Kisah Sepasang Rajawali 35
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 35
"Nanti dulu, Kui-bo. Kita berhenti dan cari mereka di sini!"
Syanti Dewi berkata, menyebut "Kui-bo"
Seolah-olah tanpa mengerti artinya.
"Heh-heh, hayo ikut dengan aku. Seorang dara jelita seperti engkau ini amat berbahaya kalau berkeliaran seorang diri di tempat ini dalam keadaan seperti sekarang ini. Apa kau lebih suka dilarikan serdadu-serdadu dan diperkosa oleh mereka?"
Tentu saja Syanti Dewi terkejut mendengar ini, memandang nenek itu dengan mata terbelalak dan menggeleng kepalanya.
"Heh-heh, nah, kalau begitu hayo ikut dengan aku, kucarikan tempat yang baik untukmu. Orang seperti engkau ini pantasnya berada di dalam kamar seorang raja atau pangeran!"
Dia menarik terus sampai mereka tiba di pintu gerbang kota Koan-bun. Tiba-tiba Syanti Dewi merasa betapa pundaknya nyeri dan tahu-tahu tubuhnya telah menjadi lemas dan dia dipondong dan dibawa meloncat oleh nenek itu keluar dari kota Koan-bun melalui tembok pagar yang tinggi! Setelah nenek itu turun ke luar tembok dan lari cepat sekali, Syanti Dewi yang tak mampu bergerak itu berkata,
"Kui-bo, lepaskan aku!"
Mereka telah berada jauh dari kota dan di tempat sunyi. Sambil terkekeh Hek-wan Kui-bo membebaskan totokannya dan menurunkan tubuh Syanti Dewi. Dara ini membalik, menghadapi nenek itu tanpa sikap takut sama sekali, kemarahan berpancar dari sepasang matanya yang indah dan dia menegur,
"Hek-wan Kui-bo, katakanlah sejujurnya, engkau ini hendak membantuku mencari teman-temanku ataukah mempunyai niat lain yang tidak baik?"
Nenek itu tersenyum dan memandang penuh perhatian kepada dara yang berdiri di depannya. Kecantikannya yang tidak dapat disembunyikan dengan pakaian sederhana, sikapnya yang agung dari cara dara itu menggerakkan kepala dan cara dia memandang, dari gerak bibir dari dagunya, semua itu tidak luput dari penilaian Hek-wan Kui-bo.
"Nona yang baik, engkau puteri dari manakah?"
Syanti Dewi terkejut, akan tetapi dengan sikap biasa dia berkata,
"Aku seorang gadis biasa yang terpisah dari keluargaku dalam keributan dikota itu."
"He-heh-heh, engkau tidak bisa membohongi Hek-wan Kui-bo. Engkau tentu seorang puteri bangsawan tinggi, dari suku bangsa lain di luar daerah."
"Sudahlah, Kui-bo. Aku menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu, dan kalau engkau mempunyai keperluan lain, biarlah aku sendiri kembali ke Koan-bun untuk mencari keluargaku yang terpisah dariku. Syanti Dewi menjura lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Akan tetapi dia melihat bayangan hitam berkelebat dan apa yang dikhawatirkannya terjadi. Nenek itu sambil menyeringai telah berdiri di depannya!
"Jangan tergesa-gesa, Nona manis! Sudah kukatakan bahwa seorang dara seperti engkau sepatutnya berada di kamar seorang raja atau pangeran dan engkau akan membantu aku berhubungan dengan Pangeran! Haya!"
Tiba-tiba nenek itu menerkamnya. Syanti Dewi yang sedikit banyak pernah belajar ilmu silat, mencoba untuk mengelak dan memukul leher nenek itu.
"Dukkkk!"
Pukulannya mengenai leher dengan tepat akan tetapi diterima sambil tertawa saja oleh Hek-wan Kui-bo yang sudah mengempit tubuhnya dan membawanya lari cepat sekali! Syanti Dewi memukul-mukul sampai akhirnya nenek itu kembali menotoknya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi dan terpaksa memejamkan mata karena merasa ngeri dibawa lari seperti terbang cepatnya itu. Dengan mempergunakan ilmunya yang tinggi mudah saja malam itu Hek-wan Kui-bo memasuki kota Teng-bun yang terjaga ketat oleh pasukan tentara pemberontak. Seperti seekor burung gagak, dia meloncati pagar tembok sambil mengempit tubuh Syanti Dewi, kemudian setelah menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, akhirnya dia memasuki pekarangan belakang gedung Coa-wangwe.
Malam itu Coa-wangwe sekeluarga sudah tidur pulas di kamar masing-masing. Mereka merasa aman karena Coa-wangwe adalah seorartg yang kaya-raya dan pandai mempergunakan kekayaannya untuk memperoleh kedudukan yang baik dalam pandangan para pimpinan pemberontak. Dia bersahabat baik dengan panglima pernberontak Kim Bouw Sin, bahkan siang tadi dia memperoleh kehormatan untuk menyambut tamu agung, Pangeran Liong Khi Ong yang memasuki Teng-bun secara menyamar. Gedung itu terjaga oleh sepasukan pengawal terdiri dari lima orang jagoan yang memiliki kepandaian tinggi dan semua pintu dan jendela terbuat dari kayu-kayu tebal dan semua terkunci rapat. Akan tetapi, betapa kagetnya Coa-wangwe dan isterinya ketika tiba-tiba mereka tersentak bangun karena selimut mereka direnggut orang.
Mereka bangkit duduk dengan mata terbuka lebar dan melihat seorang nenek tua berwajah buruk sekali telah berada di depan pembaringan mereka. Nyonya Coa hendak menjerit, akan tetapi sinar hitam berkelebat dan ujung tongkat itu telah menotok lehernya, membuat dia terjatuh rebah kembali dan teriakannya tidak mengeluarkan suara! Juga tongkat itu menyambar ke arah Coa-wangwe yang menjadi lemas. Mereka berdua lalu diikat dan urat gagu mereka ditotok, kemudian diseret ke ruangan tengah dan dilemparkan ke sudut ruangan di mana telah penuh dengan para pengawal, pelayan dan keluarga lain, pendeknya Coa-wangwe suami isteri merupakan orang-orang terakhir dari seluruh penghuni rumah itu yang menjadi tawanan, terbelenggu dan tertotok sehingga selain tidak mampu bergerak juga tidak mampu bersuara.
Coa-wangwe melihat ke arah lima orang jagoannya dan mereka ini hanya terbelalak penuh ketakutan memandang kepada nenek itu yang selalu terkekeh-kekeh seperti orang gila. Mereka masih merasa ngeri karena tadi tahu-tahu ada nenek buruk muncul di depan mereka. Lima orang pengawal dan penjaga itu sudah serentak mengepung dan menyerang dengan golok mereka, akan tetapi nenek itu menggerakkan tongkatnya, tiga batang golok patah, dua batang golok yang tepat mengenai punggung dan kepala nenek itu terpental seperti menghantam balok besi dan di lain saat sinar hitam tongkat itu berkelebat dan mereka roboh tanpa mereka ketahui bagaimana cara dan apa sebabnya! Syanti Dewi tidak berdaya sama sekali ketika dia dituntun oleh nenek itu memasuki kamar Coa-wangwe yang indah dan megah. Dia duduk di atas kursi memandang nenek itu setelah totokannya dibebaskan, dan dengan suara halus dia bertanya,
"Hek-wan Kui-bo, engkau telah merampas rumah orang dan membawaku ke sini. Apakah sebenarnya kehendakmu?"
Kembali nenek itu tertegun. Sikap yang tenang dan agung itu, suara yang masih seperti orang memandang rendah kepadanya, sikap seorang ratu! Dalam keadaan terculik seperti itu, kalau lain gadis tentu akan menangis dan minta-minta ampun, minta dibebaskan. Akan tetapi gadis ini agaknya malah menguasai keadaan, mengajukan pertanyaan kepadanya seperti seorang dewasa bertanya kepada seorang anak kecil yang nakal!
