Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 26


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



Lalu Jenderal Kao menceritakan semua peristiwa yang terjadi di sumur maut. Setelah dia selesai bercerita, dia bertanya,

   "Kenapa kau kelihatan kaget melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng?"

   Kok Cu menundukkan mukanya. Hanya dia yang tahu betapa hatinya seperti diremas-remas, seperti ditusuki jarum-jarum beracun. Perih dan penuh penyesalan hebat, membuat dadanya sesak dan mukanya pucat. Terbayang di depan matanya peristiwa di dalam guha, tampak jelas olehnya betapa dia telah melakukan hal yang amat hina di luar kehendaknya, betapa di suatu saat dia seperti telah berubah menjadi seekor binatang buas, menjadi setan yang amat jahat. Betapapun dia melawan, dia tidak dapat mengusai nafsu birahinya yang didorong oleh racun-racun amat hebatnya sehingga terjadilah perbuatannya yang amat keji. Memperkosa seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa, dara yang muncul untuk menolongnya!

   Dia telah membalas pertolongan orang dengan perbuatan yang sejahat-jahatnya, sekeji-kejinya yang dapat diderita seorang wanita, yaitu memperkosa wanita yang menjadi penolongnya itu! Kini, hatinya lebih parah lagi ketika mendapat kenyataan bahwa dara itu pun telah menyelamatkan nyawa ayahnya tanpa mempedulikan keselamatan nyawanya sendiri! Manusia macam apa dia ini! Dan ayahnya adalah seorang panglima besar yang amat gagah, seorang yang dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat di utara, ibunya seorang wanita yang demikian lemah lembut dan halus budi pekertinya, kedua orang adiknya pun demikian tampan dan gagah. Dia.... ah, dia lebih keji dari binatang, lebih jahat daripada setan. Dia tidak layak menjadi putera Jenderal Kao Liang, tidak layak berada diantara keluarga terhormat itu!

   "Kok Cu, kau kenapa? Mengapa wajahmu pucat begitu?"

   Ibunya bertanya.

   "Kok Cu, kau tadi kelihatan kaget ketika melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng. Mengapa?"

   Jenderal Kao bertanya pula.

   "Ayah, Ibu.... aku terkejut karena.... karena aku pernah bertemu dengan Nona ini...."

   Jawabnya.

   "Dia.... dia belum mati, Ayah."

   "Nah, apa kata kami tadi, Kao-goanswe? Nona itu memang belum mati. Saudara Kao Kok Cu, ketahuilah bahwa baru saja nona itu malah muncul di kamar ini!"

   Kian Bu berseru saking girangnya bahwa mereka berdua memperoleh teman untuk menjadi saksi bahwa nona itu belum mati! Akan tetapi dia sendiri terkejut melihat betapa mata Kok Cu terbelalak liar dan memandang ke kanan kiri seolah-olah pemuda itu ketakutan mendengar bahwa gadis itu tadi berada di tempat itu! Jenderal Kao Liang menghela napas panjang.

   "Aku sendiri pun kalau bisa mohon kepada Thian agar dia masih hidup! Dan mudah-mudahan begitulah! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang dapat bertahan hidup setelah terjerumus ke sumur maut itu? Dan andaikata benar dia hidup, mengapa dia tadi tidak menjumpai aku? Antara dia dan aku sudah seperti ayah dan anak sendiri. Mengapa kalau dia masih hidup, dia bersikap demikian penuh rahasia?"

   Tidak ada orang yang dapat menjawabnya, dan kedua saudara Suma terpaksa harus mengakui keanehan ini di dalam hati mereka. Akan tetapi Kok Cu mempunyai dugaan lain. Tentu saja nona itu berubah sikapnya setelah mengalami peristiwa terkutuk itu, setelah menderita karena kebiadabannya! Siapa tahu nona itu telah menjadi gila karenanya!

   "Kok Cu, sekarang kau ceritakan pengalamanmu semenjak kau lenyap di dalam badai,"

   Perintah Jenderal Kao. Seperti orang dalam mimpi karena semua pikirannya masih hanyut terbawa lamunannya terhadap nona yang diperkosanya, Kok Cu menceritakan pengalamannya dengan singkat, betapa dia ditolong oleh seorang manusia sakti berjuluk Si Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, diambil murid dan baru sekarang diperkenankan meninggalkan istana itu.

   "Selain berusaha mencari ayah dan ibu yang sudah kulupa namanya, aku pun memikul tugas dari suhu untuk mencari kitab yang hilang tercuri orang. Dalam pengejaran mencari kitab itulah aku ter-tipu dan tertangkap di Lembah Bunga Hitam, dan aku bertemu dengan Nona Lu Ceng di sana...."

   Pemuda itu menghentikan ceritanya, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan perbuatannya terhadap dara itu dan baru saja mendengar bahwa nona itu telah memasuki rumah orang tuanya.

   "Kok Cu, kalau aku tidak salah menghitung, usiamu sudah dua puluh enam tahun sekarang. Engkau telah memiliki kepandaian tinggi, itu bagus sekali. Aku akan mengusahakan tempat bagimu di dalam barisan, dan setelah engkau memperoleh kedudukan, kami akan mencari jodoh untukmu."

   "Benar sekali ucapan ayahmu, Kok Cu. Aku sudah sering bermimpi menimang-nimang seorang cucu!"

   Ibunya menambahkan.

   "Maaf Ayah, dan Ibu. Terpaksa malam ini juga aku minta diri karena aku harus memenuhi dulu perintah Suhu. Setelah urusan ini selesai barulah aku akan kembali ke sini dan menghabiskan sisa usiaku untuk berbakti kepada Ayah dan Ibu."

   Ibunya hendak membantah, akan tetapi Jenderal Kao memberi isyarat kepada isterinya, lalu berkata,

   "Engkau benar! Kalau tidak ada suhumu, tentu engkau sudah tewas di padang pasir. Budi suhumu sampai mati pun takkan dapat dibalas lunas, maka satu-satunya perintah itu harus kau laksanakan dengan sebaiknya sampai berhasil. Akan tetapi...., besok pagi-pagi aku sendiri akan kembali ke utara bersama kedua orang Suma Siauw-sicu ini. Apakah engkau tidak bisa menanti sampai besok dan kita semalam ini bercakap-cakap di sini?"

   "Maaf, Ayah. Karena harus mengikuti petunjuk dan jejak, malam ini pun aku harus melanjutkan perjalanan mencari kembali kitab suhu itu...."

   Akhirnya ayah dan ibunya tidak dapat mencegah lagi dan setelah memberi hormat kepada semua orang, sekali berkelebat lenyaplah tubuh tinggi besar itu melalui jendela. Semua orang, termasuk kedua orang kakak beradik Suma, merasa kagum sekali. Seperti setan cepatnya, Kok Cu meninggalkan gedung orang tuanya. Hatinya tidak karuan rasanya. Dia girang dan merasa berbahagia sekali karena berhasil bertemu dengan ayah bunda dan adik-adiknya, akan tetapi perasaan ini bercampur dengan perasaan menyesal dan berduka. Dia merasa tidak patut menjadi anggauta keluarga yang mulia dan terhormat itu,

   Dia merasa telah mengotori nama besar dan kehormatan ayahnya dengan perbuatannya terhadap Lu Ceng, dara yang dianggap sebagai bintang penolong keluarganya! Dan baru saja, menurut ayahnya, Lu Ceng telah datang ke tempat orang tuanya. Hal ini berarti bahwa gadis itu telah berada di kota raja! Dengan pikiran melayang-layang, pemuda itu meloncat dari genteng sebuah rumah ke genteng lain, tanpa tujuan namun hati dan pikirannya penuh dengan bayangan Lu Ceng! Ceng Ceng menangis di dalam kamar penginapan, sampai mengguguk akan tetapi dia menutupi mukanya dengan bantal agar tidak ada suara tangisnya keluar dari kamar itu. Makin diingat, makin hancur rasa hatinya. Tidak mungkin dia dapat bertemu dengan Jenderal Kao yang telah menyembah-yanginya itu. Dia tidak pantas bertemu dengan jenderal gagah perkasa itu, merasa betapa dirinya sudah kotor.

