Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 12


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Bun Beng mengerutkan alisnya. Anak ini masih terlalu kecil untuk menyanyikan kata kata seperti itu! Mungkin hanya seperti burung saja yang meniru kata-kata tanpa tahu artinya.

   "Gak Bun Beng, engkau sudah sadar dari tadi, mengapa pura pura masih tidur?"

   Bun Beng terkejut dan bangkit duduk, matanya terbelalak. Bagaimana anak perempuan itu bisa tahu bahwa dia sudah terbangun? Padahal dia tidak mengeluarkan suara dan anak itu tidak pernah menengok bahkan ketika menegurnya pun tidak membalikkan tubuh.

   "Eh, apa engkau mempunyai mata di belakang kepalamu?"

   Bun Beng melompat berdiri dan bertanya. Anak perempuan itu kini membalikkan tubuhnya, memandang dengan sepasang mata yang mengingatkan Bun Beng akan sepasang mata burung garuda tunggangan murid Pendekar Siluman. Anak itu tersenyum dan Bun Beng terseret dalam senyum itu, tanpa disadari ia pun meringis tersenyum.

   "Apa kau kira aku ini siluman yang mempunyai mata di belakang kepala?"

   "Kalau tidak mempunyai mata di belakang, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku telah bangun dari tidur?"

   "Bunyi pernapasan orang tidur dan orang sadar jauh bedanya, dan biarpun sedikit, gerakan tubuhmu terdengar olehku."

   Bun Beng bengong. Wah, kiranya anak perempuan yang kelihatan lemah lembut dan pandai bernyanyi dengan suara merdu ini memiliki pendengaran yang tajam luar biasa. Ah, ini hanya menandakan bahwa anak ini telah berlatih sin kang! Teringatlah ia akan cara pengawal menaikkan keranjangnya. Tak salah lagi, tentu penumpang perahu ini merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan anak ini bukan anak sembarangan, dapat dibandingkan dengan murid Pendekar Siluman, atau anak laki laki Pulau Neraka itu! Akan tetapi, karena dia sendiri pun sejak kecil telah digembleng orang-orang pandai, Bun Beng memandang rendah dan tidak memperlihatkan kekagumannya, bahkan pura pura tidak tahu bahwa anak perempuan ini memiliki kepandaian.

   "Nyanyianmu tadi sungguh ngawur!"

   Karena tidak tahan melihat betapa sinar mata anak perempuan itu memandangnya seperti orang mentertawakan, Bun Beng lalu mengambil sikap menyerang dengan mencela untuk memancing perdebatan agar dia dapat dikenal sebagai seorang yang lebih pandai daripada anak itu! Bun Beng merasa kecelik kalau dia memancing kemarahan anak itu, karena anak itu sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali dan bertanya.

   "Bagian manakah yang kau katakan ngawur?"

   "Semuanya! Maksudku, engkau bernyanyi seperti burung, tanpa mengerti artinya! Misalnya kalimat yang mengatakan bahwa semua itu digerakkan oleh cinta, aku tanggung engkau tidak mengerti apa artinya. Bocah sebesar engkau ini mana tahu tentang cinta?"

   Mata itu bersinar lembut ketika men-jawab,

   "Gak Bun Beng, ketika aku diajar menyanyikan kata kata itu, aku telah diberi penjelasan. Tentu saja aku tahu dan aku heran sekali kalau engkau tidak tahu arti cinta. Cinta adalah kasih sayang murni yang menguasai seluruh alam. Tanpa cinta atau kasih sayang ini, kehidupan akan tiada! Segala macam benda dan mahluk, baik yang bergerak maupun yang tidak, seluruhnya dapat hidup oleh kasih sayang ini. Cinta adalah sifat daripada Tuhan yang menguasai seluruh alam!"

   Kembali Bun Beng menjadi bengong. Tidak salahkah pendengarannya? Ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang masih.... ingusan! Ia penasaran dan menyerang lagi.

   "Engkau hanya meniru-niru, belum tentu engkau mengerti betul tentang cinta. Kalau benar mengerti, coba kau beri penjelasan dan contoh-contoh!"

   Kini anak itu memandang wajah Bun Beng dan kelihatan sinar mata membayangkan perasaan kasihan!

   "Bun Beng, benarkah engkau tidak mengenal arti cinta itu? Aih, sungguh patut dikasihani! Sinar matahari yang memberi kehidupan itu adalah kuasa cinta! Air laut yang mengandung garam, yang menjadi awan dan hujan mengaliri segala yang membutuhkan air di darat, angin yang bertiup, hawa udara yang kita hisap, tanah yang kita injak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, semua itu adalah kuasa cinta! Darahmu yang mengalir di seluruh tubuhmu tanpa kau sengaja, pernapasanmu yang terus bekerja tanpa kau sadari dalam tidurpun, semua itu digerakkan oleh apa kalau tidak oleh kekuasaan yang penuh kasih sayang? Bibit bertunas menjadi pohon tanpa bergerak, tanah dan air menghidupkannya, angin dan hawa menyegar-kannya, sampai berdaun dan berbunga. Bunga tanpa bergerak menciptakan buah, dan buahpun akan jatuh sendiri dan bersemi menjadi bibit, demikian seterusnya. Benda benda itu tanpa bergerak telah teratur sendiri, bukankah itu bukti nyata betapa maha besarnya cinta kasih yang dimiliki Tuhan? Dan engkau masih bertanya akan bukti?"

   Kini Bun Beng terbelalak memandang wajah yang semringah kemerahan itu. Bukan main!

   "Eh.... oh.... maafkan, kiranya engkau benar benar hebat! Siapakah yang mengajarkan kepadamu akan semua pengetahuan itu?"

   Ia berhenti sebentar lalu menengok ke arah bilik perahu besar.

   "Tentu.... laki laki yang berpakaian mewah tadi, ya?"

   Akan tetapi anak perempuan itu menggeleng kepala.

   "Bukan dia. Yang mengajarkan semua itu adalah Ibuku sendiri. Banyak hal lain yang diajarkan Ibu kepadaku, akan tetapi tentang cinta ini, ada sebuah nyanyian yang kudengar seringkali dinyanyikan Ibu, yang aku tidak mengerti artinya. Kalau kutanyakan, Ibu selalu menggeleng kepala tanpa menjawab. Dan kau tahu.... Ibu selalu mengucurkan air matanya kalau menyanyikan itu."

   Bun Beng tertarik sekali. Anak ini mempunyai sikap yang amat menarik dan watak yang begitu halus! Tentu ibunya orang luar biasa pula.

   "Benarkah? Bagaimana nyanyian itu?"

   "Sebetulnya tidak boleh aku beritahukan orang lain. Akan tetapi engkau seorang anak yang aneh, yang datang tiba-tiba saja dari langit, dikirim oleh Tuhan sendiri melalui kekuasaan cinta kasihnya."

   "Aihh, mengapa begitu? Sudah kuceritakan bahwa aku diterkam...."

   "Burung rajawali yang menerbangkanmu ke atas, bukan? Engkau lupa! Kekuasaan apa yang membuat burung itu mampu terbang? Kemudian, kekuasaan apa yang membuat engkau kebetulan dijatuhkan di atas laut, dekat dengan perahu Paman sehingga engkau tertolong? Tanpa kekuasaan cinta kasih itu, kita dapat berbuat apakah?"

   Bun Beng terdesak.

   "Baiklah.... baiklah...., engkau benar. Akan tetapi, orang sepandai engkau masih tidak mengerti arti nyanyian yang dinyanyikan Ibumu sambil menangis. Coba perdengarkan nyanyian itu, kalau engkau tidak mengerti artinya, tentu aku mengerti,"

   Bun Beng membusungkan dadanya karena kini timbul kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa dia lebih pandai. Kalau gadis cilik yang aneh ini tidak tahu artinya kemudian dia bisa mengartikannya, berarti dia menang! Anak perempuan itu ragu ragu sejenak, memandang wajah Bun Beng penuh selidik. Kemudian dia menghela napas dan berkata,

   "Sudah kukatakan bahwa engkau seorang anak luar biasa dan aku percaya kepadamu. Akan tetapi, berjanjilah bahwa engkau takkan menceritakan kepada siapapun juga tentang nyanyian Ibu ini, karena kalau Ibu mengetahui, tentu Ibu akan menyesal sekali kepadaku."

