Kisah Sepasang Rajawali 11
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Bentaknya.
"Alaaaaaa...., koko. Kalau kau begini terus, sampai kapan kau hendak membalas budi?"
"Wah, kau memang cerewet dan selalu ingat kalau mengutangkan sesuatu!"
Cela kakaknya.
"Dan kau terlalu sabar kalau disuruh membayar hutang!"
Adiknya menggoda sehingga Kian Lee kewalahan.
"Kau lihat sendiri, dua buah kereta itu tertutup, mana kita bisa tahu apakah di dalamnya ada gadisnya atau tidak?"
"Ha-ha, apa sih sukarnya untuk mengetahui hal itu?"
Tangan Kian Bu bergerak dan tampak oleh Kian Lee sinar-sinar hitam kecil menyambar ke depan. Adiknya telah menggunakan tanah liat untuk menyambit ke arah kuda yang menarik kereta.
Terdengar ringkik keras dan empat ekor kuda yang terkena timpukan tanah liat tepat di bawah telinganya itu meringkik dan meronta berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja kusirnya cepat membentak dan menarik kendali. Rombongan terhenti dan semua piauwsu bertanya sehingga ributlah keadaan di situ. Dua buah kereta itu tersingkap dari dalam. Ada kepala-kepala orang menjenguk dan bertanya apa yang terjadi dan mengapa ada ribut-ribut di luar, bahkan orang-orang yang menumpang dalam kereta yang kudanya meringkik itu menjadi agak panik karena keretanya bergoyang-goyang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk mengintai dan betapa girangnya ketika melihat bahwa di kereta kedua, kereta yang besar dan mewah, terdapat tiga orang penumpang yaitu seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah tanda hartawan,
Usianya kurang lebih empat puluh tahun, seorang wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan seorang gadis cantik manis yang berusia paling banyak sembilan belas tahun! Seorang gadis cantik dan bajunya merah, manis sekali! Juga Kian Lee melihat ini dan diam-diam dia memuji kecerdikan adiknya. Bocah itu ada saja akalnya! Akan tetapi sekali ini "tugasnya"
Lebih berat daripada yang dilakukan adiknya sebulan yang lalu. Jumlah pengawal ada dua losin orang, dan di antara mereka banyak yang membawa busur, juga sikap mereka lebih gagah daripada sepuluh orang dahulu itu. Akan tetapi apa boleh buat, kalau dia belum "membayar hutang", adiknya tentu akan rewel terus. Dia akan menjaga agar adiknya jangan bertindak lebih jauh dari sekadar belajar kenal dengan gadis itu!
"Baiklah, aku akan membayar hutangku. Kau tunggu di luar hutan ini di sebelah kiri sana,"
Katanya tanpa banyak cakap lagi. Kian Bu memegang tangan kakaknya.
"Terima kasih, koko!"
Kian Lee merenggut tangannya.
"Pergilah!"
Kian Bu tertawa dan meloncat pergi dengan girang sekali. Mau tidak mau, melihat adiknya berloncatan seperti anak kecil berlari sambil berjingkrakan itu, Kian Lee menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Adiknya itu benar-benar seperti anak kecil, akan tetapi begitu besar hasratnya untuk berkenalan dengan gadis-gadis cantik! Dia cepat berlari mengejar rombongan yang sudah bergerak lagi itu. Sebentar saja dia sudah dapat menyusul. Kian Lee tidak mau menimbulkan keributan seperti yang biasa dilakukan adiknya, maka dia sengaja mendahului rombongan lalu berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangan.
"Harap cu-wi berhenti dulu!"
Melihat ada seorang pemuda berkelebat cepat sekali kemudian berdiri menghadang di tengah jalan, dua kereta dihentiikan dan dua losin piauwsu itu cepat menjaga kereta, pemimpinnya seorang piauwsu tua berjenggot putih, bersama belasan orang pembantunya menghadapi Kian Lee.
"Kau siapakah dan mau apa menahan rombongan kami?"
Bentak si jenggot putih. Akan tetapi Kian Lee tidak mau melayaninya, melainkan melangkah lebar ke arah kereta kedua. Dia segera dikurung, akan tetapi dia berjalan terus menuju ke kereta sambil berkata,
"Aku mau bicara dengan mereka! Yang berada di dalam kereta!"
Melihat pemuda tampan ini berpakaian pantas dan tidak membawa senjata, sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar, maka para piauwsu ragu-ragu untuk menurunkan tangan besi, dan kereta itu disingkap dari dalam, muncul wajah tiga orang itu. Kian Lee yang melihat jelas bahwa di dalamnya memang terdapat seorang gadis cantik berbaju merah, segera berkata,
"Aku hanya mau mengajak pergi dia itu!"
Berkata demikian tubuhnya meloncat cepat sekali ke depan, dan tahu-tahu semua orang melihat dia sudah melesat pergi dan lari memondong tubuh gadis berbaju merah yang berteriak teriak.
"Tolong.... toloooonggg....!"
Beberapa orang piauwsu memasang anak panah pada busurnya.
"Hati-hati, jangan salah sasaran. Arahkan kepada kakinya!"
Belasan batang anak panah melesat mengejar Kian Lee, akan tetapi dengan meloncat-loncat, pemuda itu dengan mudahnya menghindarkan kakinya dari sambaran anak panah dan mempercepat larinya. Biarpun para piauwsu melakukan pengejaran secepatnya, namun sebentar saja Kian Lee sudah lenyap dari depan mereka.
"Lepaskan aku....! Tolonggg....!" "Diamlah, aku hanya menculikmu!"
Kian Lee menahan kata-katanya karena hampir saja dia bilang
"Sebentar lagi kau akan tertolong!"
Karena cepatnya dia berlari, tak lama kemudian dia sudah keluar dari hutan itu dan tiba-tiba Kian Bu meloncat keluar menghadang.
"Heii, perampok! Penculik! Lekas lepaskan gadis manis ini kalau kau tidak ingin kupukul mampus!"
Keduanya segera bertanding menurut rencana dan Kian Lee yang terdesak segera melepaskan gadis itu, menerima beberapa kali pukulan lalu melarikan diri dari situ dengan cepatnya. Dari jauh dia menyelinap dan mengintai ke arah dua orang itu. Dia kagum melihat betapa gadis itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kian Bu sambil menangis.
"Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada kongcu yang telah menye-lamatkan nyawa saya...."
Katanya dengan suara merdu. Kian Bu tersenyum.
"Ahhh, tidak mengapa, nona. Urusan kecil saja itu. Tidak perlu berterima kasih. Saya sudah merasa girang kalau nona sudi menjadi sabahat saya."
Gadis itu bangkit berdiri karena tangannya ditarik oleh Kian Bu. Dari tempat sembunyinya jelas tampak oleh Kian Lee betapa gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya mengerling tajam ke arah Kian Bu, sikapnya amat memikat.
"Tentu saja, kongcu. Engkau adalah penolongku, apapun yang kongcu kehendaki dariku, tentu akan kulakukan untuk membalas budi...."
Kalau saja yang menerima kata-kata ini bukan seorang pemuda tanggung yang masih hijau seperti Kian Bu, tentu dapat menangkap arti di balik kata-kata memikat ini. Akan tetapi dasar dia masih mentah, Kian Bu hanya tersenyum girang dan berkata,
"Terima kasih, aku girang sekali dapat berkenalan denganmu, apalagi menjadi sahabatmu. Nona, namaku adalah Suma Kian Bu, dan nona siapakah?"
"Namaku....?"
Gadis itu kelihatan malu-malu dan mengerling tajam disertai senyum simpul.
"Aku.... Cia Hong Ciauw...."