   Dan pula, jelas bahwa pemuda laknat yang dicarinya tidak berada di tempat itu, tidak berada bersama Jenderal Kao. Kalau ada, tentu tadi dia sudah melihatnya. Ingin sekali dia mengunjungi istana Puteri Milana yang dijunjung tinggi oleh mendiang kakeknya, siapa tahu Syanti Dewi telah berada di situ. Akan tetapi bagaimana dia mampu bertemu muka dengan seorang puteri yang demikian mulia? Dan dia merasa malu juga bertemu dengan Syanti Dewi karena sekali bertemu dengan kakak angkatnya itu, tentu dia tidak lagi dapat menyimpan rahasianya, tentu dia akan menceritakan segalanya dan hal ini hanya berarti mati membunuh diri saking malunya. Teringat olehnya akan nasibnya yang amat buruk. Sejak kecil tidak melihat ayahnya, bahkan ibunya meninggalkannya menjadi seorang anak yatim piatu di dalam asuhan kakeknya.

   "Aihh, Kong-kong...!"

   Dia merintih dan tangisnya makin menjadi-jadi ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas secara menyedihkan itu. Teringat pula dia akan peristiwa yang paling hebat, yang sekaligus menghancurkan hidupnya, peristiwa di dalam guha yang menimbulkan dendam yang sedalam lautan, kebencian yang setinggi langit. Hidupnya kini hanya untuk satu tujuan saja, mencari dan membunuh pemuda laknat yang telah memperkosanya itu!

   "Ahhh....!"

   Dia mengepal tinju dan menggigit gigi. Dia tahu bahwa pemuda laknat itu memperkosanya di bawah pengaruh racun yang hebat. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi kebenciannya, tidak mengurangi dendamnya. Kalau diingat betapa dia telah berusaha menolong pemuda itu!

   Menolongnya, membebaskannya dari ancaman maut, dari dalam kerangkeng, akan tetapi pemuda itu malah membalasnya dengan perbuatan yang lebih keji daripada kalau membunuhnya! Pemuda itu telah mendatangkan siksa dan derita hebat sehingga dia dalam keadaan mati tidak hiduppun tidak. Betapa dendam memainkan peran penting di dalam kehidupan manusia, bahkan dendam mencengkeram sebagian besar dari kehidupan manusia sehingga di seluruh pelosok dunia terjadilah pertentangan, permusuhan, benci-membenci dan akhirnya membesar menjadi perang antara bangsa, perang antara negara. Dendam yang menimbulkan kebencian bersumber kepada si aku. Si aku yang dirugikan lahir maupun batin melahirkan kemarahan dan dendam, kebencian, maka timbullah kekerasan dari dendam dan kebencian ini.

   Aku diganggu dan dirugikan, keluargaku diganggu, hartaku, namaku, kedudukanku, kepercayaanku, bangsaku, maka aku menjadi marah, dendam dan benci! Segala hal yang tampak maupun yang tidak tampak, yang menjadi kepunyaan si aku, tidak boleh diganggu. Kalau yang diganggu itu keluarga, harta benda, kedudukan, agama, bangsa dan negara orang lain, biasanya kita tidak peduli. Maka si akulah yang menjadi sumber timbulnya dendam dan kekerasan yang mengikutinya. Di mana terjadi pertentangan dan permusuhan yang disusul dengan bentrokan, tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pihak yang kalah atau lebih tepat lagi, pihak yang dirugikan, tentu akan mendendam dan selalu rindu akan kesempatan untuk membalas dendam itu. Setelah kesempatan tiada maka terjadilah kekerasan yang lain lagi dan hal ini menimbulkan dendam kepada pihak yang kalah, baik perorangan maupun kelompok, maupun negara.

   Maka dendam-mendendam tidak habisnya di dunia ini, diantara manusia, diantara bangsa dan negara. Jika dendam masih mencengkeram manusia tidak mungkin ada perdamaian dalam hidup manusia. Selama dendam belum lenyap dari batin manusia, segala macam usaha ke arah perdamaian akan sia-sia belaka. Akan tetapi, apabila dendam dan kebencian tidak lagi bertahta di dalam batin manusia, apakah akan ada permusuhan, apakah akan ada perang lagi? Kiranya tidak perlu orang bersusah payah mengadakan usaha perdamaian lagi karena tidak akan ada lagi permusuhan dan perang! Jika dendam kebencian masih bernyala di hati dan pikiran kita, maka segala usaha kita untuk berdamai dengan musuh yang kita benci merupakan kepalsuan dan hanya akan menghasilkan per-damaian palsu belaka.

   Hanya setelah kita bebas dari dendam kebencian, baru kita dapat hidup damai dengan orang laln, dan tidak perlu lagi usaha perdamaian itu karena kita tidak mempunyai musuh siapa pun, tidak mendendam maupun membenci siapa pun! Yang penting harus disadari bahwa sumber segala dendam kebencian terletak kepada si aku, yaitu si pikiran yang menciptakan si aku. Kita selalu ingin merubah yang di luar, untuk disesuaikan demi kesenangan dan keenakan si aku, kita lupa bahwa sumber segala kekacauan terletak kepada si aku. Diri sendirilah yang harus berubah, si sumber yang harus berubah. Dan perubahan akan terjadi apabila ada pengertian dan pengenalan diri sendiri, melihat dengan mata terbuka akan kekotoran yang memenuhi diri sendiri. Melihat tanpa pamrih, tanpa keinginan apa pun, tanpa ingin merubah, tanpa ingin memperbaiki, menambah atau mengurangi.

   Dari penglihatan ini timbul pengertian karena penglihatan tanpa pamrih ini merupakan kewaspadaan, menimbulkan kesadaran penuh dan otomatis akan timbul tindakan-tindakan dari pengertian dan kesadaran itu yang akan menimbulkan perubahan. Sayang bahwa Ceng Ceng tidak sadar akan semua kenyataan sederhana itu. Dia merasa sengsara, diracuni oleh dendam dan kebencian sehingga seperti seorang yang mabok, dia kadang-kadang menangis, kadang-kadang beringas dan beberapa kali dia hampir-hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri! Tiba-tiba dia bangkit duduk, tidak bergerak dan perhatiannya tertarik oleh suara burung malam yang lapat-lapat di atas genteng. Bagi telinga orang biasa, tentu akan menganggap bahwa itu adalah suara burung malam tulen.

   Namun pendengaran Ceng Ceng yang terlatih menangkap sesuatu yang aneh dalam suara itu, apalagi ketika dia mendengar suara berkeresekan di atas genteng rumah penginapan, kecurigaannya timbul. Ditiupnya lilin di dalam kamarnya, disambarnya buntalan pakaian dan pedang Ban-tok-kiam, dibereskan kembali pakaiannya yang kusut, kemudian dia membuka jendela dan meloncat keluar jendela, menuju ke belakang rumah penginapan dan meloncat ke atas genteng. Dari situ tampak olehnya dua orang yang berpakaian hitam bergerak di atas genteng bagian depan rumah itu, maka dia cepat mendekati dan membaya-ngi. Dua sosok bayangan itu melayang turun dengan gerakan yang ringan sekali. Ceng Ceng mengintai dari atas dan mendengarkan percakapan singkat mereka.

   "Sudah pastikah engkau, Twako?"

   "Sudah jelas dia, siapa lagi? Pangeran itu masuk dengan menya-mar sebagai pedagang sayur dan sekarang disembunyikan oleh perwira itu di rumahnya."

