Kisah Sepasang Rajawali 17
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Jenderal itu berseru kaget.
"Sumur ini terkenal sebagai sumur maut dan siapa saja, apa saja yang masuk ke dalamnya, tidak pernah keluar lagi."
"Betapapun berbahayanya, saya akan mencoba untuk mencarinya dan setidak-nya memeriksa di sebelah dalam. Siapa tahu kalau-kalau nona Lu masih dapat ditolong."
"Paman.... Paman Gak.... benarkah saudaraku Candra Dewi masih dapat ditolong?"
"Mudah-mudahan saja."
"Tapi.... tapi Paman sendiri? Jangan-jangan akan terancam bahaya di bawah sana...."
Puteri itu bergidik ngeri.
"Kalau berbahaya.... harap jangan turun ke sana...."
Dia bangkit, menghampiri Gak Bun Beng dan memegang tangan pendekar itu. Gak Bun Beng tersenyum.
"Tenangkanlah hatimu, Dewi. Di sini terdapat Kao-goanswe yang akan memegangi ujung tali. Andaikata aku terancam bahaya, masih dapat ditolong."
Akhirnya jenderal itu dan Syanti Dewi tidak membantah lagi, melainkan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan ketika mereka melihat betapa Gak Bun Beng mulai menuruni sumur yang kelihatan menganga hitam dan tidak dapat dilihat dasarnya itu. Jenderal Kao memegangi ujung tali dengan kuat, mengulur tali sedikit demi sedikit ketika Bun Beng sudah mulai menuruni sumur. Sebentar saja, dua orang itu tidak lagi melihat bayangan Bun Beng yang lenyap ditelan kegelapan yang hitam pekat di dalam sumur itu. Syanti Dewi berlutut di tepi mulut sumur sambil memandang dan kedua tangannya dirangkap di depan dada karena diam-diam dia berdoa demi keselamatan pendekar sakti itu dan demi tertolongnya Ceng Ceng.
"Aahhhhh....!"
Tiba-tiba Jenderal Kao berseru kaget, wajahnya berubah dan cepat-cepat dia menarik tambang itu dengan kedua tangannya secepatnya. Tadi, ketika dia mengulur tambang sampai hampir habis, tiba-tiba saja tambang itu menegang dan terasa berat, tidak bergerak lagi! Syanti Dewi memandang terbelalak dan pucat mukanya. Biarpun dia sudah terluka, jenderal itu masih kuat sekali sehingga sebentar saja dia sudah dapat menarik keluar tubuh Gak Bun Beng dari dalam sumur. Tubuh yang tergantung pada ujung tambang yang mengikat pinggangnya dan ternyata pendekar itu telah pingsan dengan muka pucat dan kulit muka serta leher dan kedua tangannya agak kehitaman!
"Paman....!"
Syanti Dewi hendak menubruk tubuh pingsan yang kini direbahkan di atas tanah itu, akan tetapi Jenderal Kao cepat mencegahnya.
"Harap paduka mundur, dia keracunan, biar kucoba menyadarkannya!"
Mendengar ini, Syanti Dewi yang gelisah sekali itu hanya dapat memandang dengan air mata bercucuran, sedangkan Jenderal Kao yang berpengalaman itu lalu menempelkan kedua telapak tangan di dada dan perut Gak Bun Beng, mengerahkan sin-kangnya membantu pendekar itu untuk dapat bernapas lagi dan mengusir hawa beracun dari dalam dadanya. Akhirnya Bun Beng dapat bernapas kembali dan mengeluh, lalu bangkit dan duduk, memegangi kepalanya yang terasa pening. Ketika dia membuka mata dan melihat Syanti Dewi menangis, dia berkata,
"Tenanglah, Dewi. Aku tidak apa-apa."
Kemudian kepada Jenderal Kao dia berkata,
"Di bawah sana gelap sama sekali, dan dalamnya sukar diukur. Selagi aku masih tergantung, tiba-tiba ada tercium bau yang aneh dan napasku menjadi sesak, lalu tidak ingat apa-apa lagi."
Jenderal itu mengangguk-angguk.
"Itu tentulah gas yang keluar dari dalam bumi. Sudah jelaslah nasib nona Lu.... kasihan dia...."
"Dia.... dia.... telah mati...."
Syanti Dewi menangis lalu berlutut di tepi sumur. Sejenak mereka bertiga memandang ke dalam sumur dan seperti mengheningkan cipta. Barulah mereka sadar ketika terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan dari benteng di bawah pimpinan seorang perwira yang setia terhadap Jenderal Kao. Perwira itu bernapas lega melihat atasannya selamat, kemudian menceritakan betapa wakil Panglima Kim telah melarikan diri begitu mendengar akan kegagalan rencananya. Juga dia melaporkan bahwa Pengawal Souw Kee It yang datang bersama Ceng Ceng ternyata telah dibunuh oleh Panglima Kim sendiri yang memimpin pemberontakan. Jenderal Kao mengepal tinjunya.
"Tak kusangka! Akan tetapi, aku bersumpah untuk menangkap dan menghukum jahanam she Kim itu!"
Dia mendendam hebat karena menganggap bahwa kematian Ceng Ceng adalah gara-gara pengkhianatan Kim Bouw Sin.
Bahaya yang mengancam dirinya sendiri, yang hampir menewaskannya, tidak teringat lagi olehnya karena sebagai seorang panglima yang telah puluhan tahun berkecimpung di dalam ketenteraan, ancaman maut baginya merupakan hal yang biasa saja. Akan tetapi kematian Ceng Ceng, hal itu sukar untuk dapat dilupakan oleh jenderal perkasa ini. Jenderal Kao lalu mengajak Gak Bun Beng dan Puteri Syanti Dewi yang diliputi kedukaan itu ke bentengnya untuk diajak berunding. Bagaimanakah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi dapat datang di sumur maut dan berhasil menyelamatkan Jenderal Kao sungguhpun mereka agak terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita mundur dulu untuk mengikuti perjalanan dan pengalaman mereka yang hebat-hebat sampai mereka tiba di sumur maut itu.
Seperti kita ketahui, Gak Bun Beng melakukan perjalanan dengan susah payah bersama Syanti Dewi, meninggalkan kota raja menuju ke timur karena pendekar sakti itu jatuh sakit keras setelah jantungnya terguncang hebat dalam perjumpaannya dengan kekasihnya, yaitu Puteri Milana yang kini telah menjadi isteri orang lain. Perjalanan ke utara itu bukan main sukarnya bagi Syanti Dewi. Gak Bun Beng benar-benar terserang penyakit yang payah. Sakit luar dalam! Sakit badan karena dia mengalami pukulan-pukulan dahsyat dari Siang Lo-mo, iblis kembar yang amat lihai itu. Sakit hatinya karena perjumpaannya dengan Milana membuat hati yang terluka itu pecah kembali! Semua ini masih ditambah lagi oleh keharuan dan kegelisahan hatinya menyaksikan sikap Syanti Dewi kepadanya.
Sikap seorang wanita muda yang membuat dia amat khawatir karena melihat gejala-gejala yang mencemaskan hatinya bahwa Puteri Bhutan itu telah jatuh cinta kepadanya! Hal ini membuat penyakit dalam di hatinya makin parah dan otomatis membuat dia makin berhutang budi kepada puteri itu karena makin parah sakitnya, makin tekun dan penuh ketelitian lagi sang puteri merawat dan menjaganya. Luka yang diderita Bun Beng cukup parah, dan selama ini tidak diobati sama sekali, maka tentu saja keadaannya menjadi bertambah parah dan lemah. Andaikata hatinya tidak terluka sehebat itu, tentu dengan kepandaiannya yang tinggi, pendekar ini mampu mengobati luka dalam akibat pukulan sepasang iblis itu. Akan tetapi, keadaan hatinya membuat dia seolah-olah tidak perduli lagi akan penderitaan tubuhnya. Andaikata tidak ada Syanti Dewi, tentu dia tidak mau melanjutkan perjalanan, dan akan menyerah kepada nasib dan bersembunyi di dalam hutan.
