bun Beng memang sedang menderita tekanan batin yang hebat. Tidak hanya dia teringat akan segala peristiwa belasan tahun lalu, yang mendatangkan rasa duka, terharu, dan khawatir, akan tetapi kemudian dia teringat bahwa mereka telah tiba di tempat tujuan! Ini berarti bahwa dia akan segera berpisah dari Syanti Dewi. Kenyataan ini merupakan palu godam yang menghantam perasaan hatinya dan lebih parah lagi karena dia mendapat kenyataan betapa berat rasa hatinya untuk berpisah dari samping gadis ini! Kesadaran akan hal inilah yang benar-benar menghimpit hatinya. Mengapa jadi demikian? Mengapa dia menjadi berat berpisah dari samping gadis ini?

   Biarpun Syanti Dewi sudah mengatakan akan suka ikut selamanya dengan dia, namun dia bukanlah seorang laki-laki yang mempergunakan kelemahan seorang gadis untuk menyenangkan diri sendiri. Tidak! Apa akan jadinya dengan Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan, gadis bangsawan tinggi yang biasa hidup mulia itu apabila ikut dengan dia? Menjadi seorang perantau yang tidak menentu makan, pakaian dan rumahnya? Tidak! Tidak! Tentu, saja dia tidak bisa menceritakan kepada Syanti Dewi bahwa bayangan perpisahan itu yang memberatkan hatinya, yang memukul batinnya, di samping bayangan pertemuannya dengan Milana! Mereka melewati pintu gerbang dengan aman. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan serombongan pasukan masuk melalui pintu gerbang itu. Syanti Dewi masih memandang pamannya yang menunduk saja.

   "Lakukan pengawasan ketat dan jangan lupa, kalau dua iblis itu berani muncul di sini, cepat laporkan padaku!"

   Suara bisikan yang tidak terdengar oleh orang lain karena diucapkan perlahan dan dari jarak jauh itu masih dapat ditangkap oleh pendengaran Gak Bun Beng dan ada sesuatu dalam suara itu yang membuatnya terkejut dan cepat dia menoleh ke kiri.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 40 Sepasang Pedang Iblis Eps 40 Sepasang Pedang Iblis Eps 41

Cari Blog Ini