Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 47


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 47



Kata Kang-siocia.

   "Kalau benar Ang Tek Hoat itu dahulu adalah tunangan sang puteri, tentu dia akan dapat mengenal cara wanita itu bicara."

   "Bagus!"

   Kata Ban Hwa Sengjin berseru girang.

   "Soal cara bicara dan lagaknya, di sini terdapat Mohinta yang akan mampu melatihnya karena dia tentu hafal akan kebiasaan sang puteri bicara dan bersikap."

   Mohinta mengangguk-angguk, sungguhpun di dalam hatinya dia tidak setuju kalau Tek Hoat diterima sebagai sekutu di tempat itu. Menurut keinginannya, pemuda itu sebaiknya dibunuh saja! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah kehendak Koksu Nepal yang bertindak demi kepentingan benteng. Mudah saja bagi Kang-siocia dan gurunya untuk menyulap seorang dayang Nepal yang menjadi pelayan Pangeran Bharuhendra, menjadi Puteri Syanti Dewi. Biarpun baru satu kali guru dan murid ini melihat Syanti Dewi, namun ingatan mereka kuat sekali, dan pula di situ terdapat Mohinta dan para bekas dayang yang melayani sang puteri sehingga mereka ini dapat memberi petunjuk.

   Dalam waktu satu dua jam saja berubahlah seorang dayang menjadi Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dari rambut sampai ke kakinya, persis sekali! Kini tinggal melatih dayang itu untuk bersikap dan bicara seperti Syanti Dewi dan hal inilah yang lebih sukar sehingga membutuhkan waktu dua hari di bawah pimpinan Mohinta, baru dayang itu dapat meniru dan agak mirip dengan gerak-gerik dan cara bicara Puteri Bhutan itu. Oleh karena itu, Koksu Nepal memesan kepada dayang itu untuk bicara seperlunya saja dan wanita ini sudah dilatih sampai hafal betul apa yang harus diucapkannya kalau dia sebagai Puteri Syanti Dewi bertemu dengan Ang Tek Hoat! Demikianlah, setelah dua hari lamanya menanti di situ, akhirnya Ang Tek Hoat ditemui oleh koksu dan kakek ini tertawa lebar.

   "Ha-ha-ha, girang hati kami melihat bahwa engkau ternyata tidak memperlihatkan sikap buruk, Sicu. Maka, sekarang kami memenuhi janji untuk mempertemukan engkau dengan Puteri Bhutan. Tentu saja hanya terbatas, pokoknya Sicu dapat membuktikan bahwa dia selamat di sini dan dapat bicara sepatah dua patah kata."

   Tek Hoat tidak memperhatikan syarat itu karena hatinya sudah berdebar penuh ketegangan dan juga kegirangan. Semenjak dia meninggalkan Bhutan, hatinya menderita hebat oleh rasa rindunya kepada Syanti Dewi dan dia sudah merasa putus asa karena tidak mungkin dia akan dapat bertemu lagi dengan kekasihnya itu.

   Maka ketika dia mendengar bahwa Syanti Dewi meninggalkan Bhutan dan berada di timur, dia mencari-cari sampai akhirnya sekarang tiba saatnya dia akan bertemu muka, berhadapan dan bicara dengan kekasihnya itu! Jantungnya berdebar-debar dan dia hanya dapat mengangguk kepada Ban Hwa Sengjin dengan perasaan berterima kasih. Mereka menuju ke satu bagian di dalarn benteng itu dan dari dalam sebuah pintu di pondok besar, muncullah Syanti Dewi dengan gerak-geriknya yang lemah lembut dan harus diiringkan oleh beberapa orang dayang. Ketika Syanti Dewi melihat Tek Hoat, dia mengeluarkan seruan tertahan dan berhenti melangkah, lalu memandang dengan mata terbelalak kemudian menundukkan mukanya, lalu jari-jari tangannya mempermainkan ujung bajunya. Kebiasaan sang puteri kalau sedang tegang, kebiasaan yang amat dikenal oleh Tek Hoat!

   "Dewi....!"

   Tek Hoat berseru lirih dan melangkah maju, lehernya seperti dicekik rasanya karena terharu dan juga girang. Ternyata kekasihnya itu benar-benar dalam keadaan selamat dan hal ini amat menggirangkan hatinya! "Terima kasih kepada Thian bahwa engkau masih dalam keadaan sehat dan selamat!"

   Hanya demikianlah Tek Hoat dapat berseru dengan girang sekali.

   "Ang Tek Hoat"

   Terdengar sang puteri berkata dengan suara agak gemetar, tanpa mengangkat mukanya.

   "Mau apakah engkau minta bertemu dengan aku....?"

   Dalam suara itu terkandung kedukaan dan kemarahan. Tek Hoat mengerutkan alisnya. Biasanya, Puteri Syanti Dewi menyebut koko atau kanda, kini menyebut namanya begitu saja. Dia dapat mengerti bahwa tentu sang puteri ini marah kepadanya, dan dia dapat mengerti mengapa puteri ini marah kepadanya.

   "Dinda Syanti Dewi, engkau tahu.... betapa berat hatiku berpisah.... dan betapa kaget hatiku mendengar engkau berada di sini, meninggalkan Bhutan. Aku hanya ingin melihat engkau selamat dan bahagia...."

   Tek Hoat mengeluarkan isi hatinya tanpa malu dan sungkan lagi sungguhpun di situ terdapat empat orang dayang dan juga terdapat Ban Hwa Sengjin. Bahkan dia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan tak jauh dari situ. Dan memang diam-diam empat orang Im-kan Ngo-ok lainnya bersiap-siap tidak jauh dari tempat itu, menjaga kalau-kalau Tek Hoat melihat penyamaran itu. Puteri palsu itu sengaja menyebut Tek Hoat dengan namanya saja karena hal ini sudah diperhitungkan baik-balk oleh Mohinta yang mengatur percakapan itu! Maka berkatalah puteri itu sesuai dengan hafalannya,

   "Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita. Akan tetapi kalau engkau memperlihatkan bantuan untuk menghadapi musuh dari Pangeran Nepal, baru aku mau mengenalmu lagi. Nah, sampai jumpa pula.... dan semoga kau berhasil!"

   Setelah berkata demikian, puteri palsu itu membalikkan tubuhnya dan diiringkan oleh para dayang dia masuk, kembali ke dalam pondok.

   "Syanti....! Syanti Dewi....!"

   Tek Hoat berseru akan tetapi sesuai dengan petunjuk yang telah diterimanya, puteri itu tidak mau berhenti atau menoleh. Daun pintu ditutupkan oleh para dayang dan ketika Tek Hoat melangkah ke depan, Ban Hwa Sengjin sudah mendekatinya dan menegurnya.

   "Sicu, pondok ini khusus untuk sang puteri, tidak ada pria yang boleh masuk. Marilah kita bicara. Saya kira sang puteri sudah cukup jelas bicara."

   Seperti orang yang kehilangan semangat Tek Hoat mengikuti Koksu Nepal dan dengan ucapan Syanti Dewi masih terngiang di telinganya, apalagi kata-kata terakhir "semoga kau berhasil!"

   Berkesan di dalam hatinya, dia mendengarkan bujukan-bujukan Koksu Nepal dan akhirnya dia menyetujui untuk melindungi sang puteri di dalam benteng itu dan akan membantu menghalau musuh yang membahayakan keselamatan Syanti Dewi sedapat mungkin! Selagi koksu membujuk Tek Hoat, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan datanglah penjaga melapor bahwa pasukan Gubernur Ho-nan datang berlari-larian, nampaknya ketakutan dan mengalami kekalahan! Mendengar ini, Ban Hwa Sengjin cepat pergi melapor kepada Pangeran Bharuhendra yang cepat keluar dan pintu gerbang dibuka lebar untuk menyambut datangnya sang gubernur bersama pasu-kannya yang melarikan diri dari Lok-yang itu.