"Kalau aku menyembelihmu di sini, mencincang tubuhmu sampai hancur lebur, bagaimana, heh-heh!"
Nenek itu mengancam untuk menakut-nakuti gadis itu. Dia merasa tersinggung juga bahwa dia yang begitu hebat dan lihai sama sekali tidak ditakuti oleh gadis ini, gadis lemah ini, padahal lima orang jagoan penjaga gedung itu jelas merasa takut dan ngeri. Sepasang mata indah itu sama sekali tidak berkedip, tanda bahwa ucapan yang mengandung ancaman gertakan itu sama sekali tidak mengusik hati dara jelita itu. Bahkan bibir yang merah dan bentuknya seperti gendewa terpentang itu membentuk senyum ketika hendak berkata,
"Hek-wan Kui-bo, entah berapa puluh kali hidupku terancam maut sehingga kematian bagiku bukanlah hal yang menimbulkan rasa takut lagi. Aku tentu tidak akan mampu mempertahankan diri dan melawanmu jika engkau hendak membunuhku, akan tetapi hal itu pasti tidak akan kau lakukan."
"Eh....? Kalau kulakukan sekarang, kau mau apa?"
Syanti Dewi menggeleng kepalanya.
"Orang seperti engkau hanya akan melakukan sesuatu yang menguntungkan dirimu, Nenek yang baik. Kalau engkau ingin membunuhku, tentu tidak susah-susah kau membawaku ke sini, dan aku tidak melihat keuntungan apa-apa bagimu kalau kau membunuhku."
Nenek itu terbelalak, kaget dan tertawa bergelak.
"Heh-heh-khek-khek-khek! Engkau cerdas sekali! Memang aku tidak membunuhmu, anak yang baik dan cantik! Tidak, malah engkau akan kumuliakan hidupmu. Kau tunggulah saja di sini, dan besok engkau tentu akan berada di pangkuan seorang pangeran dan engkau akan berterima kasih kepada Hek-wan Kui-bo, hah-ha-ha-ha!"
Sekali ini di dalam hatinya Syanti Dewi merasa ngeri. Samar-samar dia dapat menduga bahwa tentu dia akan "dijual"
Oleh nenek iblis ini kepada seorang laki-laki yang suka membayarnya, bukan dengan harta karena pemilik gedung ini pun seorang hartawan, melainkan membelinya dengan kedudukan. Karena itulah maka nenek ini selalu menyebut raja atau pangeran!
"Aku akan menunggu di sini, Kui-bo. Lakukanlah apa yang kau kehendaki."
Syanti Dewi lalu menghampiri pembaringan dan duduk di atasnya. Akan tetapi ternyata nenek yang sudah bangkotan dan kawakan itu mana mungkin dapat dibodohi dengan sikap wajar ini? Dia terkekeh dan melangkah maju.
Syanti Dewi terkejut dan hendak meloncat menjauhi, namun dia jauh kalah cepat. Tahu-tahu nenek itu sudah mengebutkan sehelai saputangan hitam dan terciumlah bau yang keras oleh Syanti Dewi. Dara ini menjadi gelap mata dan pening seketika, dan tak lama kemudian dia pun terguling roboh di atas pembaringan dalam keadaan tak sadar atau tertidur pulas! Hek-wan Kui-bo terkekeh dan mendorong tubuh gadis itu sehingga rebah telentang di tengah pembaringan, kemudian tersaruk-saruk dia melangkah ke luar untuk mencari dan menjumpai Pangeran Liong Khi Ong yang dia tahu berada di dalam kota Teng-bun itu. Demikianlah apa yang dialami oleh Syanti Dewi sampai nenek itu bertemu dengan Tek Hoat dan mengajak pemuda itu memasuki gedung hartawan Coa di mana Tek Hoat dengan terkejut sekali mengenal Syanti Dewi yang rebah miring di atas pembaringan itu!
"Syanti Dewi....!"
Tanpa disadarinya lagi Tek Hoat berseru lirih, akan tetapi bagi Hek-wan Kui-bo sudah cukup keras untuk dapat mendengarnya.
"Aih, kiranya dia puteri dari Bhutan yang dikabarkan lenyap itu....! Ha-ha-ha, tentu Pangeran Liong Khi Ong akan senang sekali menerima persembahanku ini....!"
Hati Tek Hoat terkejut sekali. Pemuda yang cerdik ini mempergunakan otaknya dengan cepat. Syanti Dewi kini sudah berada di tangannya, mana mungkin dia akan melepaskannya begitu saja kepada orang lain? Satu-satunya jalan, nenek ini harus disingkirkan!
"Haiiittt....!"
Tiba-tiba dia memekik dan tangannya sudah menghantam dengan kecepatan kilat dan kekuatan dahsyat ke arah ulu hati nenek itu.
"Hayaaaa....!"
Nenek buruk itu adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang yang selain memiliki kepandaian amat tinggi juga kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja sejak tadi dia sudah siap siaga karena di dalam hatinya dia tidak bisa percaya penuh kepada setiap orang manusia, apalagi Tek Hoat yang dia tahu amat lihai dan baru saja dikenalnya. Maka, betapapun hebatnya serangan dari pemuda itu, Hek-wan Kui-bo telah menduga sebelumnya dan cepat nenek ini melempar tubuh ke belakang ketika ada angin dahsyat menyambar, sambil menggerakkan tongkatnya menangkis.
"Wuuuttt.... krekkkk!"
Ujung tongkat nenek itu bertemu dengan lengan tangan Tek Hoat, menjadi patah dan pada saat itu juga, dari tongkat patah itu menyambar jarum-jarum hitam beracun ke arah dada Tek Hoat dari jarak yang amat dekat! Tidak ada kesempatan lagi bagi pemuda itu untuk mengelak atau menangkis, maka dia menggigit bibir, mengerahkan tenaganya sehingga semua tenaga simpanan di dalam pusarnya naik ke dalam dada dan dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dengan menjejakkan kakinya kuat-kuat ke atas lantai. Belasan batang jarum itu menembus bajunya dan mengenai dadanya, namun kulit dadanya sudah menjadi seperti dilapisi baja saja sehingga jarum-jarum itu runtuh kembali tanpa melukainya sedikit pun.
Sambil menerima jarum-jarum ini, Tek Hoat tidak tinggal diam saja, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu seperti main sulap saja, pedang Cui-beng-kiam telah terhunus dan berada di tangannya. Melihat pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan sekali itu, Hek-wan Kui-bo mengeluarkan suara tertawa aneh, tubuhnya mencelat ke belakang dan lenyap dari gedung itu! Nenek ini sama sekali bukan lari karena ketakutan sungguhpun dari pertemuan ujung tongkat yang patah, lalu runtuhnya jarum-jarumnya ditambah pedang ampuh mengerikan di tangan pemuda itu membuat dia maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan yang luar biasa beratnya. Dia lari pergi karena terdorong oleh kecerdikannya yang pandai mencari siasat dalam keadaan bagaimanapun juga.
Nenek ini maklum bahwa sekali Tek Hoat berteriak, dia akan dikepung oleh tentara dan banyak orang lihai sebagai mata-mata dan celakalah dia karena dia maklum bahwa menghadapi seorang pemuda lihai dan cerdik seperti Tek Hoat Si Jari Maut ini, bantahan dan pembelaan dirinya akan sia-sia belaka. Karena itulah dia cepat pergi dan lari dari situ, bukan karena takut melainkan untuk menjalankan siasatnya! Tek Hoat tidak mengejar nenek itu. Dia khawatir akan keadaan Syanti Dewi yang tampaknya terus tidur dan sama sekali tidak terbangun oleh keributan itu. Dengan satu loncatan saja dia sudah ber-ada di dekat pembaringan itu, dan berlutut untuk memeriksa keadaan Syanti Dewi. Jantungnya berdebar keras melihat betapa tubuh yang menggairahkan dan wajah yang cantik jelita itu telentang di depannya, tinggal dia mengulur tangan saja!
