Sepasang Pedang Iblis 7
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Filsafat yang diucapkan oleh Im-yang Seng-cu ini membuat penasaran hati mereka yang mendengarkan.
"Im-yang Seng-cu, ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau seorang yang sombong sekali!"
Bentak Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun.
"Kabarnya engkau adalah seorang tokoh Hoa-san-pai. Beginikah pelajaran To-kouw yang dianut oleh para tosu Hoa-san-pai?"
Sambil berkata demikian, koksu ini melirik ke arah rombongan orang Hoa-san-pai. Tentu saja koksu ini sudah mendengar bahwa Im-yang Seng-cu adalah orang yang dianggap murtad oleh Hoa-san-pai, dan Koksu yang cerdik ini sengaja menimbulkan perpecahan atau memanaskan keadaan!
"Dia bukan orang Hoa-san-pai!"
Tiba-tiba terdengar suara keras dan dari rombongan Hoa-san-pai melangkah maju seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh pendek dan jenggotnya yang sudah putih itu pun dipotong pendek. Tosu ini memandang tajam ke arah Im-yang Seng-cu dan sikapnya penuh wibawa. Im-yang Seng-cu menghadapi tosu itu dan memberi hormat.
"Aihh, kiranya Suheng Lok Seng Cu hadir pula di sini. Terimalah hormat dari Sute...."
"Pinto mewakili Suhu dan memimpin rombongan Hoa-san-pai, sama sekali tidak ada hubungan lagi denganmu, Im-yang Seng-cu. Engkau tidak lagi diakui sebagai seorang murid Hoa-san-pai!"
Semua orang memandang dengan hati tegang, dan koksu memandang dengan mata bersinar. Tahu rasa engkau sekarang, orang sombong, pikirnya. Akan tetapi Im-yang Seng-cu tetap berseri wajahnya dan tenang sikapnya ketika menjawab,
"Lok Seng Cu, aku pun tidak pernah menonjolkan diri sebagai seorang tokoh Hoa-san-pai. Aku berusaha untuk menjadi manusia bebas, akan tetapi.... hemm.... betapa sukarnya dan betapa tidak mungkinnya usaha itu. Hidup sendiri sudah tidak bebas. Kita terbelenggu oleh kebudayaan, oleh agama, oleh hukum-hukum yang diciptakan manusia hanya untuk menyerimpung kaki manusia sendiri. Di mana kebebasan? Aihhhh, aku pun rindu kebebasan, seperti Aku sejati....!"
Jawaban itu membuat Lok Seng Cu membungkam, karena memang orang yang dianggap murtad ini tidak pernah menyeret-nyeret nama Hoa-san-pai dalam setiap sepak terjangnya, dan kalau tadi dianggap tokoh Hoa-san-pai, adalah koksu yang mengatakan, bukan pengakuan Im-yang Seng-cu sendiri. Karena pembakarannya tidak berhasil, koksu menjadi penasaran dan ingin ia "menangkap"
Im-yang Seng-cu untuk memancing-mancing kalau-kalau kakek aneh ini akan mengeluarkan ucapan yang menyinggung, sehingga dapat dijadikan alasan untuk menyerangnya.
"Im-yang Sengcu, apa pula artinya perkataanmu bahwa manusia kehilangan kebebasan karena terbelenggu oleh hukum-hukum yang diadakan manusia sendiri?"
Im-yang Seng-cu menghela napas panjang.
"Inilah yang membuat hatiku selalu menjadi gelisah menyaksikan betapa makin lama manusia makin menjerat leher sendiri, membelenggu tangan kaki sendiri dengan hukum-hukum dan aturan-aturan sehingga beberapa ribu tahun lagi manusia tak dapat bergerak tanpa melanggar hukum! Betapa bayi takkan menangis begitu terlahir, menghadapi semua belenggu ini? Begitu terlahir, tubuhnya sudah dibelenggu kain-kain penutup tubuh, menyusul peraturan dan hukum-hukum yang tiada putusnya. Ada hukum ada pelanggaran, diperkenalkan yang buruk, mengerti tentang kesucian berarti mengerti tentang kedosaan. Aihhh, betapa repot hidup ini!"
"Seorang manusia yang tidak mentaati peraturan berarti melanggar kesusilaan, melanggar kesopanan dan hanya seorang Siauw-jin (orang rendah) yang akan berbuat seperti itu!"
Yang berkata demikian adalah Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang kosen dan jujur itu. Sebagian besar para pembesar dan panglima Kerajaan Ceng (Kerajaan Mancu) mempelajari Agama Khong Hu Cu dan karena orang-orang bicara tentang filsafat, Bhe Ti Kong tertarik lalu mengajukan bantahan atas pendirian Im-yang Seng-cu tadi. Im-yang Seng-cu tersenyum dan mengangguk-angguk,
"Bagus sekali, Ciangkun. Memang tepatlah kalau orang mempelajari kebudayaan setempat! Sekali lagi aku katakan bahwa aku hanya menyesalkan keadaan hidup manusia, bukan sekali-sekali menganjurkan agar semua orang melanggar hukum dan peraturan-peraturan yang sudah ada. Aku sendiri sampai sekarang masih memakai pakaian dan peraturan-peraturan masih tetap kupegang karena seperti juga semua manusia, aku pun dihinggapi penyakit ke-AKU-an sehingga rela melakukan hidup dalam kepalsuan-kepalsuan dan tidak wajar. Seperti semua agama, telah kukatakan tadi, Agama Khong Hu Cu juga mengajarkan segala kebaikan, merupakan pelajaran-pelajaran yang benar-benar tepat. Akan tetapi sayang, betapa sedikit manusia yang mematuhinya secara lahir batin, menyesuaikan pelajaran-pelajaran itu dalam sepak terjang hidupnya sehari-hari! Bukankah Nabi Khong Hu Cu bersabda bahwa seorang Kuncu hanya mengejar kebenaran sedangkan seorang Siauw-jin hanya mengejar keuntungan! Nah, Nabi Khongcu sendiri telah maklum akan penyakit ke-AKU-an manusia sehingga perlu memperingatkan manusia yang selalu ingat akan keuntungan diri pribadi, keuntungan lahiriah! Kukatakan tadi bahwa begitu terlahir, bayi telah dibelenggu kain-kain penutup tubuh. Kalau pakaian dimaksudkan untuk melindungi tubuh, hal yang hanya timbul karena kebiasaan, karena sesungguhnya kalau tidak dibiasakan pun tidak apa-apa, maka apa hubungannya dengan kesusilaan dan kesopanan?"
"Wah, orang yang tidak mau berpakaian dan bertelanjang bulat adalah orang yang tak tahu malu dan tidak sopan!"
Seorang membantah dan karena semua orang berpendapat demikian, tidak ada yang peduli siapa yang mengeluarkan bantahan itu tadi. Im-yang Seng-cu tertawa,
"Benarkah begitu? Kalau pun benar, maka anggapan itu muncul setelah orang menciptakan peraturan dan hukum dengan itu! Tidak wajar dan palsu seperti yang lain-lain! Apakah seorang bayi yang baru terlahir dan sama sekali tidak berpakaian itu dianggap tak tahu malu dan tidak sopan? Ha-ha-ha, kulihat Cu-wi kini mulai dapat mengerti apa yang kumaksudkan. Bayi, manusia cilik itu tadinya wajar dan tidak mengenal hukum kesusilaan, maka tidak bisa dianggap rendah atau tak tahu malu. Siapa tidak mengenal hukumnya, dapatkah dianggap melanggar? Setelah tahu akan hukumnya lalu melanggar, barulah dimaki-maki. Dengan demikian, bukankah hukum-hukum diadakan untuk membelenggu kaki tangan manusia sendiri, membatasi kebebasan dan kewajaran hidup? Timbulnya segala kesalahan adalah karena melanggar hukum, dan timbulnya segala pelanggaran hukum adalah karena mengenal hukum yang diciptakan. Berarti, tanpa hukum takkan ada pelanggaran! Pengertian akan baik dan buruk itulah yang membuat manusia terpecah dua, ada yang baik dan ada yang jahat. Pengertian akan kesucian dan kedosaan, hukum-hukum yang diadakan untuk mengerti kedua hal itulah yang menimbulkan kedosaan."
Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Im-yang Seng-cu, engkau benar-benar hebat, membuat kami semua bengong mendengarkan kata-katamu. Apakah engkau datang untuk berkhotbah? Ataukah hendak menyebarkan agama baru?"
"Tidak, Koksu. Aku hanya mencoba untuk membentangkan keadaan sebenarnya, mengajak semua orang berlaku wajar dan tidak berpura-pura, menyesuaikan diri dengan keadaan bukan semata-mata demi keuntungan diri pribadi. Seperti engkau sendiri, Koksu. Kehadiranmu dengan banyak pasukan pemerintah di tempat ini mengapa pakai berpura-pura? Kalau memang pemerintah melarang semua orang gagah mencari pusaka-pusaka yang dikabarkan berada di pulau ini, lebih baik terang-terangan saja. Akan tetapi hendaknya diingat bahwa mencari pusaka-pusaka lama dan memperebutkannya adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan pemerintah sehingga amatlah menggelikan kalau pemerintah akan menggunakan dalih memberontak!"
Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berubah merah.
"Memang sesungguhnyalah! Kami telah menguasai pulau ini dan tak seorang pun boleh mencoba untuk mencari benda apa saja yang berada di pulau ini. Kalau ada yang tidak setuju, boleh menentangku!"
Sambil berkata demikian, kakek botak itu melangkah maju dengan sikap menantang. Im-yang Seng-cu tertawa lagi dengan sikap tenang.
"Im-kan Seng-jin, siapa yang dapat melawanmu? Aku sendiri sudah tua, bukan kanak-kanak yang suka mengadu kepalan memperebutkan permainan."
Dia lalu menghadapi semua orang yang masih berada di situ sambil berkata nyaring,
"Harap Cu-wi sekalian pulang ke tempat masing-masing. Biarpun belum mencari dan menyelidiki sendiri, namun aku yakin bahwa pusaka-pusaka yang lenyap itu tidak mungkin berada di pulau ini. Kakek bongkok Gu Toan penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang amat lihai itu mati terbunuh dan pusaka-pusaka Suling Emas lenyap, hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Setelah berhasil merampas pusaka masa orang sakti itu lalu meninggalkannya begitu saja di tempat ini? Mustahil! Marilah kita pergi dan biarlah Koksu yang mempunyai banyak pasukan ini kalau perlu membongkar pulau dan meratakan dengan laut untuk mencari pusaka-pusaka itu. Ha-ha-ha!"
Im-yang Seng-cu melangkah pergi dari situ dan semua orang lalu pergi tanpa pamit, dipandang oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan alis berkerut karena merasa disindir, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa.
Koksu ini mengerti benar akan politik yang dijalankan Peme-rintah Ceng, yaitu ingin membaiki para tokoh-tokoh kang-ouw dan sedapat mungkin mempergunakan kepandaian mereka, bukannya memusuhi mereka sehingga memancing pemberontakan-pemberontakan karena Kerajaan Mancu mengerti benar bahwa rakyat masih belum mau tunduk kepada pemerintah penjajah dan di dalam hati amat membenci pemerintah Ceng. Maka, untuk menghilangkan rasa penasaran karena tadi ia merasa "ditelanjangi"
Oleh Im-yang Seng-cu, juga karena alasan yang dikatakan oleh bekas tokoh Hoa-san-pai tentang pusaka-pusaka itu tepat, maka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun lalu mengerahkan pasukannya untuk sekali lagi melakukan pencarian di pulau itu,
Bukan mencari pusaka yang ia tahu memang tidak berada di pulau itu, melainkan mencari petunjuk-petunjuk selanjutnya karena jejak yang didapatkannya hanya sampai di pulau itu. Akan tetapi, sampai beberapa hari mereka bekerja, hasilnya sia-sia sehingga akhirnya koksu terpaksa kembali ke kota raja dengan hati mengkal dan memerintahkan kepada dua orang pembantunya yang paling boleh diandalkan, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, untuk merantau di dunia kang-ouw, memasang mata dan telinga, mencari kabar dan cepat-cepat memberi laporan kepadanya kalau ada berita bahwa ada tokoh kang-ouw yang mendapatkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali Pusaka Sepasang Pedang Iblis.
Mengapakah koksu ini ingin benar mendapatkan Sepasang Pedang Iblis? Sebenarnya, sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi sekali, dia tidak hanya menginginkan sepasang pedang itu, juga ingin memiliki pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas yang amat keramat dan ampuh. Akan tetapi, lebih dari segala pusaka di dunia ini, ia ingin sekali mendapatkan Sepasang Pedang Iblis, hal ini bukan hanya karena dia mendengar akan keampuhan sepasang pedang yang pernah menggegerkan dunia pada puluhan tahun yang lalu, juga karena masih ada hubungan antara Bhong Ji Kun ini dengan Si Pembuat Pedang itu! Sepasang Pedang Iblis adalah sepasang pedang milik Pendekar Wanitar Sakti Mutiara Hitam yang kemudian terjatuh ke tangan sepasang pendekar murid Mutiara Hitam.
Kedua pedang yang ampuh itu dibuat oleh dua orang ahli pedang dari India, laki-laki dan wanita yang sakti dan yang hanya setelah dikalahkan oleh Mutiara Hitam baru mau membuatkan sepasang pedang yang dikehendaki Mutiara Hitam, dibuat dari dua bongkah logam yang jatuh dari langit! Kedua orang India ini bernama Mahendra dan Nila Dewi (baca cerita ISTANA PULAU ES). Adapun koksu Kerajaan Mancu yang lihai ini pun adalah seorang peranakan India dan antara dia dengan kedua orang ahli pedang India itu masih ada hubungan keluarga! Biarpun Mahendra dan Nila Dewi yang dianggap suami isteri itu hanya merupakan kakek dan nenek luar yang sudah jauh, akan tetapi sedikit banyak ada hubungan darah sehingga kini Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi penasaran kalau tidak dapat merampas Sepasang Pedang Iblis buatan kakek dan neneknya.
Demikianlah, kini dengan mati-matian Bhong Ji Kun berusaha mendapatkan Sepasang Pedang Iblis dan untuk menyelidiki gerak-gerik orang-orang kang-ouw yang dianggapnya menjadi sebab kehilangan pusaka-pusaka itu, koksu memberi tugas kepada Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Tibet yang memiliki kepandaian tinggi itu, tingkat kepandaian yang hanya sedikit di bawah tingkat Si Koksu sendiri. Sesosok bayangan putih menyambar turun dari angkasa dan bunyi kelepak sayap terdengar disusul bergeraknya daun-daun pohon ketika pohon itu tertiup angin yang keluar dari gerakan sayap dan burung garuda putih yang besar itu hinggap di atas tanah. Laki-laki berkaki buntung sebelah itu meloncat turun dan terdengar keluhannya lirih ditujukan kepada si Burung Garuda.
