Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 56


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 56



"Kiranya Taihiap yang berjuluk Pendekar Super Sakti, tocu (majikan pulau) dari Pulau Es. Hamba mewakili majikan hamba dan kongcu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap mengusir para penjahat. Juga kepada Ji-wi berdua saya menghaturkan terima kasih,"

   Katanya lebih lanjut dan menjura ke arah Ceng Ceng dan Topeng Setan. Pendekar Super Sakti mengangguk.

   "Pelayan yang baik dan setia,"

   Katanya.

   "Di manakah adanya tuanmu? Aku datang karena melihat jejak puteraku, Suma Kian Lee, menuju ke tempat ini. Apakah dia bersama dengan majikanmu?"

   Tukang kebun itu kembali menjura.

   "Belum lama ini majikan hamba datang bersama Suma Kongcu, kemudian majikan hamba mengajak Suma Kongcu ke selatan setelah tiba undangan dan tantangan dari tiga orang datuk lainnya yang mengadakan pertemuan di Yin-san, pegunungan sebelah selatan. Kemudian datang Kongcu (Tuan Muda) murid majikan hamba dan kami berdua diserang oleh gerombolan penjahat tadi. Untung ada Sam-wi (Anda Bertiga) yang membantu kami."

   Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat ke depan dan menodongkan pedangnya kepada kakek si tukang sapu yang menjadi terkejut sekali.

   "Hayo katakan, siapa kongcumu itu? Bukankah dia yang bernama Kok Cu?"

   "Benar, Nona.... kenapa....?"

   "Di mana dia? Lekas suruh dia keluar!"

   "Eh, hamba.... hamba kira dia menjaga di gedung pusaka, sudah pasti begitu karena dia amat cerdik, tahu bahwa para penjahat tadi hendak menyerbu gedung pusaka."

   "Nona muda, segala urusan dapat diselesaikan dengan baik, tanpa kekerasan."

   Tiba-tiba Pendekar Super Sakti berkata dan suaranya yang halus itu membuat Ceng Ceng meremang bulu tengkuknya.

   "Maaf, Locianpwe,"

   Katanya dan dia menyimpan pedangnya.

   "Biar saya yang mencarinya bersama orang tua ini,"

   Kata Topeng Setan. Tukang sapu mengangguk dan sekali berkelebat lenyaplah keduanya itu dari halaman. Setelah mereka pergi, Pendekar Super Sakti memandang Ceng Ceng penuh perhatian dan bertanya,

   "Nona, semenjak pertemuan kita di warung itu, tak kusangka akan bertemu lagi dengan kau di sini. Sahabatmu yang bertopeng itu hebat sekali. Siapakah dia?"

   "Dia adalah sahabat dan pelindungku, Locianpwe. Dia adalah Paman Topeng Setan."

   "Paman? Hemm, kukira dia belum setua itu. Tadinya kami kira dia itu suamimu. Kepandaiannya hebat. Akan tetapi mengapa kalian sampai di Istana Gurun Pasir ini? Tidak sembarang manusia dapat sampai di tempat berbahaya ini."

   "Saya.... saya mencari.... seorang musuh besar saya,"

   Kata Ceng Ceng gagap. Jantungnya berdebar dan dia merasa jerih sekali berhadapan dengan pendekar yang hebat ini, yang juga masih terhitung kakek tirinya! Segala sesuatunya dari pendekar ini demikian berwibawa dan amat kuat pengaruhnya sehingga dia merasa tidak enak, takut dan sungkan.

   "Hemm, jadi itukah yang kau katakan urusan pribadi dahulu itu? Kasihan, semuda ini sudah dicengkeram oleh dendam yang begitu hebat...."

   Ucapan ini dikeluarkan oleh pendekar itu dengan lirih seperti bicara kepada dirinya sendiri.

   "Dan bocah perempuan yang naik rajawali hitam itu, siapa dia? Engkau tadi berseru kepadanya."

   "Dia.... dia itu Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...."

   "Eh! Ketua Pulau Neraka?"

   Suma Han kelihatan tercengang juga.

   "Benar, Locianpwe, dan dia.... dia menjadi murid saya."

   Jawaban ini tentu saja membuat Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang tidak tahu akan duduknya perkara menjadi terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu, Topeng Setan dan kakek tukang sapu sudah muncul lagi sehingga percakapan mereka terhenti.

   "Dia tidak ada lagi di sini, dan di kamarnya aku menemukan suratnya ini,"

   Kata Topeng Setan kepada Ceng Ceng, sedangkan kakek tukang sapu tadi hanya mengangguk membenarkan.

   "Benar, Nona. Surat itu ditujukan kepada saya,"

   Katanya. Ceng Ceng menerima surat itu dan membaca huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan tergesa-gesa, mengatakan bahwa penulisnya hendak pergi menyusul gurunya ke selatan, ke Yin-san untuk membantu gurunya menghadapi para datuk lainnya.

   "Kalau begitu, kita susul ke Yin-san!"

   Ceng Ceng berteriak, penuh kekecewaan dan kemarahan.

   "Akan tetapi Yin-san bukan tempat yang dekat dari sini...."

   Topeng Setan berkata.

   "Tidak peduli, aku harus menyusulnya!"

   Ceng Ceng berkata penasaran.

   Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas.

   "Subo.... celaka, dua ekor pek-tiauw (rajawali putih) itu mengejar-ngejar burungku! Aku terpaksa mendarat!"

   Dari atas menyambar turun burung rajawali hitam dan Hwee Li cepat meloncat turun, merangkul leher burungnya dan berkata,

   "Tenanglah, hek-tiauw, semua ini sahabat, kau tidak boleh nakal."

   Dengan susah payah Hwee Li menenangkan burungnya yang kelihatan marah dan gelisah melihat orang-orang asing itu. Tiba-tiba Hwee Li menahan jeritnya ketika menoleh dan melihat Suma Han. Dia menudingkan telunjuknya kepada pendekar itu dan berkata gagap,

   "Celaka.... aku.... aku pernah mendengar.... kau.... kau Pendekar Super Sakti...."

   Suma Han tersenyum dan mengangguk.

   "Anak baik, kau puteri Ketua Pulau Neraka? Sungguh bahagia sekali ayahmu memiliki seorang puteri seperti engkau."

   Hwee Li memainkan matanya yang jeli.

   "Ehh? Kau.... kau tidak benci padaku, tidak membunuh aku....?"

   Suma Han tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "....tapi rajawali putih menyerang rajawaliku. Mereka itu tentu rajawali-rajawali dari Pulau Neraka dahulu, yang sekarang sudah menjadi besar dan lebih tangkas daripada hek-tiauw ini."

   Suma Han bersuit panjang dan dua ekor rajawali putih itu menyambar turun, akan tetapi mereka itu mendekam di belakang Suma Han tanpa berani bergerak, sedangkan rajawali hitam dirangkul Hwee Li karena kelihatan gelisah dan gemetaran.

   "Memang ini dua ekor pek-tiauw dari Pulau Neraka yang dahulu menerbangkan kedua orang puteraku dari Pulau Neraka."

   Kemudian dia menoleh kepada Ceng Ceng dan Topeng Setan.

   "Agaknya kita semua mempunyai niat yang sama yaitu ke Yin-san. Aku pun hendak menyusul Kian Lee yang pergi bersama Dewa Bongkok ke Yin-san, kalau kalian hendak ke sana, mari pergunakan pek-tiauwku yang seekor lagi. Nona dapat boncengan dengan muridmu ini di punggung hek-tiauw dan Saudara Topeng Setan ini boleh memakai pek-tiauw jantan ini."

   Tentu saja Ceng Ceng dan Topeng Setan menerima penawaran itu dengan gembira.