   "Kalau begitu kita harus cepat menangkapnya sebelum dia sempat menghadap istana!"

   "Memang perintah-nya begitu, akan tetapi kita menunggu teman-teman yang dikirim ke sini untuk membantu kita."

   Tidak terlalu lama mereka menunggu karena segera muncul lima orang laki-laki yang memiliki gerakan ringan dan cepat. Setelah berbisik-bisik dan berunding, tujuh orang itu lalu berlari ke jurusan utara. Ceng Ceng cepat mengejar dan terus membayangi tujuh orang itu tanpa turun tangan karena dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan oleh mereka itu. Yang jelas, mereka itu mempunyai niat buruk terhadap diri seorang pangeran. Dia teringat akan Puteri Milana yang dipuji-puji mendiang kakeknya. Puteri Milana juga keluarga Kaisar, maka tentu masih ada hubungan dengan Pangeran ini. Maka sepantasnyalah kalau dia menyelidiki dan melindungi Pangeran itu.

   Siapakah tujuh orang itu dan siapa pangeran yang hendak mereka tangkap? Tujuh orang itu adalah kaki tangan Pangeran Tua Liong Khi Ong yang menyamar sebagai orang-orang biasa dan memang banyak terdapat kaki tangan pangeran ini berkeliaran di kota raja. Sungguhpun mereka tidak berani banyak bergerak karena di kota raja terdapat banyak pula anak buah Puteri Milana, namun mereka ini merupakan penyelidik-penyelidik dari Pangeran Liong Khi Ong. Adapun pangeran yang hendak mereka tangkap adalah Pangeran Yung Hwa. Telah diceritakan di bagian depan bahwa Pangeran Yung Hwa adalah pangeran putera Kaisar dari selir, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang amat tampan dan halus gerak-geriknya, seorang ahli sastra yang halus budi bahasanya dan romantis jiwanya.

   Pangeran Yung Hwa ini pernah mendengar berita tentang kecantikan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan sehingga dia tergila-gila oleh berita itu. Tidaklah mengherankan kalau seorang seperti pangeran muda ini tergila-gila kepada seorang dara yang belum pernah dilihat sebelumnya, tergila-gila hanya karena mendengarkan berita tentang puteri itu! Memang jiwa seorang yang suka akan seni seperti Pangeran Yung Hwa amat romantis, amat peka dan halus, mudah tergerak dan mudah terpesona. Mendengar tentang Puteri Syanti Dewi yang kabarnya ahli dalam hal seni sastra, tari dan lukis, pandai pula meniup suling dan mainkan alat tetabuhan lain, bahkan kabarnya pandai pula menari pedang, di samping memiliki kecantikan yang luar biasa seperti seorang dewi dari kahyangan, hatinya tergerak dan sekaligus dia telah jatuh cinta!

   Karena tergila-gila dan tidak dapat pula menahan rindunya, dia menghadap ayahnya, yaitu Kaisar, dan mengajukan permohonan agar dia dilamarkan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu! Akan tetapi Kaisar yang telah dipengaruhi oleh adik tirinya, Pangeran Liong Bin Ong, berpendapat lain. Kaisar menolak permintaan puteranya ini, bahkan melamar Puteri Bhutan itu untuk dijo-dohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah berusia lima puluh tahun dan sudah mempunyai banyak selir! Mendengar ini, remuklah hati Pangeran Yung Hwa dan dengan berani dia menulis sajak memaki-maki pamannya itu sebagai seorang tua yang tidak tahu malu, yang mata keranjang dan lain-lain untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Kemudian dia lolos dari istana melarikan diri!

   Pangeran Liong Khi Ong tentu saja marah sekali kepada keponakannya ini ka-rena sajak yang memaki-makinya itu dipasang di kuil besar dekat istana sehingga sebentar saja banyak orang yang tahu dan dia menjadi buah tertawaan orang. Dengan seijin Kaisar yang memang sudah mendengar akan hal itu dan hendak menghukum puteranya, Pangeran Liong Khi Ong mengerahkan pasukan untuk menangkap kembali Pangeran Yung Hwa yang minggat. Di bagian depan dari cerita ini telah diceritakan betapa Pangeran Yung Hwa yang sedang melarikan diri dalam kereta dan dikejar oleh pasukan Pangeran Liong Khi Ong, secara kebetulan bertemu dengan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi yang menyamar, lalu pangeran muda itu mendapat pertolongan Gak Bun Beng sehingga lolos dari bahaya.

   Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa dara cantik yang berada bersama penolongnya itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang menjadi gara-gara semua keributan itu! Dengan bantuan seorang pamannya, yaitu saudara dari ibunya yang menjadi selir Kaisar, dia bersembunyi di luar kota raja. Ketika dia mendengar dari pamannya akan gerakan pemberontakan yang agaknya dikendalikan darl kota raja oleh kedua orang pangeran tua, Yung Hwa terkejut sekali. Dia segera melakukan penyelidikan-penyelidikan, kemudian pada malam hari itu, dengan bantuan pamannya dia berhasil menyelundup masuk ke kota raja dengan niat menghadap ayahnya untuk minta ampun dan untuk menyampaikan hasil-hasil penyelidikannya tentang gerakan pemberontakan dua orang pangeran tua.

   Pangeran Yung Hwa tidak tahu bahwa penyeludupannya itu telah diketahui oleh kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong yang cepat melapor kepada pangeran tua itu. Pangeran Liong Khi Ong segera memerintahkan tujuh orang kaki tangannya itu untuk menangkap Pangeran Yung Hwa. Ketika Ceng Ceng melihat betapa tujuh orang itu yang harus diakuinya memiliki gerakan yang ringan dan gesit sekali dan diketahuinya merupakan lawan-lawan yang berat, mengepung sebuah rumah di ujung kota, dia lalu langsung menghampiri pintu rumah itu dan mengetuknya. Dia maklum bahwa perbuatannya itu diintai oleh tujuh orang itu dengan penuh keheranan dan perhatian, namun dia tidak peduli dan mengetuk terus dengan kuat sampai terdengar suara seorang laki-laki dari sebelah dalam,

   "Siapakah di luar?"

   "Aku ingin berjumpa dengan Pangeran,"

   Kata Ceng Ceng. Hening sejenak di belakang pintu itu, kemudian penutup lubang digeser dan tampak sebuah mata mengintai dari balik lubang. Ketika orang di balik pintu itu melihat bahwa yang mengetuk pintu hanyalah seorang dara cantik dan sendirian pula, sinar matanya membayangkan kelegaan hati.

   "Nona, engkau siapakah dan apa mak-sud kedatanganmu?"

   "Biarkan aku masuk, aku ingin berjumpa dengan Pangeran. Dia terancam bahaya dan aku ingin melindunginya."

   Sinar mata itu kelihatan terkejut dan heran, lalu nampak ragu-ragu. Pengintai ini adalah Perwira Chi yang melindungi dan menyembunyikan Pangeran Yung Hwa sebelum Pangeran itu sempat menghadap ayahnya di istana Kaisar.

   "Bukalah sebelum terlambat,"

   Ceng Ceng berbisik.

   "Rumah ini sudah mereka kurung!"

   Perwira itu makin kaget dan cepat dia membuka daun pintu, membiarkan Ceng Ceng menyelinap masuk dan cepat menutupkan kembali pintunya.

   "Di mana dia?"

   Ceng Ceng bertanya. Laki-laki berusia empat puluh tahun lebih itu mengangguk dan memberi isyarat kepada dara itu untuk mengikutinya ke sebelah dalam rumahnya. Dalam perjalanan menuju ke ruangan dalam ini, Ceng Ceng bertemu dengan isteri Perwira Chi dan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil, berusia di bawah sepuluh tahun, dan dua orang pelayan. Mereka kelihatan takut-takut dan memandang kepada Ceng Ceng dengan muka pucat.

