Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 16


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



"Kau sendiri mengatakan bahwa ini daerah aman, Lopek."

   "Benar, memang tadinya kuanggap demikian. Akan tetapi di dalam pasar kuda tadi, aku melihat banyak mata yang memandang kepadaku secara sembunyi. Hal seperti itu sudah terlalu sering kualami sehingga aku dapat merasakannya. Juga, kalau aku tidak salah, aku melihat wajah seorang kakek yang menyelinap di antara banyak orang, padahal kalau aku tidak salah ingat, itu adalah wajah seorang tosu Pek-lian-kauw. Dan kabarnya Pek-lian-kauw juga sudah memasukkan tangan-tangan kotor ke dalam usaha pemberontakan ini."

   "Ihhh....!"

   Ceng Ceng menjadi kaget mendengar ini.

   "Keadaan menjadi berbahaya kalau begini, Nona."

   Souw Kee It mengerutkan alisnya dan menahan kudanya agar dia dapat menerangkan lebih jelas lagi.

   "Kalau sampai di dusun itu terdapat orang-orangnya pemberontak tanpa diketahui oleh Jenderal Kao, maka hal itu hanya berarti bahwa kaki tangan pemberontak sudah menyelundup ke utara. Mungkin saja di antara para pembantu Kao-goanswe sendiri ada yang sudah terpengaruh. Dan ini berbahaya bagi pertahanan di utara."

   "Habis, apa yang hendak kau lakukan, Lopek?"

   Ceng Ceng bertanya, khawatir juga mendengar suara orang tua itu yang amat serius. Tiba-tiba kakek itu memandang ke depan dan matanya terbelalak, lalu berkata,

   "Tenang, tak usah khawatir, akan tetapi siap menghadapi mereka itu. Kurasa mereka bukan orang-orang yang mengandung niat baik...."

   Ceng Ceng juga memandang ke depan dan tampaklah olehnya dua orang tosu dan dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua di antara para pembeli kuda tadi telah menghadang di depan. Kuda tunggangan empat orang itu ditambatkan pada pohon tak jauh dari situ dan jelaslah bahwa empat orang ini memang sengaja menanti dan menghadang mereka di tempat ini!

   "Lopek, hajar saja mereka!"

   Ceng Ceng berteriak dengan gemas dan kedua tangannya sudah meraba sepasang pisau belati yang diselipkan di pinggangnya. Memang mereka sudah bersiap sedia dan Souw Kee It telah memberikan dua batang pisau itu sebagaimana yang dipilihnya sendiri ketika pengawal itu menawarkan senjata apa yang paling digemarinya.

   "Kau hadapi dua orang mata-mata yang menyamar sebagai pedagang kuda itu, dan biarlah aku yang menghadapi dua orang tosu Pek-lian-kauw itu,"

   Bisik Souw Kee It. Ceng Ceng mengangguk dan dengan tenang keduanya turun dari atas kuda, menambatkan kuda mereka di pohon lalu menghampiri empat orang yang mengawasi gerak-gerik mereka tanpa berkata-kata itu. Biarpun dia merasa amat gemas dan marah, namun Ceng Ceng tidak berani sembrono turun tangan, melainkan membiarkan pengawal itu yang bicara.

   "Jiwi-totiang (bapak pendeta berdua) agaknya mempunyai keperluan denganku maka sengaja menanti di sini. Ada keperluan apakah?"

   Souw Kee It bertanya sambil menghadapi kedua orang tosu itu. Dua orang tosu itu tidak menjawab, melainkan membuat gerakan membuka jubah depan mereka, yang menutupi jubah di dalam dan tampaklah lukisan teratai putih di depan dada mereka. Tentu saja Souw Kee It sudah tahu sebelumnya bahwa dua orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw, akan tetapi dia berpura-pura kaget dan tidak mengerti.

   "Kalau tidak salah, ji-wi adalah tosu dari Pek-lian-kauw. Ada keperluan apakah dengan kami paman dan keponakan?"

   "Souw Kee It, tidak perlu kau berpura-pura lagi!"

   Tiba-tiba seorang di antara mereka, tosu yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata mengejek.

   "Dan tidak perlu lagi mengaku dia ini keponakanmu. Ketika dia masih menjadi pemuda berkumis, memang kami ragu-ragu. Souw Kee It, dan kau Nona! Hayo katakan di mana adanya Puteri Syanti Dewi!"

   Souw Kee It terkejut juga. Demikian hebat gerakan para pemberontak ini sehingga mata-matanya tersebar ke mana-mana, bahkan perjalanannya bersama Ceng Ceng, penyamaran dara itupun diketahui belaka oleh tosu-tosu ini. Yang tidak mereka ketahui, seperti yang dia sendiri pun belum mengetahui, adalah di mana adanya Putri Syanti Dewi. Hal ini melegakan hatinya, juga melegakan hati Ceng Ceng, karena berarti bahwa Syanti Dewi belum terjatuh ke tangan kaum pemberontak.

   "Pemberontak hina dina!"

   Bentak Souw Kee It dan tanpa banyak cakap lagi pengawal ini sudah meloncat ke depan, menerjang sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar terang. Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu juga sudah mencabut pedang masing-masing dan menangkis sambil membalas dengan serangan dahsyat.

   Namun, mudah saja serangan mereka ditangkis oleh Souw Kee It dan melihat gerakan-gerakan mereka, hati pengawal kawakan ini menjadi lega karena dia yakin akan dapat mengatasi mereka. Dia mengkhawatirkan Ceng Ceng yang juga sudah membentak nyaring dan sudah menerjang maju disambut oleh dua orang pedagang kuda palsu itu dengan golok mereka. Terdengar suara nyaring berdencing berkali-kali ketika dua orang pedagang kuda palsu itu sibuk menangkis sinar terang dari sepasang belati di ta-nga Ceng Ceng yang menyambar-nyambar ganas ke arah mereka! Tersenyumlah Souw Kee It menyaksikan sepak terjang dara dari Bhutan itu. Hebat dan lincah, dan dia maklum bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ceng Ceng. Hal ini membuat dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi dua orang tosu dari Pek-lian-kauw.

   "Nona Lu, mari cepat robohkan mereka!"

   Bentaknya karena pengawal ini maklum bahwa kalau para kaki tangan pemberontak ini mempunyai banyak kawan dan datang mengeroyok, keadaan akan menjadi berbahaya.

   "Baik, Lopek!"

   Ceng Ceng memang tadinya hendak mempermainkan dua orang lawannya, kini mendengar seruan itu dia memperhebat permainan sepasang pisau belatinya sehingga dua orang itu terdesak hebat! Souw Kee It juga sudah mengerahkan tenaga mengeluarkan kepandaiannya, pedangnya bergulung-gulung sinarnya tidak memberi kesempatan kepada dua orang pengeroyoknya yang main mundur terus. Terdengar bentakan keras dua, kali dari mulut pengawal itu dan robohlah dua orang tosu itu, roboh untuk tidak bangun kembali karena dada mereka tertembus pedang!

   "Haiiittt....!"

   Ceng Ceng yang merasa penasaran memekik dan pisaunya me-nyambar, berhasil merobek pipi kanan seorang lawan yang berteriak-teriak kesakitan.

   "Aku mencari bantuan....!"

   Seorang di antara mereka berteriak dan lari meninggalkan kawannya yang robek pipinya.

   "Lari ke mana?"

   Ceng Ceng membentak, tangan kirinya bergerak dan pisau belati yang kiri meluncur ke depan, mengejar lawan yang lari itu.

   "Auuggghhh....!"