   Ceng Ceng lalu meloncat ke atas punggung hek-tiauw bersama Hwee Li, sedangkan Topeng Setan meloncat ke punggung pek-tiauw jantan setelah Suma Han naik ke punggung pek-tiauw betina. Suma Han menerbangkan pek-tiauw betina itu di depan dan burung yang ditunggangi Topeng Setan segera mengejarnya. Hwee Li yang gembira sekali memboncengkan gurunya lalu memerintahkan rajawali hitamnya untuk mengikuti sepasang rajawali putih itu. Memang hebat sekali Pendekar Super Sakti. Menunggang burung rajawali saja sudah merupakan hal yang amat mendebarkan hati penuh ketegangan, apalagi di waktu malam! Hwee Li sudah biasa sejak kecil menunggang burungnya, seperti menunggang kuda saja.

   Akan tetapi Ceng Ceng merasa ngeri, bahkan Topeng Setan sendiri mau tidak mau kadang-kadang menahan napas saking tegangnya. Namun Pendekar Super Sakti dengan enak saja melanjutkan penerbangan itu dan baru pada keesokan harinya menyuruh rajawalinya menukik turun ke atas sebuah bukit yang sunyi. Mereka memberi kesempatan kepada tiga ekor burung rajawali untuk beristirahat, dan juga mereka mencari tempat teduh untuk mengaso dan mengisi perut dengan roti kering yang dibawa sebagai bekal oleh Topeng Setan dan Ceng Ceng. Saat beristirahat, setelah makan, dipergunakan oleh Pendekar Super Sakti untuk bersamadhi. Melihat ini, Topeng Setan, Ceng Ceng, dan Hwee Li tidak berani mengganggu, bahkan Topeng Setan mengajak mereka agak menjauhi di mana Topeng Setan memberi petunjuk kepada Ceng Ceng untuk menyempurnakan penguasaan tenaga sin-kangnya,

   Sedangkan Ceng Ceng juga mulai mengajarkan semacam ilmu pukulan kepada Hwee Li. Akan tetapi diam-diam Majikan Pulau Es itu melihat betapa Topeng Setan kadang-kadang melakukan latihan yang aneh, dengan tubuh hampir menelungkup dan begitu Topeng Setan melakukan gerak silat, batang-batang pohon di seke-lilingnya bergoncang seperti diamuk badai, daun-daun rontok berhamburan. Pendekar Super Sakti terkejut dan maklum bahwa Topeng Setan benar-benar merupakan seorang yang amat lihai. Dia tidak tahu bahwa itu adalah ilmu yang paling mujijat dari Istana Gurun Pasir, yaitu Ilmu Sin-liong-hok-te yang sedang dilatih dan disempurnakan oleh Topeng Setan, yang akhirnya menguasai ilmu mujijat itu setelah lengan kirinya buntung.

   Juga sering sekali Suma Han yang memiliki penglihatan waspada itu melihat sikap termangu-mangu dan tenggelam dalam kedukaan hebat dari orang yang wajahnya disembunyikan di balik topeng itu. Dia tahu bahwa Topeng Setan masih muda dan dia makin kagum, juga makin heran karena antara Ceng Ceng dan manusia aneh ini terselubung rahasia yang luar biasa. Akan tetapi karena dia merasa tidak ada sangkut pautnya dengan mereka, pendekar besar yang hanya sedang mencari puteranya ini tidak menaruh perhatian, apalagi menanyakan. Beberapa hari kemudian, menjelang tengah hari, tibalah mereka di atas Pegunungan Yin-san. Tiga ekor burung rajawali itu berputaran di atas pegunungan dan tiba-tiba Hwee Li yang bermata tajam melihat gerakan orang-orang di atas sebuah di antara puncak pegunungan itu.

   "Subo, itu di sana ada orang bertempur!"

   Serunya. Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk muridnya.

   "Kalau begitu kita melihat ke sana. Biar mereka nanti pun mengikuti kita kalau melihat kita turun."

   Hwee Li lalu menepuk-nepuk leher rajawali hitam yang mengerti akan perintah ini. Dia menukik turun dan melayang cepat sekali. Akan tetapi Suma Han atau Pendekar Super Sakti melihat hal lain lagi yang menarik hatinya, maka rajawali yang ditungganginya disuruhnya turun pula di tempat yang tidak jauh dari puncak di mana Hwee Li dan Ceng Ceng melihat orang-orang bertempur itu. Karena rajawali yang ditunggangi Topeng Setan, yaitu pek-tiauw jantan, selalu mengikuti pek-tiauw betina, maka burung ini pun menukik turun mengikuti burung yang ditunggangi Pendekar Super Sakti.

   Tak lama kemudian, Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat turun dari punggung dua ekor rajawali itu yang segera beterbangan lagi ke atas, agaknya maklum bahwa mereka telah bebas tugas dan hanya tinggal menanti panggilan majikan mereka. Selama bebas tugas mereka lebih suka terbang ke atas dan mengintai korban, yaitu binatang-binatang hutan untuk menjadi mangsa mereka. Pendekar Super Sakti berloncatan dengan kaki tunggalnya, menuju ke sebuah telaga kecil, diikuti oleh Topeng Setan. Baru sekarang Topeng Setan mengerti mengapa pendekar besar itu mendarat di situ. Kiranya di dalam telaga itu terdapat seseorang yang sedang merendam tubuhnya di dalam air, kelihatannya sedang bersamadhi. Seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah. Suma Kian Lee! Pendekar Super Sakti melangkah maju mendekati puteranya, mengerutkan alisnya dan berkata halus,

   "Kian Lee, keluarlah kau dan biar kuobati lukamu itu."

   Mendengar suara ayahnya yang diucapkan dengan pengerahan khi-kang sehingga suara itu langsung memasuki telinganya dan menggugahnya, Kian Lee membuka mata. Sebelum menoleh, dia sudah berbisik girang.

   "Ayah....!"

   Lalu ia menoleh, mengambil pakaian dan mengenakan pakaiannya lalu naik ke tepi telaga, gerakannya agak lemah dan ternyata setelah dia keluar dari air telaga nampak tanda telapak jari kehijauan di punggungnya. Topeng Setan terkejut sekali dan diam-diam dia kagum. Kenapa Pendekar Super Sakti sudah tahu bahwa puteranya itu terluka hebat? Dia sendiri sebelum melihat telapak jari di punggung itu tidak akan mgngetahuinya. Dengan hanya mengenakan celananya, Kian Lee berlutut di depan ayahnya. Pendekar Super Sakti memeriksa punggung puteranya itu.

   "Hemmm.... pukulan dengan dasar yang-kang akan tetapi beracun. Tidak berbahaya akan tetapi kalau disembuhkan di sini memakan waktu lama,"

   Kata pendekar itu, lalu dia berloncatan dengan cepat di sekeliling tubuh puteranya, jari tangannya menotok dan menampar di beberapa bagian tubuh pemuda itu, kemudian dia pun duduk bersila di belakang puteranya, menempelkan tangan kirinya ke punggung yang terpukul, menyalurkan tenaganya yang mujijat dan tak lama kemudian, ketika dia telah melepaskan tangan-nya, tanda telapak tangan kehijauan itu telah lenyap! Makin kagumlah Topeng Setan menyaksikan ini, karena dari peristiwa ini saja dia sudah dapat membayangkan betapa hebatnya tenaga sin-kang dari kakek buntung ini!

   "Sekarang, pakai bajumu dan ceritakan dengan singkat bagaimana kau sampai tiba di tempat ini dan terluka,"

   Kata Pendekar Super Sakti. Kian Lee menceritakan bahwa sesungguhnya dia ingin pulang ke Pulau Es, akan tetapi berputar-putar di daerah utara, katanya hendak mencari adiknya yang terpisah darinya. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang sakit hati atau patah hatinya karena gagal dalam bercinta ketika dia mendapat kenyataan bahwa Ceng Ceng yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri!

   "Saya bertemu dengan Locianpwe Go-bi Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi)...."

   "Siapa dia?"

   "Orang-orang mengenal beliau sebagai Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir...."

   "Oh, dia? Lalu bagaimana?"