   "Engkau takut dimarahi?"

   "Tidak. Kalau Ibuku memarahiku, hal itu biasa saja. Akan tetapi kalau sampai Ibu menyesal dan berduka karena perbuatanku, hal ini amat menyedihkan hatiku."

   Keharuan meliputi hati Bun Beng. Ah, kalau saja dia mempunyai ibu, dia akan mencontoh anak ini! Rasa takut dalam hati seorang anak melihat ibunya marah, bukanlah cinta kasih. Namun rasa sedih dalam hati seorang anak melihat ibunya berduka dan menyesal, barulah timbul dari cinta kasih yang murni! Dia menelan ludah,

   "Engkau.... engkau seorang anak yang baik sekali! Aku berjanji, aku bersumpah tidak akan mence-ritakan kepada lain orang."

   Anak perempuan itu tersenyum.

   "Aku percaya kepadamu dan kepercayaanku tidak akan sia sia. Nah, dengarlah nyanyian istimewa Ibuku!"

   "Cinta kasih menguasai alam semesta suci murni dan penuh mesra namun mengapa....
hatiku merana.... jiwaku dahaga akan cinta....?
aihhh.... haruskah aku menjadi ikan dalam air mati kehausan?
cinta.... cintaku.... mengapa engkau begitu tega....?"

   Bun Beng berdiri bengong dan dua titik air mata turun membasahi pipinya ketika ia melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata anak perempuan itu yang kini terisak isak.

   "Engkau.... engkau menangis....?"

   Tanyanya, suaranya serak. Anak perempuan itu menoleh, mengusap air matanya dan mengangguk,

   "Aku.... aku teringat kepada Ibu. Aku kasihan mengingat dia berduka dan aku sedih karena tidak mengerti mengapa dia menangis dan apa artinya nyanyiannya itu."

   Bun Beng mengerutkan alisnya, berpikir. Kemudian ia berkata,

   "Ahh, aku mengerti! Ibumu tentu mencinta seseorang! Tentu saja seorang pria! Ehhh.... maaf, tentu mencinta Ayahmu. Di mana Ayahmu?"

   Anak perempuan itu bengong dan mengangguk angguk.

   "Aihhh.... agaknya engkau benar, Bun Beng. Terima kasih! Kalau aku menanyakan Ayahku. Ibu selalu kelihatan berduka dan hanya mengatakan bahwa Ayah pergi amat jauh, bahwa Ayah adalah seorang pendekar besar. Akan tetapi Ibu tidak pernah mau mengatakan di mana adanya Ayah dan siapa namanya, hanya menyuruh aku bersabar karena kelak tentu akan bertemu dengan Ayah."

   "Nah, benar kalau begitu! Ibumu mencinta Ayahmu, merindukan Ayahmu yang lama pergi! Eh, siapakah namamu?"

   "Namaku Milana."

   "Bagus sekali!"

   "Apakah yang bagus?"

   "Namamu itu. Tentu engkau puteri bangsawan, bukan?"

   Milana menggeleng kepala,

   "Ibu melarang aku menganggap diriku keturunan bangsawan, biarpun Paman Jenghan adalah seorang pangeran Mongol. Aku disuruh ikut di Kerajaan Mongol untuk mempelajari ilmu. Ibu sendiri entah pergi ke mana akan tetapi sering kali, sedikitnya sebulan sekali, Ibu tentu datang menjengukku dan menurunkan pelajaran pelajaran kepadaku. Kini, Paman Pangeran Jenghan berpesiar ke laut ini dan mengajakku, tidak kusangka akan bertemu dengan engkau, Bun Beng."

   "Ibumu tentu seorang yang hebat! Dan engkau di samping pandai bernyanyi dan mempelajari kesusasteraan, tentu engkau belajar ilmu silat pula."

   "Benar, keluarga istana Mongol penuh dengan orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi menurut Paman Pangeran, tidak ada yang melebihi ilmu kepandaian Ibu yang amat tinggi. Hanya aku belum pernah menyaksikan sendiri kepandaian Ibu, kecuali kalau dia datang dan pergi lagi dari kamarku dengan kecepatan seperti menghilang. Kadang-kadang aku bahkan menduga apakah Ibu itu sebangsa dewi, bukan manusia biasa...."

   "Milana....!"

   Mereka terkejut dan menengok.

   "Paman memanggilku."

   Anak perempuan itu berlari menuju ke bilik perahu besar, diikuti oleh Bun Beng. Mereka melihat kesibukan di perahu itu dan semua pengawal memegang senjata. Juga para pengawal di tiga buah perahu kecil siap dengan senjata mereka. Pangeran Jenghan menyongsong keponakannya.

   "Lekas kau sembunyi di bilik kapal. Engkau juga, Bun Beng. Jangan sekali-kali keluar dari bilik kalau belum aman."

   "Apakah yang terjadi, Paman?"

   Milana bertanya.

   "Kita akan diserang sekawanan bajak! Perahu perahu mereka sudah tampak datang. Cepat sembunyi!"

   Pangeran itu memegang lengan Milana dan ditariknya keponakan itu memasuki bilik kapal, diikuti oleh Bun Beng. Kemudian pintu bilik ditutup dan Pangeran itu meloncat keluar.

   "Mau apakah bajak bajak laut itu?"

   Di dalam bilik, Milana bertanya kepada Bun Beng.

   "Hemm, namanya juga bajak, tentu mau membajak, merampas kapal atau membakarnya, dan membunuh kita."

   Mata yang bening itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi agak pucat.

   "Mengapa? Bukankah mereka itu juga manusia?"

   Bun Beng tersenyum pahit.

   "Pujianmu tentang cinta kasih itu akan hancur kalau jatuh ke tangan manusia, Milana. Tidak ada mahluk di dunia ini yang sejahat, sekejam, dan seganas manusia."

   "Ohhh....! Akan tetapi.... aku tidak pernah menyaksikan kekejaman manusia."

   "Kalau begitu engkau belum berpengalaman, Milana. Berhati-hatilah kalau engkau berhadapan dengan sesama manusia dan simpan saja kepercayaanmu tentang cinta kasih itu di dalam hati. Tuhan memang bersifat Maha Kasih, kasih sayangnya melimpah, akan tetapi manusia hanya menghancurkan kasih sayang murni itu. Mengapa Pamanmu menyembunyikan kita? Kalau memang ada serbuan bajak, aku lebih suka berada di luar dan membantu menghadapi mereka. Seribu kali lebih baik mati sebagai seekor harimau yang melakukan perlawanan mati matian di luar sana daripada mati sebagai tikus tikus terjepit di tempat ini!"

   "Aku.... aku tidak pernah bertempur!"

   "Kulihat kepandaianmu sudah baik, dan kau belum pernah bertempur?"

   Milana menggeleng kepala.

   "Aku.... aku tidak mau bertempur, tidak mau menggunakan ilmu silat yang kupelajari untuk melukai dan membunuh manusia lain!"

   "Dan kalau mereka menerjang ke sini dan membunuhmu?"

   "Lebih baik dibunuh daripada membunuh."

   Bun Beng membelalakkan mata dan menggeleng geleng kepalanya.

   "Wah wah-wah, bagaimana ini? Habis, untuk apa Ibumu mengajar ilmu silat tinggi kepadamu?"

   "Kata Ibu untuk menjaga diri dari marabahaya."

   "Nah, sekarang marabahaya tiba. Mari kita pergunakan untuk menjaga diri!"

   "Tapi dengan membunuh bajak? Aku tidak mau!"

   "Mari kita keluar, Milana. Akulah yang akan menjaga dan melindungimu. Biarlah aku yang akan membunuh mereka kalau mereka berani mengganggu kita."

   "Kau.... kau berani membunuh orang?" "Tentu saja kalau orang itu juga mau membunuhku. Membela diri, bukan?" "Bun Beng, pernahkah ada orang yang hendak membunuhmu?"

