Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 24


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 24



"Lee-ko, wajahmu kembali muram seperti matahari tertutup mendung. Kenapakah, Lee-ko?"

   "Bu-te, harap jangan bergurau."

   Kian Lee menegur adiknya. Kian Bu menghela napas, akan tetapi pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah kakaknya. Dia terlalu sayang kepada kakaknya ini sehingga setiap perubahan pada wajah kakaknya tampak jelas olehnya karena perhatiannya tak pernah lengah.

   "Lee-ko, sekali ini aku tidak bersenda-gurau. Sudah beberapa hari aku melihat perubahan wajahmu, akan tetapi aku tidak menyinggungnya, khawatir kalau hal itu akan menambah kekeruhan pikiranmu. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau menyusahkan sesuatu. Alismu selalu berkecut, pandang matamu jauh dan kosong, dan engkau, bahkan tidak lagi dapat menghadapi senda-gurauku. Dan semua ini terjadi semenjak kita berjumpa dengan Nona di Lembah Bunga Hitam itu."

   "Bu-te....!"

   "Sekali lagi aku tidak bergurau sekali ini, Koko. Aku melihat perubahan itu pada wajah-mu."

   Kian Lee menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, kemudian berkata lirih,

   "Memang benar, Adikku. Aku selalu memikirkan dia karena aku merasa menyesal dan kasihan sekali kepada-nya."

   "Hemm, kita tidak kenal dia, Lee-ko. Pula, melihat bahwa dia hadir di tempat menyeramkan itu, melihat pula betapa dia membunuh orang tanpa berkedip mata, dia tentulah seorang di antara tokoh-tokoh dunia hitam, seorang wanita sesat yang berhati kejam...."

   "Tidak, Bu-te. Apakah kau lupa ketika kita bertemu dengan dia di pasar kuda dahulu? Masih terbayang olehku betapa wajahnya cerah dan sama sekali tidak membayangkan sinar kejam. Akan tetapi di lembah itu.... ah, bagaikan bumi dengan langit bedanya. Inilah yang membuat aku menyesal dan kasihan, Adikku karena aku dapat menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang amat hebat dengan dia!"

   Hening sejenak, tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya di atas meja.

   "Lee-ko, engkau telah jatuh cinta!"

   Kian Lee merenggut lengannya dan memandang dengan mata terbelalak.

   "Jangan main gila kau!"

   Bentaknya lirih. Kian Bu menggeleng kepalanya perlahan dan tersenyum.

   "Tidak, Lee-ko. Akan tetapi kau pikir saja sendiri. Engkau kenal pun belum dengan gadis itu, tahu namanya pun belum, akan tetapi engkau sudah menaruh perhatian sedemikian rupa sampai engkau melamun dan kelihatan muram. Engkau merasa sedih melihat keadaannya, apalagi namanya ini kalau bukan jatuh cinta?"

   "Jangan engkau main-main, Bu-te. Terus terang saja aku memang amat tertarik kepada dia, merasa kasihan sekali kepadanya, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa aku jatuh cinta karena aku sendiri tidak tahu bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Sudahlah, jangan kau menggodaku dengan pembicaraan yang tidak ada gunanya ini."

   Kian Bu masih tidak mau terima dan hendak membantah, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik dan tampak di luar pintu warung itu para penduduk dusun hilir mudik dan nampak sibuk sekali. Berbondong-bondong penduduk datang memasuki dusun itu, mungkin dari luar dusun dan wajah mereka rata-rata gembira seolah-olah mereka sedang menghadapi suatu peristiwa yang menggembirakan. Ketika pelayan warung datang meng-hidangkan bakmi yang mereka pesan, Kian Bu bertanya,

   "Twako, apakah ribut-ribut itu? Dan mengapa semua orang keluar ke jalan raya?"

   "Ada kabar gembira, Kongcu (Tuan Muda). Baru saja terdapat berita bahwa rombongan panglima akan lewat di dusun ini. Tentu saja semua penduduk di sini, bahkan penduduk dusun-dusun sekitar sini, keluar dari rumah semua untuk menyambut panglima yang kami cinta dan hormati!"

   Dua orang kakak beradik itu merasa heran mengapa penduduk dusun begitu cinta kepada seorang panglima pasukan tentara. Biasanya, penduduk hanya mempunyai satu perasaan saja terhadap pasukan tentara, yaitu perasaan takut dan hormat yang timbul karena takut. Akan tetapi cinta?

   "Apakah panglima itu baik sekali terhadap penduduk, Twako?"

   Kian Lee bertanya karena dia pun merasa heran sekali.

   "Baik? Aih, Kongcu, beliau adalah pelindung kami, pelindung rakyat kecil di daerah utara ini. Kalau tidak ada beliau, entah apa jadinya dengan kami yang setiap hari selalu diganggu oleh suku bangsa liar dan bahkan oleh tentara sendiri yang bertugas di perbatasan, yaitu sebelum beliau berada di sini. Sekarang, kami hidup tenteram dan damai, semua berkat beliau yang bijaksana."

   "Mengangumkan sekali!"

   Kian Lee berseru.

   "Pernah dulu, di waktu kami di dusun-dusun kehabisan makanan karena musim kering terlalu panjang, beliau membagi-bagikan ransum pasukan kepada rakyat sehingga biarpun pasukannya agak memgurangi makan, namun rakyat tertolong dari bahaya kelaparan. Mengingat kebaikannya, di waktu panen yang berhasil baik, tanpa diminta rakyat sering mengirim hasil bumi ke benteng sehingga selalu terdapat hubungan baik antara rakyat dan tentara yang dipimpinnya. Memang, di dunia ini kiranya hanya dapat dihitung dengan jari tangan pembesar sebaik Jenderal Kao Liang itu."

   "Jenderal Kao....?"

   Kian Bu berseru amat kagetnya. Kiranya Jenderal Kao Liang yang dibicarakan pelayan ini! Dan mereka berdua sedang dalam perjalanan untuk menemui jenderal itu.

   "Jadi diakah yang akan disambut oleh rakyat ini?"

   "Benar, kabarnya beliau hendak pergi ke kota raja dan lewat di sini."

   Pelayan itu menghentikan kata-katanya dan berlari ke luar karena sudah terdengar suara riuh-rendah menandakan bahwa rombongan jenderal itu telah memasuki dusun!

   "Ah, bagaimana ini, Lee-ko? Kita mengunjunginya, akan tetapi dia malah akan pergi ke kota raja!"

   Kian Bu berkata kepada kakaknya.

   "Mari kita melihatnya, Bu-te, dan tentu saja kita harus memutar haluan pula, kembali ke kota raja karena kalau dia sudah pergi ke kota raja, surat ini tidak perlu lagi. Dia tentu akan bertemu pula dengan Enci Milana,"

   Kata Kian Lee tenang. Keduanya lalu lari ke luar pula dari warung itu untuk menonton rombongan Jenderal Kao yang dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang tepi jalan.

   Ketika kedua orang kakak beradik ini keluar dan berdiri di tepi jalan bersama para penduduk dusun yang semua memandang sambil tersenyum ramah dan melambaikan tangah, ada yang memberi hormat, akan tetapi semua pandang mata menyinarkan kekaguman dan penghormatan, dengan mudah mereka berdua menduga siapakah di antara rombongan itu yang bernama Jenderai Kao Liang. Jenderal yang tinggi besar, bertubuh tegap kuat seperti seekor singa tua, duduk di atas kudanya dengan tegak. Jenderal ini diapit oleh dua orang pengawal pribadinya. Hanya dua orang pengawal pribadi itulah anak buahnya, karena tidak ada pasukan pengiringnya yang terdiri dari anak buahnya sendiri.