"Pek-eng (Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh.... kenapa selama hidupku aku harus menderita kehilangan selalu....?"
Burung itu menggerak-gerakkan lehernya dan paruhnya yang kuat mengelus-elus kepala Suma Han yang berambut putih, seolah-olah burung itu hendak menghiburnya. Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Han. Majikan Pulau Es yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman. Usia pendekar sakti ini belum ada tiga puluh tahun, akan tetapi biarpun wajahnya masih tampan dan segar, rambutnya yang putih dan pandang matanya yang sayu membuat pendekar ini memiliki wibawa seperti seorang kakek-kakek tua renta!
"Pek-eng...."
Katanya lirih bisik bisik sambil mengelus leher burung itu,
"siapa yang mempunyai, dia yang akan kehilangan...."
"Nguk nguk...."
Garuda itu mengeluarkan suara lirih, seolah-olah ikut berduka.
"Engkau pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang kini pergi bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan karena aku banyak mempunyai orang-orang yang kucinta....! Ahhh, betapa bahagianya orang yang tidak mempunyai apa-apa karena dia tidak akan menderita kehilangan apa-apa! Siapa bilang yang punya lebih senang daripada yang tidak punya? Ah, dia tidak tahu! Mempunyai berarti menjaga karena selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang yang tidak mempunyai apa-apa saja yang dapat enak tidur, tidak khawatir kehilangan apa-apa!"
Suma Han menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tidur pulas!
Memang To cu (Majikan Pulau) Pulau Es ini di samping kesaktiannya yang luar biasa, mempunyai kebiasaan aneh, yaitu dalam urusan makan dan tidur ia berbeda dengan manusia-manusia biasa. Kadang-kadang sampai belasan malam dia tidak tidur sekejap mata pun, selama belasan hari tidak makan sesuap pun, akan tetapi dia dapat tidur sampai berhari-hari dan sekali makan menghabiskan beberapa kati gandum! Garuda putih yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas, lalu terbang ke atas pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga. Burung ini sudah melakukan penerbangan amat jauh dan lama sehingga tubuhnya terasa lelah. Dua mahluk yang sama sama lelah itu kini mengaso dan keadaan di dalam hutan itu sunyi, yang terdengar hanya bersilirnya angin mampermainkan ujung-ujung daun pohon. Dalam keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali.
Biasanya di waktu ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung kemuraman yang mendalam, apalagi karena sinar matanya yang tajam dan dingin serta aneh itu selalu tampak sayu, membuat wajahnya seperti matahari tertutup awan hitam. Kini setelah ia tidur pulas, lenyaplah garis-garis dan bayangan gelap, membuat wajahnya kelihatan tenang tenteram dan mulutnya tersenyum penuh pengertian bahwa segala yang telah, sedang dan akan terjadi adalah Hal-hal yang sudah wajar dan semestinya, hal-hal yang tidak perlu mendatangkan suka maupun duka! Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak membayangkan penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan tidak dirangsang nafsu perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati, segala persoalan lenyap dari dalam hati dan pikiran.
"Suma Han, bangunlah!"
Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun mengandung getaran kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata.
Dengan malas ia bangkit dan memandang orang yang membangunkannya. Kiranya di depannya telah berdiri seorang kakek yang dikenalnya baik karena kakek yang memegang tongkat berujung kepala naga itu bukan lain adalah Im yang Seng cu! Namun ia bersikap tak acuh dan garis-garis bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya. Ia hanya sekilas memandang wajah kakek itu, kemudian menunduk, seolah-olah enggan untuk berurusan dan memang sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han merasa malas untuk berurusan dengan siapapun juga. Betapapun, mengingat bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im yang Seng-cu adalah guru dari orang-orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia berkata sambil tetap menundukkan muka.
"Locianpwe Im yang Seng cu, apakah yang Locianpwe kehendaki maka perlu membangunkan saya yang sedang mengaso?"
"Apa yang kukehendaki? Ha ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun aku sehingga tanpa kusengaja dapat bertemu denganmu di sini, Suma Han. Aku hendak membunuhmu!"
Suma Han sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, bahkan seperti tidak peduli. Dia hanya mengangkat muka dan memandang sejenak, membuat Im yang Seng cu terpaksa mengejapkan mata karena merasa seolah-olah ada sinar yang menusuk nusuk keluar dari sepasang mata Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu. Akan tetapi sepasang mata itu menunduk kembali dan dada Suma Han mengembung besar ketika ia menarik napas panjang.
"Ada akibat tentu bersebab. Datang-datang Locianpwe hendak membunuh saya, pasti ada sebabnya. Kiranya tidak keterlaluan kalau saya yang hendak Locianpwe bunuh ini lebih dulu mendengar apa yang menyebabkan Locianpwe hendak membunuh saya."
Suaranya tetap tenang. Im yang Seng cu juga menghela napas panjang. Sebenarnya, tidak ada seujung rambut pun rasa senang di hatinya untuk menghadapi Pendekar Super Sakti dengan ancaman untuk membunuhnya! Baik karena pengetahuannya bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pendekar muda ini maupun karena memang dia selalu merasa suka dan kagum kepada Suma Han.
"Tentu ada sebabnya! Dahulu engkau yang menjadi sebab kematian seorang muridku yang tersayang, yaitu Soan Li. Hal itu masih dapat kulupakan sungguhpun ada orang yang takkan dapat melupakannya, yaitu Tan-siucai...."
Suma Han memejamkan matanya dan bibirnya mengeluarkan keluhan disusul ucapannya yang menggetar,
"Mohon Locianpwe jangan menyebut nyebut namanya lagi...."
Di depan kedua matanya yang terpejam itu, pendekar muda yang berkaki buntung ini membayangkan semua peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Hoa san Kiam li (Pendekar Pedang Wanita dari Hoa san) Lu Soan Li adalah murid ke dua Im yang Seng-cu, seorang dara jelita yang lihai sekali dan berjiwa patriot, seorang gadis manis yang jatuh cinta kepadanya, bahkan kemudian telah mengorbankan nyawanya untuk dia! Lu Soan Li tewas di dalam pelukannya dan menghembuskan napas terakhir setelah mengaku cinta kepadanya. Dara perkasa itu tewas dalam usaha untuk menyelamatkannya.
"Suma Han, urusan Soan Li memang sudah kulupakan. Akan tetapi sekarang engkau kembali telah menghancurkan kebahagiaan hidup dua orang yang paling kusayang di dunia ini, kusayang seperti anak anakku sendiri. Engkaulah yang menjadi sebab kehancuran hidup mereka, karena itu tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuhmu atau mati di tanganmu!"
Suma Han merasa seolah-olah jantungnya ditembusi anak panah beracun, akan tetapi sikapnya tenang dan ia hanya memandang penuh pertanyaan sambil berkata,
"Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan Lulu dan Sin Kiat?"
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es ini merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan adik angkatnya, yaitu seorang gadis Mancu yang amat dicintanya, bahkan merupakan satu-satunya orang yang paling dicintanya di dunia ini.
Telah lima tahun ia meninggalkan adiknya itu ketika adiknya menikah dengan Wan Sin Kiat yang berjuluk Hoa san Gi Hiap (Pendekar Budiman dari Hoa san) yaitu murid pertama Im yang Seng cu! Siapa lagi yang merupakan dua orang yang dicinta kakek ini kalau bukan muridnya itu? Adapun tentang pertanyaan Im yang Seng cu tentang dendam yang dikandung di hati orang yang benama Tan-siucai (Pelajar Tan), dia tidak peduli. Dia tahu bahwa Tan siucai adalah tunangan mendiang Lu Soan Li dan karena dia tidak merasa berdosa terhadap kematian Soan Li yang mengorbankan diri untuk menyelamatkannya, maka dia pun tidak peduli apakah ada orang yang mendendam kepadanya atau tidak. Akan tetapi kalau adiknya, Lulu yang dicintainya itu tertimpa malapetaka....!