   Bun Beng tertawa.

   "Tak terhitung banyaknya! Engkau belum mengenal kekejaman manusia. Mari kita keluar. Dengar, sudah ada suara pertempuran!"

   Dan memang pada saat itu sudah terdengar teriakan teriakan di antara berdencingnya senjata senjata yang beradu.

   Ketika kedua orang anak itu tiba di luar, Milana mengeluarkan jerit tertahan melihat betapa empat buah perahu mereka telah dikurung dan tampak banyak sekali anak buah bajak menyerang. Pamannya dan para pengawal melakukan perlawanan dengan gigih dan karena kepandaian Pangeran Jenghan dan para pengawalnya memang tinggi, banyak anak buah bajak yang menyerbu itu roboh dan jatuh ke laut dalam keadaan terluka atau tewas. Akan tetapi, jumlah anak buah bajak itu banyak sekali dan mereka mulai menggunakan api untuk membakar empat buah perahu itu! Keadaan menjadi kacau balau dan para pengawal kewalahan karena selain menghadapi serbuan bajak yang amat banyak, juga mereka harus memadamkan api yang mulai membakar di sana sini sambil merobohkan para bajak yang membakari perahu.

   "Paman Pangeran....!"

   Milana menjerit melihat pamannya dikeroyok enam orang bajak laut. Melihat seorang bajak laut dengan tombak di tangan lari menyerbu dari belakang Pangeran itu, Bun Beng meloncat dan tanpa disadarinya dia menghantam dengan jurus dari ilmu silat yang dipelajari dari tiga buah kitab rahasia Sam po cin keng. Kebetulan sekali jurusnya ini adalah jurus pukulan yang menggunakan tenaga sin kang yang dipusatkan pada telapak tangan.

   "Bukkk!"

   Tangannya yang kecil itu tepat sekali menghantam punggung bajak selagi tubuh Bun Beng masih meloncat. Bajak itu memekik, tombaknya terlepas dan mulutnya muntahkan darah segar, lalu tubuhnya terguling roboh berkelojotan! Melihat ini, Pangeran Jenghan terkejut dan kagum, lalu berteriak,

   "Lekas kau selamatkan Milana dengan perahu darurat di pinggir kiri itu!"

   Sambil berteriak begini, Pangeran itu memutar pedangnya menangkis hujan senjata para bajak. Bun Beng mengerti bahwa melihat keadaannya, perahu itu akan terbakar dan akan celakalah mereka semua.

   Memang sebaiknya menyelamatkan Milana lebih dulu. Cepat ia menyambar lengan Milana, diajaknya lari ke pinggir kiri. Di situ memang terdapat sebuah perahu kecil yang biasanya dipergunakan untuk para pengawal mencari ikan, atau memang disediakan kalau sewaktu waktu keadaan membutuhkan. Bun Beng melepaskan ikatan perahu itu, menyeretnya ke pinggir, lalu ia melempar perahu ke bawah. Tanpa menghiraukan jeritan Milana yang merasa ngeri, ia menyambar tangan anak perempuan itu dan dibawanya meloncat ke bawah menyusul perahu kecil. Untung bahwa Bun Beng bersikap tenang sehingga loncatannya tepat jatuh di tengah perahu kecil. Dilepaskannya dua batang dayung yang terikat di pinggir perahu dan ia mulai mendayung perahu itu melawan ombak menjauhi perahu besar yang mulai terbakar.

   "Paman....! Paman Pangeran....!"

   Milana berteriak dan menangis.

   "Milana, dalam keadaan seperti ini kita harus masing-masing mencari keselamatan sendiri."

   "Tapi.... tapi Paman Pengeran...."

   "Dia seorang berilmu tinggi, tentu akan dapat menyelamatkan diri. Andaikata kita menolong pun tiada gunanya. Duduklah yang tenang, akan kucoba melarikan perahu sebelum terlihat oleh bajak bajak itu."

   Dengan sepenuh tenaganya Bun Beng mendayung perahu, sedangkan Milana memandang ke arah asap asap mengepul hitam yang menutupi perahu perahu besar pamannya sambil menangis. Mereka sudah berada agak jauh dari perahu-perahu yang kebakaran ketika tiba-tiba Milana menjerit. Bun Beng memandang dan ia pun terkejut melihat dua buah tangan manusia muncul dan air dan memegang pinggiran perahu kecil. Ketika kepala orang itu muncul, tahulah dia bahwa orang itu adalah seorang di antara para anak buah bajak laut yang jatuh ke laut. Orang itu tidak terluka dan pandang matanya beringas menyeramkan.

   "Lepas!"

   Bun Beng membentak, menggunakan dayungnya menghantam ke arah tangan terdekat!

   "Aughhh....!"

   Orang itu berteriak kesakitan dan melepaskan tangan kirinya yang kena pukul dan dari bibir perahu Bun Beng mengayun dayungnya lagi, memukul ke arah tangan kanan yang masih memegangi pinggiran perahu. Gerakan-gerakan ini membuat perahu kecil menjadi oleng. Akan tetapi sekali ini, bukan tangan itu yang terkena hantaman dayung bahkan dayungnya tertangkap oleh tangan kanan bajak itu, terus ditarik kuat kuat sehingga tubuh Bun Beng terseret dan jatuh ke air!

   "Bun Beng....!"

   Milana menjerit. Bun Beng marah sekali. Biarpun bukan ahli, namun dia pandai berenang, maka ia menggerakkan kedua kakinya dan mengayun dayung yang masih dipegangnya.

   "Plakkk!"

   Dayungnya menghantam muka orang itu sehingga kembali bajak itu memekik dan terdorong mundur. Matanya melotot marah penuh dengan sinar kebencian dan kalau anak itu dapat diterkamnya, tentu akan dibunuhnya. Bun Beng sudah dapat menangkap pinggiran perahu lagi. Karena gugup dan hendak cepat-cepat naik ke perahu, dayungnya terlepas dan hanyut, sedangkan bajak itu sambil memaki maki berenang cepat sekali mengejarnya. Dalam hal ilmu renang tentu saja Bun Beng tidak dapat melawan kepandaian seorang bajak laut! Maka ia bergegas hendak naik ke perahu agar dari dalam perahu dia dapat melawan orang yang masih berada di air itu.

   "Heh heh heh!"

   Tiba-tiba, entah darimana datangnya, seorang kakek yang tertawa-tawa meloncat ke ujung perahu. Begitu tubuhnya tiba di ujung perahu, ujung yang lain di mana Bun Beng dan Milana berada, terangkat tinggi ke atas seolah-olah kakek itu beratnya melebihi berat seekor gajah bengkak! Bun Beng cepat memegang lengan Milana yang hampir terlempar ke luar, sambil dengan sebelah tangan memegangi pinggiran perahu erat erat dan matanya memandang kakek aneh itu dengan terbelalak.

   "Heh heh heh!"

   Tiba-tiba ujung di mana Bun Beng dan Milana duduk, meluncur lagi ke bawah dengan cepat sekali.

   "Prakkk!"

   Ujung perahu ini turun tepat menghantam kepala anak buah bajak sehingga pecah berantakan dan mayatnya terapung, kepalanya sudah tidak merupakan kepala lagi melainkan berubah seonggok benda putih berlepotan darah.

   "Ihhhh....!"

   Milana yang melihat mayat itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis.

   "He he he, takut? He he he!"

   Kakek itu tertawa-tawa seolah-olah merasa senang sekali melihat Milana ketakutan.

   "Aku akan membikin kalian lebih takut lagi, ha ha ha!"

   Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan dengan sebatang ranting yang berada di tangan kirinya, kakek itu mendayung perahu dan.... perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa!

