Kisah Sepasang Rajawali 15
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
Seketika mukanya menjadi makin pucat seperti mayat, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, kedua tangan dikepal dan dia tak bergerak seperti arca. Matanya memandang seperti orang yang hilang ingatan kepada seorang wanita cantik jelita dan gagah perkasa yang menunggang kuda besar dan berada di depan pasukan berkuda itu dan wanita inilah yang tadi bicara kepada perwira di sampingnya. Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tujuh tahun, tubuhnya masih padat dah tinggi semampai, menunggang kuda dengan tegak, tubuhnya tertutup mantel putih, rambutnya disanggul tinggi-tinggi dan yang membuat Gak Bun Beng hampir pingsan adalah wajah yang cantik itu kelihatan begitu kurus, begitu muram kehilangan cahayanya yang dahulu selalu berpancar dari wajah Milana! Hatinya menjerit.
"Milana....!"
Akan tetapi mulutnya tidak mengeluarkan suara apa-apa. Syanti Dewi terkejut bukan main, cepat menengok dan diapun melihat wanita yang menunggang kuda itu dan segera rombongan itu lewat dan lenyap. Dia menoleh kembali kepada pamannya yang keadaannya masih payah. Kini Gak Bun Beng menggigit bibir bawahnya, alisnya berkerut dan bibirnya berbisik-bisik tanpa suara.
"Paman....! Ada apakah....? Paman....!"
Gak Bun Beng terhuyung dan cepat tangannya ditangkap oleh Syanti Dewi, kemudian dia menuntun pendekar itu ke pinggir jalan, terus diajaknya berjalan ke tempat yang sunyi. Tak jauh dari situ tampaklah huruf-huruf besar yang menyatakan bahwa di situ terdapat sebuah rumah penginapan.
"Paman, kita beristirahat di penginapan itu, ya?"
Gak Bun Beng hanya mengangguk dan memejamkan matanya. Syanti Dewi berkhawatir sekali. Dengan hati-hati dia menuntun Gak Bun Beng ke rumah penginapan itu dan minta disediakan sebuah kamar. Melihat gadis itu menuntun laki-laki yang kelihatannya menderita sakit, pelayan cepat menyediakan kamar dan Syanti Dewi segera menuntun Gak Bun Beng memasuki kamar. Gak Bun Beng melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan rebah telentang dengan muka tetap pucat. Pukulan batin yang amat hebat dideritanya. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali perasaan terharu melihat betapa Milana kini telah berubah menjadi sekurus dan sepucat itu.
"Aku menyiksanya.... aku menyiksa batinnya.... ah, aku menyiksanya...."
Demikian jerit hati Gak Bun Beng dan dia memejamkan matanya. Syanti Dewi duduk di pinggir pembaringan dan dipegangnya dahi pendekar itu. Panas!
"Aih, kau panas sekali, paman. Kau sakit! Kau demam...."
Gak Bun Beng membuka matanya, memandang Syanti Dewi sebentar, lalu memejamkannya kembali, menggeleng kepala dan berkata lemah,
"Tidak apa-apa, Dewi.... sebentar juga sembuh.... tidak apa-apa...."
"Paman, ah, paman, aku khawatir sekali. Kau tadi begitu pucat seperti mayat setelah melihat wanita itu! Siapakah wanita cantik dan gagah yang menunggang kuda itu tadi, paman?"
"Milana.... dia Milana....!"
Ketika mengucapkan nama ini, seolah-olah hatinya menjerit memanggil nama kekasihnya.
"Milana....!"
Mendengar nama ini, Syanti Dewi terkejut.
"Sang Puteri Milana....?"
Gak Bun Beng mengangguk lagi dan memejamkan matanya. Syanti Dewi mengulang nama itu dan memandang penolongnya penuh selidik, kemudian dia mengangguk-angguk. Digenggamnya tangan pendekar itu ketika dia berkata,
"Maafkan kelancanganku, ya, paman? Diakah wanita yang paman cinta? Sang Puteri Milana itu?"
Sejenak Gak Bun Beng tidak menjawab, bibirnya menggigil, matanya terpejam, kemudian dia mengangguk.
"Aihhh....!"
Syanti Dewi tertegun, sama sekali tidak menduga bahwa penolongnya ini mempunyai hubungan cinta kasih dengan cucu kaisar sendiri! Diam-diam dia mengakui bahwa memang patutlah kalau penolongnya ini mencinta wanita itu, karena memang wanita tadi itu hebat. Begitu cantik, begitu gagah dan begitu agung! Akan tetapi mengapa wanita itu tidak menahan kepergian pendekar ini? Apakah cinta kasih wanita itu kurang mendalam? Kasihan pendekar ini, sampai sekarang masih menderita hebat karena cinta kasihnya terputus!
"Kalau begitu, antarkan aku kepadanya, paman. Atau aku mencari sendiri, aku akan menghadapnya dan akan kutegur dia, akan kukatakan betapa dia telah membuat hidupmu sengsara, betapa dia telah berlaku kejam terhadap-mu, betapa dia sepatutnya harus...."
"Hushh....! Jangan berkata begitu, Dewi. Akulah yang mening-galkannya. Cintaku kepadanya sedemikian mendalam sehingga aku tidak mau karena menikah denganku dia akan sengsara. Lihat, dia begitu agung, seorang puteri Istana! Cucu kaisar dan puteri Majikan Pulau Es, seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Super Sakti! Sedangkan aku.... ah, riwayatku hanya memalukan untuk dibicarakan, seorang rendah, miskin dan...."
"Dan semulia-mulianya orang, yang tak dapat melihat ini matanya buta!"
Syanti Dewi melanjutkan.
"Tidak, Syanti Dewi. Kau tidak mengerti. Aku rela memutuskan hubungan kami, dan aku rela menderita kalau dia berbahagia. Karena itu, akupun tidak pernah menampakkan diri. Sekarang karena terpaksa aku berada di sini dan.... dan melihat dia.... ahh, Dewi, apakah kau tidak melihat bagaimana wajahnya tadi?"
"Cantik dan agung, paman. Akan tetapi.... hemm, memang kurus dan pucat, agak murung...."
"Dia menderita, Dewi. Aku mengenal benar wajahnya. Dia menderita, dan semua itu karena aku.... ohh."
Gak Bun Beng memejamkan mata erat-erat, mulutnya terkancing.
"Paman....! Paman....!"
Syanti Dewi menjerit dan karena jeritannya itu pelayan tadi berlari masuk. Melihat betapa orang yang dipanggil "paman"
Oleh gadis itu pingsan dan kaku iapun ikut menjadi bingung sekali.
"Lekas.... oh, lekas panggilkan tabib....!"
Syanti Dewi memohon dan pelayan itu lalu lari keluar untuk memanggil ahli pengobatan yang kebetulan toko obatnya tidak begitu jauh dari situ. Syanti Dewi sendiri cepat membuka baju Gak Bun Beng, kemudian dia meletakkan telapak tangannya di dada pendekar itu dan mati-matian mengerahkan sin-kang yang diajarkan oleh Gak Bun Beng. Napasnya sendiri sampai terengah-engah, wajahnya pucat, akan tetapi dia nekat terus menyalurkan sin-kang. Akhirnya, Gak Bun Beng sadar dan cepat dia menangkap tangan Syanti Dewi dan berkata,
"Anak bodoh....! Lekas kau bersila dan atur napasmu baik-baik!"
Syanti Dewi girang sekali melihat penolongnya sudah siuman, maka dia menurut dan bersila. Kini Gak Bun Beng yang membantunya dengan menempelkan telapak tangannya ke punggung dara itu. Syanti Dewi sehat, dan pulih kembali tenaganya, akan tetapi keadaan Gak Bun Beng makin lemah.