"Dewi, kau banyak mengalami kesengsaraan.... aku membuat kau menjadi sengsara saja...."
"Paman, jangan berkata demikian."
"Betapapun juga, aku harus dapat membawamu menghadap Jenderal Kao Liang, baru akan tenang rasa hatiku akan tetapi.... ah, kesehatanku makin memburuk, padahal perjalanan ini tidak boleh ditunda-tunda...."
"Jangan khawatir, Paman. Aku akan merawatmu...."
Akan tetapi keadaan Bun Beng makin memburuk sehingga pada suatu hari dia tidak kuat berjalan lagi! Pendekar ini maklum bahwa kalau sampai dia mati sebelum bertemu dengan Jenderal Kao Liang, Syanti Dewi akan hidup tanpa pengawal dan keselamatannya terancam.
"Dewi, kau buatiah alat penyeret dari bambu.... kita harus melanjutkan perjalanan...."
"Aduh, Paman.... sakitmu bertambah parah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan? Marilah kita beristirahat dulu di hutan ini, biar aku yang merawat sampai Paman sembuh baru kita melanjutkan perjalanan ini."
"Tidak! Harus dilanjutkan sampai tiba di benteng Jenderal Kao! Setelah tiba di sana, tentu aku akan mendapat perawatan dan pengobatan. Sebelum tiba di sana, bagaimana hatiku dapat tenteram?"
Sesungguhnya, Bun Beng ingin segera tiba di benteng Jenderal Kao adalah karena dia mengkhawatirkan keadaan Syanti Dewi, sama sekali bukan karena dia ingin memperoleh pengobatan.
Terpaksa Syanti Dewi tidak berani membantah dan gadis ini lalu membuat alat penyeret dan melanjutkan perjalanan sambil menyeret tubuh pendekar itu yang rebah telentang di atas anyaman bambu yang menjadi alat penyeret itu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya dara itu melakukan perjalanan seperti ini. Padahal mereka melalui gunung-gunung dan daerah-daerah tandus, melalui jalan yang amat sukar. Seorang puteri raja yang biasanya hidup mewah dan segala dilayani, segala tersedia, kini harus melakukan perjalanan sambil menyeret orang sakit seperti itu, mencari makan di tengah jalan yang tandus dan merawat orang sakit, dapat dibayangkan betapa hebat penderitaannya. Namun, Syanti Dewi tidak pernah mengeluh dan selalu mendahulukan kepentingan Bun Beng daripada kebutuhan dirinya sendiri. Dia kurang makan, kurang tidur, kelelahan sampai tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya agak pucat,
Kedua telapak tangannya yang memegang bambu seretan menjadi tebal dan kulit mata kakinya lecet-lecet! Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Syanti Dewi sudah menyeret tubuh Bun Beng keluar dari sebuah hutan di mana semalam mereka bermalam di bawah pohon besar, dan kini dara itu mendaki daerah pegunungan yang penuh batu karang sehingga pagi-pagi sudah berpeluh. Tanah pegunungan penuh batu itu kelihatan tandus, pohon dan tetumbuhan tidak dapat hidup subur, apalagi pada waktu itu telah tiba musim kering sehingga rumput-rumput pun menguning kering dan kehausan. Ketika Syanti Dewi menuruni sebuah puncak batu karang dan tiba pada sebuah tikungan, tampaklah olehnya di depan, sebuah dataran dan dari jauh kelihatan gerakan beberapa orang yang sedang bertempur.
"Paman Gak, ada orang bertempur di depan sana!"
Dara itu berkata sambil berhenti.
"Hadapkan aku ke sana, Dewi."
Bun Beng berkata lirih. Syanti Dewi memutar alat penyeret itu sehingga Bun Beng dapat melihat ke depan. Setelah memandang sebentar, pendekar sakti yang sedang sakit itu berkata,
"Jalan saja terus dan jangan pedulikan mereka, Dewi. Biarpun si kecil itu dikeroyok tiga, dia tidak akan kalah."
Syanti Dewi melanjutkan perjalanannya, matanya memandang ke arah orang-orang yang bertempur dan merasa heran sekali. Yang bertanding adalah empat orang dan merupakan pertempuran berat sebelah dan tidak adil karena seorang di antara mereka, seorang kanak-kanak, dikeroyok oleh tiga orang dewasa! Panas juga hati Syanti Dewi menyaksikan betapa seorang anak kecil yang melihat tingginya tentu tidak akan lebih dari dua belas tahun usianya, yang hanya membawa sebatang ranting, dikeroyok oleh tiga orang tua yang gerakannya lihai bukan main. Akan tetapi anehnya, anak kecil itu sama sekali tidak kewalahan, bahkan dengan gerakan rantingnya yang amat cepat, yang dimainkan seperti sebatang pedang, anak itu berhasil mendesak tiga orang pengeroyoknya!
Karena Gak Bun Beng sudah menyuruhnya agar tidak memperdulikan mereka, maka ketika tiba di dataran itu, Syanti Dewi terus berjalan sambil menyeret tubuh pedekar yang sedang sakit itu, sama sekali tidak mengeluarkan suara dan bahkan tidak menengok ke arah empat orang yang bertempur itu. Akan tetapi, ketika tiga orang lihai yang sedang mengeroyok anak kecil itu melihat Bun Beng dan Syanti Dewi, mereka mengeluarkan seruan girang, meloncat ke belakang menjauhi anak kecil yang mereka keroyok, lalu lari menghampiri Syanti Dewi dan menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat. Tentu saja Syanti Dewi menjadi terkejut dan heran melihat ini, bingung karena tidak tahu apa artinya semua itu. Oto-matis dia berhenti.
"Dewi, hadapkan aku kepada mereka."
Bun Beng berkata lirih dan Syanti Dewi lalu memutar bambu penyeretnya sehingga pendekar itu rebah terlentang menghadapi tiga orang yang masih berlutut.
"Harap Lociapwe (orang tua yang gagah) sudi memaafkan kami bertiga yang tidak mengadakan penyambutan karena tidak tahu akan keadaan Locianpwe."
Seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, berkata dehgan sikap dan suara amat menghormat. Bun Beng mengerutkan alisnya. Dia mengerti bahwa orang-orang ini tentulah "salah alamat"
Dan mengira dia seorang lain. Akan tetapi sebelum dia menjawab, dengan sekali gerakan kaki saja "anak kecil"
Itu sudah meloncat dekat dan sekarang tampaklah oleh Syanti Dewi kenyataan yang sudah dilihat oleh Bun Beng dari jauh tadi bahwa "anak kecil"
Itu sebetulnya bukanlah anak-anak lagi, melainkan seorang tua yang bertubuh kecll dan wajahnya kekanak-kanakan pula!
"Hei, kalian tiga orang Pek-san-pai (Perkumpulan Pegunungan Putih) yang pengecut! Hayo lanjutkan pertandingan kita, ataukah kalian hendak mengajukan orang mau mampus ini sebagai jago? Kalau benar demikian, hayo cepat maju dan lawanlah aku!"
Melihat orang tua bertubuh kanak-kanak ini yang bersifat sombong, Bun Beng mengurungkan niatnya untuk mengaku bahwa tiga orang itu salah mengenai orang. Dia kini diam saja dan mendengarkan sambil melihat keadaan. Tiga orang itu cepat menoleh dan berkata kapada si kecil,
"Engkau orang tua adalah jago undangan Hek-san-pai (Perkumpulan Pegunugan Hitam), akan tetapi hari ini bukanlah saatnya kita bertanding. Engkau mendesak kami, sungguh ini melanggar peraturan! Saat hari pertandingan adalah besok, di Jembatan Angkasa, akan tetapi mengapa kau mendesak kami?"