   "Ketika beliau mendengar nama Ayah, beliau suka sekali kepada saya dan mengajak saya ke istananya di gurun pasir. Akan tetapi setibanya di sana, Locianpwe itu menerima undangan pertemuan para datuk besar di Yin-san, maka beliau lalu datang ke sini dan saya yang ingin meluaskan pengalaman lalu ikut. Beliau sudah memesan agar saya tidak mencam-puri urusan para datuk. Akan tetapi, Ayah, para datuk yang tiga orang itu bermain curang! Mereka tidak mengadu ilmu untuk menentukan orang terpandai seperti biasa, melainkan mengeroyok Locianpwe Go-bi Bu-beng Lojin. Tentu saja saya tidak mau tinggal diam melihat kecurangan itu dan saya maju membantu. Akibatnya saya terkena pukulan ini dan Locianpwe itu menasihatkan saya untuk merendam tubuh di sini, karena hawa dingin air telaga ini akan banyak menolong."

   "Hemmm.... dia benar. Akan tetapi kurang dingin. Kau sudah terbebas dari hawa beracun sekarang, akan tetapi untuk memulihkan kesehatan dan semangatmu yang kulihat melayu dan muram, se-baiknya kau pulang dulu dan melatih diri dengan Swat-im Sin-kang di rumah."

   "Baik, Ayah!"

   Pendekar Super Sakti bersuit keras dan dua ekor burung pek-tiauw itu melayang turun.

   "Kau bawa pek-tiauw betina pulang ke Pulau Es."

   "Tapi Ayah...."

   "Biar aku yang akan membantunya."

   Kian Lee maklum dari tegangan suara ayahnya bahwa dia tidak boleh menawar lagi, maka dia lalu memberi hormat, juga menjura kepada Topeng Setan yang dia tidak mengerti bagaimana bisa datang bersama ayahnya, kemudian dia meloncat ke atas punggung pek-tiauw betina yang segera terbang melayang tinggi sekali. Pek-tiauw jantan mengeluarkan suara aneh, seperti hendak menyusul, akan tetapi Pendekar Super Sakti menepuk punggungnya dan berkata,

   "Kau pergilah cari majikanmu, Kian Bu!"

   Burung itu seperti mengerti perintah ini, dan dia pun memekik keras dan terbang melayang, meninggalkan angin yang membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang.

   "Mari kita melihat pertemuan itu,"

   Kata Pendekar Super Sakti kepada Topeng Setan dan mereka bergerak cepat menuju ke puncak gunung. Ketika mereka tiba di puncak, mereka melihat Dewa Bongkok sedang bertempur dengan hebatnya melawan seorang nenek yang juga amat lihai. Ceng Ceng dan Hwee Li sudah berada di situ pula, menonton pertempuran dari jarak agak jauh karena gerakan dua orang itu mendatangkan angin dahsyat sekali sehingga pohon-pohon yang berdekatan pada tumbang! Tak jauh dari situ terdapat dua orang kakek yang duduk bersila, agaknya mereka itu terluka dan sedang mengusahakan pengobatan dengan sin-kang. Begitu muncul di situ, terdengar suara bisikan dekat telinga Si Pendekar Super Sakti dan Topeng Setan.

   "Ini adalah urusan kami di luar tembok besar, harap kalian jangan mencampuri."

   Suma Han mengangguk-angguk, dan kagum kepada kakek tua renta bongkok yang terkenal sebagai Si Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir dan yang memperkenalkan diri sendirl sebagai Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi itu. Biarpun dikeroyok tiga, dan sudah melukai dua orang lawan, akan tetapi dia sendiri pun telah lemah gerakannya, agaknya sudah mengeluarkan tenaga terlalu banyak, dan lawannya, nenek yang bermata biru dan rambutnya kuning emas, juga amat lihai sekali, namun toh Si Dewa Bongkok itu masih sempat minta kepada dia dan Topeng Setan agar jangan mencampuri! Padahal, biarpun yang mengadakan pertemuan adalah datuk-datuk di luar tembok besar, namun jelas bahwa tiga orang di antara mereka adalah orang-orang yang menggunakan kecurangan mengeroyok Si Dewa Bongkok.

   "Kenalkah kau kepada mereka?"

   Suma Han berbisik kepada Topeng Setan, karena sesungguhnya selama hidupnya dia belum pernah bertemu dengan empat orang ini, sungguhpun pernah dia mendengar nama Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir. Topeng Setan mengangguk, dan hal ini tidak mengherankan hati Suma Han karena dia maklum bahwa orang ini pun bukan orang sembarangan dan dia melihat kini betapa gerakan Si Dewa Bongkok yang lengan kirinya juga buntung seperti lengan kiri Topeng Setan itu mirip sekali dengan latihan yang dilakukan oleh Topeng Setan di waktu mereka berhenti dan beristirahat dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yin-san ini. Maka dia dapat menduga bahwa tentu ada hubung-an erat antara Topeng Setan dan Dewa Bongkok.

   "Locianpwe, saya sendiri pun baru pernah mendengar nama dan gambaran tentang mereka. Yang berambut pirang bermata biru, nenek lihai itu adalah datuk dari daerah barat, sedangkan yang dua orang lagi dan agaknya sedang bersamadhi itu, adalah datuk-datuk dari kutub utara dan datuk pantai timur. Nama-nama mereka tidak dikenal orang, dan mereka itu adalah datuk-datuk di luar tembok besar yang tidak pernah menyeberang tembok besar maka tidak terkenal di pedalaman."

   Suma Han mengangguk-angguk dan memperhatikan jalannya pertandingan. Dia terkejut karena mendapatkan kenyataan bahwa dua orang yang sedang bertanding itu benar-benar memiliki tingkat kepandaian yang sudah sempurna dan dia sendiri pun agaknya hanya dapat mengimbangi mereka saja.

   "Dan yang gagah perkasa dikeroyok dan kini menandingi nenek itu tentu Si Dewa Bongkok majikan dari Istana Gurun Pasir, bukan?"

   Tiba-tiba Suma Han bertanya sambil menoleh dan memandang Topeng Setan dengan penuh selidik.

   Diteropong oleh dua mata yang amat tajam penglihatannya seolah-olah dapat menembus topengnya, bahkan menjenguk ke dalam dadanya itu, Topeng Setan mengangguk dan menunduk. Pada saat itu, terdengar lengkingan keras sekali. Suma Han dan Topeng Setan terkejut memandang. Kiranya dua orang datuk yang tadi duduk bersila, kini sudah meloncat dan menyerang Si Dewa Bongkok dari dua jurusan. Suma Han dan Topeng Setan mengeluarkan teriakan kaget, namun betapa pun lihainya mereka, karena tadi mereka mengalihkan perhatian, mereka itu terlambat dan tidak dapat turun tangan mencegah lagi. Dua orang datuk itu sudah menyerang dari kanan kiri, dan Si Dewa Bongkok yang hanya berlengan satu itu memutar tubuh menyambut.

   "Bresss....!"

   Dewa Bongkok terlempar, berputaran dan roboh. Seperti menerima komando saja, Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat ke depan, Suma Han menggunakan tongkatnya menghadang nenek berambut pirang sedangkan Topeng Setan sudah menerjang dua orang yang tadi secara pengecut membokong Dewa Bongkok.

   "He-he-he-heiiik! Orang berkaki buntung berambut putih.... heiiii, matamu itu.... bukankah kau Pendekar Siluman dari Pulau Es?"

   Bentak Si Nenek sambil mencelat mundur ketika ujung tongkat Suma Han berkelebat.

   "Dan kau seorang nenek dari barat yang amat curang, bertiga mengeroyok seorang saja."

   "Hi-hi-hik, kau tahu apa? Kau melindungi Dewa Bongkok?"

   "Aku tidak melindungi siapa-siapa, hanya menentang yang lalim dan curang,"

   Jawab Suma Han dengan tenang.

   "Kalau begitu mampuslah kau!"

   Nenek itu sudah menerjang lagi, didahului dua sinar emas dan perak yang melayang-layang ke arah kepala dan dada Suma Han. Pendekar Super Sakti cepat menggerakkan tongkatnya menghalau sinar emas dan perak itu.