Dia meraba pergelangan tangan dara itu dan hatinya lega. Syanti Dewi memang sedang tidur pulas, kepulasan yang mencurigakan. Dia dapat menduga bahwa tentu dara ini telah dibius oleh nenek iblis itu sehingga tertidur daiam keadaan setengah pingsan. Seperti orang terpesona Tek Hoat berlutut dan menatap wajah itu. Selama hidupnya belum pernah dia menjumpai seorang wanita yang memiliki daya tarik sehebat Puteri Bhutan ini. Dan puteri ini akan dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, Si Pangeran tua bangka yang mata keranjang itu? Nanti dulu! Tek Hoat mendengus dan dia lalu membungkuk dan.... menyentuh pipi itu dengan ujung hidungnya dengan mesra. Tiba-tiba dia meloncat berdiri. Dia harus cepat menyadarkan gadis ini dan mengajaknya pergi dari tempat itu.
Kalau sampai Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa Syanti Dewi berada di Teng-bun, tentu pangeran itu akan mengerahkan segalanya untuk mendapatkan puteri yang telah ditunangkan dengan dia itu, apalagi kalau pangeran tua itu sudah melihat sendiri kecantikan Syanti Dewi! Tergesa-gesa Tek Hoat lari ke belakang, mencari air dan tak lama kemudian dia sudah kembali ke
(Lanjut ke Jilid 34)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 34
dalam kamar membawa sepanci air dingin. Dengan hati-hati dia membasahi dahi dan tengkuk gadis itu, mengurut jalan darah di lehernya. Tak lama kemudian usahanya berhasil. Syanti Dewi mengeluh panjang dan Tek Hoat cepat menaruh panci air itu ke atas meja dan memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kagum. Karena tidak sadar, Syanti Dewi menggerakkan seluruh tubuhnya, menggeliat dan penglihatan ini membuat Tek Hoat menelan air liurnya,
Apalagi ketika Syanti Dewi mengeluh dan mengerang perlahan sambil membuka bibirnya yang merah dan mengejap-ngejapkan matanya. Kini sadarlah Syanti Dewi dan cepat dara ini membuka matanya, teringat akan nenek buruk seperti setan. Ketika dia melihat seorang pemuda berdiri di dekat pembaringannya, dia berteriak dan bangkit duduk lalu meloncat turun dan tangannya meraba-raba di balik jubahnya yang panjang, kemudian ketika tangan itu keluar, dia sudah memegang sebatang pisau tajam yang gagangnya terhias perma-ta, memegangnya dengan ujungnya mengarah ulu hatinya sendiri. Pisau ini adalah pemberian Jenderal Kao kepadanya dan sama sekali tidak disangkanya bahwa pisau ini ternyata pada saat itu merupakan sebuah benda yang amat berharga baginya.
"Mundur kau.... sekali saja engkau berani merabaku, pisau ini akan menembus jantungku dan engkau hanya akan memiliki mayatku!"
Suara itu halus dan tenang dan tangan yang memegang pisau sedikit pun tidak gemetar, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari halus meruncing itu membuat gerakan seperti hendak mendorong pemuda itu untuk mundur. Tek Hoat terkejut sekali dan melangkah mundur. Dia memandang penuh kekhawatiran ke arah ujung pisau yang menempel di antara dua tonjolan dada di balik baju itu, lalu menatap wajah yang tenang dan menggerakkan kedua tangannya ke atas sambil berkata,
"Haiii.... engkau salah duga. Aku datang untuk menolongmu....!"
"Simpan bujukanmu yang palsu!"
Syanti Dewi menghardik.
"Kau kira aku takut? Nenek setan itu tentu telah menjualku kepadamu, entah iblis dari mana adanya engkau ini!"
"Sama sekali salah. Aku telah mengusir nenek itu dan baru saja aku menyadarkanmu dengan air dingin. Engkau tertidur karena obat bius dan aku hendak menolongmu."
"Laki-laki bohong! Kau kira dengan kemudaan dan ketampananmu engkau akan dapat membujuk aku? Pergi dari sini!"
Syanti Dewi berkata lagi dan ujung pisau itu masih mengancam dan menodong dadanya sendiri karena hanya itulah satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya dari gangguan laki-laki ini.
"Hemm, keangkuhan seorang puteri! Dalam keadaan begini, engkau masih angkuh dan memandang rendah orang lain. Baiklah kalau engkau lebih suka dibawa oleh nenek itu dan dihadiahkan kepada seorang laki-laki tua untuk menjadi permaisurinya!"
Tek Hoat memutar tubuhnya. Syanti Dewi memandang bengong dan dia menjerit ketika tiba-tiba pemuda itu memutar tubuhnya secepat kilat, kaki pemuda itu telah menyambar dan tepat mengenai pisau yang dipegangnya.
"Takkk.... singgg.... ceppp!"
Pisau yang kena ditendang itu terbang ke atas dan menancap di langit-langit! Tek Hoat tersenyum meng-ejek dan melangkah maju. Akan tetapi Syanti Dewi sudah dapat menguasai dirinya, berdiri tegak dengan dagu diangkat dan memandang dengan sinar mata merendahkan sekali.
"Sudah kuduga, engkau tentu manusia buruk juga. Apa kau kira hanya dengan pisau saja aku dapat membunuh diri? Hendak kulihat, kalau engkau berani menggangguku, lalu aku menutup pernapasanku, atau kutusuk pelipisku dengan jari tangan, atau kubenturkan kepalaku pada dinding, engkau akan dapat mencegahku atau tidak!"
Tek Hoat tertegun dan menghentikan langkahnya. Ancaman gadis itu terdengar mengerikan dan dia tahu bahwa Puteri Bhutan ini mempunyai ilmu silat yang cukup untuk dapat melakukan ancaman-ancaman tadi dengan hasil baik.
"Engkau gadis keras kepala!"
Gerutunya.
"Dan engkau laki-laki rendah budi, kurang ajar, dan keji!"
Syanti Dewi membalas.
"Sekali lagi aku katakan kepadamu bahwa aku datang untuk menolongmu, membawamu keluar dari kota ini dan...."
Tiba-tiba muka pemuda itu berubah dan dari luar menerobos masuk nenek Hek-wan Kui-bo diikuti oleh sepasukan pengawal yang mengiringkan Pangeran Liong Khi Ong sendiri!
"Tek Hoat, benarkah Nona ini adalah Syanti Dewi dari Bhutan?"
Tek Hoat cepat menjura dan berkata dengan suara berat,
"Benar, Pangeran."
"Heh-heh-heh, Pangeran Liong Khi Ong, bukankah benar keteranganku? Aku menemukan dia untuk Paduka!"
Nenek itu terkekeh. Tek Hoat mendongkol sekali dan merasa menyesal mengapa dia tadi tidak mengejar dan membunuh saja nenek yang ternyata amat cerdik ini.
"Bagus, jasamu besar sekali, Kui-bo,"
Pangeran Liong Khi Ong berkata sambil melangkah maju dan memandang Syanti Dewi dengan wajah berseri-seri, kemudian dia menjura dan berkata dengan suara halus dan teratur sebagaimana layaknya seorang pangeran berhadapan dengan seorang puteri raja, dalam hal ini seorang calon isterinya.
"Harap Sang Puteri sudi memaafkan kami bahwa baru saat ini kami dapat berhadapan dengan Sang Puteri yang mulia. Jelas bahwa bumi dan langit memang menghendaki perjodohan antara kita sehingga setelah melalui berbagai rintangan akhirnya kita dapat saling berjumpa juga. Selamat datang, Sang Puteri dan marilah kami iringkan ke tempat peristirahatan untuk menghilangkan kekagetan dan kelelahan."
Puteri Syanti Dewi sejak tadi memandang pria tua itu penuh perhatian. Laki-laki itu tentu sudah lebih dari lima puluh tahun usianya, pakaiannya mewah sekali dan dari muka dan tangannya yang terawat rapi, bahkan ada tanda-tanda bedak di pipinya, membuktikan bahwa pangeran tua itu adalah seorang pesolek.