   Di belakangnya tampak seorang pembesar gendut, utusan Kaisar yang ditemani oleh enam orang perwira pengawal Kaisar sendiri yang berpakaian gemerlapan indah. Setelah ini barulah berbaris pasukan pengawal Kaisar yang jumlahnya dua losin orang, semua berpakaian seragam dan naik kuda yang besar-besar. Tampak sekali perbedaan pada wajah jenderal yang dicinta rakyat itu dengan wajah para perwira pengawal Kaisar. Pembesar utusan Kaisar itu bersama enam orang pengawal perwira, kelihatan berseri-seri wajahnya melihat sambutan penghuni dusun yang dilewati rombongan mereka. Dengan tersenyum-senyum, kadang-kadang mengerling penuh gaya kepada wanita-wanita muda yang ikut menyambut, mereka ini mengangkat dada, mengurut kumis dan menegakkan kepala, bangga bukan main hati mereka menyaksikan penyambutan itu. Mereka merasa diri mereka amat "penting"

   Dan menjadi pusat perhatian dan penyambutan rakyat.

   "Lee-ko, lihat, dia begitu muram...."

   Bisik Kian Bu. Memang benar demikian. Berbeda dengan utusan Kaisar dan para perwira pengawal istana yang menyambut dan membawanya ke kota raja untuk menghadap Kaisar yang memanggilnya, Jenderal Kao Liang kelihatan muram wajahnya, sama sekali tidak bergembira. Wajahnya yang gagah dan angker itu bahkan agak pucat, seolah-olah dia menghadapi hal yang amat tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak kelihatan gembira dan bersemangat seperti biasanya, kini kelihatan lesu dan lemas di atas kudanya. Untuk sekedar menerima penghormatan rakyat yang sebetulnya semua ditujukan kepadanya seorang, jenderal ini hanya melambaikan tangan ke kanan dan kiri. Memang Jenderal Kao sedang merasa berduka.

   Hatinya sedang risau sekali. Dia sedang amat dibutuhkan di perbatasan untuk mengadakan pembersihan terhadap pengaruh pemberontak di dalam pasukan penjaga di perbatasan, dan semua itu harus dihadapinya sendiri secara langsung karena dia maklum akan bahayanya pengaruh itu. Dia harus yakin benar bahwa tidak ada kaki tangan pemberontak Kim Bouw Sin yang menyelundup. Dan dia masih pula sedang merencanakan untuk membawa pemberontak itu ke kota raja agar diadili di sana di samping membuat laporan lengkap kepada pemerintah. Akan tetapi tiba-tiba Kaisar memerintahkan dia menghadap ke istana dengan segera dan dia tidak diperkenankan membawa pasukan pengawal, kecuali dua orang pengawal pribadinya yang juga bertugas sebagai pelayannya itu.

   Bahkan utusan Kaisar itu lalu menggunakan kekuasaannya untuk mengangkat seorang panglima di benteng itu untuk menjadi komandan sementara. Yang amat menggelisahkan hati Jenderal Kao sama sekali bukanlah keadaan dirinya sendiri, melainkan ada dua hal, yaitu pertama-tama Syanti Dewi yang terpaksa harus ditinggalkannya di benteng, dan kedua adalah Kim Bouw Sin, yang masih menjadi tahanan. Dia khawatir sekali kalau dia tidak berada di benteng itu, kaki tangan Kim Bouw Sin akan bergerak dan membebaskan bekas pemberontak itu. Dia tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri sungguhpun dia merasa curiga akan peristiwa panggilan Kaisar ini. Betapapun juga, ada sedikit cahaya terang baginya kalau dia mengingat bahwa di kota raja terdapat Perdana Menteri Su dan Puteri Milana,

   Dua orang tokoh yang ia percaya adalah orang-orang yang setia kepada negara dan dapat diandalkan untuk menghadapi pihak pemberontak yang dia tahu secara rahasia dipimpin oleh dua orang Pangeran Tua Liong. Kian Lee dan Kian Bu hendak meninggalkan warung itu setelah membayar akan tetapi ketika mereka berdua tiba di pintu warung hampir saja mereka bertabrakan dengan tiga orang yang baru turun dari atas kuda dan mereka bertiga itu memasuki warung dengan tergesa-gesa sehingga hampir menabrak dua orang kakak beradik itu. Akan tetapi, tiga orang itu dapat mengelak dengan gerakan yang gesit, kemudian tanpa mempedulikan Kian Lee dan Kian Bu, mereka terus memasuki warung. Gerakan mereka yang amat gesit itu tentu saja menarik perhatian dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka menengok dan memandang.

   Tentu saja mereka berdua terheran-heran melihat betapa tiga orang itu tidak duduk di atas bangku-bangku warung seperti lajimnya tamu yang hendak makan, melainkan terus menyelonong ke dalam melalui pintu tembusan kecil. Pelayan yang melihat mereka pun diam saja, seolah-olah hal itu tidak merupakan hal yang aneh. Kian Lee dan Kian Bu saling berpandangan, merasa heran. Akan tetapi karena mereka tidak mengenal tiga orang itu, mereka tidak mengambil perhatian lagi lalu keluar dari dalam warung. Baru beberapa langkah mereka meninggalkan pintu warung, kembali ada dua orang yang sikapnya mencurigakan, dengan gesit telah menyelinap memasuki warung sambil menoleh ke kanan kiri. Ketika Kian Bu yang menaruh curiga itu memperhatikan, dua orang ini pun terus masuk ke bagian belakang warung itu seperti halnya tiga orang terdahulu!

   "Eh, Lee-ko, dua orang itu pun masuk ke dalam!"

   Kian Bu berbisik sambll menyentuh lengan kakaknya.

   "Biarkanlah, Bu-te. Kita tidak perlu mencampuri urusan orang. Yang penting kita harus membayangi rombongan Jenderal Kao,"

   Jawab Kian Lee yang biarpun tertarik nanun terpaksa menekan perasaannya karena ada tugas yang lebih penting bagi mereka, yaitu membayangi Jenderal Kao yang kelihatan berduka untuk melindungi sahabat baik dari kakak mereka itu. Rombongan Jenderal Kao yang berkuda itu sudah lewat jauh dan hampir keluar dari dusun itu, maka dua orang kakak beradik ini tergesa-gesa menyusul. Tentu saja karena di situ terdapat ba-nyak orang, mereka tidak mau memperlihatkan kepandaian menggunakan ilmu berlari cepat, hanya berjalan biasa secepatnya agar tidak menarik perhatian orang.

   "Awas, Bu-te....!"

   Tiba-tiba Kian Lee berseru ketika dari jalan simpangan, seorang penunggang kuda membalapkan kudanya. Kuda itu besar dan baik sekali, penunggangnya seorang pemuda tampan yang sikapnya agak ugal-ugalan sehingga seolah-olah dia tidak peduli bahwa kudanya membalap dan akan menabrak dua orang pemuda yang sedang berjalan di depan itu. Tentu saja mudah sekali bagi Kian Bu dan Kian Lee untuk bergerak ke samping dan menghindarkan diri ditabrak kuda. Terdengar suara ketawa dari pemuda yang menunggang kuda itu, yang ternyata pada saat itu pun sudah berhasil me-nyimpangkan kudanya dengan gerakan seorang ahli.

   "Jahanam kau, manusia sombong!"

   Kian Bu membentak dan sudah mengepal kedua tinjunya untuk mengejar dan menyerang.

   "Sssttt.... jangan layani dia, Bu-te....!"

   Kian Lee memegang lengan adiknya yang marah-marah itu.

   "Tugas kita lebih penting daripada urusan remeh itu."

   Kian Bu bersungut-sungut, akan tetapi dia dan kakaknya menjadi makin terheran-heran melihat betapa pemuda penunggang kuda itu dengan sigapnya meloncat turun dari atas kudanya di depan warung, kemudian bergegas memasuki warung itu.