"Ahhh, gejolak batin yang belasan tahun kutekan, dalam hari ini terbebas dari tekanan sehingga seolah-olah api dalam sekam, kini menyala, atau seperti air dibendung, kini pecah bendungannya. Mana aku kuat menahan? Jangan khawatir, Dewi, aku sudah sadar sekarang, hanya tinggal lemas. Tubuhku lemah sekali dan perlu beristirahat agak lama. Kita tunda saja pergi menghadap dia...."
"Menghadap Puteri Milana? Tak perlu kau terlalu banyak memikirkan urusanku, paman. Kalau kau menghendaki menghadap kapan sajapun boleh. Kalau tidakpun, aku juga tidak ingin masuk istana. Yang perlu kau harus berobat sampai sembuh."
Pelayan datang bersama sinshe ahli obat. Setelah memeriksa nadi dan mendengarkan dada, sinshe tua itu mengangguk-angguk.
"Orang muda, jangan terlalu banyak pikiran. Memang sedang masanya dunia kacau dan ribut-ribut, akan tetapi bukan kita sendiri yang merasakannya, melainkan orang sedunia. Perlu apa gelisah dan berduka? Tenang dan bergembiralah dan tanpa obatpun kau akan sembuh. Akan tetapi perlu kuberi obat untuk menjaga jantungmu."
Setelah membuat resep dan menerima uang biaya dari Syanti Dewi, sinshe itu lalu pergi dan si pelayan cepat membelikan obat dari resep itu. Sambil memasak obat di dalam kamar, Syanti Dewi memperhatikan dan menjaga Gak Bun Beng yang masih rebah telentang.
"Sinshe itu memang pandai...."
Kata Gak Bun Beng.
"Sungguhpun dugaannya keliru, namun sifat penderitaanku dia tahu semua. Dan dia menyebutku orang muda, betapa lucunya!"
Biarpun suara Gak Bun Beng masih gemetar dan lemah, membuat Syanti Dewi terharu dan khawatir, namun teri-ngat akan nasehat sinshe tadi Syanti Dewi berkata dengan tertawa dan suaranya gembira,
"Hi-hik, Paman. Apanya yang lucu? Memang kau masih muda, malah engkau masih.... perjaka lagi, hi-hik!"
Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum.
"Bagaimana kau tahu?"
Memang sesungguhnya, Gak Bun Beng yang sudah berusia empat puluh tahun itu masih perjaka, belum pernah dia mengadakan hubungan badani dengan wanita! "Tentu saja tahu! Bukankah engkau tak pernah kawin? Itu berarti masih perjaka!"
Gak Bun Beng tidak menjawab. Dia terharu sekali karena dia tahu bahwa sebetulnya hati dara itu gelisah memikirkan bagaimana nanti kalau dia ditinggal di istana, memikirkan sakitnya. Akan tetapi gadis itu sengaja memaksa diri bergembira dan mengajak berkelakar agar dia lekas sembuh.
Betapa luhur budi dara ini! Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi merawat Gak Bun Beng, memberinya minum obat dan bahkan menyuapi mulut Gak Bun Beng ketika makan bubur, tetap tak membolehkan pendekar itu bangkit dan makan sendiri. Akhirnya, dengan hati diliputi penuh keharuan, Gak Bun Beng tertidur nyenyak. Sore harinya, melihat Gak Bun Beng masih tidur terus hati Syanti Dewi menjadi tidak enak. Bagaimana kalau terus tidur dan tidak akan bangun kembali? Membayangkan pendekar itu "mati"
Syanti Dewi menjadi panik. Kacau hatinya, maka dia lalu bertanya kepada pelayan dan menuju ke rumah obat menemui sinshe tadi, memberitahukan bahwa obat telah diminumkan dan menanyakan mengapa setelah minum obat lalu tertidur terus sejak tadi sampai sekarang.
"Bagus, bagus....!"
Sinshe itu mengangguk-angguk.
"Jangan ganggu dia. Makin banyak tidur makin baik, dia gelisah dan berduka, tidur dan istirahat, bergembira adalah yang mujarab."
Legalah hati Syanti Dewi dan dengan hati dan langkah ringan dia kembali ke rumah penginapan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat keributan terjadi di rumah penginapan itu. Dua orang kakek yang aneh sekali telah berada di ruangan depan penginapan dan berhadapan dengan lima orang pelayan.
Karena mereka itu ribut-ribut tepat di depan pintu kamar Gak Bun Beng, maka Syanti Dewi terhalang tak dapat masuk dan dia menjadi khawatir sekali. Sejenak dia memandang dengan penuh keheranan dan kengerian. Kedua orang kakek itu memang luar biasa sekali. Wajah keduanya presis sehingga mudah diduga tentu mereka adalah orang-orang kembar. Akan tetapi pakaian mereka berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Yang seorang bermuka merah, tubuhnya hanya tertutup oleh sebuah celana pendek sehingga dari pinggang ke atas dan dari paha ke bawah sama sekali telanjang, memakai sepatupun tidak! Adapun kakek yang kedua, mukanya putih, pakaiannya lengkap, terlalu lengkap malah, karena di luar pakaiannya dia memakai mantel bulu tebal, seolah-olah dia selalu merasa dingin sedangkan yang seorang seolah-olah kegerahan terus! Dua kakek ini marah-marah.
"Kami juga mampu bayar, kenapa tidak boleh memakai kamar ini?"
Bentak yang bermantel bulu.
"Maaf, loya. Kamar ini sudah ada tamunya, bahkan sedang sakit. Harap ji-wi suka memakai kamar yang berada di dalam atau di belakang."
"Tidak! Kami memerlukan kamar paling depan! Hayo suruh si sakit itu keluar dan pindah ke belakang. Kami berani bayar tiga kali lipat!"
"Tapi, loya...."
"Heh-heh, kamu minta mampus?"
Tiba-tiba yang setengah telanjang itu membentak sambil terkekeh, tangannya menepuk meja di sebelahnya dan.... permukaan meja itu menjadi hangus seperti dibakar! Para pelayan terkejut sekali dan tidak berani bicara lagi, sedangkan Syanti Dewi yang menyaksikan demontrasi tadi juga terkejut. Mengertilah dia bahwa kakek setengah telanjang itu memiliki sin-kang yang amat hebat sehingga mampu membakar meja! Dia lalu menyelinap dari samping, mendorong daun jendela kamar Gak Bun Beng. Akan tetapi dia melihat pendekar itu sudah bangkit dan duduk, dan ketika melihat Syanti Dewi, dia berkata,
"Biarlah kubereskan urusan di luar."
"Jangan, paman.... mereka.... mereka lihai sekali...."
Tentu saja kata-kata ini hanya disambut dengan senyum saja oleh Gak Bun Beng dan dia lalu turun dari pembaringan, terhuyung dan membuka pintu kamarnya. Melihat dua orang kakek itu menghadapi lima orang pelayan yang ketakutan, Gak Bun Beng mengerutkan alisnya dan berkata,
"Andaikata ji-wi sedang sakit dan aku yang sehat, tentu dengan senang hati aku mengalah dan memberikan kamar ini untuk ji-wi. Akan tetapi karena keadaan kita sebaliknya, sungguh tidak patut kalau ji-wi hendak memaksa para pelayan. Harap saja ji-wi suka memandang aku yang sedang sakit untuk mengambil kamar di dalam saja."
"Heh-heh-heh-heh, apa kau juga ingin mampus?"
Kembali kakek setengah telanjang berkata dan dia menggunakan telapak tangannya mendorong meja tadi dan.... seketika keempat kaki meja itu amblas ke dalam lantai yang keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari agar-agar saja! Melihat ini Gak Bun Beng mengerutkan alisnya.
"Hemm, kau memang hebat, akan tetapi berwatak buruk sekali!"