"Locianpwe, saya minta Locianpwe menceritakan kepada saya apa yang telah terjadi dengan Lulu!"
Kembali Suma Han berkata, sungguhpun sikap dan suaranya tenang, namun jelas ia mendesak dan pandang matanya penuh tuntutan.
"Kau mau tahu? Baiklah, sebaiknya engkau dengar sejelasnya agar kalau nanti kau tewas di tanganku tidak menjadi setan penasaran dan kalau sebaliknya aku yang mati di tanganmu agar lengkap noda darah di tanganmu!"
Kakek itu lalu menghampiri pohon yang menonjol.
Melihat sikap kakek itu, Suma Han juga duduk di depannya, siap mendengarkan penuturan kakek itu. Im yang Seng cu lalu mulai dengan penuturannya tentang keadaan Lulu dan Sin Kiat. Lima tahun lebih yang lalu, dengan disaksikan oleh Im yang Seng cu sebagai wali pengantin pria, yaitu muridnya Wan Sin Kiat, dilangsungkanlah pernikahan Wan Sin Kiat dengan Lulu yang dihadiri oleh Suma Han sebagai kakak angkat dan walinya (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI). Setelah menyaksikan pernikahan adiknya, Suma Han lalu pergi dan semenjak itu tidak pernah kembali atau bertemu dengan Lulu lagi. Akan tetapi, semenjak ditinggal pergi kakak angkatnya, Lulu selalu kelihatan berduka. Memang pada bulan bulan pertama dia agak terhibur oleh limpahan kasih sayang Wan Sin Kiat, suaminya.
Akan tetapi, bulan bulan berikutnya hiburan suaminya tidak dapat menyembuhkan kedukaan hatinya, seolah-olah semua kegembiraan hidupnya terbawa pergi oleh bayangan Suma Han, kakaknya. Lebih--lebih setelah Lulu melahirkan seorang anak laki laki, hubungan suami isteri ini kelihatan makin merenggang. Im yang Seng cu yang seringkali mengunjungi muridnya, dapat melihat kerenggangan ini, akan tetapi tentu saja dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara suami isteri itu. Kurang lebih setahun kemudian setelah Lulu melahirkan anak, pada suatu hari Im yang Seng cu didatangi muridnya, dan betapa kaget hatinya melihat Wan Sin Kiat menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Hal ini benar benar mengejutkan hati kakek itu yang
(Lanjut ke Jilid 07)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
mengenal betul kegagahan muridnya.
"Sin Kiat, hentikan tangismu! Air mata seorang gagah jauh lebih berharga daripada darahnya, jangan dibuang buang!"
Bentak kakek itu yang tidak tahan melihat muridnya yang gagah perkasa itu menangis tersedu sedu. Wan Sin Kiat menyusut air matanya dan menekan kedukaan hatinya.
"Ceritakan apa yang telah terjadi. Seorang jantan harus berani menerima segala peristiwa yang menimpanya, baik maupun buruk, secara gagah pula!"
"Maaf, Suhu. Teecu sanggup menghadapi derita apapun juga, akan tetapi ini.... ah, Suhu. Isteri teecu, Lulu, telah pergi meninggalkan teecu!"
"Apa....?"
Im yang Seng cu terkejut juga mendengar ini.
"Dan puteramu?"
"Dibawanya pergi."
"Kenapa tidak kau kejar dia? Mengapa datang ke sini dan tidak segera mengejar dan membujuknya pulang?"
Im-yang Seng cu menegur muridnya karena mengira bahwa tentu terjadi percekcokan antara suami isteri itu, hal yang amat lumrah. Akan tetapi Sin Kiat menggeleng kepala dengan penuh duka.
"Percuma, Suhu. Hatinya keras sekali dan kepergiannya merupakan hal yang sudah ditahan-tahannya selama dua tahun, semenjak teecu menikah dengannya."
"Aihh, bagaimana pula ini? Bukankah kalian menikah atas dasar saling mencinta?"
"Teecu memang mencintanya dengan jiwa raga teecu bahkan sampai saat ini pun teecu tak pernah berkurang rasa cinta teecu terhadap Lulu. Akan tetapi.... dia.... ah, kasihan Lulu.... dia menderita karena cinta kasihnya bukan kepada teecu, melainkan kepada Han Han...."
"Suma Han? Dia kakaknya!"
"Itulah soalnya, Suhu. Sesungguhnya, Lulu amat mencinta kakak angkatnya, dan baru setelah melangsungkan pernikahan dan ditinggal pergi Han Han, dia sadar dan menyesal, Lulu sudah berusaha untuk melupakan kakak angkatnya, berusaha untuk membalas cinta kasih teecu, aduh kasihan dia.... semua gagal, cintanya terhadap kakak angkatnya makin mendalam dan membuatnya makin menderita...."
"Dan semua itu dia ceritakan kepadamu?"
Im yang Seng cu bertanya dengan mata terbelalak, terheran heran mendengar penuturan yang dianggapnya aneh tak masuk akal itu.
"Tidak pernah, sampai ketika ia pergi, Suhu. Dia meninggalkan surat, mengakui segala isi hatinya dan minta teecu agar mengampunkan dia, melupakan dia, akan tetapi dengan pesan agar teecu tidak mencarinya karena sampai mati pun dia tidak akan mau kembali kepada teecu."
"Mau ke mana dia?"
"Dia tidak menyatakan dalam surat, akan tetapi teecu rasa dia mau pergi mencari Han Han."
"Si Pemuda Keparat Suma Han!"
Im-yang Seng-cu mengetukkan tongkatnya di lantai.
"Jangan, Suhu. Han Han tidak bersalah dalam hal ini.... juga Lulu tidak bersalah. Sejak dahulu teecu sudah menduga bahwa cinta kasih di antara kakak beradik angkat itu melebihi cinta kasih kakak adik biasa. Hanya karena sudah tergila-gila kepada Lulu teecu tidak berpikir panjang lagi...."
"Tidak bersalah, katamu? Kalau memang mereka saling mencinta, kenapa dia membiarkan adiknya menikah dengan-mu? Akan kucari mereka, kalau sampai mereka berdua itu kudapatkan menjadi suami isteri, hemmm.... hanya mereka atau aku yang boleh hidup lebih lama di dunia ini!"
"Suhu!"
Wan Sin Kiat membujuk suhunya, akan tetapi Im yang Seng cu berkeras karena merasa betapa peristiwa itu merupakan penghinaan dan penghancuran kehidupan muridnya yang diang-gapnya sebagai anaknya sendiri. Dapat dibayangkan betapa hancur hati guru ini ketika beberapa bulan kemudian ia mendengar bahwa Hoa san Gi-hiap Wan Sin Kiat, murid yang patah hati itu, gugur di dalam perang membela Raja Muda Bu Sam Kwi di Se-cuan, ketika bala tentara Mancu menyerbu Se-cuan dan dalam perang ini pulalah Bu Sam Kwi meninggal dunia.