"Namamu manis sekali, seperti orangnya,"
Kata Kian Bu. Ucapan yang keluar dari mulut Kian Bu ini hanyalah ucapan jujur saja dan bukan merupakan sanjungan atau bujuk rayu, melainkan diucapkan karena memang sesungguhnya dia menganggap nama itu manis dan orangnyapun manis! Akan tetapi, wajah gadis itu menjadi merah sekali, lebih merah dari bajunya, tersenyumlah dia dengan penuh daya pikat, matanya mengerling, dan dari lehernya keluar suara seperti seekor kucing dibelai.
"Ihiiikk.... kongcu bisa saja memuji orang membikin aku malu saja...."
Dan tiba-tiba gadis itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada Kian Bu.
"Lhoh....! Ehhh....! Bagaimana ini....? Wah, jangan....!"
Kian Bu menjadi bingung, tubuhnya menjadi kaku dan meremang semua, seolah-olah ada ribuan ekor ulat yang merubung tubuhnya. Dan pada saat itulah muncul kakek dari dalam kereta bersama para piauwsu.
"Hong Ciauw....!"
Kakek itu membentak marah. Gadis itu lalu melepaskan rangkulannya, terkejut dan mundur, akan tetapi masih sempat melempar senyum dan kerling manis ke arah Kian Bu, lalu berkata,
"Dia ini adalah in-kong (tuan penolong) Suma Kian Bu. Kalau tidak ditolongnya, tentu aku sudah mati di tangan penculik kejam...."
Kian Bu yang melihat kakek itu melotot marah, tahu bahwa keadaannya tidak menguntungkan. Ayah itu tentu marah melihat anaknya merangkul seorang pemuda!
"Eh, maaf.... aku.... eh, aku hanya menolong puterimu tanpa pamrih sesuatu...."
"Puteri siapa? Dia adalah bini mudaku!"
Bentak kakek itu. Sepasang mata Kian Bu makin lama makin lebar sampai menjadi bulat dan tidak dapat lebih lebar lagi, mulutnya juga terbuka sampai lama. Untung di tempat itu tidak banyak lalat!
Akhirnya, tanpa mengeluarkan suara bah atau buh, dia membalikkan kedua kakinya dan lari lintang pukang seperti dikejar hantu! Tentu saja para piauwsu yang melihat ini menjadi terheran-heran, apalagi mendapat cerita nyonya muda itu bahwa pemuda tadi telah menolongnya dari tangan penculik yang amat lihai tadi. Benar-benar seorang pemuda yang aneh, pikir mereka, aneh dan berilmu amat tinggi karena dengan beberapa loncatan saja, bayangan pemuda itu melesat dan lenyap. Kian Bu berlari terus dengan cepat, merasa seolah-olah gadis manis itu mengejarnya, hendak merangkulnya, hendak menciumnya. Dia bergidik berkali-kali, menggerakkan kedua pundak dan tengkuknya terasa dingin dan ngeri, larinya makin cepat seolah-olah setan gadis itu berada dekat sekali di belakangnya.
"Ha-ha-ha-ha!"
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan mendengar suara ketawa ini tahulah Kian Bu bahwa memang ada orang di belakangnya, bukan setan bukan siluman, melainkan kakaknya sendiri. Maka dia berhenti dan terengah-engah memandang wajah kakaknya yang tertawa-tawa dengan gelinya. Baru sekarang dia melihat kakaknya tertawa demikian enak sampai memegang perutnya.
"Ha-ha-ha-ha....! Dia bini mudanya.... ha-ha-ha-ha, dan kau dirangkulnya, ha-ha-ha....!"
Kian Lee yang tidak biasa tertawa-tawa seperti itu, kini tidak dapat menahan kegelian hatinya.
"Koko, kau.... kejam!"
Kian Bu membentak dan suara tertawa terhenti. Dengan mulut masih tersenyum lebar menahan geli hatinya, Kian Lee berkata,
"Nah, kau rasakan sekarang, Bu-te. Tidak benarkah kata-kataku bahwa cara yang tidak baik hanya akan menghasilkan ketidakbaikan pula? Karena pertolonganmu tadi hanya sandiwara dan pura-pura saja, hanya palsu, maka hasilnya hanya menimbulkan cemburu seorang suami yang melihat bini mudanya bermain gila dengan orang lain."
"Huh! Sialan perempuan itu....!"
Kian Bu membanting kaki dengan gemas.
"Aku tidak akan melakukan hal itu lagi! Tidak lagi!"
"Sudahlah, Bu-te, sekali waktu ada gunanya juga pelajaran pahit seperti ini bagi kita. Nah, marilah sekarang kita cepat mengejar mereka dan membayangi dari jauh."
"Hehh....?"
Kian Bu memandang kakaknya dengan mata lebar.
"Perlu apa membayangi? Aku tidak butuh berkenalan dengan perempuan itu!"
"Sekarang bukan urusan berkenalan dengan wanita, Bu-te. Ketahuilah, ketika tadi aku melarikan diri dan mengintai, aku melihat berkelebatnya tiga orang tosu dan aku segera membayangi mereka. Aku sempat menangkap percakapan mereka yang menyatakan bahwa mereka akan turun tangan terhadap rombongan itu malam ini di kuil tua."
"Eh, siapa mereka itu?" "Aku tidak tahu, akan tetapi melihat gerakan-gerakan mereka, kalau benar mereka turun tangan mengganggu, para piauwsu itu bukanlah tandingan mereka. Maka kita harus membayangi dan kalau perlu menolong mereka, Bu-te. Sekali ini bukan menolong pura-pura, bukan main sandiwara, melainkan main betul-betulan karena ada pihak yang terancam bahaya."
"Baik, koko. Akan tetapi kuharap ada penculik sungguhan yang melarikan perempuan itu dan jangan harap aku akan menolong dia. Agaknya orang seperti dia itu memang selalu mengharapkan dibawa pergi penculik!"
Kian Bu mengomel.
"Hushh, jangan sentimen, Bu-te! Dia patut dimaafkan karena memang sukarlah mencari seorang penolong pemuda istimewa seperti engkau."
"Wah, kau tiada habisnya mengejek, koko!"
Suma Kian Bu mengomel dengan suara merengek.
"Awas, kalau lain kali engkau yang kecelik, aku akan mentertawakanmu juga!"
Dua orang kakak beradik itu menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi karena rombongan itu dibalapkan semenjak mengalami gangguan kakak beradik itu,
Maka setelah hampir malam baru mereka dapat menyusul rombongan itu yang telah berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar hutan. Kuil ini adalah kuil Budha yang sudah amat tua, sebagian besar bangunan itu sudah runtuh dan agaknya dibuat sebagai tempat perhentian oleh para pendeta Budha di jaman dahulu ketika mereka mulai dengan penyebaran Agama Budha sampai ke pelosok-pelosok dunia. Kini kuil kuno dan rusak itu tentu saja tidak dipergunakan lagi oleh para pendeta dan hanya dipergunakan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat itu untuk sekedar beristirahat atau kadang-kadang juga bermalam. Agaknya rombongan yang dilindungi oleh dua losin piauwsu itu memang sudah merencanakan untuk bermalam di tempat itu dan merasa aman karena ada dua losin piauwsu yang mengawal.
Peristiwa penculikan nyonya muda di siang hari tadi, dilakukan oleh seorang pemuda dan entah bagaimana nasib nyonya muda itu kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda lain, membuat para piauwsu bersikap waspada, hati-hati dan juga agak cemas. Baru ada seorang perampok saja yang turun tangan, penjahat itu sudah berhasil menculik wanita di hadapan hidung mereka tanpa mereka dapat menangkapnya! Setelah hartawan itu dan dua orang isterinya turun dari kereta menempati ruangan kuil yang sudah dibersihkan dan dihangatkan dengan api unggun, duduk di dekat api di atas tikar, para piauwsu yang berjaga-jaga tentu saja membicarakan peristiwa siang tadi. Juga di antara hartawan dan kedua orang isterinya terjadi percakapan mengenai peristiwa itu. Terutama si hartawan yang mengomel tak kunjung henti.