Gak Bun Beng melangkah maju dan sekali kakinya dihempaskan ke lantai, meja yang kakinya amblas tadi mencelat ke atas sampai ada setengah meter dari lantai! Dua orang kakek itu terkejut sekali, saling pandang, kemudian menghadapi Gak Bun Beng.
"Bagus, engkau merupakan lawan yang boleh juga! Kau menantang kami, ya?"
Serta merta kakek bermantel tebal itu menghantam ke depan dengan telapak tangan kanan. Mendengar sambaran angin ini dan merasakan betapa ada hawa yang amat dingin datang menyambarnya, Gak Bun Beng terkejut dan maklumlah dia bahwa kakek ini adalah seorang ahli Im-kang, maka diapun cepat menyambut dengan telapak tangan kiri.
"Plakkk!"
Pada saat itu, kakek setengah telanjang juga sudah menghantam dengan telapak tangan terbuka pula, dan Gak Bun Beng merasa betapa hawa yang menyambarnya amatlah panasnya. Maka diapun menyambut dengan tangan kanannya.
"Plakk!"
Dua orang kakek ini terkejut, berseru
"Aughh....!"
Dan muka mereka menjadi pucat. Tentu saja kedua orang kakek itu tidak mengenal siapa yang mereka serang.
Kakek kembar ini pernah kita jumpai, yaitu ketika mereka bersama kawan-kawannya yang semua berjumlah dua puluh orang menyerbu ke Pulau Es dan dapat dihalau pergi oleh Pendekar Super Sakti, dua orang isteri dan dua orang puteranya. Si muka putih yang selalu bermantel itu adalah Pak-thian Lo-mo sedangkan si muka merah yang setengah telanjang itu adalah Lam-thian Lo-mo. Kedua kakek kembar ini memang memiliki kelstimewaan masing-masing, kalau si baju tebal itu seorang ahli tenaga sakti Im-kang yang selalu kedinginan adalah si setengah telanjang itu seorang ahli Yang-kang yang selalu kepanasan. Akan tetapi, sekali ini mereka bertemu dengan Gak Bun Beng, seorang ahli dalam tenaga sin-kang Inti Salju dan Inti Api, maka dengan sendirinya dia berani menghadapi pukulan panas dengan hawa yang lebih panas sedangkan pukulan dingin dia hadapi dengan hawa yang lebih dingin lagi!
"Ouhhhh....!"
Kedua orang kakek itu mengerahkan tenaganya karena Pak-thian Lo-mo si ahli Im-kang mulai menggigil kedinginan sedangkan Lam-thian Lomo si ahli Yang-kang mulai berpeluh kepanasan.
Untung bagi mereka bahwa Gak Bun Beng tidak niat membunuh orang, dan lebih untung lagi bahwa pendekar sakti itu sedang sakit, maka pengerahan tenaga ini membuat Gak Bun Beng terbatuk-batuk dan muntah darah! Kesempatan ini dipergunakan oleh kakek kembar itu untuk menarik tangan masing-masing, kemudian melihat lawannya muntah darah, mereka berdua menyerang lagi dengan hebatnya! Gak Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan biarpun dia menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya dan mengusir kunang-kunang yang tampak ribuan di depan matanya, dia masih bisa menangkis setiap pukulan yang datang dengan cepatnya sehingga kedua kakek itu merasa amat terheran-heran dan terkejut bukan main! Belum pernah mereka menghadapi lawan yang sehebat dan setangguh ini setelah Pendekar Super Sakti!
Tentu saja mereka menjadi penasaran dan kini mereka mengeluarkan senjata mereka, yaitu sabuk baja yang berupa pecut. Terdengarlah bunyi meledak-ledak ketika kedua kakek itu menggerakkan senjata mereka menyerang Gak Bun Beng. Pendekar ini berusaha mengelak dan bahkan menangkis dengan lengannya yang penuh dengan hawa sin-kang, namun karena pandang matanya berkunang dan dia terhuyung-huyung, ada beberapa pukulan yang mengenai tubuhnya sehingga dia terluka cukup berat. Pada saat itu, Syanti Dewi sudah meloncat masuk ke dalam kamar, menyambar buntalan dari meja dan melihat betapa Gak Bun Beng dikeroyok dan terhuyung-huyung, dia menjerit. Pada saat itu, terdengarlah derap banyak kaki kuda dan sesosok bayangan menyambar masuk disertai bentakan nyaring seorang wanita.
"Sepasang iblis laknat, kalian berani mengacau kota raja?"
"Sing-sing....!"
Dua sinar terang menyambar ke arah dua orang kakek itu.
"Trang-trang....!"
Dua batang pisau terbang itu dapat disampok pecut baja, namun kedua kakek itu terkejut ketika tangan mereka terasa tergetar, tanda bahwa dua batang pisau terbang itu
(Lanjut ke Jilid 15)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
diluncurkan oleh orang yang memiliki tenaga hebat. Wanita yang bukan lain adalah Puteri Milana ini sudah membentak lagi dan sinar-sinar halus menyambar, kini serangan jarum-jarum halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh bagian depan dari kedua orang kakek kembar.
"Hayaaaa....!"
Dua orang kakek itu berteriak dan dengan cepat mereka memutar pecut untuk melindungi tubuh sambil meloncat keluar dari rumah penginapan di mana mereka disambut oleh sepasukan pengawal yang cukup lihai. Sementara itu, ketika Milana melihat orang yang tadi dikeroyok oleh sepasang kakek kembar itu terhuyung dan dipapah oleh seorang gadis cantik, dia cepat membalikkan tubuhnya mengejar dua orang kakek kembar yang sudah merobohkan dua orang pengawal. Dengan pedangnya yang berkilauan Milana menerjang dan kedua orang kakek itu terpaksa harus mengerahkan kepandaian mereka karena wanita ini benar-benar amat lihai, apalagi dibantu oleh banyak sekali pengawal yang mengurung mereka.
"Paman, kau.... terluka...."
Syanti Dewi memeluk tubuh yang terhuyung itu.
"Dewi.... cepat.... bawa aku pergi.... jangan sampai dia melihatku....!"
Syanti Dewi tadi sudah melihat kedatangan Milana dan dia kagum meyaksikan kehebatan puteri itu. Setelah dekat dan melihat wajah Milana terkena sinar penerangan, barulah dia melihat betapa cantiknya puteri itu, sungguhpun wajah itu begitu pucat, begitu dingin dan muram seperti kehilangan cahayanya. Kini mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia menjadi bingung. Mengapa penolongnya ini selalu hendak menghindarkan diri dari kekasihnya?
"Dewi, cepat.... aku tak tahan lagi...."
Bun Beng berbisik.
"Ke sana.... melalui jendela...."
Syanti Dewi tidak berani membantah dan memapah penolongnya itu memasuki kamar dan membantunya keluar melalui jendela. Ketika mereka lewat di samping rumah mereka melihat betapa pertempuran masih berlangsung dengan hebat sungguhpun kedua orang kakek itu terkepung dan terdesak oleh pedang Milana. Akan tetapi pada saat itu Milana kebetulan melirik ke arah Gak Bun Beng yang juga sedang memandang ke arah pertempuran.
"Gak-twako....!"
Seruan lirih ini terdengar di antara suara beradunya senjata dan teriakan orang-orang, akan tetapi Gak Bun Beng mengenal suara Milana, maka cepat dia memondong tubuh Syanti Dewi dan melesat pergi dengan kecepatan kilat, tidak memperdulikan bahwa tenaganya sudah hampir habis. Dia berlari terus, meloncati tembok pintu gerbang, akan tetapi ketika dia sudah meloncat turun ke tempat gelap, dia terguling dan roboh pingsan di tempat gelap itu!
"Paman....! Paman....!"
Syanti Dewi berbisik-bisik dekat telinga pendekar itu, akan tetapi Gak Bun Beng tidak bergerak.