   Sang Gubernur Kui Cu Kam dengan muka pucat dan napas terengah-engah menceritakan betapa pasukan besar yang dipimpin oleh Puteri Milana telah menggempur Lok-yang dan telah menduduki semua kota, dan tentu akan segera menyerbu ke lembah. Dalam pertemuan ini, dengan singkat Tek Hoat diperkenalkan kepada sang pangeran oleh Koksu Nepal. Pangeran Liong Bian Cu sudah mendengar laporan lengkap tentang Tek Hoat, maka dia pun menyatakan kegirangannya bahwa pemuda itu suka membantunya. Kemudian, pangeran memerintahkan agar semua pembantunya dikumpulkan dan diadakanlah persidangan kilat untuk mengatur rencana dan siasat menghadapi musuh yang sudah mengancam. Kepada Jenderal Kao Liang yang juga diharuskan hadir, sang pangeran berkata,

   "Sekaranglah tiba saatnya engkau memperlihatkan kepandaianmu dan memenuhi janjimu, Jenderal Kao!"

   Jenderal yang tua itu dengan wajah muram mengangguk.

   "Saya akan memperlihatkan bahwa janji saya akan tetap saya penuhi, dan tidak akan ada pasukan manapun yang mampu membobolkan benteng ini!"

   Jenderal Kao Liang lalu berpamit mundur untuk mulai mengatur penjagaan dan membagi-bagi tugas kepada para komandan bawahannya. Pangeran Liong Bian Cu mengajak Gubernur Kui Cu Kam untuk bicara di dalam sedangkan persida-ngan itu dilanjutkan oleh Koksu Nepal yang membagi-bagi tugas kepada para tokoh pembantunya untuk memperkuat kedudukan benteng di sebelah dalam, karena kedudukan di sebelah luar seluruhnya menjadi tanggung jawab Jenderal Kao Liang.

   Sibuklah semua orang yang menanti dengan jantung berdebar tegang karena para pasukan gubernur yang melarikan diri ke benteng itu bercerita betapa kuatnya pasukan kota raja yang dipimpin oleh Puteri Milana yang memang terkenal pandai sekali dalam hal memimpin pasukan itu. Puteri Milana ini memang mengingatkan kaum tua kepada Puteri Nirahai, ibunya, yang dahulu juga merupakan seorang panglima besar yang amat pandai. Tek Hoat juga memperoleh bagian dalam pembagian kerja itu, yaitu dia harus melindungi bagian bangunan di mana juga tinggal Puteri Syanti Dewi. Tentu saja pemuda ini menerima tugas itu dengan girang dan dia pun bersungguh-sungguh, karena dia akan melindungi sang puteri dengan taruhan nyawanya. Pada keesokan harinya, muncullah pasukan kerajaan yang telah dinanti-nanti dengan hati penuh ketegangan oleh semua orang di benteng itu!

   Pasukan yang besar dan berbaris rapi, dipimpin oleh Puteri Milana. Dari atas menara di tembok benteng, sudah nampak debu mengepul tinggi ketika pasukan itu datang dari jauh, kemudian makin lama nampak-lah barisan itu seperti serombongan semut yang bergerak dengan teratur. Jantung mereka yang memandang dari atas menara berdebar tegang karena gerakan pasukan besar itu memang amat menyeramkan. Di atas tebing bukit yang tinggi dari mana orang dapat melihat tembok benteng di kejauhan, Milana memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Pembawa bendera menggerak-gerakkan bendera sebagai isyarat dan barisan itu pun berhenti. Puteri Milana menunggang seekor kuda besar berbulu hitam, diiringkan oleh beberapa orang panglima dari kota raja.

   Gagah dan cantik sekali puteri ini, seorang wanita berusia empat puluh tahun namun kelihatan masih muda, dengan wajah yang cantik dan matang, kelihatan angker dan mendatangkan rasa hormat ketika dia duduk dengan tenang di atas kuda yang besar itu, memegang kendali dengan tangan kiri. Pakaiannya tertutup oleh baju perang bersisik baja berwarna kuning emas, sehelai mantel merah menutupi pundak dan punggungnya. Rambutnya disanggul ke atas dan ekor rambut berjuntai ke belakang diikat dengan pita kuning. Sebatang pedang dengan sarung pedang terukir indah tanda bahwa pedang itu adalah pedang kebesaran dari kota raja, dari istana, tergantung dipinggang kirinya. Hati setiap orang perajurit tentu akan penuh semangat kalau memandang kepada pemimpinnya seperti itu!

   Milana membagi-bagi barisannya dalam pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan Srigala, Pasukan Harimau, Pasukan Naga, dan lain nama binatang yang perkasa pula. Para komandan masing-masing pasukan memakai lukisan binatang yang menjadi tanda pasukannya, demikian pun setiap pasukan membawa bendera lambang pasukan berupa gambar binatang itu. Hal ini untuk memudahkan mereka saling mengenal dan sifat setiap pasukan disesuaikan pula dengan lambang binatang yang menjadi nama mereka. Setelah semua pasukan berhenti, Milana mengamati keadaan benteng yang nampak dari jauh dan kelihatan sunyi itu. Dia sudah mempelajari keadaan tempat di sekitar benteng itu dari gambar yang dibuat oleh para penyelidik,

   Maka kini dia memandang untuk mempelajari keadaan itu sesuai dengan gambar yang pernah dipelajarinya. Memang sebuah benteng yang amat kuat, pikirnya. Dan hatinya terasa perih kalau dia teringat bahwa benteng itu dibuat atas petunjuk Jenderal Kao Liang! Keadaan benteng yang angker, sunyi dan kelihatan kokoh kuat itu benar-benar menggiriskan hati, berbeda dengan benteng-benteng lain di mana kelihatan anggauta pasukan penjaga hilir-mudik dan kelihatan sibuk. Tidak, benteng ini seperti kosong saja, dari luar tidak nampak seorang pun penjaga. Milana masih duduk di atas pelana kudanya dan memandang ke arah benteng dengan alis berkerut dan sinar mata melamun. Dari sebelah kanannya datang seorang Panglima Pasukan Srigala yang melapor dengan suara tegas,

   "Laporan, Panglima! Para penyelidik melaporkan bahwa benteng itu tak dapat diserang dari belakang karena membelakangi tebing sungai yang penuh rawa-rawa liar dan berbahaya. Kanan dan kirinya tertutup jurang yang dalam. Laporan selesai!"

   Milana mengangguk-angguk.

   "Hemmm, jadi cocok dengan keterangan dalam gambar. Kalau begitu, siapkan pasukan, jalan satu-satunya hanyalah menyerang dari depan untuk mencoba sampai di mana ketangguhan lawan. Akan tetapi, kalau ternyata fihak lawan kuat sekali, jangan memaksakan diri, tunggu tanda untuk mundur agar jangan sampai kehilangan banyak anak buah menjadi korban!"

   Komandan itu lalu mundur dan Milana memberi perintah kepada pemegang bendera isyarat untuk menyampaikan perintahnya. Pemegang bendera itu berdiri di atas batu besar dan menggerakkan benderannya dengan gerakan-gerakan tertentu agar terbaca oleh semua komandan.

   Perintah dari Panglima Puteri Milana adalah agar Pasukan Srigala maju menyerang pintu gerbang depan benteng itu sedangkan pasukan-pasukan lain hanya bersiap di kanan kiri sesuai dengan kedudukan mereka tanpa ikut menyerang, hanya melindungi kalau-kalau Pasukan Srigala terdesak agar membantu mereka mundur dengan selamat. Pasukan Srigala yang terdiri dari sepuluh ribu orang itu lalu dikerahkan dan mulailah pasukan ini menyerang dan menyerbu benteng dari pintu gerbang depan. Setelah jarak mereka mulai dekat dan sejauh sasaran anak panah, tiba-tiba dari atas tembok benteng itu berhamburan datang anak panah dan batu-batu bagaikan hujan menyambut mereka! Hal seperti ini tidak mengejutkan pasukan yang sudah berpengalaman itu dan memang sudah mereka duga lebih dulu.