"Baru sejenak saja dari sampingku, engkau sudah main gila dengan laki-laki lain,"
Kata si hartawan kepada bini mudanya.
"Sudah berapa puluh kali kau mengatakan hal itu!"
Jawab si bini muda dengan berani.
"Sampai bosan aku mendengarnya! Engkau tidak terancam bahaya maut, maka bicara sih mudah! Aku yang terancam bahaya maut oleh penculik yang ganas dan kejam sekali itu, setelah ditolong orang, tentu saja aku amat senang dan berterima kasih. Dia masih amat muda, sepatutnya menjadi adikku, kalau aku menyatakan terima kasihku dengan merangkulnya, apakah itu merupakan kejahatan besar?"
"Kalau aku tidak keburu muncul, entah macam apa lagi terima kasihmu itu, kau perempuan rendah....!"
"Sudahlah, sudahlah....!"
Isteri pertama mencela.
"Di tengah perjalanan, di tempat berbahaya dan di mana bahaya sewaktu-waktu masih selalu mengancam kita, mengapa ribut-ribut mengenai urusan yang telah lewat? Terdengar para piauwsupun hanya akan menimbulkan rasa malu."
Setelah tiga orang itu dengan bersungut-sungut tidur di dekat api dan tidak lagi ribut mulut, para piauwsu yang berjaga-jaga membicarakan peristiwa siang tadi sambil berbisik-bislk. Di antara mereka, Can Si Hok si kepala piauwsu sendiri, juga ikut bercakap-cakap.
"Nasib kita masih baik sehingga ada saja muncul seorang penolong sehingga penculikan itu dapat digagalkan,"
Kata seorang di antara mereka.
"Penculik itu mempunyai kepandaian yang hebat sekali. Keroyokan anak panah itu dapat dielakkannya semua tanpa menoleh, padahal dia sedang memondong orang dan sedang berlari. Sayang.dia keburu lari sehingga kita tidak sempat mencoba sampai di mana kepandaian ilmu silatnya. Kelihatannya masih muda sekali."
"Akan tetapi, jelas bahwa kepandaian penolong itupun lebih hebat,"
Bantah yang lain.
"Buktinya dapat menolong dan mengusir si penculik. Penolong itupun masih amat muda. Dari cara dia melarikan diri, jelas bahwa gin-kangnya amat luar biasa, seperti terbang saja."
Can Si Hok, si kepala pengawal yang berjenggot putih, menarik napas panjang dan berkata,
"Kawan-kawan, malam ini harap kalian waspada dan lebih baik kalau tidak seorangpun di antara kita tertidur. Penjagaan di luar kuil harus dilakukan dengan ketat, perondaan di sekitar kuil dilakukan dengan bergiliran. Aku khawatir akan terjadi lagi hal yang tidak kita inginkan. Munculnya dua orang tadi, baik si penculik maupun si penolong, merupakan hal yang amat luar biasa. Selama ini belum pernah pula mendengar di dunia kango-uw muncul dua jago muda yang sedemikian lihainya. Baiknya, kalau yang seorang jahat, yang seorang baik dan suka menolong. Mudah-mudahan tugas kita sekali ini tidak akan gagal."
Penjagaan diperketat dan Can Si Hok sendiri melakukan perondaan. Kelihatannya aman dan tidak terjadi sesuatu di tempat yang amat sunyi itu. Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian karena tidak jauh dari kuil itu terjadi hal-hal yang tentu akan menggegerkan para piauwsu kalau saja mereka mengetahuinya. Tiga sosok bayangan yang gerakannya gesit bukan main, bagaikan setan-setan saja layaknya, bergerak di antara pohon-pohon mendekati kuil. Setelah dekat dengan kuil mereka mengintai dari balik pohon besar ke arah empat orang penjaga yang menjaga di pojok kuil.
"Kita bunuh saja mereka berempat itu, lalu menyerbu ke dalam,"
Berbisik seorang di antara mereka.
"Biarlah pinto yang menyelinap ke dalam mencari benda itu, kalian berdua bikin ribut di luar, memancing perhatian semua piauwsu. Yang agak lumayan kepandaiannya hanyalah Can-piauwsu itu saja, yang lain-lainnya tidak perlu dikhawatirkan."
"Baik, akan tetapi bagaimana dengan hartawan itu?"
Tanya tosu yang ada tahi lalat besar di dagu kanannya,
"Dan kedua orang wanita itu?"
"Bereskan saja mereka, hartawan itu adalah seorang yang pelit!"
Kata tosu kedua.
"Ah, wanita muda itu sayang kalau dibunuh. Dia manis,"
Kata si tahi lalat.
(Lanjut ke Jilid 11)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
"Hushhhh.... jangan ribut-ribut, kita bergerak sekarang dan.... heiii.... hujankah....?"
Memang ada air menyiram mereka dari atas pohon besar itu. Tadinya mereka mengira bahwa hujan turun tak tersangka-sangka, akan tetapi hidung ketiga orang tosu itu kembang kempis. Mereka meraba-raba air hujan yang menimpa kepala dan mendekatkan jari ke depan hidung.
"Mengapa baunya begini?"
"Seperti air kencing!"
Dan "hujan"
Pun berhenti yang berarti memang tidak hujan sama sekali, melainkan ada orang mengencingi mereka dari atas pohon itu.
"Keparat!"
Mereka memaki dan secepat kilat tubuh mereka sudah mencelat ke atas, ke dalam pohon. Mereka berlompatan dan mencari-cari, akan tetapi tidak ada seorangpun di pohon itu! Terpaksa mereka turun lagi dan berbisik-bisik penuh ketegangan.
"Apa yang terjadi?"
"Tentu hanya seekor monyet, siapa lagi?"
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi, biarpun monyet, bagaimana bisa bergerak secepat itu seperti pandai menghilang saja?"
"Kita harus bekerja cepat,"
Kata tosu bertahi lalat.
"Sudah dikabarkan orang bahwa kelenteng kuno ini menjadi tempat keramat. Yang dapat menggoda kita seperti tadi tentu hanya setan saja!"
Ketiganya menjadi tegang. Mereka percaya bahwa setanlah yang menggoda mereka, karena kalau manusia atau binatang, tak mungkin dapat lari dari mereka sedemikian cepatnya. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin dapat dipermainkan dan kalau yang berada di atas pohon tadi manusia atau binatang sudah pasti mereka akan dapat menangkapnya.
"Mari kita bergerak,"
Kata tosu pertama.
"Ji-sute (adik seperguruan kedua), kau menyelinap dari kanan, dan kau sam-sute, kau dari kiri. Setelah kalian menyergap keempat orang itu, pinto akan masuk melalui pintu samping yang kelihatan dari sini itu dan selanjutnya kalian harus memancing mereka semua keluar agar leluasa pinto bergerak ke dalam."
"Baik, suheng,"
Kata kedua orang tosu itu yang segera berpencar ke kiri dan ke kanan.
"Heiii.... aduhhh!"
Tak lama kemudian terdengar tosu yang berlari ke kiri terjungkal dan menahan teriakan makiannya. Mereka berkumpul, kini di tempat tosu itu jatuh.
"Mengapa kau, sam-sute?"
"Tersandung batu! Sialan!"
"Engkau? Dapat tersandung batu? Sungguh aneh."
"Entahlah, batu itu seperti ada tangannya memegang dan menjegal kakiku. Eh, mana batu jahanam itu?"
Dia meraba--raba dan tidak menemukan batu itu.