Pandang matanya jelas membayangkan nafsu berahi yang besar, mata yang seperti berminyak dan mengeluarkan sinar berapi, juga tidak malu-malu memandanginya dari atas ke bawah sehingga Syanti Dewi merasa seolah-olah tubuhnya ditelanjangi dan digerayangi oleh pandang mata itu yang berhenti di tempat-tempat tertentu! Dia bergidik, akan tetapi mengingat bahwa kini dia berhadapan dengan seorang pangeran, biarpun dia tahu bahwa pangeran ini adalah pemberontak, maka ketakutannya menipis dan harapannya timbul bahwa seorang pangeran setidaknya adalah seorang bangsawan terpelajar sehingga tentu tidak akan bertindak sewenang-wenang. Dia cepat berlutut dengan sebelah kaki sebagai tanda penghormatan, berdiri lagi dan berkata sambil menundukkan mukanya.
"Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Paduka Pangeran!"
Dia lalu melirik ke arah Tek Hoat, kemudian ke arah Hek-wan Kui-bo. Nenek itu tersenyum kepadanya akan tetapi pemuda itu mengerutkan alisnya dan memandang kepadanya seperti orang marah-marah.
"Sang Puteri, silakan, mari kami antar ke istana kami yang darurat dan seadanya di kota ini."
Pangeran itu mem-persilakan dengan tangan kanannya dengan sikap hormat.
"Baik, Pangeran, akan tetapi saya harap dapat kiranya pisau saya di sana itu diturunkan dan dikembalikan kepada saya,"
Syanti Dewi menuding ke atas di mana pisaunya masih menancap di langit-langit kamar itu.
"Eh, bagaimana pisau Sang Puteri bisa terbang ke sana!"
Pangeran Liong Khi Ong berseru aneh sambil menoleh kepada Tek Hoat.
"Hamba.... hamba terpaksa membuat pisau itu terlempar dari tangan Sang Puteri karena.... karena beliau tadi hendak menyerang hamba,"
Kata Tek Hoat.
"Hemm, untung Sang Puteri tidak terluka. Tek Hoat, ambil kembali pisau itu!"
"Hi-hi-hik, Pangeran, biarlah hamba yang mengambilnya!"
Nenek itu mendahului Tek Hoat, tangan kanannya didorongkan ke atas ke arah pisau itu. Dari telapak tangan nenek itu menyambar hawa dahsyat ke atas, pisau itu bergoyang-goyang dan nenek itu memperkuat dorongan hawa dari tangannya dan pisau itu akhirnya runtuh dan diterima oleh nenek itu sambil terkekeh. Semua pengawal memandang kagum bukan main dan Tek Hoat diam-diam juga harus mengakui bahwa nenek ini merupakan lawan yang tangguh.
"Bukan main! Engkau ternyata lihai sekali, Kui-bo. Sungguh senang hatiku, memperoleh seorang pembantu lagi yang memiliki kepandaian tinggi."
"Hamba bersedia membantu Paduka sampai berhasil segala yang Paduka cita-citakan, dan hamba hanya mengharapkan ikut menikmati kemuliaan Paduka kelak."
"Ha-ha-ha, tentu saja, Kui-bo. Bantulah kami dan kelak engkau akan kuberi kedudukan yang mulia,"
Pangeran itu mengulurkan tangan dan menerima pisau itu dari tangan Hek-wan Kui-bo, lalu mengamati pisau itu penuh perhatian. Dia menoleh kepada Syanti Dewi sambil bertanya,
"Sang Puteri, kami lihat pisau ini bukanlah buatan Bhutan, sungguhpun amat indahnya!"
"Memang bukan, Pangeran. Pisau itu adalah pemberian seorang sahabat saya yang paling baik."
Sambil berkata demikian, Syanti Dewi membayangkan wajah Jenderal Kao yang seolah-olah menjadi pengganti orang tuanya ketika dia ditinggalkan oleh Gak Bun Beng di dalam benteng jendela itu. Melihat pisau itu disimpan oleh Pangeran Liong Khi Ong di ikat pinggangnya, dia tidak berani minta dan dia hanya berjalan keluar diiringkan oleh pangeran itu dan semua pengawal serta kaki tangannya. Puteri Syanti Dewi yang sekali berjumpa telah membuat pangeran tua itu tergila-gila, segera memperoleh sebuah kamar istimewa di dalam gedung besar yang menjadi tempat tinggal sementara dari Pangeran Liong Khi Ong itu, dilayani oleh lima orang pelayan wanita, diberi pakaian dan perhiasan-perhiasan indah. Akan tetapi dengan halus semua itu ditolak oleh Syanti Dewi. Hati puteri ini masih gelisah. Dia terjatuh ke tangan pangeran yang dahulu dicalonkan menjadi suaminya.
Dahulu dia tidak berani dan tidak dapat membantah kehendak ayahnya dan dia sudah menyerah kepada keadaan, bahkan dia telah diboyong dari istana ayahnya. Akan tetapi sekarang lain lagi persoalannya. Dia telah secara aneh terbebas dari ikatan itu, telah melakukan perantauan dan mengalami hal-hal yang luar biasa, maka kini diam-diam hatinya memberontak dan dia tidak bersedia lagi untuk menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong. Burung manakah yang setelah terbang bebas lepas di udara merindukan kurungan kembali? Teringat akan Gak Bun Beng, dia agak terhibur. Pendekar sakti itu sudah pasti akan mencarinya dan akan menolongnya ke luar dari kurungan baru ini. Akan tetapi hatinya gelisah melihat betapa tugas pertama yang diterima oleh nenek mengerikan itu adalah menjaga di luar kamarnya! Nenek itu sambil tersenyum muncul di pintu dan berkata,
"Wahai, Puteri jelita, Nona calon pengantin yang bahagia! Bukankah semua kata-kataku tepat belaka? Paduka telah berada di kamar seorang pangeran besar! Heh-heh, Paduka patut berterima kasih kepada hamba dan mudah-mudahan kelak Paduka tidak akan lupa akan jasa-jasa hamba."
Syanti Dewi tidak menjawab dan nenek itu terkekeh lagi.
"Dan harap Paduka jangan mencoba untuk melarikan diri dari sini. Aku sendiri yang menjaga di sini atas perintah Pangeran, hi-hi-hik!"
Dan wajah yang buruk itu lenyap dari pintu. Puteri itu menahan tangisnya, dan dia menjatuhkan diri di atas pembaringan dengan penuh kecemasan.
Ceng Ceng mengerahkan tenaga dalamnya untuk membebaskan totokan, namun sebelum dia berhasil, dia telah dibelenggu dengan erat sehingga tidak mampu bergerak lagi. Juga Topeng Setan yang agaknya masih di bawah pengaruh obat bius itu telah dibelenggu erat-erat. Keduanya lalu diangkat dan didudukkan di atas kursi. Tambolon tertawa bergelak dan minum arak untuk memberi selamat kepada diri sendiri yang telah merobohkan gadis lihai dengan pembantunya yang bertopeng itu, ditemani oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut yang lihai, menanti sampai dua orang yang sudah terbelenggu itu sadar, atau tepatnya menanti Topeng Setan sadar karena gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh obat bius yang terkandung di dalam arak yang disuguhkan kepada mereka sebagai ucapan selamat jalan tadi. Topeng Setan siuman kembali dan mengeluh, menggerakkan kepalanya yang tadi terkulai menunduk.
"Ha-ha-ha-ha!"
Tambolon tertawa nyaring,
"Betapapun lihai kalian berdua, mana mampu menandingi kecerdikan kami!"
"Tak tahu malu!"
Ceng Ceng memaki sambil memandang dengan mata berapi.
"Katakan saja kecurangan, siapa bilang kecerdikan?"