Sementara itu, Milana yang terkejut bukan main melihat orang yang tadi dikeroyok dua orang kakek dan agaknya terluka itu lewat di samping rumah bersama seorang gadis cantik, karena dia mengenal wajah Gak Bun Beng! Agaknya tidak mungkin salah lagi. Di antara selaksa wajah orang laki-laki, dia akan mengenal wajah Gak Bun Beng, pria yang penah dicintanya dan masih dicintanya itu. Biarpun laki-laki setengah tua itu berkumis dan berjenggot, akan tetapi dia tidak pangling melihat mulutnya, hidungnya, terutama mata dan pandang matanya. Karena perhatiannya tertarik, apalagi karena meninggalkan gelanggang pertempuran untuk berusaha mengejar Gak Bun Beng, kedua orang kakek kembar itu tidak terdesak lagi dan sambil berseru keras mereka lalu meloncat dan melarikan diri pula.
"Mereka lari!"
"Kejar....!"
Barulah Milana sadar ketika mendengar teriakan-teriakan ini. Cepat dia memerintahkan para pengawal untuk mengejar kedua orang kakek itu, juga dia memerintahkan sebagian pasukan lagi untuk mencari orang yang bersama dengan gadis cantik yang tadi dikeroyok oleh dua orang kakek.
Dari keterangan pelayan dia mendengar betapa laki-laki itu datang ke losmen dalam keadaan sakit dan dirawat oleh gadis yang agaknya adalah keponakan laki-laki itu. Milana termenung mendengar keterangan ini. Melihat wajahnya, apalagi melihat kenyataannya bahwa dalam keadaan sakit masih mampu menahan pengeroyokan dua orang kakek lihai, jelas bahwa orang tadi tentulah Gak Bun Beng. Akan tetapi kalau benar dia, mengapa lari darinya? Mengapa tidak menemuinya? Dan sakit apakah? Ke mana perginya? Bimbanglah hati Milana dan dia sendiri membantu pencarian itu. Bukan mencari sepasang kakek kembar, melainkan mencari Gak Bun Beng. Baginya kakek kembar itu tidak penting, hanya merupakan orang-orang dari golongan sesat yang mencurigakan saja.
Semalam suntuk dia dan pasukannya mencari dan akhirnya, menjelang pagi keesokan harinya, terpaksa dia pulang dengan hati parah, penuh kebimbangan dan penyesalan. Dia telah melihat kekasihnya, akan tetapi belum ada ketentuan juga. Bagaimana dengan keadaan Syanti Dewi dan Gak Bun Beng yang karena terlampau banyak mempergunakan tenaga, apalagi karena sudah terluka dalam pertempuran melawan Siang Lo-mo, yaitu kakek kembar itu? Dapat dibayangkan betapa bingungnya rasa hati Syanti Dewi. Dia mengerahkan tenaganya, memondong tubuh Gak Bun Beng untuk dibawa pergi dari pintu gerbang utara itu. Akan tetapi sebelum dia melangkah jauh, dia mendengar suara hiruk-pikuk dan melihat serombongan pasukan berlari-lari mendatangi. Tentu saja dia terkejut melihat obor-obor di tangan para perajurit itu.
Dilihatnya bahwa di bawah pintu gerbang itu terdapat sebuah sungai dengan jembatannya, maka cepat dia membawa tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan. Karena jalannya menurun dan agak su-kar, dia takut kalau memondong tubuh penolongnya bisa tergelincir, maka terpaksa dia bersusah payah menarik atau menyeret tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan di mana dia bersembunyi sambil memeluk pundak dan kepala Gak Bun Beng dengan hati berdebar penuh rasa khawatir dan ketegangan. Sambil memangku kepala penolongnya, dia membasahi saputangannya dengan air sungai dan membasuh muka dan kepala pendekar itu, berbisik-bisik memanggil-manggil namanya. Ketika Gak Bun Beng tetap tidak menjawab, Syanti Dewi terisak dan mendekap kepala itu, menempelkan pipinya pada muka pendekar itu dan berbisik dekat telinganya.
"Paman Gak.... jangan kau mati.... jangan tinggalkan aku sendiri, paman....!"
Akan tetapi karena takut, dia menahan isaknya sehingga hanya air matanya saja yang bercucuran, dia menangis tanpa suara. Setelah keadaan sunyi kembali dan pasukan itu dengan suara hiruk-pikuk telah kembali memasuki pintu gerbang, barulah Syanti Dewi berani bergerak. Dengan susah payah dia berhasil juga menyeret tubuh Gak Bun Beng keluar dari bawah jembatan, kemudian memondong tubuh pendekar itu dan secepat mungkin dia membawa Gak Bun Beng pergi jauh dari tempat itu.
Sampai dua hari dua malam Bun Beng pingsan tak sadarkan diri sama sekali, ditangisi oleh Syanti Dewi di dalam sebuah hutan yang besar dan liar. Berkali-kali Puteri Bhutan ini memanggil-manggil, mengguncang-guncang tubuh pendekar itu, kemudian diseling tangisnya terisak-isak sambil menyatakan penyesalan hatinya kepada Puteri Milana yang dianggapnya kejam! Pada hari ketiga, saking lelahnya, Syanti Dewi yang duduk bersandar batang pohon tertidur atau setengah pingsan. Dia lelah bukan main, lelah, lemas karena lapar dan haus yang sama sekali tak dihiraukannya, dan mengantuk karena semenjak melarikan diri bersama Bun Beng dia sama sekali belum tidur. Pagi-pagi tadi, lewat tengah malam, dia menangis dengan putus harapan dan didekapnya kepala Bun Beng yang dipangkunya, karena dia menganggap bahwa pendekar itu tentu tidak dapat sadar kembali.
Akhirnya dia tertidur atau setengah pingsan, bersandar pada batang pohon sambil tetap memangku kepala Gak Bun Beng yang masih belum sadar. Ketika Bun Beng siuman dan membuka matanya, pertama-tama yang diingatnya adalah Milana, maka dia terbelalak melirik ke kanan kiri, takut kalau-kalau Milana berada di situ. Tiba-tiba dia duduk dan membalik, memandang kepada Syanti Dewi yang masih pula bersandar pohon, dengan muka pucat dan masih ada bekas air mata. Bun Beng mengeluh lirih. Dia telah tidur atau pulas dengan kepala di atas pangkuan gadis itu! Dan mereka telah berada di dalam hutan besar! Padahal, seingatnya, dia memondong gadis ini berlari secepatnya dari kota raja, melompati benteng pagar tembok kota raja lalu dia terguling dan tidak ingat apa-apa lagi.
"Dewi....!"
Bun Beng berkata lirih, setengah menduga bahwa tentu Syanti Dewi yang menyelamat-kannya, membawanya sampai ke dalam hutan lebat itu. Biarpun hanya lirih saja panggilan ini, Syanti Dewi membuka kedua matanya. Ketika dia melihat Bun Beng sudah duduk di depannya, memandangnya dengan sepasang mata yang penuh perasaan haru, dia menggosok-gosok kedua matanya, takut kalau-kalau dia hanya bermimpi, kemudian, ketika melihat bahwa Bun Beng tetap masih duduk di depannya, tidak pingsan lagi, bukan main girangnya rasa hati dara ini.
"Paman ! Aihh, paman.... syukurlah bahwa paman telah sadar! Ahh, betapa sengsara dan takut hatiku selama dua hari dua malam ini, melihat paman diam tak pernah bergerak...."
Bun Beng memegang kedua tangan dara itu dan memandang tajam.
"Apa katamu? Selama dua hari dua malam aku.... aku tak sadarkan diri?"
Syanti Dewi hanya mengangguk dan baru sekarang terasa oleh dara itu betapa lapar perutnya, betapa lelah tubuhnya.