   Maka mereka pun cepat mengangkat perisai masing-masing untuk melindungi diri dan mereka terus menyerbu sambil bersorak-sorak, dan pasukan-pasukan bagian panah lalu membalas dengan melepaskan anak panah mereka ke tembok benteng, tubuh mereka dilindungi oleh teman yang mengangkat perisai besar. Hiruk-pikuk bunyi anak panah dan batu menimpa perisai-perisai itu. Puteri Milana menyaksikan penyerbuan Pasukan Srigala itu dengan seksama sambil memandang ke arah atas tembok benteng. Dari menara tembok itu dia melihat bendera merah dikibarkan dan tiba-tiba anak panah dan batu yang meluncur bagaikan hujan dari atas tembok itu berhenti. Pasukan Srigala masih menyerbu terus, kini sudah mulai menaiki lereng menuju ke pintu gerbang.

   "Perintahkan mereka mundur!"

   Tiba-tiba Milana berseru dan pemegang bendera lalu memberi isyarat, disusul bunyi tambur sebagai perintah kepada pasukan itu. Namun terlambat, karena tiba-tiba saja pintu gerbang terbuka dan dari dalam pintu gerbang itu keluar batu-batu besar bergulingan ke bawah lereng, juga dari atas tembok dilempar-lemparkan batu-batu sebesar kepala orang ke bawah sehingga batu-batu ini pun bergulingan ke bawah menyambut pasukan musuh! Diserang secara bertubi-tubi dan mendadak ini, Pasukan Srigala menjadi terkejut. Mereka berusaha menyingkir dan berloncatan ke sana-sini,

   Akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tertimpa dan tertumbuk batu-batu besar sehingga ramailah suara mereka yang diserang oleh batu-batu ini. Terpaksa mereka mundur secara tidak teratur dan dalam penyerbuan pertama ini Pasukan Srigala kehilangan dua ratus orang lebih. Milana melihat dari atas dan nampak olehnya betapa pintu gerbang tertutup kembali dan bendera merah di atas menara itu bergerak-gerak memberi tanda. Tembok benteng musuh kembali menjadi sunyi dan tidak nampak seorang pun perajuritnya! Milana menarik napas panjang. Hebat, pikirnya. Benar-benar Jenderal Kao Liang telah bekerja untuk musuh! Baik, dia pun harus melawan dengan kekerasan! Dia memberi kesempatan agar Pasukan Srigala memulihkan tenaga dan mengatur kembali keberesan pasukan itu. Kemudian terdengar aba-abanya nyaring,

   "Lepaskan panah berapi!"

   Pasukan anak panah lalu berindap-indap memencar dari depan, kanan dan kiri, dan tak lama kemudian berluncuranlah anak panah yang membawa api menuju ke benteng itu. Akan tetapi, karena benteng itu berlapis-lapis, maka anak-anak panah berapi itu hanya mengenai tembok benteng di sebelah dalam, tidak mengenai bangunan-bangunan di dalam benteng. Betapapun juga, hujan anak panah berapi itu membuat para perajurit di dalam benteng terpaksa berlindung dan memadamkan api begitu anak panah itu menimpa tembok sebelah dalam. Sementara itu, diam-diam Milana lalu memberi perintah kepada pasukan untuk menggali lubang-lubang naik ke lereng itu.

   Kemudian, tiba-tiba Puteri Milana memerintahkan tiga pasukan, yaitu Pasukan Harimau, Pasukan Naga, dan Pasukan Singa untuk menyerbu dari kanan kiri dan tengah, didahului oleh pasukan yang mengerjakan penggalian-penggalian itu. Kembali hujan anak panah dan batu, yang dibalas oleh serangan anak panah dari pasukan kerajaan. Seperti juga tadi, ketika pasukan penyerbu sudah mulai naik ke lereng, batu-batu besar berjatuhan dari atas dan keluar dari pintu gerbang. Akan tetapi kini pasukan-pasukan itu sudah siap. Cepat mereka bertiarap ke dalam lubang-lubang itu sehingga batu-batu yang menggelundung itu melewati tubuh mereka. Ada pula yang terkena, akan tetapi tidak begitu banyak dan sebagian besar pasukan selamat dan setelah hujan batu mereda, mereka terus mendaki naik sambil menggali lubang-lubang berikutnya.

   Siasat Milana ini berhasil dan akhirnya tiga pasukan itu dapat bergabung dan sambil bersorak-sorak mereka lari menuju ke depan. Akan tetapi, tiba-tiba mereka disambut oleh teriakan yang mengejutkan dan dari dalam tanah di depan tembok benteng itu terbuka lubang-lubang dan ternyata di situ terdapat pasukan-pasukan pendam yang sudah lama menanti. Begitu keluar dari tempat persembunyian mereka, pasukan pendam ini melepaskan anak panah dari kanan kiri, sedangkan pasukan inti menyerbu dari tengah, dan kini pintu gerbang terbuka dan bersama dengan bunyi tambur dan teriakan-teriakan menggegap-gempita, keluarlah pasukan besar menyerbu dari tengah, menghimpit pasukan kerajaan dari kanan kiri dan tengah. Terjadilah pertempuran yang hebat, akan tetapi pasukan kerajaan sama sekali tidak mampu untuk mendesak musuh.

   Bahkan mereka yang mencoba untuk mendekati tembok, menerima siraman-siraman air panas dari atas tembok sehingga mereka terpaksa mundur kembali! Melihat ini, kembali Milana memerintahkan mundur semua pasukan. Serangan yang ke dua itu pun gagal dan ternyata lebih dari seribu orang anak buah pasukan tewas! Setelah dua kali kegagalan ini dan melihat betapa, tembok benteng itu kembali sunyi, Milana lalu menarik mundur pasukannya dan membiarkan mereka mengaso. Dia sendiri lalu mengadakan perundingan dengan para panglima kerajaan menghadapi benteng musuh yang demikian kuatnya. Dia tahu atau dapat menduga bahwa yang menggerakkan bendera merah di menara itu tentulah Jenderal Kao, atau setidaknya tentulah pembantu jenderal yang pandai itu. Untuk menyerbu secara nekat dan membobolkan benteng dengan kekerasan,

   Agaknya lebih dulu akan mengorbankan banyak sekali perajurit dan hasilnya pun belum dapat menyakinkan, mengingat betapa kuatnya penjagaan di benteng itu. Malam tiba dan Milana masih melakukan perundingan dan mencari siasat bersama para panglima pembantunya, mencari-cari kemungkinan untuk menyerbu dengan lain cara. Sementara itu, pendekar Gak Bun Beng yang mendahului pasukan isterinya, menyusup-nyusup melalui hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho dan dia melihat Kok Cu dan Ceng Ceng yang bersembunyi di tepi sungai. Dia lalu muncul di depan suami isteri pendekar itu. Kok Cu dan isterinya terkejut sekali ketika tiba-tiba melihat bayangan berkelebat. Orang yang datang ini sama sekali tidak mereka ketahui, tanda bahwa orang ini hebat sekali ilmunya. Akan tetapi ketika Ceng Ceng melihat siapa adanya orang itu, dia girang bukan main.

   "Paman Gak Bun Beng....!"

   Serunya ketika melihat pria yang berdiri sambil tersenyum di depannya itu. Juga Kok Cu menjadi girang dan cepat dia memberi hormat. Melihat pendekar ini, hati Ceng Ceng menjadi besar dan cepat dia bertanya,

   "Paman, kapankah pasukan Bibi Milana akan menyerbu ke sini?"

   "Dalam satu dua hari ini, kini telah berangkat setelah menduduki Lok-yang."

   "Ah, Paman. Benteng itu kuat bukan main, dipimpin oleh...."

   Ceng Ceng tidak melanjutkan karena merasa tidak enak kepada suaminya.