   Bun Beng memandang penuh perhatian. Kakek itu pakaiannya sederhana dan longgar, kedua kakinya telanjang. Usianya tentu sudah tujuh puluh lebih, dengan rambut dan jenggot putih riap riapan, matanya melotot lebar dan selalu tertawa-tawa. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah kulit tubuhnya! Dari muka, tangan dan kakinya, semua berkulit kuning sekali! Bukan kuning seperti kulit orang biasa, melainkan kuning yang aneh, seperti dicat, kuning sampai ke kukunya dan warna matanya! Maka teringatlah Bun Beng akan keanehan warna kulit orang-orang Pulau Neraka dan ia menduga bahwa kakek ini tentulah seorang tokoh Pulau Neraka. Dugaan Bun Beng memang tepat. Kakek ini adalah seorang di antara lima orang kakek kulit kuning yang merupakan tokoh-tokoh tingkat tertinggi di Pulau Neraka, di bawah ketuanya.

   Dan memang dia adalah seorang tokoh sakti yang diutus oleh Majikan Pulau Neraka untuk mengadakan penyelidikan di luar pulau. Kakek ini selain sakti, juga memiliki watak yang amat aneh, mendekati gila sehingga sering kali melakukan hal-hal yang menggegerkan dunia kang ouw. Kini melihat dua orang anak dalam perahu, timbul keanehan wataknya dan dia seolah-olah hendak menakut nakuti kedua orang bocah itu. Perahu itu meluncur cepat mendekati tempat pertempuran! Bukan hanya cepat, malah sengaja dibikin oleng ke kanan-kiri, ada kalanya ujungnya seperti akan tenggelam, ada kalanya ujung yang diduduki dua orang anak anak itu terangkat tinggi kemudian dihempaskan ke bawah seperti akan tenggelam! Milana menjerit-jerit dan memeluk Bun Beng yang berpegang kuat kuat pada pinggiran perahu.

   "Heh heh heh, pemandangan indah....! Indah....!"

   Kakek itu terkekeh kekeh ketika perahunya meluncur cepat mengelilingi tempat pertempuran. Biarpun keadaannya sendiri berbahaya dan perahu itu sewaktu waktu dapat membuat mereka terlempar ke luar, Bun Beng masih sempat memperhatikan keadaan pertempuran dan melihat betapa pangeran dan para pengawal masih melakukan perlawanan mati matian namun perahu mereka telah terbakar sebagian.

   "Kakek, apakah engkau tidak kenal takut?"

   Bun Beng tiba-tiba bertanya.

   "Aku? Takut? Ha ha ha ha! Heh heh-heh!"

   Sambil berkata demikian, perahu meluncur cepat sekali menuju ke sebuah yang terbakar! Milana menjerit melihat betapa perahu kecil itu akan menubruk perahu yang bernyala nyala, bahkan Bun Beng sendiri yang berusaha sekuat tenaga untuk bersikap tenang, menjadi pucat dan memandang terbelalak ke depan, melihat betapa perahu terbakar itu seolah-olah mulut seekor naga mengeluarkan api hendak menelan perahu mereka.

   "Celaka....!"

   Teriak Bun Beng.

   "Ha ha ha heh heh heh!"

   Kakek itu tertawa dan tiba-tiba perahu itu membelok dengan kecepatan luar biasa sehingga miring dan hampir terguling, akan tetapi dapat menghindari tabrakan dengan perahu terbakar.

   "Ha ha ha! Aku takut?" "Memang beranimu hanya menakut-nakuti anak kecil, Kakek yang nakal! Aku tidak percaya bahwa engkau tidak kenal takut. Misalnya terhadap bajak-bajak laut yang demikian ganas, kejam dan jumlahnya amat banyak. Aku be-rani memastikan bahwa engkau tentu takut mengganggu mereka dan kalau engkau yang melawan mereka di atas perahu yang terbakar itu, tentu engkau akan terkencing kencing di celanamu, kencing kuning pula!"

   Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri dan mencak mencak.

   "Memang kencingku kuning! Kau bilang aku takut kepada segala bajak cacing tanah itu? Kau tunggu dan lihat saja betapa mudah aku membasmi mereka!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan kaki dan tubuhnya sudah melesat ke arah perahu besar yang terbakar, di mana Pangeran Jenghan bersama pengawalnya masih mati matian melawan serbuan para bajak. Tentu saja hati Bun Beng menjadi girang bukan main. Cepat ia menyambar sepotong dayung dari banyak kayu kayu pecahan perahu yang terapung di dekat perahunya, kemudian secepat mungkin dia mendayung perahu kecil menjauhi pertempuran.

   Tanpa menghiraukan kedua tangannya yang menjadi lelah sekali, Bun Beng mendayung terus dan tiba-tiba datang ombak-ombak besar yang menghanyutkan perahunya. Mendayung lagi tidak mungkin dan apa yang ia lakukan hanya menggunakan dayung untuk mencegah perahunya terguling. Milana tidak menangis lagi, bahkan anak ini pun sudah menyambar sebatang dayung dan ia membantu Bun Beng mendayung. Kini melihat perahu diombang-ambingkan ombak, dia membantu Bun Beng menahan agar perahu tidak terguling. Akan tetapi dia tidak kelihatan takut, padahal keadaan mereka waktu itu tidaklah kalah berbahaya daripada tadi. Hal ini mengherankan hati Bun Beng dan ia bertanya dengan suara keras untuk mengatasi suara angin ribut.

   "Milana, engkau tidak takut?"

   Milana memandangnya, tersenyum dan menggeleng kepala. Bun Beng menjadi heran.

   "Kalau tadi, kenapa ketakutan dan menangis?"

   Milana membuka mulut menjawab, akan tetapi suaranya lenyap ditelan angin sehingga Bun Beng berteriak,

   "Bicara yang keras, aku tidak dengar!"

   Milana tertawa,

   "Ribut ribut begini kau mengajak orang mengobrol!"

   Bun Beng mendongkol akan tetapi juga geli hatinya. Anak ini benar benar amat luar biasa,

   "Katakanlah mengapa sekarang engkau menjadi begini tabah?"

   "Tadi bukan penakut sekarang pun bukan tabah. Aku ngeri menyaksikan kekejaman manusia saling bunuh. Aku percaya kepada alam yang maha kasih, andaikata ombak ombak ini menelan kita pun sama sekali tidak mengandung hati benci atau marah!"

   Bun Beng bengong sehingga lupa mengerjakan dayungnya. Perahu terputar, hampir terguling dan mendengar Milana malah tertawa-tawa. Cepat ia menggerakkan dayung dan mengomel.

   "Bocah ajaib dia ini!"

   Setelah ombak mereda, perahu itu tiba di dekat daratan. Bun Beng menjadi girang dan bersama Milana dia lalu mendayung perahu ke darat. Mereka berdua melompat turun dan lari ke darat, meninggalkan perahu kecil itu dan keduanya duduk di atas pasir.

   "Di mana kita ini?"

   Bun Beng bertanya.

   "Aku pun tidak tahu. Akan tetapi mari kita berjalan. Kalau bertemu orang tentu akan dapat menceritakan di mana letaknya Kerajaan Mongol. Ahhh, semoga Paman Pangeran dan para pengawal selamat."

   "Jangan khawatir. Mereka itu lihai dan dengan bantuan kakek gila itu, tentu para bajak akan terbasmi dan mereka selamat."

   Tiba-tiba Milana tertawa geli.

   "Eh, kenapa tertawa?"

   "Kakek itu tidak gila, akan tetapi lucu sekali dan kepandaiannya hebat. Ibu tentu akan tertarik sekali kalau kelak kuceritakan."

   "Tentu saja dia lihai karena dia adalah seorang tokoh Pulau Neraka."

   "Ihhh....! Pulau Neraka? Aku sudah mendengar itu, penghuninya adalah manusia-manusia aneh seperti iblis. Bagaimana kau bisa tahu dia dari Pulau Neraka?"

   "Kulit tubuhnya yang berwarna itu! Aku sudah bertemu dengan orang-orang Pulau Neraka."

   "Eh, betulkah? Engkau benar luar biasa, Bun Beng."

   "Tidak, biasa saja. Mari kita pergi."

   "Engkau hendak ke mana?"

   "Eh, bagaimana lagi? Mengantar engkau sampai engkau dapat pulang, kemudian.... kemudian.... hem.... aku tidak tahu ke mana nanti."

   "Eh, bagaimana ini? Apakah engkau tidak hendak pulang?"