"Aneh sekali, batu itu besar sekali ketika aku menyandungnya, mengapa sekarang menghilang?"
"Ah, sungguh heran, sekali mengapa mendadak engkau menjadi penakut dan gugup sehingga jatuh sendiri, sam-sute. Apakah cerita tentang setan membuat kau penakut?"
Cela tosu tertua.
"Biarlah empat orang itu kubereskan sendiri, nanti sam-sute menyusul kalau aku sudah memancing mereka keluar,"
Kata orang kedua yang segera meloncat ke depan dengan sigap. Dua orang temannya melihat dia meloncat ke atas, akan tetapi betapa kaget rasa hati mereka karena tidak melihat temannya itu turun lagi, seolah-olah menghilang begitu saja! Tosu tertua dan sam-sutenya yang tadi tersandung batu ajaib itu terbelalak memandang.
"Eh, ke mana dia?"
Tanya sutenya.
"Mana ji-suheng?"
Tosu tertua juga bingung karena sutenya itu benar-benar lenyap tak menimbulkan bekas.
"Ji-sute....!"
Bisiknya memanggil. Tiba-tiba terdengar jawaban agak jauh di belakang mereka, akan tetapi bukan jawaban panggilan itu melainkan suara
"ceekkk.... ceekkk...."
Seperti orang yang lehernya dicekik! Cepat mereka berdua melompat dan lari ke arah suara itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat saudara yang dicari-cari itu sedang "menggantung"
Diri di sebuah dahan,
Tubuhnya berkelojotan, lehernya mengeluarkan suara tercekik dan dia digantung dengan sabuknya sendiri sehingga celananya merosot turun terkumpul di kaki dan karena tosu bertahi lalat itu sudah "biasa"
Tidak memakai pakaian dalam, tentu saja dia menjadi telanjang bulat di tubuh bagian bawahnya, menimbulkan penglihatan yang lucu sekali! Kedua orang tosu itu cepat meloncat dan melepaskan sabuk itu dari dahan pohon dan membawa turun saudara mereka yang sudah melotot matanya, terjulur lidahnya dan kebiruan mukanya itu! Mereka sibuk, yang seorang menggosok-gosok leher bekas terjirat itu, yang kedua membenarkan celana dan mengikatkan lagi sabuknya pada pinggang. Setelah siuman, tosu ketiga bertanya,
"Ji-suheng, mengapa kau begitu pendek pikiranmu? Mengapa kau hendak membunuh diri dan mengapa pula membunuh diri saja menanti saat seperti ini? Aihh, ji-suheng, kalau kau mati dengan membunuh diri, nyawamu akan melayang ke neraka siksaan!"
"Bunuh diri hidungmu itu!"
Si tahi lalat memaki dan bangkit duduk, menggosok-gosok lehernya dan menggoyang-goyangkan kepalanya.
"Iblis yang melakukan ini!"
"Ji-sute, coba ceritakan, apakah yang terjadi?"
Tanya tosu tertua setelah dia tadi meloncat ke atas pohon menyelidiki akan tetapi juga tidak menemukan orang di situ. Tosu bertahi lalat menghela napas lalu bergidik.
"Kalian melihat sendiri aku meloncat. Tahu-tahu rambutku ditangkap orang dari atas dan sebelum aku sempat berteriak, jalan darah di leher ditotok membuat aku tak dapat bersuara, dan aku lalu.... digantung di dahan itu."
"Tidak mungkin!"
Tosu pertama membantah.
"Mungkin saja!"
Tosu ketiga mencela.
"Buktinya dia sudah tergantung di sana, kecuali kalau dia menggantung diri sendiri. Ji-suheng, berterusteranglah, apa kau benar-benar tidak mencoba membunuh diri? Jangan putus asa, biarlah wanita di kuil itu untukmu, aku tanggung ini!"
"Sam-sute, sekali lagi kau bicara tentang bunuh diri, lehermu yang akan kucekik!"
Si tahi lalat berkata marah dan mendongkol.
"Ji-sute, pinto sukar untuk percaya. Biarpun andaikata benar ada orang menangkap rambutmu dari atas dan menotok jalan darahmu di leher sehingga kau tidak dapat berteriak, akan tetapi kedua tangan masih bebas. Dengan itu kau dapat...."
"Kalau diceritakan memang aneh, suheng, maka tadi kukatakan bahwa setan sajalah yang dapat melakukan itu. Aku sudah melawan tentu saja, dan tangan kiriku ini sudah menampar lambungnya, bahkan aku yakin benar tangan kananku sudah menotok jalan darahnya di pinggang. Akan tetapi aku seolah-olah menampar dan menotok tubuh.... mayat saja. Begitu dingin dan sama sekali tidak ada hasilnya, hihhh....!"
Dia bergidik dan kedua orang saudaranya ikut merasa ngeri.
"Aihh.... benar-benarkah ada setan di sini....?"
Tosu pertama berkata sambil menoleh ke kanan kiri sedangkan tosu ketiga menggosok-gosok tengkuknya yang terasa tebal. Tiba-tiba si tahi lalat berkata,
"Bukan, suheng. Teringat aku sekarang! Bukan setan karena aku mendengar dia tertawa, disusul suara yang terdengar jelas akan tetapi agak jauh."
"Suara bagaimana?"
"Suara seorang laki-laki berkata: Koko, dia telanjang, ha-ha, begitulah, sekarang aku teringat benar tentu ada dua orang di pohon itu yang mempermainkan aku."
Tosu pertama mengelus jenggotnya.
"Hemmm.... setan atau manusia, jelas bahwa mereka itu lihai sekali dan agaknya hendak merintangi tindakan kita. Bodoh sekali kalau kita berlaku nekat. Biarlah kita anggap saja kita gagal malam ini, dan kita tangguhkan sampai besok. Kita harus membawa bantuan kalau begini, siapa tahu diam-diam ada orang pandai yang melindungi rombongan itu."
Dua orang adiknya mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan beberapa kali si tahi lalat menoleh ke belakang karena dia masih merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi. Tentu saja mudah diduga bahwa yang melakukan gangguan itu adalah Kian Lee dan Kian Bu. Dan mudah pula diduga bahwa yang mengencingi kepala tiga orang tosu itu dan menyamar sebagai batu lalu menjegal kaki, adalah Kian Bu. Sedangkan yang menggantung si tahi lalat adalah Kian Lee, dibantu oleh adiknya yang melepaskan sabuk dan membuat tali gantungan di dahan. Setelah tiga orang tosu itu pergi, Kian Lee yang sudah turun ke bawah bersama adiknya, berkata,
"Ingat, Bu-te. Ayah sudah berpesan agar kita tidak menanam permusuhan dengan siapapun. Urusan antara tosu-tosu itu dengan rombongan hartawan adalah urusan mereka yang sama sekali kita tidak ketahui sebab-sebabnya. Kita tidak boleh membantu satu pihak, hanya kita harus turun tangan kalau ada pihak yang akan melakukan kejahatan."
Kian Bu menggangguk.
"Si tahi lalat suka kepada perempuan itu. Kalau dia menculik si perempuan itu, aku tidak akan mencegahnya."
"Hushh! Menculik sungguh-sungguh merupakan kejahatan yang harus kita cegah. Kita lihat saja besok, agaknya mereka hendak merampas sesuatu dari rombongan itu."
"Bagaimana kalau besok terjadi pertempuran, koko?"
"Kita lihat saja dari jauh. Pertempuran di antara mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Tentu saja kita tidak dapat membantu siapapun, dan kita tidak dapat mencegah pertempuran yang adil. Hanya kalau metihat ketidakadilan, baru kita harus turun tangan seperti yang dipesankan ayah."
"Wah, sukar, Lee-ko!"