   Ketika Ceng Ceng mengikuti orang itu masuk ke sebuah ruangan, seorang pemuda bangkit dari duduknya dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik. Begitu berhadapan, diam-diam Ceng Ceng harus mengakui bahwa baru sekali ini dia berjumpa dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Pemuda itu usianya tentu sudah dua puluh tahun lewat, wajahnya yang berkulit putih itu bentuknya tampan sekali, dan ada keagungan dalam sikap-nya. Wajah itu agak bundar, dengan alis hitam tebal dan hidung mancung. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, dan mulutnya selalu tersenyum. Bentuk tubuhnya sedang dengan sikap seorang yang berhati tabah dan merasa lebih tinggi daripada orang lain. Pakaiannya serba indah, sungguhpun bentuknya sederhana.

   "Paman Chi, siapakah Nona ini?"

   Suaranya halus sekali ketika dia mengajukan pertanyaan ini dan dari sikapnya yang agak membungkuk dan pandang matanya, jelas bahwa dia terheran akan tetapi juga menghormat, sehingga Ceng Ceng juga segera menjura dengan hormat mengingat bahwa pemuda tampan ini adalah seorang pangeran! Ceng Ceng tidak menanti perwira itu menjawab karena dia maklum bahwa perwira itu tentu saja juga tidak mengenalnya, maka dengan singkat dia berkata,

   "Apakah Paduka seorang pangeran?"

   Pangeran Yung Hwa tersenyum dan Ceng Ceng memandang kagum. Begitu tersenyum pemuda ini kelihatan makin tampan dengan deretan giginya yang putih seperti mutiara.

   "Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Yung Hwa, dan baru padamulah aku berterus terang."

   "Saya bernama Lu Ceng, dan tadi saya melihat ada tujuh orang yang mengurung rumah ini. Saya mendengar percakapan mereka bahwa mereka akan menyerbu dan menangkap paduka, oleh karena itu saya sengaja datang untuk melindungi paduka."

   Perwira itu kelihatan terkejut, mengeluarkan suara perlahan di tenggorokannya dan mencabut pedang dari pinggangnya, mukanya pucat dan matanya memandang ke kanan kiri. Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya yang tampan.

   "Tenanglah, Paman Chi, Nona Lu, kalau boleh aku bertanya, mengapa Nona menempuh bahaya dan bagaimana pula Nona akan melindungi aku?"

   "Mendengar bahwa paduka seorang Pangeran yang terancam bahaya, sudah sementinya kalau saya berusaha melindungi dan biarpun sedikit, saya pernah belajar ilmu dan tidak takut menghadapi tujuh orang itu."

   "Ah, kiranya Nona adalah seorang pendekar wanita!"

   Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar.

   "Masih begini muda...., betapa mengagumkan! Akan tetapi.... sebaiknya kalau Nona cepat pergi dari sini. Nona masih amat muda, kalau dalam melindungiku sampai Nona tertimpa bencana, aku Yung Hwa selama hidupku akan menyesal."

   Ceng Ceng memandang sejenak dan ada perasaan lembut mengelus perasaannya. Pemuda bangsawan ini benar-benar seorang pemuda yang selain tampan dan halus, juga amat berbudi, tidak mengingat diri sendiri saja. Betapa jauh bedanya kalau dibandingkan dengan pemuda-pemu-da nakal dan ceriwis yang dijumpainya tiga kali, pertama kali di pasar kuda, kedua kalinya ketika dia terkurung oleh banyak pengeroyok di Lembah Bunga Hitam dan mereka berdua membantunya, ketiga kalinya ketika dia melihat mereka mengejarnya di rumah Jenderal Kao. Lebih jauh lagi bedanya kalau dibandingkan dengan Ang Tek Hoat, pemuda jahat yang menjadi kaki tangan pemberontak itu! Dan makin jauh lagi kalau dibandingkan dengan pemuda laknat, pemuda tinggi besar yang telah memperkosanya!

   "Harap paduka jangan khawatir, dan sebaiknya Paduka bersembunyi di kamar ini saja. Paman, harap Paman menjaga beliau dan keluarga Paman juga sebaiknya dikumpulkan semua di kamar ini. Biar aku sendiri yang menghadapi kalau mereka berani masuk!"

   Sambil berkata demikian, Ceng Ceng mencabut pedangnya.

   "Singgg....!"

   Perwira Chi berseru kaget melihat berkelebatnya sebatang pedang yang begitu menyilaukan mata dan yang mengandung hawa dingin menyeramkan.

   "Lu-siocia (Nona Lu)....!"

   Pangeran Yung Hwa berkata.

   "Sekali lagi kumohon kepadamu, jangan mempertaruhkan nyawa demi aku. Aku adalah seorang laki-laki dan sudah biasa akhir-akhir ini menghadapi ancaman bahaya. Akan tetapi kau.... tidak boleh engkau menghadapi bahaya maut untukku, Nona!"

   "Awas....! Trang-cring-cring-cring....!"

   Pedang di tangan Ceng Ceng berkelebatan dan membentuk sinar bergulung-gulung ketika menangkis datangnya puluhan batang senjata rahasia yeng menyambar-nyambar dari atas genteng di empat penjuru.

   "Kau hebat, Nona.... tapi aku tetap khawatir...."

   Pangeran Yung Hwa memuji ketika menyaksikan kelihaian Ceng Ceng, akan tetapi Perwira Chi yang sudah datang bersama anak isterinya dan dua orang pelayan, mendesaknya agar memasuki ruangan dalam yang tidak berjendela sehingga tidak dapat diserang dari luar. Kemudian dia menutupkan pintu ruangan itu dan meloncat keluar dengan pedang di tangan, berdiri di dekat Ceng Ceng sambil berkata,

   "Terima kasih, Lihiap. Saya bersedia membantumu dan melindungi Beliau dengan taruhan nyawa."

   Akan tetapi diam-diam Ceng Ceng merasa khawatir sekali. Tadi ketika dia menggunakan pedang menangkis, lengan kanannya sampai tergetar hebat, tanda bahwa para musuh yang melepas senjata rahasia itu memiliki tenaga yang amat kuat! Kalau tujuh orang yang pandai itu semua menyerbu ke tempat yang sempit ini, terpaksa dia harus menggunakan racun, dan hal ini bahkan akan membahayakan perwira ini, mungkin juga membahayakan Pangeran dan keluarga Perwira Chi.

   "Paman, harap Paman masuk saja ke dalam ruangan dan menjaga mereka di dalam, dan jangan Paman atau siapa saja keluar karena di depan pintu ruangan ini akan kusebari racun agar tidak ada yang dapat masuk. Percayalah kepadaku!"

   Perwira itu membelalakkan mata. Dia maklum bahwa dara yang muda ini tentu memiliki kepandaian tinggi, dan memang hatinya akan lebih tenang kalau dia menjaga Pangeran dan keluarganya di bawah matanya sendiri, maka dia mengangguk dan membuka pintu, lalu meloncat ke dalam dan menutupkan pintunya kembali.

   Ketika pintu terbuka sebentar itu, Ceng Ceng melihat betapa Pangeran Yung Hwa duduk dengan tenang dan tersenyum lalu mengangguk kepadanya. Hati dara ini makin kagum. Dalam keadaan menegangkan seperti itu, Pangeran itu kelihatan tenang saja. Sungguh sikap yang luar biasa gagahnya bagi seorang pangeran yang lemah. Setelah Perwira Chi memasuki ruangan itu dan menutupkan pintu satu-satunya dari ruangan itu, Ceng Ceng lalu mengeluarkan bubuk racun berwarna putih dari saku bajunya. Bubuk racun itu tinggal sedikit, dan sisa ini ditaburkan semua di depan pintu ruangan, dari pintu sampai dua meter jauhnya sehingga siapa pun yang akan memasuki ruangan melalui pintu itu tentu akan menginjak bubuk racun yang telah ditaburkannya dan tidak tampak itu.