   Orang itu roboh dan pisau belati hanya tampak gagangnya saja menancap di punggungnya. Orang ke dua yang terluka pipinya menjadi nekat, akan tetapi kaki kiri Ceng Ceng menendang, tepat mengenai pergelangan tangannya sehingga golok yang dipegangnya terlepas dan sebelum dia sempat mengelak, pisau belati Ceng Ceng sudah bersarang di dadanya, membuat dia roboh terjengkang dan tewas tak lama kemudian. Ceng Ceng mencabut dua batang pisaunya, membersihkan senjata itu di pakaian korbannya sambil mendengarkan pesan Souw Kee It,

   "Nona, sudah jelas bahwa pihak pemberontak telah menge-tahui keadaan kita. Hal ini membuktikan bahwa kaki tangan pemberontak telah menguasai pula daerah ini dan mungkin sekali sudah ada mata-mata yang menyelinap ke dalam pasukan penjaga tapal batas. Hal ini berbahaya sekali. Jenderal Kao adalah seorang panglima yang amat setia, akan tetapi kalau dia dikelilingi pemberontak tanpa diketahuinya, amatlah berbahaya. Sekali pertahanan di tapal batas ini bobol, bahaya utara akan membanjir ke selatan dan merupakan ancaman besar."

   "Kalau begitu, kita cepat menghadap Jenderal Kao untuk menceritakan keadaan, Lopek."

   Souw Kee It menggeleng kepala.

   "Kita harus membagi tugas. Di benteng terdekat sebelah barat sana yang bertugas sebagai seorang komandan seorang sahabatku. Aku akan pergi ke sana untuk cepat memperingatkan sahabatku itu agar dia dapat bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan engkau, Nona, harap kau lanjutkan perjalanan ini ke utara. Karena lebih tiga puluh li lagi dari sini, engkau akan tiba di benteng di mana kau dapat menghadap Jenderal Kao sendiri dan kau ceritakan segala yang kau telah ketahui dan dengar dari aku mengenai keadaan di ibu kota."

   Ceng Ceng mengangguk.

   "Baik, Lopek."

   Souw Kee It mengeluarkan sebuah benda dan memberikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata,

   "Kau bawalah tek-pai ini sebagai pelindung kalau terjadi sesuatu. Aku sendiri tidak memerlukannya karena Panglima Kim yang akan kuhubungi adalah wakil dari Jenderal Kao dan adalah bekas sahabatku ketika kami bersama bertugas di kota raja. Kalau kau menghadapi kesukaran dari pihak pasukan, tek-pai ini tentu akan menyelamatkanmu."

   Ceng Ceng menerima benda itu yang ternyata adalah sebuah tek-pai, yaitu sepotong bambu yang merupakan sebuah tanda bahwa pemegangnya telah diberi kuasa oleh pihak atasan. Biasanya, jika kaisar memberi kekuasaan kepada seseorang ponggawa untuk melakukan suatu pekerjaan penting, ponggawa ini diberi sebuah tek-pai. Akan tetapi tek-pai yang diserahkan oleh Souw Kee It kepada Ceng Ceng adalah tanda kuasa yang diberikan oleh Puteri Milana.

   "Berangkatlah, Nona dan hati-hatilah di jalan. Kurasa tidak akan ada gangguan lagi seperti tadi setelah Nona berada di dekat benteng pasukan Jenderal Kao."

   Mereka lalu berpisah dan Ceng Ceng lalu membalapkan kudanya menuju ke utara. Adapun Souw Kee It sendiri juga lalu meloncat ke atas kudanya, memutar kudanya menuju ke kiri di mana dia tahu ada markas dari pasukan yang dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao, yaitu Panglima Kim. Pencegatan tosu Pek-lian-kauw tadi terjadi di daerah kekuasaan pasukan Panglima Kim, maka dia perlu sekali harus cepat memberi tahu bekas sahabatnya itu agar dapat mengadakan operasi pembersihan karena dia yakin bahwa tentu daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak.

   Memang daerah yang merupakan front ke dua ini dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao Liang, yaitu Panglima Kim Bouw Sin yang dahulu pernah menjadi pengawal kaisar, rekan dari Souw Kee It. Panglima Kim Bouw Sin yang berusia lima puluh tahun ini bertubuh kecil tinggi, bermata tajam dan dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu perang, selain ahli pula dalam ilmu silat. Dahulunya dia hanya seorang guru silat yang karena kepandaiannya yang tinggi maka banyak putera bangsawan menjadi muridnya di kota raja. Akhirnya dia diangkat menjadi pengawal dan memang orang she Kim ini amat rajin dan pandai pula mengambil hati bekas-bekas muridnya yang banyak terdapat diantara para pangeran sehingga akhirnya dia terus naik pangkat sampai menjadi wakil Jenderal Kao Liang dan mengepalai puluhan ribu perajurit di tapal batas utara.

   Akan tetapi, kenaikan demi kenaikan yang membawanya ke tempat yang lebih tinggi dan mulia, kedudukan demi kedudukan yang telah dicapainya itu sama sekali tidak pernah memadamkan api cita-cita yang selalu berkobar di dalam dada Kim Bouw Sin. Tidak pernah membuat dia merasa puas dan cukup. Cita-cita atau ambisinya terus meningkat dan kedudukan wakil panglima komandan perbatasan masih jauh daripada memuaskan hatinya yang penuh ambisi, karena di sana, jauh di tinggi, masih tampak kedudukan panglima, kedudukan menteri-menteri, perdana menteri, panglima tertinggi dan kaisar sendiri! Ambisi inilah yang kemudian menyeret dia untuk diam-diam bersekutu dengan Pangeran Liong Bin Ong dan biarpun secara terang-terangan dia menjadi wakil panglima di perbatasan utara, namun gelap-gelapan dia adalah pemimpin pemberontak, kepercayaan Liong Bin Ong yang sudah siap melakukan gerakan besar di utara!

   Seperti halnya Kim Bouw Sin, seperti pula dapat kita lihat dalam penghidupan manusia sehari-hari, betapa kita ini dicengkeram, dibuai dan dipermainkan oleh cita-cita, oleh ambisi. Cita-cita dan ambisi adalah masa depan sehingga kita hidup seperti dalam mimpi, hidup dituntun oleh masa depan sehingga kita menjadi seperti buta akan masa kini, saat ini, tidak dapat melihat segala keindahan dan kebahagiaan saat ini karena mata kita selalu kita tujukan ke depan dan ke atas! Kita selalu mementingkan tujuan, sehingga terjadilah kepalsuan-kepalsuan dalam cara atau tindakan karena semua itu dituntun demi mencapai tujuan! Karena mementingkan tujuan, maka timbullah perb"atan-perbuatan yang palsu, karena yang penting bukanlah caranya lagi, melainkan tujuannya.

   Timbullah anggapan palsu bahwa tujuan menghalalkan secara cara! Maka terjadilah segala kepalsuan yang dapat kita lihat sehari-hari di dalam kehidupan kita. Betapa demi tujuan men-dapatkan keuntungan, kita tidak segansegan untuk mencapainya dengan cara apapun, dengan judi, dengan korupsi, dengan penyogokan, dengan penipuan dagang, dengan penyelundupan, dan banyak lagi macamnya. Semua itu kita lakukan demi untuk satu tujuan, yaku mencari keuntungan! Lebih hebat lagi, demi tujuan mencapai kemenangan, kita manusia saling bunuh-membunuh dalam perang, bahkan tidak segan-segan memakai nama Tuhan, negara, bangsa dan lain-lain yang hanya merupakan suatu cara palsu untuk mencapai tujuan, yaitu kemenangan tadi!