   "Tinggg! Tinggg!"

   Dua buah benda itu ternyata adalah dua buah gelang dari emas dan perak dan kini setelah kena ditangkis, dua benda itu melayang kembali kepada pemiliknya, yang cepat menyambarnya dan kini menggunakan dua buah gelang itu di tangannya untuk menyerang dengan gerakan seperti kilat cepatnya dan yang nampak hanya sinar emas dan perak berkilauan mengerikan.
Namun Pendekar Super Sakti sudah siap dengan tongkatnya dan karena dia maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang memiliki kesaktian hebat,

   Suma Han segera menggunakan ilmunya yang dahsyat, yaitu Soan-hong-lui-kun yang membuat tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti menyambarnya halilintar, sukar diduga perkembangan gerakannya sehingga beberapa kali nenek itu terpekik kaget. Memang benar seperti yang diceritakan secara singkat oleh Topeng Setan kepada Pendekar Super Sakti tadi. Di luar tembok besar sebelah utara Tiongkok, di luar perbatasan tanah Mongol, terdapat banyak pertapa dan tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dan yang paling tinggi kepandaiannya adalah empat orang datuk-datuk luar tembok besar itu. Lima tahun sekali, empat orang ini selalu mengadakan pertemuan di tempat-tempat sunyi, untuk saling menambah pengetahuan dan sekedar menguji hasil ciptaan masing-masing.

   Akan tetapi, setelah tiga kali berturut-turut Si Dewa Bongkok selalu unggul, tiga orang itu menjadi iri hati dan diam-diam mereka bersepakat untuk dalam pertemuan berikutnya, merobohkan Si Dewa Bongkok, lalu mengambil pusaka-pusakanya dan mempelajari ilmu-ilmu yang diciptakannya. Untuk itu, mereka bertiga telah mengutus anak-anak murid mereka menyelidiki ke Istana Gurun Pasir selagi Dewa Bongkok mereka undang ke Yin-san. Untung bahwa usaha murid-murid mereka itu digagalkan berkat bantuan Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti. Dan di Yin-san, mereka ternyata berhasil merobohkan Si Dewa bongkok dengan siasat pengeroyokan yang curang, dan baiknya dalam saat terakhir itu muncul pula Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti.

   Akan tetapi, kalau Pendekar Super Sakti dapat mengimbangi kelihaian nenek berambut pirang yang bersenjatakan sepasang gelang emas dan perak, adalah Topeng Setan yang sibuk sekali mengha-dapi pengeroyokan dua orang datuk yang tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan tingkat para datuk lainnya itu. Dia sendiri belum dapat menguasai Sin-liong-hok-te secara sempurna, maka biarpun kedua lawannya itu telah terluka oleh Si Dewa Bongkok, akan tetapi tetap saja Topeng Setan terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali. Ceng Ceng yang menonton pertandingan itu, hanya memandang terbelalak. Dia dan Hwee Li tidak berani bergerak, karena dari tempat jauh saja sudah terasa oleh mereka sambaran hawa pukulan yang amat mujijat dari kalangan pertempuran. Melihat ini, Hwee Li menjadi tidak sabar lagi. Dia bersuit keras dan burung rajawali hitamnya menyambar turun.

   "Hek-tiauw, kau bantulah Paman Topeng Setan, cakar dan patuk dua orang kakek itu, hayo cepat!"

   Teriaknya kepada burungnya. Hek-tiauw itu mengeluarkan suara memekik nyaring dan melayang ke atas, kelihatannya takut-takut dan ragu-ragu untuk turun karena naluri binatang ini agaknya memberi tahu kepadanya bahwa orang-orang yang bertanding di bawah itu bukanlah manusia-manusia biasa.

   "Hayo, hek-tiauw....!"

   Hwee Li berteriak-teriak dan terpaksa burung itu menyambar ke bawah, langsung mencengkeram ke arah kepala seorang kakek yang kepalanya gundul licin mengkilap mengeluarkan uap dingin. Dia adalah datuk dari kutub utara dan melihat sambaran ba-yangan hitam, tangan kirinya menyampok, sedangkan tangan kanannya tetap saja menghantam ke arah Topeng Setan, dibarengi dari kiri oleh temannya. Mereka menyerang Topeng Setan dengan persatuan tenaga seperti yang mereka lakukan ketika merobohkan Si Dewa Bongkok tadi.

   "Plak....! Bresss....!"

   Dalam sedetik itu terjadi banyak hal. Rajawali hitam kena ditangkis oleh tangan yang ampuh itu, terlempar mencelat jauh dan terbanting menabrak batang pohon lalu terjatuh sambil mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing digebuk. Sedangkan Topeng Setan yang tadi menangkis pukulan dari dua jurusan itu, terhuyung-huyung kemudian roboh, dari balik topengnya mengalir darah segar yang agaknya keluar dari dalam mulutnya. Akan tetapi dua orang kakek itu yang terkena tangkisan Topeng Setan yang mengerahkan tenaga sakti Sin-liong-hok-te, juga terhuyung-huyung, memuntahkan darah segar dan mereka pun terluka hebat.

   "Paman....!"

   "Hek-tiauw....!"

   Kalau Hwee Li lari menghampiri burungnya Ceng Ceng lari menghampiri Topeng Setan, akan tetapi dua orang kakek itu mengira bahwa Ceng Ceng akan membela Topeng Setan dan menyerang mereka karena mereka melihat betapa loncatan Ceng Ceng menandakan bahwa dara itu mempunyai kepandaian istimewa. Seorang di antara mereka mengebutkan ujung bajunya.

   "Prattt....!"

   Ceng Ceng kena disambar ujung baju pundaknya dan dia terguling roboh pingsan di dekat Topeng Setan. Melihat ini, Suma Han menjadi tidak senang hatinya. Dia mengeluarkan pekik melengking yang luar biasa dahsyatnya, dan kini tubuhnya berubah menjadi tiga orang Suma Han, dan dia bersama dua bayangannya itu menyerang tiga orang datuk itu kalang-kabut. Nenek berambut pirang berteriak kaget dan kesakitan, darah mengucur dari lehernya yang kena serempet tongkat, sedangkan dua orang datuk yang sudah terluka ketika mengadu tenaga dengan Topeng Setan, juga mundur-mundur dengan jerih. Akhirnya ketiganya maklum bahwa dalam keadaan terluka, mereka tidak akan menang meng-hadapi Dewa Bongkok dan para pembantunya yang istimewa itu,

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maka dengan teriakan nyaring melampiaskan kekecewaan hati mereka, tiga orang datuk itu lalu melarikan diri. Suma Han tidak mengejar. Dia melihat Dewa Bongkok bersila mengatur pernapasan, Ceng Ceng pingsan di samping Topeng Setan yang agaknya sudah tewas, dan Hwee Li merangkul burungnya yang terluka. Dia menarik napas panjang. Di manapun juga, biar sudah menjadi tua bangka-tua bangka dan sudah mengasingkan diri dari keramaian manusia, tetap saja manusia merupakan mahluk-mahluk yang suka menggunakan kekerasan. Dan dia, sekali lagi terseret pula! Melihat bahwa bagi Topeng Setan sudah tidak ada harapan lagi, dan burung hek-tiauw itu hanya terluka ringan dan menjadi buas tidak mau didekati orang lain kecuali nonanya, Suma Han lalu menghampiri Dewa Bongkok.

   "Maafkan kelancangan saya,"

   Bisiknya dan dia pun duduk bersila di belakang kakek bongkok itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang bongkok sambil mengerahkan tenaga murni dari tubuhnya untuk membantu kakek itu mengobati luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya.

   "Terima kasih, sahabat adalah Tocu Pulau Es, bukan?"