"Ha-ha-ha, katakan saja bahwa kalian takut! Pertandingan diadakan sekarang atau besok apa bedanya? Kalau kalian takut, lekas suruh ketua kalian maju, boleh juga kalau mengeroyok aku!"
Tiga orang itu kelihatan marah, akan tetapi juga tampak bahwa mereka itu memang merasa jerih menghadapi si kecil yang amat lihai itu, maka mereka kini memandang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh harapan. Melihat ini, Bun Beng dengan susah payah bangkit duduk di atas anyaman bambu itu, memandang kepada si kecil dan berkata,
"Kalau aku boleh bertanya, benarkah sudah dijanjikan bahwa saat pertandingan adalah besok pagi di Jembatan Angkasa?"
Melihat sinar mata Bun Beng yang amat tajam dan suaranya yang penuh wibawa, si kecil itu kelihatan ragu-ragu dan menjawab,
"Benar, memang saatnya besok di Jembatan Angkasa, akan tetapi kalau sama beraninya, sekarang pun, di tempat ini pun kita dapat mengadu ilmu, mengukur kegagahan!"
Sambii berkata demikian, orang tua yang seperti anak-anak itu memutar ranting di antara jari-jari tangannya sehingga lenyaplah ranting itu, berubah menjadi segulungan sinar hijau.
"Sobat,"
Gak Bun Beng berkata dengan suara halus namun sikapnya serius dan pandang matanya berwibawa,
"seorang yang gagah perkasa tidak akan memamerkan kegagahannya, seorang yang mengerti tidak menonjolkan pengertiannya. Akan tetapi engkau terlalu mengandalkan kepan-daianmu sehingga tidak lagi memandang kepada orang lain. Seorang yang jantan akan selalu memegang janji yang dihargainya lebih dari nyawa, akan tetapi engkau agaknya lebih suka melanggar janji antara dua partai. Kegagahan seseorang bukanlah diukur dari keberaniannya berkelahi, karena sesungguhnya keberanian berkelahi yang nekat dan konyol hanyalah membuk-tikan bahwa dia dihantui rasa takut dan khawatir. Takut kalah, khawatir dianggap tidak gagah, khawatir tidak akan dipuji, khawatir tidak akan memperoleh nama besar, dan sebagainya lagi. Sobat yang baik, apakah engkau yang menurut percakapan tadi adalah seorang jago undangan dari Hek-san-pai, ingin disebut seorang yang nekat dan hanya berani karena merasa lebih kuat, dan seorang yang suka melanggar janji?"
Wajah si kecil itu sebentar pucat sebentar merah. Ranting di tangan kanannya menggigil, tangan kirinya yang kecil dikepal-kepal, matanya berapi dan dia sesungguhnya marah sekali. Akan tetapi karena apa yang diucapkan orang sakit itu tak dapat dibantah kebenarannya, sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya dia membanting ranting di atas tanah, diinjaknya dan dia meludah di tanah, lalu berkata,
"Orang berpenyakitan! Aku menunggu kedatanganmu di atas Jembatan Angkasa besok. Hendak kulihat apakah kepandaianmu selihai mulutmu. Huhh!"
Dia membalikkan tubuhnya dan dengan beberapa kali loncatan saja si kecil itu sudah lenyap dari tempat itu. Gak Bun Beng mena-rik napas panjang dan diam-diam merasa menyesal sekali karena kata-katanya yang dimaksudkan untuk menyadarkan orang bertubuh kecil itu, ternyata hanya mampu mengurungkan niat orang kecil itu untuk memaksa tiga orang lawannya berkelahi, akan tetapi bahkan mendatangkan rasa dendam di hati si orang kecil. Dia memandang kepada tiga orang yang masih berlutut di depannya, lalu bertanya,
"Harap sam-wi (saudara bertiga) sudi menjelaskan apakah sebenarnya yang telah terjadi di sini?"
Syanti Dewi merasa lega juga melihat bahwa pamannya berhasil mengusir orang kecil tadi tanpa pertandingan, maka dia pun lalu duduk di atas tanah dekat pamannya, mendengarkan penuturan orang berkumis tebal yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) dari dua orang lainnya.
Di pegunungan itu tinggal dua orang kakak dan adik seperguruan yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi karena guru mereka menurunkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan bakat masing-masing, timbullah rasa iri hati di dalam hati masing-masing, mengira bahwa guru mereka lebih sayang kepada saudara seperguruannya. Perasaan iri hati dan bersaing ini terus tumbuh dengan subur dan setelah guru mereka meninggal dunia, kedua orang kakak beradik ini berpisah dan akhirnya si suheng (kakak seperguruan) tinggal di Hek-san (Gunung Hitam) sedangkan si sute (adik seperguruan) tinggal di Pek-san (Gunung Putih). Hek-san dan Pek-san sebetulnya masih satu daerah pegunungan, hanya berbeda puncak yang berwarna hitam dan putih. Hek-san berwarna hitam karena batu karang hitam yang keras memenuhi puncak itu, sedangkan Pek-san berwarna putih karena puncaknya banyak mengandung batu kapur.
Kedua orang lihai ini akhirnya menerima murid-murid dan berdirilah dua buah perkumpulan yang dinamakan menurut nama puncak masing-masing yaitu Hek-san-pai dan Pek-san-pai. Persaingan atau permusuhan secara diam-diam itu berlangsung terus dan akhirnya meledak menjadi permusuhan terbuka karena mereka yang kini mempunyai banyak anggauta itu membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari dan terutama sekali untuk keperluan sawah ladang mereka. Padahal air yang amat dibutuhkan itu hanya terdapat di bawah Jembatan Angkasa yang merupakan sumber yang tak pernah kering. Terjadilah bentrokan-bentrokan kecil memperebutkan air, yang kemudian makin lama menjadi makin hebat sehingga kakak dan adik seperguruan itu sendiri turun tangan sendiri bertanding di atas jembatan gantung, disaksikan oleh para murid mereka!
Betapapun juga, kedua orang ini masih ingat akan sumpah mereka di depan mendiang guru mereka bahwa mereka dilarang keras untuk saling membunuh, maka dalam pertandingan ini mereka berdua menjaga agar jangan sampai lawan yang masih saudara seperguruan sendiri itu tewas! Akhirnya, sang sute kalah dan menderita luka-luka. Karena dia tidak dibunuh, maka dia menaruh dendam dan menantang untuk bertanding lagi setahun kemudian. Demikianlah, permusuhan yang aneh ini berlangsung terus sampai dua tiga keturunan mereka. Setiap tahun diadakan pertandingan di antara mereka, jago melawan jago untuk menentukan siapa yang unggul. Mereka yang menang dianggap menguasai mata air di bawah Jembatan Angkasa dan menentukan pembagian air untuk keperluan mereka sampai ada keputusan tahun depan dalam pertandingan mendatang!
"Hari pertandingan tahun ini jatuh pada hari besok, Locianpwe,"
Si kumis tebal mengakhiri ceritanya.
"Telah bertahun-tahun lamanya, karena ingin mencapai kemenangan, kedua pihak tidak puas dengan jago golongan sendiri dan mulailah mendatangkan jago dari luar kalangan sendiri. Tahun ini, pihak Hek-san-pai telah mendatangkan jago orang yang bertubuh kecil tadi, yang berjuluk Sin-kiam Lo-thong (Anak Tua Pedang Sakti). Baru menggunakan ranting saja, kami bertiga murid-murid kepala Pek-san-pai tidak dapat menandinginya, apalagi kalau dia menggunakan pedang!"