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan selama ini engkau.... engkau memaksa diri melarikan aku ke sini.... dan.... dan merawatku....?"
Bun Beng menelan ludahnya menahan keharuan hatinya. Kembali Syanti Dewi mengangguk. Kemudian berkata lirih,
"Aih, paman Gak. Bagaimana aku dapat merawatmu? Aku sudah bingung sekali, hampir putus harapan pagi tadi melihat engkau seperti... seperti mati. Aku takut sekali..."
Bun Beng menggenggam kedua tangan yang kecil itu, suaranya gemetar ketika dia berkata,
"Dewi.... kau.... kau seorang.... anak yang baik sekali."
Hati dara itu girang bukan main. Setelah Bun Beng siuman, dia tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi, tidak takut apa-apa lagi.
"Paman, kau tentu lapar sekali, dua hari dua malam tidak makan apa-apa, tidak minum apa-apa. Aku akan mencari buah-buahan untukmu."
Tapi Gak Bun Beng tidak melepaskan tangan dara itu.
"Dewi, katakanlah, apakah selama ini engkau juga pernah makan?"
Syanti Dewi menunduk dan menggeleng kepala.
"Dan pernah minum?"
Kembali Syanti Dewi menggeleng kepala. Bun Beng menghela napas.
"Luar biasa sekali! Engkau seorang gadis yang luar biasa sekali. Seorang yang berhati mulia, engkau seorang puteri budiman. Cara bagaimanakah engkau dapat melarikan aku ke tempat ini, Dewi?"
Wajah yang agak pucat itu kini menjadi merah dan Syanti Dewi lalu menceritakan betapa hampir saja mereka tertangkap oleh sepasukan tentara kalau saja dia tidak cepat menyeret Bun Beng ke kolong jembatan. Kemudian dia menceritakan betapa dia membawa lari Bun Beng tanpa tujuan tertentu, pokoknya asal dapat menjauh dari kota raja, sejauh mungkin.
"Aku hanya tahu bahwa paman tidak ingin dilihat.... orang, maka aku membawa paman menjauh dari kota raja sedapat mungkin. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa paman melarikan diri begitu paman melihat Puteri Milana? Mengapa paman tidak ingin dia melihat paman? Bahkan aku mendengar dia mengenal dan memanggil paman malam itu. Mengapa, paman?"
Gak Bun Beng menunduk, menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku.... aku tidak kuat menghadapinya.... aku.... aku.... ah, aku hanya seorang laki-laki yang bodoh."
Hening sampai lama. Bun Beng tetap menunduk dan Syanti Dewi mencoba untuk menyelami perasaan pendekar itu dengan menatap tajam wajah yang muram itu. Kemudian terdengar Syanti Dewi bertanya, suaranya lirih.
"Paman Gak, demikian besarkah cintamu terhadap Puteri Milana?"
Bun Beng tidak menjawab, hanya menarik napas panjang, lalu untuk membelokkan bahan pembicaraannya, dia berkata,
"Dewi, kita harus kembali ke kota raja. Aku akan mengantarkan sampai ke luar pintu gerbang, dan kau masuk sendiri serta langsung menghadap Puteri Milana. Ceritakan riwayatmu tanpa menyebut-nyebut namaku, dan aku yakin dia akan suka menolongmu."
"Aku hanya mau menghadap dia kalau bersamamu, paman."
"Ah, engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat menemuinya."
"Kalau begitu akupun tidak sudi menghadapnya!"
Jawaban Syanti Dewi ini agak keras, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya seperti biasa yang penuh kehalusan, seolah-olah baru satu kali ini dia marah-marah. Bun Beng mengangkat muka memandang.
"Mengapa, Dewi? Bukankah engkau jauh-jauh dari Bhutan dikirim ke kota raja oleh ayahmu untuk menjadi mantu kaisar?"
"Tidak, tidak! Paman sudah tahu sendiri akan semua akal busuk yang bersembunyi di balik kepura-puraan perjodohan itu! Aku tidak sudi! Pula, dahulu aku hanya mau karena ada adik Ceng di sampingku. Sekarang adik Ceng hilang, mungkin tewas, dan sebagai gantinya adalah paman. Karena itu, tanpa paman, aku tidak sudi harus pergi sendiri ke istana. Lebih baik aku.... mati di sini...."
Bun Beng memegang tangan dara itu.
"Tenanglah, tidak ada yang memaksamu, Dewi. Kalau begitu, kita harus melanjutkan perjalanan ke utara. Aku mau menemui Jenderal Kao Liang. Di kota raja sedang terjadi pergolakan dan agaknya dia yang menguasai banyak pasukan saja yang akan dapat menyelamatkan kota raja dan sekaligus mewakili aku mengurus urusanmu dengan kaisar. Percayalah, tidak akan ada yang memaksamu, Dewi. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk mencegah siapapun yang memaksamu."
Wajah yang jelita itu berseri.
"Baik, paman. Ke manapun paman membawaku pergi, aku akan suka ikut, asal jangan menyuruh aku pergi seorang diri. Wah, perutku lapar sekali, tentu paman juga. Biar aku mencari buah-buah...."
Bun Beng sudah menyambitkan batu kecil yang digenggamnya dan kelinci gemuk yang menyusup di antara semak-semak itu mati seketika.
"Nah, itu ada kelinci gemuk yang menyerahkan dagingnya, Dewi. Ambillah."
Tadi Syanti Dewi terkejut menyaksikan gerakan pendekar itu, akan tetapi mendengar ucapannya, dia tertawa lalu berlari-lari dan membuka-buka semak-semak itu. Benar saja, di situ terdapat seekor kelinci gemuk yang telah mati dengan kepala pecah disambar batu, masih hangat tubuhnya. Sambil tertawa gembira Syanti Dewi lalu menguliti dan memanggang daging kelinci. Setelah Bun Beng siuman kembali, terusirlah semua kekhawatiran dan kedukaan dari hati dara ini yang sebaliknya menjadi riang gembira kembali, sungguhpun tubuhnya masih terasa amat lelah.
Akan tetapi ternyata pukulan batin yang diderita oleh Gak Bun Beng dalam pertemuannya dengan Milana ditambah dengan luka dalam yang dideritanya ketika dalam keadaan tidak sehat dia bertanding melawan Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar di kota raja itu, membuat pendekar ini lemah dan sakit. Ditambah lagi kenyataan yang menusuk hatinya, yang mendatangkan rasa khawatir dan bingung, kenyataan yang dirahasiakan yaitu sikap Syanti Dewi kepadanya, sikap yang amat baik, mengandung kasih sayang, sikap yang hanya dapat diperlihatkan seorang wanita yang jatuh cinta, membuat dia makln menderita batinnya. Dia memandang gejala ini sebagai datangnya suatu bahaya yang amat besar, yang amat mengkhawatirkan bagi kehidupan Syanti Dewi. Biarpun dara ini tak pernah menyatakan dengan mulut, biarpun mungkin dara itu sendiri masih belum sadar akan perasaan hatinya sendiri,
Namun Bun Beng sudah dapat menduganya, melihat dari pandang matanya, gerak-geriknya, suaranya. Hal ini menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Tidak, betapapun juga, dia tidak akan menyeret dara yang amat berbudi ini ke dalam hidupnya yang serba canggung dan sengsara. Dia tidak akan mengulangi riwayat penuh duka seperti yang dialaminya dengan Milana. Memang betapa akan amat mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang dara seperti Syanti Dewi, seorang dara yang berbudi mulia, halus dan penuh perasaan. Akan tetapi tidak! Dia bukanlah seorang yang hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri saja. Perang yang terjadi dalam batin Bun Beng menambah luka dalam yang dideritanya dalam pertandingan berat sebelah ketika melawan kakek kembar dalam keadaan sakit itu.