   Suma Han mengangguk, dan keduanya lalu diam tak bergerak lagi. Ceng Ceng siuman, lalu ditubruknya Topeng Setan. Dirabanya tubuh yang masih hangat itu, dipegang nadinya, diraba dadanya. Akan tetapi tidak ada lagi tanda-tanda hidup pada tubuh tinggi tegap itu!

   "Paman....!"

   Dia menjerit.

   "Paman Topeng Setan, jangan kau tinggalkan aku, Paman....!"

   Dia menangis dan mengguncang-guncang tubuh itu, tubuh satu-satunya manusia di dunia ini yang amat disayanginya, amat baik kepadanya dan yang telah mengorbankan apa saja demi dia. Teringat betapa orang ini telah mati, barulah terasa oleh Ceng Ceng betapa dia kehilangan besar sekali, betapa dia sesungguhnya.... cinta sekali kepada orang ini.

   "Paman...., aku mana bisa hidup tanpa kau....?"

   Ratapnya dan menangis sesenggukan sambil memeluki leher mayat itu dan meletakkan mukanya di atas punggung yang bidang itu. Tak disengajanya tangannya meraba topeng yang kasar dan Ceng Ceng lalu sadar. Dia berlutut dan ber-kata lirih,

   "Paman Topeng Setan, engkau telah mengorbankan segalanya untuk aku, engkau begitu sayang dan cinta padaku, akan tetapi engkau selalu menyembunyikan wajahmu dariku. Sekarang engkau telah mati.... hu-huuukkk.... Paman, kau perkenankanlah aku melihat wajahmu, Paman. Kau.... kau maafkanlah aku, Paman.... hu-hu-huuukk...."

   Dengan jari-jari tangan menggigil Ceng Ceng mengulurkan tangannya meraih topeng di muka yang miring itu, kemudian dengan amat hati-hati seolah-olah tidak ingin menyakitkan muka mayat itu, dia menanggalkan topeng itu! Topeng itu terbuka direnggutnya, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak memandang wajah yang kini terbuka, wajah yang rebah miring itu, wajah yang tampan dan gagah, dengan alis yang tebal, hidung yang mancung dan mulut yang membayangkan kegagahan, wajah.... si pemuda laknat yang selama ini dikejar-kejar, dianggap musuh besarnya, yang hendak dibunuhnya karena amat dibencinya!

   "Aiiiihhhh....!"

   Dia menjerit, memandang pucat, air matanya menetes turun, tangan kiri dikepal menutup mulut, matanya terbelalak seperti tidak mau percaya, dan dikejap-kejapkannya lalu memandang lagi lebih teliti. Akan tetapi wajah itu tetap tidak berubah, wajah yang pucat dan tak bernyawa lagi dari si pemuda laknat, yang mengerikan karena di bawah mulut, di atas tanah itu nampak darah merah yang dimuntahkan akibat hantaman pukulan dahsyat dua orang lawannya.

   "Aiiiihhh....!"

   Dia menjerit, memandang pucat, air matanya menetes turun, tangan kiri dikepal menutup mulut.

   "Ti.... tidaaaaakkk...., bukan.... ohh, bukan....!"

   Ceng Ceng kembali menjerit, tubuhnya menggigil dan dia tergelimpang setelah mengeluh panjang, roboh pingsan lagi untuk kedua kalinya di samping tubuh Topeng Setan yang ternyata adalah si pemuda laknat, musuh besar yang dahulu memperkosanya di dalam guha itu. Ceng Ceng rebah terlentang di dekat tubuh Topeng Setan. Wajahnya pucat sekali seperti mayat, kedua pipinya masih basah air mata, tangan kanannya masih mencengkeram topeng dan mulutnya memperlihatkan tarikan muka yang menanggung kenyerian luar biasa,

   Menanggung penderitaan batin yang amat hebat sehingga siapa pun yang melihat keadaannya tentu akan merasa kasihan sekali. Memang hebat sekali penderitaan batin dara ini. Bertubi-tubi dia mengalami hal-hal yang amat menyakitkan hatinya, kesengsaraan dan penderitaan lahir batin yang dideritanya semenjak dia meninggalkan Bhutan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi ditumpuknya dalam ingatan, menimbulkan sakit hati dan dendam kebencian. Sesungguhnya, nasib berada di tangan kita sendiri. Suka duka adalah buatan kita sendiri, buatan pikiran kita. Sebab akibat tidak terpisah, dan berada di dalam genggaman tangan kita sendiri. Adalah ingatan kita, pikiran kita yang menimbulkan kebencian terhadap sesuatu atau seseorang di dalam hati kita.

   Dari mana timbulnya kebencian? Sesuatu terjadi atas diri kita, sesuatu yang merugikan kita, rugi lahir maupun batin. Kerugian menimbulkan kekecewaan, menimbulkan kemarahan dan terjadilah rasa benci kepada penyebab timbulnya kerugian itu. Dan sekali benci sudah menguasai hati kita, hati tidak akan puas sebelum melihat yang kita benci itu terbalas dan tertimpa malapetaka yang lebih hebat daripada yang dijatuhkannya kepada diri kita. Pikiran yang mencacat perbuatan orang lain yang dianggap merugikan kita inilah yang menimbulkan dendam kebencian seperti yang dialami oleh Ceng Ceng hidupnya dan dicengkeram oleh kebencian kepada seorang setelah terjadi peristiwa perkosaan atas dirinya di dalam guha itu. Dasar kebencian karena dia merasa dirugikan.

   Kemudian dia bertemu dengan Topeng Setan yang telah melimpahkan banyak sekali budi kebaikan kepadanya. Hal ini pun membangun suatu rasa sayang di dalam hatinya terhadap laki-laki bermuka buruk itu, rasa sayang yang juga timbul dari ingatan betapa orang ini telah banyak menguntungkannya lahir batin! Jadi sesungguhnya tidak ada bedanya antara rasa bencinya terhadap si pemuda laknat yang dianggap merugikannya, dan rasa sayangnya terhadap Topeng Setan yang dianggap menguntungkannya. Rasa benci dan sayangnya itu hanyalah penonjolan dari sifat mementingkan diri pribadi. Selama kita mementingkan diri pribadi, di dalam hidup kita pasti kita akan menjadi bulan-bulanan dan permainan dari suka duka, puas kecewa, benci sayang, seperti Ceng Ceng itulah!

   Dan muncullah penderitaan-penderitaan hidup dan kesengsaraan-kesengsaraan. Benci bukanlah kebalikan daripada cinta! Yaitu cinta sejati, karena cinta yang menjadi kebalikan benci hanyalah cinta nafsu, cinta yang timbul dari mementingkan diri pribadi. Cinta semacam ini hanya akan bertahan selama dirinya disenangkan, dipuaskan, dan dipenuhi kehendaknya. Cinta macam ini selalu mengandung bayangan benci sebagai kebalikannya, sehingga kalau tidak disenangkan, tidak dipuaskan, dapat berbalik menjadi benci. Cinta sejati tidak mempunyai sasaran seperti benci. Kalau sudah tidak ada benci di hati, sama sekali tidak ada benci, barulah mungkin cinta yang suci ini memperlihatkan mukanya di dalam batin kita.

   Ceng Ceng yang menggeletak pingsan itu menjadi permainan dari suka duka, dari kekecewaan melihat bahwa orang yang paling dibencinya itu justeru adalah orang yang paling dicintanya. Dia menjadi permainan dari pikiran sendiri, sehingga kini menderita pukulan batin yang amat hebat, membuatnya kecewa, penasaran, dan putus harapan. Mula-mula dilihatnya Topeng Setan satu-satunya orang yang dicintanya tewas, kemudian melihat bahwa yang tewas itu adalah musuh besarnya! Jadi sekaligus dia kehilangan, dua orang manusia yang dianggapnya paling penting di dunia ini, yang dianggapnya sebagai sebab-sebab pokok mengapa dia masih suka hidup! Kini dia kehilangan segala-galanya, maka hancur leburlah hatinya.

   "Kasihan sekali kau, Nona muda....!"