"Hemm, lalu mengapa kalian yang tidak mengenalku begitu berjumpa telah memberi hormat berlebihan?"
"Biarpun belum pernah bertemu, kami tahu bahwa Locianpwe tentulah Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Tangan Sakti) dari puncak Ci-lan-kok (Lembah Bunga Cilan). Ketua atau guru kami telah mengundang Locianpwe, maka begitu Locianpwe muncul kami telah mengenal Locianpwe yang tahun ini diundang oleh suhu (guru) sebagai jagoan kami."
Bun Beng tersenyum. Kiranya orang-orang ini telah salah menduganya sebagai seorang tokoh yang bernama Sin-ciang Yok-kwi dan yang dicalonkan sebagai jago pihak Pek-san-pai. Dia tidak ingin mencampuri urusan ini, akan tetapi karena melihat bahwa orang kecil tadi memang lihai dan tentu pihak Pek-san-pai akan kalah, dia ingin melihat perkembangan lebih jauh. Pula, timbul niat di hatinya untuk mengusahakan perdamaian di antara perkumpulan yang masih bersaudara itu.
"Aku bukan Sin-ciang Yok-kwi, akan tetapi aku kebetulan lewat dan biarlah aku akan menonton besok. Kalau Yok-kwi yang kalian tunggu itu tidak muncul, aku akan mengusahakan agar tidak ada pertumpahan darah."
Tiga orang itu girang sekali. Biarpun mulut mereka tidak mengatakan sesuatu namun pandang mata mereka saling bertemu dan saling maklum. Bagi mereka, tidak salah lagi bahwa tentu orang sakti ini adalah Sin-ciang Yok-kwi! Ciri-cirinya sama! Biarpun mereka belum pernah jumpa dengan kakek setan obat itu, namun kabarnya Yok-kwi adalah seorang yang berpenyakitan dan yang sama sekali tidak pernah mau mengakui namanya sendiri, tidak mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi! Tentu saja mereka tidak pernah dapat melihat Yok-kwi, karena kabarnya kakek yang tinggal sebagai pertapa di puncak Ci-lan-kok itu wataknya aneh luar biasa. Orang-orang sakit yang datang kepadanya, pasti sembuh.
Akan tetapi orang waras yang berani datang, tentu akan dihajarnya sampai menjadi sakit! Karena itu tidak ada orang waras yang suka atau berani naik ke puncak Ci-lan-kok. Bun Beng tak membantah ketika bersama Syanti Dewi dia diajak pergi ke puncak Pek-san-pai di mana dia disambut dengan segala kehormatan oleh ketua Pek-san-pai sendiri, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih
(Lanjut ke Jilid 17)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
yang bertubuh tinggi besar dan gagah. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketua Pek-san-pai mengajak rombongannya, juga Bun Beng dan Syanti Dewi, pergi ke Jembatan Angkasa. Empat orang anggauta Pek-san-pai memanggul alat penyeret bambu di mana Bun Beng rebah diikuti oleh Syanti Dewi. Jembatan Angkasa itu adalah bangunan batu karang hitam kuat yang menyambung satu tepi jurang dengan tepi yang lain, bentuknya seperti jembatan gantung!
Jembatan buatan alam ini memang ajaib dan patut dinamakan Jembatan Angkasa karena orang yang melalui jembatan ini berada di tempat tinggi seperti terbang saja melalui tangga awan. Dan tepat di kolong jembatan batu ini terdapatlah sumber atau mata air yang dijadikan perebutan dan bahan pertentangan. Kini semua pihak telah berkumpul, pihak Hek-san-pai di ujung kiri Jembatan Angkasa dan pihak Pek-san-pai di ujung kanan. Seperti biasa pada tiap pertemuan pertandingan itu, sebelum masing-masing jago kedua pihak maju bertanding, terlebih dahulu dua orang ketua masing-masing perkumpulan maju dan bertemu di atas jembatan. Ketua Pek-san-pai sudah mendaki jembatan dan disambut oleh ketua pihak Hek-san-pai yang masih terhitung suhengnya sendiri. Keduanya bertemu, mengangkat tangan memberi hormat dan ketua Pek-san-pai berkata,
"Apakah tahun ini Suheng sebagai ketua Hek-san-pai tetap tidak mau mengalah dan hendak menguasai mata air?"
Ketua Hek-san-pai yang mukanya seperti seekor orang hutan dan hidungnya pesek, tersenyum mengejek.
"Tentu saja, Sute. Memang selamanya kami dari Hek-san-pai yang seharusnya menguasai mata air itu."
"Hemm, kalau begitu, Suheng menantang untuk diadakan pertandingan?"
"Tentu saja! Kami sudah mempunyai jago kami, yaitu Sin-kiam Lo-thong!"
"Dan kami juga sudah mengundang jago kami, Sin-ciang Yok-kwi!"
Sin-kiam Lo-thong yang berdiri di ujung kiri jembatan sudah tertawa-tawa dan meraba-raba gagang pedangnya. Sementara itu, Syanti Dewi mendengarkan penjelasan seorang anggauta Pek-san-pai tentang sebab permusuhan itu, tentang sumber mata air dan tentang jalannya pertandingan yang ada pantangannya, yaitu tidak boleh membunuh lawan dan siapa yang roboh dianggap kalah dan kekalahan ini harus diterima oleh pihak partai yang menjagoi yang kalah itu.
"Pamanku bukan Sin-ciang Yok-kwi,"
Kata Syanti Dewi karena dia khawatir sekali melihat Bun Beng yang sedang sakit itu hendak disuruh bertanding. Pemuda Pek-san-pai itu hanya tersenyum.
"Tentu saja bukan...."
Katanya karena dia pun sudah mendengar bahwa Sin-ciang Yok-kwi tidak pernah mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi.
"Akan tetapi tanpa bantuan locianpwe itu, pihak kami tentu akan kalah lagi. Sudah lima tahun berturut-turut pihak kami kalah selalu karena Hek-san-pai pandai mencari jago-jago yang lihai. Bahkan tahun ini, jagonya yang berdiri di sana itu amat lihai."
Pemuda itu menuding ke arah Sin-kiam Lo-thong yang tampak dari situ seperti seorang anak kecil yang berdiri di atas batu. Karena merasa tidak ada gunanya bersikeras menyangkal, akhirnya Syanti Dewi bertanya,
"Di manakah tempat bertapa Sin-ciang Yok-kwi?"
Pemuda itu memandang kepadanya sambil tersenyum, seolah-olah dia menganggap dara ini main-main, akan tetapi dia tidak berani untuk tidak menjawab, maka dia lalu menunjuk ke arah sebuah puncak lain yang tidak berapa jauh dari Jembatan Angkasa itu.
"Di puncak sana itulah tempat pertapaan tabib dewa itu."
"Benarkah bahwa dia pandai mengobati segala macam penyakit?"
Pemuda itu mengangguk.
"Sepanjang pendengaranku, belum pernah ada orang sakit yang tidak dapat disembuhkannya."
Percakapan itu terpaksa berhenti karena Syanti Dewi melihat betapa Gak Bun Beng, dengan langkah-langkah lemah dan agak terhuyung, telah naik ke atas Jembatan Angkasa.
"Paman....!"
Serunya lirih dan dia meninggalkan pemuda Pek-san-pai itu lari ke jembatan batu. Gak Bun Beng berhenti, menengok dan memberi isyarat kepada Syanti Dewi agar tidak ikut naik. Dara itu tidak berani membantah, berdiri di kaki jembatan sambil memandang ke atas, mukanya pucat sekali dan pandang matanya penuh kekhawatiran. Gak Bun Beng menghampiri dua orang ketua yang saling berdebat di atas Jembatan Angkasa itu. Melihat orang yang menderita sakit ini telah maju, Sin-kiam Lo-thong juga berlari-lari mendatangi dari ujung jembatan yang lain.