   "Pulang ke mana?"

   "Ke mana lagi? Ke rumahmu tentu!"

   "Aku tidak punya rumah."

   Milana menghentikan langkahnya dan memandang wajah Bun Beng.

   "Tidak punya rumah? Dan Ayah Bundamu....?"

   "Aku tidak punya, Ayah Bundaku sudah mati semua."

   "Aihhh....!"

   Milana memegang kedua tangan Bun Beng, wajahnya membayangkan perasaan iba yang mendalam.

   "Kasihan engkau, Bun Beng. Dan tidak mempunyai saudara?"

   Bun Beng merasa panas dadanya. Dia tidak ingin dikasihani orang, bahkan dia tidak merasa kasihan kepada dirinya sendiri!

   "Aku tidak punya siapa siapa, apa salahnya dengan itu?"

   Dia menunjuk ke arah seekor burung camar yang terbang.

   "Dia itu pun tidak punya siapa siapa, toh dapat hidup. Dan pohon itu tidak punya siapa siapa, tetap tumbuh segar."

   "Ahhhh, burung itu tentu punya sarang dan pohon itu banyak saudara-saudaranya di sekelilingnya. Engkau menjadi pahit karena tidak mempunyai siapa-siapa. Bun Beng, aku mau menjadi saudaramu, dan biarlah Ibuku juga menjadi Ibumu, Pamanku menjadi Pamanmu...."

   "Sudahlah, Milana. Aku tidak ingin apa-apa. Engkau anak yang amat baik hati. Mari kita lanjutkan perjalanan. Di sebelah kanan itu ada pegunungan, tentu di sana ada penghuninya yang dapat memberi keterangan kepada kita dan menunjukkan jalan."

   Mereka berjalan lagi dan Milana menggandeng tangannya. Bun Beng tidak menolak dan diam diam dia merasa suka sekali kepada anak yang amat baik hati ini. Akan tetapi setelah mereka mendaki pegunungan itu, ternyata gunung itu penuh dengan batu batu besar dan tidak nampak dusun di situ.

   "Begini sunyi.... tidak ada tampak rumah orang...."

   Kata Milana, kecewa.

   "Nanti dulu! Lihat di sana itu. Ada orang.... eh, malah ada orang menunggang binatang yang besar luar biasa!"

   Milana menengok dan ia pun berseru girang,

   "Benar! Ada orang dan dia menunggang seekor gajah! Sungguh luar biasa!"

   "Gajah? Aku sudah pernah mendengar namanya. Gajahkah binatang itu?"

   "Benar. Raja Mongol memelihara dua ekor, akan tetapi tidak sebesar yang ditunggangi orang itu."

   "Hebat! Binatang raksasa itu memiliki tenaga melebihi seratus ekor kuda. Mari kita lihat!"

   Mereka berlari menuruni puncak pegunungan batu kapur itu. Ketika merea sudah tiba dekat, tiba-tiba Bun Beng berhenti dan Milana juga berhenti. Keduanya terkejut bukan main menyaksikan pemandangan di depan itu sehingga sampai lama mereka tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya Milana berbisik dengan napas tertahan,

   "Lihat...., dia.... kakek Pulau Neraka itu...."

   "Sssttt....!"

   Bun Beng berbisik pula menyentuh pinggang Milana dari belakang.

   "Jangan ribut..... orang berkaki tunggal itu.... dia Pendekar Siluman To-cu Pulau Es.... dan itu muridnya....."

   Memang amat mengherankan kedua orang anak itu apa yang tampak oleh mereka. Kakek bermuka kuning yang mereka temui di tengah lautan itu kini berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang bersorban dan berjenggot panjang, tangan kiri memegang sebuah senjata yang aneh,

   Gagangnya berduri dan ujungnya merupakan bulan sabit, menunggang seekor gajah yang amat besar. Akan tetapi kakek muka kuning tidak kalah anehnya. Agaknya untuk mengimbangi kedudukan kakek bersorban yang tinggi di atas punggung gajah, dia kini menggunakan jangkungan atau egrang. Yaitu dua batang bambu panjang yang di tengahnya diberi cabang untuk injakan kaki. Dengan berdiri di cabang itu dan menggunakan dua batang bambu sebagai pengganti kedua kaki, dia kini sama tingginya dengan Si Kakek Bersorban! Mereka agaknya sedang bertengkar sedangkan di atas sebuah batu berdiri Pendekar Siluman dengan sikap tenang sebagai penonton, menggandeng tangan seorang anak perempuan yang dikenal Bun Beng sebagai anak perempuan penunggang garuda yang berkelahi dengan anak Pulau Neraka dahulu!

   Kwi Hong, murid Suma Han menoleh dan melihat kedatangan Bun Beng dan Milana, akan tetapi karena kini kedua orang kakek aneh yang berhadapan itu sudah saling serang, dia tertarik dan menengok lagi menonton pertandingan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Han menyusul ke Pulau Neraka dan berhasil membawa muridnya itu. Mereka meninggalkan Pulau Neraka menunggang dua ekor burung garuda dan ketika dari atas Suma Han melihat orang menunggang gajah, hatinya tertarik maka dia lalu turun di pegunungan itu, dan bersama Kwi Hong diam diam menghampiri dan menonton pertandingan yang amat menarik hatinya antara kakek penunggang gajah dan kakek muka kuning yang gerak geriknya lucu dan lihai!

   "Heh heh heh!"

   Kakek muka kuning tertawa sambil menggerak gerakkan kedua bambu yang telah menyambung kakinya.

   "Kita sudah sama tinggi sekarang. Hayo, kau mau apa? Lekas turun dan berikan gajah itu kepadaku, baru kau benar benar seorang sahabat dan aku akan mengampunimu!"

   "Sadhu sadhu sadhu!"

   Kakek bersorban itu berkata lirih.

   "Berbulan bulan dari negara barat sejauh itu, belum pernah bertemu orang yang begini nekad. Sahabat, gajah tunggangan ini adalah sahabatku yang telah berjasa besar, mati hidup dia bersamaku, tidak mungkin kuberikan kepadamu. Pergilah, sahabat, dan jangan pergunakan kepandaian yang kau pelajari puluhan tahun itu untuk melakukan hal yang tidak baik."

   "Heh heh heh! Apa tidak baik? Apa baik? Yang menguntungkan dan menyenangkan, itu baik! Yang merugikan dan menyusahkan itu tidak baik! Kalau engkau berikan gajah itu kepadaku, engkau baik. Kalau tidak kau berikan, engkau tidak baik dan terpaksa kurampas, heh-heh heh heh!"

   "Aahh, betapa dangkal dan sesat pandangan itu, sahabat. Pandanganmu terbalik sama sekali. Justeru yang menguntungkan dan menyenangkan diri pribadi itulah sumber segala ketidakbaikan."

   "Waaaah, cerewet! Aku tidak butuh engkau kuliahi dengan wejangan wejanganmu. Hayo turun!"

   Kakek muka kuning menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba bambu panjang yang kanan menyambar ke arah kepala kakek bersorban itu. Akan tetapi, kakek itu menekuk tubuh ke depan sehingga sambaran bambu itu luput dan lewat di atas kepalanya.

   "Sadhu sadhu sadhu, terpaksa aku membela diri!"

   Kakek bersorban menggerakkan tangan kanan, dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan biarpun kakek muka kuning sudah menggerakkan bambu memutar tubuh ke kanan, tetap saja terdorong dan terhuyung-huyung, kedua bambunya bergoyang-goyang. Karena ia memutar tubuh ke kanan inilah maka tiba-tiba dia melihat Suma Han yang berdiri menonton dengan tenang. Setelah mendapat kanyataan bahwa orang Pulau Neraka itu hendak merampas binatang tunggangan orang, Suma Han merasa tidak senang. Apalagi kalau mengingat bahwa orang itu adalah pembantu Lulu, dia makin penasaran. Masa Lulu dibantu oleh orang yang berwatak perampok hina, mau merampas binatang tunggangan seorang kakek yang datang dari jauh? Tongkatnya bergerak mencongkel batu dua kali.

   "Trak! Trak!"

