Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 21


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



"Menghadapi serangan angin yang lebih kuat, jangan sekali-kali melawannya secara langsung."

   Demikian kakek muka kuning itu berteriak-teriak memberi petunjuk untuk mengatasi.

   "Kosongkan tenagamu dan turutilah gerak arus angin itu ke arah mana dia menyambar, kemudian belokkan dan buang ke depan. Pasti layang-layang ini akan dapat menguasainya."

   Teringat akan pelajaran yang berkelebat di dalam benaknya pada detik nyawanya terancam maut itu, Bun Beng cepat membuat gerakan otomatis untuk melaksanakan pelajaran itu.

   Dia membatalkan niatnya hendak menangkis sambaran tangan kiri tokoh Thian-liong-pang itu, bahkan ketika tangan itu menyambar, didahului arus angin amat kuat menyambar ke arah lehernya, otomatis tubuhnya yang duduk itu meliuk ke belakang dan tenaganya sendiri cepat mengalir ke bagian tubuhnya yang kiri bersama arus tenaga yang datang itu. Ketika telapak tangan lawan itu sudah dekat dengan lehernya, tiba-tiba Bun Beng yang merasa betapa lengan di seluruh lengan kirinya sudah bergabung dengan tenaga yang datang tadi, persis seperti ketika mengemudikan layang-layang, dia cepat membuang tenaga itu melalui tangan kirinya ke depan, membabat turun dari atas ke arah lengan kiri lawan.

   "Crakkkk....!"

   Terdengar jerit mengerikan. Bun Beng melihat betapa Milana cepat meloncat ke samping dan tubuh lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dia ngeri sekali menyaksikan akibat dari gerakannya tadi, dan memandang dengan mata terbelalak ke arah lengan kiri lawan itu yang kini telah buntung! Ternyata bahwa babatan tangan kirinya tadi telah dapat membuat lengan lawan itu buntung sebatas pangkalnya! Tanpa disadari, Bun Beng telah dapat mewarisi dan menggunakan ilmu mujijat dari Pulau Neraka, yaitu ilmu "memindahkan tenaga"

   Yang amat hebat. Adapun korban pertama dari ilmunya itu, yang terjadi tanpa ia sengaja, adalah Su Kak Houw tokoh Thian-liong-pang, sungguhpun tadi dia tahu bahwa hal itu dapat terjadi karena adanya bantuan dari Milana.

   Ketika tadi Su Kak Houw melancarkan serangan, Milana yang maklum akan kehebatan tangan kiri Su Kak Houw, cepat menyambar dari belakang dengan sebuah totokan kilat sehingga Su Kak Houw tadi terhenti. Andaikata tidak demikian, biarpun ilmu baru Bun Beng mujijat, namun pemuda itu tetap saja terancam bahaya terkena pukulan sebelum lengan Su Kak Houw buntung! Su Kak Liong terkejut sekali, cepat meloncat ke depan dan menerima tubuh adik kembarnya yang pingsan, dan dia mengambil pula lengan kiri adiknya. Dengan muka pucat Su Kak Liong memandang kepada Milana karena dia menduga bahwa tentu puteri Ketuanya itulah yang membuat lengan adiknya buntung. Dia tidak dapat melihat dan tak akan mau percaya bahwa pemuda yang sudah lumpuh kedua kakinya itu yang membuntungkan lengan adiknya yang lihai.

   "Kami hanya melaksanakan tugas perintah Pangcu, akan tetapi Nona berlaku kejam. Kami tidak berani melawanmu, Nona, akan tetapi kami harus melaporkan peristiwa ini kepada Pangcu dan mohon pengadilan."

   Setelah berkata demikian, Su Kak Liong memondong tubuh adik kembarnya keluar dari pondok itu.

   "Terima kasih atas pertolonganmu, Nona...."

   Bun Beng berkata, menahan-nahan rasa nyeri hebat yang menyesakkan dada. Milana menoleh kepadanya.

   "Aihh, Twako. Ilmu mujijat apakah yang kau pergunakan tadi....? Ehhh.... kau kenapa....?"

   Gadis itu meloncat dekat pembaringan di mana Bun Beng terengah-engah, kemudian pemuda itu menelungkupkan mukanya ke pinggir pembaringan untuk muntahkan darah segar!

   "Kau.... kau terluka....!"

   Milana berseru khawatir, duduk di tepi pembaringan dan menyusuti darah dari bibir Bun Beng yang terengah-engah itu dengan saputangan. Bun Beng merasa makin berterima kasih dan tidak enak.

   "Sudahlah, Nona.... lebih baik kau tinggalkan aku di sini.... pengerahan tenaga tadi memperhebat penyakitku, dan.... kau akan dimusuhi Thian-liong-pang.... tinggalkan aku, aku tidak mau kalau Nona sampai tersangkut dan terancam bahaya karena aku, seorang yang sudah tiga perempat mati."

   "Tidak! Aku harus membawamu kepada orang yang akan dapat mengobatimu, dapat mengeluarkan racun dari tubuhmu. Kalau kau berada di bawah perlindunganku, jangankan orang-orang Thian-liong-pang, biar segala setan iblis di dunia ini akan mengganggu pasti akan kulawan!"

   Biarpun dadanya terasa sesak dan nyeri, Bun Beng terpaksa tersenyum juga mendengar ucapan yang keluar dari mulut yang mungil dan manis itu. Ia memandang wajah itu melalui kunang-kunang yang menari di depan matanya.

   "Terserah kalau begitu, Nona Milana. Akan tetapi.... aku hanya akan suka menerima budimu dengan hati berat kalau engkau suka berterus terang pula. Orang-orang Thian-liong-pang tadi bukanlah orang-orang yang berkedudukan rendah, dan ilmu kepandaian mereka yang tinggi membuktikan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Thian-liong-pang. Akan tetapi, mengapa mereka itu amat menghormati dan takut kepada Nona? Ada hubungan apakah antara Nona dengan Thian-liong-pang? Harap Nona suka berterus terang agar aku tidak menjadi bingung dan ragu-ragu."

   Milana menjadi merah mukanya. Sampai lama dia saling berpandangan dengan Bun Beng dan melihat sinar mata tajam dan membayangkan kemauan yang kokoh kuat itu, tahulah dia bahwa tiada gunanya membohong terhadap pemuda ini, juga amat berbahaya kalau tidak berterus terang.

   "Gak-twako, sesungguhnya hal ini merupakan rahasia besar bagiku. Akan tetapi, karena engkau bukanlah orang luar, kumaksudkan bahwa dahulu di waktu kecil engkau telah mengetahui keadaan kami, dan mengingat akan keadaanmu sekarang, bahwa aku harus menolongmu dan engkau telah menyaksikan pula tadi sikap para tokoh Thian-liong-pang, sebaiknya kuberitahukan rahasia besar ini, bahwa aku.... aku adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Ketua penuh rahasia yang mukanya selalu dikerudungi itu bukan lain adalah Ibuku sendiri."

   "Ohhhh....!"

   Pengakuan ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Bun Beng sehingga ia terjengkang dan rebah pingsan di atas pembaringannya! Ketika siuman kembali Bun Beng merasa dadanya masih nyeri akan tetapi tidak begitu sesak lagi dan kedua kakinya seolah-olah makin mati. Tubuhnya tergoncang-goncang dan ketika ia membuka mata, kiranya ia telah berada di atas punggung kuda lagi, dan Milana duduk di belakangnya.

   "Ohhhh.... engkau hendak membawaku ke mana, Nona?"

   "Gak-twako, kenapa engkau masih selalu bersikap sungkan dan menyebutku Nona seolah-olah kita bukan sahabat lama? Gak-twako, setelah aku menyebut Twako (Kakak) padamu mengapa engkau tidak tidak mau menyebutku Adik?"

   "Aihhh, mana aku berani, Nona Milana? Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang amat terhormat, sakti dari mulia. Engkau juga puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia! Aihhhh.... Nona, sungguh aku terkejut setengah mati mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Ibumu. Sekarang.... ah, makin keras permintaanku agar engkau tidak menolongku, Nona."