   "Aku sudah tahu. Jenderal Kao Liang, ayah mertuamu itu terpaksa karena semua keluarganya ditawan, bukan? Tentu ada apa-apanya ini. Aku akan menyelidiki lebih dulu ke dalam, dan sebaiknya kalian menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu. Eh, apakah kalian tidak bertemu dengan Suma Kian Bu? Dia sudah lebih dulu meninggalkan kota raja menuju ke sini!"

   Kok Cu dan Ceng Ceng saling pandang dengan heran lalu menggeleng kepala.

   "Kami bertemu dengan Ang Tek Hoat yang mencari Puteri Syanti Dewi dan dia memasuki lembah, entah apa jadinya dengan dia."

   Ceng Ceng lalu menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Tek Hoat. Mendengar ini, Gak Bun Beng mengerutkan alisnya.

   "Sungguh aneh sekali, mengapa Syanti Dewi kembali terbawa-bawa dalam pemberontakan ini dan dia berada di lembah? Ah, benteng di lembah itu mengandung banyak rahasia, dan hal ini makin mendorongku untuk lebih dulu masuk menyelidiki ke sana."

   "Keadaan mereka kuat sekali.... Paman Gak,"

   Kata Kok Cu yang merasa agak kaku menyebut paman kepada pendekar itu, akan tetapi karena memang pendekar itu adalah suami dari Puteri Milana, bibi dari isterinya, maka dia pun menyebut paman.

   "Di sana terdapat Im-kan Ngo-ok, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan banyak lagi tokoh-tokoh kaum sesat. Karena putera kami juga tertawan di sana, maka kami terpaksa menahan diri dan mencari kesempatan untuk dapat menyelundup masuk dan menolong semua keluarga ayah."

   Lalu Si Naga Sakti ini bercerita tentang puteranya yang juga terculik dan tahu-tahu sudah dibawa oleh penculik itu ke dalam benteng dan menjadi tawanan bersama keluarga ayahnya pula. Mendengar ini, Gak Bun Beng menggeleng kepalanya dengan kagum dan juga penasaran sekali.

   "Ah, agaknya Pangeran Liong Bian Cu putera Pangeran Liong Khi Ong yang ternyata juga menjadi Pangeran Nepal ini ternyata lebih cerdik dan berbahaya daripada ayahnya dahulu. Untuk mencapai cita-citanya, dia tidak segan-segan menggunakan segala macam kecurangan untuk memaksa Jenderal Kao memban-tunya dan membuatmu tidak berdaya pula dengan menguasai puteramu."

   "Kalau hanya seorang anggauta keluarga saja yang ditawan, kami berdua tentu sanggup untuk menyelamatkannya, akan tetapi anggauta keluarga sedemikian banyaknya, tidak mungkin menggunakan kekerasan menolong mereka semua,"

   Kata Kok Cu dengan penasaran.

   "Paman Gak, kalau Paman sudah berhasil memasuki benteng, harap Paman sudi mengamat-amati keadaan putera kami, Kao Cin Liong."

   Gak Bun Beng mengangguk. Dia maklum bahwa bagi Kok Cu tidak mungkin mengajukan permintaan seperti itu karena selain puteranya, juga ayah bundanya, dan keluarga ayahnya semua tertawan di sana, akan tetapi bagi Ceng Ceng sebagai seorang ibu, tentu saja yang diingat hanyalah keselamatan puteranya.

   "Jangan khawatir, tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin agar mereka itu tidak sampai terancam."

   Bun Beng lalu bangkit berdiri.

   "Nah, sebaiknya memang kalau kalian menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu sehingga dalam kekacauan itu mereka tidak begitu memperhatikan kalian. Sebelum itu, kehadiran kalian di sana hanya membahayakan keselamatan keluarga kalian yang ditawan. Sampai jumpa,"

   Setelah berkata demikian, Gak Bun Beng lalu meloncat pergi. Diam-diam Ceng Ceng merasa berbesar hati setelah bertemu dengan pendekar itu karena dengan adanya bantuan pendekar sakti itu, keselamatan puteranya lebih terjamin. Ke manakah perginya Kian Bu dan Hwee Li? Mereka itu beberapa hari lebih dulu dari Gak Bun Beng meninggalkan kota raja menuju ke benteng di lembah. Huang-ho, mengapa setelah Bun Beng sudah tiba di situ, dua orang muda ini belum kelihatan bayangannya?

   Ternyata mereka berdua itu mengambil jalan memutar. Mereka berdua sudah mengerti benar akan kekuatan di dalam benteng, dan sedikit banyak Hwee Li sudah mengenal keadaan di sekeliling benteng itu. Maka mereka lalu mencari akal, yaitu hendak menyelidiki benteng itu dari samping, melalui jurang yang amat curam dan sukar, oleh karena itu mereka menggunakan waktu berhari-hari untuk mencari jalan melalui tempat yang amat sukar dan tak mungkin dilalui oleh pasukan atau manusia biasa itu. Sampai beberapa hari lamanya Kian Bu dan Hwee Li mencari-cari jalan rahasia yang menurut Hwee Li terdapat di sekitar jurang itu, namun tanpa hasil. Kian Bu mencela Hwee Li, mengatakan bahwa mungkin tidak ada jalan rahasia itu dan Hwee Li menjadi uring-uringan.

   "Aku belum gila,"

   Jawabnya marah.

   "Kalau tidak ada, perlu apa aku bersusah payah mengambil jalan ini? Memang pintu rahasia itu belum kulihat di sebelah sini, akan tetapi aku sudah tahu di sebelah dalamnya menembus di taman, di belakang rumpun bambu kuning."

   Mereka duduk di atas batu, menyeka peluh karena hari amat panas dan mereka sudah lelah sekali. Tiba-tiba Kian Bu meloncat berdiri.

   "Aku pergi dulu...."

   Bisiknya, matanya terus mengincar ke kiri, di mana terdapat semak-semak belukar.

   "Mau apa? Ada apa?"

   Hwee Li bertanya.

   "Sssttt, kulihat berkelebatnya bayangan kelinci gemuk di sana tadi. Perutku lapar, aku akan menangkapnya untuk makan."

   Kian Bu lalu berjingkat-jingkatan bergerak cepat tanpa suara mencari kelinci yang baru saja dilihatnya. Sebentar saja bayangan pemuda itu sudah lenyap di balik semak-semak. Hwee Li merasa panas hatinya karena agaknya keterangannya tentang jalan atau pintu rahasia itu tidak dipercaya oleh Kian Bu. Dia bangkit berdiri, membanting-banting kakinya dan mulailah dia mencari lagi, mencari sendiri karena hatinya merasa penasaran sekali. Ditelitinya setiap batu, setiap rumpun alang-alang atau semak-semak. Sampailah dia di tepi jurang dan tiba-tiba dia tertegun memandang ke kanan dan cepat tubuhnya bergerak memutar, matanya terbelalak dan mukanya perlahan-lahan berubah merah, tanda bahwa dia mulai marah sekali melihat apa yang sedang terjadi di seberan jurang itu!