   Umumnya kita menganggap bahwa cita-cita atau ambisi mendatangkan kemajuan! Kalau tidak bercita-cita, tidak ada kemajuan, demikian kita berkata dan anggapan atau pendapat ini telah berakar di dalam hati dan pikiran. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata dan mempelajarlnya, benarkah demikian? Benarkah ambisi mendatangkan kemajuan? Kalau kita ukur kemajuan dengan lembaran uang, mungkin ada benarnya, yaitu bahwa ambisi mendatangkan uang! Akan tetapi, apakah itu suatu kemajuan? Apakah itu dapat dikatakan maju kalau menjadi kaya-raya karena korupsi, karena dagang gelap, karena penipuan dan lain-lain? Apa artinya kaya-raya kalau batinnya miskin? Dapatkah kekayaan mendatangkan kebahagiaan? Tanya saja kepada para hartawan dan semua akan menjawab pertanyaan itu dengan geleng kepala!

   Yang penting adalah sekarang ini! Saat ini! Tindakan ini! Cara ini! Bukan tujuannya, bukan cita-citanya! Kalau caranya atau tindakannya benar, tujuannya pun benar! Biarpun tujuannya benar, kalau caranya tidak benar, tujuannya pun menjadi tidak benar! Daripada membiarkan pikiran melamun dan membayangkan tujuan atau cita-cita atau ambisi di masa depan, hal-hal yang belum ada dan hanya merupakan khayal belaka, marilah kita tujukan seluruh perhatian kita kepada saat ini, saat demi saat sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, semua kita lakukan dengan kesadaran sepenuhnya, dengan perhatian sepenuhnya, sehingga kita dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Dengan demikian akan timbul kewaspadaan, kita dapat melihat yang palsu sebagai palsu dalam diri kita sendiri dan di luar diri kita.

   Souw Kee It sama sekali tidak pernah mengira bahwa bekas sahabat dan rekannya itu kini telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong Bin Ong. Dia datang dan menghadap bekas temannya yang telah menjadi wakil panglima per-batasan itu. Akan tetapi begitu dia menceritakan tentang pencegatan dua orang tosu Pek-llan-kauw dan dua orang kaki tangan pemberontak lain yang berhasil dibunuhnya, seketika dia disergap. Dikeroyok dan akhirnya, dalam perlawanan mati-matian, pengawal kaisar yang gagah perkasa ini tewas di depan kaki Panglima Kim Bouw Sin! Souw Kee It telah menceritakan betapa pengawal itu bersama adik angkat Puteri Syanti Dewi telah tiba di utara dan bahkan telah mengetahui bahwa di utara terdapat kaki tangan pemberontak! Dan sekarang gadis itu telah menuju ke markas Jenderal Kao!

   Hal ini tentu saja menggegerkan hati Kim Bouw Sin dan kawan-kawannya. Maka setelah menyingkirkan mayat pengawal Souw Kee It, Panglima Kim Bouw Sin segera memanggil semua sekutunya untuk mengadakan perundingan kilat! Yang hadir dalam perundingan itu selain Panglima Kim Bouw Sin sendiri, juga dua orang utusan Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi penghubung, dan tiga orang kepala suku Mongol yang memusuhi pemerintah. Memang Kim Bouw Sin amat cerdik. Untuk memperkuat kedudukannya dan memperkuat barisan kalau kelak tiba masanya bahwa pasukannya harus digerakkan ke selatan, diam-diam dia telah mengadakan persekutuan dengan suku-suku liar di luar tembok besar dan telah mengadakan kontak dengan tiga orang kepala suku Mongol itu.

   "Rahasia telah terbuka, mungkin sekarang Jenderal Kao telah mendengar dari gadis itu,"

   Demikian antara lain Panglima Kim berkata kepada lima orang itu.

   "Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu terlalu sembrono, turun tangan tanpa melihat keadaan lawan lebih dulu. Selain mereka gagal, juga tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Jenderal Kao."

   "Bagi Pangeran Liong, hal itu tidak membahayakan,"

   Kata seorang di antara tiga orang utusan Pengeran Liong Bin Ong,

   "karena kabar pemberontakan itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya. Akan tetapi tidak demikian dengan kedudukan ciangkun (panglima) di sini. Jenderal Kao terkenal keras, dan Ciangkun sebagai bawahannya tentu dapat dia perlakukan sesuka hatinya."

   "Itulah yang memusingkan hatiku!"

   Panglima Kim menghantam meja di depannya.

   "Kecuali kalau dia dapat disingkirkan lebih dulu, lebih pagi daripada rencana semula! Tetapi, pasukannya belum dapat kita kuasai seluruhnya sehingga hal itu tentu amat sukar dilakukan."

   "Bukankah Jenderal Kao suka sekali melakukan penyelidikan dan perondaan sendiri, hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang terkenal?"

   Kata seorang di antara utusan Pangeran Liong.

   "Bagaimana kalau dipergunakan akal untuk memancingnya keluar bersama para pengawalnya itu dan kita sergap dia?"

   Kim Bouw Sin mengangguk.

   "Memang ada rencana itu, akan tetapi kalau keta-huan bahwa dia tewas, tentu akan timbul kegemparan dan mungkin pasukan yang setia kepadanya akan menimbulkan keributan. Kecuali kalau pasukannya sudah dapat kita kuasai atau.... kalau dapat melenyapkannya tanpa menimbulkan jejak...."

   Tiba-tiba seorang kepala suku Mongol yang kumisnya panjang bergantungan dari kanan kiri mulai menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan semua orang yang hadir.

   "Dapat sekarang!"

   Teriaknya sehingga semua orang memandangnya penuh perhatian.

   "Sumur maut! Tempat itu dapat kita pergunakan untuk memancing dan menjebak Jenderal Kao!"

   Enam orang itu segera bicara berbisik-bisik mengatur rencana,

   Mereka menggunakan siasat keji untuk membunuh Jenderal Kao tanpa diketahui orang dan menimbulkan kesan bahwa jenderal itu terbunuh oleh suku bangsa liar yang memusuhi pemerintah. Panglima Kim Bouw Sin kelihatan girang bukan main, wajahnya berseri gembira, di dalam hatinya dia merasa betapa dia dan sekutunya melalukan sesuatu yang cerdik dan yang benar! Demikianlah keadaan batin seseorang yang telah diracuni oleh cita-cita, demi tercapainya cita-cita itu, segala cara dianggapnya baik dan benar belaka. Yang baik dan yang benar hanya diukur dari keuntungan bagi diri pribadi. Yang menguntungkan diri sendiri, lahir maupun batin, maka sudah baik dan benarlah itu! Dengan pedoman hidup seperti ini di antara kita semua, herankah kita kalau dunia ini selalu kacau dan ribut, kekerasan, permusuhan dan peperangan terjadi di seluruh dunia?

   "Berhenti!"

   Tiba-tiba bermunculan perajurit-perajurit yang agaknya tadi bersembunyi di balik batu-batu gunung dan lebih dari dua puluh orang perajurit sudah mengepung Ceng Ceng yang cepat menahan kudanya. Melihat sikap mereka yang galak dan berbaris rapi, diam-diam Ceng Ceng menjadi kagum. Mudah diduga bahwa perajurit-perajurit ini merupakan anggauta pasukan pilihan yang kuat, akan tetapi di samping kekagumannya, dia pun merasa penasaran. Dia seorang wanita, akan tetapi pasukan ini memperlihatkan sikap demikian keras dan kaku. Wataknya yang nakal membuat dia ingin sekali menggoda para perajurit Jenderal Kao ini.

   "Heiiii, kenapa kalian menyuruh aku berhenti?"

   Teriaknya. Seorang di antara mereka, komandannya yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar dan tegap, melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring,
(Lanjut ke Jilid 16)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16
"Nona, kau melanggar wilayah penjagaan kami. Kau tidak boleh terus dan harus kembali."