   "Hemm, kenapa? Karena engkau dimusuhi Thian-liong-pang? Tidak peduli! Aku tetap akan melindungimu dan mencarikan orang pandai yang akan dapat menyembuhkanmu."

   Suara dara itu tetap halus namun menyembunyikan tekad yang amat besar, kemauan yang tak mungkin dibelokkan oleh apapun juga.

   "Tapi Thian-liong-pang....?"

   "Peduli amat! Kalau mereka datang hendak memaksakan kehendak mereka membunuhmu, akan kuhadapi mereka semua!"

   "Akan tetapi, Nona. Tak mungkin demikian! Apakah engkau akan melawan Ibumu sendiri? Para tokoh Thian-liong-pang itu hanya melaksanakan tugas perintah Ibumu!"

   "Tidak peduli!"

   Ingin Bun Beng memandang wajah gadis itu, akan tetapi karena Milana duduk di belakangnya, tentu saja tidak mungkin ia menoleh ke belakang karena hal itu akan terlalu tidak sopan dan muka mereka tentu akan saling berdekatan. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika mendengar jawaban itu, maka untuk melepaskan keraguan hatinya yang berdebar tidak karuan itu, dia memberanikan diri berkata,

   "Nona Milana, engkau berkeras menolongku dan menghadapi Ibumu sendiri? Ah, mengapa begini? Engkau membuat aku merasa tidak enak sekali! Ibumu tentu akan marah sekali kepadamu, Nona."

   "Biarlah, aku tidak takut."

   Hening sejenak, hanya suara derap kaki kuda yang mereka tunggangi itu terdengar memecah kesunyian hutan yang mereka lalui, namun bagi Bun Beng, detak jantungnya sendiri lebih keras dari-pada derap kaki kuda.

   "Nona Milana...."

   "Ah, telingaku menjadi sakit mendengar sebutanmu nona berkali-kali itu, Twako. Sebut saja namaku, tanpa nona."

   "Maaf, aku tidak berani. Nona Milana, kita bersama lahir sebagai manusia yang sejak kecil digembleng ilmu kekerasan dan kita mengutamakan kejujuran dan kegagahan. Kini kita berdua menghadapi hal yang amat rumit, yang bahwa engkau sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang bertekad melindungi aku dari keinginan Ibumu sendiri yang mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Kuharap kau suka menjawab dengan terus terang dan jujur, Nona. Mengapa engkau bersikap seperti ini?"

   Hening pula sejenak, kemudian terdengar Milana balas bertanya,

   "Apa maksudmu, Twako? Aku tidak mengerti."

   "Nona, mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada Ibumu? Jelas bahwa aku bersalah besar terhadap Ibumu sehingga kini Ibumu mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Akan tetapi mengapa engkau melindungiku mati-matian dan tidak enggan melawan Ibumu sendiri? Mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada Ibumu?"

   Kini suasana menjadi hening, agak lama karena Milana memandang ke atas dengan alis berkerut, agaknya sukar baginya menemukan jawaban untuk pertanyaan Bun Beng itu. Berkali-kali ia menghela napas panjang, kemudian terdengar ia menjawab,

   "Sukar sekali menjawab pertanyaanmu, Twako. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, agaknya aku sadar akan kekejaman Thian-liong-pang, sadar akan kesesatan Ibu dan kesalahannya terhadap engkau yang tak berdosa. Karena kesadaran itu maka aku berusaha menentang dan kebetulan bertemu denganmu yang terancam oleh Thian-liong-pang. Nah, puaskah kau dengan jawabanku, Twako?"

   Bun Beng menggeleng kepala.

   "Aku tidak puas, Nona, karena jawaban itu terlalu dicari-cari, dan bukan itu sebabnya. Mengapa
(Lanjut ke Jilid 20)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20
untuk menjadi sadar engkau harus menunggu sampai berjumpa denganku? Pula, untuk menyadarkan seorang ibu, tentu cukup dengan menegur dan mengingatkan. Masa sampai menentangnya dan membela orang lain. Maaf, Nona. Coba engkau bayangkan andaikata bukan aku yang kaujumpai, melainkan orang lain yang sama sekali tidak kaukenal, apakah engkau juga akan membelanya dari Ibumu dan Thian-liong-pang? Begitu banyak orang pandai, diculik oleh Thian-liong-pang untuk dicuri ilmunya, mengapa engkau mendiamkannya saja dan tidak ada seorang pun yang kau bela? Mengapa justru aku yang kau bela sehingga kau siap menghadapi pertentangan dengan perkumpulan Ibumu? Harap kau suka menjelaskan, dan mengaku secara jujur, apa sebabnya, Nona?"

   Kini lebih lama lagi keadaan menjadi sunyi. Bun Beng mendengarkan dan menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi sunyi saja di belakangnya. Akhirnya terdengar Milana tertawa halus suara tertawa yang jelas sekali bagi Bun Beng adalah suara untuk menutupi kegugupannya.

   "Hi-hik, engkau ini aneh-aneh saja, Gak-twako. Aku sampai menjadi bingung. Sudahlah, aku tak dapat menjawab karena aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku tiba-tiba ingin membelamu mati-matian. Karena engkau bertanya dengan demikian mendesak, agaknya engkau yang tahu akan sebabnya, Twako. Maka tolonglah engkau yang menjawabkan untukku."

   "Nona Milana, tidaklah mengherankan kalau engkau sendiri tidak tahu, karena memang hal ini amat sulit dimengerti, hanya terasa oleh hati. Engkau bertemu denganku, lalu timbul hasrat untuk me-nolongku, melindungiku mati-matian bahkan rela bertentangan dengan Ibu sendiri. Hal ini tidak lain adalah karena cinta!"

   "Heiiiii.... aduuuhhh....!"

   Tubuh Bun Beng terbanting dari atas punggung kuda karena dalam keadaan kaget setengah mati mendengar ucapan pemuda itu, Milana mengeluarkan suara melengking nyaring yang membuat kudanya meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas dan tergulinglah tubuh Bun Beng yang kedua kakinya lumpuh itu!

   "Ohhh, Twako.... kau tidak apa-apa?"

   Milana cepat meloncat turun dan berlutut di dekat Bun Beng yang sudah rebah terlentang. Pemuda itu menggeleng kepala dan berusaha tersenyum, lalu ia bangkit duduk dengan menekankan kedua tangan pada tanah. Mereka saling berpandangan.

   "Aku mohon maaf sebesarnya atas ucapanku tadi, Nona. Bukan niatku untuk menghinamu, aku hanya bicara menurutkan suara hati. Maafkanlah aku yang lancang mulut."

   "Engkau orang aneh!"

   Milana menyam-bar kedua lengan Bun Beng dan membawanya melompat ke atas kuda lagi.

   "Aku yang membikin kau terjatuh dari kuda, malah engkau yang minta maaf."

   "Tentu saja, karena aku jatuh oleh kagetnya kuda, kuda kaget oleh lengkinganmu, dan engkau melengking oleh ucapanku. Jadi biang keladinya adalah aku sendiri, maka aku yang bersalah dan aku yang minta maaf."

   "Kata-katamu tadi tidak perlu dimintakan maaf. Akan tetapi, aku menjadi makin heran. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta. Cinta yang bagaimana yang kau maksudkan? Yang ada dalam hatiku hanyalah perasaan ingin menolongmu. Apakah itu cinta yang mendorongnya ataukah perasaan lain, aku tidak tahu. Aku melihatmu, teringat akan masa lalu, dan aku kasihan kepadamu, maka aku ingin menolongmu, Twako. Kalau orang-orang Thian-liong-pang tadi kulawan, karena timbul penasaran dan kemarahan di hatiku, mengapa engkau yang sudah terluka dan dalam keadaan terancam maut ini masih mereka ganggu. Apakah ini semua sebab cinta? Aku tidak tahu dan tak dapat menjawab. Agaknya engkau adalah seorang ahli tentang cinta, Twako, maka tolonglah beri penjelasan dan kuliah tentang cinta."