Karena itu, perjalanan ke utara bersama Syanti Dewi itu dilakukan dengan susah payah dan lambat, bahkan akhirnya Bun Beng jatuh sakit lagi! Di dalam perjalanan ini, di waktu dia terserang sakit, lebih jelas kenyataannya bahwa yang diduga dan ditakuti Bun Beng adalah benar. Perawatan yang dilakukan Syanti Dewi terhadap dirinya amat luar biasa, penuh ketelitian, penuh pengorbanan dan ketekunan. Diam-diam Bun Beng yang menderita sakit itu mengambil keputusan bahwa kalau dia sudah dapat bertemu dengan Jenderal Kao Liang, dia akan menyerahkan Syanti Dewi dalam perlindungan jenderal yang dipercayanya itu, kemudian dia akan pergi untuk selamanya, tidak akan mencampuri dunia ramai lagi, seperti dahulu sebelum bertemu dengan Syanti Dewi dan terpaksa mengantarkan dara itu ke kota raja.
Kita tinggalkan dulu Bun Beng yang sedang menderita sakit dan melakukan perjalanan dengan amat sukar bersama Syanti Dewi menuju ke perbatasan utera untuk menemui Jenderal Kao Liang, dah mari kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang secara kebetulan sekali juga telah melakukan perjalanan ke utara! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng telah ditolong dari bahaya tenggelam oleh Tek Hoat, kemudian secara kebetulan dia dapat mendengarkan percakapan antara pemuda itu dengan Pangeran Liong Khi Ong sehingga terbukalah rahasia pemuda itu sebagai kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong yang membuat rencana pemberontakan. Masih untung bagi Ceng Ceng bahwa pada saat yang berbahaya itu, dia keburu dicegah oleh Pengawal Kaisar Souw Kee It dan diajak pergi melarikan diri.
Andaikata dia tidak bertemu dengan kakek pengawal itu dan terang-terangan menegur Tek Hoat, tentu pemuda itu tidak akan segan-segan untuk membunuhnya agar rahasianya dapat tertutup. Dengan bantuan Souw Kee It, pengawal kawakan yang telah berpengalaman, Ceng Ceng melakukan perjalanan setelah menyamar sebagai seorang pria tampan yang berkumis tipis! Bermacam perasaan bercampur aduk di dalam hati dara ini. Pertama-tama dia merasa gembira bukan main mendengar dari Souw Kee It bahwa Syanti Dewi telah diselamatkan oleh seorang nelayan. Dia merasa bersyukur sekali dan ingin dia bertemu dengan kakak angkatnya itu yang tidak diketahui ke mana perginya. Akan tetapi di samping kegembiraannya ini terdapat perasaan duka, kecewa dan marah kalau dia teringat kepada Tek Hoat.
Pemuda yang amat dikaguminya itu, pemuda yang tampan dan memiliki kepandaian demikian tinggi, ternyata adalah seorang kaki tangan pengkhianat dan pemberontak! Betapa rendah dan hina! Dan pemuda itu dengan terus terang menyatakan bahwa dia mencinta Syanti Dewi! Kalau dulu di waktu dia mendengar pergakuan ini timbul rasa panas dan agak cemburu di hatinya, kini sebaliknya malah. Dia merasa panas dan marah, tidak rela bahwa kakak angkatnya itu dicinta oleh seorang yang demikian rendah! Dia harus menghalang-halangi ini. Siapa tahu, pemuda yang tampan dan pandai itu akan dapat bertemu dengan Syanti Dewi dan berhasil merayunya atau memaksanya. Selama dalam perjalanan, Souw Kee It menceritakan kepada Ceng Ceng akan keadaan di kota raja yang kacau karena adanya pertentangan secara diam-diam antara perdana menteri yang setia kepada kaisar dan dua orang pangeran tua, yaitu Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin Ong.
"Mengapa sri baginda kaisar diam saja? Bukankah jelas bahwa dua orang pangeran itu bermaksud memberontak?"
Souw Kee It menarik napas panjang.
"Sri baginda kaisar adalah amat bijaksana. Beliau tidak menghendaki adanya perpecahan dan keributan antara keluarga kerajaan. Hal ini akan mencemarkan dan melemahkan kedudukan keluarga kaisar dan merendahkan martabatnya di mata rakyat. Apalagi karena niat pemberontakan kedua orang pangeran itu belum ada buktinya, baru merupakan desas-desus belaka. Oleh karena itulah, maka sri baginda hanya memberi tugas kepada para pengawal yang dipercaya, dan dipimpin sendiri oleh Puteri Milana, untuk secara diam-diam membasmi kaki tangan yang berniat memberontak. Jika tidak ada kekuatan dari luar yang mendorong, tentu niat hati kedua orang pangeran itu akan lenyap sendiri."
Ceng Ceng bersungut-sungut.
"Terlalu sabar. Kalau dikasih hati, dua orang pengkhianat itu makin merajalela."
"Demikian pula pendapat perdana menteri, sehingga kini secara berterang, para pengawal perdana menteri sering bentrok dengan para pengawal kedua orang pangeran itu. Dan demikian pula pandangan Puteri Milana yang sudah mulai menumpas semua tokoh jahat yang mencurigakan dan yang ada hubungannya dengan niat pemberontak itu."
"Akan tetapi kulihat pemuda yang bernama Tek Hoat itu lihai bukan main! Kalau dia tidak dapat dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan bahaya!"
Berkata demikian Ceng Ceng teringat kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi yang dianggapnya terancam keselamatannya oleh pemuda itu yang telah menyatakan cinta kepada Puteri Bhutan itu. Souw Kee It mengangguk.
"Memang akupun sudah melihat kelihaiannya. Dia adalah tenaga baru yang belum kami kenal, dan agaknya dia telah ditugaskan untuk mengacaukan dan menggagalkan perjodohan yang hendak diikat oleh sri baginda kaisar antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong."
"Heran sekali, mengapa sri baginda mengambil keputusan yang demikian aneh? Puteri Bhutan adalah seorang dara yang muda remaja, mengapa hendak dijodohkan dengan pangeran yang sudah tua, mata keranjang dan jahat lagi?"
Dia teringat akan percakapan antara Tek Hoat dan pangeran tua di perahu.
"Aihh, engkau tidak tahu, nona. Demi keselamatan kerajaan, tentu saja sri baginda akan melakukan apa saja. Taktik pengikatan jodoh antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong mempunyai dua maksud yang amat penting. Pertama, dengan menarik Kerajaan Bhutan menjadi keluarga, tentu saja Bhutan dijadikan sebuah perisai atau benteng pertahanan di barat, juga berarti bertambahnya sebuah negara keluarga yang bersahabat. Kedua, ikatan jodoh itu dimaksudkan untuk membuktikan kesabaran dan kebaikan hati kaisar sehingga biarpun ada desas-desus akan pengkhianatan Pangeran Liong berdua, tetap saja kaisar menganugerahinya dengan sebuah pernikahan dengan Puteri Bhutan yang terkenal cantik jelita."
"Hemm, sungguh aku tidak mengerti mengapa perasaan perorangan diabaikan sama sekali demi kepentingan kerajaan."
"Memang tentu mengherankan bagi seorang yang tidak pernah mendekati urusan kerajaan seperti engkau, Nona. Akan tetapi aku yang sudah sejak muda berkecimpung di dekat keluarga kerajaan, seperti juga kakekmu dahulu, tidak merasa heran. Apalagi hanya perasaan, bahkan nyawa perorangan tidaklah begitu berarti lagi dibandingkan dengan kepentingan kerajaan. Dalam urusan pernikahan inipun yang hancur hatinya adalah Pangeran Yung Hwa."
"Pangeran Yung Hwa? Siapa dia dan mengapa?"