   Kemudian Ceng Ceng lalu meloncat keluar dan langsung dia melayang ke atas genteng. Baru saja tubuhnya mencelat dan hinggap di atas genteng, dari empat penjuru dia diserang oleh tujuh orang kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong itu. Ceng Ceng yang sudah siap, tidak menjadi gentar dan cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam untuk melindungi tubuhnya sedangkan tangan kirinya menyebarkan bubuk racun merah yang juga tinggal bersisa sedikit dan tadi sudah dipersiapkannya. Bubuk racun merah ini merupakan racun yang memabokkan dengan keharumannya yang luar biasa, dan sungguhpun lawan tidak akan tewas oleh racun ini, akan tetapi yang mencium baunya tentu akan roboh dan lemas, pening dan tidak dapat bertanding lagi.

   "Awas racun....!"

   Seorang diantara tujuh lawan itu berseru nyaring dan cepat meloncat mundur. Kawan-kawannya juga meloncat mundur, namun seorang diantara mereka terhuyung dan roboh di atas genteng, setengah pingsan karena dia telah mencium racun itu!

   Enam orang yang lain, seorang diantara mereka berpakaian perwira menjadi marah dan menyerbu lagi setelah mereka menutup hidung mereka dengan kapas yang sudah dicelup obat penawar. Melihat ini, Ceng Ceng makin khawatir. Kiranya mereka itu pun merupakan orang-orang lihai yang mengerti sedikit banyak tentang racun. Dan kini Ceng Ceng terdesak hebat. Biarpun dia sudah memutar pedang Ban-tok-kiam sekuatnya dan secepatnya, namun senjata pedang dan golok itu menekan berat sekali. Dalam belasan jurus saja dia sudah mandi keringat. Celakanya, dorongan pukulan tangan beracun dari tangan kirinya agaknya kurang kuat bagi enam orang lawan ini yang menangkis dengan hawa pukulan sin-kang dari jauh sehingga tidak pernah bersentuhan tangan.

   "Mampuslah....!"

   Ceng Ceng membentak marah, pedangnya menusuk tiga kali yang merupakan serangkaian serangan ke arah tiga orang lawan, sedangkan kepalanya bergerak ke kanan kiri, dan dari mulutnya yang manis bentuknya itu meluncur air ludah yang beracun ke arah tiga orang lawan yang lain!

   "Aduhhh....!"

   Seorang diantara mereka, yang memandang rendah serangan ludah itu, dengan tepat terkena percikan ludah di lehernya dan dia berteriak-teriak sambil memegangi lehernya yang seperti di-bakar rasanya, lalu bergulingan roboh di atas genteng, tidak dapat bertanding lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan kilat mengenal pinggul Ceng Ceng. Dara ini mengeluh, terhuyung dan hanya berkat kecepatan gerak pedangnya saja yang diputar melindungi diri maka dia terhlndar dari bahaya maut ketika lima orang itu menerjang secara berbareng ketika dara itu terhuyung.

   "Trang-cring-cring-cring....!"

   Ceng Ceng bergulingan di atas genteng sambil menggerakkan pedang Ban-tok-kiam menangkisi pedang dan golok yang mengejarnya. Banyak genteng pecah oleh gerakannya ini dan tubuhnya terus bergulingan karena lima orang lawannya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk meloncat berdiri. Dia terdesak benar-benar sampai bergulingan ke pinggir atas dan nyaris terjatuh ke bawah.

   Terpaksa dia menghentikan gerakannya dan terus menangkisi pedang dan golok yang bertubi-tubi menyerangnya. Lima orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah pengawal-pengawal kelas satu yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, maka tentu saja mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Selain itu, juga mereka telah berpengalaman di dunia kang-ouw, maklum bahwa gadis yang dikeroyoknya itu biarpun ilmu silatnya tidak terlalu hebat, namun memiliki kepandaian tentang racun yang mengerikan, karena inilah mereka tidak berani sembarangan menggunakan tangan kiri menyerang agar tubuh mereka tidak bersentuhan dengan gadis beracun itu, melainkan menggunakan pedang atau golok mereka untuk menyerang. Tendangan tadi yang mengenai pinggang Ceng Ceng, tentu akan mencelakakan yang menendang kalau saja dia tidak memakai sepatu kulit tebal.

   "Wuuuutt-plak-plak-plak!"

   Lima orang itu terkejut sekali, terhuyung ke belakang karena sambaran angin dorongan yang amat kuat.

   Ketika mereka melihat bahwa yang mendorong mereka itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka buruk sekali, mereka terkejut dan maklumlah mereka bahwa orang ini memiliki sin-kang yang amat hebat. Maka mereka lalu berpencar, ada yang meloncat ke atas wuwungan yang lebih tinggi untuk bersiap-siap dengan senjata rahasia mereka. Ceng Ceng sendiri terkejut dan cepat bangkit, menggigit bibir karena pinggangnya terasa nyeri. Pada saat itu, laki-laki tinggi besar bermuka buruk itu membuka mulut dan mengeluarkan teriakan melengking yang amat dahsyat, teriakan yang seolah-olah membuat semua atap di sekitar tempat itu tergetar, genteng-genteng banyak yang merosot dan lima orang pengeroyok itu mengeluh, senjata mereka terlepas dan tubuh mereka terguling di atas genteng dalam keadaan pingsan!

   Ceng Ceng sendiri merasa betapa tubuhnya seperti kemasukan tenaga yang dahsyat, telinganya seperti akan pecah rasanya, dan dia terhuyung-huyung. Akan tetapi tiba-tiba sebuah tangan yang besar menepuk punggungnya dan dia sadar kembali, memandang laki-laki tinggi besar itu dengan penuh kagum dan juga serem. Wajah orang ini sungguh buruk dan menakutkan. Kulit mukanya kasar seperti kulit punggung buaya, agak hitam kemerahan, mulutnya yang lebar seperti tidak pernah tertutup, hidungnya besar bengkok dan matanya besar sebelah, rambutnya riap-riapan dan panjang sedangkan sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar yang aneh. Sungguh wajah yang menakutkan seperti wajah setan dalam dongeng!

   "Kau pergilah, kenekatanmu tadi berbahaya...."

   Orang itu berkata dan Ceng Ceng makin terheran-heran. Mukanya begitu buruk menakutkan, akan tetapi suaranya halus dan kepandaiannya luar biasa tingginya. Sejenak Ceng Ceng termangu, kemudian secara tiba-tiba dia menggerakkan pedangnya menyerang. Serangan kilat ini dilakukan dengan dahsyat karena mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak dekat. Ban-tok-kiam meluncur ke arah dada orang tinggi besar itu dan agaknya tidak ada jalan lagi bagi orang tinggi besar untuk dapat meinghlndarkan diri dari bahaya maut ini, apalagi karena tangan kiri Ceng Ceng yang mengerahkan tenaga beracun mencengkeram ke arah perut dan kepalanya digerakkan sedemikian rupa sehingga rambutnya juga menyambar ke arah kedua mata lawan. Benar-benar serangan tiba-tiba yang amat berbahaya.

   "Ahhh....!"

   Laki-laki bermuka buruk mengeluarkan seruan kaget, dan hanya mengangkat tangan kirinya ke depan dan menyambar pedang itu dari samping dan membiarkan rambut dan tangan kiri Ceng Ceng mengenai sasaran.

   Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati dara ini ketika tangan kirinya bertemu dengan perut yang keras seperti baja, membuat jari-jari tangannya tidak dapat mencengkeram bahkan terasa nyeri, sedangkan rambutnya yang menyambar mata itu tiba-tiba membuyar ditiup oleh mulut Si Buruk Rupa, dan pedangnya ditangkap oleh tangan lawan! Pedangnya, Ban-tok-kiam yang ampuh, yang mengandung racun mujijat, ditangkap oleh tangan begitu saja seolah-olah hanya sebatang pedang kayu yang tidak berbahaya! Dia mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia, bahkan ketika laki-laki itu menggerakkan tangan, dia tidak mampu mempertahankan dan pedangnya terlepas, lalu dilempar di atas genteng oleh laki-laki itu.

   "Apakah kau sudah gila?"

   Laki-laki itu menegur. Ceng Ceng segera menjatuhkan dirinya berlutut dan laki-laki itu mendengus heran.

   "Memang kusengaja untuk menguji kepandaianmu In-kong, aku mohon kepadamu agar kau suka menerimaku sebagai murid!"

   Mata yang besar sebelah itu berkedip-kedip penuh keheranan.

   "Kau.... kau seorang yang aneh, Nona. Selamat tinggal...."

   Dia membalikkan tubuh membelakangi Ceng Ceng yang masih berlutut.

   "In-kong...., jangan pergi dulu."

   Ceng Ceng berseru dan laki-laki itu berdiri di wuwungan, membelakangi Ceng Ceng dan bersedakap.

   "Mau bicara apa lagi?"

   Terdengar suaranya yang halus.

   "In-kong, aku ingin sekali menjadi muridmu, belajar ilmu yang tinggi untuk kupergunakan membalas dendamku kepada seorang pemuda laknat yang amat lihai dan selamanya aku tidak akan melupakan budimu.... In-kong....!"

   Namun Ceng Ceng hanya dapat bangkit berdiri dengan muka pucat dan hati kecewa sekali karena selagi dia bicara tadi, laki-laki bermuka buruk itu telah berkelebat dan lenyap, meninggalkannya tanpa menjawab sedikitpun juga. Dengan kekecewaan hebat Ceng Ceng memungut pedangnya, lalu melayang turun setelah melihat bahwa tujuh orang itu masih rebah malang melintang dengan pingsan di atas genteng. Ketika dia memasuki rumah dan menghampiri pintu ruangan di mana Pangeran Yung Hwa dan sekeluarga Perwira Chi bersembunyi, tiba-tiba pintu itu terbuka dan Pangeran Yung Hwa muncul, memandang kepadanya dengan wajah girang sekali sambil berkata,

   "Ah, syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nona....!"

   "Haiii, jangan keluar....!"

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ceng Ceng berteriak kaget melihat Pangeran itu hendak melangkah keluar. Seruannya terlambat, maka dia cepat meloncat seperti seekor burung walet, langsung menubruk dan merangkul tubuh Pangeran itu yang sudah melangkahkan kakinya sehingga mereka berdua terlempar kembali ke dalam ruangan, bergulingan seperti saling berpelukan! Dengan kedua dengan masih memeluknya, Pangeran Yung Hwa membuka matanya, memandang terheran-heran. Ketika Ceng Ceng meronta, dia melepaskan ke dua lengannya.

   "Ah maaf....!"

   Muka Pangeran itu menjadi merah sekali. Bersama Ceng Ceng dia bangkit berdiri, melihat dara itu mengebut-ngebutkan pakaiannya.

   "Akan tetapi, mengapa Nona....?"

   "Pangeran, di luar pintu itu tadi kusebarkan racun untuk menghalangi orang luar memasuki ruangan ini, dan hampir saja kau yang menjadi korban!"

   Ceng Ceng mengomel, lupa bahwa dia bicara dengan seorang putera Kaisar sehingga dia seenaknya saja menyebut

   "kau"! Sepasang mata yang indah dari pangeran itu terbelalak.

   "Aihh.... kiranya baru saja kau kembali setelah menyelamatkan nyawaku, Nona Lu!"

   Dia memandang ke atas lalu bertanya,

   "Bagaimana dengan mereka?"

   "Semua pingsan,"

   Jawab Ceng Ceng sederhana.

   "Ah, sungguh hebat! Bagaimana aku dapat membalas budimu, Nona Lu?"

   Yung Hwa berkata lagi sambil menjura.

   "Lihiap, bagaimana baiknya sekarang?"

   Perwira Chi yang masih pucat, wajahnya itu tiba-tiba bertanya.

   "Kalian semua harus cepat pergi dari sini, kalau tidak, berbahaya sekali,"

   Jawab Ceng Ceng.

   "Mari kalian semua ikut dengan aku!"

   Yung Hwa berkata.

   "Kita harus malam ini juga masuk ke istana, barulah aman."

   "Akan tetapi...."

   Perwira itu meragu.

   "Beliau berkata benar,"

   Ceng Ceng memotong.

   "Memang sebaiknya kalau sekarang juga kalian semua menyelamatkan diri ke dalam istana. Kiranya tidak akan sukar bagi Pangeran Yung Hwa untuk memasuki istana."

   "Akan tetapi kalau ada pencegatan di tengah jalan?"

   Perwira Chi masih meragu.

   "Aku akan mengawal,"

   Ceng Ceng menjawab.

   "Ah, budimu makin bertumpuk, Nona Lu!"

   Pangeran Yung Hwa berseru terharu, akan tetapi Ceng Ceng cepat membuka pintu dan membersihkan racun dari lantai depan pintu.

   "Aku tidak yakin apakah sudah bersih betul, sebaiknya kaubawa keluargamu meloncat sampai dua meter lebih dari pintu, Chi-ciangkun (Perwira Chi)!"

   Ceng Ceng berkata. Perwira itu mengangguk, memondong isteri dan anak-anaknya bergantian dan membawa mereka meloncat.

   "Maukah engkau membantu aku, Nona?"

   Yung Hwa berkata, matanya memandang tajam penuh harapan dan penuh selidik. Wajah Ceng Ceng menjadi merah, akan tetapi dengan sederhana dia mengangguk dan mengeluarkan tangannya.

   "Kau berpeganganlah pada tanganku, Pangeran!"

   Setelah mereka saling berpegang tangan, Ceng Ceng meloncat dan menarik tubuh pangeran itu ke atas bersamanya.

   "Ahhh....!"

   Pangeran Yung Hwa memuji dengan kagum dan agaknya dia lupa bahwa dia masih memegang tangan yang berkulit halus itu, sampai Ceng Ceng dengan halus menarik tangannya.

   "Mari kita berangkat dan kalau ada pencegatan di jalan, biarkan aku meng-hadapi mereka akan tetapi lanjutkan perjalanan kalian ke istana,"

   Ceng Ceng memesan dan berangkatlah mereka semua meninggalkan rumah Perwira Chi menuju ke istana. Di sepanjang jalan, Pangeran Yung Hwa yang kelihatan tenang saja tidak seperti Perwira Chi sekeluarganya yang nampak gugup dan tegang, tiada hentinya memuji-muji kelihaian Ceng Ceng. Tidak ada halangan sesuatu di jalan sampai mereka tiba di pintu gerbang istana yang terjaga ketat oleh sepasukan pengawal istana. Ketika mereka melihat Pangeran Yung Hwa yang mengepalai rombongan kecil itu, tentu saja mereka mengenalnya dan cepat memberi hormat kepada pangeran yang mereka kenal sebagai seorang pangeran yang baik budi dan halus itu.

   "Mereka ini adalah tamuku dan malam ini kami perlu sekali menghadap ibuku di istana,"

   Kata Pangeran Yung Hwa kepada para penjaga yang tidak berani melarang.

   "Kalau begitu, kita berpisah di sini,"

   Kata Ceng Ceng.

   "Selamat berpisah, Pangeran dan Chi-ciangkun."

   "Eh, eh.... kau harus ikut dengan kami memasuki istana, Lu-siocia!"

   Pangeran itu berseru.

   "Harus....?"

