Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 34


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 34



"Mari kita minum untuk perkenalan yang amat menyenangkan ini!"

   Mereka lalu minum arak dari cawan masing-masing, diikuti pula oleh dua orang pengawal Tambolon, yaitu Si Petani dan Si Pelajar.

   "Kalian berdua yang lihai ini siapakah dan dari mana?"

   Tambolon bertanya.

   "Namaku Lu Ceng dan dia ini berjuluk Topeng Setan, menjadi pembantuku dan juga pengawalku,"

   Jawab Ceng Ceng singkat.

   "Nona Lu ini adalah beng-cu dari kaum sesat di sekitar kota raja,"

   Si Topeng Setan menambahkan.

   "Ha-ha-ha, hebat, hebat sekali!"

   Tambolon tertawa bergelak.

   "Seorang wanita begini muda sudah memiliki kelihaian dan menjadi beng-cu! Ha-ha-ha, siapa yang mengira? Nona Lu Ceng, bagaimana engkau dapat mengenal namaku, padahal baru sekarang kita saling bertemu?"

   "Hemm, aku sudah pernah merantau jauh ke barat dan di Bhutan aku mendengar tentang namamu dan pasukanmu, maka begitu melihat pasukanmu, aku dapat menduga bahwa tentu ini pasukan Raja Tambolon yang amat terkenal itu."

   "Ha-ha-ha, kau memang cerdik! Kau pantas menerima arak penghormatan dari Raja Tambolon!"

   Dengan gaya dan geraknya yang kasar Raja Tambolon lalu mempersilakan tamu-tamunya makan. Tanpa sungkan lagi Ceng Ceng dan Topeng Setan makan ditemani oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya. Tiba-tiba seorang perajurit datang menghadap Raja Tambolon. Dengan sikap amat hormat akan tetapi kasar perajurit itu berkata,

   "Lapor! Kawan-kawan tidak sabar lagi dengan para tawanan wanita. Mohon keputusan dan perintah Sri Baginda Raja!"

   Tambolon minum arak dari cawannya dan tertawa,

   "Ha-ha-ha, wah, aku sampai lupa. Bagi rata dan bergilir seperti biasa! Awas jangan sampai berebut dan berkelahi, suruh masing-masing perwira mengadakan undian siapa yang lebih dulu mendapat giliran. Eh, bawa pilihanku ke sini untuk melayani makan minum!"

   Perajurit itu memberi hormat dengan wajah berseri, kemudian berlari turun dari menara. Ceng Ceng dan Topeng Setan saling pandang, hanya setengah menduga apa yang akan terjadi dengan para tawanan wanita. Saking tidak tahannya, Ceng Ceng berkata,

   "Sri Baginda, apakah yang akan kau lakukan terhadap para tawanan wanita?"

   "Ha-ha-ha, kalian ingin tahu? Mari kita lihat, dari atas sini tentu merupakan panda-ngan yang amat hebat, ha-ha-ha!"

   Tambolon, Ceng Ceng, Topeng Setan dan dua orang pengawal Tambolon lalu bangkit dan berjalan ke pinggir loteng menara sehingga mereka dapat melihat apa yang terjadi di bawah sana. Jantung Ceng Ceng berdebar tegang, kedua telinganya menjadi panas ketika dia melihat apa yang terjadi di sana.

   Kurang lebih dua ratus orang wanita yang bertelanjang bulat berdiri dengan mata menunduk, ada yang merintih, ada yang menangis terisak-isak, ada orang berdiri ketakutan, dirubung oleh ratusan anak buah Tambolon yang memandang liar dan ada yang menjilat dan seperti sikap srigala kelaparan melihat domba muda. Tak lama kemudian, terdengar perwira-perwira bicara dan meledaklah sorak-sorai para anak buah Tambolon, kemudian terjadilah peristiwa yang membuat Ceng Ceng hampir saja meloncat ke bawah untuk mengamuk. Seperti srigala yang dilepaskan, para perajurit pasukan liar itu berlari-larian menyerbu wanita-wanita itu. Terdengar jerit-jerit mengeri-kan diseling suara tawa para perajurit liar dan terjadilah peristiwa yang sukar dapat dibayangkan oleh manusia waras. Pemerkosaan begitu saja di atas jalan-jalan, di tepi jalan, ada yang membawa wanita memasuki rumah,

   Akan tetapi ada pula yang memperkosanya di tempat itu juga, tidak peduli akan semua orang di sekitar-nya, bahkan ditonton, ditertawakan dan disoraki oleh teman-teman yang belum kebagian! Dua ratus orang wanita itu tentu saja segera habis dan banyak sekali perajurit yang terpaksa menanti giliran karena jumlah mereka lima kali lebih banyak dari jumlah wanita tawanan. Jerit melengking, rintihan dan keluhan, ratap tangis para wanita itu seolah-olah menusuki jantung Ceng Ceng dan terbayanglah dia akan pengalamannya sendiri ketika dia diperkosa oleh pemuda laknat itu! Dia memejamkan matanya, lalu tiba-tiba membalik dan lari kembali ke dekat meja dengan muka merah seperti udang direbus, matanya mendelik memandang Tambolon yang juga sudah kembali ke kursinya.

   "Terkutuk engkau!"

   Ceng Ceng memaki marah.

   "Mengapa kau suruh anak buahmu melakukan perbuatan terkutuk itu?"

   Tadi Ceng Ceng merasa betapa lengannya disentuh oleh Topeng Setan yang dengan halus menggelengkan kepala, mencegah dia melakukan sesuatu. Kini Ceng Ceng maklum bahwa andaikata dia tadi tidak kuat menahan kemarahannya dan bertindak, tentu mereka berdua akan binasa menghadapi hampir seribu orang lawan itu! Tambolon hanya tersenyum lebar mendengar makian Ceng Ceng.

   "Duduklah, Nona, dan kau juga, Topeng Setan. Minumlah arak ini untuk mendinginkan hatimu."

   Ceng Ceng menyambar dan menenggak araknya, karena memang dia membutuhkan arak itu untuk menenangkan hatinya yang bergelora menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan itu.

   "Nona, pasukanku telah melakukan perjalanan ribuan li jauhnya, perjalanan yang ditempuh dengan susah payah siang dan malam. Mereka telah menghadapi bahaya maut entah berapa ribu kali dan kadang-kadang sampai berbulan mereka tidak pernah melihat wajah seorang wanita. Mereka taat sekali kepadaku dan tanpa perkenanku, mereka tidak akan berani mengganggu seorang pun wanita. Akan tetapi, seperti juga makanan untuk perut mereka, mereka itu membutuhkan wanita dan kalau tidak sekali-kali memenuhi kebutuhan mereka itu, tentu mereka tidak akan taat lagi kepadaku. Wanita mana lagi yang dapat kuberikan kepada mereka kecuali wanita tawanan yang suaminya telah tewas dalam pertempuran?"

   Sunyi menyambut kata-kata ini dan betapa pun kejinya, Ceng Ceng dapat mengerti apa yang dimaksudkan Tambolon, akan tetapi karena merasa ngeri membayangkan nasib ratusan orang wa-nita yang suaranya masih terus mengikuti pendengarannya itu Ceng Ceng memejamkan matanya.

   "Berapa lama mereka dapat bertahan diterjang oleh demikian banyaknya anak buahmu?"

   Tiba-tiba Topeng Setan bertanya, suaranya halus dan datar seolah-olah tidak menyembunyikan perasaan apa-apa.

   "Ha-ha-ha, orang-orangku yang kehausan itu mana tahu akan daya tahan mereka? Telah berbulan mereka kehausan, tentu tidak mengenal puas dan dengan jumlah mereka yang lima enam kali lebih banyak, tidak sampai sepekan pun wanita-wanita itu akan habis."

   "Mati?"

   "Ha-ha-ha, bagaimana lagi? Lebih baik begitu daripada satu mendapat satu, terus menjadi terikat dan akan ikut ke manapun kami pergi, menghalangi gerakan kami."