"Dia juga putera dari sri baginda, seorang pangeran muda remaja, baru berusia dua puluh tahun. Sesungguhnya, Pangeran Yung Hwa inilah yang ketika mendengar berita tentang Puteri Syanti Dewi, jatuh cinta dan mohon kepada sri baginda untuk dilamarkan. Akan tetapi, permintaannya ditolak karena Puteri Syanti Dewi hendak dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong."
"Si tua bangka!"
Ceng Ceng mengomel.
"Dan karena itu, Pangeran Yung Hwa lolos dari istana."
"Lolos?"
"Ya, patah hati dan minggat dari istana. Begitulah orang muda...."
Ceng Ceng terdiam, merasa terharu. Heran juga dia mengapa Pangeran Yung Hwa dapat jatuh cinta kepada seorang gadis yang belum pernah dilihatnya! Jatuh cinta hanya karena mendengar berita tentang kecantikan dan segala kebaikan Puteri Syanti Dewi! Lucu juga, pikirnya.
Perjalanan dilanjutkan dengan cepat karena mereka berkuda. Karena Ceng Ceng menyamar sebagai pria berkumis, maka biarpun Tek Hoat yang kehilangan gadis itu sudah cepat mengerahkan kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong untuk mengejar dan mencari, namun hasilnya sia-sia. Dan di sepanjang perjalanan itu, biarpun ada banyak mata-mata pemberontak yang melihat mereka, namun tidak ada yang menduga bahwa "pemuda ganteng berkumis"
Itu adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicari-cari. Tentu saja Tek Hoat merasa menyesal bukan main, karena dianggapnya gadis itu merupakan orang penting sekali untuk dapat menemukan Syanti Dewi yang hilang dan dia hanya dapat menyumpah-nyumpah. Pada suatu pagi, Ceng Ceng dan pengawal Souw telah tiba di sebuah dusun di dekat tapal batas utara.
"Kita sudah memasuki wilayah kekuasaan Jenderal Kao,"
Kata kata pegawal itu.
"Oleh karena itu, boleh dikatakan kita tiba di daerah aman dan kau boleh menanggalkan penyamaranmu."
Ceng Ceng merasa girang sekali karena dia merasa kurang leluasa dalam penyamarannya itu. Dibuangnya "kumis"
Yang menarik perhatian para wanita di sepanjang perjalanan itu, dan diubahnya pakaiannya sehingga kini dia berubah menjadi seorang dara remaja yang cantik dan gagah, dengan kepala dilindungi sebuah caping lebar.
"Karena perjalanan ke utara, ke benteng di mana Jenderal Kao Liang berada merupakan perjalanan yang cukup sukar dan melelahkan, melalui daerah tandus, maka sebaiknya klta mengganti kuda di dusun ini."
"Apakah di sini engkau juga mempunyai kawan-kawan, Souw-lopek?"
"Tidak, akan tetapi dusun ini terkenal sebagai tempat pusat perdagangan kuda. Banyak kuda Mongol yang baik dijual di dusun ini, dan kita hanya menukarkan kuda kita yang sudah lelah dengan menambah sedikit uang."
Benar saja, setelah mereka memasuki dusun itu, di tengah-tengah dusun terdapat sebuah pasar kuda yang amat besar dan luas dan terdapat ratusan ekor kuda diperjualbelikan di tempat ini.
"Kau bawa kuda kita ke bagian sana, bagian penjualan, dan aku akan memilih kuda-kuda baru di sebelah sini. Kalau aku yang menjual, karena aku laki-laki, harganya akan kurang tinggi."
"Eh, mengapa begitu, Lopek (paman tua)?"
Tanya Ceng Ceng terheran. Souw Kee It tersenyum.
"Karena, biasanya para pencuri kuda adalah kaum pria. Jarang ada wanita, biar wanita kang-ouw sekalipun, mau mencuri kuda."
"Wah, jadi kalau yang menjual disangka pencuri kuda, kudanya lalu ditawar murah-murahan? Mengapa ada orang yang mau membeli kuda curian?"
"Hemm, kau masih belum tahu akan ketamakan manusia di dunia ini, Nona. Curian atau bukan, asal mendatangkan keuntungan besar, tentu diterima dengan tangan terbuka. Sudahlah, kau yang menjual ke sana, berikan kalau ditawar kurang lebih dua ratus tail untuk dua ekor ini, kemudian kau bawa uangnya ke sini untuk membeli dua ekor kuda baru. Aku yang memilih, karena kalau tidak pandai memilih, bisa ditipu mentah-mentah oleh para pedagang kuda yang amat licik dan cerdik itu. Kuda sakit dibilang sehat, kuda tua dibilang muda."
Ceng Ceng mengangguk, lalu menuntun dua ekor kuda itu menuju ke seberang di mana terdapat banyak tengkulak kuda sedang memeriksa kuda yang akan dijual. Begitu Ceg Ceng tiba di tempat itu, beberapa orang pedagang kuda sudah berlari datang menyambutnya.
"Nona, kudamu sudah amat lelah, memang sepatutnya dijual segera!"
Kata seorang di antara mereka.
"Agaknya sudah melakukan perjalanan yang amat jauh, lihat tapal kakinya menipis dan urat pahanya menggembung!"
Kata orang ke dua.
"Kalau tidak cepat dipelihara baik-baik bisa terkena penyakit,"
Kata orang ke tiga. Ceng Ceng membiarkan para tengkulak kuda itu ribut-ribut menurunkan nilai dua ekor kudanya. Kalau saja dia belum mendengarkan penjelasan Souw Kee It tentang siasat para pedagang kuda, tentu dia akan marah atau setidaknya akan merasa bimbang dan kecewa. Akan tetapi, sekarang dia hanya tersenyum, lalu berkata dengan lantang,
"Kalian boleh menjelek-jelekkan dua ekor kudaku ini sesuka hati dan seenak perutmu, akan tetapi kalau tidak dua ratus tail, dua ekor kuda ini tidak akan kujual!"
"Ha-ha-ha, pintar sekali!"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan memuji, perlahan saja namun cukup terdengar oleh Ceng Ceng, karena orang yang memuji itu berada dekat di tempat itu. Dia melirik dan melihat dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan, berdiri memandangnya penuh kagum. Kekaguman yang tidak disembunyikan. Terutama sekali pemuda ke dua yang agaknya sedikit lebih muda, yang wajahnya berseri gembira. Melihat Ceng Ceng melirik ke arahnya, pemuda ini lalu menggerakkan kepalanya sedikit sehingga kuncir rambutnya yang tebal itu bergerak melilit lehernya sendiri. Pemuda yang tercekik dan terlilit lehernya oleh rambutnya sendiri, membuat gerakan seperti orang mendelik dan lidahnya terjulur, sambil berkata dengan nada mengejek kepada para pedagang kuda itu.
"Hekkk.... hekkk.... mau mencekik malah tercekik.... mampus, kena batunya sekarang...."
"Bu-te, jangan kurang ajar....!"
Pemuda pertama yang agak lebih tua dan yang sikapnya pendiam menegur dengan suara lirih. Senang hati Ceng Ceng. Dia tidak menganggap pemuda itu kurang ajar karena dia tahu bahwa pemuda itu mengejek para pedagang kuda. Timbullah rasa persahabatan di dalam hatinya dan dia menoleh kepada mereka, lalu tersenyum kecil, kemudian menghadapi para pedagang kuda.
"Bagaimana, apakah kalian mau membeli kudaku yang kelelahan, buruk, berpenyakitan ini? Dua ekor untuk dua ratus tail, tidak kurang sedikitpun juga!"