   Kakek muka kuning berseru kaget ketika tiba-tiba bambu yang menyambung kedua kakinya itu patah disambar dua buah kerikil, dan seruannya ini pun sebagian karena dia mengenal Pendekar Siluman yang biarpun belum pernah dijumpainya,

   Akan tetapi sudah banyak didengarnya. Ia cepat meloncat turun sebelum terbanting jatuh karena kedua bambunya patah, kemudian dia meloncat-loncat jauh melarikan diri tanpa menengok lagi. Melihat itu, Kwi Hong tertawa dan bersorak. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti bersorak ketika melihat gajah besar itu terhuyung dan roboh ke depan, membawa tubuh kakek bersorban ikut roboh! Tubuh Suma Han melesat ke depan bagaikan seekor burung garuda dan dia sudah berhasil menyambar tubuh kakek bersorban itu dari bahaya terbanting dan tertindih tubuh gajah yang kini berkelojotan lalu diam, tak bernyawa lagi. Dan dengan kaget Suma Han mendapat kenyataan bahwa kakek bersorban itu ternyata lumpuh kedua kakinya!

   "Ah, gajahku yang baik, engkau mendahuluiku?"

   Kakek itu mengeluh, kemudian berkata kepada Suma Han.

   "Orang muda yang gagah perkasa, turunkanlah aku."

   Suma Han menurunkan kakek itu yang kedua kakinya amat kecil dan selalu bersilang. Kakek itu duduk di atas tanah, wajahnya pucat dan napasnya terengah,

   "Gajah itu.... dia memang sudah sakit.... dia menderita karena lelah.... melakukan tugasnya sampai mati. Akan tetapi aku.... ah, aku pun hampir mati akan tetapi tugasku jauh daripada selesai....! Aku hampir kehabisan tenaga saking lelah, perjalanan ini terlalu jauh untuk orang setua aku, dan tadi.... terpaksa aku mengerahkan tenaga dalam yang amat kuperlukan untuk kesehatanku. Aihhh, orang muda perkasa, sinar matamu membuktikan bahwa engkau bukan manusia biasa. Siapakah engkau yang begini lihai?"

   "Kakek yang baik, aku adalah penghuni Pulau Es...."

   "Hah? Pendekar Super Sakti? Pendekar Siluman To cu dari Pulau Es? Ya Tuhan, kalau engkau mempertemukan hamba dengan dia ini untuk melanjutkan tugas hamba, hamba akan mati tenteram!"

   Suma Han mengerutkan alisnya,

   "Kakek, siapakah engkau dan urusan apa yang membuatmu susah payah melakukan perjalanan begitu jauh?"

   "Aku Nayakavhira.... aku keturunan dari Mahendra pembuat Sepasang Pedang Iblis.... adikku, Maharya telah mendahuluiku untuk mencari sepasang pedang itu. Kalau terjatuh ke tangannya, akan gegerlah dunia dan terancamlah banyak nyawa manusia! Aku.... aku berkewajiban untuk merampas dan memusnahkan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi.... aku tidak sanggup lagi.... ahh, Pendekar Super Sakti, engkau tolonglah aku...."

   Kembali Suma Han mengerutkan alisnya.

   "Bagaimana aku harus menolongmu, Nayakayhira?"

   "Senjataku ini.... terbuat dari logam yang akan menandingi dan mengalahkan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi karena bentuknya seperti ini, tidak akan ada orang di sini yang dapat memainkannya. Akan kubuat menjadi pedang.... biarlah kelak kau berikan kepada siapa yang berjodoh untuk menindih dan menaklukkan Sepasang Pedang Iblis.... kau bantulah aku.... buatkan pondok, perapian.... aku tidak kuat lagi, engkau tolonglah aku, buatlah sebatang pedang dari senjataku ini...."

   Suma Han mengangguk angguk. Tidak disangkanya bahwa sepasang pedang yang dahulu dia tanam bersama jenazah kakek dan nenek yang saling bunuh, akan mendatangkan urusan begini hebat!
(Lanjut ke Jilid 12)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
"Aku suka menolongmu, akan tetapi aku tidak bisa membuat pedang."

   "Aku adalah ahli membuat pedang.... seperti nenek moyangku.... aku yang akan memberi petunjuk, engkau yang membuat. Tolonglah.... Taihiap.... demi.... demi perikemanusian!"

   "Kakek yang baik, biarlah aku membantumu!"

   Tiba-tiba Bun Beng meloncat maju mendekati kakek itu. Kakek bersorban itu membelalakkan mata memandang Bun Beng dengan heran, Suma Han menengok. Dia sudah tahu akan kehadiran kedua orang anak itu akan tetapi karena terjadi perkara besar, dia lebih mementingkan kakek itu dan belum menanya dua orang anak yang datang di tempat itu secara aneh. Kini melihat sikap anak laki laki itu, diam diam ia memperhatikan dan menjadi kagum. Di lain pihak, ketika melihat sinar mata Pendekar Siluman itu ditujukan kepadanya dan mereka bertemu pandang, kuncuplah hati Bun Beng dan otomatis dia menjatuhkan diri berlutut.

   "Siapakah engkau?"

   "Paman, dia adalah anak laki laki yang telah menolongku ketika aku dikeroyok rajawali. Bocah dalam keranjang!"

   Suma Han makin tertarik. Kwi Hong sudah menceritakan betapa ketika Kwi Hong diserang putera Lulu dengan rajawali dan dikeroyok muncul seekor burung rajawali yang mencengkeram keranjang berisi seorang anak laki laki yang membantunya dengan memukul rajawali itu sehingga cengkeraman rajawali terlepas dan keranjang bersama anak itu jatuh ke laut! Kini tiba-tiba anak itu muncul dan dengan suara yang mengandung kesungguhan menawarkan jasa baiknya hendak membantu Si Kakek India membuat pedang. Bukan main!

   "Siapa namamu?"

   Tanyanya, dalam suaranya terkandung rasa sayang karena dia melihat suatu yang luar biasa pada diri anak laki laki ini.

   "Saya adalah anak yang dahulu ditolong oleh Taihiap dari dalam kuil tua tepi Sungai Fen ho di lembah Pegunungan Tai hang san dan Lu liang san...."

   Suma Han benar benar terkejut sehingga ia bangkit berdiri.

   "Kau....?" "Benar, Taihiap. Saya adalah Gak Bun Beng."

   Suma Han menarik napas panjang dan menengadah ke langit. Benar benar amat luar biasa pertemuan ini!

   "Di mana suhumu Siauw Lam Hwesio?"

   "Suhu.... telah meninggal dunia, terbunuh oleh Im kan Seng jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, dan Bhe Ti Kong panglima Mancu!"

   Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sengit oleh Bun Beng.

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sadhu sadhu sadhu...."

   Tiba-tiba kakek itu berkata.

   "Bhong Ji Kun adalah Koksu Pemerintah Mancu.... dia.... dia itu adalah muridku...."

   "Kau....!"

   Bun Beng meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.

   "Bun Beng, jangan lancang!"

   Tiba-tiba Suma Han membentak dan Bun Beng menjatuhkan diri berlutut lagi.

   "Taihiap.... teecu harus membalas kematian Suhu!"

   "Hemmm, sungguh tidak baik masih kanak-kanak sudah mendendam. Dendam menimbulkan watak kejam sehingga sembarangan saja engkau akan mencelakakan orang tanpa pertimbangan lagi."

   Sementara itu, kakek tua itu menarik napas panjang. Sungguh ajaib, dapat bertemu dengan anak ini!

   "Muridku itu memang telah menyeleweng dan perjalananku ini di samping hendak mencari Sepasang Pedang Iblis juga tadinya akan kupergunakan untuk mengingatkan dia, kalau perlu menghukumnya. Bagaimana, Taihiap, sukakah engkau menolongku?"

   Suma Han tidak menjawab, melainkan bertanya kepada Bun Beng,

   "Bagaimana dengan engkau, Bun Beng? Apakah engkau masih suka menolong Kakek ini sekarang?"

   "Teecu sudah berjanji, tentu teecu penuhi!"

   Suma Han tersenyum.

