Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 10


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Byuurrr....!"

   "Wah, celaka....!"

   Tukang perahu berteriak dan diapun meloncat ke dalam air mengejar buntalannya yang dibuang.

   "Byuurr....!"

   Air muncrat ke atas dan tukang perahu lenyap, menyelam untuk mengejar buntalan yang sudah tenggelam. Tubuh tukang perahu terseret air yang mengalir cepat. Ceng Ceng melongo, mukanya agak pucat. Melihat tukang perahu itu lenyap ditelan air, dia kaget dan merasa khawatir sekali. Kekhawatiran yang menimbulkan penyesalan. Jangan-jangan tukang perahu itu akan mati terseret arus yang kencang, pikirnya. Buntalan itu tentu amat penting baginya. Mungkin segala harta milik tukang perahu yang miskin itu berada di dalam buntalan, maka tentu saja dia mati-matian mempertahankan miliknya dan jangan-jangan dia mengorbankan nyawa dalam mengejar buntalan.

   "Ceng-moi.... celaka.... perahunya hanyut dan miring....!"

   Terdengar jerit Sian Cu. Ceng Ceng tersadar dan dia mendekati encinya. Segera diapun menjadi bingung. Perahu terseret dan terbawa arus yang kuat sekali dan karena perahu itu kehilangan kemudi, maka dipermainkan air oleng ke kanan kiri. Ditambah lagi kepanikan mereka yang berdiri di perahu, menjaga keseimbangan badan ketika perahu oleng, malah menambah miring perahu. Kedua orang dara itu menjadi makin bingung!

   "Bagaimana, Ceng-moi? Bagaimana kita harus menahan perahu? Mana dayungnya?"

   Sian Cu menjerit-jerit ngeri karena dia tidak pandai renang.

   "Dayungnya....?"

   Ceng Ceng terkejut. Dayung, tali layar, semua telah dibuangnya, bahkan layarnya telah dirobek-robeknya! Dia tidak mampu menjawab, dan tidak tahu harus berbuat apa, untuk menyelamatkan perahu dan mereka berdua. Karena tidak dapat melakukan sesuatu, Ceng Ceng hanya merangkul dan melindungi Sian Cu dengan lengannya sambil berpegang erat-erat pada tihang layar yang terbuat dari bambu itu.

   "Jangan bergerak-gerak, enci. Tenang saja agar perahu hanyut dengan tenang!"

   Kedua orang dara itu tak bergerak dan benar saja, perahu itu tidak lagi miring-miring, akan tetapi setengahnya telah terendam air dan kini hanyut dengan kecepatan yang mengerikan. Untung bahwa bagian sungai itu tidak dalam dan tidak ada batu-batu menonjol sehingga perahu mereka dapat hanyut terus, tidak menabrak batu yang tentu akan membuat perahu tenggelam. Karena menghadapi bahaya maut yang mengerikan ini, kedua orang dara itu sudah lupa lagi kepada tukang perahu yang tadi meloncat ke air. Perahu hanyut dengan cepat dan memasuki sebuah dusun yang besar dan ramai. Di tempat ini banyak sekali perahu berada di sungai dan begitu perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu datang dengan cepatnya, gegerlah para nelayan di situ. Perahu-perahu yang berada di tengah dan sedang didayung seenaknya cepat-cepat didayung minggir.

   "Minggir....! Perahu hanyut....!"

   "Celaka...! Krakkkk....!"

   "Braaakkkk! Krakkkk....!"

   Teriakan-teriakan terdengar dan dua buah perahu yang tidak keburu minggir telah ditabrak oleh perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam, berikut perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu!

   "Ceng-moi....!"

   Terdengar Sian Cu menjerit sebelum tubuhnya tenggelam.

   "Enci Syanti!"

   Ceng Ceng juga menjerit dan dara itu biarpun belum pernah belajar berenang, namun dia telah men-dengar bagaimana caranya berenang. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dan menendang-nendangkan kakinya sehingga tubuhnya tidak tenggelam, akan tetapi karena gerakannya ngawur,

   Tubuhnya segera terseret oleh arus deras. Orang-orang di situ masih panik dan bingung karena peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, maka tidak ada yang melihat gadis yang hanyut terbawa air yang kencang itu. Mereka yang tadinya duduk di dalam perahu yang pertama tertabrak, sebanyak lima orang, sudah berenang dan berusaha membalikkan perahu mereka. Adapun perahu kedua yang tenggelam, tidak tampak timbul kembali, juga penumpangnya, seorang laki-Iaki setengah tua, tidak kelihatan muncul di permukaan air. Tiba-tiba terdengar banyak orang berteriak-teriak keheranan. Siapa tidak akan menjadi keheranan dan kagum sekali ketika melihat perahu kedua yang tenggelam tadi, tiba-tiba saja muncul dan perahu itu seperti bersayap, tahu-tahu telah "terbang"

   Di atas permukaan air dan terus mendarat!

   Di atas perahu itu seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian basah kuyup memegang dayung panjang di tangan kanan dan mengempit tubuh Syanti Dewi di tangan kiri, berdiri dan mengatur keseimbangan perahu yang meluncur itu dengan tubuh-nya. Setelah perahu itu mendarat di atas pasir, setelah tadi "terbang"

   Melalui beberapa buah perahu lainnya, laki-laki itu meloncat dari perahu, terus berjalan pergi dengan cepat sambil memondong Syanti Dewi atau Sian Cu yang masih pingsan! Tentu saja semua orang terheran-heran, apalagi setelah mereka berusaha mengejar, laki-laki itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Ramailah orang membicarakan orang yang aneh itu. Dari keterangan beberapa orang yang mengenal laki-laki aneh itu, ternyata bahwa laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun itu baru dua bulan lebih tiba di Kiu-teng, yaitu dusun di mana terjadi peristiwa hebat dan aneh itu tadi.

   Laki-laki itu seringkali duduk di dalam perahu, termenung, kadang-kadang mengangkut barang dagangan menyeberang atau ke tempat lain yang tidak begitu jauh. Orang itu pendiam, jarang sekali bicara akan tetapi karena pandang matanya dan tutur bahasanya yang jarang itu selalu manis budi, semua orang suka kepadanya. Dalam menerima biaya pengangkutan, orang itupun tidak cerewet sehingga mulai memperoleh banyak langganan. Anehnya, mereka yang mengenal orang itu, mereka sering kali melihat orang itu mengajak anak-anak kecil untuk bermain-main, mengajar mereka berenang, bernyanyi dan bermain-main. Lebih mengherankan lagi, orang itu hampir selalu menghabiskan uang hasil pekerjaannya untuk menyenangkan hati anak kecil itu, bahkan beberapa kali dia membelikan pakaian untuk anak-anak yang miskin.

   "Siapa namanya?"

   Tanya seorang.

   "Dia tentu seorang pendekar sakti yang menyamar!"

   "Mungkin dia seorang dewa! Kalau manusia, mana mampu menerbangkan perahu?"

   Orang yang mengenal laki-laki aneh itu menggelengkan kepalanya.

   "Itulah anehnya. Dia tidak pernah mau mengaku siapa namanya, hanya mengatakan bahwa dia she Gak, sehingga akupun hanya menyebutnya Gak-twako (kakak Gak). Anehnya, sikapnya biasa dan sederhana saja. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu!"

   Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh takjub.

   Bagi yang mengenal laki-laki setengah tua itu tentu tidak akan heran menyaksikan kesaktiannya, karena orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Para pembaca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS tentu tidak akan pernah melupakan nama ini! Pada waktu itu, di dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS, Gak Bun Beng masih muda, seorang pemuda yang memiliki kesaktian yang luar biasa karena pemuda ini telah banyak mewarisi ilmu silat yang tinggi sekali. Selain ketika masih kanak-kanak dia menjadi murid seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai, ketika menjelang dewasa dia secara kebetulan mewarisi ilmu kesaktian peninggalan seorang manusia dewa yang bernama Koai Lojin. Bukan itu saja, bahkan pernah dia menerima warisan ilmu dari kakek sakti Bu-tek Siauw-jin datuk Pulau Neraka, dan pernah pula menerima pendidikan sin-kang dari Pendekar Super Sakti!