"Apanya yang sukar?"
"Tentang keadilan itu, atau lebih tepat ketidakadilan itu. Bagaimana menentukannya mana yang adil dan mana yang tidak? Yang tidak adil bagimu belum tentu tidak adil bagiku dan sebaliknya, demikian pula dengan orang lain!"
"Hemm, Bu-te, seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang mengabdi untuk kebenaran dan keadilan harus waspada akan kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang didasari kepentingan diri pribadi tentu saja palsu! Akan tetapi, mudah saja melihat kenyataan akan penindasan dan kejahatan yang dilakukan orang, dan itulah ketidakadilan. Kalau kau belum mengerti benar, maka harus belajar, adikku. yang terpenting, seperti pesan ayah, harus diingat dan diketahui bahwa segala sesuatu untuk perbuatan yang dilakukan demi kepentingan diri pribadi, demi keuntungan lahir batin diri pribadi, tidak benar kalau dipertahankan sebagai kebenaran atau keadilan."
"Wah-wah, kuliahmu membikin aku pusing, koko. Kita sama lihat sajalah besok kalau benar-benar terjadi. Tentu ramai!"
Dua orang kakak beradik itu lalu memilih sebatang pohon besar yang enak dipakai tidur, yang tidak ada semut-semutnya tentu saja dan mereka tidur di dalam selimut daun-daun pohon itu sampai pagi. Kalau rombongan piauwsu itu sama sekali tak ada yang tidur semenit pun, kedua orang kakak beradik itu tidur dengan nyenyaknya. Mereka tidak khawatir jatuh karena tubuh dan syaraf mereka yang sudah terlatih sejak kecil itu akan selalu siap menjaga segala macam bahaya yang mengancam tubuh mereka. Siapakah adanya tiga orang tosu yang gerak-geriknya penuh rahasia itu?
Dan siapa pula rombongan hartawan yang hendak diganggunya? Untuk mengetahui ini, kita harus mengenal dulu keadaan pemerintahan pada saat itu. Ternyata bahwa seperti juga di setiap pemerintahan, pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang membenci Pemerintah Mancu yang mulai memperbaiki keadaan pemerintahannya, bahkan berusaha sedapatnya untuk menarik simpati hati rakyat dengan usaha memperbaiki nasib rakyat kecil. Betapapun juga, tetap saja ada di antara mereka yang penasaran dan menghendaki agar pemerintah penjajah itu lenyap dari tanah air mereka. Golongan ini yang tidak berani berterang melakukan penentangan terhadap pemerintah yang kuat lalu menyusup ke mana-mana dan di antaranya ada yang menyusup ke dalam tubuh alat negara yang berupa pasukan pemerintah!
Apalagi pada waktu itu, kesempatan baik tiba bagi mereka yang diam-diam membenci Pemerintah Mancu. Kaisar Kang Hsi sudah tua dan seperti biasanya yang terjadi dalam sejarah kerajaan setiap kali sang raja sudah tua maka timbullah perang dingin di antara para pangeran yang bercita-cita mewarisi kedudukan kaisar yang amat diinginkan itu. Biarpun putera mahkota yang ditunjuk untuk kelak menggantikan kaisar sudah ada, yaitu Pangeran Yung Ceng, namun banyaklah pangeran-pangeran yang lebih tua usianya, putera-putera selir, merasa iri hati dan selain ada yang menginginkan kedudukan kaisar juga banyak yang memperebutkan pangkat-pangkat tinggi sebagai pembantu kaisar kelak. Di antara mereka yang berambisi merampas kedudukan terdapat seorang pangeran tua, pangeran yang paling tua di antara para pangeran.
Pangeran tua ini bernama Pangeran Liong Bin Ong, usianya sudah lima puluh tahun lebih karena dia dilahirkan dari seorang selir ayah Kaisar Kang Hsi. Jadi dia adalah adik tiri Kaisar Kang Hsi. Diam-diam Liong Bin Ong mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw yang membenci pemerintah, bahkan mengadakan kontak dengan suku bangsa liar di luar tembok besar, terutama bangsa Mongol yang masih menaruh dendam kekalahannya terhadap Mancu. Diantara golongan-golongan yang mengadakan persekutuan pemberontakan ini terdapat perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang para pemimpinnya terdiri dari tosu-tosu yang sudah menyeleweng dari Agama To dan mempergunakan agama demi tercapainya ambisi pribadi berkedok agama, yaitu ambisi politik.
Tiga orang tosu yang pada malam itu dipermainkan oleh Kian Lee dan Kian Bu adalah angauta-anggauta Pek-lian-kauw yang ditugaskan oleh pimpinannya untuk melakukan penyelidikan karena Pek-lian-kauw mendengar bahwa pemerintah pusat sedang mulai menaruh curiga terhadap persekutuan itu dan kabarnya mengirim utusan kepada Jenderal Kao Liang yang bertugas sebagai komandan yang menjaga tapal batas utara. Di dalam kabar yang diterima ini, pesuruh dari pemerintah pusat menyamar dan selain mengirim berita, juga membawakan biaya dalam bentuk emas dan perak. Tiga orang tosu itu bertugas untuk mengawasi dan kalau dapat merampas semua itu.
Adapun hartawan yang sedang melakukan perjalanan itu memang datang dari kota raja bersama kedua orang isterinya dan dikawal oleh para piauwsu bayaran yang kuat, akan tetapi dia hanyalah seorang hartawan yang hendak pulang ke kampung halamannya saja di utara. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dia disangka oleh para pemberontak sebagai utusan dari kota raja! Demikianlah, dengan hati merasa lega juga bahwa semalam tidak terjadi gangguan terhadap mereka, para piauwsu mengiringkan dua buah kereta itu melanjutkan perjalanan. Dusun yang dituju oleh hartawan itu sudah tidak jauh lagi, terletak di balik gunung di depan kira-kira memerlukan perjalanan setengah hari lebih. Akan tetapi, belum lama mereka bergerak meninggalkan kuil kuno itu, tiba-tiba kusir kereta pertama yang duduknya agak tinggi melihat debu mengepul di depan.
"Ada orang dari depan....!"
Serunya dan semua piauwsu terkejut, siap dan mengurung kedua kereta itu untuk melindungi.
"Berhenti dan berjaga-jaga!"
Piauwsu berjenggot putih memberi aba-aba dan dua buah kereta itu lalu berhenti, semua piauwsu meloncat turun dari kuda dan merasa tegang namun siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang sudah bertahun-tahun melakukan tugas itu, sudah terbiasa dengan hidup penuh kekerasan dan pertempuran.
Tak lama kemudian, muncullah tiga orang tosu itu dan di belakangnya tampak sepuluh orang tinggi besar yang menunggang kuda. Dilihat dari cara mereka menunggang kuda saja dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perjalanan jauh dengan berkuda, dan sikap mereka jelas membayangkan kekerasan, kekejaman dan juga ketangkasan ahli-ahli silat. Yang lebih mengesankan bagi para piauwsu adalah tiga orang tosu itu, yang datang dengan jalan kaki, berlari cepat di depan rombongan berkuda. Para piauwsu yang sudah berpengalaman itu tidak gentar menghadapi sepuluh orang berkuda yang tinggi besar dan kasar itu, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa tiga orang tosu itulah yang harus dihadapi dengan hati-hati. Oleh karena itu, pimpinan piauwsu yang tua dan berjenggot putih, segera melangkah maju menghadapi tiga tosu itu dan menjura penuh hormat.
"Kami dari Hui-houw Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Terbang) di Sen-yang menghaturkan salam persahabatan kepada sam-wi totiang dan cu-wi sekalian. Maafkan bahwa dua kereta yang kami kawal memenuhi jalan sehingga merepotkan cu-wi saja. Kalau cu-wi hendak lewat, silahkan mengambil jalan dulu!"