   Seketika merah kedua pipi Bun Beng dan ia menyeringai, tersenyum masam yang untung tidak tampak oleh dara yang duduk di belakangnya.

   "Wah, aku sendiri tidak tahu tentang itu, Nona, aku sendiri pun belum mengenal cinta...."

   "Ah, kau bohong, Twako!"

   "Sungguh mati!"

   "Usiamu tentu telah banyak, setidaknya beberapa tahun lebih tua daripada aku yang baru tujuh belas tahun."

   "Aku enam tahun lebih tua, Nona. Akan tetapi, aku.... aku belum pernah.... eh, maksudku mengalami cinta, dan.... eh, apa yang kita bicarakan ini? Sama-sama tidak tahu tentang cinta, akan tetapi sudah berani bicara. Mana bisa?"

   Bun Beng tertawa dan Milana juga tertawa. Tiba-tiba Bun Beng merasa betapa gembira hatinya. Aneh sekali! Dia tahu bahwa dirinya terancam maut, sedikit sekali harapan dapat tertolong. Mengapa dia tidak merasa takut, tidak merasa khawatir dan tidak merasa berduka, bahkan hatinya penuh rasa gembira? Kedua kakinya masih lumpuh, dadanya masih nyeri, akan tetapi rasa gembira mengalahkan semua ini.

   "Kau benar, Twako. Sekarang lebih baik kau ceritakan semua pengalamanmu mengapa engkau sampai terluka hebat seperti ini, dan dari mana engkau datang, bagaimana pula engkau menjadi tawanan orang-orang Pulau Neraka di perahu itu."

   "Hemm, semua itu gara-gara Sepa-sang Pedang Iblis...."

   "Ehhhh? Sepasang Pedang Iblis? Di mana kedua pedang pusaka itu?"

   Bun Beng menarik napas panjang. Agaknya dara jelita ini pun terkena pula wabah

   "demam Sepasang Pedang Iblis"

   Yang diderita semua orang kang-ouw sehingga terjadi perebutan sejak dahulu.

   "Sayang pedang-pedang itu tidak berada di tanganku lagi, sungguhpun akulah yang menemukannya. Kalau tidak terampas orang tentu yang sebuah akan kuberikan kepadamu, Nona."

   "Ahhh, suaramu itu! Apa kau kira aku terlalu ingin memperoleh pedang yang namanya saja begitu mengerikan? Tidak, Twako. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau Sepasang Pedang Iblis itu berada di tanganmu, sudah dapat ditentukan nyawamu akan tertolong!"

   "Eh, kenapa begitu?"

   "Ibu tentu akan girang sekali menerima sepasang pedang itu, dan akan berterima kasih kepadamu. Ibu tentu akan suka mengampunimu bahkan akan mengobatimu sampai sembuh. Betapapun juga kalau dapat mengatakan di mana adanya pedang-pedang itu saja, Ibu tentu sudah menjadi girang sekali. Ceritakanlah, Twako bagaimana pedang itu terampas orang dan bagaimana pula engkau terluka hebat?"

   "Yang melukai aku adalah seorang sakti yang berilmu tinggi dari negeri barat, namanya Maharya dengan muridnya...."

   "Aihhhh....! Tan-siucai dan gurunya yang dahulu mencuri pedang Hok-mo-kiam buatan Kakek Nayakavhira dan yang membunuh burung-burung garuda dari Pulau Es itu?"

   Bun Beng mengangguk.

   "Ya, mengenai sepasang pedang itu, yang betina kuberikan kepada Nona Giam Kwi Hong dan...."

   "Aihhhh! Enci Kwi Hong?"

   Milana berseru girang mendengar nama ini, akan tetapi suaranya tiba-tiba berubah lirih ketika melanjutkan,

   "Kau.... berikan pedang itu kepadanya?"

   Bun Beng tidak mendengar perbedaan suara ini dan ia mengangguk.

   "Pedang betina kuberikan kepadanya, dan pedang jantan yang kubawa telah terampas...."

   "Oleh Tan Ki dan Maharya?"

   "Bukan, oleh pemuda iblis dari Pulau Neraka."

   "Ohhh....!"

   Kaget bukan main hati Milana mendengar ini. Ibunya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang amat diinginkan itu ternyata telah terjatuh ke tangan Pulau Es dan Pulau Neraka!

   "Bagaimana bisa demikian?"

   Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak bersama Kwi Hong dia mengambil sepasang pedang itu dari tempat ia menyembunyikannya, kemudian betapa mereka bertemu dengan Tan Ki dan Maharya, kemudian muncul pemuda lihai dari Pulau Neraka yang berhasil merampas Lam-mo-kiam dari tangannya. Milana mendengarkan dengan hati tertarik bercampur kecewa.

   "Untung bahwa aku telah memberikan Li-mo-kiam kepada Nona Kwi Hong sehingga dapat dibawanya lari. Sayang bahwa Lam-mo-kiam terampas oleh pemuda iblis itu, kalau tidak, aku tentu dengan girang akan memberikan Lam-mo-kiam kepadamu, Nona Milana."

   Ucapan yang menutup penuturannya ini membuat Bun Beng terbayang akan wajah Kwi Hong dan teringatlah ia akan perjalanannya berdua dengan nona itu. Diam-diam ia membandingkan Kwi Hong segan Milana. Kwi Hong juga tidak mau disebut nona, bahkan marah-marah sehingga terpaksa dia menyebut murid Pendekar Super Sakti itu dengan namanya saja. Akan tetapi sikap dan sifat Milana lain. Dara ini amat halus tutur sapa dan gerak-geriknya sehingga dia merasa sungkan untuk menyebut namanya begitu saja. Dara ini dengan sikapnya yang halus lemah lembut, memiliki wibawa yang agung dan membuat dia tak berani untuk bersikap tidak hormat!

   "Gak-twako, engkau tentu tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu menjadi rebutan seluruh dunia kang-ouw. Setelah secara kebetulan kau mendapatkan pusaka-pusaka itu, mengapa dengan mudah saja kau berikan sebuah kepada Enci Kwi Hong?"

   Bun Beng termenung mendengar pertanyaan ini dan diam-diam mukanya berubah tanpa dapat dilihat Milana yang duduk di belakangnya. Sejenak Bun Beng tak dapat menjawab, mengerutkan kening berpikir, kemudian baru ia menjawab setelah berpikir lama,

   "Kurasa tidak aneh, Nona. Untuk apakah aku memiliki dua batang pedang? Tidak ada buruknya kalau aku menyerahkan sebatang kepada Nona Kwi Hong, dan mengapa kepada dia kuserahkan Li-mo-kiam? Pertama, karena kebetulan menemaniku mengambil Sepasang Pedang Iblis. Ke dua, karena dia adalah murid Pendekar Super Sakti yang amat kukagumi dan muliakan. Itulah sebabnya."

   Hening sejenak sebelum Milana bertanya lagi.

   "Gak-twako, apakah engkau mencintai Enci Kwi Hong?"

   "Hahh....?"

   Pertanyaan yang keluar dengan suara halus seperti berbisik itu benar-benar tak disangka-sangka, terlalu tiba-tiba datangnya membuat Bun Beng gelagapan seolah-olah dia dibenamkan ke dalam air.

   "Apa.... apa maksudmu, Nona....?"

   "Twako, semenjak masih kecil dahulu, sudah tampak betapa engkau dan Enci Kwi Hong cocok dan akrab sekali. Kini Pedang Li-mo-kiam adalah sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw akan rela mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan sebatang di antaranya. Akan tetapi engkau dengan mudah saja menyerahkannya kepada Enci Kwi Hong. Kalau engkau mencinta Enci Kwi Hong, hal itu tidaklah aneh lagi. Aku hanya ingin tahu apakah engkau mencinta Enci Kwi Hong?"