   Di waktu dia masih muda saja dia telah memiliki kesaktian-kesaktian luar biasa itu, di antaranya adalah ilmu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit), Tenaga Sakti Inti Bumi dari Bu-tek Siauw-jin, gabungan tenaga sin-kang Swat-im-sin-kang dan Hui-yang-sin-kang dari Pendekar Super Sakti, di samping ilmu silat-ilmu silat lain yang kesemuanya bertingkat tinggi! Hanya sayang pemuda yang tampan dan gagah perkasa itu malang nasibnya sehingga banyak mengalami kesengsaraan (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), bahkan pertalian cinta kasihnya dengan Milana, puteri sulung Pendekar Super Sakti, telah gagal dan putus.... Pada akhir cerita SEPASANG PEDANG IBLIS, pemuda Gak Bun Beng yang mengunjungi Pulau Es, berpamit dari Pendekar Super Sakti, berpisah dari bekas kekasihnya, Milana, dan pergi tanpa meninggalkan jejak.

   Semenjak itu, sampai belasan tahun, tidak pernah terdengar namanya di dunia kang-ouw. Gak Bun Beng menganggap bahwa nasib hidupnya itu sudah sewajarnya. Kalau dia melihat keadaan riwayatnya, dia bahkan menganggap dirinya masih beruntung karena tidak sampai terjerumus menjadi seorang penjahat. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat, yang bernama Gak Liat dan dia sendiri dilahirkan di dunia karena kejahatan ayahnya yang memperkosa seorang pendekar wanita Siauw-lim-pai! Dia seorang anak haram, keturunan seorang ayah yang jahat seperti iblis! Mengingat itu semua, Gak Bun Beng tidak pernah menyesali nasibnya dan dia malah menyembunyikan diri, hidup di antara rakyat miskin sederhana, merantau ke pelbagai tempat dan diam-diam tentu saja memperdalam ilmu-ilmunya.

   Akhirnya, kurang lebih dua bulan yang lalu, dia tiba di dusun Kiu-teng itu dan hidup sebagai seorang tukang perahu yang sederhana. Di tempat inipun, seperti di lain-lain tempat, dia tidak pernah memperkenalkan namanya kecuali hanya she-nya sehingga oleh tukang perahu lain yang mengenalnya dia hanya dikenal sebagai Gak-twako, seorang tukang perahu yang hidup sederhana dan pendiam, penyayang kanak-kanak. Ketika pada hari itu Gak Bun Beng sedang melamun sambil duduk menanti pesanan orang yang akan menyewa perahunya, tiba-tiba perahunya menjadi korban tabrakan perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam. Bun Beng tidak memperdulikan dirinya sendiri, pertama-tama yang menarik perhatiannya adalah teriakan-teriakan dua orang gadis yang ikut tenggelam bersama perahu yang hanyut itu.

   Ketika dia mendengar seorang di antara dua orang gadis itu menyebut nama "enci Syanti", dia menjadi heran sekali. Nama itu terang bukan nama gadis Han! Tentu saja Bun Beng bermaksud menolong mereka, akan tetapi dia bukanlah seorang yang amat ahli dalam ilmu renang, maka dia hanya dapat menolong gadis terdekat. Setelah dia dapat meraih gadis yang pingsan itu dan mulai tenggelam lagi, Bun Beng menggunakan kepandaiannya menyelamatkan perahunya. Dengan kekuatan yang dahsyat dia menggunakan dayungnya sebagai alat menekan sehingga perahunya meluncur ke atas sedemikian kuatnya sehingga melampaui perahu lain dan dapat mendarat di atas pasir. Karena keadaan yang memaksanya itu, tanpa sengaja dia mengeluarkan kepandaiannya dan barulah dia teringat akan hal ini setelah perahunya mendarat.

   Dia menyesali kelengahannya dan terpaksa dia harus meninggalkan perahunya dari tempat itu karena kalau tidak, berarti dia membuka rahasianya yang selama belasan tahun ini disimpannya rapat-rapat. Hanya satu hal membuat dia kecewa, yaitu dia tidak dapat menolong gadis kedua yang telah hanyut terbawa arus air yang amat kuat. Dia tahu bahwa mengejarnya tidak akan ada gunanya dan gadis itu tentu tewas, kecuali kalau ada pertolongan yang tak tersangka-sangka. Bun Beng membawa Syanti Dewi ke dalam kuil tua yang kosong di tengah hutan, di sebelah timur dusun Kiu-teng dan di lembah Sungai Nu-kiang, merebahkan tubuh yang pingsan itu di atas lantai, kemudian mengeluarkan air dalam perut dara itu, mengurut beberapa jalan darah sampai dara itu mengeluh dan siuman.

   "Ahhhhh....!"

   Syanti Dewi mengeluh dan bergerak, lalu membuka kedua matanya. Bun Beng memandang wajah itu dan di sudut hatinya terharu. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah gadis asing yang memiliki kecantikan khas agak mirip dengan Milana, bekas kekasihnya yang memiliki darah Mancu bangsawan, karena Milana adalah cucu Kaisar Mancu! Ketika Syanti Dewi mendapat kenyataan bahwa dia rebah di dalam kamar tua dari tembok yang sudah retak-retak, di atas lantai yang kotor, kemudian melihat seorang laki-laki berusia kurang dari empat puluh tahun berjongkok tidak jauh darinya, dia terkejut dan cepat bangkit duduk. Kenyataan pertama bahwa pakaiannya basah kuyup, maka teringatlah dia akan peristiwa yang mengerikan itu ketika perahu yang hanyut itu tenggelam membawa dia dan Ceng Ceng tenggelam pula.

   "Di.... di mana aku? Siapakah paman....?"

   Biarpun ucapannya itu dikeluarkan dalam keadaan bingung dan terkejut, namun jelas terdengar kehalusan budi bahasa gadis itu.

   "Tenanglah, nona. Engkau telah dapat terbebas dari bahaya tenggelam di sungai dan aku adalah seorang tukang perahu yang kebetulan melihat engkau tenggelam bersama perahu hanyut itu."

   Kata Bun Beng dengan suara halus menghibur. Tiba-tiba sepasang mata dara itu terbelalak dan dia bertanya,

   "Bagaimana dengan Ceng-moi? Di mana Ceng-moi....?"

   "Engkau maksudkan gadis kedua yang turut terguling dan tenggelam dengan perahu hanyut itu?"

   Bun Beng bertanya.

   "Benar.... kami berdua di perahu itu.... bagaimana dengan Ceng-moi? Di mana dia....? Ceng-moi....!"

   Syanti Dewi menjerit dan memanggil nama adik angkatnya, penuh kekhawatiran. Bun Beng menggeleng kepalanya dan menghela napas.

   "Menyesal sekali bahwa tenagaku terbatas, aku hanya berhasil menyelamatkanmu, nona. Adapun nona kedua itu.... aku melihat sendiri dia terseret dan hanyut oleh arus sungai yang amat deras dan kuat...."

   Makin terbelalak sepasang mata itu, dan muka Syanti Dewi menjadi pucat sekali.

   "Paman....! Kau.... maksudkan.... dia.... Ceng-moi....?"

   Bun Beng mengangguk.

   "Kalau tidak terjadi hal yang luar biasa, aku khawatir sekali bahwa dia akan tewas. Air itu deras sekali dan amat dalam."

   "Ceng-moi....!"

   Syanti Dewi menjerit lalu menangis sesenggukan, menutupi muka dengan kedua tangannya. Bun Beng memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia diam saja karena maklum bahwa pada saat seperti itu, hanya tangis yang merupakan obat terbaik bagi dara ini.