   Apakah yang sedang dilihatnya? Yang menimbulkan kemarahan hati Hwee Li ternyata adalah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Seperti telah kita ketahui, dua orang muda ini pun setelah lolos dari tangan Im-kan Ngo-ok lalu pergi menyelidiki benteng. Akan tetapi karena mereka maklum bahwa menyelidiki dari depan amatlah berbahaya, mereka lalu mengambil jalan memutar dan menyelidiki dari samping, melalui jurang-jurang seperti yang dilakukan oleh Kian Bu dan Hwee Li. Ketika mereka harus menyeberangi sebuah jurang yang amat berbahaya, keduanya menggunakan akal. Untuk meloncati jurang itu tidaklah mungkin karena di seberang sana terdapat semak-semak berduri sehingga tidak diketahui bagaimana keadaan tanah di tepi jurang di seberang. Oleh karena itu, Kian Lee lalu mengumpulkan akar-akar yang panjang dan kuat, disambung-sambungnya,
(Lanjut ke Jilid 46)

   Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 46
Kemudian dia mengikatkan ujungnya pada sebuah batu sebesar kepala orang dan melontarkan batu itu ke seberang sampai akar yang merupakan tambang itu melibat pada sebatang pohon dan ditariknya sehingga menegang dan cukup kuat untuk dipakai sebagai jembatan menyeberang. Dan keduanya sedang menyeberangi tali dari akar yang kuat itu ketika Hwee Li melihat mereka. Biarpun Siang In memiliki ginkang yang amat tinggi dan baginya merupakan pekerjaan amat mudah untuk menyeberang dan berjalan di atas tali seperti itu, jangankan hanya sepanjang itu, biarpun lima kali lebih panjang pun dia sanggup melakukannya. Akan tetapi, dara ini ternyata merupakan seorang yang mudah merasa ngeri kalau berada di tempat yang curam, maka begitu dia mulai melangkah dan melihat ke bawah, dia menjerit tertahan,

   "Aihhh.... aku.... aku ngeri....!"

   Dan dia lalu menggerakkan payungnya, dibukanya payung itu dan dipergunakannya untuk membantu keseimbangan tubuhnya! Padahal kalau dia tidak merasa ngeri, sambil berlari biasa pun dia sanggup melintasi jurang itu melalui tambang. Melihat wajah dara itu mendadak menjadi pucat, Kian Lee menjadi tidak tega dan juga khawatir kalau-kalau saking ngerinya dara itu menjadi pingsan dan hal itu tentu saja amat berbahaya. Karena itulah, dia pun lalu berjalan di belakang dara itu dan memegang tangan kiri Siang In sehingga Siang In menyeberangi tali akar itu dengan tangan kanan memegang payung dan tangan kiri digandeng Kian Lee.

   Dan pemandangan inilah yang membuat wajah Hwee Li menjadi merah saking marahnya. Cemburu menyesakkan dadanya. Dia melihat Kian Lee bergandeng tangan demikian mesranya dengan seorang dara cantik yang memegang payung, seorang dara yang genit! Tanpa disadarinya, tangan kanannya sudah menyambar sebuah batu sebesar kepala orang! Menurut hatinya yang panas karena cemburu, ingin dia melontarkan batu itu untuk menyambit tali itu agar putus, akan tetapi dia teringat bahwa kalau tali itu putus, bukan hanya dara itu yang akan terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi juga Kian Lee! Maka ketika dia melihat betapa di ujung jurang itu terdapat tempat dangkal penuh lumpur, yaitu setelah hampir tiba di tepi jurang, dia menanti sampai dua orang itu berada di atas genangan lumpur itu, lalu dia menyambitkan batu di tangannya.

   "Crottt....!"

   Batu itu menimpa air lumpur dan tentu saja air lumpur itu muncrat ke atas dan Siang In yang berada di depan itu paling banyak terkena lumpur pakaiannya. Tentu saja kedua orang itu terkejut bukan main. Ketika Siang In menoleh dan melihat bahwa yang menyambitkan batu sehingga air lumpur memercik ke pakaiannya itu adalah seorang gadis pakaian hitam yang cantik manis dan yang berdiri sambil bertolak pinggang dan sengaja mentertawakannya dengan mengejek, menjadi panas perutnya. Dia lupa akan kengeriannya, melepaskan tangan Kian Lee dan dengan sekali lompat dia telah tiba di tepi jurang melampaui semak-semak berduri, lalu langsung dia berlari menghampiri Hwee Li!

   "Bocah setan, engkaukah yang melempari lumpur itu tadi?"

   Bentak Siang In marah sekali. Payungnya masih terbuka dan kini ujungnya yang runcing itu ditodongkan ke depan.

   "Kalau kutusukkan payungku ini, mampus kau karena kelancanganmu itu!"

   "Eh, eh, engkau mau membunuh aku? Bocah iblis, mudah saja kau bicara! Sebelum payung bututmu itu bergerak, lehermu sudah putus oleh pedangku ini!"

   Setelah berkata demikian, sekali tangan kanannya bergerak Hwee Li telah mencabut pedangnya!

   "Bocah siluman gunung! Kau sudah berbuat kurang ajar, melempar lumpur sampai pakaianku kotor semua, masih berani membuka mulut lancang dan kotor? Sungguh selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan anak kurang ajar macam engkau!"

   Siang In menjadi makin marah.

   "Engkau siluman jurang! Memang pantas berlepotan lumpur! Memang aku melempar batu ke lumpur, habis kau mau apa? Apakah tempat ini milikmu? Aku mau melempar ke manapun aku suka, kau peduli apa?"

   Hwee Li menantang.

   "Bocah ingusan kau harus dihajar!"

   Siang In marah sekali, tangan kirinya bergerak menampar ke arah pipi Hwee Li. Tamparannya itu cepat bukan main, seperti kilat menyambar, akan tetapi Hwee Li adalah seorang ahli silat tinggi, maka dengan miringkan tubuh saja dia dapat menghindarkan diri dan kontan keras tangan kirinya juga bergerak menampar ke arah pipi Siang In.

   "Syuuuuuttt....!"

   Siang In cepat melangkah mundur untuk mengelak.

   "Eh, tahan dulu....! Jangan berkelahi, tahan dulu....!"

   Kian Lee datang dan pemuda ini tentu saja segera mengenal Hwee Li dan dia berteriak melerai ketika melihat betapa dua orang dara itu sudah saling tampar dan kini bahkan menggerakkan senjata mereka! Melihat munculnya Kian Lee yang melerai, hati Hwee Li menjadi makin panas dan dalam nada suara Kian Lee itu dia menangkap sikap Kian Lee yang membela dan berfihak kepada wanita yang cantik itu. Cemburunya naik ke kepala. Dia membelalakkan matanya, memandang kepada dara itu. Benar cantik sekali, dan pakaiannya juga indah. Seorang gadis pesolek yang sinar matanya genit! Melototlah dia kepada Kian Lee, seperti hendak ditelannya bulat bulat pemuda itu.

   "Kau....! Kau boleh sekalian maju membelanya, boleh dikeroyok dua aku tidak akan surut selangkah pun!"

   Bentaknya dan pedangnya sudah digerakkan menyerang Siang In.

   "Bocah bermulut lancang dan kurang ajar!"

   Siang In juga marah sekali dan dia menganggap dara berpakaian hitam itu benar-benar tidak tahu sopan santun dan sombong sekali, maka dia cepat menggerakkan payungnya dan menangkis.

   "Cringgg.... Tranggg....!"

   Bunga api berpijar ketika ujung payung bertemu dengan ujung pedang dan berkali-kali mereka sudah mengadu senjata dan saling serang dengan hebatnya!

   "Eh-eh, apa yang terjadi ini....? Tiba-tiba Kian Bu telah datang dengan loncatan kilat, di tangan kirinya dia memegang seekor kelinci gemuk.

   "Bu-te....!"

   "Ohhh, Lee-ko....!"

   Kian Bu girang bukan main melihat kakaknya, akan tetapi matanya terbelalak memandang kepada dua orang dara yang sedang bertanding hebat itu. Dia kagum juga melihat Siang In yang dapat mengimbangi gerakan pedang Hwee Li yang ganas, dan melihat gadis itu memainkan payungnya dengan gaya yang demikian indah seperti orang menari, teringatlah dia. Gadis berpayung! Tentu saja! Mana mungkin dia dapat melupakan seorang gadis seperti Siang In? Apalagi seorang gadis yang pernah diciumnya? Gadis itu kini makin dewasa dan makin cantik jelita! Karena bingung dan khawatir melihat pertandingan dengan senjata itu, Kian Bu tanpa disadarinya sendiri melepaskan kelinci yang tadi dengan susah payah ditangkapnya dan dia mendekati tempat pertempuran itu sambil berseru,

   "Nanti dulu! Tahan senjata! Aihhh, berbahaya sekali....!"