   "Ahhhh, Nona Milana! Engkau membuat aku malu saja. Orang macam aku ini mana ada hak untuk mencinta seorang seperti dia? Dia adalah murid Pendekar Super Sakti, bahkan dia adalah keponakan Beliau! Mana mungkin dan mana pantas aku jatuh cinta kepadaya? Tidak, Nona, harap tidak menyangka yang bukan-bukan. Aku menyerahkan Li-mo-kiam kepadanya hanya karena mengingat kepada gurunya dan pamannya, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es yang kuhormati."

   Tanpa terlihat oleh Bun Beng, pandang mata Milana termenung ketika ia mendengar jawaban itu. Sampai lama dia termenung sambil menjalankan kudanya menuruni lembah gunung, memasuki hutan ke dua yang besar dan agak gelap. Hatinya tenang saja karena dia mengenal hutan ini, tahu bahwa dia sudah memasuki wilayah di luar kekuasaan Thian-liong-pang dan ia tahu benar bahwa ibunya melarang anak buahnya melakukan sesuatu di luar wilayah kekuasaannya untuk menjaga nama Thian-liongpang, kecuali utusan-utusan khusus yang ditugaskan untuk suatu keperluan. Dia bermaksud pergi ke kota Siang-bun di sebelah selatan hutan besar itu, di sana ia mendengar tinggal seorang tabib yang pandai. Siapa tahu barangkali tabib itu akan dapat menolong Bun Beng.

   "Engkau merasa terlalu rendah untuk mencinta Enci Kwi Hong, Twako?"

   Kembali pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan tidak tersangka-sangka, sehingga Bun Beng menjadi terkejut dan menjawab gagap,

   "Ya.... ya.... begitulah."

   "Misalnya.... terhadap diriku, bagaimana? Apakah engkau juga merasa terlalu rendah untuk jatuh cinta kepadaku? Ini hanya umpamanya saja, Twako."

   Bun Beng terbelalak, jantungnya berdebar keras. Betapa jujur dan polos hati dara ini! Mukanya menjadi panas seperti dibakar rasanya.

   "Ahhh.... mana aku berani, Nona? Lebih-lebih terhadapmu! Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, puteri Ketua Thian-liong-pang! Sedangkan aku...., aku hanya anak yang tidak syah dari seorang tokoh hitam, datuk kaum sesat!"

   Milana merasa terharu.

   "Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, Gak-twako. Bagiku, aku tidak menilai seseorang karena keturunannya, karena wajahnya maupun karena kepandaian atau kedudukannya. Cinta adalah urusan hati, bukan urusan mata, urusan batin, bukan urusan lahir."

   Jantung Bun Beng makin berdebar. Kata-kata yang amat aneh terdengar olehnya, kata-kata yang sukar sekali untuk diselami dan dikenal bagaimana isi hati orang yang mengucapkannya. Dia menjadi ragu-ragu dan penasaran, maka dia memberanikan hatinya bertanya.

   "Maaf, Nona Milana. Sekali lagi aku bermulut lancang mengajukan pertanyaan ini. Apakah Nona mencintaku?"

   Bun Beng dapat merasakan dengan punggungnya yang bersentuhan dengan tubuh dara itu betapa Milana agak gemetar mendengar pertanyaan itu, akan tetapi jawaban yang keluar dengan halus itu tetap tenang.

   "Aku tidak tahu, Twako. Bagaimana aku tahu kalau aku sendiri tidak mengerti apa artinya cinta itu sendiri? Aku merasa suka kepadamu, dan merasa kasihan kepadamu. Hanya itulah yang terasa di hatiku, yang membuat aku mengambil keputusan bulat untuk membela dan menolongmu. Aku tidak tahu apakah suka dan kasihan itu sama dengan cinta. Bagaimana pendapatmu, Twako? Tahukah engkau apa sebetulnya cinta?"

   Bun Beng tidak dapat menjawab. Kuda itu berjalan terus, perlahan-lahan dan keduanya diam, seolah-olah tenggelam dalam lamunan tentang cinta. Bun Beng memandang ke depan ke arah pohon-pohon seolah-olah ingin mencari jawaban tentang arti cinta di antara daun-daun pohon, di antara sinar matahari dan bayangan benda-benda yang bersinar oleh cahaya matahari. Dahulu ketika ia mengenangkan wajah tiga orang wanita, wajah Kwi Hong, wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai, wajah Milana, ia pernah merenungkan tentang cinta. Kemudian, ketika ia masih kecil, pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai yang ternyata adalah ibu kandung Milana, juga membuatnya termenung dan mulailah ia berpikir tentang cinta. Cinta antara pria dan wanita, apa itu?

   "Cinta adalah penyakit!"

   Tiba-tiba saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tidak hanya mengejutkan hati Milana, juga mengagetkan Bun Beng sendiri karena kata-katanya sendiri itu seperti terlompat keluar tanpa disadarinya.

   "Apa? Cinta adalah penyakit?"

   Milana berseru keras. Karena sudah terlanjur, Bun Beng melanjutkan, mengikuti suara hatinya yang timbul di saat itu.

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Cinta adalah sumber penyakit yang menciptakan penyakit-penyakit baru. Cinta yang dikenal pria dan wanita, sebenarnya tidak patut disebut cinta, bahkan mungkin bukan cinta yang sesungguhnya! Seorang wanita dan seorang pria saling berjumpa, saling mengagumi keelokan masing-masing, saling tertarik. Kemudian timbul hasrat ingin saling memiliki. Itulah cinta! Bukankah keinginan itu hanya nafsu belaka? Nafsu mendapatkan sesuatu demi kesenangan dan kepuasan diri sendiri? Karena itu menjadi sumber penyakit. Kalau keinginan tidak terkabul, juga timbul penyakit-penyakit baru seperti cemburu, kecewa dan lain-lain. Ketidakcocokan pikiran dan watak mendatangkan pertengkaran dan ke mana larinya cinta? Ketidakpuasan dalam hubungan satu sama lain menimbulkan kekecewaan, ke mana larinya cinta? Cemburu yang menimbulkan kebencian, ke mana larinya cinta? Cinta yang dikenal sekarang, terutama oleh kaum pria, hanyalah nafsu dan si wanita hanyalah dijadikan alat penyenang hati dan badannya. Kalau kenyataan sebaliknya, terbanglah cintanya."

   Milana membelalakkan mata, bergidik ngeri.

   "Aihhh, kau terlalu kejam, Twako! Kurasa tidak demikian buruk seperti yang kau sangka, atau karena kau belum merngenal, kau lalu mengawur saja tentang cinta. Cinta itu murni, halus, indah bagi wanita. Cinta itu bukan nafsu semata, lebih halus, lebih mendalam, mengenai perasaan hati. Wanita ingin dicinta, ingin dihargai, ingin dikagumi, ingin dimanja. Untuk itu, dia rela berkorban apa pun, rela menyerahkan badan dan nyawa untuk laki-laki yang mencintanya."

   "Hemm, di mana ada keinginan, timbullah kekecewaan. Keretakan pun terjadilah seperti Ibu dan Ayahmu, eh, maaf....!"

   Bun Beng terkejut dan tiba-tiba saja terbukalah matanya mengenai keretakan hubungan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai.

   "Kau keliru. Kekecewaan pun akan diterima oleh wanita yang mencinta dan dicinta. Suka sama dinikmati, duka sa-ma dipikul. Itulah cinta...."

   Bun Beng menarik napas panjang.

   "Ahhh, memang ada perbedaan pendapat tentang cinta antara pria dan wanita, akan tetapi justeru perbedaan pendapat itulah yang menciptakan seninya, seni untuk menyesuaikan diri. Setiap perjuangan menghadapi kenyataan pahit dan usaha untuk mengatasinya, itulah seni hidup. Wanita lebih menggunakan perasaannya yang halus, karena itu cintanya lebih murni, tidak seperti pria yang menggunakan pikirannya sehingga timbullah dorongan-dorongan nafsu jasmani yang kadang-kadang berlebihan sehingga memancing datangnya pertentangan dan persoalan...."