   "Ceng-moi.... aihhh.... Candra adikku, bagaimana aku dapat hidup tanpa kau? Bagaimana aku berani melanjutkan perjalanan tanpa engkau....? Adik Candra.... tega benar engkau meninggalkan aku.... hu-hu-huhhhh, lalu aku bagaimana....?"

   Mendengar wanita muda itu menyebut gadis kedua dengan nama Ceng-moi dan juga adik Candra, Bun Beng merasa heran. Akan tetapi kerut di alisnya mendalam dan tiba-tiba dia berkata, suaranya penuh nada teguran,

   "Nona, tak kusangka bahwa hatimu kejam dan engkau mementingkan dirimu sendiri saja!"

   Mendengar teguran aneh ini, tentu saja Syanti Dewi terkejut dan merasa heran sehingga sejenak dia lupa akan tangisnya, mengangkat muka yang pucat dan basah dengan mata merah, memandang tukang perahu itu sambil bertanya dengan suara tergagap,

   "Paman.... apa.... apa maksudnya....? Aku kejam...., terhadap siapa....?"

   "Terhadap siapa lagi kalau bukan terhadap adikmu itu?"

   "Paman!"

   Syanti Dewi bertanya dengan suara keras karena penasaran.

   "Apa maksudmu dengan kata-kata itu? Aku kejam terhadap adik Ceng Ceng?"

   Bun Beng menarik napas panjang.

   "Ahhh, aku sampai lupa bahwa engkaupun hanya seorang gadis yang tentu saja takkan berbeda dengan seluruh manusia di dusun ini, hidupnya penuh dengan keakuan yang selalu mementingkan diri sendiri. Akan tetapi, coba engkau sadarilah, nona. Engkau menangis dan berduka ini, terus terang saja, yang engkau tangisi dan dukakan ini karena adikmu itu mungkin mati, ataukah engkau menangis dan berduka karena engkau ditinggalkan oleh dia yang kau sandari? Engkau menangisi dia ataukah engkau menangisi dirimu sendiri?"

   Syanti Dewi terkejut bukan main! Ucapan itu terdengar olehnya seperti halilintar menyambar di tengah hari terik, dan memasuki hatinya seperti setetes air dingin sekali di waktu panas. Sejenak dia melongo dan tercengang, hanya memandang orang itu tanpa dapat berkata-kata, dan otomatis tangisnya pun berhenti! Bun Beng lalu membuat api unggun tanpa berkata-kata, lalu keluar dari dalam kamar kuil tua dan berkata dari luar kamar,

   "Sekarang yang terpenting menjaga jangan sampai engkau jatuh sakit. Tanggalkan semua pakaianmu dan lemparkan keluar agar dapat kujemur sampai kering. Sementara menanti pakaian kering, kau duduklah dekat api unggun. Dan engkau tidak perlu khawatir, nona. Di tempat ini tidak ada orang lain kecuali kita berdua, dan aku akan menjaga di luar kuil."

   Teguran atas tangisnya tadi masih menghunjam di ulu hatinya, masih berkesan dalam sekali di hatinya,

   Maka seperti dalam mimpi, dengan mata masih tertuju ke arah pintu dari mana laki-laki itu keluar, tanpa ragu-ragu Syanti Dewi menanggalkan semua pakaiannya satu demi satu lalu menggulung semua pakaian itu dan melempar keluar pintu. Hanya tampak sebagian lengan tangan menyambar gulungan pakaian itu, lalu lenyap. Syanti Dewi duduk mendekati api unggun, menutupi dadanya dengan rambutnya yang dilepas kuncirnya. Dia termenung, terheran-heran memikirkan laki-laki aneh yang ucapannya menusuk hatinya dengan tepat sekali, membuat tangisnya terhenti seketika karena dia kini malu sendiri kalau harus menangis, karena tak dapat dibantahnya bahwa tangisnya tadi terutama sekali karena merasa khawatir dan iba kepada dirinya sendiri, bukan kepada Ceng Ceng!

   Dia menangis karena ditinggalkan. Karena dia yang ditinggalkan, karena dia kehilangan kawan baik, karena dia kini menghadapi masa depan di istana kerajaan asing seorang diri saja! Kini dia termenung dan merasa heran tiada habisnya karena sedikit ucapan itu menggugah kesadarannya, membuat dia melihat kepalsuan dalam liku-liku kehidupan manusia. Apakah semua tangis yang dikucurkan, semua perkabungan jika ada kematian kesemuanya itu seperti tangisnya tadi juga, semua itu palsu, belaka dan yang menangis itu sesungguhnya hanya menangisi dirinya sendiri saja, bukan menangis demi yang mati? Bun Beng memeras pakaian gadis itu sampai hampir kering sehingga dijemur sebentar saja pakaian itu sudah kering betul. Pakaian itu digulungnya dan dari luar kamar kuil itu dia berkata,

   "Nona, pakaianmu sudah kering semua. Terimalah dan segera pakai kembali pakaianmu!"

   Gulungan pakaian itu dia lemparkan ke dalam dan kembali hanya sebagian lengannya saja yang tampak. Syanti Dewi merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Cepat dia mengenakan kembali pakaiannya. Di dalam hatinya dia bersyukur kepada Thian bahwa setelah kehilangan Ceng Ceng, kini dia bertemu dengan orang yang demikian baik budinya, seorang laki-laki yang bukan hanya telah menyelamatkan nyawanya, akan tetapi juga yang secara aneh telah menyadarkan batinnya dan kini bersikap demikian sopan kepadanya!

   "Aku sudah berpakaian, paman. Harap suka masuk agar kita dapat bicara,"

   Katanya. Bun Beng melangkah masuk dan kembali mereka duduk di atas lantai, saling berhadapan. Tanpa malu-malu Syanti Dewi kini menatap laki-laki itu dan terkejutlah dia karena baru sekarang tampak olehnya bahwa orang yang berada di depannya jelas bukanlah seorang tukang perahu biasa!

   Sinar mata laki-laki itu demikian tajam dan berwibawa, namun mengandung kehalusan pandang mata yang penuh kasih sayang dan iba hati. Wajah itu tampan dan kulitnya halus, kumis dan jenggotnya terpelihara, seluruh tubuhnya membayangkan perawatan dan kebersihan, bahkan kuku-
(Lanjut ke Jilid 10)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
kuku jari tangannya pun terawat seperti tangan seorang sastrawan, pakaiannya sederhana namun bersih pula. Bukan seorang tukang perahu biasa, agaknya seorang sastrawan yang menyamar sebagai rakyat jelata! Di lain fihak, Bun Beng yang memperhatikan wajah gadis itu, juga dapat menduga bahwa gadis ini selain asing karena nama dan bentuk mukanya, juga tentu seorang gadis terpelajar tinggi.

   "Nona siapakah?"

   Bun Beng bertanya singkat.

   "Namaku Lu Sian Cu. Boleh aku mengetahui namamu, paman?"

   "Sebut saja aku paman Gak. Akan tetapi kuharap engkau tidak merahasiakan namamu karena aku telah mendengar gadis kedua itu meneriakkan namamu, yaitu Syanti."

   Syanti Dewi tercengang dan maklum bahwa tiada gunanya untuk membohong kepada orang yang jelas beriktikad baik terhadap dirinya itu.

   "Memang Lu Sian Cu adalah nama baruku, paman. Nama yang kupakai dalam perjalanan bersama adikku itu. Nama aseliku adalah Syanti Dewi...."

   Dara itu berhenti untuk melihat reaksi pada wajah laki-laki itu. Namanya adalah nama puteri Kerajaan Bhutan, tentu laki-laki itu akan menjadi terkejut mendengarnya. Akan tetapi, tidak ada reaksi apa-apa pada wajah laki-laki itu, dan memang Bun Beng tidak pernah mendengar nama ini, bahkan dia selama belasan tahun tidak mau mencampuri urusan dunia, tidak pula memperhatikan segala peristiwa yang terjadi mengenai pemerintah dan kerajaan manapun juga!