   Ceng Ceng tersenyum.

   "Aihh, tanah, pasir dan gunung ini bukan kalian yang bikin, mengapa hendak melarang orang lewat? Bagaimana kalau aku tidak mau kembali dan hendak terus?"

   "Terpaksa kau akan kami tangkap dan kami hadapkan kepada atasan kami untuk diperiksa."

   "Begitu mudah?"

   Ceng Geng tersenyum mengejek.

   "Coba tangkap aku kalau bisa!"

   Para perajurit itu saling pandang, ada yang merasa penasaran dan marah menyaksikan lagak dara remaja itu, ada pula yang tersenyum geli, akan tetapi tidak ada seorang pun berani bergerak karena mereka menanti perintah komadan mereka.

   "Nona, jangan bergurau. Kembalilah saja, atau turun dari kuda untuk kami hadapkan kepada atasan kami,"

   Berkata komandan tinggi besar itu dengan wajah sungguh-sungguh.

   "Dan aku tidak bergurau, melainkan menantang kalian semua untuk menangkap aku kalau bisa!"

   Merah wajah komandan itu. Dia merasa dipermainkan oleh anak perempuan ini di depan anak buahnya.

   "Tangkap dia!"

   Teriaknya memberi aba-aba. Setelah terdengar aba-aba ini, barulah para perajurit bergerak, mengulur tangan dan seolah-olah hendak berlomba menangkap atau menjamah tubuh dara remaja yang cantik manis dan menggemaskan hati itu! Ceng Ceng tertawa, kakinya bergerak dan tubuhnya sudah mencelat dan melayang melalui atas kepala mereka, bagaikan seekor burung saja gadis ini meloncat dari atas kudanya melalui kepala para perajurit dan turun ke atas tanah di luar kepungan sambil tertawa-tawa. Ceng Ceng menggapai kepada para perajurit yang kini membalikkan tubuh memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

   "Mari, mari! Siapa yang merasa ada kepandaian, boleh maju! Atau kalau kalian tidak tahu malu, boleh mengeroyok aku!"

   Tentu saja para perajurit menjadi marah dan bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba komandan tinggi besar itu berteriak,

   "Tahan!"

   Serentak para perajurit menghentikan gerakan mereka dan berdiri tegak menanti perintah komandan mereka. Akan tetapi komandan itu melambaikan tangannya memberi isyarat agar mereka mundur, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Ceng Ceng. Sejenak dia memandang dara itu penuh perhatian dan kecurigaan, kemudian dia berkata,

   "Nona, sebetulnya siapakah engkau, ada keperluan apa datang ke tempat ini dan mengapa menantang kami?"

   Ceng Ceng yang sudah kumat nakalnya dan memang sengaja hendak mempermainkan orang, tersenyum dan berkata,

   "Soal nama dan keperluan nanti saja. Sekarang karena aku dilarang melanjutkan perjalanan, aku tantang siapa saja di antara kalian. Kalau aku kalah, aku akan kembali tanpa banyak cerewet lagi, akan tetapi kalau aku menang, kalian harus membolehkan aku melanjutkan perjalananku...."

   Komandan itu menggeleng-gelengkan kepala.

   "Peraturan di sini tidak boleh diubah oleh siapapun juga, Nona. Siapa yang melanggar akan berhadapan dengan kami."

   "Aku tidak mau tunduk akan peraturan itu!"

   "Kalau begitu terpaksa Nona akan kutangkap."

   "Cobalah!"

   Akan tetapi kembali komandan itu ragu-ragu.

   "Aku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak suka memukul wanita. Akan tetapi harap Nona ketahui bahwa kami telah berbulan-bulan bertugas di sini dan jauh dari wanita, maka jangan katakan aku kurang ajar kalau tangan-tanganku menjadi gatal."

   Para perajurit tertawa mendengar kelakar komandan mereka ini, dan wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa komandan itu bukan bermaksud untuk kurang ajar melainkan bicara sejujurnya, dia pun mejawab,

   "Tidak usah banyak sungkan, Ciangkun. Mari perlihatkan kepandaianmu."

   "Heiiiiitttt!"

   Komandan itu yang juga memiliki ilmu silat cukup tangguh sudah bergerak maju, menubruk dengan kedua lengannya dipentang lebar.

   "Yaaaahhhh!"

   Dengan lincahnya Ceng Ceng mengelak dan tubuhnya yang kecil ramping itu lolos dari bawah lengan kanan komandan itu, tidak lupa untuk menggerakkan tangan kiri menampar belakang pundak kanan.

   "Plakkk!"

   Tubuh komandan itu terhuyung-huyung dan wajahnya kelihatan kaget bukan main.

   Tak disangkanya bahwa tubrukannya itu tidak hanya dapat dielakkan, malah dia kena ditampar, tamparan main-mainan saja karena kalau dara itu menghendaki, tamparan itu tentu dapat diubah menjadi pukulan yag berbahaya. Tahulah dia bahwa gadis ini memang berllmu tinggi maka berani berlagak seperti itu, maka dia tidak menjadi sungkan-sungkan lagi dan sambil berteriak keras mulailah dia menyerang, bukan sekedar untuk mengalahkan. Ceng Ceng yang memang hanya ingin mempermainkan, menggunakan gin-kangnya dan dengan amat lincah dia selalu dapat mengelak dari semua serangan lawan tanpa membalas karena dia memang tidak berniat untuk bermusuhan. Kemudian, ketika komandan itu menyerangnya dengan dahsyat, menggunakan lengan kanan untuk memukul ke arah lambung dan tangan kirinya mencengkeram pundak, Ceng Ceng mengelak dengan loncatan ke kanan sambil menggerakkan kepalanya.

   "Plak! Plak!"

   Komadan itu terkejut dan cepat meloncat mundur sambil terhuyung-huyung karena tadi dua helai kuncir dara itu dengan tepat telah menyambar dan mengenai leher dan dadanya. Melihat ini, para perajurit sudah bergerak maju hendak menolong dan membantu komandan mereka, akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang sambil berseru keras,

   "Tahan....!"

   Komandan itu sudah mencabut pedangnya dan dengan mata terbelalak marah memandang. Ceng Ceng cepat menjura kepadanya dan berkata,

   "Harap Ciangkun maafkan. Sebetulnya saya hanya main-main saja. Saya hendak menghadap Jenderal Kao Liang, harap Ciangkun mengantar saya kepadanya."

   Komandan itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia menjadi makin curiga. Gadis ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kedatangannya demikian mencurigakan dan sekarang menyatakan ingin bertemu dengan Jenderal Kao Liang, tentu saja dia menjadi curiga sekali.

   "Nona, terpaksa kami hanya dapat menghadapkan engkau sebagai seorang tangkapan."

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ceng Ceng tersenyum, lalu merogoh saku mengeluarkan tek-pai yang diterimanya dari Pengawal Souw Kee It, menyodorkan tek-pai itu ke depan perwira komandan itu sambil berkata,

   "Apakah engkau masih mencurigai aku?"

   Komandan itu memandang tek-pai, bambu kuasa itu dan setelah membaca dan mengenal tulisan di atas tek-pai, melihat cap kebesaran Puteri Milana sendiri, cepat dia menjatuhkan diri berlutut. Para perajuritnya terkejut dan biarpun mereka belum mengerti jelas, mereka pun cepat meniru perbuatan komandan mereka, berlutut.

   "Harap Nona maafkan kami yang tidak mengenal Nona,"

   Kata komandan itu.

   "Aihh, tidak apa-apa, Ciangkun. Salahku sendiri karena memang aku yang ingin main-main dengan pasukanmu yang begini perkasa. Nah, sekarang antarkanlah aku menghadap Jenderal Kao Liang."