Kata-kata penuh hormat dan merendah ini memang biasanya dilakukan oleh para piauwsu jika menghadapi gerombolan yang tidak dikenalnya, karena bagi pekerjaan mereka, makin sedikit lawan makin banyak kawan makin baik.
Tiga orang tosu itu tidak segera menjawab, melainkan mata mereka mencari-cari penuh selidik, memandangi semua anggauta piauwsu, bahkan dua orang kusir keretapun tidak luput dari pandang mata mereka yang penuh selidik sehingga para piauwsu menjadi ngeri juga. Pandang mata tiga orang tosu itu mengandung wibawa dan agaknya mereka marah. Tentu saja tidak ada orang yang tahu bahwa tiga orang kakek pendeta ini mencari apakah selain para piauwsu, tidak ada orang yang menyelundup di dalam rombongan itu. Mereka masih terpengaruh oleh peristiwa gangguan "setan"
Semalam! Akan tetapi ketika melihat bahwa semua orang yang mengawal kereta adalah piauwsu-piauwsu biasa yang sejak kemarin mereka bayangi, wajah mereka kelihatan lega dan kini si tahi lalat mewakili suhengnya menjawab,
"Kami tidak ingin lewat, kami sengaja menghadang kalian."
Berubah wajah para piauwsu dan tangan mereka sudah meraba gagang pedang masing-masing. Melihat gerakan ini tiga orang tosu itu tertawa dan tosu tertua sekarang berkata,
"Kami tldak ada permusuhan dengan Hui-houw Piauw-kiok!"
Mendengar ini pimpinan piauwsu kelihatan girang karena sekarang sudah tampak olehnya gambar teratai di baju tiga orang tosu itu, di bagian dada. Tiga orang pendeta itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan hal ini saja sudah membuat hatinya keder karena sudah terkenallah bahwa orang-orang Pek-lian-kauw memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi biasanya orang Pek-lian-kauw tidak melakukan perampokan, maka para piauwsu selain lega juga menjadi heran mengapa tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menghadang perjalanan mereka.
"Kamipun tahu bahwa para locianpwe dari Pek-lian-kauw adalah sahabat rakyat jelata dan tidak akan mengganggu perjalanan kami. Akan tetapi, sam-wi totiang menghadang kami, tidak tahu ada keperluan apakah? Pasti kami akan membantu dengan suka hati sedapat kami."
"Kami akan menggeledah kereta yang kalian kawal!"
Kata si tahi lalat yang agaknya sudah tidak sabar lagi. Berubahlah wajah pimpinan piauwsu. Sambil menahan marah dia mengelus jenggotnya. Betapapun juga, dia adalah wakil ketua piauw-kiok dan telah terkenal sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Selain itu sebagai wakil piauw-kiok dia rela mempertaruhkan nyawanya demi nama baik piauw-kiok dan demi melindungi barang atau orang yang dikawalnya.
"Harap sam-wi totiang suka memandang persahabatan dan tidak mengganggu kawalan kami,"
Katanya tenang.
"Kami tidak mengganggu, hanya memeriksa dan tentu saja kalian akan bertanggung jawab kalau kami mendapatkan apa yang kami cari,"
Kata tosu tertua.
"Apakah yang sam-wi cari?"
Tanya piauwsu.
"Bukan urusanmu!"
Jawab si tahi lalat.
"Suheng, mari kita segera menggeledah, perlu apa melayani segala piauwsu cerewet?"
Pimpinan piauwsu melangkah maju menghadang di depan kereta, mengangkat mukanya dan memandang dengan sinar mata berapi penuh kegagahan.
"Sam-wi totiang perlahan dulu! Sam-wi tentu maklum bahwa seorang piauwsu yang sedang bertugas mengawal menganggap kawalannya lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Oleh karena itu, betapapun menyesalnya, kami terpaksa tidak dapat membenarkan sam-wi melakukan penggeledahan terhadap barang dan orang-orang kawalan kami."
Si tahi lalat membelalakkan matanya lebar-lebar.
"Apa? Kau hendak menentang kami? Kami bukan perampok, akan tetapi sikap kalian bisa saja membuat kami mengambil tindakan lain!"
"Kami juga tidak menuduh sam-wi perampok, akan tetapi kalau kehormatan kami sebagai piauwsu disinggung, apa boleh buat, kami akan melupakan kebodohan kami dan mengerahkan seluruh tenaga untuk melindungi dua kereta ini."
"Wah, piauwsu sombong, keparat kau!"
Si tahi lalat sudah bergerak, akan tetapi lengannya dipegang oleh suhengnya.
"Piauwsu, kalau dua orang suteku bergerak, apalagi dibantu oleh kawan-kawan kita di belakang ini, dalam waktu singkat saja kalian semua yang berjumlah dua losin ini tentu akan menjadi mayat di tempat ini. Kami bukan hendak merampok tanpa alasan dan bukan hendak menyerang orang tanpa sebab dan sekarang kami hanya akan menggeledah. Kalau engkau merasa tersinggung kehormatanmu sebagai piauwsu, nah, sekarang antara engkau dan pinto mengadu kepandaian. Kalau pinto kalah, kami akan pergi dan kami tidak akan mengganggu kalian lebih jauh lagi. Akan tetapi kalau kau kalah, kau harus membolehkan kami melakukan penggeledahan."
Piauwsu tua itu mengerutkan alis berpikir dan mempertimbangkan usul dan tantangan tosu itu. Memang resikonya besar sekali kalau dia membiarkan anak buahnya bertempur melawan rombongan Pek-lian-kauw itu. Dia dan anak buahnya tentu saja tidak takut mati dalam membela dan melindungi kawalan mereka. Mati dalam tugas melindungi kawalan bagi seorang piauwsu adalah mati terhormat!
Akan tetapi, perlu apa membuang nyawa kalau para tosu ini memang hanya ingin menggeledah? Pula, dia mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw hanya mengurus soal pemberontakan, siapa tahu hartawan yang dikawal ini menyembunyikan sesuatu, atau membawa sesuatu yang merugikan dan mengancam keselamatan Pek-lian-kauw? Kalau dia menang, dia percaya bahwa mereka itu tentu akan pergi karena dia sudah mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw, biarpun kadang-kadang amat kejam, namun selalu memegang janji dan karenanya memperoleh kepercayaan rakyat. Kalau dia kalah, dua kereta hanya akan digeledah. Andaikata mereka menemukan sesuatu yang dicarinya, hal itu masih dapat dirundingkan nanti. Resikonya amat kecil kalau dia menerima tantangan, dibandingkan dengan resikonya kalau dia menolak.
"Baiklah, kalau aku kalah, sam-wi boleh menggeledah. Sebaliknya kalau aku menang, harap cu-wi suka melepaskan kami pergi,"
Katanya sambil mencabut golok besarnya, senjata yang diandalkan selama puluhan tahun sebagai piauwsu.
"Saya sudah siap!"
Sebelum tosu tertua maju, tosu ketiga sudah berkata,
"Suheng dan ji-suheng, biarkan aku yang maju melayani. Sudah sebulan lebih aku tidak latihan, tangan kakiku gatal-gatal rasanya!"
Si tahi lalat dan suhengnya mengangguk dan tersenyum, lalu melangkah mundur. Tosu ketiga yang tubuhnya kecil kurus, mukanya pucat seperti seorang penderita penyakit paru-paru itu melangkah maju dengan sigap. Dia adalah seorang pecandu madat, maka tubuhnya kurus kering dan mukanya pucat, akan tetapi ilmu silatnya lihai. Agaknya racun madat yang dihisapnya tiap hari itu tidak mengurangi kelihaiannya, bahkan menurut cerita orang, setiap kali habis menghisap madat, dia menjadi lebih ampuh dari biasanya, dan jurus-jurus silatnya mempunyai perkembangan yang lebih aneh dan lihai! Tosu itu menghampiri piauwsu berjenggot putih, tersenyum dan memandang ke arah golok di tangan si piauwsu, lalu berkata,
"Eh, piauwsu, yang kau pegang itu apakah?"