Menurut berita yang didengar oleh Im yang Sengcu, muridnya itu berperang seperti orang gila tidak mengenal mundur lagi sehingga diam diam ia mengerti bahwa muridnya sengaja menyerahkan nyawa, mencari mati dalam perang. Hatinya seperti ditusuk pedang dan biarpun dia merasa bangga bahwa di dalam kedukaannya muridnya itu memilih mati sebagai seorang patriot sejati, namun dia berduka sekali karena kematian muridnya adalah kematian akibat putusnya cinta kasih! Mendengar penuturan Im yang Seng-cu, Suma Han memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya tidak berubah, akan tetapi pandang matanya makin sayu seperti orang mengantuk. Im yang Seng cu bangkit berdiri.
"Nah, sekarang bersiaplah engkau untuk menebus dosamu. Kedua orang muridku mati karena engkau. Hidupku yang tidak berapa lama lagi ini akan tersiksa oleh dendam dan penasaran, maka aku harus membunuhmu atau engkau menghentikan siksa batinku dengan membunuhku!"
Akan tetapi Suma Han tetap bengong, sama sekali tidak memandang kepada Im yang Seng cu, melainkan memandang kosong ke depan dan mulutnya berkata lirih,
"Hemm.... kalau begitu.... dia agaknya...."
Ucapan ini diulang beberapa kali. Pada saat itu, muncullah dua orang pendeta Lama yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, diikuti oleh Bhe Ti Kong panglima tinggi besar. Begitu muncul, terdengar suara Thian Tok Lama,
"Suma Taihiap, pinceng bertiga datang menyampaikan permintaan koksu supaya Taihiap suka menyerahkan Sepasang Pedang Iblis kepada pinceng."
Akan tetapi Pendekar Super Sakti masih termenung seperti tadi, sama sekali tidak mempedulikan munculnya tiga orang ini, bahkan seolah-olah tidak mendengar kata-kata Thian Tok Lama. Ia tetap berdiri termenung memandang jauh dan terdengar suaranya lirih berulang-ulang.
"Aihhh.... tentu dia....!"
Thian Lok Lama mengerutkan alisnya melihat sikap Suma Han yang dianggapnya memandang rendah kepadanya. Dahulu, pendeta Lama ini pernah beberapa kali bentrok dengan Suma Han dan maklum akan kepandaian pendekar muda berkaki buntung ini, akan tetapi karena kini ia mengandalkan pengaruh koksu dia tidak menjadi takut. Terdengar pendeta Tibet itu berkata lagi, suaranya lantang menggema di seluruh hutan.
"Suma Taihiap! Koksu menghormati Taihiap sebagai To cu terkenal dari Pulau Es, maka mengajukan permintaan secara baik dan hormat. Harap saja Taihiap suka menghargai penghormatan Koksu!"
Suma Han tetap tidak menjawab dan termenung. Terdengarlah suara ketawa Im yang Seng cu,
"Ha ha ha! Penghormatan yang menyembunyikan paksaan adalah penghormatan palsu. Menuduh orang menyimpan pusaka tanpa bukti lebih mendekati fitnah!"
Thian Tok Lama menoleh ke arah Im-yang Seng cu dengan sikap marah, akan tetapi pendeta Tibet yang cerdik ini tidak mau melayani karena dia tahu bahwa menghadapi Suma Han saja sudah merupakan lawan berat, apalagi kalau dibantu kakek aneh yang dia tahu bukan orang sembarangan pula itu. Maka dia berkata lagi, tetap ditujukan kepada Suma Han.
"Koksu berpendapat bahwa karena Taihiap lah orangnya yang dahulu menguburkan jenazah Siang mo Kiam eng (Sepasang Pendekar Pedang Iblis) bersama sepasang pedang itu, maka kini tetap Taihiap pula yang membongkar kuburan dan mengambil sepasang pedang itu. Hendaknya diketahui bahwa yang berhak atas Sepasang Pedang Iblis adalah Koksu Im kan Seng jin Bhong Ji Kun, karena pembuat pedang itu adalah nenek moyangnya dari India. Maka pinceng percaya akan kebijaksanaan Suma Taihiap untuk mengembalikan pedang pedang itu kepada yang berhak."
Akan tetapi Suma Han mengangguk-angguk dan bicara seorang diri.
"Benar, tak salah lagi, tentu dia...."
"Orang ini terlalu sombong!"
Tiba-tiba Bhe Ti Kong membentak dan meloncat maju.
"Berani engkau menghina utusan Koksu negara, orang muda buntung yang sombong?"
Setelah membentak demikian, Bhe ciangkun sudah menerjang maju, mencengkeram ke arah pundak Suma Han dengan maksud menangkapnya dan memaksanya tunduk.
"Plakk! Auggghhh....!"
Tubuh tinggi besar Bhe ciangkun terlempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah. Ia meloncat bangun dengan muka pucat dan tangan kirinya memijit mijit tangan kanan yang tadi ia pakai mencengkeram pundak Suma Han. Pendekar Super Sakti itu masih berdiri tak bergerak, termenung seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika Bhe Ti Kong mencengkeram tadi, Pendekar Siluman itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi begitu tangan panglima kerajaan mencengkeram pundak,
Bhe ciangkun merasa tangannya seperti ia masukkan ke dalam tungku perapian yang luar biasa panasnya dan ada daya tolak yang amat kuat sehingga ia terjengkang dan terpelanting. Melihat kawannya roboh, Thian Lok Lama dan Thai Li Lama terkejut dan marah, mengira bahwa pendekar berkaki buntung itu sengaja menyerang Bhe Ti Kong, maka dengan gerakan otomatis keduanya lalu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh. Angin yang dahsyat menyambar dari tangan mereka, menyerang Suma Han yang masih berdiri termenung, seolah-olah tidak tahu bahwa dia sedang diserang dengan pukulan maut jarak jauh yang amat kuat. Baju di tubuh Suma Han berkibar terlanda angin pukulan itu akan tetapi, tenaga pukulan dengan sin-kang itu seperti "menembus"
Tubuh Suma Han lewat begitu saja dan
"kraaakkk!"
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebatang pohon yang berada di belakang Suma Han tumbang dilanda angin pukulan itu, akan tetapi tubuh Pendekar Siluman itu sendiri sedikit pun tidak bergoyang! Hal ini membuat Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terheran--heran dan penasaran. Kalau lawan itu menggunakan tenaga sin-kang melawan serangan mereka, bahkan andaikata mengalahkan sin-kang mereka sendiri, hal itu tidaklah mengherankan. Akan tetapi Pendekar Siluman Majikan Pulau Es itu sama sekali tidak melawan dan angin pukulan mereka hanya lewat saja seolah-olah tubuh itu terbuat daripada uap hampa! Rasa penasaran membuat keduanya menerjang maju den menggunakan dorongan telapak tangan mereka menghantam dada Suma Han dari kanan-kiri!
"Buk! Bukk!"
Dua buah pukulan itu mengenai dada Suma Han, akan tetapi akibatnya kedua orang pendeta Lama itu terjengkang dan terbanting seperti halnya Bhe Ti Kong tadi!
"Ha ha ha ha! Kiranya utusan utusan koksu kerajaan adalah pelawak pelawak yang pandai membadut, pandai menari jungkir balik!"
Im yang Seng cu bersorak dan bertepuk tangan seperti orang kagum dan gembira menyaksikan aksi para pelawak di panggung. Dua orang pendeta Lama itu meloncat bangun dan memandang Im yang Seng cu dengan mata mendelik.