Tambolon menghirup araknya lalu melempar cawan arak ke atas meja sambil berkata,
"Ha-ha-ha, Nona manis, engkau seperti seekor kuda betina liar yang pernah kukejar-kejar di padang rumput! Ketahuilah, setiap muslihat yang berhasil selalu merupakan kecerdikan bagi yang menang akan tetapi dianggap kecurangan oleh yang kalah! Kalau hendak membunuhmu, apa sukarnya? Akan tetapi aku sayang sekali, sayang akan kecantikanmu, keliaranmu, dan kepandaianmu, ha-haha. Kuda betina liar seperti engkau ini amat menarik, harus kujinakkan sendiri!"
Raja Tambolon yang sudah setengah mabok itu mengusap mulutnya dengan ujung lengan bajunya, lalu dia memberi aba-aba kepada dua orang pengawal yang berjaga di situ,
"Bawa kuda betina ini ke kamarku!"
Dua orang pengawal itu memberi hormat, lalu menghampiri Ceng Ceng yang sudah terbelenggu kaki tangannya seperti seekor lembu hendak disembelih itu. Mereka mengulur tangan dan mengangkat tubuh Ceng Ceng dari kanan kiri. Pada saat itu, Ceng Ceng mengerahkan tenaga sin-kangnya karena totokan di tubuhnya tadi sudah buyar sendiri, lalu mengumpulkan hawa beracun, mengerahkan ilmunya yang dipelajarinya dari Ban-tok Moli.
"Cuhh! Cuhh!"
Dua kali dia meludah ke kanan kiri, tepat mengenai muka kedua orang pengawal yang sedang mengangkatnya itu. Mereka menjerit, melepaskan tubuh Ceng Ceng dan roboh bergulingan di atas lantai sambil berteriak-teriak, mencakar-cakar muka sendiri yang terkena sudah beracun tadi! Raja Tambolon kaget, memerintahkan pengawal-pengawal lain untuk menyeret pergi dua orang yang terkena ludah beracun itu dan dia sudah mencabut sebatang pedang panjang sambil memandang kepada Ceng Ceng dengan mata marah,
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iblis betina! Kiranya engkau benar-benar iblis beracun! Untung ketahuan kini bahwa engkau adalah ular beracun, siluman ular yang harus dibasmi sebelum mencelakakan kami semua!"
"Huh, mau bunuh lekas bunuh! Siapa sih yang takut mati? Seribu kali lebih baik mati dengan gagah daripada hidup menjadi pengecut curang macam kamu, raja liar!"
Ceng Ceng memaki-maki. Tiba-tiba Topeng Setan berkata,
"Sri Baginda, tahan dulu! Kita merupakan dua kekuatan yang kalau bersatu padu akan mendatangkan keuntungan besar. Mengapa menjadi bentrok sendiri? Membunuh kami berdua pun tidak ada gunanya karena Sri Baginda bersama seluruh pasukan telah masuk perangkap dan hanya kami berdualah yang akan dapat menolong."
Ceng Ceng merasa heran sekali mendengar ucapan Topeng Setan itu, akan tetapi dia juga amat cerdas dan dapat menduga bahwa tentu orang yang menjadi pembantunya, juga penolong dan sahabatnya, boleh dibilang gurunya pula, mempu-nyai suatu akal yang belum dapat dia menduganya.
"Eh, Topeng Setan!"
Bentaknya.
"Perlu apa bicara dengan raja biadab ini? Biar saja dia dan pasukannya tertumpas habis, hendak kulihat bagaimana dia akan dapat membunuh kita!"
Raja Tambolon mengerutkan alisnya, tangannya yang memegang pedang ragu-ragu.
"Sri Baginda, jangan mendengar gertakan mereka!"
Yu Ci Pok Si Siucai berkata.
"Bunuh saja, Sri Baginda. Wanita ini terlalu berbahaya dengan kelihaian racunnya!"
Liauw Kui juga berkata. Tiba-tiba Topeng Setan tertawa bergelak.
"Sayang sekali! Sri Baginda Tambolon yang benar-benar gagah perkasa itu mempunyai pembantu-pembantu yang tolol. Sahabatku ini seorang beng-cu, mana mungkin hanya menggertak sambal belaka? Kalau kita berniat buruk, apa sih sukarnya meloloskan diri?"
Sambil berkata demikian, Topeng Setan menggerakkan kaki tangannya. Terdengar suara keras dan semua belenggu itu patah-patah dan dia sudah bebas! Dengan cepat dia lalu menghampiri Ceng Ceng dan mematah-matahkan belenggu kaki tangan dara itu.
"Aihh, kenapa engkau tergesa-gesa?"
Ceng Ceng berkata, seolah-olah menegur Topeng Setan.
"Apa kau kira aku sendiri tidak bisa membebaskan diri? Tadinya aku masih ingin melihat apakah raja liar ini akan dapat membunuh kita."
"Maaf, Beng-cu. Kiranya Sri Baginda Tambolon sudah dapat mendengar kata-kata kita yang bermaksud baik."
Tambolon dan dua orang pembantunya kaget setengah mati. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang ini benar-benar lihai bukan main dan tadi agaknya hanya pura-pura saja. Jelas bahwa gadis itu tidak terpengaruh obat bius, akan tetapi Topeng Setan itu pun agaknya hanya pura-pura pingsan saja!
"Kepung....!"
Tambolon berteriak karena khawatir kalau-kalau dua orang ini akan mengamuk dan lolos.
"Sri Baginda, apakah masih tidak percaya kepada kami?"
Topeng Setan berkata.
"Pasukanmu sengaja disuruh menduduki dusun yang tidak ada artinya ini, karena pasukan Kim Bouw Sin sebenarnya menganggap pasukan Paduka hanya pasukan liar yang harus dibasmi, akan tetapi lebih dulu akan dipergunakan menentang pemerintah."
"Bohong! Sudah lama aku berhubungan dengan Pangeran Liong!"
Tambolon berteriak.
"Paduka sungguh tidak dapat berpikir panjang. Pangeran Liong adalah dua orang saudara pemberontak, mana mungkin mempunyai hati setia? Seorang pemberontak adalah orang yang tidak setia kepada rajanya. Kalau kepada rajanya sendiri, bahkan dalam hal ini kakaknya sendiri, tidak dapat setia, apalagi terhadap Paduka yang dianggap raja bangsa liar? Selama mereka membutuhkan, tentu saja mereka bersikap baik kepada paduka, akan tetapi mereka akan menghancurkan pasukan Paduka begitu mereka tidak memerlukannya lagi."
Ceng Ceng terheran-heran mendengar semua kata-kata Topeng Setan ini. Biasanya, pembantunya yang tak pernah dia lihat mukanya ini jarang bicara, dan amat pendiam. Akan tetapi sekarang pandai sekali bicara, dan mengerti tentang seluk-beluk pemerintah dan pemberontakan agaknya.
"Hemm.... hemmm.... orang bertopeng! Siapakah engkau? Mari duduk dan bicara, apa yang menjadi kehendakmu."
Raja Tambolon mempersilakan mereka duduk dan memberi tanda dengan tangannya, sehingga semua anggauta pasukan yang sudah mengepung tempat itu mengundurkan diri. Dia tidak khawatir terhadap dua orang lihai ini karena selain dia sendiri dan dua orang pembantunya juga berkepandaian tinggi, juga di luar masih ada pasukannya yang amat banyak dan tidak mungkin dua orang ini dapat lolos. Akan tetapi dia tertarik sekali oleh kata-kata Topeng Setan tadi. Setelah mereka duduk, Ceng Ceng yang mulai mengerti bahwa temannya itu tentu hendak menggunakan suatu taktik yang amat lihai, berkata mengejek,
"Sri Baginda, apakah masih ada arakmu yang mengandung racun lebih hebat daripada tadi?"
Raja Tambolon tertawa,
"Ha-ha-ha, engkau memang hebat, Nona, baik sebagai kawan maupun sebagai lawan engkau amat mengesankan. Apa artinya arak beracun bagi seorang dewi beracun seperti engkau? Haii, pelayan! Ambil arak wangiku dari kamar!"