   "Baiklah. Nayakavhira, kami akan membantumu. Siapakah anak perempuan itu, Bun Beng?"

   Milana yang sejak tadi mendengarkan menjadi tertarik sekali akan kata kata Suma Han. Dia sudah menghampiri dan memandang Suma Han penuh perhatian. Tadi dia mendengar dari Bun Beng bahwa laki laki gagah perkasa berkaki satu yang rambutnya putih semua dan wajahnya muram menimbulkan iba itu adalah Pendekar Siluman, To cu dari Pulau Es yang amat terkenal!

   
"Apakah engkau yang berjuluk Pendekar Siluman yang hebat itu?"

   Tanyanya, suaranya halus dan wajahnya berseri. Suma Han tersenyum, sekaligus tertarik rasa sukanya kepada bocah yang cantik jelita itu.

   "Benar, anak manis. Engkau siapakah?"

   "Namaku Milana, aku keponakan Pangeran Jenghan dari Kerajaan Mongol. Kami sedang berpesiar di kapal, diserbu bajak laut dan aku diselamatkan oleh Bun Beng."

   Hati Suma makin kagum kepada Bun Beng. Hemm, biarpun putera seorang datuk kaum sesat seperti Kang thouw-kwi Gak Liat dan dilahirkan karena datuk itu memperkosa Bhok Kim, namun ternyata bocah ini mempunyai bakat lahir batin yang baik. Tentu menuruni watak ibunya, seorang di antara Kang-lam Sam eng tokoh Siauw lim pai yang perkasa itu (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI).

   "Marilah kalian ikut bersamaku membantu Nayakavhira. Kwi Hong, kau ajaklah dua orang anak ini."

   Suma Han memondong tubuh kakek bersorban dan mencari tempat yang ada pohonnya. Di situ dia lalu membangun sebuah pondok, mempersiapkan landasan dan keperluan pembuatan pedang. Bun Beng yang sudah berjanji membantu itu ditugaskan mengumpulkan kayu bakar karena menurut Nayakavhira pembuatan pedang itu membutuhkan banyak sekali kayu bakar untuk membuat api yang sepanas panasnya. Berhari-hari lamanya Suma Han sibuk di dalam pondok membuat pedang di bawah petunjuk kakek Nayakavhira yang lumpuh.

   Tiga orang anak itu sama sekali tidak boleh memasuki pondok yang panasnya luar biasa karena api besar dinyalakan siang malam tak pernah berhenti. Bun Beng juga bekerja setiap hari mencari kayu bakar, sedangkan Kwi Hong bermain main dengan Milana yang berwatak halus dan sebentar saja sudah dapat menarik rasa sayang di hati Kwi Hong yang wataknya kasar. Kedua orang anak perempuan ini jauh berbeda wataknya. Kwi Hong yang lebih tua beberapa tahun, berwatak jenaka, riang gembira, galak dan pandai bicara. Sebaliknya Milana berwatak halus, lemah lembut dan pendiam, hati-hati dalam bicara agar jangan sampai menyingung perasaan orang lain. Namun, berkat kehalusan budi Milana yang pandai mengalah, mereka berdua dapat bersahabat dengan rukun. Di dalam pondok itu terjadi hal yang tentu akan amat mengherankan tiga orang anak itu kalau saja mereka dapat melihatnya.

   Kakek Nakavhira duduk bersila di atas tanah, seperti arca tidak bergerak dan hawa panas di dalam pondok itu tak mungkin akan dapat tertahan oleh manusia biasa. Suma Han menanggalkan baju atasnya dan sibuk membakar senjata yang bentuknya seperti bulan sabit itu di dalam api. Sudah tiga hari tiga malam logam itu dibakar, tetap saja masih utuh, tidak dapat membara. Kakek itu berkali kali minta ditambah api karena kurang besar sehingga setiap tumpukan kayu bakar yang dikumpulkan Bun Beng, selalu habis sehingga tidak ada cadangan sama sekali, membuat anak itu tidak berani berhenti karena khawatir kehabisan kayu bakar! Kakek Nayakavhira mengeluarkan be-berapa macam obat yang dioleskan pada logam putih itu, namun setelah lewat lima hari tetap juga logam itu belum membara. Kakek itu menjadi bingung dan prihatin sekali.

   "Ya Tuhan, akan gagalkah usaha hamba?"

   Keluhnya berkali kali sehingga Suma Han menjadi kasihan. Juga pendekar ini merasa penasaran sekali. Sedangkan batu bintang saja dapat dibakar sampai mencair, yaitu ketika dia masih kecil dan menjadi pelayan Kang thouw kwi Gak Liat (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI), masa logam ini dibakar dalam api sampai lima hari lima malam belum juga membara? Teringat akan masa kecilnya, ia teringat kepada Bun Beng yang sibuk mengumpulkan kayu di luar pondok. Dahulu dia menjadi pelayan Gak Liat, dan sekarang, secara kebetulan, putera Gak Liat itu bekerja keras melayaninya! Demikianlah nasib mempermainkan manusia!

   Ia teringat akan batu bintang, teringat akan latihan Hwi yang Sin ciang. Hwi yang Sin ciang! Bukankah sin kang yang mujijat dan yang sudah dikuasainya dengan sempurna itu mengandung hawa panas yang mujijat? Mengapa tidak ia pergunakan untuk coba coba? Dia memegang gagang senjata kakek yang aneh itu. Senjata itu terbuat daripada baja yang aneh sebagai gagang berduri, adapun ujungnya yang berbentuk bulan sabit berwarna putih itulah yang akan diolah menjadi pedang. Suma Han mengerahkan Hwi yang Sin ciang sehingga wajahnya yang selama lima hari lima malam berdekatan dengan api tidak berubah apa-apa, kini setelah mengerahkan Hwi yang Sin ciang sekuatnya, muka itu berubah merah. Dan perlahan lahan, logam putih berbentuk bulan sabit itu menjadi merah membara!

   "Kakek Nayakavhira, aku berhasil!"

   Teriaknya girang. Kakek yang sudah kehabisan semangat itu membuka matanya dan seketika wajahnya berseri!

   "Hebat....! Biarkan sampai merah tua seluruhnya, baru digembleng!"

   Teriaknya dan semangatnya kembali. Matanya bersinar-sinar. Suma Han tidak mau bicara tentang penggunaan Hwi yang Sin ciang dan kini setelah logam itu dapat membara, panasnya api sudah cukup untuk membikin bara menjadi tua. Tak lama kemudian logam itu sudah menjadi merah sekali.

   "Cepat letakkan di landasan dan gembleng sampai bentuknya menjadi panjang membungkus gagang senjataku."

   "Membungkus gagang?"

   Suma Han bertanya.

   "Benar. Logam putih itu hanya merupakan lapisan luar saja. Gembleng sampai lebar dan tipis sepanjang setengah kaki. Cepat!"

   Suara kakek itu gemetar penuh gairah. Otomatis Suma Han mematuhi perintah ini karena dia sendiri sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang pembuatan pedang. Biarpun dia bukan seorang pandai besi, bahkan memegang martil dan menggembleng logam membara pun baru sekali itu selama hidupnya, namun pendekar ini memiliki tenaga yang melebihi tenaga seratus orang dengan sin kangnya yang hebat, maka tentu saja gemblengannya juga amat kuat sehingga tak lama kemudian logam yang membara itu sudah menjadi lebar tipis sepanjang tiga setengah kaki.

   "Bagus! Hebat....! Untuk menggembleng itu biarpun dalam keadaan sehat, tentu baru dapat kuselesaikan dalam waktu tiga hari. Akan tetapi engkau hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja. Benar benar sukar dicari pendekar sakti seperti engkau, Suma Taihiap. Logam itu telah mendingin, bakar lagi sampai membara dan akulah yang akan menggemblengnya membungkus gagang."

   Kembali Suma Han menurut dan sekali ini, karena logam itu sudah pernah membara, panasnya api cukup membuat logam itu menjadi merah lagi. Akan tetapi kakek itu mengatakan belum cukup.