   "Sssstt.... ada orang...."

   Tiba-tiba Milana berbisik dan ketika Bun Beng mengangkat muka, ternyata muncul lima orang Thian-liong-pang yang sikapnya keren dan menyeramkan. Milana menahan kudanya dan menghadapi lima orang itu dengan pandang mata penuh wibawa. Ia menggunakan lengan kiri dilingkarkan di pinggang Bun Beng, karena maklum bahwa sekali terguncang hebat, pemuda yang masih setengah lumpuh dari pinggang ke bawah itu akan dapat terpelanting dari atas punggung kuda. Tangan kanan memegang kendali kuda dan ia berkata nyaring,

   "Kalian berlima menghadang perjalananku, ada maksud apakah?"

   Seorang di antara mereka segera mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjawab,

   "Harap Siocia suka memaafkan kami dan suka memaklumi kedudukan dan keadaan kami sebagai petugas dan utusan Pangcu. Kami diperintahkan untuk menangkap atau membunuh pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini, dan kami sangat mengharapkan agar Siocia suka menyerahkan kepada kami, mengingat bahwa kami adalah utusan-utusan Pangcu yang berkuasa penuh."

   "Tidak. Aku juga bertugas sebagai manusia sudah mengambil keputusan melidungi Gak Bun Beng. Aku tidak mau menyerahkannya, dan tidak akan membolehkan kalian menangkap atau membunuhnya. Habis, kalian mau apa?"

   "Srat-srat-sing-sing!"

   Tampak sinar kilat ketika lima orang itu mencabut golok masing-masing.

   "Maaf, Siocia. Tidak melaksanakan perintah Pangcu berarti nyawa kami melayarrg secara sia-sia. Kalau memaksa sehingga bertentangan dengan Siocia, andaikata kami tewas sekalipun, kami tewas dalam menjalankan tugas sebagai anggauta Thian-liong-pang yang setia. Tentu kami memilih mati sebagai anggauta setia daripada anggauta yang murtad tidak menurut perintah Ketua."

   "Hemm, jadi kalian hendak melawanku?"

   Milana membentak.

   "Bukan melawan Siocia, hanya menja-lankan tugas kami."

   "Nona Milana, tinggalkan aku, harap jangan engkau turun tangan melawan orang-orangmu sendiri,"

   Kata Bun Beng.

   "Tidak! Aku akan melindugimu dengan taruhan apapun juga."

   "Kalau begitu, biarlah aku menghadapi mereka, kau larikan saja kuda ini!"

   Bisik Bun Beng. Lima orang itu sudah berpencar mengurung kuda mereka dengan golok di tangan. Tiba-tiba seorang di antara mereka yang berada di sebelah kiri, menggerakkan goloknya membacok ke arah tubuh Bun Beng. Pemuda ini yang menggantungkan tubuh di lengan Milana yang menahan pinggang, cepat mengikuti gerakan golok, menggunakan ilmu barunya, yaitu ilmu memindahkan tenaga, menggerakkan tubuh kemudian tangan kirinya bergerak membuang ke depan cepat mengenai punggung golok itu.

   "Krekkk!"

   Golok itu patah menjadi dua, bahkan tangan yang memegang gagangnya menjadi kaku sehingga sisa golok itu terlepas pula. Orangnya meloncat mundur sambit menjerit kaget. Orang ke dua menerjang, disusul orang ke tiga, ke empat dan ke lima. Gerakan mereka hebat, akan tetapi karena mereka itu tentu saja masih menjaga agar senjata mereka jangan sampai mengenai tubuh puteri Ketua mereka, maka gerakan mereka kaku dan tidak leluasa.

   Di lain pihak, Bun Beng yang melihat baik ilmunya yang baru itu, cepat menggunakan terus ilmu itu, tubuhnya mengikuti gerakan serangan golok dari atas, dari samping kanan atau kiri, kedua tangannya membabat dan memindahkan tenaga ayunan golok lawan untuk menyerang lawan itu sendiri. Terdengar jerit-jerit kesakitan dan berturut-turut empat orang itu pun terhuyung, ada yang patah tulang lengannya. Ketika mereka meloncat bangun, kuda itu telah dikaburkan cepat-cepat oleh Milana! Mereka hanya berdiri bengong, terheran-heran karena mereka tidak tahu mengapa senjata mereka patah-patah dan tulang lengan mereka ada yang patah. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu seperti yang dimainkan pemuda yang hanya dapat menggerakkan tubuh bagian atas itu!

   "Gak-twako, hebat bukan main ilmu pukulanmu tadi! Dalam keadaan lumpuh engkau masih mampu mengalahkan lima orang tokoh Thian-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau engkau tidak lumpuh, aku sendiri agaknya tidak akan kuat melawanmu!"

   Bun Beng menarik napas panjang.

   "Ahhh, engkau terlalu memuji, Nona. Lihat di depan itu, sekarang kita bertemu lawan tangguh."

   Dara itu memandang dan ketika melihat seorang kakek tua yang bermuka bengis dan muka itu berwarna merah muda seperti dicat, terkejut dan berkata.

   "Wah, bukankah warna mukanya itu menunjukkan bahwa dia seorang dari Pulau Neraka?"

   "Tidak salah lagi, dia seorang dari Pulau Neraka. Nona, lebih baik kau tinggalkan aku, biar aku hadapi sendiri orang-orang yang hendak menyerangku. Aku hanya menyeret engkau ke dalam pertentangan-pertentangan yang amat berbahaya, tidak hanya dengan kaum Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Ibumu sendiri bahkan dengan Pulau Neraka."

   "Sudah! Jangan ulangi lagi permintaan seperti itu, Twako. Apa kau kira aku takut menghadapi Pulau Neraka? Kau lihat saja!"

   Sambil berkata demikian, Milana mempercepat larinya kuda menghampiri kakek yang berdiri tegak itu.

   "Berhenti!"

   Kakek itu membentak dengan pengerahan suara khi-kang sehingga terdengar suaranya melengking dan membuat pohon-pohon seperti tergetar dan tiba-tiba kuda itu meringkik dan menunduk, keempat kakinya gemetar, matanya liar ketakutan.

   "Orang tua, apa kehendakmu menghentikan perjalananku?"

   Milana bertanya, sedikit pun tidak merasa takut. Kakek itu memandang agak heran melihat betapa dara muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakannya tadi, bahkan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Ia menudingkan tongkat hitamnya ke arah Bun Beng dan berkata,

   "Nona muda, aku menghendaki bocah itu! Ketahuilah bahwa Kongcu dari Pulau Neraka memerintahkan aku menangkap bocah ini, dan sebaiknya engkau tidak menentang kehendak Tuan Muda dari Pulau Neraka."

   "Aku tidak peduli apakah engkau disuruh setan muda ataukah setan tua dari Pulau Neraka, dan aku tidak menentang siapa-siapa. Pemuda ini adalah seorang sahabatku, dan siapa pun tidak boleh mengganggunya. Pergilah dan jangan ganggu kami!"

   Sinar mata kakek itu berapi-api, tanda bahwa dia marah sekali. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berilmu tinggi saja tidak berani memandang rendah Pulau Neraka, akan tetapi nona muda ini berani mengeluarkan kata-kata merendahkan dan menghina. Melihat sikap ini, cepat Bun Beng yang bermaksud menyelamatkan Milana berkata,

   "Locianpwe dari Pulau Neraka agaknya tidak tahu siapa Nona ini. Dia adalah puteri dari Thian-liong-pangcu."

   Sinar mata marah itu lenyap, terganti oleh keheranan dan kekagetan.

   "Aahhhh? Puteri Pangcu dari Thian-liong-pang?"

   Milana tersenyum.

   "Kalau benar, mengapa? Thian-liong-pang tidak pernah takut terhadap Pulau Neraka. Sahabatku yang sakit parah ini berada dalam perlindunganku, kalau kau hendak memaksa dan merampasnya, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu!"