   "Baik, Nona."

   Komandan itu meninggalkan perintah kepada anak buahnya, dan dia sendiri lalu mengantarkan Ceng Ceng memasuki benteng besar di mana terdapat penjagaan yang ketat dan mengagumkan hati Ceng Ceng. Dia maklum betapa akan sukarnya memasuki benteng yang terjaga kuat ini apabila tidak diantarkan oleh komandan itu. Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa itu menerima kedatangan Ceng Ceng dengan ramah, apalagi ketika Ceng Ceng memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) dari Puteri Milana dan menceritakan bahwa dia mewakili Perwira Pengawal Souw Kee It.

   "Aih, sungguh patut dipuji seorang wanita muda seperti Nona menempuh segala kesukaran untuk membantu negara. Nona amat gagah perkasa! Silahan duduk di ruangan dalam dan ceritakan semua tugas Nona datang menjumpai kami,"

   Kata jenderal itu yang mengajak Ceng Ceng duduk di ruangan dalam. Setelah minum teh yang disuguhkan, Ceng Ceng mulai dengan penuturannya.

   "Souw-ciangkun sekarang pergi ke ben-teng di barat sana untuk melaporkan bahwa daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak. Kami berdua telah dicegat oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan kaki tangannya. Menurut Souw-ciangkun, pemberontak yang sekarang sedang berusaha untuk menghimpun kekuatannya, tidak hanya bergerak di barat, melainkan agaknya juga sudah mulai mengulur tangan kotor di daerah perbatasan ini."

   Jenderal Kao Liang tertawa sambil mengangkat cawan arak dan minum arak dengan lahapnya. Dia kuat sekali minum dan tidak pernah menjadi mabuk.

   "Ha-ha-ha, harap tenangkan hatimu, Nona. Pemberontak-pemberontak itu hanya besar mulut saja, akan tetapi tidak ada artinya. Bahkan baru-baru ini aku sendiri sudah melakukan pemeriksaan ke barat, memimpin operasi pembersihan membasmi para pemberontak yang berani mengganggu perbatasan barat. Kalau ada pemberontak yang berani muncul di daerah ini, tentu akan kusapu sampai bersih!"

   Kembali dia tertawa bangga lalu melanjutkan.

   "Sayang bahwa para penjahat itu berhasil mencegat rombongan Puteri Bhutan sehingga sang puteri kabarnya lenyap. Akan tetapi, Kerajaan Bhutan tentu mau be-kerja sama dengan kami untuk membasmi para pemberontak di sana yang sebetulnya hanya merupakan segerombolan orang liar dan biadab, di bawah pimpinan penjahat besar Tambolon."

   "Agaknya Tai-ciangkun belum tahu jelas akan keadaan yang lebih parah dan berbahaya daripada yang Tai-ciangkun kira."

   Ceng Ceng berkata,

   "Hendaknya diketahui bahwa saya adalah Lu Ceng, atau Candra Dewi, saudara angkat dengan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, dan saya pula yang menjadi pengawal pribadinya ketika diboyong ke kota raja."

   "Ehhh....?"

   Jenderal itu terkejut juga dan kini memandang kepada Ceng Ceng penuh perhatian. Ceng Ceng lalu menceritakan semua pengalamannya bersama Syanti Dewi yang sekarang entah berada di mana akan tetapi yang menurut kabar diselamatkan oleh seorang nelayan dan pasti belum terjatuh ke tangan pemberontak. Kemudian dia menceritakan pula pertemuannya dengan Ang Tek Hoat yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong si pemberontak, menceritakan pula percakapan yang didengarnya antara Ang Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong. Mendengar semua itu, barulah Jenderal Kao tidak memandang ringan lagi, bahkan dia menggebrak meja.

   "Celaka! Kiranya di kota raja sendiri telah penuh dengan manusia-manusia khianat! Kalau begitu, aku sendiri harus ke kota raja untuk memperingatkan kaisar dan berunding dengan Puteri Milana yang bijaksana. Ahhh, pengkhianat-pengkhianat yang tak mengenal budi itu harus dibasmi secepat mungkin sebelum gerakan mereka menjadi besar!"

   Pada saat itu, seorang pengawal melangkah masuk dan memberi hormat kepada Jenderal Kao sambil berkata,

   "Kim-ciangkun datang dan mohon menghadap!"

   "Ah, dia datang? Suruh masuk cepat!"

   Kata jenderal itu. Ketika Panglima Kim Bouw Sin memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepada Jenderal Kao, Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Panglima Kim adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh tahun, mukanya pucat dan matanya sipit sekali. Karena tahu bahwa panglima ini adalah sahabat baik Souw Kee It, maka begitu panglima itu duduk dia bertanya,

   "Kim-ciangkun, bukankah Souw-lopek sudah bertemu denganmu?"

   Kim Bouw Sin memandang dara itu lalu tertawa.

   "Tentu Nona adalah Nona Lu Ceng dari Bhutan seperti yang diceritakan oleh Souw-sicu. Memang dia telah bertemu denganku, Nona. Bahkan kini dia membantu menjadi penunjuk jalan bagi pasukan yang kukirimkan untuk melakukan pembersihan ke dusun tempat jual kuda itu."

   "Hemm, Kim-ciangkun! Mengapa urusan besar seperti itu kau serahkan saja kepada bawahanmu dan tidak kau pimpin sendiri? Kita harus mengadakan pembersihan jangan sampai kaki tangan pemberontak memperlebar sayapnya di daerah ini!"

   Jenderal Kao menegur bawahannya. Kim Bouw Sin cepat menghadapi atasannya itu dan berkata,

   "Memang sebenarnya harus saya sendiri yang memimpin operasi pembersihan itu. Akan tetapi, ada hal lain yang lebih penting lagi dan yang harus saya laporkan sendiri kepada Goanswe."

   "Hemm.... berita apakah yang begitu penting?"

   "Para peyelidik kami mendapat kete-rangan bahwa pada hari besuk, para kepala suku mengadakan pertemuan dan perundingan tidak jauh dari sini dan mereka itu akan menerima kujungan seorang kaki tangan penberontak yang tentu akan melakukan pembujukan kepada para kepala suku untuk bersekutu dengan pihak pemberontak."

   Wajah Jenderal Kao berubah merah sekali dan dia menggebrak meja.

   "Bagaimana bisa ada kejadian seperti ini? Selama ini para kepala suku itu baik dengan kita!"

   Dengan sikap agak ketakutan Kim-ciangkun berkata,

   "Akan tetapi, pihak pemberontak itu tentu telah berhasil membujuk mereka yang mata duitan dengan menyerahkan hadiah-hadiah. Kalau Goanswe mengijinkan, saya akan melakukan penyelidikan sendiri ke tempat itu."

   "Tidak! Hal ini terlalu penting sehingga harus aku sendiri yang melakukan penyelidikan. Di mana tempat itu?"

   "Di sekitar sumur maut di tengah padang pasir."

   "Hemm, tempat terpencil dan mengerikan itu?"

   Jenderal Kao membelai jenggotnya,

   "Baik, biarlah aku akan menyelidikinya sendiri."