   "Engkau dari suku bangsa apakah, nona?"

   Kini tahulah Syanti Dewi bahwa laki-laki ini memang tidak mengenal namanya sama sekali! Hal ini mengherankan hatinya, karena daerah ini belum jauh dari Bhutan. Memang namanya yang tidak dikenal orang, ataukah laki-laki ini yang bodoh?

   "Aku berbangsa Bhutan....!"

   "Ah.... dan engkau bersama adikmu datang dari Bhutan berdua saja? Hendak ke manakah dan mengapa kalian hanya pergi berdua? Kuharap kau suka menceritakan semua kepadaku agar aku menjadi jelas ke mana aku selanjutnya harus mengantarmu."

   Bukan main girang dan lega rasa hati Syanti Dewi. Benar-benar dia telah ditemukan oleh Thian dengan orang ini yang demikian baik hati! Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada Bun Beng, yang dibalas oleh laki-laki itu dengan semestinya.

   "Paman, aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, dan lebih banyak terima kasih lagi bahwa paman akan sudi melanjutkan pertolongan paman itu untuk mengantar aku sampai ke tempat tujuan. Akan tetapi, hal itu berarti bahwa aku akan membuat paman repot sekali!"

   "Ah, tidak ada kerepotan apa-apa, nona. Dan akupun bukan menolong. Sudah sewajarnyalah kalau aku menolong seorang gadis muda yang kini hanya melakukan perjalanan seorang diri saja."

   "Tapi perjalananku amat jauh, paman."

   "Hemm, sejauh manakah?"

   "Sampai ke kota raja Kerajaan Ceng."

   "Hehhh....?"

   Bun Beng menjadi kaget, juga sama sekali tidak menyangkanya bahwa gadis ini berniat pergi ke kota raja! Akan tetapi dia menduga bahwa tentu ada urusan yang luar biasa pentingnya, maka segera dia berkata,

   "Memang jauh sekali ke sana, akan tetapi kalau memang perlu, aku bersedia mengantarmu ke sana, nona."

   Kebaikan yang dianggapnya berlebihan ini membuat Syanti Dewi meragu.

   "Akan tetapi, paman.... kabarnya perjalanan ke sana menghabiskan waktu berbulan, bagaimana paman dapat meninggalkan keluarga paman....?"

   Bun Beng tersenyum dan Syanti Dewi makin kagum. Laki-laki ini tampan dan gagah, juga giginya yang tampak sekilat itu terawat baik, tidak seperti gigi sebagian besar tukang perahu atau orang-orang dusun yang dijumpainya.

   "Jangan khawatir, nona. Aku hidup seorang diri di dunia ini, tiada handai taulan, tiada sanak keluarga, tiada rumah tangga. Akan tetapi, karena perjalanan itu jauh sekali, maka aku tadi mengatakan bahwa kalau perlu, baru aku bersedia mengantarmu. Maka harus dilihat keperluannya dulu. Kalau saja engkau mau menceritakan semua riwayatmu kepadaku, mengapa engkau hendak ke kota raja, dan bagaimana engkau dan adikmu itu sampai terbawa perahu hanyut. Kalau kuanggap memang sepatutnya engkau ke kota raja, tentu akan kuantar."

   Kembali sang puteri menatap wajah Bun Beng sampai beberapa lama, seolah-olah hendak menyelidiki keadaan hati orang itu, kemudian berkata,

   "Paman Gak, terus terang saja kukatakan bahwa riwayatku merupakan rahasia besar yang menyangkut negara, bahkan menyangkut juga mati hidupku. Sekali aku keliru menceritakannya kepada orang yang tidak dapat dipercaya, celakalah aku."

   "Aku tidak perlu membujuk agar engkau mempercayaiku, nona. Hanya, untuk mengantarmu ke tempat yang demikian jauhnya, aku harus memperoleh kepastian dulu akan alasannya."

   "Aku sudah percaya kepadamu, paman Gak. Kalau engkau bukan orang yang dapat dipercaya, agaknya aku telah mati atau mungkin bernasib lebih buruk lagi. Baiklah, aku akan menceritakan semua keadaanku. Pertama-tama, aku adalah Puteri Syanti Dewi, puteri dari Raja Bhutan."

   Puteri itu berhenti, hendak melihat reaksi wajah orang itu. Namun, tidak ada reaksi apa-apa, seolah-olah orang she Gak itu menganggap seorang puteri raja sama saja dengan seorang gadis dusun anak petani atau nelayan! Hal ini sedikit banyak mendatangkan kekecewaan di dalam hati Syanti Dewi, dan dia cepat melanjutkan,

   "Dan aku adalah calon mantu Kaisar Ceng!"

   Akan tetapi, Bun Beng tidak kelihatan kaget, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang tajam, seolah-olah hendak menjenguk isi hati dara itu. Syanti Dewi menghela napas. Dia kecele kalau ingin melihat wajah orang itu berubah kaget. Agaknya urusan yang menyangkut nama segala raja di raja tidak menggetarkan sedikitpun juga di hati orang itu.

   "Rombongan utusan kaisar telah menjemputku di Bhutan, Gak-siok-siok (paman Gak) dan dalam rombongan yang dikawal oleh lima ratus orang pasukan Bhutan itu aku ditemani oleh Ceng-moi."

   "Adikmu yang bernama Candra itu?"

   "Dia hanya adik angkat, nama aselinya adalah Lu Ceng, dan nama barunya Candra Dewi, jadi keadaannya berbalik dengan diriku. Dia seorang gadis Han yang memiliki ilmu silat yang lihai sekali."

   Bun Beng mengangguk-angguk, hatinya senang juga mendengar seorang puteri raja mau mengangkat saudara dengan seorang gadis biasa, hal yang membuktikan bahwa puteri yang ditolongnya ini adalah seorang wanita yang berbudi baik! Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak berangkat dari istana Bhutan sampai mereka diserbu pasukan musuh yang amat besar jumlahnya. Diceritakannya betapa dia bersama Ceng Ceng, dikawal oleh kakek gadis itu, terpaksa menyamar dan melarikan diri karena gelagatnya tidak baik, betapa kakek itu tewas dalam membelanya dan kemudian dia bersama adik angkatnya itu melarikan diri berdua, mengalami segala kesengsaraan sampai akhirnya terbawa perahu yang hanyut, dan dia tertolong oleh paman Gak itu.

   "Demikianlah, paman. Sungguh tidak saya sangka bahwa kalau demikian buruk nasib Ceng-moi. Kasihan sekali dia.... demi keselamatanku, dia dan kakeknya sampai mengorbankan nyawa."

   "Hemm, kita belum yakin benar bahwa nona Ceng itu akan tewas. Akan tetapi, tukang perahu yang membawa kalian itu, sungguh menarik dia. Benarkah dia itu memiliki kepandaian yang hebat?"

   "Dia lihai sekali. Hal ini baru kami ketahui setelah adik Ceng marah-marah dan menyerangnya. Ternyata dia memiliki kepandaian yang lebih daripada kepandaian Ceng-moi yang sudah amat lihai itu. Dan baru saya dapat menduga bahwa para pencegat dalam dua buah perahu itu tentulah jerih terhadap dia, entah mengapa, bahkan ada yang membisikkan nama julukan Si Jari Maut."

   Bun Beng mengangguk-angguk. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan urusan sebesar ini! Yang ditolongnya adalah puteri Raja Bhutan, calon mantu kaisar! Dan ternyata di derah barat terjadi pemberontakan yang besar pula. Dia tidak ingin terseret ke dalam urusan apapun juga, akan tetapi setelah secara kebetulan dia menolong puteri ini, tak mungkin pula dia membiarkannya saja pergi seorang diri yang tentu merupakan hal yang amat berbahaya sekali.