Keduanya tadi roboh karena biarpun Suma Han kelihatannya diam tidak bergerak, namun dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata, dua buah jari tangan kanan-kiri pemuda berkaki buntung itu telah menyambut pukulan telapak tangan kedua lawan dengan totokan sehingga begitu telapak tangan berhasil memukul dada, tenaganya sudah buyar sehingga merekalah yang "terpukul"
Oleh hawa sin-kang yang melindungi tubuh Suma Han. Tentu saja keduanya terkejut setengah mati. Mereka sudah mengenal Suma Han, sudah tahu akan kelihaian Pendekar Super Sakti itu. Akan tetapi, yang mereka hadapi sekarang ini adalah pemuda buntung yang kepandaiannya beberapa kali lipat daripada dahulu, lima tahun yang lalu. Hal ini mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan rasa jerih. Kemudian mereka menimpakan kemarahan, yang timbul karena malu kepada Im yang Seng cu yang mengejek mereka.
"Im yang Seng cu, engkau sungguh seorang yang tak tahu diri! Di muara Huang ho Koksu telah mengampuni nyawamu, sekarang engkau berani menghina kami. Coba kau terima pukulan pinceng!"
Thian Tok Lama menerjang Im-yang Seng cu yang cepat meloncat ke samping karena datangnya serangan itu amat hebat.
Pukulan yang dilancarkan Thian Tok Lama adalah pukulan Hek in-hui hong ciang, ketika memukul tubuhnya agak merendah, perutnya yang gendut makin menggembung dan dari dalam perutnya terdengar suara seperti seekor ayam biang bertelur, berkokokan dan tangan kanannya berubah biru. Pukulannya bukan hanya mendatangkan angin dahsyat, akan tetapi juga membawa uap hitam! Melihat betapa serangan Thian Tok Lama dapat dielakkan oleh Im yang Seng cu, Thai Li Lama yang juga marah sekali terhadap kakek bertelanjang kaki itu sudah menyambut dari kiri dengan pukulan Sin kun-hoat lek yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya dibanding dengan Hek in hui hong ciang.
"Ayaaa....!"
Biarpun diancam bahaya maut, Im yang Seng cu masih dapat mengejek sambil melompat tinggi ke atas kemudian ia berjungkir balik.
"Kedua pelawak ini selain lucu juga gagah sekali!"
Tentu saja Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi makin marah. Api kemarahan di dalam hati mereka seperti dikipas, makin berkobar dan dengan nafsu mereka kembali menyerang. Im yang Seng cu tentu saja repot bukan main. Ia memutar tongkatnya melindungi tubuh. Melawan seorang di antara kedua orang Lama ini saja tidak akan menang apalagi dikeroyok dua.
"Plak.... krekkkk!"
Ujung tongkat di tangan Im yang Seng cu patah dan ia terhuyung ke belakang. Thai Li Lama mengejarnya dengan pukulan maut. Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat, meluncur turun dari atas dan Thai Li Lama yang sedang menyerang Im yang Seng cu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar dari atas ke arah kepalanya. Cepat ia mengelak dan mengibaskan tangan.
"Bresss!"
Dua helai bulu burung garuda putih membodol ketika cengkeraman burung itu dapat ditangkis Thai Li Lama. Pendeta Tibet ini menjadi marah dan terjadilah pertandingan hebat antara burung garuda dengan pendeta ini, sedangkan Thian Tok Lama kembali sudah menerjang dan mendesak Im yang Seng-cu dengan Pukulan Hek in hui hong-ciang yang merupakan cengkeraman maut.
Im yang Seng cu adalah seorang bekas tokoh Hoa san pai yang sudah mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya. Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat kakek itu lihai sekali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah telah melampaui tingkat Ketua Hoa san pai sendiri! Akan tetapi sekali ini menghadapi Thian Tok Lama, dia benar benar bertemu tanding yang amat kuat. Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet yang memiliki kepandaian tinggi ditambah tenaga mujijat dari ilmu hoat sut (sihir) yang banyak dipelajari oleh tokoh-tokoh Tibet. Biarpun hoat sut yang dikuasai Thian Tok Lama tidaklah sekuat ilmu Hoat sut Thai Li Lama, namun ilmu ini memperkuat sin-kangnya dan menambah kewibawaannya menghadapi lawan.
Dalam hal tenaga sin-kang, Im yang Seng cu kalah setingkat oleh lawannya. Memang tubuh gendut Thian Tok Lama mengurangi kegesitannya dan Im yang Seng cu lebih gesit dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng cu bertemu dengan lawan yang menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali tidak dikenalnya! Setelah saling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya Im yang Seng cu terdesak dan hanya mundur sambil mempertahankan diri sa-ja, tidak mampu balas menyerang. Hanya ada sebuah keuntungan yang membuat dia tidak dapat cepat dirobohkan, yaitu bahwa dia bersikap tenang dan gembira, selalu mengejek, berbeda dengan sikap Thian Tok Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.
Seperti juga Im yang Seng cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama mau tidak mau harus mengakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li Lama tidak akan mampu menyerang burung itu kalau Si Garuda terbang tinggi, akan tetapi biarpun kelihatannya Si Burung yang selalu meluncur turun dan menyerang kepala Thai Li Lama, selalu burung itu yang terpental oleh tangkisan dan pukulan Thai Li Lama! Banyak sudah bulu putih burung itu bodol dan kini serangannya makin mengendur, bahkan mulailah garuda putih itu mencampuri pekik kemarahannya dengan bunyi tanda gentar. Sementara itu, Suma Han masih berdiri bersandar tongkatnya. Sinar matanya memandang kosong dan bibirnya bergerak-gerak,
"Tentu dia.... wahai.... Lulu.... untuk apakah engkau mengambil pusaka-pusaka itu....? Lulu.... satu-satunya sinar bahagia yang menembus semua awan hitam di hatiku hanya melihat engkau hidup bahagia di samping suami dan anakmu.... akan tetapi.... engkau menghancurkan kebabagiaanmu sendiri.... sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku. Mengapa....? Mengapa....?"
Biarpun wajah yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan apa-apa, namun bulu matanya basah dan jari jari tangan yang memegang kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti diremas remas, perasaan hatinya menangis dan mengeluh. Bhe Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sendiri ketika menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super sakti itu.
Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya yang bertanding melawan Im-yang Seng cu dan burung garuda putih. Biarpun kedua orang temannya selalu mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si Kaki Buntung itu maju, tentu kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah. Dia adalah seorang panglima, sudah biasa mengatur siasat-siasat perang, siasat untuk mencari kemenangan dalam pertempuran. Melihat keadaan pihaknya ini, tentu saja Bhe Ti Kong tidak menghendaki pihaknya kalah dan terancam bahaya ikutnya Pendekar Siluman itu dalam pertempuran. Melihat Suma Han termenung seperti orang mimpi, ia menghampiri perlahan lahan dan mencabut senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang tombak gagang pendek yang bercabang tiga, runcing dan kuat.
Bhe Ti Kong bukanlah seorang yang berwatak curang atau pengecut, dan apa yang hendak dilakukan ini semata-mata dianggap sebagai siasat untuk kemenangan pihaknya. Biasanya dalam pertempuran perang, tidak ada istilah curang atau pengecut, yang ada hanyalah mengadu siasat demi mencapai kemenangan. Sekarang pun, ketika ia berindap indap menghampiri Suma Han dari belakang dengan senjata di tangan, satu-satunya yang memenuhi hatinya hanyalah ingin melihat pihaknya menang. Setelah tiba di belakang Suma Han, Bhe Ti Kong mengangkat senjatanya dan menyerang. Panglima tinggi besar ini memiliki tenaga yang amat kuat, senjatanya juga berat dan kuat sekali, maka serangan yang dilakukannya itu menusukkan tombak runcing ke punggung Suma Han, merupakan serangan maut yang mengerikan dan agaknya tidak mungkin dapat dihindarkan lagi!