Pelayan berlari-lari dan tak lama kemudian mereka berlima kembali duduk seperti tadi, mengelilingi meja sambil minum arak wangi.
"Nah, sekarang perkenalkan dirimu dan ceritakan maksud hatimu,"
Kata Tambolon.
"Semua orang mengenal saja sebagai Topeng Setan dan Nona ini adalah Nona Lu Ceng beng-cu dari kalangan liok-lim yang terkenal dan baru-baru ini diangkat dalam pemilihan. Kami tahu betul bahwa pihak pemberontak hanya mempergunakan pasukan Paduka untuk memperkuat diri. Karena melihat bahwa Paduka adalah orang gagah, maka kami lebih senang berkawan daripada berlawan. Dengan berkawan kita dapat bersama-sama menghadapi Kim Bouw Sin dan pasukan pembe-rontaknya."
"Huh! Topeng Setan, jangan bicara yang bukan-bukan! Kalau memang Pangeran Liong dan Panglima Kim Bouw Sin berhati bengkok, kami pasti akan membasminya. Akan tetapi jangan mengharap kami akan memban-tu Kerajaan Ceng-tiauw! Kalian agaknya adalah mata-mata Pemerintah Ceng!"
"Raja Tambolon, jangan engkau bicara sembarangan saja!"
Tiba-tiba Ceng Ceng membentak.
"Aku adalah seorang bengcu, mana sudi merendahkan diri menjadi mata-mata?"
Lalu dia menoleh kepada Topeng Setan sambil berkata,
"Apa kubilang tadi! Percuma saja bicara dengan orang-orang bodoh ini, membuang-buang tenaga dan waktu saja. Biarkan saja mereka ini hancur lebur!"
Raja Tambolon menepuk meja.
"Baiklah, aku mendengarkan! Coba katakan, mengapa engkau menduga bahwa kami ditipu oleh pasukan pemberontak?"
"Bukan menduga saja, Sri Baginda. Beng-cu telah menyebar banyak penyelidik dan dari para penyelidik itulah kami mengetahui akan hal itu."
"Nanti dulu, Topeng Setan. Kalau kalian bukan mata-mata Pemerintah Ceng, mengapa kalian tadi membela Panglima Thio yang mengepalai pertahanan di Ang-kiok-teng ini?"
Si Siucai yang cerdik bertanya dan kembali Tambolon timbul kecurigaannya.
"Phuihhh!"
Ceng Ceng bangkit berdiri dan menggebrak meja sehingga mangkok piring berloncatan di atas meja.
"Masih tidak percaya? Apakah hal begitu saja kalian tidak dapat menduga? Kalau kami tidak membantu mereka, tentu mereka itu tentu akan tahu bahwa kami berada di pihak musuh dan semua anak buah kami tentu akan celaka! Dan kalau memang kami membantu musuh apa kau kira aku sudi memberi obat penyembuh seratus orang-orangmu? Pendeknya, pilih satu antara dua. Percaya dan menjadi sahabat kami, atau tidak percaya dan menjadi musuh kami!"
Tambolon mengangkat tangannya.
"Sabarlah, Nona.... eh, Beng-cu. Kalian muncul dengan tiba-tiba membuat kami bingung, apalagi mendengar akan berita yang aneh dan mengejutkan itu."
"Sri Baginda, kalau memang Panglima Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong berniat baik, mengapa pasukanmu tidak disuruh masuk ke Koan-bun saja? Mengapa diberi dusun kecil tidak ada artinya ini? Padahal pemusatan kekuatan pasukan mereka berada di Teng-bun! Dusun ini miskin dan tidak mempunyai benteng yang ketat, sebaliknya Koan-bun penuh dengan harta benda dan benteng yang kuat. Bahkan semua perbekalan untuk pasukan pemberontak dipusatkan di Koan-bun. Nah, kalau pasukan Sri Baginda di sini dikepung dan diserbu, bagaimana akan dapat mempertahankan diri? Maka usul kami, mari kita bersatu, anak buah kami akan kami kerahkan sebagai penyelundup-penyelundup dan kita serbu Koan-bun. Kalau pasukan Paduka sudah bekedudukan di benteng itu, kita tidak takut terhadap serbuan siapa pun."
"Bagus!"
Tambolon berteriak girang.
"Sungguh pikiran yang bagus! Andaikata tidak benar Pangeran Liong memusuhi dan menipu kami, masih bisa kami kemukakan alasan bahwa pasukanku tidak suka di dusun ini, maka kami mengambil alih Koan-bun. Bagus! Kita bergerak malam nanti!"
"Nanti dulu, Sri Baginda....!"
Liauw Kui Si Petani Maut berkata sambil mengerutkan alisnya,
"Topeng Setan, usulmu memang baik sekali. Akan tetapi, mengapa kalian mengusulkan kerja sama menyerbu Koan-bun ini? Kalau kalian tidak berpihak kepada Pemerintah Ceng, mengapa kalian memusuhi Pangeran Liong dan Panglima Kim?"
Diam-diam Ceng Ceng dan Topeng Setan memuji kecerdikan dua orang pembantu dari Raja Tambolon itu. Ceng Ceng cepat membantu Topeng Hitam dengan jawaban yang lantang,
"Kami tidak membantu siapa-siapa dan memusuhi siapa-siapa, melainkan bergerak demi kepentingan kami sendiri, demi kepentingan perkumpulan kami. Aku diangkat menjadi beng-cu tidak percuma, aku hanya dapat memperlihatkan bahwa mereka tidak sia-sia memilih aku sebagai beng-cu! Kami melihat betapa sia-sia usaha para pemberontak hendak menggulingkan pemerintah yang terlalu kuat, dan kami melihat betapa pasukan pemberontak telah mengumpulkan harta benda yang arnat banyak di Koan-bun dan Teng-bun. Maka, kesempatan baik ini mengapa kami sia-siakan? Selagi para pemberontak saling gempur, kita turun tangan mencari keuntungan di sini, bukankah itu baik sekali?"
Topeng Setan berkata dengan nada mencela,
"Beng-cu, urusan pribadi kita mengapa harus diberitahukan orang lain?"
"Biarlah. Mereka telah menjadi sahabat kita, bukan?"
Ceng Ceng menjawab. Raja Tambolon tertawa girang.
"Baik, kita bekerja sama. Di mana anak buah kalian?" "Mereka tersebar di Koan-bun dan Teng-bun dan setiap saat dapat bergerak, tinggal menanti perintah dari Beng-cu,"
Kata Topeng Setan.
"Kalau begitu, pergilah seorang di antara kalian untuk menggerakkan mereka. Malam nanti kita mengadakan persiapan dan besok malam kita menyerbu Koan-bun,"
Raja Tambolon berkata.
"Topeng Setan, kita pergi!"
Ceng Ceng bangkit berdiri.
"Nanti dulu!"
Raja Tambolon juga berdiri dan mengangkat tangan kanannya ke atas.
"Maaf, bukan karena kurang percaya, melainkan kami harus berhati-hati. Kami hanya mau bekerja sama dan mau percaya kalau seorang di antara kalian yang pergi melaksanakan tugas itu. Orang ke dua tinggal di sini bersama kami!"
"Kau tetap tidak percaya?"
Ceng Ceng membentak marah.
"Harap Lu-bengcu suka beristirahat saja di sini, biarlah saya yang menghubungi teman-teman kita. Malam nanti atau selambat-lambatnya besok pagi saya tentu sudah kembali."
Ceng Ceng mengangguk. Dia tahu bahwa sahabatnya itu hendak menjalankan sesuatu yang tidak diketahuinya. Yang jelas, siasat Si Topeng Setan itu telah mengadu domba antara Tambolon dan pasukan pemberontak, suatu siasat yang baik sekali untuk membantu pemerintah secara tidak langsung dan untuk mengurangi kekuatan pemberontak!