   "Ketika engkau masih bersama nona Ceng, ke manakah tujuan kalian melarikan diri?"

   "Kami hanya mentaati pesan kakek dari Ceng-moi, yaitu disuruh melarikan diri ke kota raja Kerajaan Ceng dan menemui seorang puteri kaisar di sana."

   "Puteri kaisar?"

   Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang.

   "Ya, namanya Puteri Milana...."

   Bun Beng menelan seruan kagetnya, akan tetapi dia tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang menjadi merah. Perubahan pada wajah ini tampak pula oleh Syanti Dewi yang cepat bertanya,

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada apakah, paman?"

   "Tidak ada apa-apa,"

   Jawab Bun Beng yang segera bangkit berdiri dan termenung sejenak. Kemudian dia berkata,

   "Sebelum kita berangkat ke kota raja yang jauh itu, mari kita mencoba untuk mencari adikmu itu. Siapa tahu dia dapat menyelamatkan diri...."

   Keduanya lalu menyusuri Sungai Nu-kiang, akan tetapi sampai puluhan li jauhnya, mereka tidak melihat ada tanda-tanda bahwa Ceng Ceng mendarat, akan tetapi juga tidak ada melihat mayat gadis itu. Akhirnya, terpaksa Bun Beng mengajak dara itu menghentikan usaha mereka mencari Ceng Ceng dan mulailah dia mengantarkan dara itu ke kota raja, sebuah perjalanan yang amat jauh sekali dan akan memakan waktu berbulan!

   "Kau tidak boleh melakukan hal seperti itu, Bu-te! Engkau bisa disangka hendak berbuat kurang patut!"

   Mendengar teguran kakaknya itu, Kian Bu tersenyum lebar,

   "Ahhh, Lee-ko. Perduli apa dengan persangkaan kosong? Buktinya yang penting, dan engkau tentu tahu betul bahwa aku sama sekali tidak ingin melalukan sesuatu yang kurang patut! Aku hanya ingin berkenalan dan mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik. Apa salahnya itu?"

   Mau tidak mau Kian Lee tertawa. Memang adiknya ini bengal sekali dan bagi yang tidak mengenalnya betul, tentu perbuatannya akan dianggap sebagai perbuatan kurang ajar dan melanggar susila. Seminggu yang lalu, adiknya itu sudah mempraktekkan kebengalannya. Ketika melihat sebuah joli digotong angin nakal menyingkapkan tirai memperlihatkan bahwa yang berada di dalam joli itu duduk seorang gadis cantik, tanpa ragu-ragu sama sekali Kian Bu mengejar joli, membuka tirai dan berseru girang,

   "Haiii, nona Liem....! Engkau hendak ke manakah?"

   Tentu saja empat orang penggotong joli mengira bahwa pemuda tampan itu memang kenalan atau anggauta keluarga si nona cantik yang mereka gotong, dan baru mereka tahu bukan demikian halnya ketika terdengar nona itu menjawab dengan nada heran dan marah,

   "Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!"

   "Eh, eh, Liem-siocia. Masa lupa lagi kepadaku? Aku Suma...."

   "Aku tidak kenal orang she Suma. Dan aku bukan she Liem, aku she Kiem!"

   Nona itu membentak pula, sedangkan tukang joli terpaksa berhenti dan memberi kesempatan kepada muda-mudi itu untuk bercakap-cakap. Suma Kian Bu pura-pura kaget.

   "Aihh.... maaf, maafkanlah aku, Kiem-siocia. Kau mirip benar dengan Liem-siocia yang.... cantik. Kalau begitu perkenalkanlah, aku.... Suma Kian Bu...."

   "Tukang joli, hayo jalan terus!"

   Nona itu berkata marah dan menutupkan tirai joli. Ketika joli itu sudah berjalan jauh, Suma Kian Bu hanya tertawa-tawa mendengarkan teguran kakaknya.

   "Salah-salah kau bisa disangka jai-hwa-cat, penjahat tukang perkosa wanita!"

   Suma Kian Lee mengakhiri tegurannya. Sekarang baru sepekan kemudian, sudah kumat pula penyakit Suma Kian Bu dan pemuda ini menyatakan hendak

   "belajar kenal"

   Dengan seorang puteri yang naik joli. Melihat betapa joli itu tertutup rapat tanda bahwa penumpangnya adalah seorang wanita muda yang tidak mau memperlihatkan diri, Kian Lee mencegah adiknya.

   "Biarlah, kalau begitu besok pagi aku akan mencegat dia di depan kelenteng,"

   Kata Kian Bu.

   "Aku penasaran kalau belum melihatnya. Menurut kata pemilik warung dekat kelenteng, sudah beberapa hari ini nona itu setiap pagi pergi ke kelenteng dan kabarnya cantik sekali."

   "Huh, mata keranjang kau!"

   Kian Lee berkata.

   "Biarlah besok kau keluar sendiri, aku tidak sudi melihat kau berbuat ceriwis terhadap wanita!"

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, kakak beradik dari Pulau Es ini mulai dengan perantauan mereka. Dengan perahu mereka meninggalkan Pulau Es dan berkat petunjuk peta yang dibuat oleh Pendekar Super Sakti, ayah mereka, kali ini tanpa banyak kesulitan mereka dapat mencapai daratan besar. Mereka lalu mulai melakukan perjalanan yang amat jauh itu, menuju ke kota raja untuk menemui kakak mereka, yaltu Puteri Milana. Akan tetapi karena baru kali itu mereka merantau, mereka tidak tergesa-gesa dan di setiap tempat yang menyenangkan hati, mereka berhenti sampai dua tiga hari. Bekal mereka cukup banyak sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal uang untuk beaya makan dan penginapan. Tidak dapat terlalu disalahkan kalau dua orang pemuda itu, terpesona menyaksikan tamasya alam yang amat indah, yang tidak dapat mereka lihat di Pulau Es,

   Melihat kota-kota besar dan dusun-dusun yang ramai, apalagi terpesona melihat gadis-gadis cantik yang selama hidup belum pernah mereka lihat. Hanya bedanya, kalau Kian Lee tetap bersikap tenang-tenang saja, adalah Kian Bu yang seperti cacing kepanasan dan setiap kali bertemu gadis cantik, ingin sekali dia berkenalan! Dorongan hasrat yang wajar saja, sama sekali tidak terkandung nafsu berahi atau keinginan yang tidak patut! Mereka terpaksa bermalam satu malam lagi di rumah penginapan di kota itu karena Kian Bu rewel tidak mau melanjutkan perjalanannya sebelum sempat "berkenalan"

   Dengan nona dalam joli yang setiap pagi pergi ke kelenteng, dengan menggunakan "siasatnya"

   Yang hanya dapat diciptakan otak seorang pemuda yang memang memiliki watak urakan (ugal-ugalan) tapi tidak kurang ajar.

   Besoknya, pagi-pagi sekali Kian Bu sudah menanti di tepi jalan, dekat kelenteng, dia meninggalkan kakaknya yang masih tidur di atas pembaringan dalam kamar pembaringan. Jantungnya berdebar tegang dan sebentar-sebentar dia tersenyum membayangkan betapa dia akan dapat berhadapan dengan gadis cantik dalam joli dan dapat bercakap-cakap! Siapa tahu, kalau awak sedang untung, dia akan mendapatkan tanggapan baik dan akan dapat bersahabat, sungguhpun dia hanya ingin melihat kata-kata ramah dan senyum manis ditujukan kepadanya, lain tidak! Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia melihat joli yang dinanti-nantikannya dari jauh. Tak salah lagi, tentu dia, pikirnya. Tidak ada joli lain yang digotong menuju ke kelenteng!

   "Hendak ke mana, lopek?"