"Wirrrr....!"
Senjata tombak cabang tiga yang runcing itu meluncur ke arah punggung Suma Han. Akan tetapi, pada waktu itu, ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To cu dari Pulau Es ini, sudah "mendarah daging"
Sehingga boleh dibilang setiap bagian kulit tubuhnya memiliki kepekaan yang tidak lumrah.
Perasaan di bawah sadarnya seolah-olah telah bangkit bekerja setiap detik sehingga jangankan baru sedang melamun, bahkan biarpun dia sedang tidur nyenyak sekalipun, perasaan ini bekerja melindungi seluruh tubuhnya dari bahaya yang mengancam dari luar. Pada saat itu, pikirannya sedang melayang layang, seluruh panca inderanya sedang ikut melayang-layang pula bersama pikirannya sehingga dia seperti tidak tahu sama sekali akan segala yang terjadi di sekelilingnya, tidak tahu betapa garuda tunggangannya dan Im yang Seng cu didesak hebat oleh Thian Tok Lama den Thai Li Lama. Akan tetapi, ketika ada senjata menyambar punggung mengancam keselamatannya, perasaan di bawah sadar itu mengguncang kesadarannya dengan kecepatan melebihi cahaya!
"Suuuuutttt!"
Bhe Ti Kong berseru kaget dan bulu tengkuknya berdiri karena tiba-tiba orang yang diserangnya itu lenyap. Ketika ia menoleh, yang tampak olehnya hanyalah bayangan berkelebat cepat menyambar ke arah Thian Tok Lama yang mendesak Im yang Seng cu,
Kemudian bayangan itu mencelat ke arah Thai Li Lama yang bertanding dan tahu-tahu tubuh kedua orang pendeta Lama itu terhuyung huyung ke belakang dan mereka berdiri dengan wajah pucat memandang Suma Han yang sudah berdiri bersandar tongkat dan memandang mereka berdua dengan sinar mata tajam ber-pengaruh. Keduanya telah kena didorong oleh hawa yang dinginnya sampai menusuk tulang dan biarpun kedua orang pendeta ini sudah mengerahkan sin-kang, tetap saja mereka itu menggigil dan wajah mereka yang pucat menjadi agak biru, gigi mereka saling beradu mengeluarkan bunyi! Setelah mengerahkan sin-kang beberapa lamanya, barulah mereka itu dapat mengusir rasa dingin dan tahulah mereka bahwa kalau Si Pendekar Super Sakti menghendaki, serangan tadi tentu akan membuat nyawa mereka melayang!
"Katakan kepada koksu kerajaan Im kan Seng jin Bhong Ji Kun bahwa To cu Pulau Es tidak tahu menahu tentang Sepasang Pedang Iblis! Nah, pergilah dan jangan mengganggu orang-orang yang tidak bersalah!"
Thian Tok Lama menghela napas panjang. Pemuda buntung itu hebat luar biasa dan ucapan seorang yang sakti seperti itu tentu saja tidak membohong. Ia menjura dan berkata,
"Baiklah dan harap To cu sudi memaafkan kelancangan kami,"
Ia memberi isyarat kepada Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong, kemudian mereka bertiga meninggalkan tempat itu. Keadaan menjadi sunyi. Garuda putih kini hinggap di atas cabang pohon, menyisiri bulu bulunya dengan paruh sambil kadang-kadang memandang ke arah majikannya. Im yang Seng cu yang masih mengatur pernapasannya yang agak terengah karena tadi ia terlampau banyak mempergunakan tenaga untuk melindungi dirinya dari desakan hebat Thian Tok Lama, kini melangkah maju mendekati Suma Han memandang penuh perhatian ke arah wajah yang sudah menunduk kembali itu lalu berkata.
"Suma Han, mari kita lanjutkan urusan di antara kita. Sudah kuceritakan semua tentang sebabnya mengapa hari ini aku harus membunuhmu atau terbunuh olehmu. Karena engkau, kedua orang muridku tewas dan orang-orang yang kucinta di dunia ini habis. Jangan berkepalang tanggung, hayo kau tewaskan aku pula atau engkaulah yang akan mati di tanganku!"
Tanpa mengangkat mukanya yang tunduk, Suma Han membuka pelupuk matanya yang menunduk. Sinar matanya bagaikan kilat menyambar wajah kakek itu, membuat hati Im yang Seng cu tergetar. Diam diam kakek ini kagum bukan main. Manusia berkaki satu yang berdiri di depannya adalah seorang manusia yang amat luar biasa!
"Benarkah Locianpwe begitu bodoh ataukah hanya pura pura bodoh? Ada kemenangan dalam diri manusia yang melebihi segala makhluk, yaitu perbuatan dengan pamrih demi kebahagiaan orang lain. Bahkan rela berkoban demi kebahagiaan orang lain. Sudah tentu saja akibatnya bermacam macam sesuai dengan kehendak Tuhan, namun menilai perbuatan bukanlah dilihat akibatnya, melainkan ditinjau pamrihnya."
Im yang Seng cu tersenyum dan menyembunyikan kegembiraannya di balik kata kata mengejek.
"Suma Han, semua perbuatan memang berakibat dan hanya seorang gagah sajalah yang berani mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya! Kepandaianmu amat tinggi dan aku sudah kehilangan tongkatku, namun jangan mengira bahwa aku akan gentar melawanmu. Jangan bersembunyi di balik kata kata yang muluk muluk. Mari kita selesaikan!"
Suma Han menghela napas panjang.
"Kalau sekeras itu kehendak Locianpwe, demi penyesalan hatiku telah mengakibatkan kesengsaraan orang-orang yang kucinta, silakan Locianpwe!"
"Bagus! Nah, sambutlah ini!"
Dengan wajah yang tiba-tiba berubah girang bukan main, Im yang Seng cu meloncat maju, tangan kanannya dengan pengerahan sin-kang sekuatnya menghantam dada Suma Han.
"Dessss!"
Tubuh Suma Han terlempar sampai lima meter, tongkat yang dipegangnya terlepas dan ia roboh terguling, mulutnya muntahkan darah segar. Seketika wajah Im yang Seng cu menjadi pucat sekali. Kegirangan lenyap dari wajahnya dan ia meloncat mendekati.
"Celaka! Keparat engkau, Suma Han! Engkau telah menipuku....! Ahhhh.... engkau akan membuat aku mati menjadi setan penasaran.... selamanya aku.... belum pernah memukul orang yang tidak melawan. Kenapa engkau tidak melawan? Celaka.... aiiiihhh.... celaka....!"
Tiba-tiba terdengar pekik keras dan bayangan putih menyambar dari atas. Garuda putih telah menyambar dan cakarnya mencengkeram pundak Im yang Seng-cu, tubuh kakek itu dibawa ke atas lalu dibanting lagi ke bawah.
"Brukkk!"
Im yang Seng cu tertawa, pundaknya luka berdarah.
"Bagus....! Bagus sekali, garuda sakti! Hayo lekas serang lagi. Hayo bunuh aku.... ha ha ha! Majikanmu yang gila tidak mau membunuhku, mati di tanganmu cukup terhor-mat. Marilah!"
Ia menantang-nantang sambil tertawa dan bangkit berdiri terhuyung huyung. Garuda putih menyambar lagi ke bawah dengan penuh kemarahan.
"Pek eng, berhenti!"
Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya mengandung getaran dahsyat dan burung itu tidak jadi menyerang Im yang Seng cu, melainkan hinggap di atas tanah dekat Suma Han dan mendekam, mengeluarkan suara mencicit sedih dan takut. Im yang Seng cu membanting-banting kakinya ke atas tanah.