   "Aihh, ini terlalu aneh. Pasti ada hubungannya dengan rombongan Jenderal Kao...."

   Kian Lee berbisik.

   "Sebaiknya kita selidiki, akan tetapi harap kau ja-ngan menimbulkan gara-gara, Bu-te."

   Mereka lalu menyelinap di antara banyak orang menghampiri warung itu secara diam-diam dari belakang. Sementara itu, hari pun mulai gelap. Dua orang kakak beradik menanti sampai keadaan menjadi sunyi, bersembunyi tidak jauh dari warung.

   "Kita terpaksa menanti sampai gelap, Bu-te." "Bagaimana kalau rombongan jenderal itu meninggalkan kita terlampau jauh?"

   "Tidak, mereka tentu akan berhenti di dusun besar selatan yang telah kita lewati pagi tadi dan bermalam di sana. Malam ini kita bisa mengejar dan menyusul mereka di sana."

   Setelah suasana menjadi sunyi dan cukup gelap, dua orang kakak beradik ini berindap-indap menghampiri warung dan akhirnya mereka berhasil mengintai dari balik jendela di ruangan belakang warung itu. Ternyata bahwa enam orang itu sedang bercakap-cakap dengan suara perla-han, duduk mengelilingi sebuah meja.

   Melihat sikap mereka, jelas bahwa pemuda berkuda yang hampir menabrak mereka tadi merupakan orang penting, dan agaknya dialah yang memimpin perundingan itu. Dengan amat hati-hati dan tidak mengeluarkan suara karena maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan, Kian Lee dan Kian Bu mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Dapat dibayangkan betapa terkejut hati kedua orang kakak beradik ini ketika mendengar percakapan enam orang itu. Dari percakapan itu mereka mengerti bahwa enam orang ini adalah kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong dan mereka ini merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Kao Liang! Juga dari percakapan mereka, atas penjelasan pemuda tampan yang kudanya hampir menabrak mereka tadi, Kian Lee dan Kian Bu mendengar betapa panggilan Kaisar terhadap Jenderal Kao Liang juga diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong!

   Pangeran ini membujuk Kaisar untuk memanggil dan memeriksa Jenderal Kao, karena menurut Pangeran Liong Bin Ong, Jenderal Kao kini telah menguasai seluruh pasukan inti, maka menjadi amat berbahaya. Buktinya, jenderal itu seringkali mengambil langkah-langkah pengamanan tanpa melapor ke kota raja lebih dulu sehingga seluruh kekuasaan atas semua pasukan boleh dibilang berada di tangannya. Kalau orang seperti itu sampai memberontak, tentu sukar untuk dibendung, demikian alasan Pangeran Liong kepada Kaisar sehingga Kaisar merasa khawatir juga, maka lalu mengutus pembesar memanggil Jenderal Kao ke kota raja. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pangeran Liong Bin Ong yang maklum akan kekuatan pasukan pengawal yang menjemput Jenderal Kao untuk menyiapkan enam orang itu sebagai penculik dan pembunuh!

   "Akan tetapi, Ang-taihiap!"

   Seorang di antara mereka membantah kepada pemuda tampan itu.

   "Dia dikawal oleh dua losin orang pengawal Kaisar, enam orang perwira pengawal, dan jenderal itu sendiri kabarnya memiliki kepandaian tinggi, belum lagi dua orang pengawal pribadinya...."

   "Apakah engkau takut?"

   Tiba-tiba pemuda itu membentak dan Kian Lee bersama adiknya terkejut. Pemuda itu tadinya bersikap halus, akan tetapi ketika membentak, suaranya mengandung getaran yang amat kuat dan orang itu pun gemetar ketakutan.

   "Tidak.... tidak, Taihiap.... hanya saya ingin berhati-hati agar jangan sampai gagal...."

   "Hemm, kau kira kami begitu bodoh dan ceroboh? Selain kita berenam, masih ada Siang Lo-mo dan teman-temannya yang akan muncul di hutan itu. Mereka sudah menanti di sana. Tentang Jenderal Kao, serahkan saja kepadaku."

   "Jadi kita besok pagi-pagi mengejar dan membayangi dari belakang, setibanya di hutan di lereng bukit di selatan itu kita serbu...."

   "Kalian bantu Siang Lo-mo dan teman-temannya menghadapi yang lain, sedangkan Jenderal Kao aku sendiri yang akan menghadapinya. Mengerti?"

   Pemuda yang disebut Ang-taihiap (Pendekar Besar she Ang) itu berkata lagi. Kian Lee dan Kian Bu dengan hati-hati mundur menjauhkan diri dari rumah makan. Kian Lee sengaja mengajak adiknya pergi karena dia maklum akan watak adiknya yang keras. Tadi sudah dilihatnya wajah adiknya berubah merah. Setelah agak jauh, Kian Bu benar saja memprotes,

   "Lee-ko! Sudah jelas persekutuan busuk itu hendak berbuat jahat, mengapa tidak kita basmi sekarang saja?"

   "Ssstt, Bu-te. Urusan ini bukanlah urusan pribadi, melainkan urusan kerajaan yang terancam pemberontakan. Mereka belum melakukan apa-apa, bagaimana kita bisa menentang mereka? Buktinya belum ada, maka sebaiknya kita sekarang menyusul rombongan Jenderal Kao dan melindunginya. Kalau besok di hutan itu mereka turun tangan, barulah kita menghadapi mereka."

   Kian Bu mengangguk-angguk.

   "Kau benar, Lee-ko. Juga aku ingin bertemu lagi dengan Siang Lo-mo, musuh besar kita itu. Dulu, di Pulau Es, aku belum sempat menampar kepala botak mereka dan sekarang terbuka kesempatan baik!"

   "Bu-te, kuharap engkau berhati-hati dan jangan memandang rendah lawan. Siang Lo-mo yang telah berani menyerbu Pulau Es bukanlah lawan ringan, dan kulihat pemuda yang she Ang itu pun bukan orang sembarangan. Engkau tentu mendengar kekuatan suaranya tadi."

   Kian Bu mengangguk dan kelihatan gemas.

   "Orangnya muda, tampan dan gagah, akan tetapi sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Dan dia tadi hampir menubrukku dengan kuda. Awas dia, besok aku akan membikin perhitungan!"

   Kakak beradik itu lalu meninggalkan dusun dan melakukan perjalanan cepat sekali mengejar rombongan Jenderal Kao Liang. Tepat seperti yang diduga oleh Kian Lee, rombongan itu bermalam di dusun besar, di tempat kepala dusun sendiri yang menyambut Jenderal Kao dengan penuh penghormatan.

   Siapakah pemuda tampan berkuda yang hampir menubruk Kian Bu dan Kian Lee? Melihat shenya, tentu pembaca sudah dapat menduga siapa orangnya. Dia memang Ang Tek Hoat, pemuda yang menjadi amat lihai setelah dia mewarisi kitab-kitab dari para datuk Pulau Neraka yang dibawa oleh tokoh Pulau Neraka Kong To Tek. Seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda itu telah menghambakan diri kepada Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang mengusahakan pemberontakan tersembunyi terhadap Kaisar, bersama adiknya, Pangeran Liong Khi Ong. Telah kita ketahui bahwa Tek Hoat berhasil menyelamatkan Ceng Ceng dari perahu yang terguling dan dia tidak mau mengganggu dara itu karena maklum bahwa Ceng Ceng adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang diam-diam telah merampas hatinya!