   Topeng Setan menghela napas dan pada saat itu Ceng Ceng memandangnya. Mereka saling pandang dan Topeng Setan berkata,

   "Memang lebih baik begitu. Penderitaan mereka sebentar saja dan mereka akan segera mati menyusul suami atau keluarga mereka."

   Ceng Ceng ingin menjerit. Wanita-wanita itu lebih beruntung kalau diban-dingkan dengan dia!

   Mereka itu akan segera mati menyusul dan berkumpul dengan keluarga mereka yang tercinta. Akan tetapi dia? Dia menanggung aib dan malu, derita batin dan penasaran. Akan tetapi sampai sekarang pun orang yang didendamnya belum dapat dia temukan. Dan dia dijauhkan dari orang-orang yang dia cinta. Ayah bundanya sudah tiada, kakeknya pun tewas, sedangkan orang terakhir yang dicintanya, Syanti Dewi, pun entah berada di mana. Tambolon dan orang-orangnya ini adalah manusia-manusia kejam, demi kemenangan diri sendiri mereka ini bersedia melakukan kekejaman apapun juga. Akan tetapi mereka ini lihai, jumlah mereka banyak. Dia harus berhati-hati dan harus percaya kepada Si Topeng Setan yang dia percaya pun juga diam-diam mencari siasat agar mereka dapat terlepas dari Tambolon dan anak buahnya. Tiba-tiba terdengar isak wanita naik ke menara itu.

   "Ah, lepaskah aku.... lepaskan aku atau bunuh saja aku....!"

   Seorang perajurit muncul mendorong seorang wanita. Ceng Ceng memandang dan melihat bahwa wanita itu adalah seorang gadis muda yang usianya tidak akan lebih dari enam belas tahun, wajahnya cukup cantik dan pakaiannya terlalu besar, seolah-olah bukan pakaiannya sendiri dan dikenakan di tubuhnya dengan tergesa-gesa. Perajurit itu mendorong gadis ini jatuh berlutut di depan Tambolon, lalu memberi hormat kepada rajanya dan pergi ke luar.

   "Ha-ha-ha, inilah dia yang kupilih. Hei, perawan cilik, bangun dan berdirilah!"

   Gadis itu mengangkat mukanya yang pucat, rambutnya yang terlepas sanggulnya terurai, sebagian menutupi mukanya, matanya liar ketakutan ketika memandang kepada Raja Tambolon. Dia mengeluh dan bangkit berdiri, kedua kakinya menggigil ketakutan.

   "Nah, begitu baru baik. Ha-ha-ha, sekarang kau tanggalkan pakaianmu! Hayo cepat!"

   Gadis itu terbelalak, lalu menggeleng kepala keras-keras. Tambolon bangkit dari bangkunya dan Ceng Ceng sudah mengepal tinju. Kalau manusia ini menggunakan kekerasan di depanku, aku akan membunuhnya, demikian dia mengambil keputusan. Akan tetapi Tambolon yang menghampiri gadis itu, hanya memegang lengannya lalu menariknya ke pinggir loteng menara.

   "Nah, kau lihat baik-baik! Di bawah itu, setiap orang wanita sedikitnya harus melayani enam orang perajuritku, terus-menerus sampai beberapa hari lamanya. Engkau bernasib baik karena telah kupilih dan hanya harus melayani aku seorang saja. Dan kau masih rewel? Nah, pilihlah. Engkau melayani aku dengan baik, mentaati segala perintahku, ataukah engkau memilih kulempar ke bawah sana dan menjadi perebutan banyak orang laki-laki?"

   Wajah itu makin pucat, matanya terbelalak memandang ke bawah di mana masih terjadi pemerkosaan yang mengerikan, jelas tampak dari atas dan juga terdengar jelas rintih dan ratap tangis para wanita itu.

   "Kau memilih di sana?"

   Gadis itu menggeleng kepala keras-keras.

   "Ha-ha, jadi engkau memilih di sini dan mentaati segala perintahku?"

   Gadis itu mengangguk lemah, patah semua semangat perlawanannya. Tambolon kembali duduk di atas kursinya dan memandang bangga kepada dua orang tamunya bahwa dia telah berhasil mematahkan semangat perlawanan gadis tawanan itu.
(Lanjut ke Jilid 33)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 33
"Hayo kau buka semua pakaianmu, kau tidak pantas dengan pakaian yang terlalu besar itu!"

   Gadis itu dengan muka menunduk, seperti dalam mimpi, gerakannya otomatis, mulai menanggalkan pakaiannya. Ceng Ceng memandang dengan dada panas. Ternyata setelah pakaian luarnya ditanggalkan di sebelah bawah pakaian itu tidak ada apa-apa lagi yang menutupi tubuhnya! Agaknya gadis ini tadinya memang sudah telanjang bulat seperti para wanita lain dan ketika dibawa menghadap baru diberi pakaian luar itu. Kini dia berdiri dengan tubuh telanjang sama sekali, menunduk dan matanya setengah dipejamkan, rambutnya terurai ke depan dada dan punggung.

   "Hayo sanggul rambutmu itu baik-baik!"

   Kembali Tambolon memberi perintah dan gadis itu, masih merasa ngeri dan takut memikirkan keadaan para wanita lain di bawah sana, mentaati tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Untuk menyanggul rambutnya, terpaksa dia mengangkat kedua lengannya ke atas sehingga bentuk tubuhnya tampak senyata-nyatanya.

   "Lihat, betapa indah tubuhnya, hemm.... bukan main indahnya!"

   Tambolon memuji.

   "Tambolon!"

   Tiba-tiba Ceng Ceng berseru, tak mampu menahan kemarahannya karena melihat keadaan gadis telanjang itu, dia merasa seolah-olah dirinya sendiri yang dihina seperti itu.

   "Aku minta padamu agar gadis ini...."

   "Tidak, aku yang ingin menantangmu untuk memperebutkan gadis ini, Raja Tambolon!"

   Tiba-tiba Topeng Setan memotong kata-kata Ceng Ceng dan ketika gadis ini memandang kaget, dia melihat mata yang besar sebelah itu berkedip kepadanya. Raja Tambolon yang tadinya menikmati pemandangan indah di depannya seperti seorang mengagumi sehelai lukisan, terkejut dan menoleh kepada dua orang tamunya itu.

   "Eh, kalian mau apa?"

   Topeng Setan kini bangkit berdiri, sikapnya berwibawa dan tubuhnya seperti lebih tinggi dari biasanya ketika dia mengangkat dada menghadap Raja Tambolon sambil berkata, suaranya tetap halus datar namun terdengar agak kaku,

   "Raja Tambolon, aku menantangmu untuk memperebutkan gadis ini. Kalau kau kalah, gadis ini menjadi milikmu dan terserah hendak kau apakan dia, akan tetapi kalau aku menang, dia harus diserahkan kepadaku."

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Tambolon menepuk-nepuk perutnya dan tertawa berkakakan, sungguh tidak pantas kalau orang sekasar ini menjadi raja, pikir Ceng Ceng.

   "Engkau baru melihat yang begini saja sudah timbul nafsu berahimu? Ha-ha-ha! Aku sendiri muak melihatnya. Setelah aku bertemu dengan seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa seperti Nona Lu, sikap gadis-gadis seperti itu yang lemah dan pucat benar-benar memuakkan hatiku. Dan engkau malah timbul gairah? Ha-ha, lucu sekali! Topeng Setan, engkau adalah tamuku, tamu terhormat. Kalau engkau menginginkan gadis itu, nah, kau ambillah dia sekarang juga. Aku rela!"

   Ceng Ceng merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Selama ini, dia menganggap Topeng Setan sebagai seorang laki-laki yang aneh dan penuh rahasia, akan tetapi yang jelas amat sayang kepadanya, selalu siap melindungi dan membelanya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa begitu. Topeng Setan ini pernah menolongnya, dan mungkinkah seperti halnya Tek Hoat, laki-laki bertopeng penuh rahasia ini hanya terikat oleh janji ketika tertawan dan berjanji hendak membantunya dan mengajarkan ilmu kepadanya?