Dia makin kagum kepada pembantunya ini. Kiranya Topeng Setan juga berjiwa patriotik, menggunakan kesempatan itu untuk berpura-pura tertawan, kemudian menjalankan siasat bersahabat dengan mengadu domba dua kekuatan yang merupakan bahaya bagi pemerintah. Setelah Topeng Setan berangkat, Ceng Cang lalu beristirahat di dalam sebuah kamar yang disediakan untuknya, hatinya girang bahwa dengan bantuan Topeng Setan dia akan dapat melakukan sesuatu untuk negara. Akan tetapi kalau dia teringat akan nasibnya, semua rasa girang itu lenyap. Setelah selesai urusan ini, aku akan mengerahkan seluruh waktuku untuk mencari Si Jahanam itu, demikian pikirnya ketika dia teringat akan musuh besarnya, pemuda laknat itu. Dan aku akan minta bantuan Topeng Setan!
"Gak-suheng, kita harus mencari Lee-ko!"
Kian Bu berkata setelah dia berhasil diselamatkan oleh Gak Bun Beng dari pengeroyokan Tek Hoat dan Hek-wan Kui-bo yang lihai.
"Dan kita harus juga mencari Dewi,"
Gak Bun Beng berkata pula. Mereka berdua lalu berusaha mencari dua orang itu, namun hasilnya sia-sia belaka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah ditawan oleh Hek-wan Kui-bo dan dibawa lari ke Teng-bun, sedangkan Kian Lee dirawat oleh anak perempuan dari Ketua Pulau Neraka di dalam sebuah rumah. Pada waktu itu, kota Koan-bun geger karena pihak pemberon-tak mengadakan operasi pembersihan. Hal ini menghalangi Bun Beng dan Kian Bu melanjutkan usaha mereka mencari Syanti Dewi dan Kian Lee. Setiap kali bertemu dengan pasukan pemberontak yang melakukan penggeledahan di sana-sini, mereka segera bersembunyi.
"Ah, aku khawatir sekali bahwa mereka keduanya telah tertawan pihak pemberontak,"
Akhirnya Gak Bun Beng berkata dengan suara penuh kekhawatiran. Tentu saja dia memikirkan Syanti Dewi. Kalau sampai terjatuh ke tangan Pangeran Liong Khi Ong, tentu sukar untuk ditolong lagi. Diam-diam dia menyesal mengapa dia begitu lengah sehingga dapat terpisah dari gadis yang seharusnya berada di dalam perlindungannya itu. Tiba-tiba mereka melihat dari tempat persembunyian mereka sebuah kereta yang tertutup dan dikawal oleh pasukan pengawal di depan, sedangkan di belakang tampak mengawal seorang pemuda. Bun Beng dan Kian Bu segera mengenal pemuda lihai yang mereka lawan tadi.
"Ah, yang di dalam kereta itu jangan-jangan orang yang kita cari...."
Gak Bun Beng berkata.
"Kita serbu saja....?"
Kian Bu berbisik. Bun Beng yang lebih berhati-hati itu menggeleng kepala. Dia maklum bahwa kalau mereka berdua menggunakan kekerasan di dalam kota yang sudah tertutup itu, berarti mencari mati karena tentu mereka akan dikeroyok oleh ratusan, bahkan ribuan orang pasukan pemberontak, belum lagi orang-orang lihai sekali yang menjadi kaki tangan pemberontak.
"Tunggu sebentar di sini, aku ada akal!"
Kata Bun Beng dan sekali berkelebat dia lenyap dari situ, membuat Kian Bu yang juga memiliki kepandaian tinggi itu menjadi kagum. Dan tak lama kemudian, Bun Beng sudah datang lagi membawa seorang perajurit pemberontak yang tadi menyendiri dan berhasil ditangkap dan ditotoknya, lalu dibawanya ke belakang rumah kosong di mana mereka ber-sembunyi itu.
"Hayo katakan siapa yang berada di dalam kereta yang lewat tadi! Kalau membohong, terpaksa kubunuh engkau!"
Bun Beng menghardik dan memijat suatu urat di punggung yang mendatangkan rasa nyeri luar biasa sehingga orang itu berkata sambil menyeringai.
"Ampun.... di dalam kereta adalah Pangeran Liong Khi Ong dan Panglima Kim Bouw Sin....!"
Bun Beng dan Kian Bu terkejut mendengar ini.
"Mereka ke mana?"
"Ke.... ke Teng-bun....!"
Bun Beng mendorong orang itu ke samping dan terdengar suara berdesing disusul jerit tertahan. Bun Beng menoleh dan melihat orang itu telah tewas disambar batu kepalanya.
"Mengapa kau melakukan itu?"
Tanyanya dengan alis berkerut kepada Kian Bu. Kian Bu menarik napas panjang.
"Suheng, dalam keadaan sekacau ini terpaksa kita harus bertindak keras. Kalau tidak kubunuh dia, tentu dalam waktu sebentar saja mereka akan mengerahkan pasukan besar untuk mencari dan mengejar-ngejar kita. Pula, keterangan itu amat penting. Setelah Pangeran Liong Khi Ong sendiri berada di sini dan pergi ke Teng-bun bersama panglima pemberontak itu, sudah pasti mereka akan melakukan gerakan."
Gak Bun Beng mengangguk.
"Memang, dan hal itu amat penting sekali untuk segera dilaporkan kepada.... Puteri Milana dan Jenderal Kao. Akan tetapi, kita belum dapat menemukan kakakmu dan Syanti Dewi...."
"Habis, bagaimana baiknya, Gak-suheng? Kedua urusan itu penting!"
"Sebaiknya engkaulah yang pergi me-lapor tentang Pangeran Liong dan Panglima Kim itu kepada kakakmu Puteri Milana dan Jenderal Kao, sedangkan aku mencari Syanti Dewi dan Kian Lee di tempat berbahaya ini."
"Ke mana aku harus mencari mereka?"
"Kubantu engkau keluar dari pintu gerbang selatan, dan dari situ engkau langsung ke selatan di mana terdapat sebuah bukit. Setelah engkau mendaki bukit itu, di balik bukit terdapat hutan lebat. Di sanalah Jenderal Kao mempersiapkan pasukannya."
Setelah menerima petunjuk-petunjuk Gan Bun Beng, Kian Bu bersama pendekar sakti itu lalu mencari jalan di antara rumah-rumah penduduk menuju ke gerbang selatan. Hari telah mulai gelap sekali, awan menutupi angkasa yang seolah-olah ingin menyembunyikan diri agar jangan menyaksikan kebuasan manusia-manusia di dalam perang.
Penjagaan di sepanjang pagar tembok ketat sekali. Kota Koan-bun ini merupakan benteng pertahanan pertama dari barisan pemberontak, maka Panglima Kim Bouw Sin telah memerintahkan agar dilakukan operasi pembersihan dan penjagaan yang amat ketat dan telah mengerahkan sebagian pasukannya untuk mempertahankan dan menjaga Koan-bun itu. Terutama sekali penjagaan empat pintu gerbang di empat penjuru, ada kurang lebih seratus orang tentara menjaga di setiap pintu gerbang. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang peronda di bawah pagar tembok sambil menuding ke depan. Tampak ada bayangan berkelebat di sebelah barat. Teriakan ini disusul oleh berkumpulnya puluhan orang penjaga dan nampak anak panah berserabutan meluncur ke arah bayangan tadi yang dengan cepat menghilang. Selagi para penjaga mencari-cari dan memperketat penjagaan di bagian itu, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang tadi di sebelah timur.
"Tuh dia....!" "Tangkap mata-mata!"
"Serang anak panah!"
Kembali orang-orang yang menjaga di bagian itu berlarian ke arah tempat itu dan anak-anak panah beterbangan. Namun hanya sebentar saja bayangan itu memperlihatkan diri karena dia sudah lenyap lagi dan tak lama kemudian dia muncul kembali di barat. Sekali ini dia berdiri di tempat terang di bawah lentera yang tergantung di pagar tembok. Tentu saja para penjaga, baik yang di bawah maupun di atas benteng, segera berdatangan ke tempat orang itu dan lebih dulu mereka menghujankan anak panah.