   Suara ini terdengar seperti datang dari langit dari atas oleh Ceng Ceng yang mulai siuman. Tak terasa lagi air matanya mengalir turun sebelum dia membuka matanya. Kemudian teringatlah dia akan segala hal. Mendadak dia meloncat sambil membuka matanya, menoleh ke kanan kiri mencari mayat si laknat tadi.

   "Keparat busuk! Jahanam kau....!"

   Dia memaki-maki dan menerjang ke sana-sini seperti orang gila! Dalam kemarahannya yang hebat, yang membanjiri rongga dadanya, membuat dadanya seperti akan meledak, Ceng Ceng mencak-mencak secara buas dan otomatis tenaga mujijat yang didapatnya sebagai khasiat anak naga itu timbul.

   "Braaaak.... braaakkkk....!"

   Dua batang pohon kena dihantamnya. Pohon itu batangnya sebesar tubuh manusia, akan tetapi hantaman tangan Ceng Ceng membuat dua batang pohon itu tumbang.

   "Eh, Nona....!"

   Pendekar Super Sakti yang merasa kasihan dan tadi menolong Ceng Ceng dan membuatnya sadar itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nona ini memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya. Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah beringas dan mengamuk dengan buasnya itu tidak mendengarkan. Dia terus mencak-mencak dengan buasnya, dengan mata terbelalak dan mulutnya mengeluarkan keluhan-keluhan panjang.

   "Haiiiittt.... darrr! Dessss!"

   Dua bongkah batu besar hancur berhamburan terkena tendangan dan pukulannya.

   "Subo....!"

   Hwee Li menjerit dan lari menghampiri gurunya, melihat betapa kedua kepalan tangan subonya itu berdarah. Memang tenaga mujijat dari Ceng Ceng itu hebat sekali, akan tetapi kulit kedua tangannya yang belum terlatih baik, belum dapat dengan sempurna terlindung oleh tenaga mujijat, menjadi berdarah ketika dia menghantami pohon dan batu. Melihat berkelebatanya tubuh Hwee Li, Ceng Ceng yang sudah buas karena seolah-olah hendak menghantam si pemuda laknat itu, menggerakkan tangan menyerang Hwee Li!

   "Plakkk.... dukkkk!"

   Ceng Ceng jatuh terduduk terkena tangkisan dan totokan Pendekar Super Sakti yang menolong Hwee Li tadi, dan sekaligus hal ini membuat Ceng Ceng sadar. Seperti linglung Ceng Ceng memandang ke kanan kiri, mencari-cari dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar suaranya lirih,

   "Paman.... Paman Topeng Setan....?"

   Lalu dia teringat akan segala peristiwa tadi dan menangislah dia, mengguguk seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya yang berdarah sehingga air matanya bercampur dengan darah dari tangannya, membentuk aliran merah muda menetes-netes ke bawah.

   "Subo....!"

   Hwee Li merangkul gurunya dan juga menangis, tidak tahu apa yang ditangiskannya, hanya karena terharu melihat subonya begitu berduka. Melihat dua orang wanita muda itu berpelukan dan bertangisan, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, lalu duduk di atas bongkahan batu membiarkan dua orang wanita itu melanjutkan tangis mereka. Tangis merupakan obat yang paling mujarab bagi orang-orang yang tertekan hatinya, karena tangis dengan air matanya merupakan pelepasan dari tekanan itu.

   Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang lagi. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kesengsaraan, penuh dengan kekerasan, penuh dengan pertentangan, kebencian dan penderitaan hidup di waktu muda. Betapa bodohnya manusia, betapa bodohnya dia dahulu. Kebahagia-an sudah berada di dalam diri masing-masing manusia, keindahan terbentang luas di sekeliling manusia, namun manusia menjadi buta, tidak melihat semua keindahan itu, tidak waspada akan kebaha-giaan itu karena mata selalu ditujukan jauh ke sana, selalu mencari-cari sehingga yang berada di depan hidung tidak nampak lagi! Yang tidak ada selalu dicari-cari, dirindukan, dianggap yang paling baik, paling indah, sehingga anggapan ini membuat apa yang sudah ada kelihatan buruk, bahkan tidak kelihatan lagi!

   Manusia selalu menghargai yang belum diperoleh, memandang remeh yang sudah berada di dalam tangannya. Inilah sumber dari segala pengejaran yang tak dapat dihindarkan lagi pasti mendatangkan pertentangan, kekecewaan dan penderitaan. Pengejaran membuat mata buta, sehingga dalam usaha mengejar sesuatu yang diinginkan itu, manusia tidak lagi memperhatikan
(Lanjut ke Jilid 55)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 55
jalan, tidak lagi memperha-tikan cara, bahkan segala jalan dan segala cara akan ditempuhnya demi memperoleh yang dikejar-kejarnya itu. Inilah sumber munculnya segala bentuk penyelewengan dan kejahatan. Setelah melihat tangis Ceng Ceng reda, Pendekar Super Sakti lalu berkata, mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya dapat menembus segala suara lain dan memasuki telinga Ceng Ceng dengan getaran pengaruh kuat sekali,

   "Nona, hentikan tangismu dan ingat bahwa segala sesuatu tidak cukup hanya ditangisi belaka. Hentikan pikiranmu yang meremas-remas perasaan hatimu, hentikan perasaan iba diri yang mencengkeram dirimu dan mari kita bicara dengan hati terbuka."

   Ceng Ceng terkejut dan kini dia sadar benar-benar. Didorongnya Hwee Li dengan halus, diangkatnya mukanya memandang pendekar besar itu, lalu dia memandang ke kanan kiri. Sunyi senyap di situ, tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga. Seperti mimpi saja semua peristiwa yang terjadi tadi.

   "Di.... mana....? Di mana mereka semua....?"

   Tanyanya, suaranya lirih dan lemah. Tiga orang datuk itu? Mereka telah pergi. Dan Go-bi Bu Beng Lojin, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir telah pergi pula, membawa muridnya. Membawa mayat Topeng Setan atau mayat Kok Cu. Membawa musuh besarnya, sekaligus juga mayat orang yang paling disayangnya, demikian bisik hati Ceng Ceng. Dia terisak lalu menghela napas hanjang. Habislah segala-galanya! Melihat gadis itu menunduk dan tak bergerak-gerak, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah hidup, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.

   "Nona, sekarang bagaimana kehendakmu? Engkau hendak ke manakah?"

   Sejenak Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya duduk di atas tanah dan memandang ke depan dengan pandang mata kosong. Ke mana? Dia harus ke mana? Ke mana lagi kalau tidak kembali ke Bhutan? Biarlah dia akan menghabiskan sisa hidupnya di tempat asalnya itu. Tiba-tiba saja dia merasa rindu kepada Bhutan, rindu kepada kampung halaman di mana dia dahulu tinggal bersama kakeknya.

   "Saya akan pulang ke Bhutan...."

   Katanya perlahan. Pendekar Super Sakti yang belum mengenal Ceng Ceng, merasa heran juga mendengar jawaban ini.

   "Eh, jadi engkau datang dari Bhutan? Siapakah engkau sebenarnya, Nona?"

   Ingin Ceng Ceng berlutut di depan pendekar itu dan mengaku bahwa dia masih cucu tiri pendekar itu sendiri, akan tetapi dia menggeleng kepalanya. Tidak, tidak perlu dia memperpanjang riwayat buruk itu, riwayat buruk dari ibunya dan sekarang pun menurun kepadanya karena riwayatnya tidaklah lebih baik daripada keadaan ibunya. Maka dia lalu menjawab dengan perlahan.

   "Nama saya Lu Ceng dan saya adalah adik angkat dari Puteri Bhutan. Saya ingin pulang saja, kembali ke Bhutan, Locianpwe."

   "Subo, aku ikut!"

   Tiba-tiba Hwee Li berkata. Ceng Ceng memandang anak perempuan itu.

   "Hwee Li, engkau akan dicari ayahmu. Sebaiknya engkau pulang saja dulu kepada ayahmu dan mana burungmu?"