   Berbeda dengan Tek Hoat yang mempunyai pandang mata penuh gairah, laki-laki bertopeng ini selalu kelihatan pendiam dan penuh rahasia, tidak pernah membayangkan gairah apa pun seperti mayat hidup, atau seperti arca bernyawa. Akan tetapi sekarang, mengapa secara tiba-tiba menghendaki gadis telanjang bulat yang memang amat menggiurkan dengan tubuhnya yang muda dan mulus itu? Apakah artinya kedipan mata tadi? Diam-diam dia merasa kecewa kalau sampai temannya ini menerima gadis itu sebagai hadiah dari Tambolon, dan dia yakin bahwa pandangannya terhadap Topeng Setan pasti akan berubah sama sekali kalau laki-laki bertopeng ini mau menerima gadis telanjang itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia menjadi makin terheran ketika Topeng Setan berkata,

   "Terima kasih, Sri Baginda. Akan tetapi gadis ini patut diperebutkan dan saya akan merasa terhina kalau hanya diberikan begitu saja, dia pun menjadi kurang berharga bagiku. Karena itu, saya menantang Paduka untuk memperebutkan gadis manis ini dengan saya."

   "Ong-ya, kalau dia tidak mau, biarlah diberikan saja kepada saya. Pilihanku tidak semuda dan semanis dia!"

   Tiba-tiba Yu Ci Pok, Si Siucai Maut, seorang di antara dua orang pengawal Tambolon yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara, sekarang berkata lantang dan matanya memandang ke arah Topeng Setan dengan penuh ejekan.

   "Pula, saya kira gadis itu akan lebih suka kepada saya daripada kepada dia!"

   Tambolon tertawa. Memang dia sudah biasa dengan sikap para anak buahnya yang tidak banyak peraturan terhadap dia, bahkan kadang-kadang kasar.

   "Heh, anak manis, kau lihat kami bertiga ini. Kau memilih yang mana? Aku, Raja Tambolon yang gagah perkasa, ataukah pengawalku ini, Yu-siucai yang lebih muda dan tampan, ataukah Topeng Setan itu?"

   Dengan mata terbelalak seperti mata seekor kelinci salah masuk ke dalam guha penuh harimau, dan wajahnya pucat, gadis itu memandang mereka bertiga, dan dia menunduk tanpa berani menjawab. Mereka semua mengerikan baginya, terutama sekali wajah Raja Tambolon yang penuh brewok, tinggi besar dan kasar, juga wajah Topeng Setan yang amat buruk dengan tubuhnya yang tinggi pula. Betapapun juga, wajah siucai itu sama sekali tidak menghibur hatinya. Kalau ada jalan, agaknya baginya lebih baik mati daripada harus menyerahkan tubuhnya kepada seorang di antara mereka bertiga.

   "Hei, kau layani kami, hayo tuangkan arak sebelum aku mengambil keputusan tentang tantangan Si Topeng Setan, ha-ha-ha!"

   Raja Tambolon berkata dan gadis itu dengan tindakan lemas menghampiri meja. Tubuhnya menjadi lemas, akan tetapi hal ini agaknya membuat lengannya menjadi makin lemah gemulai menggairahkan. Kedua tangannya agak gemetar ketika dia menuangkan arak di cawan Raja Tambolon. Ketika gadis itu menuangkan arak di dekat Raja Tambolon, orang kasar ini sambil tertawa menggunakan jari tangannya meraba dada gadis itu dan ketika menuangkan arak pada cawan Si Siucai, orang she Yu ini pun meraba pinggulnya. Hanya Si Petani dan Topeng Setan yang diam saja, dan Ceng Ceng yang melihat ini, sudah menjadi marah sekali hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi sekali lagi dia melihat Topeng Setan berkedip kepadanya, maka dia menahan kemarahannya. Setelah mengajak tamunya minum arak, Tambolon lalu berkata,

   "Topeng Setan, sepatutnya tantanganmu itu cukup untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu! Akan tetapi melihat muka Nona Lu, biarlah kuanggap engkau sudah mabok, mabok arak dan mabok kecantikan gadis ini. Akan tetapi engkau hanya seorang pengawal dan aku pun sudah kehilangan gairahku terhadap gadis ini, maka biarlah Yu-siucai yang melayanimu. Siapa di antara kalian yang lebih unggul, nah, boleh memiliki gadis ini. Ha-ha-ha!"

   Yu-siucai mengeluarkan suara tertawa mengejek lalu meloncat berdiri dan memandang kepada Topeng Setan sambil berkata,

   "Sobat baik, salahmu sendiri kau tergila-gila kepada gadis ini. Sri Baginda memberikan engkau kepadaku untuk menerima sedikit hajaran!"

   Topeng Setan juga bangkit berdiri, menarik napas panjang dan berkata,

   "Sayang Sri Baginda tidak menerima tantanganku. Memperebutkannya dengan engkau kurang menarik. Akan tetapi kau majulah dan biar aku menerima sedikit hajaranmu itu!"

   Yu-siucai adalah seorang di antara dua pengawal jagoan dari Tambolon yang sudah terkenal kelihaiannya. Biarpun dia tidak selihai Si Petani yang sikapnya pendiam itu, namun Tambolon sendiri sudah mengujinya dan jarang ada orang mampu menandingi kepandaian Yu-siucai ini. Dia adalah seorang pelarian dari perguruan tinggi Hoa-san-pai karena menyeleweng dan setelah dia menggembleng dirinya di Pegunungan Himalaya selama sepuluh tahun, ilmu kepandaiannya meningkat hebat dan akhirnya dia bertemu dengan Tambolon dan menjadi pengawal raja orang-orang liar itu. Karena di waktu mudanya dia pernah mempelajari ilmu, membaca dan menulis, maka dia menganggap dirinya sendiri sebagai seorang sastrawan.

   Dan memanglah kalau dibandingkan dengan pasukan Tambolon yang hampir semua buta huruf itu, bahkan kalau dibandingkan dengan Tambolon sendiri, Yu Ci Pok boleh dibilang merupakan orang yang amat pandai dalam ilmu sastra sehingga dari pakaiannya ini dia terkenal sebagai Si Siucai Maut! Karena merasa bahwa di dalam pemerintahan Raja Tambolon dia adalah seorang yang nomor tiga, maka muncullah sifat-sifat sombong di dalam hati siucai yang usianya empat puluh tahun lebih ini, menganggap bahwa tidak ada orang lain kecuali Raja Tambolon dan Si Petani yang akan mampu menandinginya! Sudah menjadi wataknya dia memandang rendah kepada orang lain, dan biarpun dia tahu bahwa Topeng Setan ini pun bukan orang biasa, namun tetap saja dia memandang ringan dan kini sambil bertolak pinggang dia menghadapi Topeng Setan sambil berkata,

   "Topeng Setan, aku yakin bahwa pibu (adu ilmu silat) antara kita ini tidak akan lebih dari sepuluh jurus!"

   "Hemmm, agaknya begitulah,"

   Jawab Topeng Setan. Tiba-tiba Yu-siucai membentak keras dan tubuhnya berge-rak cepat sekali, menerjang dengan serangan kilat dan dalam jurus pertama ini kedua tangannya sudah mengirim dua kali pukulan dan kedua kakinya menendang dua kali, semua di-lakukan susul-menyusul cepat sekali dan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat!

   "Wut-wutt.... plak! Plak!"

   Dengan amat mudahnya Topeng Setan mengelak dari tendangan dan menangkis dua kali pukulan itu dengan tangannya. Dalam melakukan ini, tubuhnya sama sekali tidak berpindah tempat, hanya bergerak mengelak dan menangkis tanpa meloncat ke lain tempat, bahkan juga tidak merobah kuda-kudanya yang dilakukan dengan kedua kaki terpentang lebar. Hal ini membuat Yu-siucai terkejut sekali, juga Tambolon dan Si Petani sekali pandang saja maklum bahwa Topeng Setan benar-benar tak boleh dibuat permainan.