Piauwsu itu tentu saja menjadi heran, mengangkat goloknya lalu berkata,
"Apakah totiang tidak mengenal senjata ini? Sebatang golok yang menjadi kawanku semenjak aku menjadi piauwsu."
Tosu kecil kurus itu mengangguk-angguk,
"Aahh, pinto tadi mengira bahwa itu adalah alat penyembelih babi. Heii, piauwsu, kalau kau hendak menyembelih aku apakah tidak terlalu kurus?"
Mendengar ucapan yang nadanya berkelakar dan mengejek ini, rombongan anak buah Pek-lian-kauw tertawa tanpa turun dari kudanya, dan rombongan piauwsu juga tersenyum masam karena pihak mereka diejek oleh tosu kecil kurus yang kelihatan lemah namun amat sombong itu!
"Totiang, kurasa sekarang bukan waktunya untuk berkelakar. Kalau totiang mewaklli rombongan totiang maju menghadapiku harap totiang segera mengeluarkan senjata totiang, dan mari kita mu-lai,"
Kata pimpinan piauwsu yang menahan kemarahannya.
"Senjata.... heh-heh, twa-suheng dan ji-suheng, dia tanya senjata! Eh, piauwsu, apakah kau tidak melihat bahwa pinto telah membawa empat batang senjata yang masing-masing sepuluh kali lebih ampuh daripada alat pemotong babi di tanganmu itu?"
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Piaauwsu tua itu sudah cukup berpengalaman maka dia mengerti apa artinya kata-kata yang bernada sombong itu.
"Hemm, jadi totiang hendak melawan golokku dengan keempat buah tangan kaki kosong? Baiklah, totiang sendiri yang menghendaki, bukan aku, maka kalau sampai totiang menderita rugi karenanya, harap jangan salahkan aku."
"Majulah, kau terlalu cerewet!"
Kata tosu kecil kurus itu dan dia sendiri seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan sikapnya ini jelas memandang rendah kepada lawan. Melihat sikap tosu itu, piauwsu itu juga tidak sungkan-sungkan lagi, cepat dia mengeluarkan teriakan dan goloknya menyambar dengan derasnya.
"Wuuuuttt.... sing-sing-sing-singgg....!"
Hebat memang ilmu golok dari piauwsu itu karena sekali bergerak, setiap kali dengan cepat dielakkan lawan, golok itu sudah menyambar, membalik dan melanjutkan serangan pertama yang gagal dengan bacokan kedua. Demikianlah, golok itu menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda, dari kanan ke kiri dan sebaliknya, tak pernah menghentikan gerakan serangannya.
"Wah-wehh.... wutt, luput....!"
Tosu kurus kering itu mengelak ke sana-sini dengan cekatan sekali dan biarpun dia juga kaget menyaksikan serangan yang bertubi-tubi dan berbahaya itu, namun dia masih mampu terus-menerus mengelak sambil membadut dan berlagak. Golok itu bergerak dengan cepat dan teratur, sesuai dengan ilmu golok Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan gerak kaki ilmu silat Hoa-san-pai,
Kadang-kadang menusuk akan tetapi lebih banyak membacok dan membabat ke arah leher, dada, pinggang, lutut dan bahkan kadang-kadang membabat mata kaki kalau lawan mengelak dengan loncatan ke atas. Suara golok membacok angin mengeluarkan suara mendesing-desing menyeramkan dan sebentar kemudian, golok itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang indah dan yang mengejar ke manapun tosu itu bergerak. Namun hebatnya, tosu itu selalu dapat mengelak, bahkan kini kadang-kadang dia menyampok dengan kaki atau tangannya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja berani menyampok golok dengan kaki atau tangan, karena meleset sedikit saja sampokan itu, tentu mata golok akan menyanyat kulit merobek daging mematahkan tulang!
"Kau boleh juga, piauwsu!"
Kata si tosu dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya juga lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan yang cepat sekali menari-nari di antara gulungan sinar golok. Si piauwsu terkejut ketika merasa betapa jantungnya berhenti beberapa detik oleh pekik melengking tadi, dan sebelum dia dapat menguasai dirinya yang terpengaruh oleh pekik yang mengandung kekuatan khi-kang tadi, tahu-tahu lengan kanannya tertotok lumpuh, goloknya terampas dan tampak sinar golok berkelebat di depannya, memanjang dari atas ke bawah, disusul suara
"bret-bret-brettt....!"
Dari kain terobek dan.... ketika tosu itu melempar golok ke tanah, tampak piauwsu itu berdiri dengan pakaian bagian depan terobek lebar dari atas ke bawah sehingga tampaklah tubuhnya bagian depan! Tentu saja dia terkejut dan malu sekali, cepat dia menutupkan pakaian yang terobek itu, dan dengan muka merah dia menjura dan memungut goloknya,
"Saya mengaku kalah. Silahkan totiang bertiga melakukan penggeledahan!"
Terdengar suara berbisik di antara para piauwsu, akan tetapi pimpinan piauwsu itu berteriak,
"Saudara-saudara harap mempersilakan sam-wi totiang melakukan penggeledahan di dalam kereta!"
Selagi piauwsu kepala ini menutupi tubuhnya yang setengah telanjang itu dengan pakaian baru yang diambilnya dari buntalannya di punggung kuda dan memakainya dengan cepat, ketiga orang tosu itu sambil tertawa-tawa lalu mendekati kedua kereta itu. Si tahi lalat terpisah sendiri dari kedua orang saudaranya. Kalau tosu pertama dan ketiga mengham-piri kereta depan, adalah si tahi lalat ini menghampiri kereta belakang di mana duduk si hartawan bersama kedua orang isterinya! Sambil menyeringai ke arah wanita muda baju merah, si tahi lalat yang menyingkap tirai itu berkata,
"Kalian sudah mendengar betapa kepala piauwsu kalah dan kami berhak untuk menggeledah. Heh-heh-heh!"
Hartawan itu dengan muka pucat ketakutan menjawab,
"Harap totiang suka menggeledah kereta depan karena semua barang kami berada di kereta depan."
"Ha-ha, dua orang saudaraku sudah menggeledah ke sana, akan tetapi yang kami cari itu mungkin saja disembunyikan di dalam pakaian, heh-heh. Karena itu, pinto terpaksa akan melakukan penggeledahan di pakaian kalian."
Tentu saja dua orang wanita itu menjadi merah mukanya dan isteri tua cepat berkata,
"Totiang yang baik, kami orang-orang biasa hendak menyembunyikan apakah? Harap totiang suka memaafkan kami dan tidak menggeledah, biarlah saya akan bersembahyang di kelenteng memujikan panjang umur bagi totiang."
Si tahi lalat tersenyum menyeringai,
"Heh-heh, tidak kau sembahyangkanpun umurku sudah panjang. Kalau terlalu panjang malah berabe, heh-heh!"
Wanita setengah tua itu terkejut dan tidak berani membuka mulut lagi melihat lagak pendeta yang pecengas-pecengis seperti badut dan pandang matanya kurang ajar sekali ditujukan kepada madunya yang masih muda itu.
"Orang menggeledah orang lain harus didasari kecurigaan. Akupun tidak mau berlaku kurang ajar kepada kalian berdua, akan tetapi wanita ini menimbulkan kecurigaan hati pinto, karenanya pinto harus menggeledahnya!"