   Anak itu menggeleng kepala kuat-kuat.

   "Burungku terluka dan sudah kusuruh terbang pergi mencari ayah agar diobati lukanya. Tidak, Subo. Aku tidak mau kembali kepada ayah yang tidak sa-yang kepadaku. Aku mau ikut Subo ke Bhutan."

   Ada hawa hangat memasuki dada Ceng Ceng. Masih ada orang yang suka kepadanya, yaitu Hwee Li ini!

   "Hwee Li, perjalanan ke Bhutan amat jauh dan berbahaya, dan membawamu begitu saja tanpa perkenan ayahmu, aku akan dipersalahkan...."

   "Tidak, Subo. Aku yang bertanggung jawab kalau ayah marah."

   Suma Han berkata,

   "Nona Ceng, anak ini memang tidak bisa ditinggalkan seorang diri saja di sini. Biarlah dia ikut bersama kita ke Bhutan, kelak kalau aku pulang, akan kuantar dia kepada ayahnya. Aku tahu di mana adanya Pulau Neraka."

   "Locianpwe hendak ke Bhutan? Ah, saya tidak berani membuat Locianpwe repot mengantarkan kami berdua...."

   "Tidak ada yang mengantar, kita hanya kebetulan saja sejalan. Aku memang ingin ke barat untuk menyusul dan mencari Kian Bu. Ibunya sudah gelisah memikirkan anak itu karena sudah terlalu lama merantau. Apalagi setelah Kian Lee kembali, Kian Bu harus pulang juga."

   Tentu saja Ceng Ceng tidak berani membantah, bahkan diam-diam merasa girang karena melakukan perjalanan dengan pendekar ini merupakan jaminan keselamatannya, dan setelah Topeng Setan tidak ada lagi, dia dapat minta petunjuk dari pendekar ini untuk dapat menguasai tenaga mujijat dalam dirinya. Maka berangkatlah tiga orang itu menuruni Pegunungan Yin-san dan terus melakukan perjalanan menuju ke barat. Dengan adanya Hwee Li yang lincah jenaka, agak terhibur juga hati Ceng Ceng, sungguhpun kini dia berbeda sekali dengan Ceng Ceng sebelum dia tiba di Yin-san. Dia sekarang merupakan seorang wanita muda yang mukanya pucat, wajahnya muram seperti bulan tertutup awan tipis.

   Sudah terlalu lama kita meninggalkan para tokoh lain, maka biarlah kita lebih dulu meninggalkan Ceng Ceng yang melakukan perjalanan ke Bhutan bersama Pendekar Super Sakti dan Hwee Li, dan mari kita menengok pengalaman apa yang ditempuh oleh para tokoh lainnya dalam cerita ini. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, ada pasukan pengawal dari Bhutan yang mengawal Puteri Syanti Dewi secara rahasia kembali ke Bhutan. Pengawalan dilakukan secara rahasia dan Sang Puteri bersembunyi di dalam kereta untuk mencegah terjadinya hambatan-hambatan dan serbuan-serbuan musuh. Akan tetapi tetap saja pasukan itu mengalami penyerbuan Tambolon dan kaki tangannya, dan secara kebetulan saja Tek Hoat yang membantu pasukan itu dapat bertemu dengan Puteri Syanti Dewi.

   Telah kita ketahui pula betapa Suma Kian Bu tanpa setahu encinya, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, diam-diam juga melakukan perjalanan ke barat dan dia berhasil menyelamatkan Puteri Syanti Dewi dari ancaman Tambolon dan Durganini, akan tetapi begitu melihat kemesraan antara puteri itu dan Tek Hoat, untuk kedua kalinya hatinya patah dan dia pergi lagi dengan diam-diam dan dengan hati penuh duka. Dia tidak berani menghampiri rombongan pasukan Bhutan karena di situ terdapat Teng Siang In, dara remaja cantik jenaka yang baru saja diciumnya karena dia tidak dapat menahan diri melihat kecantikan dara bengal yang menggodanya itu. Diam-diam putera Pendekar Super Sakti itu pergi jauh meninggalkan hutan itu. Teng Sian In juga tidak lama berada di situ, lalu diajak pergi oleh gurunya, yaitu See-thian Hoat-su, kakek rambut putih bekas suami Durganini yang lihai.

   Mereka berdua tidak begitu mempedulikan akan hilangnya Puteri Syanti Dewi, karena kehadiran mereka itu sesungguhnya semata-mata hanya ingin menghalangi sepak terjang Durganini belaka, yang timbul dari rasa sayang di hati See-thian Hoat-su yang hendak mencegah bekas isterinya itu melakukan hal-hal yang jahat! Akan tetapi, Panglima Jayin dan semua pasukan Bhutan menjadi sibuk dan bingung sekali karena tidak melihat Sang Puteri. Selagi keadaan mereka menjadi sibuk dan bingung, tiba-tiba muncullah dua orang yang segera disambut oleh Panglima Jayin yang telah mengenal mereka, disambut dengan penuh penghormatan karena mereka itu bukan lain adalah Puteri Milana dan Gak Bun Beng. Akan tetapi ketika Puteri Milana dan Gak Bun Beng mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan lenyap, mereka terkejut bukan main.

   "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"

   Puteri Milana menegur. Panglima Jayin lalu menceritakan tentang penyerbuan Tambolon dan pasukannya, betapa keadaan mereka amat terancam akan tetapi berkat bantuan Tek Hoat yang gagah perkasa, keadaan Sang Puteri masih dapat diselamatkan. Kemudian mereka tertolong oleh pasukan dari Bhutan dan dalam keributan perang itu, tahu-tahu Ang Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi telah lenyap.

   "Hemmm....!"

   Puteri Milana berkata sambil mengerutkan alisnya dan dia bertukar pandang dengan Gak Bun Beng.

   "Pemuda itu benar-benar mencurigakan sekali."

   "Kami pun berpikir demikian,"

   Panglima Jayin berkata kepada Gak Bun Beng.

   "Agaknya kalau Sang Puteri tidak tertawan oleh Tambolon, tentu dilarikan oleh pemuda itu."

   "Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan,"

   Kata Gak Bun Beng.

   "Kita harus menyelidiki persoalan ini, akan tetapi yang terpenting adalah mencari jejak Sang Puteri." "Aku pun akan membantu mencarinya,"

   Kata Puteri Milana.

   "Terima kasih atas segala kebaikan paduka Puteri dan Taihiap. Tadipun telah datang adik paduka Puteri dan agaknya dia pun sedang ikut mencari Sang Puteri Syanti Dewi."

   Mendengar ucapan Jayin ini, Milana dan Bun Beng tercengang.

   "Apa? Kau maksudkan siapa?"

   Milana mendesak.

   "Adik paduka, tuan muda Suma Kian Bu."

   "Aih, anak itu!"

   Milana mengomel.

   "Disuruh pulang malah mendahului ke sini...."

   Gak Bun Beng lalu mengajak Milana ke sisi untuk dapat bicara empat mata.

   "Moi-moi, kau tentu sudah dapat menduga bahwa sesungguhnya adik kita itu telah jatuh cinta kepada Syanti Dewi."

   Milana mengerutkan alisnya.

   "Hemm, dia akan menjadi manusia yang bodoh sekali kalau nekat mencinta seorang yang tidak membalas perasaannya itu. Sebaiknya kita mencari mereka, mencari jejak Syanti Dewi dan juga jejak Kian Bu. Aku khawatir mereka terkena perangkap Tambolon yang cerdik dan keji."

   Mereka lalu menghampiri Panglima Jayin lagi yang tengah mengatur anak buahnya untuk melanjutkan usaha pencarian mereka. Malam sudah hampir tiba dan keadaan sudah menjadi gelap, namun usaha pencarian itu masih belum ada hasilnya.

   "Sukar mencari di malam gelap. Akan tetapi harus menyebar anak buah membawa obor dan mencari terus,"

   Kata Milana.