   "Yu-siucai, hati-hatilah terhadap dia!"

   Tiba-tiba Si Petani berkata dan ucapannya ini saja sudah membuktikan bahwa dia bermata awas. Ceng Ceng yang tadinya khawatir juga menyaksikan kehebatan serangan Yu-siucai yang demikian ganas, menjadi lega ketika melihat betapa Topeng Setan menghadapinya dengan begitu tenang dan yakin akan kemenangannya, maka dia mulai mengalihkan perhatiannya, melirik kepada gadis telanjang itu yang kini mundur-mundur ke pinggir loteng dengan mata terbelalak penuh rasa khawatir. Tambolon dan Si Petani mencurahkan perhatiannya kepada pertandingan itu dengan hati tegang, karena tentu saja mereka berdua ini ingin mengukur sampai di mana kepandaian Topeng Setan itu.

   Yu-siucai sendiri juga maklum akan kelihaian lawan. Tangkisan dua kali tadi saja sudah membuat kedua tengannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sin-kang lawan ini tidak berada di sebelah bawah tingkatnya, padahal dia tidak tahu apakah lawan ini sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Kalau belum, sukar dibayangkan betapa kuatnya lawan dan mengingat ini, Yu-siucai cepat menerjang lagi dengan kecepatan kilat dan mengirim pukulan-pukulan yang lebih dahsyat daripada tadi untuk mendahului lawan karena dia masih merasa yakin akan keunggulan permainan silatnya, sungguhpun jelas bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat. Topeng Setan bersikap tenang sekali dan dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan elakan cepat dan dibantu oleh tangkisan-tangkisan kedua tangannya yang digoreskan secara mantap dan kuat.

   Bahkan dia membiarkan Yu-siucai melancarkan serangan terus-menerus sampai sembilan jurus lamanya, selalu dielakkan dan ditangkisnya, kemudian pada jurus ke sepuluh, dia tidak hanya menangkis melainkan membalas dengan dorongan tangannya. Tenaga sin-kang yang amat dahsyat menyambar, membuat Yu-siucai terdorong ke belakang dan pada saat tubuhnya condong ke belakang ini, kakinya kena ditendang dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya terlempar dan terbanting jatuh di depan kursi Raja Tambolon! Menyaksikan hasil ini, Ceng Ceng menjadi gembira dan kumat lagi sifatnya yang nakal dan jenaka, sifat yang telah lama hampir dilupakannya semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-li kemudian ditimpa malapetaka pemerkosaan itu. Tanpa disadarinya, dia bertepuk tangan dan berkata memuji,

   "Wah, Yu-siucai sungguh mengagumkan sekali! Sepantasnya kedudukan pengawal diganti menjadi peramal karena ramalan Yu-siucai tepat sekali, pertempuran tadi tepat berlangsung sepuluh jurus seperti yang diramalkannya!"

   Mendengar kata-kata yang jelas merupakan ejekan ini, Yu-siucai melompat bangun, tangan kanannya bergerak cepat ke arah pinggangnya dan tahu-tahu dia telah mengeluarkan sepasang poan-koan-pit, yaitu senjata sepasang alat tulis yang terkenal lihai karena sepasang senjata ini merupakan alat-alat menotok jalan darah yang berbahaya.

   "Aku tadi telah bersikap kurang hati-hati,"

   Katanya.

   "Akan tetapi aku belum kalah, Topeng Setan!"

   Dengan sikap mengancam dia melangkah satu-satu dengan gerakan tegap menghampiri Topeng Setan. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras, tubuhnya bergerak dan tampaklah sepasang sinar kilat menyambar-nyambar dari kedua tangannya ketika senjata poan-koan-pit itu mulai menyerang.

   "Hemmm....!"

   Topeng Setan terpaksa mengelak ke kanan kiri dan bahkan lalu meloncat ke belakang. Demikian cepat dan hebatnya serangan senjata kecil itu. Dan memang inilah keistimewaan Yu-siucai dan tidak percuma dia dijuluki Siucai Maut karena senjatanya pun sesuai dengan julukannya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil alat tulis dari baja dan yang dimainkannya secara hebat sekali!

   "In-kong, sambut ini!"

   Tiba-tiba Ceng Ceng berseru dan dia telah melontarkan sepasang sumpitnya yang tadi dipakai makan, kepada Topeng Setan. Sumpit itu terbuat dari gading dan dapat dipakai sebagai sepasang senjata yang lumayan daripada bertangan kosong menghadapi sepadang poan-koan-pit yang lihai itu.

   "Terima kasih!"

   Topeng Setan berkata sambil menyambar sepasang sumpit yang melayang ke arahnya itu. Sebetulnya, biarpun menghadapi sepasang senjata di tangan Yu-siucai dengan tangan kosong, Topeng Setan sama sekali tidak merasa jerih karena ilmu kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada lawannya. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak tahu akan hal ini dan telah membantunya.

   "Ha-ha, bagus! Dengan begitu kita sama-sama bersenjata!"

   Yu-siucai tertawa girang karena tadi dia merasa malu juga harus menyerang lawan dengan senjata, sedangkan lawannya bertangan kosong. Kini, melihat betapa lawannya telah memegang sumpit, dia menjadi girang. Apa artinya sepasang sumpit itu dibandingkan dengan poan-koan-pitnya? Sekali gempur saja tentu sumpit-sumpit itu akan patah-patah! Memang dengan poan-koan-pitnya ini Yu-siucai telah mengalahkan banyak lawan secara mengagumkan. Ketika dia akan diterima menjadi pengawal pribadi Tambolon,

   Dia diharuskan memperlihatkan kelihaian poan-koan-pitnya, melawan pengeroyokan selosin orang Mongol yang bersenjata golok besar dan tidak sampai lima puluh jurus saja semua orang Mongol itu telah roboh tertotok oleh sepasang poan-koan-pitnya! Kini, menghadapi Topeng Setan yang memegang sepasang sumpit dengan tangan kanannya, seperti orang yang hendak makan, diam-diam dia mentertawakannya, lalu poan-koan-pitnya bergerak cepat sekali, yang kiri menotok ke arah pundak kanan, sedangkan poan-koan-pit yang kanan membayangi gerakan senjata yang kiri ini, siap untuk mengirim totokan susulan yang mematikan! Topeng Setan tentu saja dapat melihat gerakan ini dengan jelas, akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti, menggunakan sumpitnya dengan tangan kanan untuk menerima poan-koan-pit kiri lawan yang menotok pundak kanannya.

   "Cappp!"

   Hebat memang gerakannya karena sepasang sumpitnya itu berhasil "menangkap"

   Poan-koan-pit kiri lawan itu seperti kalau menyumpit sepotong daging saja! Menyaksikan kecepatan dan gerakan yang tepat ini, Yu-siucai juga kaget sekali, apalagi ketika dia mengerahkan tenaga untuk menarik kembali poan-koan-pit itu dia memperoleh kenyataan betapa senjatanya itu seperti telah menjadi satu dengan sepasang sumpit gading dan tidak dapat dicabut kembali. Akan tetapi, hal ini malah membuat dia girang karena kebodohan lawan, maka cepat sekali poan-koan-pit di tangan kanannya meluncur dan menotok jalan darah di bawah ketiak kiri lawan.

   "Cusss....!"

   Tepat sekali poan-koan-pit itu mengenai bagian yang harus ditotoknya, mengenai sasaran di bawah ketiak, akan tetapi betapa kagetnya hati siucai itu ketika merasa betapa ujung poan-koan-pitnya itu yang mula-mula mengenai kulit daging lunak, tahu-tahu menancap dan seperti "dihisap", juga tidak dapat dicabutnya kembali! Kini Yu-siucai mengerahkan tenaga pada kedua tangannya untuk merampas kembali sepasang poan-koan-pit yang sudah tertangkap lawan itu, yang kiri terjepit oleh sepasang sumpit lawan, sedangkan yang kanan terjepit oleh ketiak lawan.