   Tanyanya kepada penggotong joli terdekat. Penggotong joli itu melirik tanpa menoleh dan menjawab singkat,

   "Ke kelenteng."

   Kian Bu lalu menghampiri joil dan berteriaklah dia dengan suara girang sambil tangannya menying-kap tirai.

   "Haiii, kiranya nona Thio.... hahhh....?"

   Matanya terbelalak ketika melihat bahwa yang berada di dalam joli itu ternyata adalah Suma Kian Lee, kakaknya sendiri! Joli dihentikan, Kian Lee meloncat keluar dan tertawa, mentertawakan adiknya yang membanting-banting kaki dan bersu-ngut-sungut karena empat orang penggotong joli sudah tertawa, demikian pula beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu di tepi jalan.

   "Lee-ko, engkau terlalu....!"

   Kian Bu berkata, akan tetapi dia tidak membantah ketika tangannya ditarik oleh kakaknya, diajak kembali ke penginapan untuk mengambil buntalan mereka.

   "Bu-te, kalau tidak begitu engkau tidak akan bertobat, Kau tidak boleh melakukan hal itu, karena biarpun aku yakin bahwa engkau tidak berniat kurang ajar, namun engkau membuat seorang gadis merasa malu dan terhina. Salah-salah engkau akan terlibat dalam perkelahian, padahal ayah sudah berpesan keras-keras bahwa kita tidak boleh mencari gara-gara di dalam perjalanan!"

   "Sudahlah, sudahlah, aku memang bersalah besar!"

   "Engkau tidak salah besar, Bu-te, akan tetapi engkau terlalu jahil dan kenakalanmu itu dapat mengakibatkan urusan besar. Engkau suka mengganggu gadis, padahal engkau tidak tahu dia siapa, anak siapa, dan engkau mendatangkan rasa terhina dan malu kepadanya. Padahal semua itu kau lakukan hanya untuk main-main, bukan karena memang engkau sungguh tertarik dan suka kepadanya."

   "Kalau begitu, andaikata aku tertarik benar-benar kepada seorang gadis, aku boleh.... eh, belajar kenal dengannya?"

   "Tentu saja boleh, asal caranya tidak kurang ajar dan sewajarnya. Bukan de-ngan cara urakan menegur orang di jalan pura-pura kenal macam yang kau lakukan itu!"

   Wajah tampan dari Kian Bu berseri gembira, lenyap sudah kemengkalan hatinya karena penipuan kakaknya tadi. Memang demikianlah watak Kian Bu. Lincah, kocak, nakal, periang, mudah marah dan mudah tertawa lagi.

   "Bagus! Kalau begitu aku akan mencari akal lain yang lebih baik "

   Dia melihat kakaknya melotot dan cepat menyambung,

   "yaitu kalau aku sudah tertarik benar-benar kepada seorang gadis."

   "Kau memang mata keranjang dan nakal!"

   Kakaknya mengomel.

   "Eh, Lee-ko, apakah kau tidak tertarik dan suka melihat gadis cantik? Mereka itu begitu cantik, begitu manis, suaranya begitu halus merdu, lirikan dan senyuman semanis madu, gerak-geriknya menyenangkan. Aku tidak percaya kalau tidak suka pula menyaksikan seorang gadis cantik."

   "Biarpun suka, akan tetapi tidak boleh diutarakan secara kasar seperti kelakuanmu."

   "Hore! Jadi kau pun suka, koko? Bagus, kalau begitu bukan aku sendiri yang suka melihat gadis cantik! Eh, engkau lebih suka yang bagaimana, koko? Aku suka gadis yang lincah, yang kocak pandang matanya, yang murah senyumnya, yang pandai bergaul, seperti lagak seekor burung murai yang tak pernah diam dan selalu berkicau meriah dan merdu."

   Di dalam hatinya, Kian Lee merasa tidak senang dan malu harus bicara tentang wanita, akan tetapi hanya untuk melawan dan mencela adiknya, dia menjawab juga,

   "Sama sekali tidak seperti engkau, aku suka kepada seorang dara yang sopan santun, pendiam, dan menyembuyikan keramahan di balik kesopanan dan kesusilaan."

   "Wah-wah-wah, kalau begitu engkau lebih baik memilih sebuah patung saja, Lee-ko! Ha-ha-ha!"

   "Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan. Aku muak mendengar obrolanmu tentang wanita."

   Demikianlah, kakak beradik yang wataknya berbeda seperti bumi dengan langit ini tidak pernah rukun di dalam perjalanan, dalam arti kata, rukun dalam sifat mereka. Mereka selalu tidak sependapat mengenai cara hidup, apalagi kalau ada hubungannya dengan pergaulan dan wanita. Mereka hanya rukun dan saling membela mati-matian kalau ada urusan yang langsung mengenai diri mereka. Kian Lee amat mencinta dan membela adiknya, mendahulukan keperluan adiknya daripada keperluannya sendiri.

   Sebaliknya Kian Bu amat mencinta kakaknya dan amat patuh, sungguhpun pada lahirnya dia suka membantah, dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih atas segala kebaikan yang dilimpahkan kakaknya kepadanya. Watak Suma Kian Bu di samping keriangan dan kelincahannya, juga amat romantis. Dia menikmati keindahan alam dengan cara terbuka, dengan wajah berseri, mata bercahaya dan mulut tiada hentinya mengeluarkan puji-pujian, mengagumi bunga-bunga yang indah, suka akan makanan enak, suka mendengarkan nyanyian merdu, suka akan pakaian-pakaian indah, suka mempersolek diri, suka bernyanyi-nyanyi dan tentu saja suka sekali melihat dara cantik!

   Sungguh merupakan kebalikan dari sifat Suma Kian Lee yang pendiam, tidak suka bicara kalau tidak penting, biarpun suka mengagumi keindahan, namun rasa sukanya itu dipendam dalam batin saja, berpakaian sederhana tidak mengutamakan keindahan melainkan yang enak dipakai, mengutamakan kesusilaan dan sopan-santun yang bukan paksaan melainkan timbul dari watak aselinya yang menghargai orang lain. Betapapun juga, perangai Kian Bu yang riang gembira itu kadang-kadang menular kepadanya sehingga kalau selagi senang hatinya mendengar Kian Bu bernyanyi-nyanyi, dia ikut pula bersenandung sungguhpun tidak bernyanyi dengan nyaring mengeluarkan semua kegembiraan hatinya melalui nyanyian seperti adiknya itu.

   Apalagi sikap adiknya yang amat suka akan wanita cantik, kadang-kadang membuatnya termenung dan dia harus mengakui diam-diam bahwa tidak ada kecantikan bunga dan keindahan alam yang melebihi wajah seorang dara, tidak ada suara merdu yang melebihi suara seorang dara! Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah dusun dan karena kemalaman mereka bermalam di sebuah penginapan kecil dan sedang duduk di serambi sambil minum arak hangat, tiba-tiba mereka melihat sebuah kereta yang dikawal oleh rombongan piauwsu berhenti di depan rumah penginapan itu. Kepala pengawal mendekati kereta dan menyingkap tirai, sedangkan pembantu-pembantunya menahan kuda yang berbusa mulutnya.

   Agaknya empat ekor kuda itu sudah bekerja berat, lari melalui jarak jauh sehari itu. Tiba-tiba ujung kaki Kian Bu menyentuh betis kakaknya sebagai isyarat. Kian Lee mengangkat mata melirik adiknya dan menoleh ketika melihat adiknya memandang ke arah kereta. Pintu kereta terbuka, tirai disingkapkan dan turunlah seorang gadis berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita seperti seorang bidadari turun dari kahyangan. Gerak-geriknya begitu halus gemulai ketika dia turun dari kereta dibantu oleh seorang wanita setengah tua dan seorang laki-laki setengah tua yang agaknya adalah ayah bundanya. Sejenak dara itu berdiri di serambi depan ketika ayahnya bicara dengan pengurus penginapan minta disediakan kamar bagi mereka, kemudian dara dengan ayah bundanya itu memasuki penginapan dan lenyap di dalam kamar.