   Tadinya dia mengharapkan akan dapat menemukan puteri itu melalui Ceng Ceng, akan tetapi kemudian mendongkollah hatinya ketika mendapatkan kenyataan bahwa dara itu pun sama sekali tidak tahu di mana adanya Syanti Dewi. Apalagi sikap Ceng Ceng amat mengganggunya. Maka, ketika dia mengadakan pertemuan dengan Pangeran Liong Khi Ong di sungai dalam hutan itu dan kembali ke tempat dia meninggalkan Ceng Ceng dia melihat bahwa dara itu telah lenyap, dia pun tidak begitu mempedulikan. Agaknya lebih baik kalau dia jauh dari dara yang galak dan berbahaya itu, pikirnya, dan dia pun lalu mulai mencari-cari Syanti Dewi, bukan hanya memenuhi perintah Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi juga untuk kepentingan hatinya sendiri karena pemuda ini sudah jatuh hati kepada Puteri Bhutan yang lemah lembut itu! Akan tetapi, usahanya telah gagal. Tak ada seorang pun tahu di mana adan Syanti Dewi.

   Hanya dia memperoleh terangan tentang adanya seorang pria setengah tua bersama seorang dara cantik dan asing melakukan perjalanan ke utara. Maka dia hendak menyusul dan mencari ke utara setelah lebih dulu dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong dan menceritakan semua hasil pekerjaannya. Pangeran ini malah memberi tugas yang amat penting baginya, yaitu untuk memimpin rombongan kaki tangan pangeran itu menghadang, menculik atau membunuh Jenderal Kao Liang yang sedang menuju ke kota raja memenuhi panggilan Kaisar! Demikianlah, pemuda berkuda yang mengadakan perundingan dengan lima orang kaki tangan pemberontak itu adalah Ang Tek Hoat. Sama sekali pemuda ini tidak menyangka bahwa gerak-geriknya sudah diketahui oleh dua orang pemuda lain, dua orang putera dari Pulau Es yang amat lihai!

   Jenderal Kao Liang sudah merasa tidak enak hatinya semenjak dia meninggalkan kereta. Sebagai seorang panglima perang yang hidupnya selalu berhadapan dengan bahaya maut, agaknya di dalam dirinya sudah terdapat ketajaman perasaan apabila dia terancam bahaya. Maka di samping kekecewaannya dan penyesalannya akan peristiwa yang menimpa dirinya, dipanggil oleh Kaisar tanpa sebab dan secara tiba-tiba itu,

   Diam-diam dia telah mempersiapkan diri untuk menjaga dirinya baik-baik, karena dia hampir merasa yakin bahwa di balik panggilan Kaisar ini tentu tersembunyi sesuatu yang mengancam keselamatan dirinya. Pagi-pagi rombongan itu meninggalkan dusun, diantar dan ditonton oleh semua penduduk dusun itu, dan tentu saja, seperti kebiasaan di jaman itu, bahkan kebiasaan di jaman dahulu sampai sekarang, para pembesar setempat tidak melupakan "kewajiban"

   Mereka untuk membekali apa-apa yang berharga untuk pembesar utusan Kaisar yang mulia berikut seluruh perwira dan pasukan pengawalnya, dengan harapan tentu saja bahwa jasa baik mereka ini akan memperoleh imbalan dari atasan atau setidaknya pujian yang akan memperkuat kedudukan mereka sebagai pemimpin dusun itu!

   Akan tetapi, mereka itu sama sekali tidak berani memberi sesuatu kepada Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya, karena mereka sudah cukup mengenal akan watak jenderal ini yang pasti akan marah keras kalau ada pembesar setempat memberi apa-apa kepadanya secara tidak wajar dan tidak semestinya. Dengan gembira, kecuali Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang maklum dan dapat merasakan kedukaan pemimpin mereka, rombongan itu meninggalkan dusun menuju ke bukit di depan. Setelah melewati bukit yang melintang di depan itu, mereka akan tiba di daerah yang makmur dan ramai, di mana banyak terdapat kota dan dusun yang akan menyambut mereka dengan penuh penghormatan dan perjalanan tidaklah begitu sukar lagi seperti di daerah padang pasir ini.

   Masih teringat oleh utusan Kaisar dan para penglkutnya betapa di kota-kota dan dusun-dusun di seberang perbukitan itu, ketika mereka berangkat ke utara, mereka disambut dengan segala kehormatan dan keramahan. Dan masih terasa oleh mereka akan keramahan beberapa orang pembesar setempat, sedemikian ramahnya mereka sehingga selain hidangan makanan lezat dan bekal perak dan emas, juga di waktu bermalam mereka disuguhi wanita-wanita cantik untuk menemani dan menghibur mereka! Sungguh suatu pelayanan istimewa yang dipergunakan oleh para pembesar dalam menjamu tamu-tamu agungnya, pelayanan yang juga sudah ada semenjak jaman kuno sampai sekarang! Hari itu panas sekali. Matahari memuntahkan cahayanya dengan bebas tanpa penghalang. Rombongan itu bersama kuda mereka mandi keringat mendaki perbukitan.

   Berkali-kali pembesar utusan Kaisar mengeluh panjang pendek. Baju-baju bulu tebal yang mereka terima sebagai hadiah kepala dusun dan yang indah dan mahal, yang tadi mereka pakai ketika meninggalkan dusun itu dengan penuh kebanggaan, kini mulai dirasakan mengganggu. Pembesar itu sudah menanggalkan baju bulunya, meletakkannya di atas pelana kuda di depannya, bahkan membukai kancing bajunya untuk mengurangi kegerahan. Demikian pula para perwira dan pasukan pengawal. Hanya Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang tetap saja tidak berubah. Mereka adalah perajurit-perajurit sejati yang sudah biasa akan segala penderitaan badan, sudah biasa akan serangan panas hebat dan dingin membeku. Biarpun muka dan leher mereka penuh keringat, namun mereka tidak per-nah mengeluh, dan menganggap hal ini wajar saja.

   "Setan keparat, panasnya!"

   Pembesar gendut utusan Kaisar mengeluh dan menyeka muka dan leher dengan saputangan sutera yang sudah basah kuyup.

   "Dimakan setan aku kalau pernah menderita kepanasan seperti ini. Keparat! Hayo kita mengaso di depan sana, di lapangan rumput yang teduh itu!"

   Dia menunjuk ke depan dan rombongan itu mempercepat jalannya kuda mereka menuju ke pohon besar sehingga tempat itu cukup teduh. Akan tetapi baru saja mereka semua turun dari kuda di bawah pohon, tiba-tiba Jenderal Kao Liang meloncat bangun lagi dan berseru,

   "Awas....!"

   Semua orang terkejut dan memandang. Ternyata tempat itu telah dikurung oleh belasan orang, dipimpin oleh seorang pemuda tampan dan dua orang kakek aneh, yang seorang berbaju bulu tebal bermuka putih, yang seorang lagi bertelanjang baju bermuka merah.

   "Hei, kalian mau apa....?"

   Baru saja seorang pengawal membentak demikian, dia sudah roboh berkelojotan karena perutnya pecah disambar golok seorang di antara mereka! Tentu saja kejadian ini membuat semua orang terkejut. Para pengawal segera mencabut senjata masing-masing, enam orang perwira pengawal meneriakkan aba-aba dan pasukan itu cepat membentuk lingkaran melindungi pembesar gendut dan Jenderal Kao. Pembesar itu berdiri dengan muka pucat, lalu membusungkan dadanya dan berkata dengan lantang,

   "Heii, kalian orang-orang gagah, dengarlah baik-baik! Aku adalah seorang utusan istimewa dari Kaisar! Jangan kalian berani mengganggu rombongan kami karena hal itu berarti pemberontakan!"

   Terdengar suara terkekeh-kekeh yang diikuti oleh suara ketawa semua orang yang mengurung tempat itu, kecuali Si Pemuda Tampan. Yang terkekeh itu adalah dua orang kakek aneh tadi. Kakek bermuka merah, bertubuh kurus kering dan bertubuh telanjang bagian atasnya sambil terkekeh meloncat dan tahu-tahu tubuhnya melayang melalui kepala para pengawal, dan turun di dekat pembesar utusan Kaisar.