   "Pletak....!"

   Tiba-tiba terdengar suara keras dan poan-koan-pit yang terjepit sumpit itu patah menjadi dua. Yu-siucai kaget bukan main, melepaskan poan-koan-pit yang sudah patah itu, lalu menggunakan tangan kirinya untuk membantu tangan kanan berusaha mencabut poan-koan-pit yang terjepit di ketiak. Tiba-tiba Topeng Setan melepaskan jepitannya dan tubuh siucai itu terhuyung ke belakang. Dengan kemarahan meluap, dia lalu menerjang lagi dengan poan-koan-pit yang hanya tinggal sebatang itu. Topeng Setan berkata,

   "Hemm, masih belum puas?"

   Dia membiarkan poan-koan-pit yang menusuk ke arah lehernya itu lewat dan secepat kilat sepasang sumpitnya digerakkan menotok lutut kanan kiri lawannya. Tanpa dapat dicegah lagi Yu-siucai jatuh berlutut!

   "Hi-hik, kalah adalah soal biasa, tidak perlu berlutut, Yu-siucai!"

   Ceng Ceng berkata sambil tertawa.

   "Maafkan saya,"

   Topeng Setan berkata sambil melempar sepasang sumpitnya ke atas meja di mana sumpit itu menancap di depan Ceng Ceng dengan rapi.

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Keparat, engkau Tambolon manusia curang!"

   Ceng Ceng menjadi marah sekali dan sudah mencabut pedang Ban-tok-kiam dari pinggangnya. Akan tetapi segera dia dikepung oleh Lauw Kui yang bersenjata batang pikulannya yang terbuat dari baja dan Yu Ci Pok yang kini hanya bersenjata sebatang poan-koan-pit dan belasan orang perwira, termasuk Kimonga komandang pasukan liar itu.

   "Ha-ha-ha, Nona Lu! Tambolon adalah orang yang perintahnya tidak boleh dibantah oleh siapapun juga, termasuk engkau! Engkau dan temanmu itu harus membantuku, mau atau tidak."

   "Tambolon manusia keparat!"

   Ceng Ceng memutar pedang Ban-tok-kiam di tangannya dan semua pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget karena pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan. Akan tetapi tiba-tiba mereka melihat nona itu terguling! Pedang yang menyeramkan itu terlepas dari pegangannya! Mereka bersorak girang, mengira bahwa nona ini pun menjadi korban racun bius di dalam arak merah, maka mereka cepat menubruk dan sekejap mata saja tubuh Ceng Ceng sudah diringkus, kedua kaki tangannya dibelenggu dan gadis ini hanya memaki-maki dan berteriak-teriak. Dua orang perwira sudah roboh berkelojotan karena sambaran rambut dan ludahnya yang disertai tenaga beracun! Akhirnya dua orang pengawal Tambolon itu yang menangani-nya sendiri, menotoknya sehingga dia tidak dapat menggerakkan tubuhnya dan hanya memandang dengan mata melotot!

   "Ha-ha-ha, engkau baru tahu kelihaian Tambolon, Nona Lu. Bawa dia ke kamarku dan lempar Topeng Setan itu ke dalam kamar, jaga baik-baik dan belenggu dia jangan sampai terlepas. Akan tetapi perlakukan mereka itu, calon-calon pembantuku, baik-baik!"

   Ceng Ceng mendongkol bukan main, dan juga terheran-heran. Tadi, ketika dia hendak mengamuk mati-matian mempertahankan diri dan melindungi Topeng Setan, tiba-tiba kedua kakinya ditotok orang sehingga dia terguling tanpa dapat dipertahankannya lagi,

   Bahkan ketika dia roboh itu, pedang Ban-tok-kiam juga terlepas dari tangannya karena sikunya ditotok orang. Padahal tidak ada orang lain yang dekat dengannya kecuali Si Topeng Setan yang telah rebah pingsan di atas lantai! Apakah pembantunya itu yang menotoknya? Ah, agaknya tidak mungkin demikian. Ataukah Raja Tambolon sedemikian lihainya sehingga raja itu yang mengeluarkan ilmunya yang mujijat? Akhirnya dia berhenti memaki-maki dan memutar otaknya mencari akal ketika dia dibawa orang ke dalam sebuah kamar dan diikat di atas pembaringan, tidak dapat bergerak dan banyak perwira menjaga di dalam dan di luar kamar itu. Dia menanti apa yang akan terjadi terhadap dirinya sambil mengasah otak mencari akal, sambil diam-diam dia mengkhawatirkan nasib Topeng Setan.

   Tek Hoat terpaksa mengawal Pangeran Liong Khi Ong yang tergesa-gesa menyelamatkan dirinya ke dalam kota Teng-bun yang dijadikan pusat dan markas besar pemberontak karena dia merasa tidak aman berada di luar benteng ini melihat betapa banyaknya terdapat mata-mata pemerintah. Dia khawatir kalau-kalau sampai dia tertangkap basah sebagai puncak pimpinan pemberontak mewakili kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong yang masih berada di kota raja mendekati Kaisar. Tek Hoat diam-diam merasa mendongkol bukan main. Dia merasa heran mengapa segala hal yang dipegangnya selalu mengalami kegagalan! Mengapa di dalam waktu singkat ini dia telah bertemu dengan begitu banyak orang pandai yang agaknya pada saat itu semua berkumpul di utara, di tempat yang sedang geger ini. Yang membuat dia merasa mendongkol sekali adalah karena dia kembali telah kehilangan jejak Puteri Syanti Dewi!

   Sambil mengawal Pangeran Liong memasuki benteng Teng-bun, dia mengenangkan puteri yang cantik dan halus lembut itu, dan ia teringat betapa halus sikap puteri itu terhadap dirinya ketika dia dahulu sengaja menghadang perjalanan rombongan puteri ini di dekat sungai, betapa halus puteri itu minta kepadanya agar dia pergi karena Sang Puteri hendak turun mandi di sungai! Teringat pula olehnya betapa Syanti Dewi juga bersikap halus sekali, jauh bedanya dengan sikap kasar Lu Ceng ketika dia menyamar sebagai tukang perahu dan "menolong"

   Mereka dengan perahunya. Gara-gara kenakalan Ceng Ceng maka dia terpaksa berpisah dan kehilangan mereka! Bahkan hampir saja kitab-kitab dalam bungkusannya lenyap di dasar sungai karena di-buang oleh gadis galak itu.

   Di kota Koan-bun, secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Syanti Dewi! Mula-mula bahkan melihat puteri itu di dusun Ang-kiok-teng di dalam warung. Betapa dia ingin merampas puteri itu di waktu itu juga. Akan tetapi sungguh tidak beruntung baginya, puteri itu disertai tiga orang yang demikian lihainya. Dua orang pemuda itu saja sudah amat lihai, dan dia ingat bahwa mereka adalah orang-orang yang pernah menolong Jenderal Kao, dengan sendirinya mereka tentulah orang-orang pemerintah, mungkin mata-mata yang memiliki kepandaian lihai. Juga orang tua itu, sungguh amat lihai dan tidak boleh dipandang ringan sama sekali apalagi orang setengah tua itu disebut paman oleh mereka. Di kota Koan-bun dia telah diam-diam membayangi mereka, akan tetapi kedatangan pasukan liar dari Tambolon mengakibatkan geger,

   Ditambah lagi dengan gerakan orang-orang pemerintah dan pendudukan kota Koan-bun oleh Panglima Kim Bouw Sin, membuat dia kembali kehilangan Syanti Dewi di antara orang banyak. Dia sudah mengerahkan kaki tangannya untuk mencari di seluruh kota Koan-bun, namun hasilnya sia-sia. Gadis bangsawan itu seperti lenyap ditelan bumi tidak meninggalkan bekas. Hal inilah yang membuat Tek Hoat termenung dengan hati kesal dan murung, kehilangan kegembiraan hatinya, sungguhpun kini gerakan pemberontakan mulai maju dan hal ini berarti bahwa cita-citanya makin mendekati kenyataan. Dia sendiri merasa heran mengapa setelah kini bertemu dengan Syanti Dewi, dia menjadi kehilangan gairahnya terhadap cita-citanya, bahkan hampir tidak mempedulikan lagi tentang usaha pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Liong.