   Siang In meloncat ke belakang dan tentu saja dia segera mengenal Siluman Kecil! Dan setelah kini dia melihat wajah Siluman Kecil, hampir dia menjerit! Itulah dia orang yang dicarinya selama ini! Suma Kian Bu! Tapi dia itu Siluman Kecil. Lihat rambutnya yang putih semua!

   "Kau.... Siluman Kecil ataukah Suma Kian Bu....?"

   Tanyanya dengan suara tertahan-tahan dan mukanya berubah agak pucat. Kian Bu tersenyum dan menjura.

   "Kedua-duanya, boleh pilih yang manapun...."

   Kini tahulah Siang In bahwa orang yang selama ini dicari-carinya bukan lain adalah Siluman Kecil! Dan Siluman Kecil kini agaknya bersama dara cantik berpakaian hitam ini, buktinya kini Siluman Kecil berdiri di dekat dara berpakaian hitam itu, kelihatan memihaknya. Sungguh aneh sekali, dia merasa betapa hatinya panas bukan main, panas dan marah.

   Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagus! Kau boleh maju sekalian mengeroyokku!"

   Katanya dan dengan hebat dia sudah menerjang maju dengan payungnya, menyerang Hwee Li.

   "Siluman jahat!"

   Hwee Li juga memaki dan pedangnya bergerak menangkis, lalu dia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siang In. Terjadilah pertandingan yang amat seru, sengit, namun sedemikian indah gerakan kedua orang dara yang sama cantiknya ini sehingga dua orang kakak beradik dari Pulau Es itu sampai melongo dan amat tertarik. Terdapat persamaan gerakan dari kedua orang dara itu, keduanya seperti sedang menari-nari, bukan sedang berkelahi, apalagi karena senjata Siang In adalah sebatang payung yang dapat terbuka dan tertutup. Dan gerakan Hwee Li juga indah sekali.

   Hal ini tidaklah aneh karena selama dia tinggal bersama Puteri Syanti Dewi, Hwee Li diajari menari oleh Puteri Bhutan itu dan memang Hwee Li suka sekali menari sehingga gerakan silatnya tanpa disadarinya sendiri telah kemasukan gerak tari yang indah, namun tidak kehilangan keganasannya! Kakak beradik itu saling pandang dari jauh dan keduanya mengangguk, seolah-olah dengan pandang mata mereka itu keduanya sudah sepakat untuk membiarkan dua orang dara yang sama cantik jelita dan sama pandainya menari dan bersilat itu melanjutkan pertandingan mereka dan mereka berdua diam-diam menjaga untuk melindungi dan mencegah kalau sampai ada bahaya mengancam keduanya dari perkelahian itu! Siang In yang sudah menjadi marah dan kini juga penuh dengan hati panas melihat betapa Kian Bu yang dicari-carinya selama ini ternyata berduaan dengan dara cantik ini,

   Membuat kemarahannya bertumpuk-tumpuk, kini mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa, permainan payungnya yang didapatnya dari gurunya, yaitu See-thian Hoat-su kakek yang bertapa di Gua Tengkorak. Memang senjata payung adalah senjata yang istimewa dan karena keanehannya ini maka membingungkan lawan. Apalagi ketika payung itu terbuka tertutup seperti permainan pedang yang dilindungi tameng, bahkan batangnya yang bengkok itu dipergunakan oleh Siang In untuk mengait leher lawan, sejenak Hwee Li menjadi terdesak dan dibikin kacau permainan pedangnya. Akan tetapi tentu saja Siang In tidak dapat merobohkannya, apalagi menerobos lingkaran sinar pedang yang hebat itu, hanya mampu mendesak dara pakaian hitam itu.

   "Serang gagang payungnya, serang bagian tengah tubuhnya!"

   Tiba-tiba Kian Bu berkata lirih namun terdengar jelas oleh Hwee Li dan juga tentu saja oleh Siang In. Mendengar ini, Hwee Li melihat lowongan itu dan begitu gagang pedangnya menyambar ke arah gagang payung, Siang In menjadi sibuk dan cepat dia menarik payungnya ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwee Li dengan baik.

   "Haiiittttt....!"

   Bentaknya dan dia menekuk lengan kirinya, menyikut perut Siang In!

   "Ihhhhh....!"

   Siang In terkejut dan mengangkat kakinya mengelak. Nyaris perutnya kena disikut! Hwee Li menang angin dan terus mendesak dengan pedangnya sehingga Siang In terpaksa mundur-mundur sambil memutar payungnya yang terbuka seperti perisai. Kini berbalik terdesaklah Siang In dan hatinya makin panas, makin sakit melihat kenyataan betapa Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya sampai dia jauh-jauh pergi ke Bhutan, pemuda yang seringkali membuatnya bangun dari tidur karena mimpi, pemuda yang pernah menciumnya, selain gulang-gulung dengan dara pakaian hitam yang cantik jelita ini, juga membantu dara ini dan memberi petunjuk sehingga hampir saja dia mati! Betapa kejam hati pemuda itu! Siang In merasa kedua matanya panas dan dia menahan air matanya ketika dia terus memutar payungnya melindungi tubuhnya dari serangan pedang yang amat ganas dari lawannya. Tiba-tiba terdengar Kian Lee berkata,

   "Pertahanan bawahnya lemah, pergunakan tendangan untuk menghalau desakan!"

   Juga suara Kian Lee ini jelas terdengar oleh kedua orang dara itu. Siang In menjadi girang dan cepat dia menggunakan kedua kakinya menendang secara bertubi-tubi dengan Ilmu Tendangan Soan-hong-twi. Kedua kakinya bergerak dengan cepat sekali dan payungnya tetap menahan pedang Hwee Li di bagian atas. Terkejutlah Hwee Li. Terkejut dan juga marah bukan main. Kian Lee telah membantu perempuan ini!

   Hampir dia menjerit dan menangis! Jelas bahwa Kian Lee mencinta perempuan cantik ini, tentu Kian Lee telah terpikat oleh kegenitan wanita ini! Dia terpaksa mundur lagi agar jangan sampai terkena tendangan. Pertandingan itu menjadi makin seru dan makin indah, juga lucu. Kadang-kadang Kian Bu memberi petunjuk kepada Hwee Li, dan sebaliknya Kian Lee memberi petunjuk kepada Siang In. Sebetulnya, kedua orang kakak beradik ini memberi petunjuk tanpa maksud untuk mencelakakan seorang di antara kedua dara itu, melainkan merasa sudah sepatutnya memberi petunjuk teman seperjalanan yang terdesak. Biarpun mereka memberi petunjuk, namun di dalam hati mereka tidak berfihak, bahkan selalu menjaga untuk segera turun tangan mencegah kalau sampai ada yang terancam bahaya terluka.

   Akan tetapi, tanpa mereka sadari, sikap mereka ini makin menghancurkan hati dua orang dara itu yang terus bertanding mati-matian dengan hati dibakar cemburu dan kebencian! Kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian silat antara dua orang dara itu, harus diakui bahwa tingkat kepandaian Hwee Li sedikit lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Siang In. Hwee Li semenjak kecil sudah digembleng oleh seorang yang amat tinggi kepandaiannya seperti Hek-tiauw Lo-mo. Sebagai anak angkat yang dicintanya, tentu saja kakek iblis itu menurunkan semua ilmunya kepada Hwee Li. Kemudian, Hwee Li menjadi murid dari Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Sungguhpun menurut janjinya dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali) Hwee Li hanya akan berguru tentang racun dan pukulan beracun, akan tetapi karena Ceng Ceng kini tidak lagi menyukai ilmu itu,

   Guru ini telah menurunkan ilmu-ilmu silat, bahkan telah "membersihkan"

   Ilmu silat dari kaum hitam yang dipelajari oleh dara itu dari ayah angkatnya. Maka tidaklah mengherankan apabila dalam pertempuran ini, akhirnya Hwee Li yang dapat mendesak Siang In dengan sinar pedangnya yang memang hebat sekali itu. Sifat dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Hwee Li masih amat ganas dan dahsyat sungguhpun Ceng Ceng sudah banyak menyuruhnya membuang bagian-bagian yang terlalu ganas dan keji. Karena memang kalah dalam hal mainkan senjata, akhirnya Siang In yang sudah marah dan tidak mau kalah, itu, menggunakan kekuatan sihirnya. Dia berkemak-kemik, mengerahkan kekuatan batinnya dan memandang dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, lalu terdengar dia bersuara seperti orang bersenandung,

   "Nona pakaian hitam yang galak engkau sudah lelah dan menyerahlah kepada nonamu, berlututlah...."