   "Memberontak? Heh-heh, memberontak!"

   Katanya sambil mengeluarkan sebatang pecut baja yang tadinya melingkari pinggangnya.

   "Pemberontak! Tangkap mereka!"

   Pembesar gendut itu berteriak, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara meledak, pecut itu menyambar dan pembesar gendut tadi menjerit dan roboh dengan kepala hampir remuk!

   "Manusia jahat!"

   Jenderal Kao membentak, dia sudah mencabut pedang dan menerjang ke depan dengan pedangnya, menyerang kakek telanjang.

   "Singg.... tarr.... cringgg....!"

   Jenderal Kao terkejut dan terhuyung ke belakang. Pertemuan senjata itu membuat lengannya tergetar hebat, tanda bahwa kakek itu memang lihai bukan main.

   "Lam-thian Lo-mo, tinggalkan dia untukku!"

   Teriak Si Pemuda Tampan dan tubuhnya sudah melayang ke atas. Sementara itu, pasukan pengawal sudah bergerak dan terjadilah perang kecil yang seru di antara para pengepung dan para pengawal. Enam perwira itu pun mengamuk dengan senjata mereka. Dua orang kakek kembar itu bukan lain adalah Siang Lo-mo yang amat lihai. Mendengar seruan pemuda tampan yang bukan lain adalah Tek Hoat itu, Lam-thian Lo-mo tertawa dan meninggalkan Jenderal Kao, lalu bersama saudaranya yang berbaju bulu mereka berdua mengamuk dan merobohkan para pasukan dengan mudahnya. Mereka segera dikurung oleh enam orang perwira pengawal. Sementara itu, Tek Hoat telah melon-cat tinggi ke arah Jenderal Kao sambil membentak,

   "Jenderal Kao, kau ikut bersamaku!"

   Dari kanan kiri, dua orang pengawal pribadi jenderal itu menyambut dengan pedang mereka, menusuk dari kanan kiri ke arah tubuh pemuda tampan yang tidak bersenjata itu. Tek Hoat mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, dan dengan kedua tangan telanjang dia menyambut datangnya dua pedang dari kanan kiri, menangkap pedang tajam itu dan sekali dia mengerahkan tenaga, pedang-pedang itu patah! Dua orang pengawal terkejut sekali, akan tetapi tampak dua sinar terang menyambar dan dua orang itu menjerit dan roboh terjengkang, dada mereka tertembus oleh po-tongan pedang mereka sendiri yang disambitkan oleh Tek Hoat. Bukan main kagetnya hati Jenderal Kao menyaksikan hal itu. Dua orang pengawal pribadinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun mereka dirobohkan secara demikian mudah dan aneh oleh pemuda ini.

   "Siapa kau? Mengapa kau menyerang kami?"

   Jenderal Kao bertanya. Pemuda itu hanya tersenyum, tidak menjawab, hanya melangkah maju menghampiri Jenderal Kao, sikapnya ini bahkan menimbulkan ancaman mengerikan. Tiba-tiba terdengar seruan halus,

   "Kao-goanswe, tenanglah, serahkan saja pemberontak she Ang ini kepada kami!"

   Dua bayangan orang berkelebat menyambar. Yang seorang turun di depan Jenderal Kao melindungi, yang seorang lagi langsung menghantam dengan tangan kosong ke arah lambung Tek Hoat sambil berteriak,

   "Manusia sombong, rasakan perhitunganku ini!"

   Pemuda yang menyerang ini bukan lain adalah Suma Kian Bu, dan dia telah mengerahkan sin-kang memukul lambung lawan.

   "Eihhh....! Desss....!"

   Tangkisan Tek Hoat membuat keduanya terpental dan keduanya terkejut setengah mati. Kian Bu terkejut karena baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang demikian kuatnya, yang membuat pukulannya yang mengandung sin-kang Hwi-yang Sin-ciang tadi membalik karena bertemu dengan hawa pukulan yang amat kuat. Di lain pihak Tek Hoat juga terkejut karena tangkisannya tadi mem-buat lengannya tergetar dan terserang oleh hawa yang amat panas. Tahulah dia bahwa pemuda di depannya ini adalah seorang yang amat lihai. Juga dia heran mengapa dua orang pemuda ini telah mengenal namanya. Akan tetapi karena pada saat itu dia menghadapi tugas amat penting, yaitu menculik Jenderal Kao, dia tidak mempedulikan hal ini.

   "Siang Lo-mo, harap kalian hadapi bocah ini!"

   Teriaknya. Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo meloncat ke depan dan cambuk baja mereka meledak-ledak mengancam Kian Lee dan Kian Bu. Dua orang kakek kembar ini tadi dalam waktu singkat telah merobohkan enam orang perwira yang mengeroyoknya dengan amukan cambuk mereka!

   "Bagus, dahulu kami tidak sempat membunuh kalian!"

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Teriak Kian Bu yang cepat menerjang maju menghadapi cambuk di tangan Lam-thian Lo-mo.

   "Tar-tar-tar.... wuuuuttt.... desss....!"

   Lam-thian Lo-mo mengeluarkan seruan kaget. Sambaran cambuknya tadi dua kali dapat dielakkan pemuda itu dan yang ke tiga kalinya bahkan ditangkis oleh tangan kiri pemuda itu sedangkan tangan kanan pemuda itu memukulnya dengan dahsyat. Ketika dia menangkis dengan tangan kirinya, dia merasakan hawa yang amat dingin menyusup ke lengannya! Juga Pak-thian Lo-mo berhadapan dengan Kian Lee yang langsung mengirim pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), ilmu khas dari Pulau Es. Pukulannya ini membuat cambuk Pak-thian Lo-mo terpental dan kakek ini terhuyung karena terdorong oleh hawa pukulan yang selain amat kuat juga mengandung hawa dingin sekali.

   "Pulau Es....!"

   Siang Lo-mo berseru hampir berbareng.

   "Dulu kalian menyerang pulau kami, sekarang kalian membantu pemberontak. Manusia-manusia jahat!"

   Kian Lee membentak dan dua orang kakak beradik ini kembali telah menyerang dengan hebatnya.

   Siang Lo-mo terpaksa mengerahkan seluruh fenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang pemuda Pulau Es itu, bahkan berteriak memanggil teman-temannya untuk membantu mereka. Sementara itu, Tek Hoat sudah menerjang Jenderal Kao. Jenderal ini yang maklum akan kelihaian pemuda yang memimpin penyerbuan itu, cepat menggerakkan pedangnya menyambut dengan serangan dahsyat. Namun dengan amat mudahnya Tek Hoat mengelak beberapa kali, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan dan uap hitam menyambar. Jenderal Kao terkejut, sudah cepat mengelak, namun maslh ada bau uap hitam itu tersedot olehnya. Tiba-tiba dia merasa pening dan dia tidak dapat menghindarkan lagi ketika pergelangan tangannya tercium ujung sepatu Tek Hoat yang tadi menggunakan uap beracun. Pedang jenderal itu terlempar dan di lain saat dia telah roboh tertotok oleh Tek Hoat yang amat lihai.

   Andaikata pemuda ini tidak mempergunakan uap beracun yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Jenderal Kao, kiranya tidaklah begitu cepat dia dapat merobohkan jenderal yang perkasa ini. Namun Tek Hoat sudah merasa khawatir kalau-kalau tugasnya gagal ketika melihat munculnya dua orang pemuda yang amat lihai itu, maka dia mengeluarkan kelihaiannya menggunakan racun, atau pukulan beracun yang dapat mengeluarkan uap hitam, satu di antara ilmu-ilmu yang dia pelajari dari kitab-kitab para datuk Pulau Neraka. Cepat bagaikan seekor burung walet, Tek Hoat sudah menyambar tubuh jenderal itu dan biarpun jenderal itu bertubuh tinggi besar, namun dengan ringannya Tek Hoat dapat memanggulnya dan membawanya lari seperti kijang melompat. Melihat hal ini, Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali.