   "Semua gara-gara gadis laknat si Lu Ceng itu,"

   Pikirnya gemas. Kalau tidak ada Lu Ceng, tentu sekarang dia masih berdekatan dengan Syanti Dewi. Akan tetapi, dia sendiri merasa heran mengapa kalau dia sudah bertemu dengan Lu Ceng yang nakal itu, dia seperti mati kutu, padahal biarpun gadis itu memiliki ilmu tentang racun yang amat lihai, dia toh akan dapat mengalahkan gadis itu dengan mudah. Ada sesuatu yang aneh terjadi kalau dia berhadapan dengan Lu Ceng, ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia tidak tega untuk memusuhinya!

   Kini dia mengalihkan kemendongkolan hatinya pada dua orang pemuda tampan yang menemani puteri itu, dan kepada orang setengah tua gagah sederhana itu. Mereka itulah yang menjadi penghalang sehingga kembali dia kehilangan Syanti Dewi. Tadinya dia hampir berhasil menawan atau membunuh dua orang pemuda itu, dengan bantuan tiba-tiba dari Hek-wan Kui-bo Si Nenek Hitam buruk yang muncul membantunya, bahkan seorang di antara dua orang pemuda itu telah terluka parah. Akan tetapi, ini pun akhirnya gagal karena pemuda yang terluka itu dapat melenyapkan diri sedangkan pemuda yang ke dua telah ditolong oleh laki-laki setengah tua yang amat hebat ilmunya itu! Sungguh sial! Seolah-olah segala yang dipegangnya tidak berhasil baik!

   Setelah Pangeran Liong Khi Ong memasuki gedung yang disediakan untuknya, Tek Hoat diperbolehkan mengaso dan pemuda ini memasuki kamarnya sendiri. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan memejamkan mata, mengenangkan semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan ibunya. Betapa lama sudah dia meninggalkan ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah Huang-ho. Teringat akan ibunya, timbul rasa rindu di dalam hatinya. Sesungguhnya, di lubuk hatinya terdapat rasa kasih sayang yang amat besar terhadap ibu kandungnya, juga perasaan iba yang besar. Teringat dia ketika beberapa tahun yang lalu dia meninggalkan ibunya, dia berjanji akan pulang menengok ibunya. Kenyataannya, sudah lima enam tahun dia pergi, tidak pernah dia pulang ke Bukit Angsa! Sungguh kasihan ibunya, hidup seorang diri, menanti-nanti kedatangannya.

   "Kau anak tidak berbakti!"

   Dia memaki dirinya sendiri.

   "Sebetulnya engkau sudah harus pulang."

   "Tidak!"

   Bentaknya sambil membuka kembali matanya.

   "Kalau aku pulang dalam keadaan begini saja, tentu hati ibu akan kecewa. Tidak! Aku baru akan pulang kalau cita-citaku sudah berhasil, menjadi raja atau pangeran atau setidaknya seorang pembesar yang berkedudukan tinggi dan mulia di kota raja. Baru aku akan pulang menjemput ibuku dengan segala hormat...."

   Dia lalu memejamkan matanya kembali, membayangkan betapa dia menjemput ibunya dengan kereta besar dan mewah, dikawal pasukan yang gagah, kemudian mengajak ibunya memasuki sebuah istana miliknya sendiri! Betapa ibunya akan girang dan bangga! Dan dari dalam istana itu menyambut keluar mantu ibunya, Puteri Syanti Dewi yang cantik jelita! Puteri Raja Bhutan. Betapa ibunya akan makin bangga dan dia.... ahhh!

   Tek Hoat bangkit dan duduk, bertopang dagu. Dia melamun terlalu jauh, sedangkan puteri itu pun berada di mana dia tidak tahu. Mengapa dia bermalas-malas seperti ini? Tek Hoat cepat meloncat, berganti pakaian lalu berlari keluar setelah memberitahukan pengawal dalam bahwa kalau Pangeran Liong Khi Ong bertanya tentang dia agar dikatakan bahwa dia pergi berjalan-jalan untuk memeriksa keadaan. Tek Hoat lalu memasuki kota Tek-bun yang sudah mulai normal kembali karena Panglima Kim Bouw Sin dengan tangan besi memaksakan keamanan dan ketenteraman di kota yang dijadikan benteng pemberontak itu. Penjagaan di seluruh kota amat ketat dan pengawasan amat cermat sehingga agaknya amat sukarlah bagi mata-mata pemerintah untuk menyusup ke dalam kota pemberontak ini tanpa diketahui.

   Tek Hoat yang sudah banyak dikenal oleh para perwira yang memimpin penjagaan dan perondaan kota sebagai tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang memiliki kepandaian amat tinggi, berkali-kali disapa dengan hormat oleh mereka dan dibalasnya dengan anggukan kepala tak acuh karena hatinya sedang kesal. Dia tidak ingin mencari Syanti Dewi di kota Koan-bun lagi karena ada belasan orang kaki tangannya yang sudah diberi tugas untuk mencari gadis itu di sana. Tiba-tiba timbul pikiran yang aneh dalam kepalanya. Siapa tahu, yang dicarinya itu berada di Teng-bun! Betapapun aneh dan tidak masuk akalnya, dugaan ini, akan tetapi siapa tahu! Dia teringat betapa teman-teman puteri itu adalah orang-orang yang tinggi sekali ilmunya, siapa tahu dia yang membawa puteri itu menyelundup ke pusat pemberontak ini! Mulailah dia memasan mata memperhatikan keadaan sekelilingnya.

   Karena dia kini mulai memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan, maka tiba-tiba dia dapat melihat munculnya sesosok bayangan orang di antara kemuraman cuaca senja hari itu. Sosok bayangan tubuh seorang nenek bertongkat, nenek yang buruk rupa, yang telah membantunya menghadapi dua orang pemuda pengawal Syanti Dewi yang lihai. Nenek yang mengaku berjuluk Hek-wan Kui-bo, Si Iblis Lutung Hitam! Mau apa nenek aneh itu berkeliaran di Teng-bun? Padahal dia tahu betul bahwa nenek itu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pangeran Liong atau para pimpi-nan pemberontak lainnya. Bagaimana nenek ini dapat memasuki Teng-bun? Memang tidak begitu mengherankan andaikata nenek ini dapat menerobos penjagaan yang ketat karena memang nenek ini memiliki kepandaian hebat, akan tetapi, apakah kehendaknya memasuki benteng ini? Dengan beberapa langkah saja Tek Hoat dapat mengejarnya.

   "Perlahan dulu, Hek-wan Kui-bo!"

   Nenek itu terkejut bukan main, tubuhnya membalik dan tahu-tahu ujung tongkatnya sudah menyambar ke arah jalan darah di dada Tek Hoat dengan serangan totokan maut yang amat berbahaya.

   "Siuuutttt.... plakk!"

   Tek Hoat terpaksa menangkis dengan tangan yang dimiringkan karena serangan itu dahsyat dan berbahaya sekali.

   "Ihhh.... wah, kiranya engkau, orang muda yang tampan dan gagah perkasa? Hi-hik, hampir saja engkau mampus di ujung tongkatku!"

   Merah muka Tek Hoat mendengar ini dan ia tersenyum mengejek. Kalau saja nenek ini tidak pernah membantunya, tentu sudah diserangnya nenek ini yang begitu memandang rendah kepadanya.

   "Hemm, kurasa tidaklah begitu mudah, Kui-bo!"

   Nenek itu tertawa. Makin menjijikkan mukanya ketika dia tertawa. Muka yang kelaki-lakian dan buruk itu menjadi makin buruk karena kini mulutnya terbuka dan kelihatan tiga buah giginya yang besar-besar dan bergantung saling berjauhan, sehingga kelihatan seperti mulut binatang yang bertaring.