"Suma Han, engkau benar benar kejam! Engkau berkali-kali mengecewakan hatiku! Engkau menerima pukulanku tanpa melawan, membuat aku menjadi seorang manusia yang rendah dan hina! Dan sekarang engkau melarang burungmu menyerangku. He, Pendekar Super Sakti! Apakah setelah engkau berjuluk Pendekar Siluman hatimu pun menjadi kejam seperti hati siluman? Apakah engkau akan puas menyaksikan aku hidup merana menanti datangnya maut menjemput nyawaku yang sudah tidak betah tinggal di tubuh sialan ini?"
"Locianpwe,"
Suma Han berkata lirih sambil mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan baju.
"Locianpwe datang dengan niat membunuhku. Pukulanmu tadi cukup keras akan tetapi belum cukup untuk melukai aku, apalagi membunuh. Kalau masih belum puas, mari, pukul lagi, Locianpwe."
"Engkau tidak melawan?"
Suma Han menggeleng kepala.
"Bagaimana harus melawan? Locianpwe hendak membunuhku karena kesalahanku terhadap Lulu dan Sin Kiat, dan biarpun tidak kusengaja, memang aku telah bersalah terhadap mereka. Kalau Locianpwe mau membunuhku, lakukanlah!"
Im yang Seng cu membanting-banting kakinya lagi.
"Kau.... kau....!"
Dan kakek ini mengusap-usap kedua matanya kerena kedua mata itu menitikkan air mata!
"Locianpwe, ketika garuda menyerangmu, Locianpwe tidak melawan pula, menyambut maut dengan tertawa-tawa. Locianpwe rela mati karena merasa bersalah memukul orang yang tidak melawan. Locianpwe rela mati demi membalas kesengsaraan orang-orang yang Locianpwe cinta. Kalau semulia itu hatimu, apakah aku yang muda tidak boleh menirunya?"
"Kau.... kau siluman!"
"Locianpwe, aku mengerti bahwa sesungguhnya Locianpwe tidak ingin membunuhku, melainkan mengharapkan kematian di tanganku. Tak mungkin aku melakukan hal itu, Locianpwe. Sekarang, hanya ada dua pilihan bagi Locianpwe. Membunuhku tanpa kulawan, atau kita sudahi saja urusan ini, biarlah kita berdua melanjutkan hidup dengan kesengsaraan batin menjadi derita. Bukankah hidup ini menderita? Bukankah penderitaan batin merupakan pengalaman hidup yang paling berharga? Bagaimana, Locianpwe? Kalau belum puas memukulku, silakan ulangi kembali!"
Suma Han terpincang pincang maju mendekati sambil memasang dadanya, Im yang Seng cu mundur-mundur seperti ngeri didekati sesuatu yang akan dapat membuat ia menyesal selamanya.
"Tidak.... tidak.... jangan dekati aku....!"
Kemudian ia menutup mukanya dengan kedua tangan.
"Kalau begitu, selamat tinggal, Locianpwe. Locianpwe agaknya lebih suka menghukum batinku, karena sesungguhnya kalau Locianpwe membunuhku, berarti membebaskan aku daripada penyesalan dan kesengsaraan batin. Selamat tinggal!"
Suma Han mengambil tongkatnya, meloncat ke atas punggung garuda dan terdengarlah kelepak sayap dibarengi angin bertitip dan Majikan Pulau Es itu sudah membubung tinggi dibawa terbang garuda putih. Im yang Seng cu menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat, alisnya berkerut dan sampai lama ia memutar pikirannya. Tiba-tiba ia tertawa,
"Ha ha ha! Untuk ke sekian kalinya aku kalah! Ahhh, bagaimana bocah setan itu tahu bahwa aku akan merasa girang mati di tangannya? Aihh, celaka memang nasibku. Keinginan terakhir mati di tangan Pendekar Super Sakti gagal, bahkan aku yang hampir saja membunuhnya sehingga penderitaanku akan bertambah makin berat. Buka main....! Dia itu.... seorang manusia yang luar biasa.... Ahh, kalau saja Tuhan dapat mengabulkan setiap permintaan manusia, biarlah sekali ini si manusia Im yang Seng cu mohon agar Tuhan sudi mengobati penderitaan batin Suma Han dan melimpahkan kebahagiaan kepadanya. Dia manusia sejati, manusia berbudi luhur.... pendekar di antara segala pendekar....!"
"Ha ha ha! Kalau dia pendekar di antara segala pendekar, engkau adalah pengecut di antara segala pengecut hina, Im yang Seng cu!"
Im yang Seng cu terkejut, menoleh dan memandang terbelalak kepada seorang laki laki muda yang berdiri di depannya. Laki laki ini usianya masih muda, belum lebih tiga puluh tahun, wajahnya tampan dan gerak geriknya halus, pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang terpelajar, pakaian pelajar yang bersih dan rapi.
Akan tetapi yang mengejutkan hati Im yang Seng cu adalah sepasang mata di wajah tampan itu. Mata itu mempunyai sinar yang mengerikan, seperti mata orang gila, namun juga mempunyai wibawa yang tajam berpengaruh dan aneh. Bukan mata manusia, seperti itulah patutnya mata setan! Biarpun pakaiannya seperti seorang pelajar, namun di punggung orang muda itu tampak gagang sebatang pedang, gagang pedang hitam dengan ronce benang hitam pula. Biarpun hati Im yang Seng cu terkejut dan heran, namun dia marah mendengar orang yang tak dikenalnya ini memakinya sebagai pengecut di antara segala pengecut hina. Bagi seorang kang ouw, seorang yang menjunjung kegagahan, makian pengecut merupakan makian yang paling rendah menghina.
"Orang muda, kulihat pakaianmu sebagai seorang terpelajar, patutnya engkau tahu akan tata susila dan sopan santun. Kulihat pedangmu di punggung, patutnya engkau tahu akan sikap kegagahan di dunia kang ouw. Akan tetapi engkau datang datang memaki orang tua, patutnya engkau seorang biadab yang sombong. Siapakah engkau?"
Pemuda itu tersenyum lebar. Senyum yang manis dan membuat wajahnya makin tampan, akan tetapi seperti yang tersembunyi di balik keindahan matanya, juga di balik senyumnya ini bersembunyi sifat aneh yang mendirikan bulu roma, sifat kejam dan penuh kebencian terhadap sekelilingnya!
"Im yang Seng cu, belasan tahun yang lalu seringkali engkau memondong dan menimangku, bahkan yang terakhir engkau mengajarkan Ilmu Pukulan Hoa san Kun hoat kepadaku sebagai pembayaran taruhan karena engkau kalah bermain catur melawan Ayahku."
Terbelalak kedua mata Im yang Seng cu dan ia memandang penuh perhatian, kemudian berseru.
"Siancai....! Kiranya engkau Tan siucai (Sastrawan Tan) dari Nan-king....!"
Pemuda tampan itu mengangguk angguk dan senyumnya makin kejam,
"Betul, aku adalah Tan Ki atau Tan siucai dari Nan-king."
"Tapi.... tapi.... ah, bagaimana Ayahmu?"
"Ayah telah meninggal dunia."
"Ahhh! Sahabatku yang baik, kiranya engkau lebih bahagia daripada aku, betapa rinduku bermain catur sampai lima hari lima malam melawanmu....!"
Kisah Pendekar Bongkok Eps 26 Kisah Pendekar Bongkok Eps 8 Kisah Pendekar Bongkok Eps 20