   Mereka mendengar dari Milana bahwa Jenderal Kao memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan tadi pun mereka sudah melihat gerak-gerik jenderal itu memang cukup hebat, akan tetapi mereka sama sekali tidak menyangka bahwa dalam beberapa jurus saja jenderal itu telah dapat dirobohkan dan ditawan oleh pemuda yang amat lihai itu! Mereka tentu saja hendak mengejar dan menolong jenderal yang telah duculik, akan tetapi Siang Lo-mo dan beberapa orang pembantunya sudah mengepung dan menyerang mereka berdua dengan hebat. Kini Siang Lo-mo sudah ingat kepada dua orang pemuda ini. Beberapa tahun yang lalu, ketika mereka dan beberapa orang tokoh dunia persilatan golongan sesat menyerbu Pulau Es, dua orang pemuda ini juga membantu keluarga Pendekar Super Sakti sehingga mereka semua dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri dari Pulau Es.

   Dari pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa, pukulan khas dari Pulau Es karena kiranya tidak ada tokoh dunia persilatan yang mampu mempergunakan pukulan seperti itu kecuali keluarga Pulau Es, mereka dapat mengenal Kian Lee dan Kian Bu. Maka Siang Lo-mo lalu menggerakkan seluruh kepandaian dan para pembantunya untuk mengepung dua orang pemuda berbahaya ini. Kian Lee dan Kian Bu juga maklum bahwa tidak mungkin seorang di antara mereka meninggalkan gelanggang pertempuran untuk mengejar pemuda yang menculik Jenderal Kao. Pihak pengeroyok yang dipimpin oleh Siang Lo-mo ini cukup kuat dan berbahaya sehingga perlu dilayani oleh mereka berdua. Kalau seorang di antara mereka pergi mengejar penculik Jenderal Kao, berarti meninggalkan saudara terancam bahaya.

   "Kalian memang pantas dibasmi habis!"

   Kian Bu berteriak marah sekali dan kini gerakannya seperti seekor burung rajawali mengamuk. Biarpun dia dan kakaknya tidak bersenjata, namun mereka memiliki gerakan yang amat tangkas dan cepat sekali, bahkan tidak kalah cepatnya oleh gerakan cambuk-cambuk baja di tangan Siang Lo-mo! Kian Lee dan Kian Bu mengamuk hebat dan dalam gebrakan selanjutnya, mereka telah merobohkan empat orang pengeroyok dan memaksa Siang Lo-mo untuk melangkah mundur sampai tiga tindak.

   "Lee-ko, kita basmi mereka!"

   Seru Kian Bu yang sudah marah.

   "Tidak, Bu-te. Mari ikut aku, kita harus menolong Jenderal Kao!"

   Kian Lee berkata. Mereka menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mundur karena gentar menghadapi sepak terjang mereka, untuk meloncat cepat seperti sepasang rajawali sakti, meninggalkan lapangan pertandingan secara berbareng.

   "Wir-wirrr....!" "Sing-sing....!" "Siuuut....!"

   Senjata-senjata rahasia yang bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum dan peluru baja menyambar ke arah Kian Lee dan Kian Bu. Namun kedua orang muda itu tidak peduli, hanya melindungi tubuh mereka dengan sin-kang, sehingga ketika senjata-senjata kecil itu mengenai tubuh belakang mereka, senjata-senjata itu runtuh ke tanah seperti mengenai arca baja saja. Hal itu membuat para pembantu Siang Lo-mo memandang dengan bengong dan terbelalak kaget dan jerih.

   "Hanya setan yang tahu bagaimana bisa muncul dua bocah Pulau Es di sini!"

   Pak-thian Lo-mo mengomel.

   "Hayo kejar mereka!"

   Semua pengawal kaisar telah roboh, termasuk pembesar utusan kaisar dan para perwira, juga dua orang pengawal pribadi Jenderal Kao.

   Akan tetapi pihak Siang Lo-mo juga tinggal enam orang lagi, delapan orang bersama mereka, dan kini mereka melakukan pengejaran. Akan tetapi enam orang pembantu mereka mengejar dengan muka pucat dan hati jerih, apalagi mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah orang-orang dari Pulau Es, nyali mereka sudah terbang sebagian. Hati Siang Lo-mo menjadi lega ketika melihat betapa dua orang muda itu mengejar ke arah jurusan yang keliru, bukan ke jurusan di mana Tek Hoat melarikan Jenderal Kao seperti yang telah direncanakan semula. Maka dua orang kakek ini bersama teman-temannya juga terus mengejar seenaknya, apalagi karena memang dalam hal ilmu berlari cepat, mereka kalah jauh oleh dua orang muda yang berlari seperti sepasang rajawali sedang terbang itu.

   Kian Lee dan Kian Bu memang sudah kehilangan jejak Tek Hoat. Penculik Jenderal Kao itu tadi berlari juga amat cepatnya, sehingga ketika dua orang pemuda Pulau Es itu menghadapi pengeroyokan Siang Lo-mo dan teman-temannya, Tek Hoat telah lari jauh dan lenyap. Kian Lee dan Kian Bu mengejar tanpa arah, dan mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dibawa oleh penculiknya menghadap kepada pemberontak, dan mengingat akan percakapan mereka dengan Milana bahwa pemberontak secara diam-diam dipimpin oleh Pangeran Liong, mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dilarikan oleh penculik lihai itu ke kota raja. Karena ini, maka mereka pun melakukan pengejaran terus menuju ke kota raja. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa Tek Hoat membawa jenderal itu ke puncak pegunungan itu, di tempat tersembunyi di dalam hutan yang sunyi, dan akhirnya memasuki sebuah kuil tua di hutan lebat itu.

   Kian Lee dan Kian Bu mempercepat larinya karena mereka mengambil keputusan bahwa apabila mereka tidak berhasil mengejar penculik Jenderal Kao, mereka akan segera melaporkan hal ini kepada enci mereka, Puteri Milana. Ceng Ceng merasa betapa tubuhnya lemas, hampir habis tenaga karena kelelahan dan juga amat laparnya. Dia memasuki hutan di dekat puncak pegunungan kecil itu dan melihat sebuah kuil tua di tengah hutan, dia lalu memasukinya dan menjatuhkan dirinya dengan lemas di atas lantai kuil yang tidak terpelihara dan penuh dengan lumut karena atap di atas tempat itu sudah berlubang sehingga air hujan dan sinar matahari dapat menerobos masuk dan menciptakan lumut. Dia mengeluh perlahan dan memejamkan matanya. Dia tidak mampu untuk menangis lagi.

   Sudah habis tangisnya, sudah terkuras kering air matanya. Teringat dia betapa sejak peristiwa hebat yang terjadi di dalam guha itu, sampai saat ini, dia tidak pernah makan atau minum! Tubuhnya menggigil, gemetar dan perutnya mengeluarkan bunyi. Dia membiarkannya saja bahkan lalu merebahkan diri. Begitu lemas tubuhnya, pening kepalanya dan kosong perasaannya. Ketika dia memejamkan matanya, terasa tubuhnya seperti melayang-layang. Aku kelaparan, pikirnya, tubuhku lemas kepalaku pening. Akan tetapi betapa nikmatnya begini, betapa nikmatnya rebah untuk tidak bangkit kembali. Betapa enaknya mati, daripada hidup menanggung aib dan malu, menanggung derita yang amat hebat. Tiba-tiba dia membuka matanya dan seperti ada kekuatan baru, dia meloncat dan berdiri, mengepal tinjunya, matanya bersinar-sinar dan muka yang pucat itu kini bersinar kemerahan seperti dibakar.