   "Aku tahu.... aku tahu, engkau adalah Si Jari Maut, pembantu yang amat sakti dari Pangeran Liong, bukan? Masih begini muda sudah memiliki kepan-daian hebat, sungguh mengagumkan."

   Tek Hoat merasa tidak suka kepada nenek ini. Wajah buruk itu membayangkan banyak sekali kepalsuan yang mengerikan.

   "Hek-wan Kui-bo, apakah maksud kedata-nganmu menyelundup ke Teng-bun ini?"

   "Hi-hik, engkau mencurigai aku? Aku sudah membantu menghadapi dua orang mata-mata pemerintah yang masih muda-muda dan juga lihai itu."

   "Dalam kedaan seperti sekarang ini, siapapun harus dicurigai, dan kami semua tidak tahu apa maksud ke-datangan seorang tokoh seperti engkau, Kui-bo."

   "Hi-hi-hik, apa sih yang diinginkan seorang nenek seperti aku? Laki-laki muda dan tampan? Wah, aku sudah muak dan tidak ada lagi nafsu di tubuhku yang tua! Kekayaan? Untuk apa? Memakai segala yang indah pun aku tidak akan dapat menjadi cantik, makan yang bagaimana mahal dan lezat pun, gigiku yang tidak lengkap akan mendatangkan rasa yang tidak enak! Akan tetapi kedudukan! Nah, itu! Nama besar, wah, itu masih kuperlukan. Kemuliaan dan penghormatan! Eh, orang muda, aku ingin bertemu dengan Liong Bin Ong atau Liong Khi Ong!"

   "Mau apa?"

   "Aku ingin membantu pemberontakannya dengan janji bahwa aku kelak akan men-dapatkan balas jasa yang berupa pangkat dan kedudukan terhormat di dalam istana! Aku Hek-wan Kui-bo yang selalu dipandang rendah, dianggap iblis, aku ingin kelak mati sebagai seorang paduka yang mulia, ditangisi oleh rakyat senegara dan dibikin bong-pai (nisan) yang paling mewah dan besar, disembahyangi sampai ribuan tahun!"

   Tek Hoat muak mendengar ini, akan tetapi dia pun tahu bahwa tenaga nenek ini memang amat diperlukan di waktu itu.

   "Hek-wan Kui-bo, tidaklah mudah untuk bertemu dengan kedua orang pangeran itu. Biasanya, sebelum orang diterima menjadi pembantu, dia harus memperlihatkan kecakapannya lebih dulu, harus membuat jasa lebih dulu. Apakah jasamu terhadap pemerintah baru yang dipimpin oleh kedua orang Pangeran Liong?"

   "Hi-hi-hi-hik, jadi di sini ada pula peraturan sogokan? Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Aku sudah siap dengan barang sogokan yang tentu akan menggirangkan hati Pangeran Liong Khi Ong!"

   Tek Hoat mengerutkan alisnya.

   "Sogokan? Apa maksudmu?"

   "Aih-aihh.... kura-kura dalam perahu, ya? Pura-pura tidak tahu! Siapakah di dunia ini yang tidak mengenal sogokan? Aku mendengar bahwa seorang di antara kedua orang pangeran tua itu, seperti hampir semua lakl-laki di dunia ini, mahluk menyebalkan, gila akan wajah cantik dan tubuh mulus seorang perawan remaja! Nah, jasaku yang pertama untuk Pangeran Liong Khi Ong adalah persembahanku berupa seorang dara remaja yang cantik jelita!"

   Tek Hoat menjadi makin sebal.

   "Hemm, Hek-wan Kui-bo, mengingat bahwa engkau pernah membantuku, aku tidak menaruh curiga kepadamu. Akan tetapi jangan engkau bermain gila dalam keadaan seperti ini. Tak perlu kututupi bahwa Pangeran Liong Khi Ong sekarang memang berada di Teng-bun dan memang beliau seorang laki-laki tua yang suka kepada wanita muda, akan tetapi jangan harap kalau engkau dapat bertemu dengan dia hanya karena engkau dapat mempersembah-kan seorang gadis muda. Beliau sudah tidak kekurangan penghibur berupa banyak dara-dara jelita!"

   "Eh-eh, jangan engkau memandang rendah, ya? Gadis jelita di seluruh Teng-bun ini, bahkan di seluruh daratan, belum tentu dapat menyamai gadis yang akan kupersembahkan sebagai uang sogokan atau uang kunci ini! Tidak ada keduanya! Bukan perawan biasa, bukan cantik sembarang cantik. Aku adalah seorang wanita tua, aku lebih tahu tentang kecantikan wanita daripada kalian kaum pria! Aku tahu mana kecantikan aseli, mana pulasan! Aku sendiri dahulu di waktu muda pun cantik jelita, akan tetapi terus terang saja, dibandingkan dengan perawan ini, aku mengaku kalah jauh!"

   "Sudahlah, Hek-wan Kui-bo, harap jangan engkau mimpi yang bukan-bukan. Tunjukkan jasamu untuk perjuangan, baru aku ada pikiran untuk membawamu menghadap Pangeran Liong Khi Ong. Urusan kecil mengenai gadis itu tidak perlu kau sebut-sebut lagi...."

   "Urusan kecil! Mulut besar! Kau bilang urusan kecil, ya? Kau tahu, aku berani tanggung bahwa dia itu adalah keturunan raja, dia pasti seorang puteri bangsawan tinggi, dan bukan berdarah pribumi! Kalau Pangeran Liong melihatnya...."

   Tiba-tiba perhatian Tek Hoat tertarik. Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan Syanti Dewi yang dimaksudkan oleh nenek ini?

   "Dari mana engkau memperoleh dia itu?"

   Tanyanya dengan suara datar sambil menekan guncangan hatinya.

   "Heh-heh, jangan kau memandang rendah, ya? Susah payah aku membawanya dari himpitan orang-orang yang panik ketika terjadi geger di Koan-bun, susah payah aku membujuknya dan susah payah pula aku menyelundupkannya ke Teng-bun untuk kupersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong agar aku diterima membantunya, eh.... kau mengatakannya urusan kecil! Apa kau berarti menantangku, orang muda?"

   Nenek itu sudah melintangkan tongkatnya di depan dada, sikapnya menantang dan marah sekali. Jantung Tek Hoat terguncang makin keras. Kalau saja cuaca tidak menjadi makin gelap, tentu akan tampak perubahan pada wajahnya yang tampan. Dia yakin kini bahwa yang dimaksudkan nenek iblis ini adalah Syanti Dewi! Pantas saja disuruhnya cari di seluruh pelosok kota Koan-bun tidak berhasil, kiranya gadis itu terjatuh ke dalam tangan nenek ini dan diselundupkan ke Teng-bun!

   "Hemmm, baiklah.... baiklah....! Aku percaya kepadamu, akan tetapi aku harus melihat dulu orangnya untuk kunilai apakah dia patut dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong. Engkau harus mengerti bahwa saat ini dia dikelilingi banyak gadis cantik, maka kalau persembahanmu itu tidak istimewa sekali, tentu beliau akan marah terganggu."

   "Boleh-boleh, kau boleh melihatnya sendiri!"

   Nenek itu berkata penuh keyakinan dan Tek Hoat lalu mengikuti nenek ini berjalan menyusuri jalan raya itu. Kini nenek itu berjalan dengan terang-terangan karena dia tidak takut lagi berjumpa dengan para penjaga yang semua mengenal Tek Hoat bahkan menghormatinya. Tek Hoat heran bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa nenek itu membawanya ke sebuah rumah gedung yang.... berdekatan dengan gedung yang dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh Pangeran Liong Khi Ong. Dia tahu bahwa gedung itu adalah milik seorang hartawan di kota Teng-bun.