   "Kalau begitu baik sekali, dan saya akan menyusul ke selatan, memimpin sendiri operasi pembersihan di dusun pasar kuda,"

   Kata Kim Bouw Sin yang segera pamit dan keluar meninggalkan tempat itu. Jenderal Kao lalu menyuruh seorang pengawal mengantar Ceng Ceng ke sebuah kamar tamu agar dara itu dapat beristirahat sambil menanti kembalinya Souw Kee It, karena dia sendiri sibuk mempersiapkan tiga belas orang pengawalnya dan mengatur rencana untuk menyelidiki sumur maut yang dijadikan tempat pertemuan para kepala suku itu.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jenderal Kao telah berangkat meninggalkan benteng itu. Seperti biasanya tiap kali dia mengadakan perondaan atau penyelidikan, dia hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang gagah perkasa dan setia. Derap kaki kuda di luar itu membangunkan Ceng Ceng dari tidurnya. Dia membuka pintu kamar dan bertanya kepada pelayan, mendapat keterangan bahwa Jenderal Kao telah berangkat. Ceng Ceng lalu mandi, bertukar pakaian lalu keluar dari bangunan itu melihat-lihat. Akan tetapi baru saja dia keluar, tampak olehnya seorang laki-laki berpakaian perwira menengah berjalan dengan amat cepatnya sambil menengok ke kanan kiri.

   Jelas nampak olehnya betapa orang itu seperti tergesa-gesa dan hati-hati sehingga timbullah kecurigaan hatinya. Apalagi orang itu agaknya baru saja meninggalkan tempat di mana dia menginap, padahal dia sejak kemarin tidak pernah bertemu dengan orang itu, seolah-olah orang itu telah bersembunyi di situ. Ketika melihat orang berpakaian perwira itu memasuki sebuah pondok, Ceng Ceng cepat menggunakan kepandaiannya untuk meloncat ke atas genteng dan tak lama kemudian dia sudah mengintai dan mendengarkan dari atas. Perwira itu telah bertemu dengan seorang perwira lain dan biarpun percakapan mereka hanya singkat saja, namun cukuplah bagi Ceng Ceng mengetahui siapa adanya mereka.

   "Cepat kau pergi melaporkan Kim-ciangkun bahwa dia telah berangkat,"

   Kata perwira yang dibayanginya tadi.

   "Baik, dan kau mempersiapkan semua teman agar mengendalikan semua pasukan di sini,"

   Kata orang ke dua.

   "Ya, setelah itu aku akan menyusul mereka untuk melihat apakah semua berjalan menurut rencana. Sebaliknya, sebelum engkau berangkat kepada Kim-ciangkun, engkau yang menghubungi teman-teman di sini. Jangan lupa gadis itu, harus secepatnya dibikin tidak berdaya. Aku akan berangkat sekarang, khawatir kalau-kalau terjadi perubahan dan kega-galan di sana."

   Selanjutnya mereka berbisik-bisik dan Ceng Ceng cepat meloncat turun, menyelinap di depan pondok itu dan bersembunyi di tempat yang masih gelap. Percakapan yang didengarnya itu cukup baginya dan amat mengejutkan.

   Jelas bahwa kedua orang itu tentulah mata-mata pemberontak yang menyelinap dan berhasil menjadi perwira-perwira di situ, atau juga perwira-perwira yang telah dibujuk oleh pihak pemberontak. Yang amat mengejutkan hatinya adalah disebutnya Kim-ciangkun! Agaknya Kim-ciangkun juga sekutu mereka! Jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan Souw Kee It yang belum juga muncul setelah pengawal itu pergi mengunjungi Kim-ciangkun. Kecurigaan besar timbul di dalam hatinya. Dia khawatir bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik menimpa diri pengawal itu. Akan tetapi Ceng Ceng maklum bahwa dia menghadapi orang yang memiliki pasukan besar, yang tak mungkin dilawannya begitu saja. Jalan satu-satunya adalah melapor secepatnya kepada Jenderal Kao yang telah pergi. Dan orang berpakaian perwira itu agaknya akan menyusul rombongan Jenderal Kao untuk melihat apakah rencana mereka berjalan lancar.

   Ceng Ceng segera mengambil keputusan dan melihat perwira itu berkelebat ke luar, cepat dia membayangi dari jauh. Perwira itu keluar dari benteng, naik kuda dan membalap ke arah utara! Ceng Ceng terpaksa menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi sebentar saja sudah tertinggal jauh dan akhirnya perwira berkuda yang dibayanginya itu lenyap. Untung baginya bahwa jejak tapak kaki kuda yang dikejarnya dapat dilihat jelas maka dia dapat terus melakukan pengejaran ke utara dengan melihat tapak kaki kuda perwira itu. Sementara itu, Jenderal Kao Liang dan tiga belas orang pengawalnya telah tiba di daerah sumur maut. Dengan teliti jenderal itu bersama para pengawalnya memeriksa keadaan di sekitar itu, namun yang tampak hanyalah padang pasir yang luas, tidak kelihatan ada seorang pun manusia.

   Sumur maut yang berada di tengah-tengah padang pasir itu pun sunyi saja, hanya tampak dari jauh sebagai suatu lubang yang dikelilingi batu-batu besar yang berserakan. Tidak ada suara apa-apa, tidak ada gerakan apa-apa. Jenderal Kao telah memecah pasukan pengawalnya menjadi empat untuk memeriksa di empat jurusan, namun mereka semua kembali dengan tangan hampa, karena memang tidak terdapat seorang pun manusia di sekitar daerah yang amat sunyi itu. Setelah menanti sampai lama namun tidak juga ada datang kepala-kepala suku seperti yang dikabarkan akan mengadakan pertemuan rahasia di situ, Jenderal Kao mulai menjadi penasaran dan curiga. Apakah berita itu hanya berita bohong belaka?

   "Mari kita periksa sumur itu!"

   Akhirnya dia berkata dan bergeraklah rombongan ini mendekati sumur. Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring disusul suara derap kaki kuda.

   "Jangan mendekati sumur itu....!"

   Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya Ceng Ceng yang datang menunggang kuda dengan cepat sekali dan dara itu yang tadi berteriak. Dara ini telah berhasil mengejar perwira berkuda ketika perwira itu turun dari kudanya setelah tiba dekat daerah sumur maut dan selagi perwira itu mengintai dari jauh, Ceng Ceng menyergapnya.

   Perwira itu berusaha melawan, namun dia bukanlah lawan dara perkasa dari Bhutan ini, dan dengan mudah Ceng Ceng berhasil merobohkannya. Karena perwira itu tetap membungkam ketika Ceng Ceng berusaha membongkar rahasianya, akhirnya Ceng Ceng menotoknya lumpuh lalu menggunakan kuda perwira itu untuk membalap dan menyusul Jenderal Kao. Melihat keadaan yang amat sunyi di situ, dan melihat Jenderal Kao dan anak buahnya bergerak mendekati sumur, Ceng Ceng menjadi curiga dan khawatir, maka dia lalu berteriak memperingatkan jenderal itu. Ketika Jenderal Kao Liang dan anak buahnya terkejut dan menengok, tepat pada saat itu mereka melihat anak panah berapi meluncur ke atas langit dari empat jurusan dan terdengar suara keras.

   Batu-batu di sekitar sumur maut itu terpental dan dari bawahnya berlompatan ke luar belasan orang, kemudian meluncurlah senjata-senjata rahasia dari tangan mereka, seperti hujan menyerang kepada Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya! Mereka terkejut namun sebagai orang-orang gagah yang sudah biasa menghadapi bahaya, mereka cepat mengelak dan mencabut senjata masing-masing. Sementara itu, Ceng Ceng yang masih membalapkan kudanya, tiba-tiba berteriak kaget, kudanya terjungkal roboh karena perut kuda itu telah robek dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek yang tadinya bersembunyi di bawah pasir. Kakek kurus yang berjenggot pendek dan kuncir rambutnya melibat leher. Dengan amat cekatan Ceng Ceng meloncat turun sewaktu kudanya terjungkal, akan tetapi tiba-tiba dia sudah diserang oleh kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangan terbuka yang mendatangkan angin bersiutan,

   Tanda bahwa kedua tangan kakek itu mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat! Ceng Ceng berteriak marah, mengelak dan sudah mencabut keluar sepasang pisau belatinya, membalas dengan serangan-serangan dahsyat. Jenderal Kao dan anak buahnya juga sudah menghadapi serbuan lima belas orang yang tadi bersembunyi di dalam pasir di bawah batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi yang sengaja didatangkan dari selatan untuk membunuh Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya. Namun, jenderal yang gagah perkasa itu berteriak-terlak seperti seekor singa, mengamuk dengan hebat bersama tiga belas orang pengawalnya yang setia sehingga lima belas orang pembunuh bayaran itu menjadi kewalahan, bahkan terdesak hebat.