   Aneh sekali, mendengar senandung ini, tiba-tiba saja Hwee Li merasa tubuhnya lemas dan kehilangan tenaga. Pada saat itu, hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut kalau saja tidak terdengar suara Kian Bu yang mengeluarkan bunyi melengking panjang. Suara lengking yang aneh dan perlahan, akan tetapi penuh getaran dan seketika Hwe Li merasa biasa kembali dan pedangnya kembali menjadi ganas.

   Kembali Siang In merasa hatinya tertusuk, karena untuk ke sekian kalinya Kian Bu membantu Hwee Li. Tadinya, kedua kakak beradik ini hanya ingin menonton permainan silat yang indah itu dan saling membantu agar tidak sampai ada yang celaka, akan tetapi lambat-laun mereka berdua terseret pula dan masing-masing merasa heran. Kian Lee mulai memandang dengan terheran-heran dan dengan hati penuh pertanyaan. Adiknya itu membela Hwee Li mati-matian, dan mereka berdua juga melakukan perjalanan bersama, kelihatan begitu mesra! Dan memang adiknya itu mempunyai watak yang cocok sekali dengan Hwee Li. Ah, mengapa dia begitu bodoh? Tidak salah lagi, adiknya itu, Kian Bu, tentu jatuh cinta kepada puteri Hek-tiauw Lo-mo ini!

   Dia tidak tahu bahwa diam-diam Kian Bu juga menduga demikian. Kakaknya melakukan perjalanan bersama dengan Siang In dan kakaknya membantu Siang In mati-matian. Siang In memang cantik jelita dan demikian menarik, maka sudah sepatutnyalah kalau kakaknya itu jatuh cinta kepada dara itu. Diam-diam dia merasa bersyukur sungguh pun ada perasaan aneh menyelinap di dalam hatinya. Mengapa tidak kepada Hwee Li kakaknya mencinta? Dia tahu benar bahwa Hwee Li cinta kepada kakaknya! Hwee Li telah begitu berterus terang kepadanya bahwa dara ini amat mencinta Kian Lee, kakaknya. Dan kini melihat gejala-gejalanya, agaknya Kian Lee jatuh hati kepada dara berpayung yang memang sejak dulu pandai bergaya itu, cantik jelita, manis dan memikat sehingga sukar mencari keduanya dara seperti Siang In!

   "Cukuplah, In-moi, cukuplah.... kita adalah orang-orang sendiri, tidak perlu berkelahi....!"

   Akhirnya Kian Lee meloncat di antara kedua orang dara itu dan melerai. Juga Kian Bu meloncat di depan Hwee Li. Melihat betapa Kian Lee menyebut "ln-moi"

   Demikian mesranya kepada dara itu, Hwee Li tak dapat menahan lagi kemarahannya dan dia lalu membalikkan diri dan lari dari situ sambil terisak menangis! Melihat ini, Kian Bu menjadi khawatir sekali dan juga mengejar dengan cepat. Akan tetapi Hwee Li tidak mau berhenti dan terus berlari, biarpun dihibur dan dibujuk oleh Kian Bu untuk berhenti.

   "In-moi, mereka itu bukanlah orang lain...."

   Akan tetapi baru berkata sampai di sini, Siang In yang hatinya makin panas melihat Kian Bu mengejar Hwee Li, juga membalikkan tubuhnya dan lari sambil menangis pula. Kian Lee terkejut dan cepat mengejar. Demikianlah, dua orang gadls itu melarikan diri ke jurusan yang berlawanan, dikejar oleh kedua orang pemuda itu yang tidak sempat untuk bicara lagi. Dua orang pemuda yang menjadi bingung sekali. Setelah napasnya hampir putus karena berlari terus sambil menangis, akhirnya Siang In berhenti dan menjatuhkan dirinya di atas rumput. Muka dan lehernya penuh peluh dan mukanya agak pucat. Kian Lee juga duduk di atas rumput, hatinya menyesal sekali mengapa pertandingan itu berakibat sedemikian berlarut-larut.

   "Jadi.... jadi Siluman Kecil itu adalah adikmu, Suma Kian Bu itu?"

   Akhirnya Siang In berkata dengan terengah-engah.

   "Benar, sudahkah engkau mengenalnya?"

   Kian Lee balas bertanya.

   "Dan dara itu...., siapakah dia?"

   "Ah, dia itu bernama Kim Hwee Li, dia.... puteri dari Hek-tiauw Lo-mo."

   "Hemmm, pantas! Dan adikmu itu.... Siluman Kecil itu agaknya jatuh cinta kepadanya, ya?"

   Kian Lee merasa sukar untuk menjawab. Dia tidak tahu dengan pasti, akan tetapi melihat betapa tadi Kian Bu membantu dara pakaian hitam itu....!

   "Yah, agaknya begitulah,"

   Jawabnya tanpa dipikir panjang karena apa salahnya menjawab demikian, pikirnya.

   "Mari kita jumpai mereka."

   "Tidak sudi! Kalau aku bertemu dengan perempuan itu, akan kubunuh dia!"

   Tiba-tiba Siang In berkata, suaranya penuh kebencian. Kian Lee terkejut bukan main dan mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu dengan penuh selidik.

   Tidak biasa Siang In marah-marah seperti ini! Maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak mempertemukan dua orang dara yang sedang diamuk kemarahan itu. Memang Hwee Li telah berlaku keterlaluan, pikirnya, melemparkan batu itu sehingga pakaian Siang In menjadi kotor. Dia tidak mengerti mengapa dara itu berbuat seperti itu. Dia menarik napas panjang karena menduga bahwa Hwee Li masih berwatak kekanak-kanakan dan mungkin ketularan watak Hek-tiauw Lo-mo! Sayang, pikirnya. Dara itu tidak jahat seperti ayahnya, mudah-mudahan saja Kian Bu akan dapat mendidik dan menuntunnya ke jalan benar. Sementara itu, Hwee Li akhirnya juga berhenti karena kehabisan napas. Dia duduk menangis. Kian Bu duduk di depannya, tidak dapat membuka mulut karena dia tahu bahwa Hwee Li marah bukan main.

   "Dia.... dia telah jatuh cinta kepada gadis siluman itu!"

   Teriaknya dan kembali dia menangis. Kian Bu menarik napas panjang. Dia sendiri juga meragukan kakaknya, mungkin saja kakaknya jatuh cinta kepada Siang In. Memang dara itu amat cantik jelita!

   "Belum tentu, hanya dugaan saja...."

   Katanya menghibur Hwee Li. Dia tahu kini bahwa Hwee Li marah-marah karena cemburu,

   "Lebih baik kita jumpai mereka dan kita bicara dengan baik-baik. Gadis itu bukan musuh...."

   "Hemmm, agaknya engkau sudah kenal dia? Siapakah dia?"

   "Namanya Teng Siang In, dia murid dari See-thian Hoat-su...."

   "Hemmm, kakek tukang sihir itu? Pantas dia menjadi siluman! Kalau aku bertemu dengan dia, harus kubunuh siluman itu!"

   Melihat kemarahan dan kebencian Hwee Li, Kian Bu beranggapan bahwa memang belum waktunya menemui kakaknya dan Siang In, karena kalau hal itu terjadi, sukarlah untuk menahan gadis ini mengamuk!