"Ha-ha-ha, engkau yang disebut Sin-ciang Yok-kwi? Majulah kalau memang engkau dijadikan jago oleh Pek-san-pai, melawan aku Sin-kiam Lo-thong jago Hek-san-pai!"
Kakek bertubuh kanak-kanak itu menantang. Bun Beng sudah tiba di atas jembatan, berdiri tegak dan mengatur pernapasannya, kemudian berkata dengan suara halus namun kata-katanya mengejutkan semua orang, terutama ketua Pek-san-pai,
"Cu-wi sekalian, memang aku datang dan melihat urusan ini timbul keinginan hatiku untuk mencampurinya. Akan tetapi, aku sama sekali tidak mewakili Pek-san-pai, tidak mewakili atau membantu kedua pihak, karena aku adalah pihak ke tiga yang membutuhkan tempat dan sumber air ini!"
"Apa katamu....?"
Ketua Hek-san-pai membentak dengan mata melotot.
"Locianpwe.... apa.... apa artinya ini....?"
Ketua Pek-san-pai juga bertanya heran.
"Keparat! Manusia berpenyakitan hampir mampus ini ternyata pengacau! Baik kubasmi dia!"
Sin-kiam Lo-thong berteriak marah dan untuk memperlihatkan kelihaiannya dan mencari jasa, dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang Gak Bun Beng dengan tusukan kilat!
"Hemm...."
Pendekar ini menggeram. Biarpun tubuhnya lemah dan sebelah dalam dadanya nyeri, namun sekali ini dia mengerahkan sin-kang, dia dapat mengelak cepat dan tangan kirinya menampar ke arah sinar pedang yang berkelebat.
"Krekkkk! Aughhhh....!"
Pedang itu kena dihantam tangan miring Gak Bun Beng dan patah menjadi dua potong, bahkan sebuah tusukan jari tangan kanan yang cepat mengenai jalan darah di pundak Sin-kiam Lo-thong, membuat kakek bertubuh kecil itu terjengkang dan roboh tak dapat bangun kembali karena sudah tertotok lumpuh!
"Bawa dia pergi....!"
Bun Beng berseru ke arah anak buah Hek-san-pai yang cepat berlari-lari datang dan dua orang itu lalu menggotong pergi Sin-kiam Lo-thong yang masih lumpuh kaki tangannya. Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi Gak Bun Beng dengan alis berkerut.
"Sebetulnya, apakah kehendakmu?"
Ketua Hek-san-pai yang melihat jagonya roboh itu bertanya.
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Locianpwe, bukankah Locianpwe mewakili kami sehingga kini fihak Pek-san-pai yang menang?"
Tanya ketua Pek-san-pai penuh harap. Gak Bun Beng memandang mereka dengan mulut tersenyum mengejek.
"Aku tidak mewakili siapa-siapa. Sudah kukatakan bahwa aku mewakili diriku sendiri untuk memperebutkan tempat ini berikut sumber airnya." "Ahhh! Akan tetapi tempat ini adalah warisan dari nenek moyang kami kedua perkumpulan! Kami kakak beradik seperguruan saja yang berhak atas tempat ini!"
Bantah ketua Pek-san-pai yang merasa kecewa sekali. Bun Beng memperlebar senyumnya.
"Kakak beradik seperguruan macam apa kalian ini? Kalau kalian sudah memperebutkan tempat ini dan setiap tahun bertanding, biarlah aku juga memperebutkannya. Akan tetapi alangkah curangnya kalau untuk kepentingan sendiri harus mengundang jagoan-jagoan bayaran. Hayo, kalian kakak beradik yang membutuhkan tempat ini majulah bersama melawan aku. Kalau kalian kalah, tempat ini menjadi milikku dan untuk keperluan air, kalian boleh membeli atau menyewa dariku. Kalau aku yang kalah, nah, tempat ini menjadi milik kalian berdua, keperluan air kedua pihak tentu dapat dicukupi tanpa adanya permusuhan dan perebutan."
Dua orang saudara seperguruan yang sudah beberapa keturunan menjadi musuh karena air itu kini saling pandang. Mereka menjadi ragu-ragu dan penasaran. Urusan jembatan dan air adalah urusan dalam antara mereka sendiri, dan kini muncul orang luar yang hendak merampas tempat itu dan memaksakan diri masuk ke dalam perebutan turun-temurun itu!
"Apakah kalian ini telah menjadi orang-orang yang demikian pengecut, beraninya hanya ribut antara saudara sendiri dan takut untuk menentang orang luar?"
Bun Beng berkata lagi, nadanya amat menghina sehingga wajah kedua orang ketua itu menjadi merah.
"Siapa takut? Kami hanya menghormatimu karena nama besarmu sebagai Sin-ciang Yok-kwi...."
Kata ketua Peksan-pai.
"Aku bukan Yok-kwi (Setan Obat) atau setan apa pun. Aku adalah Gak Bun Beng seorang perantau yang ingin memiliki jembatan dan sumber air ini. Kalau kalian takut, sudah saja kalian bayar sewa tahunan kepadaku untuk menggunakan air di sini. Kalau berani, majulah!"
"Keparat, tempat ini akan kami pertahankan dengan nyawa!"
Bentak ketua Hek-san-pai.
"Bagus, kalau begitu majulah kamu berdua. Akan tetapi, kalian harus ingat akan pertaruhan dan janjinya. Kalau aku menang, kalian menjadi penyewa tempat ini dan membayar kepadaku. Kalau aku yang kalah, kalian harus berdamai dan tidak lagi memperebutkan tempat ini, memakainya sebagai milik bersama."
Kedua orang ketua itu sudah menjadi marah sekali. Dari kanan kiri mereka maju menyerang Bun Beng. Pendekar ini diam-diam merasa gembira karena siasatnya berhasil baik.
Maka dia juga bergerak dan menangkis tanpa mengerahkan tenaganya karena tadi begitu dia mengerahkan sin-kang ketika menghadapi Sin-kiam Lo-thong, dadanya terasa makin nyeri. Biarpun kini dia tidak mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi karena dia harus mengelak ke sana ke mari dan menangkisi pukulan-pukulan kedua orang ketua yang juga memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi itu, Bun Beng merasa betapa kepalanya pening. Akhirnya, pukulan ketua Hek-san-pai mengenai dadanya sedangkan pukulan ketua Pek-san-pai mengenai punggungnya. Bagi tubuh Bun Beng yang sudah memiliki daya tahan dan kekebalan luar biasa, pukulan-pukulan itu tidak berbahaya, namun cukup kuat untuk membuat kepalanya yang sudah pening menjadi makin pening, pandang matanya gelap dan robohlah dia dalam keadaan pingsan!
"Kalian manusia-manusia berhati kejam....!"
Tiba-tiba Syanti Dewi berlari naik ke atas jembatan menudingkan telunjuknya ke arah muka kedua orang ketua itu dengan marah.
"Butakah mata kalian?"
Kedua orang ketua itu terheran-heran. Tadinya mereka siap menghadapi dara ini karena mereka menyangka bahwa dara itu akan menuntut balas atas kekalahan Gak Bun Beng. Kini mereka saling pandang dan bingung.
"Sudah jelas bahwa paman Gak sengaja hendak memaksa kalian agar berdamai dan menghentikan permusuhan ini, permusuhan bersifat kanak-kanak yang memalukan! Paman Gak sengaja mengalah dan mengorbankan dirinya agar kalian menang dan berdamai. Kalau tidak, apakah kiranya kalian berdua akan dapat menang menghadapinya? Tidak kalian lihat tadi betapa dalam segebrakan saja dia mampu mengalahkan Sin-kiam Lo-thong? Buta! Kalian buta dan tidak mengenal budi!"