   Ceng Ceng memandang dengan sikap angkuh dan matanya seolah-olah hendak mengatakan bahwa tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang mengharuskannya berbuat sesuatu!

   "Eh, maksudku...."

   Pangeran Yung Hwa mendekati nona itu dan berbisik.

   "Harap Nona mengawal kami sampai kami aman berada di tempat tinggal ibuku. Di dalam istana itu banyak kaki tangan pemberontak."

   Mendengar ini, Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Memang kalau dia lepaskan mereka di situ kemudian mereka itu tetap saja terjatuh ke tangan musuh yang tentu menyebar anak buahnya di dalam lingkungan istana, akan sia-sialah semua pertolongannya.

   "Baiklah....!"

   Katanya dan wajah pangeran itu menjadi berseri, jelas bahwa dia merasa girang sekali. Karena pangeran itu merupakan seorang tokoh istana yang amat dikenal dan disuka oleh para penjaga, maka mereka tidak menemui halangan. Bahkan semua penjaga yang melihat pangeran ini menjadi girang sekali.

   Tersiar luas bahwa Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena kecewa tidak diperkenankan menikah dengan Puteri Bhutan, dan kini agaknya pangeran itu sudah dingin hatinya dan mau pulang, maka tentu saja para penjaga ikut merasa girang. Agaknya biarpun di lingkungan bangunan istana itu terdapat banyak kaki tangan Liong Bin Ong, namun pangeran ini belum begitu gila untuk berani turun tangan di lingkungan istana, karena hal ini akan berbahaya sekali bagi dirinya sendiri. Maka Pangeran Yung Hwa dan rombongannya dapat tiba di tempat ibunya dengan selamat tanpa halangan. Ibu pangeran itu, seorang wanita setengah tua, selir Kaisar yang masih kelihatan cantik jelita, menyambut puteranya dengan cucuran air mata saking girangnya. Pertemuan mengharukan antara ibu dan anak mendatangkan rasa haru pula di hati Ceng Ceng.

   "Ah, Ibu, saya sampai lupa. Ini adalah Nona Lu Ceng, seorang pendekar wanita yang telah berkali-kali menyelamatkan nyawa puteramu."

   Selir kaisar itu mengangkat muka memandang dan tersenyum ramah sambil menghapus air matanya. Ceng Ceng cepat menjura dengan hormat, lalu berkata.

   "Saya tidak berani mengganggu lebih lama lagi, perkenankan saya pergi."

   "Eh, nanti dulu, Nona Lu. Mana mungkin malam-malam begini membiarkan aku pergi? Kau bermalam di sini, besok pagi masih belum terlambat untuk pergi."

   Pangeran itu berkata dan ibunya juga menahan sambil melangkah maju dan memegang tangan Ceng Ceng. Dara ini merasa bingung dan sungkan, akan tetapi sikap selir kaisar yang halus dan ramah itu membuat dia tidak berani menolak lagi. Dia lalu diantar ke sebuah kamar dan dipersilakan mengaso, dilayani oleh seorang pelayan wanita. Juga perwira Chi dan keluarganya sudah diberi tempat untuk mengaso dan tidur, sedangkan Pangeran Yung Hwa dan ibunya bercakap-cakap sampai jauh malam. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Ceng Ceng sudah bangun dan mandi di dalam kamar mandi yang serba mewah dan indah. Kemudian dia memasuki taman di samping kamarnya untuk menanti munculnya Pangeran Yung Hwa karena dia ingin segera pergi dari tempat itu. Akan tetapi baru saja dia memasuki taman, tampak pangeran itu sudah bangkit dari sebuah bangku menyambutnya.

   "Selamat pagi, Lu-siocia. Kuharap Nona dapat beristirahat dengan cukup semalam."

   "Ah, terima kasih, Pangeran. Kebetulan sekali karena memang saya ingin mohon diri dari sini."

   "Duduklah dulu, Nona Lu Ceng, duduklah di bangku sini. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu."

   Terpaksa Ceng Ceng duduk di bangku berhadapan dengan pangeran itu karena melihat sikap pangeran itu sungguh-sungguh.

   "Biarpun baru saja aku berjumpa denganmu, Nona, akan tetapi ada perasaan aneh di hatiku bahwa kita telah menjadi sahabat yang tidak perlu menyimpan rahasia lagi. Karena itu aku ingin menceri-takan kepadamu mengapa aku sebagai seorang pangeran kaudapatkan bersembunyi di dalam rumah perwira Chi dan mengapa pula ada usaha-usaha dari luar untuk menangkap atau membunuh aku."

   Ceng Ceng selanjutnya tidak ingin mencampuri urusan pangeran itu, juga tidak ingin mendengarkan ceritanya, akan tetapi mengingat akan sikap halus ibu pangeran ini dan akan keramahan Si Pangeran sendiri, juga karena dia merasa kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan dan halus bersikap sederhana, tidak angkuh seperti biasanya kaum bangsawan, merasa tidak tega untuk menolak dan dia hanya mengangguk.

   "Mula-mula adalah kesalahanku sendiri. Aku tergila-gila kepada Syanti Dewi, Puteri Bhutan.... eh, kau kenapa?"

   Pangeran yang sambil bercerita selalu menatap wajah Ceng Ceng melihat betapa tiba-tiba dara itu membelalakkan matanya dan wajah yang tadinya diam dan dingin itu seperti mengeluarkan cahaya dan kedua pipinya kemerahan. Namun Ceng Ceng segera dapat menguasai hatinya yang tadi terkejut mendengar pangeran itu terang-terangan menyatakan tergila-gila kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi.

   "Tidak apa-apa, lanjutkanlah...."

   Jawabnya.

   "Akan tetapi ayahku, Sri Baginda Kaisar menolak permintaanku untuk dilamarkan puteri itu, bahkan menjodohkan puteri Bhutan itu dengan Paman Pangeran Liong Khi Ong yang sudah setengah abad usianya demi politik. Hatiku sakit dan aku lalu lolos dari istana, melarikan diri. Sikapku membikin marah Paman Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin Ong, aku dikejar-kejar dan nyaris tewas. Aku dilindungi dan disembunyikan oleh pamanku, saudara ibuku di luar kota raja dan di situ aku mendengar akan rencana pemberontakan yang diatur oleh kedua orang paman Pangeran Liong itu. Bahkan pencegatan rombongan Puteri Syanti Dewi yang diboyong itu pun kabarnya dilakukan oleh sekutu para pemberontak. Maka aku lalu kembali ke Istana, akan tetapi di tengah jalan aku terlihat oleh kaki tangan pemberontak dan tentu aku sekarang telah tewas kalau tidak ada engkau yang muncul dan menyelamatkan nyawaku, Nona Lu Ceng!"

   "Sudahlah, Pangeran. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Kakek adalah seorang bekas pengawal dahulu, maka sudah sepatutnya kalau aku melindungi seorang pangeran yang terancam bahaya oleh orang-orang jahat yang memberontak. Sekarang ijinkan aku memohon diri untuk melanjutkan perjalananku."

   Ceng Ceng bangkit berdiri.

   "Engkau hendak ke manakah, Nona Lu?"

   Ceng Ceng termenung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Akan tetapi segera terbayang olehnya pemuda tingi besar yang memperkosanya, pemuda laknat yang menjadi musuh besarnya,

   "Aku.... aku mencari seseorang...."

   "Keluargamu?"

   "Bukan...."

   "Sahabatmu....?"

   "Bukan!"

   "Habis siapa dia? Biar aku akan membantumu dan menyuruh para pengawal mencarinya."
(Lanjut ke Jilid 26)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 26
"Terima kasih, Pangeran. Ini urusan pribadi. Aku akan pergi sekarang...."

   Ceng Ceng sudah melangkah hendak pergi, akan tetapi pangeran itu bangkit berdiri dan berkata,

   "Nanti dulu, Nona Lu!"

   Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan membalikkan tubuhnya, memandang penuh selidik.

   "Ada urusan apa lagi?"

   "Tadi sudah kukatakan bahwa ada sesuatu yang akan kusampaikan kepadamu."

   "Engkau sudah menceritakan semua."

   "Bukan.... bukan itu.... akan tetapi, ahh, maafkan aku karena engkau begitu tergesa hendak pergi, terpaksa aku terus terang saja. Nona Lu Ceng, aku.... begitu bertemu denganmu.... aku.... aku cinta padamu, Nona!"

   Ceng Ceng benar-benar terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang dengan mulutnya agak terbuka karena dia sama sekali tidak pernah menyangka akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut pangeran yang amat tampan itu!

   "Maaf, Nona. Aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Aku bahkan telah membicarakan dengan ibu, dan beliau sudah setuju. Nona Lu, aku cinta padamu dan kalau Nona setuju, aku ingin meminangmu sebagai isteriku...."

   "Ahhh....!"

   Ceng Ceng menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi merah sekali. Selama hidupnya, baru satu kali ini ada pria mengaku cinta secara demikian terang-terangan, bahkan sekaligus melamarnya sebagai isterinya.

   "Maafkan, Nona Lu Ceng. Memang ini tidak semestinya, memang sepatutnya aku mengajukan pelamaran kepada orang tuamu, akan tetapi karena aku tidak tahu di mana kau tinggal, siapa orang tuamu, dan karena kau begitu tergesa-gesa hendak pergi, aku takut kalau-kalau kita tidak akan saling bertemu kembali, maka aku memberanikan diri...."

   Tiba-tiba Lu Ceng menangis terisak-isak menutupi mukanya dan dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Disebutnya orang tuanya oleh pangeran itu membuat hatinya seperti ditusuk, mengingatkan dia akan semua nasibnya dan betapa tidak ada orang tua maupun kakeknya yang dapat dia sandari, yang dapat menghiburnya.

   "Ahh, ampunkan aku, Nona Lu. Agaknya aku telah melukai hatimu.... akan tetapi percayalah, aku tidak bermaksud menghinamu.... semua pernyataanku keluar dari hatiku yang murni...."

   Ceng Ceng mengusap air matanya, lalu memandang. Dilihatnya pangeran itu telah menjatuhkan diri berlutut di depannya! Seorang pangeran putera kaisar, telah berlutut di depannya! Berlutut kepadanya! Dara ini terlalu muda untuk mengerti bahwa cinta asmara memang dapat membuat seorang pria melakukan apa saja sehingga kalau seorang pangeran sampai berlutut di depan dara yang di-cintanya, hal itu sama sekali tidaklah aneh! Maka dia segera meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya.

   "Pangeran, harap jangan berlutut!"

   Pangeran Yung Hwa bangkit berdiri dan wajahnya berseri.

   "Engkau tidak marah kepadaku?"

   Ceng Ceng kembali menghadapi pangeran itu, kini memandang dengan sinar mata penuh selidik karena masih sukar baginya untuk dapat percaya bahwa pangeran yang amat tampan ini, putera kaisar, benar-benar jatuh cinta padanya dan meminangnya untuk menjadi isterinya!

   "Tidak, aku tidak marah, hanya aku merasa heran sekali, Pangeran."

   "Heran? Ha-ha-ha, Nona Lu! Seorang dara seperti engkau ini, biar dewa sekalipun pantas untuk jatuh cinta, apalagi hanya seorang pangeran puteri selir macam aku!"

   Ucapan ini benar-benar mengelus rasa hati Ceng Ceng, mengangkat harga dirinya setinggi langit.

   "Pangeran Yung Hwa, apakah engkau sudah lupa lagi kepada Puteri Syanti Dewi yang kau katakan sendiri telah membuat engkau tergila-gila tadi?"

   "Ah, dia? Aku telah insyaf setelah aku melarikan diri keluar dari istana, Nona. Aku hanya tergila-gila kepada bayangan, kepada gambaran belaka. Selamanya aku belum pernah bertemu dengan Syanti Dewi, hanya tergila-gila mendengar berita orang tentang kecantikannya, tentang kebaikannya. Akan tetapi engkau.... engkau adalah seorang dara dari darah daging, yang hidup, bukan bayangan mati. Dan setelah aku berjumpa denganmu, tidak ada lagi bayangan Syanti Dewi di dalam hatiku, yang ada hanya engkau, Nona."

   Makin nyaman rasa hati Ceng Ceng mendengarkan semua kata-kata itu. Dia seperti merasa dalam mimpi yang amat indah dan dia memejamkan matanya karena hampir tidak percaya bahwa ini mimpi. Pangeran yang tampan dan halus itu, yang di balik kehalusan dan kelemahannya memiliki keberanian dan kegagahan luar biasa pula ketika menghadapi bahaya, telah jatuh cinta padanya, meminangnya sebagai isteri! Tubuhnya gemetar semua ketika tahu-tahu dia merasa ada dua lengan yang memeluknya. Dari balik bulu matanya, dia melihat bahwa Pangeran Yung Hwa telah merangkulnya dengan mesra, betapa dekat muka yang halus tampan itu, yang kini menjadi kemerahan dan mata yang indah itu memandang kepadanya penuh cinta kasih mesra, membuat Ceng Ceng hampir pingsan! Ketika merasa betapa napas yang panas dari hidung pangeran itu meniup pipinya, dia mengelak sedikit dan berbisik,

   "Akan tetapi, Pangeran.... aku.... aku hanya seorang gadis perantau...."

   Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini pangeran itu telah mempererat dekapannya dan telah mencium pipinya dengan hidung sambil membisikkan kata-kata indah di dekat telinganya,

   "Ceng-moi.... bagiku engkau adalah seorang bidadari.... engkau mulia seperti Kwan Im Pouwsat sendiri.... engkau gagah perkasa seperti pendekar wanita Hoan Lee Hwa (dalam cerita Sie Jin Kwi) dan aku.... aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, Moi-moi...."

   "Ahhh.... tapi.... tapi aku...."

   Kembali Ceng Ceng tak mampu melanjutkan karena kini bibir pangeran itu telah menutup mulutnya dengan ciuman yang hangat dan mesra, yang dilakukan dengan penuh getaran batinnya. Sejenak Ceng Ceng terlena seperti pingsan dalam pelukan pangeran itu, menerima ciuman yang melupakan segala hal itu. Tiba-tiba terbayang wajah pemuda laknat dan teringatlah dia akan keadaan dirinya. Dia meronta dan pangeran itu berseru kaget, tentu saja pelukannya terlepas dan dia tidak mampu menahan gerakan Ceng Ceng yang meronta tadi. Wajah Ceng Ceng pucat sekali, matanya menjadi liar.

   "Tidak....! Tidak....! Tidak....!"

   Gadis itu setengah menjerit.

   "Aih, Moi-moi.... kekasihku.... ada apakah....?"

   Pangeran itu berseru kaget dan melangkah dekat, akan tetapi Ceng Ceng melangkah mundur menjauhi.

   "Jangan sentuh aku! Jangan....!"

   Jeritnya.

   "Aduh, Ceng-moi, kenapakah? Apakah salahku? Aku cinta padamu...."

   "Tidak boleh begitu!"

   "Mengapa? Terasa olehku betapa engkau pun membalas cintaku, Ceng-moi. Kenapa tidak boleh?"

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sepasang mata itu kembali mencucurkan air mata karena dia teringat kembali akan keadaan dirinya yang telah ternoda, yang telah diperkosa oleh Si Pemuda Laknat. Akan tetapi betapa mungkin dia menceritakan hal itu kepada orang lain, apalagi kepada pangeran ini? Lebih baik mati!

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 2 Sepasang Pedang Iblis Eps 19 Sepasang Pedang Iblis Eps 11

Cari Blog Ini