   Sibuklah para piauwsu menurunkan barang-barang, dan kereta lalu ditarik ke sebelah belakang rumah penginapan itu. Dengan kusirnya semua terdapat sebelas orang piauwsu yang kelihatannya tangkas dan kuat. Kian Bu yang melihat dara tadi menunduk saja, sedikitpun tidak pernah melirik kepada mereka, melihat sikap yang amat sopan santun dari gadis itu, padahal dia mengharapkan kerlingan dan senyum, merasa kecewa dan tidak puas. Akan tetapi ketika dia memandang kakaknya, dia melihat kakaknya itu termenung, mukanya merah dan kedua tangan kakaknya mempermainkan cawan arak yang telah kosong, agaknya kakaknya itu termenung-menung. Kian Bu tersenyum. Baru sekarang dia melihat kakaknya termenung setelah melihat seorang dara! Maka segera dia menangkap tangan kakaknya sambil berkata,

   "Lee-ko, bagaimana?"

   Kian Lee mengangkat muka memandang, melihat sinar mata adiknya yang jelas menggodanya, mukanya menjadi makin merah,

   "Bagaimana apanya?"

   Dia balik bertanya, setengah membentak. Kian Bu menggerakkan kepalanya ke arah belakang rumah penginapan.

   "Dia tadi, hebat bukan?"

   Kian Lee tidak menjawab segera, melainkan menunduk dan berkata lirih,

   "Hebat atau tidak, ada sangkut paut apa dengan kita? Jangan kau memikirkan yang bukan-bukan!"

   "Ah, tidak. Bagiku sih, dia seperti patung hidup! Melirik sedikitpun tidak, tersenyum sedikitpun tidak, bicara sepatah katapun tidak!"

   "Itu tandanya dia seorang dara terpelajar, sopan dan menjaga harga diri tinggi-tinggi, bukan seorang perempuan genit!"

   "Hi-hik, aku tahu bahwa dara model inilah yang akan menarik hatimu, koko. Mengapa tidak mengajak dia berkenalan? Eh, secara sopan maksudku?"

   Kian Lee memandang adiknya dengan mata melotot.

   "Mau apa kau? Jangan main gila kau, Bu-te!"

   "Ah, tidak. Aku hanya mengatakan bahwa kalau kau tertarik kepada dara itu, apa salahnya kalau kau berkenalan dengan dia? Hanya berkenalan, apa sih buruknya? Kalau tidak berkenalan, bagai-mana bisa mengerti cocok atau tidak?"

   "Aku bukan laki-laki mata keranjang yang suka mengganggu gadis yang tidak kukenal."

   "Siapa bilang mengganggu? Aih, koko, engkau benar-benar selalu berprasangka buruk dan tidak percaya kepada adikmu ini. Dan kau selalu hendak berpura-pura, dan bersikap palsu."

   "Hemm, apa lagi ini maksudnya? Jangan kau kurang ajar kepadaku!"

   "Koko merasa suka kepada seseorang, akan tetapi pada lahirnya pura-pura dingin, bukankah ini pura-pura namanya? Hati ingin berkenalan, akan tetapi mulut bicara lain, bukankah itu palsu?"

   "Kian Bu, engkau masih kanak-kanak akan tetapi lidahmu tajam. Hati-hati kau, kalau kau bicara dengan orang lain seperti itu, tentu engkau akan mudah menanam permusuhan. Memang kuakui bahwa sikap dan keadaan dara tadi menimbulkan kagum di dalam hatiku, akan tetapi apa yang harus kulakukan? Aku bukanlah seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar seperti engkau!"

   "Bagus....!"

   Kian Bu meloncat bangun dan merangkul kakaknya.

   "Lee-ko, aku hanya ingin mendengar pengakuanmu bahwa kau tertarik kepadanya. Kita bukanlah orang-orang rendah yang suka melakukan hal-hal tidak patut, akan tetapi tanpa siasat, mana mungkin kau berkenalan dengan dara itu? Aku sudah mempunyai suatu rencana, kalau siasat ini dilakukan, engkau tentu akan berkenalan dengan dia dan bahkan dipandang tinggi dan hormat!"

   Pemuda tanggung ini lalu berbisik-bisik di dekat telinga kakaknya. Wajah Suma Kian Lee yang tampan sebentar merah sebentar pucat, dia menggeleng-geleng kepala, akan tetapi akhirnya dia berkata lirih,

   "Berbahaya sekali siasatmu yang nakal itu, Bu-te!"

   "Alaaaaa.... kau maksudkan piauwsu-piauwsu itu? Serahkan padaku, beres. Dan akupun bukan hendak memperpanjang pertempuran dengan mereka. Aku hanya menjadi penculik, kau lalu muncul. Habis perkara. Yang penting, dia akan berhutang budi kepadamu dan tentu saja menjadi kenalan. Tidak ada apa-apa yang jahat, bukan?"

   "Akan tetapi, kalau kau melukai seorangpun...."

   "Koko, kau anggap aku ini orang macam apa? Aku bukan penculik tulen, bukan pula perampok, mau apa melukai orang? Percayalah kepadaku, kelak engkau akan berterima kasih kepadaku kalau sudah menjadi sahabatnya, koko!"

   Terpaksa Kian Lee tersenyum dan dengan gerakan gemas seperti hendak menampar kepala adiknya. Kian Bu meloncat menjauh lalu tertawa-tawa dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik inipun sudah memasuki kamar mereka dan tidur. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee telah dibangunkan oleh Kian Bu.

   Seperti biasa setiap pagi, mereka duduk bersila dan bersiulian sebentar, latihan yang sudah menjadi kebiasaan sehingga sekali saja tidak melakukannya terasa kurang enak. Kemudian mereka mandi dan membayar biaya penyewaan kamar lalu berangkat, akan tetapi setibanya di luar dusun, mereka berhenti. Setelah matahari menumpahkan cahayanya di permukaan bumi, tampak oleh mereka yang dinanti-nanti sejak tadi, yaitu kereta berkuda empat yang dikawal oleh sepuluh orang piauwsu dan seorang kusir. Mereka membiarkan rombongan itu lewat, kemudian mereka membayangi dari jauh. Biarpun rombongan itu terdiri dari kereta ditarik kuda dan dikawal oleh sepuluh orang piauwsu berkuda, namun tidaklah sukar bagi dua orang muda itu membayangi mereka. Kakak beradik ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kesaktian yang tinggi dan ilmu berlari mereka luar biasa. Rombongan memasuki sebuah hutan.

   "Saudara-saudara, hati-hati dan waspadalah, di depan adalah hutan yang cukup besar!"

   Berkata kepala piauwsu yang bermuka merah. Sepuluh orang itu lalu melarikan kuda mereka mengurung kereta, tiga di depan, tiga di belakang, dan masing-masing dua di kanan kiri. Tiba-tiba para piauwsu itu terkejut sekali ketika melihat sesosok bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar, langsung menimpa atap kereta dan terdengar kain robek disusul jerit nona yang berada di dalam kereta, lalu tampak pula bayangan itu meloncat turun dari kereta sambil memondong tubuh nona itu yang menjerit-jerit dan meronta ronta.

   "Tolong....! Penculik.... tolong Bi Hwa....!"

   Nyonya dan suaminya tergopoh-gopoh keluar dari kereta yang sudah dihentikan oleh kusir, menangis dan berteriak-teriak. Para piauwsu sudah cepat bergerak. Enam orang melakukan pengejaran kepada Suma Kian Bu yang berlari cepat memondong tubuh dara itu sedangkan yang empat orang lagi tetap menjaga kereta.

   "Tangkap penjahat....!"