Setelah berkata demikian, Syanti Dewi lalu berlutut dekat Gak Bun Beng. Dua orang ketua itu terbelalak seperti disambar petir rasanya. Baru sekarang mereka mengerti. Mereka pun otomatis berlutut dekat tubuh Bun Beng yang masih pingsan.
"Maafkan kami, Nona. Biarlah kami menolong dan merawat locianpwe ini...."
Kata ketua Pek-san-pai.
"Kami memang bodoh dan locianpwe telah memberi pelajaran hebat kepada kami dengan mengorbankan diri. Maafkan kami, Nona. Kami akan berusaha merawat dan mengobatinya."
Syanti Dewi bangkit berdiri.
"Apakah di antara kalian terdapat ahli pengobatan yang pandai?"
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian menggeleng kepala.
"Kalau begitu, tolong bawa paman Gak ke rumah, aku akan pergi menemui Sin-ciang Yok-kwi di Ci-lan-kok."
Kembali kedua orang ketua itu tertegun.
"Jadi.... benarkah locianpwe ini bukan Sin-ciang Yok-kwi?"
"Kalian memang bodoh dan buta karena permusuhan picik ini. Dia adalah paman Gak Bun Beng yang sedang sakit dan kebetulan lewat di tempat ini. Aku mau pergi mencari Yok-kwi!"
Syanti Dewi sudah hendak lari ketika dua orang ketua itu berseru
"Tahan dulu, Nona!"
"Ada apa lagi?"
"Sebaiknya kalau Gak-locianpwe dibawa saja ke puncak Ci-lan-kok menghadap dan mohon bantuan Sin-ciang Yok-kwi. Kalau Nona pergi ke sana mengundangnya, tentu beliau tidak mau bahkan amat berbahaya bagi keselamatanmu."
"Tidak! Paman Gak sedang menderita dan sakit berat, mana mungkin dibawa naik puncak? Aku akan mencarinya, menemuinya dan memintanya turun puncak mengobati paman Gak. Kalian rawat paman Gak baik-baik!"
Tanpa menanti jawaban lagi Syanti Dewi lari meninggalkan jembatan itu, tidak memperdulikan peringatan dan cegahan kedua orang ketua itu. Setelah mengadakan permufakatan, akhirnya Gak Bun Beng yang pingsan itu digotong ke tempat tinggal ketua Pek-san-pai dan selanjutnya kedua orang ketua yang masih terhitung kakak beradik seperguruan itu bersama-sama merawat Bun Beng dan nampak rukun sekali. Melihat ini,
Otomatis para anak murid atau anak buah mereka menjadi girang dan tanpa diperintah mereka itu pun menjadi rukun, berkelompok dan bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat lama baru saling berjumpa lagi. Di puncak lembah Ci-lan-kok terdapat sebuah kuil tua yang sudah rusak. Kuil ini ratusan tahun yang lalu dihuni oleh para tosu yang bertapa di tempat itu, dan sekarang telah kosong tidak dipergu-nakan lagi. Akan tetapi semenjak beberapa tahun yang lalu, kuil yang dikabarkan orang berhantu itu mendapatkan seorang penghuni baru yang amat aneh. Seorang kakek bertongkat yang menderita sakit, tidak perah kelihatan sehat, akan tetapi hebatnya, kakek berpenyakitan ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam ilmu pengobatan.
Mula-mula yang diobatinya adalah anak-anak penggembala kerbau yang sampai di lereng Ci-lan-kok, kemudian beberapa orang penebang kayu dan pemburu yang terluka. Lama kelamaan banyak orang sakit yang datang kepadanya. Memang hebat kepandaian kakek ini. Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya dan cara mengobatinya juga amat aneh. Memang sebagian besar dari mereka yang datang minta obat kepadanya, diberi obat ramuan daun, bunga, buah dan akar-akaran. Akan tetapl ada kalanya dia menyuruh orang makan tanah, ada yang diludahi, ada yang ditampar pundak atau dadanya, ada yang ditotok, ada pula yang dipukul kepalanya dengan tongkat sampai benjol, akan tetapi apa pun yang diberikan oleh tangannya atau dilakukan dengan tangannya, orang yang sakit menjadi sembuh kembali!
Inilah sebabnya, biar dia tidak pernah menyebutkan namanya, dia segera memperoleh julukan Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti), karena sikap dan wataknya memang aneh seperti setan, dan tangannya dianggap sakti. Dia disebut setan karena memang aneh wataknya. Orang yang menderita sakit, kalau menghadap kepadanya, tentu diobatinya biarpun secara luar biasa dan kadang-kadang menyakitkan hati. Akan tetapi orang waras yang berani menghadapinya sekedar ingin melihat dan mengenalnya, tentu akan diamuknya, menjadi korban pukulan tongkatnya sehingga orang yang waras itu akan lari lintang-pukang dengan kepala benjol-benjol dan tubuh sakit-sakit! Dan ternyata bahwa ilmu silat kakek itu juga hebat, karena banyak di antara mereka yang dihajar itu sendiri orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun yang sama sekali tidak berdaya menghadapi hajaran tongkat kakek berpenyakitan itu!
Pada hari itu, seperti biasa, Sin-ciang Yok-kwi duduk bersandar pada dinding di luar kuil, di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di depan kuil. Kakek ini duduk bersandar dengan mata masih mengantuk, memegang tongkatnya yang ga-gangnya bengkok dan yang dipakai menopang dagunya. Kelihatannya dia masih mengantuk dan lemas sekali, bahkan kadang-kadang terdengar dia mengeluh dan merintih seperti orang yang menderita penyakit berat. Kedua kakinya tidak bersepatu dan pakaiannya yang cukup bersih itu amat sederhana. Melihat wajahnya yang sudah penuh keriput, agaknya kakek ini tentu sudah ada enam puluh tahun usianya. Matahari telah naik tinggi ketika dari lereng puncak Ci-lan-kok muncul belasan orang. Melihat keadaan mereka, jelas tampak bahwa mereka adalah orang-orang yang menderita sakit.
Ada yang terhuyung-huyung, ada yang dipapah, ada yang digotong dan ada yang mengerang dan terengah-engah. Ketika mereka melihat kakek yang mereka harapkan akan dapat menyembuhkan penderitaan mereka itu berada di luar kuil, mereka berhenti. Biarpun mereka itu mengandung harapan untuk disembuhkan, namun nama kakek yang tersohor aneh dan galak ini membuat mereka takut dan seolah-olah ingin orang lain menghadap lebih dulu. Seperti serombongan orang yang menderita sakit gigi antri di depan kamar periksa dokter gigi! Ingin diobati namun ngeri membayangkan cara pengobatan yang menyiksa. Seorang di antara mereka, yang masih muda, mengangkat dadanya lalu dengan langkah lebar menghampiri kakek itu, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Sin-ciang Yok-kwi yang masih memejamkan mata bersandar dinding butut.
"Locianpwe, saya mohon pertolongan Locianpwe untuk menyembuhkan penderitaan saya, sesak di dada dan lambung kiri...."
Orang muda itu berkata sambil berlutut. Perlahan-lahan mata itu terbuka, memandang tak acuh kepada pemuda yang berlutut di depannya.
"Huh, kau berkelahi?"
Tiba-tiba bibir kakek itu bergerak dan pertanyaan penuh celaan ini membuat pemuda itu menundukkan mukanya.
"Benar, Locianpwe, akan tetapi saya tidak bersalah, saya...."
"Sudah berkelahi berarti bersalah! Kalau sudah berani berkelahi, terluka, tanggung saja sendiri!"
"Harap Locianpwe mengasihi saya.... dada ini terasa sakit bukan main kalau bernapas...."
"Sudahlah! Engkau memang kurang mendapat pukulan!"