   "Kalau begitu, mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau engkau tidak dapat menemukan jalan rahasia itu, sebaiknya kita langsung saja naik ke atas tembok benteng."

   Dan pada saat Kian Bu bicara dengan Hwee Li, Kian Lee bicara dengan Siang In itulah, tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk dari jauh. itulah suara pasukan dari kerajaan yang mulai menyerbu benteng dan seperti kita ketahui, penyerbuan dua kali dalam sehari yang diatur oleh Puteri Milana itu mengalami kegagalan.

   Sekali ini Puteri Milana merasa pusing bukan main. Benar-benar dia dibuat tidak berdaya oleh Jenderal Kao karena segala usahanya untuk menggempur benteng itu selalu gagal dan anak buahnya selalu dipukul mundur. Agaknya siasat apa pun yang dipergunakannya, telah diketahui belaka oleh Jenderal Kao sehingga tidak ada hasilnya sama sekali. Ketika beberapa hari kemudian kembali dia mengusahakan penyerbuan besar-besaran, di antara hujan anah panah, ada sebatang anak panah yang diikat sehelai surat. Seorang perajurit memungut anak panah ini dan cepat menyerahkan surat yang dibawa oleh anak panah itu. Puteri Milana cepat membacanya dan ternyata surat itu adalah tulisan dari Jenderal Kao Liang sendiri! :

   Panglima Puteri Milana!
Jangan menyerang. Kepung saja rapat-rapat. Kami akan bakar gudang ransum. Tunggu gerbang dan menara meledak, baru serbu. Kalau tidak menurut ini, takkan berhasil.
Jenderal Kao Liang

   Puteri Milana merasa girang membaca surat ini, akan tetapi juga meragu. Apa maksud jenderal itu? Bagaimana kalau berita yang dikirim ini palsu? Akan tetapi, Jenderal Kao menyebut "kami", siapa tahu jenderal itu telah berhubungan dengan suaminya yang dia percaya tentu telah berhasil menyelundup ke dalam benteng. Memang tidak salah dugaan panglima wanita ini. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu tidak begitu sukar bagi Bun Beng untuk menyelundup masuk dengan cara merayap tembok dan menghindarkan diri dari jebakan-jebakan yang dipasang di atas tembok. Dia tidak begitu sembrono sehingga dia dapat menyelinap masuk ke dalam benteng itu tanpa diketahui oleh seorang pun. Benarkah tidak diketahui oleh seorang pun? Kiranya tidak demikian, karena betapapun lihainya Bun Beng,

   Tetap saja dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya sendiri kakinya menginjak alat rahasia yang akibatnya hanya Jenderal Kao seorang yang mengetahui akan kedatangannya! Jenderal ini ketika membangun benteng dan membuat alat-alat jebakan dan alat-alat rahasia, diam-diam memasang semacam alat rahasia yang kalau dilanggar oleh pendatang yang menyelundup, hanya dia seorang yang mengetahuinya. Dan begitu dia mengetahui, dia sudah cepat berhubungan dengan Hek-sin Touw-ong dan Kang-siocia secara rahasia pula! Bagaimana pula ini? Ternyata Ang-siocia dan suhunya yang amat cerdik itu, dengan kepandaian mereka menyamar dan mendandani orang, telah dapat menarik hati koksu dan mereka berdua selamat dan diampuni dari dosa-dosa mereka ketika mereka menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dahulu itu,

   Bahkan mereka lalu diangkat sebagai pambantu-pambantu yang diawasi gerak-geriknya. Mereka, seperti Jenderal Kao, tidak boleh keluar, akan tetapi kecerdikan Ang-siocia tidak memungkinkan koksu dan kaki tangannya mengetahui betapa guru dan murid ini secara diam-diam mengadakan hubungan rahasia dengan Jenderal Kao Liang! Touw-ong dan Ang-siocia segera tahu akan duduknya semua perkara, dan tahu pula bahwa jenderal itu membantu fihak pemberontak hanya karena terpaksa oleh keadaan, yaitu karena semua keluarganya tertawan. Maka, dengan cerdik Ang-siocia lalu menghubungi jenderal ini yang segera menaruh kepercayaan besar kepada mereka dan diam-diam dua orang ini menjadi pembantu-pembantu Jenderal Kao Liang yang seperti telah diduga oleh puteranya sendiri dan oleh Gak Bun Beng dan para orang gagah lainnya,

   Diam-diam mempunyai rencana yang hebat terhadap para pemberontak yang telah memaksanya berkhianat itu! Maka, ketika Jenderal Kao tahu akan kedatangan orang pandai, karena hanya orang pandai sekali sajalah yang tidak sampai melanggar jebakan-jebakan, hanya tanda rahasia untuk dirinya sendiri, cepat dia memberi tanda rahasia kepada Kang-siocia dan gurunya untuk "menyambut"

   Kedatangan orang pandai itu dan dia menunjukkan di mana tempat orang pandai itu datang yang diketahuinya dari alat rahasia yang oleh Bun Beng itu. Demikianlah, dapat dibayangkan betapa kagetnya Bun Beng ketika baru saja dia melayang turun di tempat yang amat sunyi, di taman yang indah dalam benteng itu, suara wanita yang halus menegurnya,

   "Selamat datang, sahabat!"

   Baru saja berhenti bicara mulut Ang-siocia, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena orang itu dengan kecepatan kilat telah menotoknya tanpa ia mampu bergerak sama sekali. Ang-siocia terkejut bukan main dan dengan tidak berdaya sama sekali dia merasa betapa tubuhnya dipondong dan dibawa ke belakang sebuah gudang, di mana terdapat lampu penerangan. Orang itu memeriksanya di bawah lampu dan ketika melihat bahwa dia benar-benar seorang wanita muda yang cantik, orang itu kembali membawanya menyelinap ke dalam gelap lalu membuka totokannya, akan tetapi jari-jari tangan yang kuat menempel di tengkuknya dan orang itu berkata,

   "Jawablah baik-baik. Kalau berteriak, sekali tekan kau akan mati!"

   "Sialan dangkalan....!"

   Ang-siocia atau Kang Swi Hwa mengomel dan merengut, mengerling kepada laki-laki setengah tua yang lihainya bukan alang kepalang itu. Laki-laki itu adalah Bun Beng dan dia merasa sungkan juga harus menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita yang ternyata adalah seorang gadis muda yang cantik. Akan tetapi dia berada di sarang musuh, di dalam benteng yang berbahaya dan kedatangannya yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati itu ternyata telah ketahuan oleh gadis ini!

   "Hayo kau cepat bawa aku kepada Jenderal Kao, dan jangan sampai ketahuan oleh penghuni lain dari benteng ini. Awas, nyawamu berada di tanganku!"

   Akan tetapi jawaban gadis itu benar-benar mencengangkan Bun Beng.

   "Justeru aku menyambutmu adalah atas perintah Jenderal Kao Liang yang sudah mengetahui akan kedatanganmu. Akan tetapi ternyata kau bukan manusia baik-baik, melainkan seorang yang kasar dan kejam. Tidak, aku tidak mau membawamu kepada Jenderal Kao, karena agaknya engkau berniat buruk. Biar kau seribu kali membunuh aku, aku Ang-siocia sudah berani memasuki sarang naga dan harimau ini tentu tidak takut mampus!"

   Marah sekali Ang-siocia, bukan hanya karena dia diancam dan diperlakukan dengan kasar, akan tetapi melihat kenyataan betapa dia sama sekali tidak berdaya, tidak berkutik ketika ditangkap dan di bawa ke tempat terang lalu diseret lagi ketempat gelap, dibebaskan totokannya dan kini tengkuknya diancam. Seperti ayam yang sama sekali tidak berdaya! Padahal biasanya dia amat mengandalkan kepandaiannya!

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 51 Kisah Sepasang Rajawali Eps 35 Kisah Sepasang Rajawali Eps 4

Cari Blog Ini