   Teriak kepala piauwsu yang memimpin teman-temannya mengejar. Akan tetapi mereka segera terpaksa turun dari kuda dan melanjutkan pengejaran dengan berlari ketika melihat penculik itu membawa dara itu menyusup-nyusup ke dalam semak-semak tebal.

   "Lepaskan aku....! Lepaskan....!"

   Bi Hwa, dara itu meronta sambil memukul-mukul ke arah dada muka dan kepala Suma Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja.

   "Tenanglah sayang, diamlah manis.... aku takkan mengganggumu....!"

   Namun Bi Hwa masih meronta-ronta. Meremang seluruh bulu badannya melihat dirinya dipondong dan dibawa lari dengan begitu hati-hati oleh pemuda yang amat tampan ini. Di dalam hatinya yang dilanda kaget dan takut, timbul keheranan mengapa pemuda yang masih amat muda dan amat tampan ini menjadi penjahat! Tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang menghadang di depan sambil membentak,

   "Penculik, lepaskan dia!"

   Suma Kian Bu yang melihat kakaknya sudah muncul, pura-pura membentak marah,

   "Engkau pendekar, jangan mencampuri urusanku!"

   Suma Kian Lee menerjang ke depan, dan beberapa lamanya kakak beradik itu pukul-memukul, akhirnya sebuah pukulan mengenai kepala Suma Kian Bu yang terhuyung dan roboh. Tentu Bi Hwa ikut pula terbanting kalau saja tidak cepat ditahan oleh Suma Kian Lee. Sejenak Bi Hwa berdiri dengan muka pucat memandang kepada Suma Kian Lee yang telah menolongnya, kemudian menoleh dan memandang Suma Kian Bu yang rebah miring dengan muka pucat seperti telah menjadi mayat! Kian Lee yang diam-diam menyesalkan siasat adiknya ini karena jelas tampak betapa gadis itu kaget dan takut, menanti ucapan terima kasih dan sudah siap untuk mengantarkan dara itu kembali ke kereta dan orang tuanya.

   Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakak beradik itu. Si dara jelita yang menoleh dan memandang Kian Bu, tiba-tiba terisak dan lari.... menghampiri Kian Bu, berlutut di dekat tubuh pemuda ini.

   "Aihhh, kau.... kau telah membunuhnya....! Kau telah membunuhnya....!"

   Dia menuding ke arah Kian Lee, kemudian dia mengangkat kepala Kian Bu, memangkunya dan mengusap-usap kepalanya seperti hendak mencari bagian mana dari kepala itu yang pecah dan membuat pemuda ini tewas.

   "Aduh kasihan sekali engkau...."

   Bisik Bi Hwa. Kian Lee berdiri dengan muka pucat. Dan Kian Bu lupa akan permainan sandiwaranya, dia begitu terheran-heran sehingga lupa bahwa dia telah "mati". Dan membuka matanya memandang dengan melongo.

   "Syukur, kau belum mati.... ah, aku girang sekali.... di manakah yang terluka ?"

   Bi Hwa bertanya. Kian Bu menggeleng kepala dan menuding ke arah Kian Lee.

   "Kau.... kau harus cepat menghaturkan terima kasih kepadanya. Dialah penolongmu "

   "Dia kejam, memukulmu sampai hampir mati!"

   Bi Hwa membantah.

   "Tapi aku adalah penculikmu, dialah yang menolongmu.... lekas kau hampiri dia...."

   Kian Bu makin bingung dan merenggutkan dirinya yang masih dipeluk dara itu. Pada saat itu, terdengar bentakan.

   "Penculik busuk, hendak lari ke mana kau?"

   Dan muncullah enam orang piauwsu dengan pedang atau golok di tangan masing-masing. Melihat ini, Kian Lee meloncat dan berkata,

   "Bu-te, pergi.... !"

   Terbirit-birit Kian Bu meloncat dan melarikan diri mengejar kakaknya. Sampai jauh sekali mereka berlari, terengah-engah mereka berhenti di dalam hutan kecil yang terpisah jauh dari hutan di mana mereka tadi main sandiwara itu. Tentu saja mereka terengah-engah, bukan karena telah lari cepat dan jauh, melainkan karena sejak tadi hati mereka penuh ketegangan ketika bersandiwara yang kemudian ternyata gagal total itu! Si gadis manis bukan berterima kasih kepada Kian Lee yang "menolongnya"

   Melainkan menaruh iba kepada Kian Bu "si penculik"! Benar-benar merupakan kebalikan dari apa yang mereka inginkan, dan hampir saja rahasia mereka terbuka ketika para piauwsu itu datang.

   "Kau....!"

   Kian Lee menggerakkan tangan hampir menampar muka adiknya, akan tetapi ditahannya dan dia menarik napas panjang.

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Lee-ko, jangan salahkan aku! Dialah yang salah, gadis tak tahu terima kasih itu, gadis tidak mengenal budi itu!"

   "Diam! Jangan memaki dia! Justeru perbuatannya tadi menambah tingkatnya dalam pandanganku! Dia adalah seorang yang berbudi mulia, mendahulukan rasa iba hatinya terhadap orang yang tertindas. Karena melihat kau kupukul dan mengira engkau tewas, maka dia melupakan semua urusan pribadinya dan menja-tuhkan rasa iba hatinya kepadamu. Bukankah itu menandakan bahwa dia seorang yang baik budi?"

   Suma Kian Bu melongo. Kakaknya ini malah lebih aneh daripada gadis tadi. Dia menggerakkan pundaknya dan diam-diam berjanji dalam dirinya untuk berhati-hati, agar lain kali jangan mengece-wakan hati kakaknya.

   "Siasatku tadi memang kurang sempurna, koko. Meskinya, begitu terpukul, aku pura-pura kalah dan melarikan diri, bukan pura-pura terpukul mati. Kalau aku kalah dan lari, tentu perhatiannya tertuju kepadamu."

   "Sudahlah, salah kita sendiri. Kita bermain sandiwara, bertindak palsu untuk mempermainkan kepercayan hati seorang gadis, maka cara yang tidak baik itu tentu saja mendatangkan hasil tidak baik pula."

   "Aihh, koko, jangan, begitu. Aku telah bersungguh-sungguh membantumu, dan engkau belum pernah membantuku."

   "Hemm, aku memang telah hutang budi kepadamu. Baik, akan kubalas seperti yang kau lakukan kepadaku, hanya hasilnya terserah engkau yang menanggung jawab semua."

   "Tentu saja. Akan tetapi siasatnya harus diperbaiki. Setelah engkau kuserang, engkau pura-pura kalah dan meninggalkan gadis itu untuk berterima kasih kepadamu."

   "Hemmmm...."

   Kian Lee hanya menggumam mengkal. Saat yang dijanjikan oleh Kian Lee kepada adiknya itu tiba ketika perjalanan mereka sudah tiba di pegunungan yang menjadi tapal batas Propinsi Hopei. Perjalanan naik turun gunung dan melalui hutan-hutan besar, hanya jarang saja mereka menjumpai pedusunan atau kota. Pada suatu hari, selagi mereka berjalan perlahan di bawah pohon-pohon yang rindang yang amat sejuk karena terlindung dari sinar matahari, mereka berte-mu dengan serombongan orang yang terdiri dari dua buah kereta dan dua losin piauwsu. Rombongan yang cukup besar dan kereta itu merupakan kereta mewah, kudanyapun besar-besar sehingga sudah diduga bahwa penumpangnya tentulah sebangsa bangsawan atau hartawan.

   "Nah, besar kemungkinan di dalamnya ada gadisnya, koko,"

   Bisik Kian Bu. Kakaknya cemberut.

   "Apakah di dalam kepalamu itu isinya hanya bayangan gadis-gadis cantik?"

   

Pendekar Super Sakti Eps 35 Pendekar Super Sakti Eps 41 Sepasang Pedang Iblis Eps 7

Cari Blog Ini