   Kakek bermuka merah muda itu menjadi bimbang. Biarpun dia tidak pernah takut terhadap lawan yang bagaimanapun, akan tetapi mendengar nama puteri Ketua Thian-liong-pang dia gentar juga. Kalau sampai ia salah tangan melukai puteri Ketua Thian-liong-pang, hal itu bukanlah persoalan kecil dan bukan main-main! Bahkan dia tentu akan mendapat teguran hebat atau hukuman dari Majikan Pulau Neraka yang sudah memesan agar para anak buahnya, di luar perintahnya, jangan sampai menimbulkan bentrokan dengan orang-orang Thian-liong-pang dan Pulau Es. Dan sekarang, dia melakukan perintah untuk menangkap Gak Bun Beng, ternyata pemuda itu dilindungi oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri. Andaikata bukan puteri Ketua Thian-liong-pang, melainkan seorang tokoh biasa saja dari Thian-liong-pang, persolannya tentu tidak akan seberat dan segawat ini.

   "Maaf, Nona,"

   Akhirnya dia menjura,

   "Karena tidak tahu, aku bersikap kurang hormat. Aku tidak sekali-kali ingin bertentangan dengan Nona, akan tetapi orang muda ini amat dibutuhkan oleh Kongcu kami, oleh karena itu kuharap Nona suka menyerahkannya kepadaku. Kalau Kongcu mendengar laporanku akan kebaikan hati Nona, tentu Kongcu dan Majikan kami akan mennghaturkan terima kasih kepadamu."

   "Aku tidak butuh terima kasih Kongcumu yang jahat! Minggirlah!"

   Milana menyendal kendali kudanya dan Bun Beng sudah siap untuk menghadapi, apabila tokoh Pulau Neraka itu menyerangnya. Kakek itu tertawa bergelak, tiba-tiba tongkat hitamnya berkelebat, dipukulkan ke arah kepala Bun Beng. Pemu-da ini cepat mengikuti gerakan itu dan siap mempergunakan ilmu memindahkan tenaga, akan tetapi tiba-tiba tongkat hitam itu tidak dilanjutkan menyerangnya, sebaliknya menghantam ke bawah.

   "Prokkk!"

   Kepala kuda itu pecah dan Milana cepat meloncat sambil mengempit pinggang Bun Beng. Muka dara itu menjadi merah, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan, tangannya bergerak dan sinar merah menyambar dibarengi bau harum menyengat hidung. Itulah belasan batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang amat berbahaya. Sekaligus menyambar ke arah tujuh belas pusat jalan darah di tubuh kakek itu. Kakek muka merah muda itu terkejut sekali, cepat meloncat tinggi ke atas dan memutar tongkat, mengebutkan lengan baju kiri. Dengan gerakan ini barulah ia dapat terbebas daripada maut, akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, kembali tampak sinar-sinar me-rah menyambar dari tangan Milana.

   "Ayaaa....!"

   Kakek itu berjungkir balik, memutar tongkatnya, namun tetap saja sebatang jarum menancap di rambutnya dan hampir saja menggores kulit kepala. Mukanya menjadi pucat sekali. Nyaris nyawanya melayang, hanya seujung rambut selisihnya! Ia mengeluarkan pekik melengking dan muncullah dua orang lain, seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya bermuka merah muda pula.

   Kiranya kakek itu memanggil bala bantuan karena menghadapi puteri Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu. Melihat ini, Milana cepat meloncat sambil menggendong tubuh Bun Beng di belakangnya. Ia berlari cepat sekali seperti terbang dan Bun Beng merasa amat tidak enak. Dia tahu bahwa Milana amat lihai, agaknya tidak akan kalah kalau hanya menghadapi tiga orang Pulau Neraka tadi. Akan tetapi karena dara itu merasa tidak leluasa menghadapi lawan sambil melindunginya yang sudah lumpuh, maka gadis ini cepat membawanya melarikan diri. Yang paling membuat dia tidak enak, jengah dan terharu adalah betapa dara ini memaksanya untuk digendong di belakang punggung!

   Cepat sekali Milana melarikan diri, akan tetapi tiga orang Pulau Neraka itu mengejar terus. Biarpun mereka merasa segan untuk memusuhi puteri Ketua Thian-liong-pang, namun mereka bertekad untuk menangkap Bun Beng, pemuda yang tahu akan Sepasang Pedang Iblis yang hanya dapat dirampas sebatang oleh Kongcu mereka, dan pemuda ini malah telah membunuh dua orang Pulau Neraka. Mereka mengejar terus dengan cepat dan untung bagi mereka bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang itu terhalang gerakannya karena menggendong tubuh Bun Beng. Andaikata tidak demikian, tiga orang itu maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mengejar dara yang memiliki sin-kang sedemikian he-batnya itu.

   "Nona, di depan itu kumelihat menara tinggi, tentu sebuah kuil. Larilah ke sana. Kalau tidak terhalang olehku, tentu Nona akan mampu menghadapi mereka,"

   Kata Bun Beng yang tidak berani lagi menyatakan isi hatinya, yaitu bahwa Si Nona jangan melindunginya terus sehingga dia sendiri terancam bahaya.

   "Aku sedang menuju ke sana,"

   Jawab Milana "Lari mereka cepat sekali!"

   Menara dari kuil tua itu sudah tampak akan tetapi jaraknya masih cukup jauh dan tiga orang pengejar itu makin dekat, berlari seperti terbang di sebelah belakangnya. Ketika Milana sudah tiba di dekat kuil tua yang ada menara tingginya itu, tiga orang Pulau Neraka sudah dekat sekali, bahkan seorang di antara mereka berseru.

   "Nona, lepaskan pemuda itu!"

   Dia sudah menggerakkan tangannya dan sebatang tali panjang seperti ular hidup menyambar dari belakang ke arah Milana, ujungnya menotok jalan darah. Bun Beng cepat menangkis dengan tangan ketika melihat tali seperti cambuk itu, akan tetapi begitu ditangkis, ujung tali itu bergerak membelit lehernya!

   "Haiiiittt!"

   Milana sudah menghentikan kakinya, memutar tubuh dan tangannya cepat menangkap tali yang membelit leher Bun Beng, dengan mengerahkan tenaga sin-kang dia membetot dengan renggutan tiba-tiba.

   "Brettt!"

   Tali itu putus dan tubuh kakek Pulau Neraka terhuyung ke depan. Milana tidak mempedulikan lagi, cepat membalik dan hendak lari, sedangkan tiga orang itu sudah meloncat dekat, senjata mereka bergerak-gerak. Kakek yang terhuyung itu memutar sisa tali di tangannya sebagai senjata, kakek ke dua menggerakkan sebatang pedang, sedangkan kakek pertama menggerakkan tongkathya.

   "Cuat-cuat-cuattt!"

   Tampak tiga benda bersinar terang menyambar dari atas menara dan tiga batang hui-to (golok terbang) menancap tepat di depan kaki tiga orang kakek Pulau Neraka itu, hanya sejengkal selisihnya dari kaki mereka. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak, memandang gagang golok kecil yang bergoyang-goyang itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. Milana yang menoleh dan melihat ini, menjadi kaget akan tetapi juga girang sekali.

   "Ibuku di sana....!"

   Ia berseru, kemudian mendaki sebuah tangga yang menuju ke atas menara. Menara itu tinggi sekali, akan tetapi puncaknya sudah rusak, tak terpelihara, hanya tinggal temboknya saja, agaknya atapnya sudah roboh. Ketika Bun Beng mendengar ini, jantungnya berdebar tegang. Dia menoleh ke bawah dan melihat betapa tiga orang kakek Pulau Neraka itu sudah lari dari tempat itu tanpa berani menoleh lagi. Tentu mereka mengenal senjata rahasia itu!