   "Eh, bagaimana kau dapat tinggal di sini, Kui-bo? Apakah engkau masih ada hubungan dengan Coa-wangwe (Hartawan Coa)?"

   Nenek itu terkekeh.

   "Tentu saja ada hubungannya, masuklah!"

   Mereka memasuki lewat pintu samping yang kecil dan makin heranlah Tek Hoat karena tidak ada penjaga seorang pun di situ, juga tidak nampak seorang pun pelayan. Nenek itu sambil terkekeh mendahului Tek Hoat memasuki ruangan besar di tengah gedung dan terkejutlah Tek Hoat ketika melihat semua keluarga Coa termasuk semua pelayannya duduk berjajar-jajar di atas lantai ruangan itu, semuanya terbelenggu dan tidak mampu bergerak atau bersuara karena mereka telah tertotok gagu semua!

   "He-he-he, aku terpaksa meminjam tempat mereka selama menanti diterimanya oleh Pangeran. Kelak belum terlambat bagiku untuk minta maaf kepada mereka ini yang telah berjasa kepadaku, hi-hi-hik!"

   "Bebaskan mereka!"

   Tek Hoat berkata, menahan kemarahannya. Keluarga hartawan Coa ini adalah sahabat baik Panglima Kim Bouw Sin dan sudah banyak menyumbang untuk usaha pemberontakan itu.

   "Heh-heh, bagaimana kalau mereka melarang kami...."

   "Bebaskan, kalau engkau memang mempunyai maksud baik dengan kami semua, Kui-bo!"

   "Hi-hi-hik, kau berwibawa juga, orang muda! Ha-ha, bebas, bebaslah....!"

   Nenek itu berloncatan di antara orang-orang itu dan tongkatnya bergerak. Demikian cepatnya tongkat itu bergerak-gerak dan belenggu-belenggu itu beterbangan, semua orang itu terbebas dari belenggu dan dapat bergerak kembali. Diam-diam Tek Hoat memandang gerakan ini dan harus mengakui bahwa nenek ini benar-benar lihai, di samping wataknya yang ku-koai (aneh).

   "Mari, mari kau lihat bidadariku...."

   Tek Hoat menghampiri Coa-wangwe yang sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata,

   "Harap Coa-wangwe memaafkan perbuatan nenek yang aneh ini dan tidak perlu ribut-ribut karena aku sendiri yang akan mengurus dan membereskannya."

   Coa-wangwe yang sudah mengenal Tek Hoat, mengangguk, dan Tek Hoat lalu mengikuti nenek itu memasuki se-buah kamar yang besar dan mewah karena kamar ini adalah kamar tidur sendiri dari Coa-wangwe. Di sudut kamar terdapat sebuah pembaringan yang terukir indah sekali, dengan kasur dan tilam sutera yang berkembang dan dihias sulaman. Meja kecil di depan pembaringan itu juga terukir, dan sebuah lampu penerangan tergantung dari gantungan yang berupa burung emas!

   "Lihat.... heh-heh-heh, lihat baik-baik.... pernahkah engkau melihat puteri secantik dia?"

   Nenek itu menuding ke arah pembaringan di mana rebah seorang gadis dalam keadaan tidur pulas. Tek Hoat berdiri tegang, jantungnya berdebar penuh kegirangan dan juga ketegangan. Gadis itu tidur dengan bibir agak tersenyum, lengan kanan tergantung sedikit di tepi pembaringan, tangan kiri di atas perut, pakaiannya sederhana saja akan tetapi kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan keagungan wajah. Puteri Bhutan itu bahkan membuat kecantikannya makin menonjol.

   Memang siapa lagi puteri itu kalau bukan Syanti Dewi? Seperti telah kita ketahui, puteri ini terpisah dari Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ketika terjadi geger di kota Koan-bun. Dia ikut terseret oleh arus manusia yang berhimpit-himpit itu. Di dalam segala hal, manusia selalu berebutan, selalu memikirkan kepentingan diri pribadi. Di waktu tidak ada bahaya mengancam diri, manusia berlumba dan saling memperebutkan harta benda, kedudukan, atau nama dan dalam perebutan ini siapa yang menghalang di jalan akan diterjang. Demikian pula di dalam keadaan bahaya mengancam, mereka juga berebutan, saling memperebutkan keselamatan diri masing-masing tanpa menghirau-kan orang lain,

   Siapa yang menghalang di depan akan diterjangnya, bahkan setiap orang akan tidak malu-malu atau ragu-ragu untuk menggunakan mayat orang lain sebagai batu loncatan menuju ke arah keselamatan diri sendiri! Syanti Dewi yang tadinya masih mempunyai harapan akan dapat tersusul oleh tiga orang temannya itu atau setidaknya oleh seorang di antara mereka, menjadi panik juga ketika makin lama makin jauh terseret sampai tidak dapat melihat Gak Bun Beng atau dua orang saudara Suma. Akhirnya dia tiba di tempat yang tidak begitu penuh orang karena pasukan itu telah lewat dan dia cepat mundur sampai mepet di tembok rumah agar tidak terseret terus makin menjauh. Dia memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan sepasang matanya membayangkan kekhawatiran.

   "Nona yang cantik, engkau mencari siapakah?"

   Tiba-tiba dia mendengar suara orang dan ketika dia menoleh, dia terkejut melihat seorang nenek yang mukanya buruk sekali, kasar, hitam, rambutnya riap-riapan dan memegang sebatang tongkat yang bentuknya seperti ular. Akan tetapi karena betapa buruknya pun orang itu hanya seorang wanita tua, Syanti Dewi menjawab,

   "Aku terseret arus manusia dan terpaksa berpisah dari teman-temanku, Nek. Aku khawatir sekali, bagaimana dapat menemukan mereka kembali dalam arus manusia sebanyak itu?"

   "Aduh kasihan.... Nona tentu bukan orang sini...."

   "Bagaimana engkau bisa menduga begitu, Nek?"

   "Hi-hik, aku hanya menduga-duga.... jangan khawatir, Nona. Aku akan membantumu mencarikan teman-temanmu itu. Mari, pegang tongkatku."

   Karena sedang panik, tentu saja uluran tangan siapa pun untuk membantunya mencari tiga orang temannya itu merupakan hal yang amat menggembirakan.

   "Terima kasih, nenek yang baik,"

   Katanya dan tanpa ragu-ragu lagi dia menggandeng nenek itu, bukan memegang tongkatnya, melainkan memegang tangan kirinya. Baru dia terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa nenek itu dapat berjalan cepat sekali, menyelinap dan menyusup di antara orang banyak sambil menariknya, dan dengan sedikit terdorong tangannya saja dia sudah dapat membuat banyak orang yang menghalangi jalannya terdorong tumpang tindih sehingga ter-kuak jalan untuk mereka!

   "Aihh, kiranya engkau lihai sekali, Nek!"

   Syanti Dewi berkata.

   "Hi-hi-hik, kalau Hek-wan Kui-bo tidak lihai, siapa lagi yang lihai di dunia ini?"

   Semenjak keluar dari istana Bhutan, Syanti Dewi terus-menerus mengalami hal-hal yang luar biasa dan dia bahkan terseret-seret ke dalam dunia persilatan di mana dia bertemu dengan banyaK tokoh persilatan yang lihai-lihai. Oleh karena ini maka begitu melihat nenek yang lihai ini dan mendengar julukannya yang menyeramkan, yaitu Biang Setan Lutung Hitam, mengertilah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan seorang tokoh hitam yang menyeramkan! Akan tetapi dengan pembawaannya yang tenang Syanti Dewi tidak memperlihatkan sikap takut, melainkan menoleh ke kanan kiri, mencari-cari tiga orang temannya itu. Kalau saja dia dapat melihat seorang di antara mereka! Dia tidak akan terancam lagi oleh nenek ini! Akan tetapi dia tidak melihat seorang pun di antara mereka, dan nenek itu sudah menariknya lagi.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 26 Sepasang Pedang Iblis Eps 19 Sepasang Pedang Iblis Eps 10

Cari Blog Ini