Tiba-tiba tangan kiri kakek itu meraih ke depan, ujung kuncir rambut pemuda itu yang menggantung di depan telah dipegangnya dan ditariknya sehingga kepala pemuda itu tertarik, tubuhnya membungkuk, lalu tongkat itu bergerak memukul punggung si pemuda.
"Dukkkk....! Uakkhh....!"
Pemuda itu muntahkan darah dan roboh menelungkup di depan kaki Yok-kwi. Matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah. Dia marah sekali dan cepat dia bangkit duduk lalu meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
"Locianpwe....! Aihhh.... dadaku.... sudah tidak terasa sakit lagi....!"
Pemuda itu berloncat-loncatan dengan girangnya biarpun bibirnya masih berlepotan darah.
"Pergilah!"
Kakek itu mengangkat tongkatnya hendak memukul dan pemuda itu lari dari tempat itu sambil tertawa-tawa girang. Mereka yang menyaksikan cara pengobatan itu menjadi makin ngeri sehingga diam-diam mereka yang merasa bahwa penyakitnya tidak berat, segera meninggalkan tempat itu, menuruni puncak tidak berani berobat!
Kini yang berlutut di depan kakek itu adalah sepasang suami isteri. Usia mereka tiga puluh tahun lebih, si suami bertubuh gendut dan tiada hentinya mengusap keringat yang membasahi dahi dan lehernya, sedangkan isterinya yang cantik dan bertubuh montok cemberut karena suami itu kelihatannya jerih dan agaknya dipaksa menghadap Yok-kwi. Dengan tarikan-tarikan tangannya, isteri itu mendesak agar si suami cepat bicara kepada Yok-kwi. Suami itu kelihatan ketakutan dan sukar mengeluarkan kata-kata, keringatnya makin banyak. Maka terjadilah tarik-menarik tangan antara mereka di depan kakek yang sudah melenggut lagi itu. Akhirnya, setelah isteri itu mencubit lengan suaminya sekerasnya, si gendut itu berteriak kesakitan dan Yok-kai membuka matanya memandang.
"Ada apa kalian ini?"
Tegurnya. Laki-laki gemuk itu terkejut dan makin ketakutan, memberi hormat dengan memukul-mukulkan dahi ke atas tanah sambil berkata,
"Mohon maaf, Locianpwe.... saya.... eh, kami.... mohon obat kepada Locianpwe.... agar kami berdua.... dapat dikurniai anak...."
Sejenak kakek itu memandang kepada mereka bergantian, lalu bertanya kepada wanita itu,
"Benarkah engkau ingin mempunyai anak?"
Dengan muka berubah merah sekali wanita itu tanpa berani mengangkat mukanya menjawab lirih,
"Benar.... Locianpwe...."
Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas tanah di dekat si suami, membuat si gendut ini terkejut dan ketakutan.
"Kalau ingin mempunyai anak kau harus tidur dengan laki-laki lain!"
Jawaban ini tentu saja mengejutkan suami isteri itu, dan menggelikan hati semua orang, namun tidak ada yang berani tertawa. Suami yang gendut itu membentur-benturkan dahinya di atas tanah, lalu berkata gagap,
"Akan tetapi.... Locianpwe, ini.... ini adalah...."
"Pergi! Lekas! Atau kuketuk kepala kalian dengan tongkat ini!"
Bentak kakek itu marah-marah. Si isteri memegang tangan suaminya dan menariknya pergi dari situ.
"Hayo cepat pergi...."
Bisiknya. Suami gendut itu menurut, dan pergilah mereka, suara mereka masih terdengar karena mereka agaknya mulai cek-cok.
"Kau tergesa-gesa hendak mencari pria lain, ya?"
Terdengar si suami mengomel.
"Cih! Kau yang tak becus!"
Isterinya membantah.
"Awas kau kalau tidur dengan laki-laki lain....!"
"Sshhhh, manusia tak tahu malu! Didengar orang, tahu tidak?"
Orang-orang yang berada di situ tersenyum geli juga mendengar percekcokan suami isteri itu dan diam-diam merasa heran akan sikap kakek yang sudah melenggut pula itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa dua kali pengobatan itu sudah membuktikan kelihaian Yok-kwi. Pemuda tadi telah disembuhkanya dengan cara pukulan sin-kang yang sekaligus mengusir bahaya dari dalam tubuh si pemuda dan memunahkan akibat dari pukulan yang membuat pemuda itu mengalami cidera di dalam tubuhnya. Adapun kata-katanya kepada suami isteri itu memang atas dasar kenyataan bahwa menurut penglihatannya yang tidak ngawur melainkan menurut perhitungan dan pengalaman,
Suami gendut itu memang tidak dapat memberikan benih keturunan kepada isterinya. Jawaban itu mungkin terdengar tidak sopan dan bahkan kurang ajar dan memang demikianlah watak aneh dari Yok-kwi. Namun sebenarnya memang tepat, karena wanita yang bertubuh sehat dan montok itu pasti bisa memperoleh keturunan kalau tidur dengan pria lain yang normal, tidak seperti suaminya! Setelah beberapa orang yang sakit diobati oleh Yok-kwi dengan cara-caranya yang istimewa, akhirnya tampak sepasang suami isteri berlutut menghadap kakek itu. Si suami yang bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun namun mukanya terpelihara bersih, pakaiannya pun rapi, berwajah pucat dan datang ke tempat itu dipapah oleh isterinya yang baru berusia tiga puluhan tahun, cantik dan bersikap genit penuh daya pikat.
"Locianpwe, mohon sudi mengobati suami saya yang menderita sakit sudah berbulan-bulan,"
Berkata si isteri sambil berlutut. Kakek itu memandang laki-laki pucat itu sampai beberapa lama, kemudian mengerling ke arah si isteri lalu membentak,
"Apa kau ingin membunuh suamimu?"
Isteri itu terkejut bukan main, demikian pula suaminya.
"Apa.... apa maksud Locianpwe?"
Isteri itu bertanya gagap sedangkan si suami memandang isterinya dengan alis berkerut.
"Kalau tidak ingin membunuh suamimu, tinggalkan dia kalau malam. Harus pindah kamar sampai tiga bulan lamanya!"
Tiba-tiba tangan kanan kakek itu menyambar sebutir batu, melemparkan batu kecil ke atas pohon dan jatuhlah seekor burung, mati karena kepalanya disambar batu.
"Masak ini dengan arak, tim yang empuk lalu makan habis. Setiap hari harus makan burung seperti ini dengan arak, sampai sebulan. Nah, pergilah!"
Suami isteri itu tidak banyak cakap lagi, menerima bangkai burung dan menghaturkan terima kasih, cepat pergi dari tempat itu dengan muka merah. Di antara sisa mereka yang hendak berobat, ada yang tersenyum geli. Itulah resikonya seorang laki-laki tua mempunyai isteri muda sekali, pikirnya. Akhirnya semua orang telah menerima giliran berobat dan yang terakhir sekali seorang dara cantik jelita berlutut di depan kakek itu. Yok-kwi memandang dengan alis berkerut kepada Syanti Dewi, kemudian berkata galak,
"Kau tidak sakit! Kalau kau lekas menikah tentu akan terobat rindu di hatimu terhadap pria yang kau cinta! Hayo pergi, kalau bukan seorang anak perempuan, sudah kupukul kepalamu!"
Syanti Dewi sudah mendengar akan watak aneh dari kakek ini, bahkan tadi dia telah menyaksikan cara-cara kakek ini mengobati orang. Biarpun dia merasa gentar juga, namun demi keselamatan Bun Beng, dia tidak akan mundur dan bahkan dia telah memperoleh akal untuk mengundang kakek ini agar suka mengobati Gak Bun Beng. Betapapun juga, kata-kata kakek itu mengejutkan hatinya dan membuat dia sejenak termenung dengan muka berubah merah. Dia rindu terhadap pria yang dicintanya?