   Dua orang sudah roboh oleh pedang dan hantaman tangan jenderal perkasa itu. Akan tetapi, tiba-tiba dari empat penjuru tampak pasukan datang berkuda. Biarpun jumlah mereka tidak banyak, namun setelah berkumpul, tidak kurang dari seratus orang anak buah suku bangsa liar mengepung tempat itu dan langsung menyerbu dan mengeroyok Jenderal Kao Liang dan anak buahnya! Ceng Ceng menjadi terkejut bukan main. Kalau tadi dia merasa agak lega melihat betapa para penjahat hanya berjumlah belasan orang dan Jenderal Kao bersama anak buahnya adalah orang-orang pandai, sehingga tidak khawatir akan kalah, kini melihat datangnya seratus orang liar itu dia menjadi khawatir sekali. Kakek yang mendesaknya juga ternyata amat lihai.

   "Haiiiiittttt....!"

   Ceng Ceng berteriak nyaring, kedua pisaunya menyambar dari kanan kiri, menyilang dengan gerakan berkelebat cepat seperti sambaran kilat. Menghadapi serangan dahsyat dan bertubi ini, kakek itu melompat mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk lari menghampiri rombongan Jenderal Kao Liang. Melihat gadis ini, Jenderal Kao tertawa,

   "Ha-ha-ha, kau hebat sekali, Nona! Benar-benar aku merasa kagum dan andaikata kita gagal membasmi mereka ini, melihat Nona yang begini gagah perkasa merupakan penglihatan terakhir yang akan menjadi bekal menyenangkan ke alam baka!"

   Diam-diam Ceng Ceng kagum sekali.

   "Hyaaaattt....! Ceppp....! Desss....!"

   Dua orang Mongol roboh oleh pisau dan tendangan kakinya. Setelah merobohkan dua orang itu, sambil mengelak dan menangkisi hujan golok dan tombak, Ceng Ceng menjawab,

   "Kao-ciangkun, pembantumu itu, Kim-ciangkun, telah memberontak.... dia agaknya yang mengatur semua ini. Engkau dijebak...."

   "Prakkk! Desss!"

   Dua orang pengeroyok roboh dengan kepala pecah dan leher hampir putus terkena hantaman tangan kiri Jenderal Kao dan sambaran pedangnya.

   "Hemm, sudah kuduga! Keparat tak mengenal budi, pengkhianat hina itu! Mari kita basmi anjing-anjing ini, Nona. Baru kita cari dan hancurkan kepala manusia she Kim yang keparat itu!"

   Kedua orang itu mengamuk, juga tiga belas orang pengawal setia. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Biarpun mereka berhasil merobohkan puluhan orang musuh, namun akhirnya, seorang demi seorang roboh dan tewaslah tiga belas orang pengawal Jenderal Kao yang gagah perkasa dan setia itu. Hanya tinggal jenderal itu bersama Ceng Ceng yang masih terus melakukan perlawanan, bahu-membahu dan saling melindungi. Mereka berdua pun sudah mengalami luka-luka dan pakaian mereka sudah berlepotan darah, darah para pengeroyok yang mereka tewaskan dan darah mereka sendiri! Sepasang mata jenderal itu melotot lebar, penuh keganasan, akan tetapi mulutnya tersenyum setiap kali dia melirik ke arah Ceng Ceng.

   "Engkau hebat.... wah, engkau hebat....! Hanya tinggal kita berdua yang masih hidup. Mari klta berlomba, siapa yang lebih banyak merobohkan lawan. Ha-ha-ha!"

   Sambil tertawa-tawa jenderal itu memutar-mutar pedangnya dengan dahsyat, sedangkan Ceng Ceng yang sudah lelah sekali itu pun menggerakkan kedua pisaunya untuk melindungi tubuhnya dan untuk mencari sasaran pada tubuh para pengeroyoknya yang masih bersisa tiga puluh orang lebih. Ternyata bahwa dalam perang kecil yang tidak seimbang ini, Jenderal Kao, Ceng Ceng, dan tiga belas orang pengawalnya telah berhasil merobohkan tujuh puluh orang lebih! Namun, kedua orang tua dan muda yang gagah perkasa itu sudah terlalu lelah dan terlalu banyak kehilangan darah yang keluar dari luka-luka mereka.

   Biarpun jenderal itu masih tertawa-tawa membesarkan hati Ceng Ceng, namun gerakannya sudah lemah dan serbuan hebat dari kakek tua yang melawan Ceng Ceng tadi, dibantu oleh empat orang yang cukup lihai, membuat tangkisan pedang Jenderal Kao kurang kuat dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya. Pada saat itu terdengarlah suara melengking panjang dan nyaring sekali, seperti suara burung rajawali atau garuda yang sedang marah datangnya dari arah selatan. Namun, Ceng Ceng tidak sempat memperhatikan suara melengking nyaring itu karena dia terkejut bukan main melihat Jenderal Kao terguling roboh di dekat Sumur Maut. Sebelum jenderal itu dapat bangkit kembali, dua orang menubruknya dan mengangkat tubuh jenderal itu, kemudian dilemparkan ke arah Sumur Maut yang siap untuk mencaplok apa saja yang memasukinya!

   "Heiiiiittt....!"

   Ceng Ceng menyambitkan dua batang pisaunya dan tepat sekali dua batang pisau itu menancap ke dalam lambung dua orang yang mengangkat tubuh Jenderal Kao, mereka roboh, akan tetapi tubuh jenderal itu sudah terlempar ke arah sumur! Ceng Ceng berteriak keras, tubuhnya mencelat ke depan mendahului tubuh Jenderal Kao, kakinya menendang dan tubuh jenderal yang tinggi besar itu berhasil dapat ditendangnya, terpental keluar dari mulut Sumur. Akan tetapi, hasil yang menyelamatkan nyawa Jenderal Kao ini ditebus dengan pengorbanan diri Ceng Ceng sendiri. Karena menendang tubuh berat dalam keadaan masih meloncat, tubuh dara perkasa itu terjengkang dan tepat terjatuh masuk ke dalam mulut Sumur Maut yang terbuka lebar, gelap dan mengerikan!

   "Nona Ceng Ceng....!"

   Jenderal Kao menjerit. Akan tetapi sia-sia saja, tubuh dara itu telah lenyap dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam sumur.

   "Keparat, kalian membunuhnya! Jahanam busuk, kalian harus mampus semua!"

   Jenderal itu dengan suara serak karena menahan keperihan dan keharuan hatinya melihat Ceng Ceng yang menolongnya menjadi korban terjeblos ke dalam Sumur Maut, berteriak seperti seekor singa terluka kemudian dengan kedua tangan kosong dia mengamuk seperti seekor naga marah. Hatinya terasa sakit bukan main. Dia merasa amat kagum melihat kegagahan Ceng Ceng, kekaguman yang menimbulkan rasa sayang kepada dara remaja itu. Tidak ada yang dapat menimbulkan kekaguman pada hati jenderal yang keras ini kecuali kegagahan, dan apa yang diperlihatkan oleh Ceng Ceng benar-benar menimbulkan kesan mendalam di hati jenderal ini. Sekarang, dia melihat dara itu tewas, terjeblos ke dalam Sumur Maut dan hal ini terjadi karena gadis itu menyelamatkannya.