   Ia tahu bahwa yang turun tangan mengancam mereka adalah Ketua Thian-liong-pang. Memang hebat sekali golok-golok terbang tadi, agaknya sengaja dilepas untuk mengusir mereka sehingga menancap di depan mereka dalam jarak sejengkal. Kalau dikehendaki, tentu tiga batang hui-to itu sudah mengenai tubuh mereka dan merenggut nyawa mereka. Bun Beng teringat akan hui-to-hui-to yang dilepas oleh Ketua Thian-liong-pang ketika diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh besar dahulu di pulau Sungai Huang-ho. Hui-to yang berbentuk golok kecil atau pisau belati itu oleh Si Ketua yang berkerudung dipergunakan untuk menyerang Pendekar Super Sakti. Dia bergidik setelah kini teringat bahwa wanita berkerudung itu bukan lain adalah ibu Milana yang cantik jelita itu, isteri sendiri dari Pendekar Super Sakti!

   Diam-diam ia merasa heran sekali dan menaruh kasihan kepada Pendekar Siluman yang dipujanya. Mengapa hidupnya demikian penuh duka sehingga dimusuhi oleh isteri sendiri. Ia membayangkan pertemuan pendekar sakti itu dengan isterinya, mengenang kembali percekcokan mereka dan diam-diam ia menimbang-nimbang, menyesuaikan ucapan Milana tadi tentang cinta. Sungguh aneh sekali hati wanita, terutama hati ibu Milana ini. Dan betapa anehnya sikap Pendekar Siluman yang jelas mencinta isterinya. Mengapa mereka saling berpisah? Mengapa si isteri yang tercinta itu seolah-oleh hendak memusuhi suami yang tercinta? Sungguh membuat dia bingung dan juga penasaran sekali. Seorang pria seperti Pendekar Super Sakti, kurang apakah sebagai suami?

   Berilmu tinggi, gagah dan tampan, berwatak mulia, memiliki kebaikan yang cukup berlebihan untuk menutupi cacadnya, yaitu kakinya yang buntung. Seorang suami seperti dia itu, mengapa tidak cukup membahagiakan hati seorang isteri? Tentu si isteri yang tidak benar! Tentu ibu Milana ini yang tidak benar. Dia menjadi penasaran dan kalau tadinya dia merasa gentar bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang, kini dia malah ingin berjumpa, ingin membela Pendekar Super Sakti yang ia anggap diperlakukan sewenang-wenang oleh ibu Milana! Dengan cepat namun hati-hati karena menggendong Bun Beng, Milana memanjat tangga itu dan setelah tiba di atas, tampaklah oleh Milana dan Bun Beng sesosok tubuh yang duduk bersila seperti sebuah arca di atas lantai menara. Tubuh ramping dengan kepala berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!

   "Ibu....!"

   Milana menurunkan Bun Beng dari gendongan dan berlutut di depan ibunya.

   "Locianpwe...."

   Bun Beng juga memberi hormat dengan duduk karena dia tidak dapat berlutut.

   "Milana! Apa yang kau lakukan ini?"

   Suara merdu halus yang keluar dari balik kerudung itu penuh teguran.

   "Kau berani menentang Thian-liong-pang dan melawan anak buah kita sendiri?"

   "Ibu.... aku.... tidak mungkin membiarkan Gak-twako yang terluka hebat ini diganggu. Harap Ibu suka mengampunkannya. Dia luka parah, lumpuh, keracunan dan kalau Ibu tidak menolongnya, dia akan mati...."

   "Biar saja mati anak setan ini! Kalau dia tidak mati keracunan, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya!"

   "Ibu, kasihanilah dia, ampunkanlah...."

   Milana berkata penuh permohonan.

   "Kau malah berani menyebut Ibu kepadaku di depan anak setan ini, Milana, apakah kau hendak membuka rahasia...."

   "Locianpwe, harap jangan menyalahkan Nona Milana. Dia tidak membuka rahasia Locianpwe, akan tetapi melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang kepadanya, saya sudah dapat menduga bahwa dia puteri Locianpwe. Sungguh tidak saya sangka bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Locianpwe, isteri Pendekar Super...."

   "Wuuutttt....!"

   Tangan wanita berkerudung itu bergerak dan angin pukulan yang amat hebat menyambar tubuh Bun Beng.

   "Ibu....!"

   Milana menjerit dan Bun Beng sudah menggulingkan tubuhnya, bergulingan sehingga terhindar dari bahaya maut.

   "Anak setan, kau kira aku tak dapat membunuhmu? Untuk kekacauan yang kau buat di Thian-liong-pang, mungkin aku dapat mengempunimu. Akan tetapi engkau telah mengetahui rahasiaku, mengenal siapa Ketua Thian-liong-pang dan untuk hal itu engkau harus mati!"

   Tiba-tiba tubuh yang duduk bersila itu meloncat ke atas, dalam keadaan masih duduk bersila, meluncur ke arah Bun Beng dan lengan baju yang lebar panjang itu menyambar ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini terkejut sekali, kembali melempar diri ke belakang dan sambil bergulingan, tiga kali lengannya menangkis.

   "Plak-plak-plak...."

   Ia berhasil menangkis, namun lengan sampai ke pun-daknya terasa nyeri dan hampir lumpuh.

   "Ibu.... jangan....!"

   Milana meloncat dan menghadang, akan tetapi sebuah dorongan membuat dara itu terlempar. Rasa penasaran yang berkumpul di dalam dada Bun Beng seperti akan meledak. Dia sudah siap, duduk dan memandang tajam, siap melawan sampai mati, namun dia tidak akan puas sebelum mengeluarkan isi hatinya.

   "Locianpwe! Locianpwe adalah isteri Pendekar Super Sakti yang amat saya muliakan. Dia seorang pendekar sakti yang hebat, yang tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi mengapa Locianpwe sebagai isterinya malah membangun perkumpulan yang keji, menculik dan mencuri kepandaian orang lain? Semua itu masih belum hebat, akan tetapi Locianpwe menjauhkan diri daripadanya, membuat hatinya sengsara. Bukankah kewajiban seorang isteri harus ikut bersama suaminya ke mana pun dia pergi? Di mana cinta kasih seorang isteri terhadap suaminya yang demikian tulus seperti Pendekar Super Sakti?"

   "Anak setan, lancang mulut, keparat!"

   Wanita berkerudung itu membentak.

   "Locianpwe boleh membunuh saya. Saya tidak takut, apalagi saya telah terluka dan keracunan, tiada harapan hidup lagi. Akan tetapi saya tidak menyesal untuk mati, hanya menyesal sekali melihat Locianpwe selain membikin sengsara hati pendekar sakti yang saya muliakan, juga merusak penghidupan puteri Locian-pwe sendiri! Mengapa Locianpwe tidak membubarkan saja perkumpulan Thian-liong-pang yang keji itu dan mengajak Nona Milana menyusul ayahnya di Pulau Es, hidup bahagia dan damai di sana?"

   "Gak Bun Beng, engkau anak datuk kaum sesat, mulutmu melebihi kejahatan Ayahmu!"

   Wanita itu marah sekali, ucapannya seperti menjerit dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas.

   "Saya memang anak yang hina dan rendah, akan tetapi tidak membikin sakit hati orang lain, apalagi merusak hidup suami dan anak seperti yang Locianpwe lakukan!"

   Tiba-tiba tubuh yang sudah mencelat ke atas itu turun lagi, duduk bersila dan dari balik kerudung itu terdengar suara menggetar,

   "Bocah setan! Kau tahu apa? Sebelum engkau mampus, buka dulu telingamu, dengarkan baik-baik! Pendekar Siluman yang kau puja-puja itu, apakah dia seorang suami yang baik? Puhhhhh! Engkau tidak tahu urusannya sudah berani mencela aku memuji dia! Engkau tahu apa? Setelah menjadi suamiku, dia tidak mau mengikutiku, dia memisahkan diri. Bahkan dia tidak tahu ketika anaknya dilahirkan, dia tidak peduli, tidak mau mencari kami, tidak mempedulikan kami! Apakah aku harus menyembah-nyembah dan mengemis perhatiannya? Hemm, kau kira aku selemah itu? Tidak, aku akan menandinginya, aku akan membentuk perkumpulan yang lebih kuat daripada Pulau Es! Akan kuserbu Pulau Es dan kukalahkan dia dalam pertandingan! Akan tetapi kau.... kau anak Si Datuk Sesat Gak Liat Si Setan Botak, engkau telah mengetahui rahasiaku, dan engkau harus mampus!"