"Hayo pergi....!"
Kakek itu membentak dan bangkit berdiri karena dia ingin masuk ke dalam kuil kembali setelah semua orang itu pergi.
"Maaf, Locianpwe. Memang saya tidak sakit dan kedatangan saya ini untuk menyaksikan sendiri kabar yang saya dengar tentang kepandaian Locianpwe yang katanya setinggi langit. Akan tetapi saya kecewa melihat cara Locianpwe mengobati orang tadi. Apalagi melihat keadaan Locianpwe sendiri jelas bukan orang waras dan menderita sakit hebat, saya makin tidak percaya."
Yok-kwi memandang Syanti Dewi dengan alis berkerut dan mata terbelalak penuh kemarahan. Sebagai seorang yang berpengalaman dan tajam penglihatannya, dia sekali pandang saya sudah mengenal orang. Dia tahu bahwa wanita muda ini bukan orang sembarangan, gerak-geriknya halus, kata-katanya teratur dan sopan, sikapnya agung. Jelas bukan wanita sembarangan. Akan tetapi mengapa ucapannya seolah-olah sengaja hendak menghina dan merendahkannya?
"Nona, aku tidak tahu engkau siapa dan apa perlumu datang ke tempat ini. Akan tetapi ketahuilah, biarpun aku tidak biasa membuat propaganda seperti tukang jual obat di pasar, aku menantang semua penyakit di dunia ini! Orang yang menderita penyakit apapun, asal dia belum mampus, tentu dapat kuobati sampai sembuh!"
Suara kakek itu keren dan marah sekali karena kelemahannya telah disinggung oleh Syanti Dewi dan memang inilah tujuan dara yang cerdik itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang sejak kecil dididik dengan kebudayaan tinggi dan kesopanan dalam istana sehingga otomatis dia memiliki sifat dan sikap yang amat halus. Akan tetapi di balik ini semua terdapat kecerdikan luar biasa, maka melihat sikap dan watak kakek Yok-kwi, dia sudah lantas dapat mengambil sikap yang tepat agar keinginannya terkabul dan pancingannya berhasil untuk menarik kakek ini pergi mengobati Gak Bun Beng.
"Mungkin saja ucapan Locianpwe itu benar, akan tetapi bagaimana saya bisa tahu bahwa Locianpwe tidak hanya menjual kecap? Buktinya, kalau Locianpwe dapat mengobati semua penyakit asal orangnya belum mati, mengapa Locianpwe tidak bisa mengobati diri sendiri yang menderita sakit berat?"
Kakek itu makin marah.
"Bocah lancang mulut! Tentu saja aku tidak bisa mengobati diriku sendiri. Orang bisa saja melihat kesalahan orang lain dengan amat jelasnya, akan tetapi melihat kesalahan sendiri tidak mungkin! Orang bisa saja melihat keburukan dan cacat cela orang lain dengan amat mudah, akan tetapi tidak mungkin melihat keburukan diri sendiri. Mudah saja untuk menasehati orang lain, akan tetapi tidak bisa menasehati diri sendiri. Maka, apa salahnya kalau aku mampu mengobati orang lain akan tetapi tidak mampu mengobati diriku sendiri? Apa perdulimu dengan itu semua?"
Diam-diam, biarpun merasa gentar hatinya, Syanti Dewi makin girang karena makin marah kakek ini, makin mudahlah memancingnya untuk pergi turun puncak mengobati Bun Beng yang amat dia khawatirkan keselamatannya itu. Syanti Dewi sengaja tersenyum mengejek, kemudian berkata,
"Locianpwe, harap jangan marah-marah dulu. Kedatanganku ini memang sengaja hendak melihat kelihaian Locianpwe karena saya amat tertarik sekali. Keadaan Locianpwe sama benar dengan keadaan pamanku. Pamanku juga seorang yang amat ahli dalam ilmu pengobatan, tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya, dan saya percaya dia masih lebih pandai daripada Locianpwe, sedikitnya tentu tingkatnya lebih tinggi satu dua tingkat! Akan tetapi celakanya seperti Locianpwe pula, dia juga menderita penyakit yang dia tidak mampu obati sendiri. Maka saya sengaja datang untuk menantang Locianpwe mengadu ilmu dengan pamanku itu yang kini berada di rumah ketua Pek-san-pai."
"Tidak sudi! Kau hanya memancing agar aku mengobati dia! Huh, setelah kau bersikap kurang ajar, masih mengharapkan aku menyembuhkan pamanmu? Dia tentu seorang undangan dari pihak Pek-san-pai untuk menghadapi jagoan Hek-san-pai, bukan? Huh, aku sudah tahu semua tentang mereka. Pergilah dan biar pamanmu mampus! Aku tidak sudi mengobatinya!"
Dapat dibayangkan betapa perih rasa hati Syanti Dewi. Sudah bersusah payah dia berlagak dan menggunakan muslihat, namun tetap tidak berhasil.
Betapapun juga, dia tidak putus harapan dan menyembunyikan perasaan hatinya. Kakek yang tadinya girang melihat dara itu terpukul dan mengharapkan dara itu akan menangis, menjadi terkejut melihat dara itu kini tersenyum lagi, bahkan berkata nyaring dengan nada penuh ejekan.
"Locianpwe, kalau kau takut, katakan saja takut! Pamanku bukanlah orang undangan Pek-san-pai maupun Hek-san-pai. Pamanku seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi, dia bukan hanya tidak memihak, malah dia berhasil mendamaikan Pek-san-pai dan Hek-san-pai sehingga mulai sekarang tidak akan ada lagi perang di antara keduanya. Pamanku berhasil mendamaikan dan menginsyafkan mereka. Akan tetapi melihat pamanku sakit dan Locianpwe juga sakit dan memiliki keadaan yang sama, maka aku sengaja datang menantang Locianpwe untuk mengadu kepandaian."
"Apa....?"
Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas sebongkah batu dan batu itu pecah berhamburan dan bunga api berpijar. Syanti Dewi terkejut sekali melihat kakek itu marah-marah.
"Pamanmu telah mendamaikan mereka? Celaka tiga belas! Pamanmu jahat bukan main! Pamanmu dengki dan jahat!"
Biarpun dia takut, namun mendengar Gak Bun Beng dimaki-maki, Syanti Dewi menjadi marah.
"Harap Locianpwe tidak sembarangan memaki orang! Pamanku adalah seorang pendekar sakti yang budiman, yang telah mengakurkan dua pihak yang masih bersaudara seperguruan itu dari permusuhan. Mengapa Locianpwe malah memakinya jahat dan dengki?"
"Bodoh....! Bodoh....! Mengapa aku sampai susah payah tinggal di sini, mendekati Hek-san-pai dan Pek-san-pai kalau tidak ada permusuhan tahunan itu? Permusuhan itu menimbulkan banyak korban yang terluka, baik yang ringan maupun yang berat. Sekarang, pamanmu lancang dan dengki, menghentikan permusuhan dan berarti tidak akan ada pertempuran lagi. Bukankah itu berarti aku akan kehabisan langganan orang yang sakit terluka?"
Mengertilah kini Syanti Dewi dan makin heran dia akan jalan pikiran kakek yang aneh ini. Pandangan kakek itu benar-benar aneh dan menyeleweng dari umum, tidak lumrah. Syanti dewi kembali tersenyum.
"Memang agaknya pamanku sengaja berbuat demikian, akan tetapi Locianpwe akan dapat berbuat apa? Dalam ilmu pengobatan pun, Locianpwe akan kalah. Aku berani tanggung bahwa pamanku akan sanggup menyembuhkan penyakit yang diderita Locianpwe ."
Sepasang Pedang Iblis Eps 3 Sepasang Pedang Iblis Eps 19 Sepasang Pedang Iblis Eps 11