Para pedagang itu saling pandang, menggaruk-garuk kepala. Memang perkiraan Souw Kee It tadi sudah tepat. Dua ratus tail untuk dua ekor kuda pilihan itu tidaklah mahal, akan tetapi juga tidak terlalu murah. Memang harga "pasaran". Melihat sikap nona muda itu demikian tegas, dan jelas tidak mugkin untuk dikelabui dengan aksi-aksi palsu, mereka tidak banyak bicara lagi lalu menghitung dua ratus tail perak, diserahkan kepada Ceng Ceng yang membungkusnya dengan kain lebar yang sudah disiapkan oleh Kee It sebelumnya. Kemudian dia meninggalkan tempat setelah melirik lagi kepada dua orang pemuda tadi.
"Lee-ko dia hebat sekali! Mari kita berkenalan...."
"Hushh, jangan kurang ajar di tempat umum begini. Kau bisa dimaki orang, Bu-te...."
"Tapi, dia tentu seorang gadis kang-ouw, dan tentu suka berkenalan. Apa sih jahatnya orang berkenalan?"
Dua orang muda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Seperti kita ketahui, kakak beradik ini setelah menyelamatkan rombongan hartawan yang diganggu oleh para tosu Pek-lian-kauw, melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan pada hari itu berhenti di dusun untuk membeli kuda.
Melihat adiknya nekat hendak mengikuti dara cantik jelita yang menjual kuda tadi, terpaksa Kian Lee mendampingi karena dia tidak ingin melihat adiknya membuat ribut di tempat ramai itu. Tiba-tiba Kian Lee memegang tangan adiknya, dengan gerakan mukanya dia menunjuk ke depan. Kian Bu juga sudah melihat seorang laki-laki kurus yang berada di belakang gadis itu. Jelas tampak oleh keduanya bahwa laki-laki itu tentulah seorang pencopet yang sedang mengincar buntalan uang yang berada di tangan kiri gadis itu. Tiba-tiba, di tempat yang agak sepi, di tempat perbatasan antara bagian penjualan dan bagian pembelian kuda-kuda di pasar itu, laki-laki kurus tadi bergerak cepat sekali, tangannya meraba buntalan. Tampak pisau berkilau dan agaknya pencopet itu bukan ingin merebut semua buntalan melainkan hendak merobek buntalan dan mengambil uang dari dalamnya.
"Plakk.... krekk....! Aduhhh....!"
Laki-laki itu memegangi lengannya yang patah tulangnya sedangkan pisaunya terlempar entah ke mana. Kiranya begitu ada gerakan orang, Ceng Ceng sudah menggerak-kan tangan kanannya sambil memutar tubuh dan sekali dia menampar, pergelangan tangan orang yang memegang pisau itu menjadi patah tulangnya.
"Ampunkan saya.... anak-anak saya kelaparan...."
Orang itu berkata dengan muka pucat dan tubuh gemetar ketakutan karena kalau sampai semua orang turun tangan, dia akan menjadi mayat di tempat itu. Ceng Ceng mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke depan orang itu.
"Ambillah dan pergilah!"
Pencopet itu mengambil uang perak dengan tangan kiri, lalu mengangguk dan cepat menyelinap pergi. Melihat ini, Kian Lee dan Kiam Bu terbelalak kagum.
"Wah, kiranya seorang yang lihai!"
Kian Bu hampir bersorak karena baru sekali ini dia melihat seorang dara cantik jellta yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu.
"DIa tentu seorang pendekar wanita dunia kang-ouw seperti yang sering diceritakan oleh Ibu, maka lebih baik kita jangan mengganggunya, kata Kian Lee yang merasa kagum sekali. Kian Bu bersungut-sungut kecewa apalagi melihat seorang laki-laki gagah setengah tua yang menghampiri gadis itu kemudian mereka membeli dua ekor kuda, Kian Bu tidak berani melanjutkan niatnya menghampiri.
"Hemm, aku masih merasa penasaran, Lee-ko. Apa sih salahnya kalau aku hanya ingin berkenalan?"
"Adikku, harus kuakui bahwa engkau tidak bersalah. Aka tetapi, sejak kecil kita hidup di tempat terasing dari pergaulan umum, maka tentu saja kita berdua merasa bebas. Ketahuilah bahwa kehidupan umum di daerah daratan ini tidaklah bebas sama sekali, kehidupan manusia sudah dibelenggu dan diikat oleh segala macam peraturan, di antara peraturan-peraturan itu ialah bahwa menegur seorang wanita yang bukan keluarga dan bukan kenalannya merupakan perbuatan yang kurang ajar!"
"Aneh dan tidak adil! Kalau tidak lebih dulu menegur, mana bisa kenal? Pula apa sih jeleknya kalau hanya menegur untuk berkenalan saja? Nona itu tadi pun bercakap-cakap dengan para pembeli kuda, padahal mereka pun belum saling mengenal."
"Itu lain lagi namanya, kan ada keperluannya, jual beli kuda?"
"Wah, serba salah! Peraturan yang licik sekali. Baik buruknya kan tergantung dari niat yang terkandung di dalam perbuatan, bukan si perbuatan itu sendiri. Seorang pria menegur seorang wanita untuk berkenalan, masa tidak boleh? Peraturan macam apa itu?"
"Itu namanya peraturan kesusilaan, Adikku. Dan masih banyak lagi aturan-aturan antara pria dan wanita, apalagi kalau kita tiba di kota raja, sama sekali tidak boleh dilanggarnya."
"Hemm, daratan begini luas akan tetapi seperti penjara saja!"
"Memang, kita manusia hidup seperti dalam penjara, dikurung dan dibelenggu oleh segala macam peraturan dan hukum. Akan tetapi, semua itu sudah menjadi kebiasaan umum, kalau dilanggarnya, kau akan dianggap liar dan kurang ajar, tidak tahu kesopanan dan lain sebagainya sehingga engkau akan dianggap jahat dan dimusuhi."
"Konyol!"
Kian Bu makin tidak puas dan makin penasaran. Memang pemuda itu belum mau mengerti akan semua kebiasaan di dunia "sopan"
Ini. Hidup di Pulau Es tentu saja merasa bebas, tidak terikat oleh peraturan apa pun karena mereka hanya hidup bersama ayah dan ibunya, sedangkan pertemuan yang kadang-kala dengan para nelayan yang menjelajah di pulau-pulau agak jauh dari Pulau Es, juga merupakan pertemuan dengan orang-orang sederhana yang hidup wajar dan polos, tidak banyak terikat oleh segala macam peraturan. Kini, darah mudanya yang menuntut sehingga timbul daya tarik terhadap kaum wanita, menghadapi penghalang yang sangat besar dan dirasakan amat mengganggu kebebasannya.
Berbeda dengan Kian Lee yang sungguhpun keadaan hidupnya di Pulas Es tiada bedanya dengan Kian Bu, namun pemuda ini memperhatikan semua yang diceritakan tentang dunia ramai oleh ibunya, bahkan suka membaca-baca kitab tentang sejarah dan kehidupan di dunia ramai. Oleh karena itu biarpun dia baru sekali ini turun ke daratan besar, namun segala peraturan tidaklah terlalu mengejutkan hatinya dan dapat dihadapinya dengan tenang dan sabar. Demikianlah, Kian Bu hanya dapat memandang saja ketika melihat gadis yang mengagumkan hatinya itu meloncat ke atas kuda bersama kakek itu, lalu keduanya membalapkan kuda keluar dari dusun itu. Hatinya ingin sekali menegur, bertanya dan berkenalan, namun dia memaksa diri diam saja, hanya memandang dan makin tertarik hatinya ketika melihat betapa dara itu mengerling ke arah mereka sambil tersenyum manis!
"Siapakah mereka....?"
Souw Kee It bertanya setelah mereka keluar dari dusun.
"Hi-hik, pemuda-pemuda yang lucu."
Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan dua orang muda itu ketika dia menjual kuda.
"Hemm, mereka mencurigakan. Nona, kita harus berhati-hati."
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Super Sakti Eps 39 Sepasang Pedang Iblis Eps 2 Sepasang Pedang Iblis Eps 21