   "Ibu! Jangan...., jangan....!"

   Tiba-tiba Milana menubruk dan melindungi tubuh Bun Beng. Nirahai, Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu, memandang kaget dan heran, kemudian penuh kemarahan dan kekhawatiran membentak dari balik kerudungnya.

   "Milana! Apa ini? Gak Bun Beng, berani engkau membuat anakku jatuh cinta?"

   "Ibu....!"

   "Locianpwe, engkau terlalu keji menuduh anakmu! Orang macam aku ini, keturunan seorang penjahat, mana berani kurang ajar mencinta puteri Pendekar Super Sakti? Nona Milana menolongku hanya karena kasihan, karena dia memiliki watak halus penuh budi luhur seperti ayahnya."

   "Ibu, harap jangan bunuh dia.... ah, Gak-twako, kau bersumpahlah bahwa kau takkan membuka rahasia Ibu.... bersumpahlah, Twako...."

   Bun Beng menarik napas panjang.

   "Nona, aku tidak takut mati, aku toh akan mati juga, perlu apa aku bersumpah hanya agar tidak dibunuh oleh Ibumu? Akan tetapi mengingat kebaikan-kebaikanmu, biarlah aku bersumpah. Selama hidupku, aku Gak Bun Beng tidak akan membuka rahasia bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, bahwa engkau adalah puteri mereka."

   "Ibu, dia sudah bersumpah, ampunkanlah dia, Ibu."

   Melihat sikap puterimu ini, makin gelisah hati Nirahai. Dia melihat tanda-tanda tunas cinta kasih. Puterinya mencinta anak Gak Liat? Betapa rendah-nya! Dia tahu betapa berbahayanya cinta kasih kalau sudah menguasai hati wanita. Maka jalan terbaik hanyalah membunuh Bun Beng sebelum terlambat, sebelum cinta kasih yang baru bertunas itu tumbuh dan berakar kuat.

   "Minggir kau....!"

   Dia menggerakkan tangan dan Milana kembali terlempar ke samping. Ketua Thian-liong-pang ini lalu menerjang dengan tamparan yang amat kuat ke arah kepala Bun Beng, sekali ini tidak lagi menggunakan ujung lengan baju karena pemuda itu terlalu kuat dan pandai untuk diserang begitu saja, melainkan menggunakan tangannya yang ampuh.

   "Wuuuutttt!"

   Bun Beng memang tidak takut mati, namun dia pantang menyerah begitu saja menyerahkan nyawa tanpa melawan. Hal itu bukanlah watak seorang gagah! Dia teringat akan ilmunya yang baru, yang telah dua kali menolongnya dari bahaya maut. Melihat datangnya tangan yang menyambar ke arah kepalanya dengan didahului angin pukulan luar biasa dahsyatnya, dia cepat mengikuti arus gerakan tangan lawan, menggerakkan tubuh miring ke kanan, kemudian tangannya sendiri yang dipenuhi aliran tenaganya sendiri ditambah tenaga lawan, dari samping menangkis dengan pukulan dahsyat.

   "Dessss....!"

   "Aihhhh, pukulan apa ini....!"

   Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Nirahai mencelat ke samping, menyentuh tangan kirinya yang tertangkis secara hebatnya tadi dan memandang Bun Beng dari balik kerudungnya.

   "Bukan main, kalau aku tidak ingin membunuhmu sekarang, ingin aku mempelajari gerakanmu yang mujijat tadi. Sekarang terimalah kematianmu!"

   Dia menerjang lagi, kini kedua tangannya bergerak dari dua arah berlawanan sehingga tidak mungkin lagi bagi Bun Beng untuk menggunakan ilmunya memindahkan tenaga. Apalagi, ilmu itu pun tadi telah dipergunakan dan tidak membawa hasil, lengan Ketua Thian-liong-pang itu tidak terluka sedikit pun.

   Maka jalan satu-satunya hanyalah menggulingkan tubuhnya. Karena maklum bahwa serangan Ketua Thian-liong-pang itu hebat bukan main, maka Bun Beng mengerahkan seluruh sin-kang di tubuhnya untuk menggulingkan tubuhnya. Tiga kali pukulan ketua yang amat lihai itu luput dan Bun Beng yang merasa pundaknya terlanggar angin pukulan yang amat kuat, mempercepat gerakannya bergulingan. Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke bawah, ternyata dia telah bergulingan ke pinggir menara dan terlempar ke bawah dari tempat yang amat tinggi itu. Masih didengarnya jerit Milana dan selanjutnya ia hanya menyerahkan nasib di tangan Tuhan, maklum bahwa dalam keadaan tubuh bawah lumpuh itu dia tentu akan terbanting remuk di bawah sana! Bun Beng sudah memejamkan mata, menanti datangnya maut.

   Akan tetapi, ia mendarat dengan empuk, bukan terbanting ke atas tanah berbatu, melainkan tubuhnya tergantung dan ada sebuah tangan mencengkeram baju di punggungnya. Ketika ia membuka mata memandang, kiranya ia disambut oleh seorang laki-laki yang tampan, dicengkeram baju di punggungnya, seorang laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut putih seperti benang perak, namun wajah itu tampan berwibawa, tenang dan tidak kelihatan tua. Wajah.... Pendekar Super Sakti yang memandangnya dengan senyum yang menyejukkan hati, dengan mata yang diliputi penderitaan batin yang mengharukan hati Bun Beng. Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Suma Han, Majikan Pulau Es itu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, agaknya menerima tubuh Bun Beng tadi amat ringan baginya, dan di sebelahnya berdiri Kwi Hong yang cantik jelita!

   "Taihiap....! Ah, Taihiap telah menolong nyawaku....!"

   Bun Beng berkata, terharu, girang akan tetapi juga penuh hati khawatir mengingat betapa Ketua Thian-liong-pang, yang ia tahu adalah isteri pendekar sakti ini, berada di atas menara.

   "Bun Beng, mengapa engkau jatuh dari atas sana? Dan.... ahhh, kau terluka hebat...."

   Suma Han telah menurunkan Bun Beng yang duduk di atas tanah.

   "Engkau terkena pukulan beracun yang hebat sekali. Siapakah yang melukaimu? Apakah masih berada di atas sana?"

   Bun Beng ragu-ragu untuk menjawab, tidak ingin melihat pendekar ini berjumpa dengan Ketua Thian-liong-pang dan Milana. Tentu akan hebat akibatnya, dia pikir, maka dia menjadi bingung ketika mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba Kwi Hong mengayun tubuhnya meloncat ke atas tangga, kemudian mendaki tangga itu dengan cepat seperti berlarian ke atas.

   "Kwi Hong, jangan lancang!"

   Suma Han berseru dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang naik mendahului Kwi Hong yang mendaki tangga itu, melayang ke atas menara! Bun Beng ka-gum bukan main menyaksikan ini, matanya sampai berkunang melihat tubuh pendekar sakti itu mencelat ke atas, lalu berjungkir balik di udara dan melayang lebih tinggi sampai tiba di atas menara dan lenyap. Jantungnya berdebar tidak karuan. Apa akan terjadi kalau suami isteri itu berjumpa di sana, dan Pendekar Super Sakti mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterinya? Ia melihat Kwi Hong juga sudah sampai di atas. Tak lama kemudian tampak Kwi Hong turun lagi, lalu gadis ini meloncat ke dekat Bun Beng sambil berkata,

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 22 Kisah Pendekar Bongkok Eps 25 Pendekar Super Sakti Eps 28

Cari Blog Ini