   "Kami berdua sendiri akan mencari mereka besok pagi. Mereka harus ditemukan, kalau tidak aku khawatir akan terjadi apa-apa atas diri Puteri Syanti Dewi."

   Selagi mereka mengadakan perundingan, tiba-tiba datang penjaga berlarian melapor bahwa dari jauh mendatangi sepasukan berkuda yang besar jumlahnya. Tentu saja keadaan menjadi panik seketika.

   Pasukan itu sedang disebar melakukan usaha mencari Puteri Syanti Dewi, maka kini Panglima Jayin memerintahkan para pembantunya untuk cepat memanggil kembali mereka, siap menghadapi penyerbuan musuh. Terdengarlah terompet-terompet tanduk ditiup memanggil para perajurit. Akan tetapi, ketika pasukan yang baru datang itu tiba, segera ternyata bahwa mereka itu sama sekali bukanlah pihak musuh, melainkan pasukan besar yang mengawal Raja Bhutan sendiri yang menjadi tidak sabar setelah mendengar bahwa puterinya itu telah dapat ditemukan dan dikawal pulang sudah tiba di perbatasan Bhutan. Pasukan raja itu terdiri dari pengawal-pengawal pilihan, dan juga Raja diiringkan oleh belasan orang pendeta hwesio yang bertugas di istana Bhutan.

   Adapun pasukan itu dipimpin sendiri oleh Panglima Sangita yang sudah tua. Tentu saja Panglima Jayin tergopoh-gopoh menyambut rajanya, diikuti oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng. Ketika kedua orang pendekar ini diperkenalkan oleh Jayin sebagai puteri cucu Kaisar dan pendekar besar yang telah menyelamatkan Syanti Dewi, Raja Bhutan menjadi girang sekali dan berkenalan dengan kedua orang lihai itu. Akan tetapi ketika Jayin membuat laporan panjang lebar tentang bagaimana dia berhasil mengawal Sang Puteri sampai di situ, lalu terjadi keributan karena serbuan Tambolon dan pasukannya, kemudian betapa Sang Puteri lenyap bersama Ang Tek Hoat, Sri Baginda menjadi marah sekali. Mereka semua menyangka bahwa tentu pemuda aneh itulah yang sudah melarikan Sang Puteri.

   "Kerahkan semua tenaga! Sebar di daerah ini dan cari mereka sampai dapat!"

   Sri Baginda mengeluarkan perintah dengan hati kecewa sekali karena tadinya dia sudah merasa girang akan dapat menyambut kembali puterinya yang hilang. Kemudian Sri Baginda mengajak Puteri Milana dan Gak Bun Beng untuk beristirahat dan dijamu di dalam kemahnya. Akan tetapi dengan halus Milana dan Bun Beng menolak, dan menyatakan bahwa mereka sayang datang terlambat sehingga tidak sempat melindungi Sang Puteri dan bahwa mereka pun akan membantu untuk menemukan kembali Sang Puteri yang hilang. Sri Baginda merasa berterima kasih sekali dan dua orang itu pun lalu mengundurkan diri dan mulailah mencari-cari jejak Sang Puteri, dan juga jejak Suma Kian Bu seperti yang diceritakan oleh Jayin betapa pemuda itu pun malah sudah mendahului mereka tiba di tempat itu.

   Ke manakah perginya Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi? Seperti telah kita ketahui, dalam keadaan terluka parah, di tengah-tengah medan pertandingan yang kacau-balau, Syanti Dewi yang mengkhawatirkan keadaan Tek Hoat lalu diam-diam setengah menyeret tubuh pemuda ini menyembunyikan diri di dalam hutan. Dia maklum bahwa Tambolon hendak menangkapnya, maka tentu saja tidak sudi dia menjadi tawanan Tambolon lagi dan dia harus melarikan diri dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi, dia tidak tega meninggalkan pemuda yang mati-matian membelanya dan yang menderita luka hebat itu, maka betapa pun sukarnya, akhirnya dia berhasil juga membawa dan menyeret pemuda itu memasuki hutan lebat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, untung sekali bagi Tek Hoat yang menderlta luka-luka dalam akibat pukulan beracun,

   Dia bertemu dengan Si Dewa Bongkok dan diobati sehingga seketika dia sembuh sama sekali, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja. Dan yang terakhir puteri itu bersama Tek Hoat berada di dalam sebuah kuil rusak yang berada di tengah hutan lebat, di mana Syanti Dewi merawat Tek Hoat yang sudah sembuh hanya perlu beristirahat saja untuk memulihkan tenaganya. Tentu saja Tek Hoat tidak tahu betapa nyawa dia dan Syanti Dewi telah tertolong oleh Suma Kian Bu yang berhasil mengusir Tambolon dan Durganini, sedangkan Syanti Dewi juga tidak mau menceritakan tentang Kian Bu kepada pemuda itu. Sebetulnya, Tek Hoat menderita pukulan yang amat hebat, pukulan lahir batin. Lahirnya, dia telah bertubi-tubi menerima pukulan-pukulan beracun dari lawan-lawan tangguh, akan tetapi dengan kemujijatan dan keampuhan tangan Dewa Bongkok,

   Semua lukanya sudah sembuh dan racun yang menguasai tubuhnya pun sudah lenyap. Hanya pukulan batin yang dideritanya ketika dia mendengar cerita Syanti Dewi tentang Gak Bun Beng, membuat tubuhnya lemas, pikirannya bingung, kesadarannya tergoncang hebat dan hatinya merasa kecewa penuh penyesalan. Betapa dia tidak akan menyesal mengingat bahwa dia telah melakukan segala kekejaman itu untuk memburukkan nama musuh besarnya, Gak Bun Beng, dan kini dia mendengar bahwa Gak Bun Beng itu bukan musuhnya? Hampir saja dia berputus asa, apalagi kalau teringat betapa dia telah melakukan penyelewengan-penyelewengan hebat di dalam hidupnya, dia merasa tidak patut untuk bersanding dengan Puteri Syanti Dewi, apalagi mencintanya.

   Betapapun juga, sikap yang amat manis, perawatan yang dilakukan dengan kesungguhan hati oleh puteri itu, meluluhkan semua kekerasan hati Tek Hoat akan tetapi sekaligus juga mengobati luka di batinnya. Kalau saja gadis ini bukan puteri Raja Bhutan! Betapa akan bahagianya hidup menjadi suami puteri ini. Akan tetapi, dia seorang pemuda jahat, Si Jari Maut, orang yang rendah dan hina dan jahat, mana mungkin saling cinta dengan seorang dara seperti Syanti Dewi? Tidak! Hal itu berarti akan menyeret setangkai bunga yang indah bersih ke dalam lumpur! Dan belum tentu cerita tentang Gak Bun Beng itu benar. Sebelum dia mendengar sendiri dari ibunya.... Sudah beberapa hari mereka bersembunyi di dalam kuil tua itu. Dan tenaga Tek Hoat sudah mulai pulih kembali.

   Pada pagi hari itu, Syanti Dewi memasuki kuil membawa beberapa tangkai bunga hutan berwarna kuning. Melihat dara itu memasuki kuil, dilatarbelakangi sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui genteng-genteng kuil yang pecah, Tek Hoat terbelalak dan memandang seperti orang terkena sihir. Dara itu nampak segar, jelas bahwa puteri itu baru saja mencuci dan menggosok mukanya dengan air sumber di belakang kuil, kedua pipinya kemerahan dan masih agak basah, rambutnya masih agak awut-awutan dengan anak rambut halus berjuntai dan melintang di sekitar pelipis dan dahinya, sepasang matanya bening dan berkilauan, bibirnya keaihatan basah dan merah sekali, penuh dan tersenyum ditahan, nampak lesung pipit di ujung bibir kiri dan sedikit lekuk di dagunya menambah daya tarik. Seperti bidadari pagi yang turun melalui tangga sinar matahari!

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 42 Sepasang Pedang Iblis Eps 25 Pendekar Super Sakti Eps 35

Cari Blog Ini