   "Tidak....! Tidaaaakkk....!"

   Dia berteriak dan baru sadar bahwa dia berteriak-teriak ketika mendengar gema suaranya sendiri. Bibirnya bergerak-gerak, akan tetapi kini dia tidak berteriak lagi.

   "Aku tidak boleh mati! Aku harus hidup, aku harus mencari dia, aku harus mem-bunuh dia, baru aku boleh mati!"

   Timbul kembali semangat dan gairahnya untuk hidup ketika di dalam himpitan kedukaan itu dia teringat akan sakit hatinya, seolah-olah di dalam kegelapan dia melihat titik terang. Apalagi seka-rang dia memperoleh harapan baru untuk mencari pemuda laknat yang telah menghancurkan harapan hidupnya setelah dia mendengar cerita pelayan Si Dewa Bongkok. Pemuda itu katanya menuju ke kota raja! Jangankan hanya ke kota raja, biar pergi ke neraka sekalipun akan dikejar dan dicarinya.

   Gairah baru yang timbul itu membuat Ceng Ceng berlari keluar dari kuil dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi membawa seekor bangkai kelinci dan beberapa macam buah yang dipetiknya di hutan. Kemudian dia memillh tempat yang bersih di dalam kuil tua, memanggang daging kelinci dan mengisi perutnya yang sudah amat lapar. Setelah perutnya kenyang, tenaganya pulih maka mulailah dia mengantuk karena matanya pun sangat membutuhkan istirahat. Dia membersihkan kolong meja di belakang sebuah arca Jilaihud yang besarnya melebihi manusia itu, arca yang tidak terpelihara dan sudah berlumut karena tertimpa hujan dan cahaya matahari. Seperti seekor kucing malas, Ceng Ceng merebahkan diri di belakang arca dan melingkar, sebentar saja dia sudah tertidur. Ceng Ceng tidak tahu sama sekali akan apa yang terjadi di luar kuil, tak lama kemudian dia tidur pulas.

   Dari dalam hutan, di luar kuil itu, muncullah Ang Tek Hoat yang masih mengempit tubuh Jenderal Kao Liang, diiringi oleh dua orang lain, yaitu seorang nenek yang berwajah kejam dan seorang laki-laki tua berkepala gundul berpakaian pendeta berwarna kuning yang sudah kumal. Hwesio tua bertubuh tegap itu memegang sebatang toya dan mereka berdua mengiringkan Tek Hoat dengan wajah yang serius. Mereka ini termasuk kaki tangan pemberontak yang diperbantukan kepada Tek Hoat di samping Siang Lo-mo yang amat lihai itu. Setelah tiba di depan kuil, Tek Hoat melepaskan kempitan lengannya sehingga tubuh jenderal itu terjatuh ke atas tanah. Jenderal Kao tidak mampu melawan lagi karena kedua kakinya telah ditotok oleh pemuda lihai itu sehingga lumpuh dan dia hanya mampu menggerakkan tubuh dari pinggang ke atas.

   "Uhhh....!"

   Dengan sukar jenderal itu berhasil bangkit duduk, memandang kepada Tek Hoat sambil tersenyum mengejek lalu berkata,

   "Orang muda, engkau lihai sekali, Sayang engkau menjadi kaki tangan pemberontak. Setelah kau berhasil menawanku, tidak lekas membunuh mau menanti apa lagi?"

   Tek Hoat tidak menjawab, hanya memandang tajam, kemudian dia mengeluarkan dari balik jubahnya yang lebar itu sehelai kertas putih, pit dan bak, kemudian menyodorkan alat-alat tulis itu kepada Jenderal Kao sambil berkata,
(Lanjut ke Jilid 24)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24
"Jenderal Kao, engkau sudah menjadi taklukan dan tawanan kami. Akan tetapi mati atau hidupmu adalah engkau sendiri yang menentukannya. Kami memberimu dua pilihan, yaitu engkau memilih hidup ataukah mati."

   Tek Hoat menghentikan sebentar kata-katanya dan Jenderal Kao mendengarkan dengan sikap tidak peduli. Kemudian dia melanjutkan,

   "Kalau engkau memilih hidup, tulislah pengakuan di atas kertas ini bahwa engkau merencanakan pemberontakan dan bahwa Panglima Kim Bouw Sin telah berani menentang usaha pemberontakanmu maka kau lalu menangkapnya. Nah, pengakuanmu itu berarti hidup bagimu karena engkau akan kubebaskan. Kalau engkau menolak, berarti engkau memilih mati."

   Tiba-tiba jenderal itu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh dan terdengar menyeramkan bagi Tek Hoat dan dua orang pembantunya. Dengan sinar mata berapi dan wajah membayangkan kegagahan, jenderal yang sudah tidak berdaya itu menjawab,

   "Orang muda, siapa pun adanya engkau dan betapa lihai pun engkau, jangan harap untuk dapat membujuk aku untuk melakukan perbuatan rendah itu dengan ancaman kematian. Aku orang she Kao adalah seorang laki-laki sejati yang tidak gentar menghadapi kematian. Bagiku, seribu kali lebih baik mati dalam kebenaran daripada hidup bergelimang kehinaan. Andaikata aku memiliki sepuluh nyawa sekalipun akan kurelakan semua daripada harus melakukan apa yang kau minta itu, apalagi nyawaku hanya satu. Kau hendak bunuh, bunuhlah. Dunia tidak akan berubah dengan matinya seorang manusia!"

   Tek Hoat memandang kagum akan tetapi juga mendongkol. Tugasnya adalah memaksa jenderal ini membuat surat pengakuan itu, karena Pangeran Liong Bin Ong amat membutuhkan surat seperti itu untuk menyatakan kebersihan dirinya dan melemparkan kekotoran pemberontak kepada Jenderal Kao Liang sehingga dengan demikian dia akan dapat melanjutkan usaha kotornya dengan aman. Kini, menghadapi sikap jenderal yang benar-benar amat jantan, timbul rasa kagum di hati Tek Hoat. Akan tetapi dia teringat akan tugasnya sendiri, teringat akan cita-citanya sendiri untuk meraih kedudukan setinggi mungkin melalui pengabdiannya kepada Pangeran Liong, maka dia lalu berkata dengan suara dingin,

   "Baiklah, engkau sendiri yang memilih mati dan jangan kau mengira akan dapat mati dengan mudah dan enak saja."

   Dia menoleh kepada hwesio dan nenek itu sambil berkata,

   "Bikin api unggun yang besar. Kita bakar dia hidup-hidup, hendak kulihat apakah dia masih begitu tenang menghadapi kematian!"

   Dengan sikap ini Tek Hoat masih ingin menakut-nakuti jenderal itu dengan harapan Jenderal Kao akan menurut. Akan tetapi jenderal itu bersikap tetap tenang, bahkan dia tersenyum melihat dua orang itu mulai membuat api unggun. Melihat sikap jenderal itu, Tek Hoat menjadi makin kagum. Dia lalu duduk di atas anak tangga kuil tua, menghadapi jenderal yang duduk di atas tanah itu dan berkata,

   "Jenderal Kao, mengapa engkau mati-matian membela Kaisar? Engkau bahkan siap mengorbankan nyawamu! Betapa bodohnya engkau! Apakah kau tidak melihat bahwa engkau hanya diperbudak saja oleh Kaisar dan keluarganya, oleh mereka yang duduk di atas? Engkau diperas tenagamu, kesetiaanmu, engkau hidup di tempat terasing, setiap hari terancam bahaya, selalu berperang dan semua itu hanya untuk meng-amankan dan menyenangkan kehidupan para atasan yang hanya tahu berfoya-foya belaka. Betapa bodoh untuk mengorbankan diri sendiri demi kesenangan dan kelangsungan hidup makmur orang-orang lain!"