   Tentu saja hal ini selain mendatangkan keharuan, juga membuat dia merasa sakit hati sekali, maka mengamuklah dia dengan nekat tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri! Pada saat itu, Kao Liang bukan lagi seorang jenderal yang selalu mempergunakan siasat dalam perang, melainkan seorang pria yang sakit hati melihat orang yang dikagumi dan disayangnya seperti anak sendiri, tewas di depan matanya! Biarpun tubuhnya sudah luka-luka, namun dengan kedua tangan kosong jenderal ini mengamuk dan robohlah berturut-turut enam orang pengeroyok terdekat. Akan tetapi, kini kakek lihai dan bebarapa orang temannya yang juga memiliki kepandaian tinggi mengurungnya dan mendesaknya dengan serangan senjata mereka secara bertubi-tubi sehtngga Jenderal Kao terdesak hebat.

   Dalam belasan jurus saja panglima yang perkasa ini telah menderita luka-luka baru lagi. Dia sedikit pun tidak mengeluh, bahkan berteriak-teriak penuh kemarahan dan siap untuk mengadu nyawa. Suara melengking nyaring terdengar dan keadaan menjadi kacau ketika tiba-tiba semua orang yang mengepung dan mendesak Jenderal Kao terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir. Para pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bercaping lebar, menggunakan capingnya itu untuk mengamuk dan siapa pun yang terdekat pasti roboh oleh tamparan capingnya itu! Senjata-senjata tajam beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya disusul robohnya para pengeroyok. Melihat munculnya orang yang demikian lihainya, maklumlah para kaki tangan pembecontak bahwa usaha mereka membunuh Jenderal Kao telah gagal.

   Timbul rasa gentar di hati mereka dan tanpa dikomando lagi, larilah sisa pemberontak itu meninggalkan gelanggang di mana berserakan teman-teman mereka yang menjadi korban pengamukan Ceng Ceng, Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya, dan yang terakhir laki-laki bercaping lebar itu. Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng, pendekar yang sakti. Bersama Puteri Syanti Dewi, Gak Bun Beng tiba di tempat itu dan segera turun tangan menolong ketika melihat Jenderal Kao dikeroyok banyak orang dalam keadaan terluka. Tak lama kemudian, Syanti Dewi muncul pula dan wajah puteri itu membayangkan kengerian menyaksikan banyak orang yang tewas dan terluka. Tempat itu bergelimang darah dan peuh dengan suara rintihan mereka yang terluka dan belum tewas. Ketika Jenderal Kao melihat siapa yang telah menolongnya, dia menjadi girang dan cepat menghampiri Gak Bu Beng.

   "Aha, kiranya kalian pula yang muncul dan menyelamatkan aku dari ancaman maut! Bukankah engkau ini sahabat Gak Bun Beng yang pernah kujumpai di barat?"

   Gak Bun Beng menjura dan berkata,

   "Benar, Kao-taigoanswe, saya adalah Gak Bun Beng yang datang bersama anak saya dan kebetulan dapat membantu goanswe menghadapi para pemberontak itu."

   "Terima kasih.... terima kasih, engkau memang gagah perkasa...."

   Tiba-tiba jenderal itu menghenti-kan kata-katanya, mendekati sumur dan melongok-longok ke dalam sumur, menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.

   "Aihhhh.... sungguh kasihan.... menyesal bahwa engkau tidak datang lebih pagi, Gak-enghiong (orang gagah she Gak). Sayang dia, seorang gadis yang luar biasa, gagah perkasa dan berbudi, penuh keberanian, muda, cantik dan pandai, terpaksa harus mengalami nasib begini mengerikan...."

   Dengan kepalan tangannya, jenderal itu mengusap dua butir air mata dari bawah matanya! Bun Beng mengerutkan alisnya.

   "Apakah maksudmu, Taigoanswe? Siapakah yang kau bicarakan itu?"

   "Engkau tidak tahu dan tentu tidak mengenalnya. Dia seorang dara perkasa dari barat, dari Bhutan...."

   Tiba-tiba Syanti Dewi meloncat ke depan jenderal itu dan dengan suara penuh wibawa dia bertanya,

   "Siapa dia? Siapa dara itu? Cepat katakan padaku!"

   Jenderal Kao memandang heran. Sejak pertemuan pertama dahulu dia sudah merasa heran mengapa anak dari orang she Gak ini demikian cantik dan halus, demikian agung sikapnya, dan jelas pula bukan orang Han. Kini, menyaksikan sikapnya ketika bertanya, mengingatkan dia akan sikap puteri-puteri istana saja! Namun, karena tidak enak terhadap Gak Bun Beng, dia menjawab juga.

   "Nona itu bernama Lu Ceng...."

   Syanti Dewi menjerit, matanya terbelalak memandang ke Sumur Maut itu.

   "Lu Ceng....? Candra Dewi....? Dan.... dia.... dia.... di manakah dia....?"

   Jenderal Kao makin kaget. Dengan mata masih menatap wajah Syanti Dewi penuh selidik, dia menjawab,

   "Untuk menolongku, dia telah mengorbankan dirinya dan terjatuh ke dalam sumur maut ini."

   Kembali Syanti Dewi menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri berlutut di dekat sumur maut sambil menangis tersedu-sedu, Bun Beng juga terkejut karena dia sudah mengenal nama Lu Ceng atau Candra Dewi dari Puteri Bhutan ini. Akan tetapi Jenderal Kao yang menjadi terkejut dan terheran-heran. Sambil menghadapi Bun Beng dia bertanya,

   "Gak-enghiong, apakah artinya ini?"

   "Nona Lu Ceng adalah saudara angkat dari Puteri Syanti Dewi, dan terus terang saja, Tai-goanswe, yang menyamar sebagai anakku ini adalah Sang Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dikejar-kejar pemberontak."

   "Ahhh....!"

   Jenderal Kao terkejut bukan main. Tentu saja dia sudah mendengar pula akan nama Syanti Dewi, puteri raja Bhutan yang akan dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong dan yang hilang di dalam perjalanan ketika diboyong. Kiranya puteri ini masih selamat, tertolong oleh pendekar yang bernama Gak Bun Beng ini.

   "Kao-goanswe, sudah lamakah nona itu terjerumus ke dalam sumur?"

   Gak Bun Beng bertanya setelah sejenak memandang ke arah sumur itu.

   "Baru saja,"

   Jawab jenderal itu dengan suara serak karena dia menjadi makin terharu setelah melihat Puteri Bhutan itu menangisi kematian Ceng Ceng.

   "Kalau begitu, biar saya mencoba untuk mencarinya!"

   Gak Bun Beng cepat lari mencari tali yang banyak terdapat di antara para korban suku Bangsa Mongol karena mereka itu sudah biasa membawa tali untuk keperluan di dalam perantauan mereka, lalu menyambung-nyambung tali itu dan kembali ke dekat sumur di mana Jenderal Kao menantinya dengan heran.

   "Gak-enghiong, apa yang akan kau lakukan?"

   Tanyanya.

   "Saya hendak mencarinya di dalam sumur, harap Goanswe suka memegangi tambang ini agar dapat menolong saya kalau di bawah sana terdapat bahaya."

   "Aihh, harap Gak-enghiong jangan melakukan ini!"

   

Pendekar Super Sakti Eps 38 Sepasang Pedang Iblis Eps 29 Pendekar Super Sakti Eps 29

Cari Blog Ini