"Aihhh....!"
Wanita muda itu menjerit lirih, tentu saja merasa ngeri membayangkan akan digeledah pakaiannya oleh tangan-tangan tosu bertahi lalat yang mulutnya menyeringai penuh liur itu.
"Lihat, dia ketakutan! Tentu saja pinto menjadi lebih curiga lagi!"
Kata tosu bertahi lalat itu serius.
"Harap kalian turun dulu, jangan mengganggu pinto sedang bekerja!"
Setelah didorongnya, suami isteri setengah tua itu tergopoh-gopoh turun dari kereta, meninggalkan wanita muda itu sendirian saja. Wanita itu duduk memojok dan tubuhnya gemetaran ketika memandang tosu itu naik ke kereta sambil tersenyum menyeringai.
"Aku.... aku tidak membawa apa-apa....! Aku.... tidak punya apa-apa...."
"Ah, bohong! Segala kau bawa, kau mempu-nyai begini banyak! Heh-heh, kau harus diam dan jangan membantah kalau tidak ingin pinto bertindak kasar!"
Dan sepuluh jari tangan itu seperti ular-ular hidup merayap-rayap menggerayangi seluruh tubuh wanita muda itu. Suaminya dan madunya yang berada di luar kereta, hanya mendengar suara wanita itu merintih, merengek dan mendengus diseling kadang-kadang terkekeh genit dan suaranya mencela,
"Eh.... ihh.... hi-hik, jangan begitu totiang....!"
Suara ini bercampur dengan suara tosu itu yang terengah-engah dan kadang-kadang terkekeh pula, kadang-kadang terdengar suaranya,
"Hushh, jangan ribut.... kau diamlah saja ku.... ku... geledah...."
Sementara itu, dua tosu yang lain telah memeriksa kereta pertama. Akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, kecuali peti-peti terisi pakaian dan beberapa potong perhiasan dan uang emas milik hartawan itu.
"Hemm, sia-sia saja kita bersusah payah. Para penyelidik itu benar bodoh seperti kerbau. Orang biasa dicurigai!"
Tosu kurus kering mengomel.
"Mana ji-sute?"
Tosu tertua bertanya.
"Ke mana lagi si mata keranjang itu kalau tidak ke kereta kedua?"
"Hemm.... mari kita lekas pergi, setelah salah duga, tidak baik terlalu lama menahan mereka. Para piauwsu itu tentu akan menyebarkan berita tidak baik tentang Pek-lian-kauw."
Keduanya meninggalkan kereta pertama dan menghampiri kereta kedua. Ketika mereka berdua membuka pintu kereta, tosu pertama menyumpah.
"Ji-sute, hayo cepat kita pergi!"
"Eh.... uhh.... baik, suheng!"
Akan tetapi agak lama juga barulah si tahi lalat itu keluar dari kereta, pakaiannya kedodoran, rambutnya awut-awutan dan napasnya agak terengah, dan ketika kedua orang hartawan dan isterinya naik kereta, mereka melihat wanita muda itu sedang membereskan pakaiannya dan rambutnya, mukanya merah sekali dan dia tersenyum kecil, mengerling ke arah suaminya yang cemberut. Pintu kereta ditutup dari dalam dan segera terjadi maki-makian dan keributan di dalam kereta antara si suami yang memaki-maki bini mudanya dan si bini muda yang membantah dan melawan, diseling suara isteri tua yang melerai mereka. Akan tetapi, ketika dua tosu itu menghampiri kereta kedua, para pengikutnya yang kasar-kasar itu sudah turun dan beberapa orang dari mereka ikut memeriksa kereta pertama, kemudian beberapa buah peti mereka bawa ke kuda mereka. Melihat ini piauwsu yang terdekat segera meloncat dan menegur,
"Heii, mengapa kalian mengambil peti itu? Kembalikan!"
Jawabannya adalah sebuah bacokan kilat yang membuat piauwsu itu roboh mandi darah. Gegerlah keadaannya yang memang sejak tadi sudah menegangkan itu. Kedua pihak memang sejak tadi sudah hampir terbakar, hampir meledak tinggal menanti penyulutnya saja. Kini, begitu seorang piauwsu mandi darah, semua piauwsu serentak bergerak menyerbu dan terjadilah pertempuran yang sejak tadi sudah ditahan-tahan. Melihat ini, biarpun hatinya menyesal, tiga orang tosu itu terpaksa turun tangan.
"Jangan kepalang, kalau sudah begini, bunuh mereka semua agar tidak meninggalkan jejak kita!"
Kata si tosu tertua. Memang terpaksa dia harus membunuh seluruh piauwsu dan kusir serta penumpang kereta, karena kalau tidak, tentu mereka akan menyebar berita bahwa Pek-lian-kauw mengganggu dan merampok. Hal ini tentu akan menimbulkan kemarahan ketua mereka dan merekalah yang harus bertanggung jawab, mungkin mereka akan dibunuh sendiri oleh ketua mereka karena hal itu amat dilarang karena dapat memburukkan nama Pek-lian-kauw di mata rakyat yang mereka butuhkan dukungannya.
"Bunuh semua, jangan sampai ada yang lolos!"
Tiga orang tosu itu berteriak-teriak sambil mengamuk. Siapa saja yang berada di dekat tiga orang tosu yang bertangan kosong ini, pasti roboh. Tiba-tiba tampak berkelebatnya dua sosok bayangan orang yang tahu-tahu di situ telah muncul Kian Lee dan Kian Bu.
Mereka sudah sejak tadi membayangi dan mengintai dari jauh. Mereka melihat lagak para tosu dan karena wanita muda itu sama sekali tidak minta tolong, bahkan ada terdengar suara ketawanya di antara rintihan dan rengeknya, Kian Lee yang ditahan-tahan oleh adiknya itu sengaja tidak turun tangan dan mendiamkannya saja. Juga ketika terjadi adu kepandaian tadi, dia tidak berbuat apa-apa karena memang pertandingan itu sudah adil, satu lawan satu. Akan tetapi melihat pertempuran pecah dan mendengar aba-aba dari mulut tosu itu, Kian Lee dan Kian Bu hampir berbareng melompat dan lari cepat sekali ke medan pertempuran. Sekali mereka bergerak, robohlah empat orang di antara sepuluh orang tinggi besar pengikut Pek-lian-kauw itu dan terdengar Kian Bu berteriak,
"Cu-wi piauwsu, harap kalian hadapi enam orang hutan itu, biarkan kami menghadapi tiga orang pendeta palsu ini!"
Melihat munculnya dua orang muda yang segebrakan saja merobohkan empat orang tinggi besar itu, semua piauwsu terheran-heran dan tentu saja dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mengenal kedua orang itu yang bukan lain adalah si penculik nyonya muda dan penolongnya! Bagaimana mereka dapat datang bersama dan kini membantu mereka menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw?
Akan tetapi, mereka tidak ada waktu untuk bertanya dan kini semua para piauwsu yang bersama pemimpinnya masih berjumlah delapan belas orang karena yang enam orang telah roboh, maju menyerbu dan mengeroyok enam orang sisa pasukan pengikut Pek-lian-kauw yang tinggi besar itu. Biarpun pada umumnya tingkat kepandaian orang Pek-lian-kauw itu lebih tinggi sedikit, namun karena mereka harus menghadapi para piauwsu dengan perbandingan satu lawan tiga, mereka segera terdesak. Sementara itu, Kian Lee dan Kian Bu sudah menghadapi tiga tosu yang memandang kepada mereka dengan mata terbelak dan dengan ragu-ragu. Kian Bu segera tersenyum dan bertanya.
Sepasang Pedang Iblis Eps 12 Pendekar Super Sakti Eps 39 Pendekar Super Sakti Eps 44