   Jenderal Kao memandang pemuda itu sejenak, sinar matanya tajam sekali.

   "Orang muda, aku tidak mengenalmu akan tetapi engkau adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sayang engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri sehingga engkau tidak lagi dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar, engkau tidak segan-segan melakukan perbuatan rendah hanya untuk memenuhi keinginan dirimu yang mengejar kesenangan belaka. Engkau tidak tahu dan tidak mengerti mengapa aku bersikap seperti ini. Sama sekali bukan karena ingin menyenangkan dan menjaga kelangsungan hidup makmur Kaisar dan keluarganya, melainkan demi kebenaran. Aku seorang jenderal, seorang komandan pasukan yang tahu akan tugas dan kewajibanku dan ini adalah benar, maka aku siap membela dengan jiwa ragaku, bukan sekali-kali demi Kaisar, sungguhpun beliau merupakan satu di antara manusia yang telah melepas budi kepadaku."

   "Hemm, kau keras hati, Jenderal Kao. Sayang bahwa aku terpaksa akan membakarmu hidup-hidup. Betapa murahnya nyawamu, hanya seharga pengakuan di atas kertas."

   "Terserah, aku siap untuk mati. Hanya kalau boleh, sebelum mati aku ingin menyatakan terima kasih dan penghormatanku yang terakhir kepada mereka yang telah melepas budi kepadaku ketika aku masih hidup."

   Tek Hoat makin kagum. Jenderal ini selain gagah perkasa, juga ternyata merupakan seorang jantan yang tidak melupakan budi orang sampai saat terakhir. Berat baginya untuk menolak, maka dia mengangguk.

   "Aku akan bersembahyang di depan arca Jilaihud dan menyembahyangi arwah mereka."

   Sambil merangkak, menggunakan kekuatan kedua lengannya saja jenderal itu naik anak tangga menghampiri meja besar, yaitu meja sembahyang yang sudah butut di depan arca Jilaihud.

   Tek Hoat mengikutinya dari belakang, siap dan waspada menjaga jangan sampai tawanannya ini meloloskan diri. Dari dalam saku baju dalamnya, jenderal itu mengeluarkan beberapa helai gambar. Pertama-tama adalah gambar kaisar tua, yaitu ayah Kaisar sekarang yang dianggapnya sebagai orang pertama yang telah melimpahkan budi kepadanya dan kepada ayahnya dan kakeknya. Kemudian dia mengeluarkan gambar-gambar kakeknya, ayahnya, dan ibunya, dan yang terakhir sekali dia mengeluarkan sehelai gambar lain yang membuat Tek Hoat terheran-heran. Gambar ini adalah gambar wajah seorang wanita muda remaja yang cantik jelita. Gambar itu pun diletakkannya di atas meja, di sudut dan terpisah dari gambar-gambar yang lain. Ceng Ceng sudah sadar dari tidurnya ketika mendengar suara ribut-ribut tadi.

   Dia mengintai dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat bahwa yang ribut-ribut itu adalah Jenderal Kao Liang yang menjadi tawanan dari pemuda yang amat dikenalnya, pemuda nakal yang pernah menolongnya dari dalam sungai, Ang Tek Hoat! Dia tidak mengenal dua orang yang lain, akan tetapi dapat menduga bahwa hwesio tua dan nenek berwajah bengis itu tentulah pembantu-pembantu Tek Hoat, berarti kaki tangan pemberontak! Tentu saja dia ingin sekali keluar dan menolong Jenderal Kao, akan tetapi melihat jenderal itu lumpuh kedua kakinya, dia menahan diri. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang cerdik sekali, maka dia tidak menurutkan hatinya menghadapi peristiwa itu. Dia maklum bahwa kalau dia muncul begitu saja, tidak akan ada gunanya karena pemuda itu lihai bukan main. Ingin menyelamatkan Jenderal Kao, jangan-jangan malah dia sendiri yang tertawan.

   Maka dia menanti kesempatan yang baik dan hanya mengintai ketika Jenderal Kao mendekati meja besar di depan arca untuk menyembahyangi leluhurnya. Hampir saja dia menjerit ketika dia melihat dan mengenal gambar gadis di atas meja itu. Gambar itu adalah gambar wajahnya! Dialah yang disembahyangi oleh jenderal itu, di samping kaisar tua leluhurnya. Mengertilah kini Ceng Ceng. Tentu jenderal itu menganggap dia sudah mati dan mengingat betapa dahulu dia menolong jenderal itu sehingga tidak terjeblos ke dalam sumur maut, maka jenderal itu menganggapnya sebagai penolongnya dan selalu menyimpan gambarnya yang agaknya disuruh buat seorang ahli lukis yang pandai. Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Ceng Ceng. Dia merasa terharu sekali, keharuan yang membuat dia hampir nekat untuk menerjang ke luar.

   "Heiii....!"

   Tiba-tiba Tek Hoat berseru keras ketika pemuda ini juga mengenal gambar Ceng Ceng.

   "Kiranya gambar dia....?"

   Dan hal yang aneh sekall terjadi. Pemuda itu cepat membuang muka, membalikkan dirinya dan tidak berani memandang gambar Ceng Ceng! Hal ini adalah karena pada dasarnya, Tek Hoat adalah seorang laki-laki yang juga menjunjung tinggi kegagahan. Dia pernah bersumpah kepada Ceng Ceng bahwa setiap kali bertemu dengan gadis itu dia tidak akan memandangnya. Kini, begitu mellhat gambar wajah gadis itu, otomatis dia terdorong oleh janji sumpah itu dan dia membuang muka. Ceng Ceng yang bersembunyi di balik arca besar itu melihat keadaan Tek Hoat dan dia mengambil keputusan untuk menerjang ke luar menolong Jenderal Kao yang sedang berlutut terhadap gambar-gambar itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding di dekat jenderal jebol disusul masuknya sesosok tubuh seorang pemuda yang tinggi besar. Ceng Ceng terbelalak memandang.

   Mukanya pucat seketika dan jantungnya berdebar tegang, matanya mengeluarkan sinar berapi dan bibirnya tertarik beringas, kedua tangan dikepal, napasnya agak terengah-engah. Tentu saja dia mengenal wajah pemuda tinggi besar ini. Pemuda laknat yang telah memperkosanya! Melihat munculnya seorang pemuda tinggi besar yang asing, hwesio tua pembantu Tek Hoat yang tadi membuat api unggun cepat menerjang dengan tongkatnya karena dia menduga bahwa tentu pemuda ini datang untuk menolong Jenderal Kao. Serangannya dahsyat sekali, toya di tangannya mengeluarkan suara mengiuk ketika memecahkan angin dan menyambar ke arah kepala pemuda tinggi besar itu. Akan tetapi pemuda itu tidak mengelak, melainkan menggerakkan lengan kirinya menangkis.

   "Dukkk....!" "Ehhhh....!"

   Hwesio Itu terpental dan terhuyung sampai lima langkah, terpaksa menggunakan kedua tangan untuk memegangi toyanya yang hampir terlepas dari pegangannya! Pemuda tinggi besar itu menggerakkan kepala dengan sikap gagah sekali dan rambutnya yang amat panjang, gemuk dan hitam berputar melingkari lehernya dan dia siap berdiri melindungi Jenderal Kao yang masih berlutut dengan kedua tangan terkepal dan mata memandang tajam ke arah tiga orang lawan itu. Tek Hoat terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, sambil bertolak pinggang kiri, telunjuk kanannya menuding dan dia membentak dengan suara nyaring,

   

Pendekar Super Sakti Eps 31 Sepasang Pedang Iblis Eps 19 Pendekar Super Sakti Eps 42

Cari Blog Ini