   "Dia harus dibakar selama satu malam sampai melunak agar mudah digembleng membungkus gagang, apalagi tenagaku sekarang banyak berkurang."

   Pada keesokan harinya, ketika terdengar bunyi martil menghimpit logam di atas besi landasan sampai berdentang-dentang, dikerjakan sendiri oleh Kakek Nayakavhira yang dibuatkan tempat duduk tinggi oleh Suma Han dan ditonton oleh pendekar sakti itu. Selama menyaksikan kakek itu bekerja, diam diam Suma Han merasa kagum dan barulah dia tahu betapa sulitnya membuat sebatang pedang pusaka! Dalam menempa dan menggembleng ini, kakek itu bekerja seperti dalam samadhi sehingga setiap tempaan merupakan gerakan suci seperti seorang bersembahyang. Maka Suma Han menonton penuh perhatian dan penuh hormat.

   "Bun Beng, mengasolah. Lihat, tumpukan kayu di belakang pondok sudah cukup banyak. Dan mendengar suara berdentang itu, agaknya mereka tidak mem-butuhkan terlalu banyak kayu lagi. Lihat sepagi ini tubuhmu sudah berkeringat!"

   Kwi Hong menegur Bun Beng yang bertelanjang baju dan sejak pagi buta telah menebangi kayu.

   "Benarkah? Ah, kalau begitu aku mau beristirahat sebentar!"

   Bun Beng lalu duduk di atas batu dan menyusuti peluhnya.

   "Aku akan masak air, tunggu saja. Aku akan membuatkan minuman untukmu!"

   Kwi Hong lalu berlari lari kecil meninggalkan Bun Beng. Setelah bekerja keras sejak pagi, tubuhnya lelah dan kini duduk bersandar batu disiliri angin pagi, Bun Beng merasa nyaman sekali sehingga tak terasa lagi ia memejamkan matanya. Sudah hampir setengah bulan dia berada di situ sejak pertemuannya dengan Pendekar Siluman dan Kakek Nayakavhira, dan selama itu setiap hari dia bekerja keras dalam usahanya membantu kakek itu membuat pedang pusaka. Kini ia merasa lelah sekali dan mengantuk. Entah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba ia merasa pundaknya diguncang tangan halus dan terdengar suara Kwi Hong.

   "Ihhh, pemalas. Berhenti sebentar saja sudah tertidur pulas! Bun Beng, minumlah ini. Bukan air teh akan tetapi daun ini lebih sedap dan kata Paman dapat memulihkan tenaga. Minumlah!"

   Bun Beng merasa malas untuk bangun, akan tetapi pundaknya ditarik sehingga ia terduduk dan ketika ia membuka sedikit matanya, ia melihat Kwi Hong yang membangunkannya bahkan kini anak perempuan itu menempelkan secawan minuman ke bibirnya!

   "Bun Beng, lihat betapa indahnya bunga ini.... indah harum kupetik untukmu...."

   Tiba-tiba Milana menghentikan kata kata dan langkah kakinya ketika melihat Kwi Hong sedang memberi minum Bun Beng dengan sikap mesra. Milana memandang sejenak, kemudian memejamkan mata, membuang muka, melempar kembang di tangannya kemudian membalikkan tubuh dan pergi dari situ tanpa berkata-kata. Sambil melangkah pergi dia cepat-cepat menghapus dua butir air mata yang bergantung di bulu matanya.

   Anak perempuan ini sama sekali tidak mengerti mengapa dia menjadi berduka, dan dia tidak tahu sama sekali bahwa setan cemburu yang selalu siap menggoda hati manusia, terutama sekali hati wanita, telah mulai menyentuh hatinya. Dia hanya merasa kecewa karena pagi itu dia sengaja mencari bunga yang paling indah di dalam hutan untuk dipetiknya dan diberikan kepada Bun Beng yang ia tahu tentu sedang bekerja keras. Dengan hati penuh kegembiraan dia membawa bunga itu dan berlari lari mencari Bun Beng, membayangkan betapa girangnya Bun Beng menerima pemberiannya, betapa anak laki laki itu akan tersenyum kepadanya, memandang dengan matanya yang tajam dan tentu akan terpancing kata kata pujian dari Bun Beng kepadanya. Dia tidak pernah merasa bosan mendengar pujian pujian dari mulut Bun Beng.

   "Milana, engkau baik sekali! Milana engkau manis sekali!"

   Dan sebagainya. Akan tetapi kegembiraannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika tiba di tempat itu, dia melihat Kwi Hong dengan sikap mesra memberi minum Bun Beng! Milana sendiri tidak mengerti mengapa dia harus kecewa.

   Dia bersahabat baik dengan Kwi Hong yang dianggapnya seperti encinya sendiri, yang dianggapnya sebagai seorang saudara yang lebih tua darinya, lebih pandai dan dia pun tahu bahwa sebagai murid Pendekar Siluman, Kwi Hong memiliki kepandaian silat jauh lebih tinggi dari padanya, bahkan menurut pengakuan Bun Beng, jauh lebih tinggi daripada kepandaian Bun Beng! Mengapa kini hatinya menjadi kecewa dan demikian tidak enak menyaksikan sikap mesra Kwi Hong kepada Bun Beng? Bun Beng yang masih setengah mengantuk dan tadi menurut saja diberi minum, dengan mata setengah terpejam, dapat melihat bayangan Milana yang pergi lagi sambil membuang bunga setangkai di atas tanah. Matanya terbuka lebar memandang bunga itu dan dia lalu sadar akan keadaan dirinya yang seperti anak kecil diberi minum.

   "Terima kasih, Kwi Hong, biar kuminum sendiri,"

   Katanya sambil menerima cawan minuman itu. Kwi Hong memberikan cawannya dan memandang dengan wajah berseri ketika Bun Beng minum dan kelihatan nikmat. Tentu saja nikmat minum minuman sedap hangat itu di pagi hari.

   "Eh, mana dia tadi?"

   Kwi Hong bertanya sambil menengok.

   "Siapa?"

   Bun Beng pura pura bertanya.

   "Milana! Aku mendengar dia datang tadi. Mana dia?"

   "Ah, aku tidak melihat dia,"

   Kata Bun Beng sambil menutupi muka dengan cawan, meneguk habis minumannya sedangkan matanya melirik ke arah setangkai bunga yang terletak sunyi di atas tanah.

   "Terima kasih, Kwi Hong. Engkau baik sekali."

   Bun Beng mengembalikan cawan kosong yang diterima Kwi Hong dengan wajah girang. Memang itulah yang dinanti nantinya. Untuk menerima pujian Bun Beng itu, dia mau melakukan pekerjaan yang lebih berat daripada membuatkan secawan minuman!

   "Bun Beng, mulai sekarang, engkau tidak perlu mencari kayu bakar lagi."

   "Ahh, mengapa?"

   "Pedang pusaka itu sudah selesai! Paman tadi berpesan agar engkau tidak perlu mengumpulkan kayu bakar lagi, akan tetapi pedang itu akan ditapai oleh Kakek Nayakavhira beberapa hari lamanya. Paman telah pergi karena Kakek itu tidak mau diganggu, dan Paman pergi mencari sepasang garuda kami karena dipanggil-panggil tak kunjung datang."

   "Dan kita....?" "Kita harus menunggu di sini sampai Paman kembali. Eh, Bun Beng, setelah pedang selesai, engkau tentu akan ikut Paman ke Pulau Es, bukan?"

   Bun Beng berpikir sejenak. Alangkah akan senang hatinya kalau dapat pergi ke tempat Pendekar Siluman dan menjadi muridnya. Akan tetapi ia teringat kepada Milana. Mana mungkin dia meninggalkan Milana di tempat itu begitu saja? Dia ingin sekali pergi bersama Pendekar Siluman, akan tetapi dia tidak boleh meninggalkan anak perempuan itu. Lebih dulu dia harus mengantarkan Milana sampai dapat pulang ke tempat tinggalnya, yaitu di Kerajaan Mongol.

   

Pendekar Super Sakti Eps 16 Kisah Pendekar Bongkok Eps 9 Pendekar Super Sakti Eps 23

Cari Blog Ini