Akan tetapi orang itu hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya dan semua anak panah runtuh ke sekeliling tubuhnya, menancap di atas tanah di sekitarnya! Kini puluhan orang pasukan pemberontak menyerbu dengan pedang, golok, atau tombak di tangan mereka. Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng yang segera menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana ke mari mengelak dari semua serangan dengan amat mudahnya. Kemudian tiba-tiba dia menghilang di tempat gelap dan selagi para penjaga itu sibuk mencarinya, dia sudah muncul lagi di tempat lain yang tampak dari situ sehingga para penjaga ini dibikin kacau dan bingung oleh gerakannya yang amat cepat itu, sampai akhirnya semua kekuatan pasukan penjaga di bagian selatan dikerahkan untuk menangkap atau membunuh pengacau yang amat lihai ini. Dan memang itulah yang dikehendaki oleh Bun Beng.
Pada saat semua penjaga tertarik perhatiannya oleh pengacauannya itu, Kian Bu memperoleh kesempatan baik sekali, meloncat ke pintu gerbang, bagian paling rendah di antara pagar tembok itu, merobohkan dua orang yang bertugas menjaga di situ sedangkan semua penjaga yang lain ikut mengeroyok Bun Beng, kemudian terus naik ke pagar tembok dan dengan mudahnya keluar dari kota Koan-bun. Teriakan dua orang penjaga pintu gerbang yang dirobohkan Kian Bu menarik perhatian mereka yang mengeroyok Bun Beng. Sebagian meninggalkan pengacau ini karena terlalu banyak orang menge-royok pun tidak ada artinya, bahkan gerakan mereka menjadi kaku dan kacau. Sebagian dari mereka berlari-larian ke pintu gerbang, akan tetapi mereka tidak dapat melihat siapa yang telah merobohkan dua orang penjaga itu, sedangkan Bun Beng yang melihat Kian Bu telah berhasil keluar dari kota, lalu menghilang pula di dalam kegelapan malam!
Kian Bu mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sekali ke selatan. Untung bahwa mendung tebal telah pergi terbawa angin ke utara, sehingga kini tampaklah sinar bulan sepotong yang dibantu oleh beberapa buah bintang menerangi jalan kecil itu. Bukit di depan nampak seperti seorang raksasa berdiri tegak dan Kian Bu mempercepat larinya menuju ke bukit itu. Ternyata bahwa bukit itu tidak berapa jauh dari Koan-bun dan segera dia dapat melewati puncaknya, lalu menurun menuju ke hutan yang hanya tampak dari atas sebagai tempat menghitam yang mengerikan. Akan tetapi baru saja dia tiba di luar hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan hampir saja dia jatuh mene-lungkup ketika kakinya terjerat tali yang ditarik orang kanan kiri dan bermunculanlah orang-orang dari depan kanan kiri dan mengepungnya!
"Tahan....!"
Kian Bu berseru karena dapat menduga bahwa dia telah tiba di tempat yang dituju dan mereka ini tentulah penjaga-penjaga pasukan Jenderal Kao yang mempunyai barisan pendam di hutan itu.
"Aku datang untuk bertemu dengan Puteri Milana! Aku bukan musuh!"
Orang-orang yang sudah mengepung ketat itu datang makin rapat, menodongkan senjata mereka ke arah pemuda itu. Seorang di antara mereka menghardik,
"Ikut dengan kami menghadap!"
Kian Bu bersikap sabar dan dengan todongan senjata di sekelilingnya, dia digiring masuk ke dalam hutan. Beberapa orang perajurit mendekatkan lentera sehingga mereka dapat melihat wajah Kian Bu, akan tetapi tidak ada seorang pun mengenalnya, maka tentu saja pengepungan menjadi makin ketat.
Diam-diam Kian Bu memuji mereka ini sebagai perajurit-perajurit yang baik, karena kalau perajurit-perajurit seperti ini yang menjaga pagar tembok kota Koan-bun tadi, agaknya dia tidak dapat keluar demikian mudahnya. Masuknya seorang mata-mata di tempat pemusatan pasukan rahasia itu tentu saja merupakan hal yang amat penting. Kalau pihak pemberontak mengetahui akan pemusatan pasukan pemerintah di tempat itu, tentu semua rencana akan menjadi gagal. Maka begitu mendengar bahwa ada mata-mata memasuki hutan dan telah ditangkap, Jenderal Kao sendiri besama Puteri Milana keluar untuk melihat tawanan mata-mata itu. Ketika melihat bahwa yang disangka mata-mata itu adalah Kian Bu, tentu saja mereka menjadi girang sekali.
"Lepaskan dia, orang sendiri!"
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jenderal Kao membentak. Para penjaga itu terkejut dan girang sekali bahwa mereka tadi tidak lancang tangan menyerang pemuda itu yang kelihatan begitu akrab dengan Jenderal Kao dan Puteri Milana, bahkan puteri itu sudah memegang lengannya dengan senyum manis. Mereka lalu memberi hormat kepada Kian Bu dan pemimpin mereka mengucapkan pernyataan maaf. Kian Bu tertawa.
"Kalian adalah penjaga-penjaga yang amat baik."
Maka kembalilah pasukan penjaga itu ke tempat penjagaan masing-masing dengan hati lega karena mereka tidak dimarahi, bahkan dipuji. Sementara itu, Kian Bu cepat diajak masuk ke dalam pondok darurat oleh Milana dan Jenderal Kao. Tak lama kemudian pemuda itu sudah menceritakan semua keadaan di kota Koan-bun dengan jelas. Juga diceritakannya betapa munculnya pasukan liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri menggegerkan kota Koan-bun sehingga dia bersama Kian Lee terpisah dari Bun Beng dan Syanti Dewi. Kemudian betapa Kian Lee terluka oleh senjata peledak yang dilepas nenek buruk rupa, kemudian betapa dia pun terpisah dari Kian Lee sampai dia ditolong oleh Gak Bun Beng.
"Gak-suheng cepat menyuruh saya datang melapor ke sini setelah kami ketahui bahwa Pangeran Liong Khi Ong ternyata tadinya juga berada di Koan-bun dan sekarang bersama Kim Bouw Sin telah berada di Teng-bun."
Milana mengerutkan alisnya. Dia khawatir sekali mendengar bahwa adik tiri-nya, Suma Kian Lee, terluka dan lenyap, juga bahwa Puteri Syanti Dewi lenyap dan kini masih dicari-cari oleh Gak Bun Beng di Koan-bun. Akan tetapi karena dia sedang menghadapi tugas pemerintah yang lebih penting lagi, maka dia tidak menyinggung urusan yang amat dikhawatirkannya itu dan dia berkata kepada Jenderal Kao,
"Hadirnya Pangeran Tua itu tentu merupakan tanda bahwa mereka sudah siap untuk menyerbu ke selatan. Agaknya kedua orang Pangeran Tua itu memecah diri, yang seorang mendampingi Kim Bouw Sin merupakan penyerbuan dari luar, sedangkan yang seorang lagi tentu melakukan gerakan dari dalam."
Jenderal Kao mengangguk-angguk dan mengusap-usap jenggotnya.
"Jalan satu-satunya hanyalah menghancurkan mereka sebelum mereka bergerak! Kalau sampai terjadi perang di selatan tentu akan menimbulkan kerusakan hebat di kalangan rakyat. Akan tetapi, saya tahu betapa kuatnya benteng Teng-bun, dan menurut penyelidikan saya kekuatan mereka cukup besar, terdiri dari tiga puluh ribu orang lebih. Menyerbu Teng-bun merupakan pekerjaan yang sulit dan tentu akan makan korban banyak perajurit."
"Bagaimana kalau kita menyerbu Koan-bun?"
Sepasang Pedang Iblis Eps 41 Pendekar Super Sakti Eps 39 Sepasang Pedang Iblis Eps 12