Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 28


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 28



"Memang hanya kaum pengecut saja yang mau menjadi pengkhianat,"

   Katanya dengan pandang mata mengejek.

   "Kalau golongan kita dipimpin oleh seorang pengecut dan pengkhianat, hancurlah kita semua!"

   Muka Lauw Sek menjadi merah sekali karena ucapan itu biarpun tidak langsung ditujukan kepadanya, namun jelas bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini menghinanya di depan banyak orang.

   "Hem, pangcu dari Tiat-ciang-pang, agaknya menurut pandanganmu, tidak ada orang lain yang lebih pantas menjadi beng-cu selain engkau, ya? Hendak kulihat sampai di mana tingginya kepandai-anmu dan apakah tangan besimu itu benar-benar keras seperti besi!"

   Setelah berkata demikian Lauw Sek sudah maju menerjang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya yang hergerak cepat sekali sehingga tampaknya seolah-olah dia memiliki enam buah lengan! Tong Hoat maklum bahwa kepandaian orang ini tidak boleh disamakan dengan dua orang saudara Ma tadi, maka dia pun cepat menggerakkan tubuh dan kedua tangannya menangkis sambil membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.

   Cepat sekali gerakan dua orang itu, yang kelihatan hanyalah bayangan banyak tangan, kadang-kadang dikepal, kadang-kadang terbuka, saling pukul dan saling tangkis dan terdengar suara bersiutnya hawa pukulan kedua pihak yang agaknya memiliki kecepatan yang berimbang. Lauw Sek yang berhati besar karena merasa mempunyai dukungan amat kuat, bernafsu sekali untuk mengalahkan lawan, maka gerakannya cepat dan serangannya bertubi-tubi seperti air membanjir. Sebaliknya, Tong Hoat bersikap hati-hati dan tenang, gerakannya kokoh kuat membendung banjir serangan itu dan setiap kali menangkis, dia mengerahkan ilmu yang diandalkannya, yaitu Tangan Besi.

   Berkali-kali dua pasang lengan itu bertemu dengan dahsyat, kadang-kadang mengeluarkan bunyi berdetak seolah-olah dua tulang yang kuat saling beradu, namun keduanya tidak kelihatan terdorong dan agaknya sama kuatnya. Biarpun Lauw Sek kelihatan juga kuat dan pantas berjuluk Tangan Malaikat, karena kelihatannya dia tidak terpengaruh oleh benturan tangan yang amat kuat dari Tong Hoat, akan tetapi sebetulnya dia merasa betapa kedua lengannya nyeri dan makin lama makin hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali bertemu dengan lengan lawan, dia merasa seolah-olah tulang lengannya retak dan maklumlah dia bahwa biarpun dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah jauh oleh lawan, namun harus dia akui bahwa Tong Hoat benar-benar memiliki lengan yang kuat dan keras seperti besi!

   Diam-diam dia mengeluh dan teringatlah dia akan pesan pemuda sakti utusan Pangeran Liong Bin Ong yang berpesan agar dia berhati-hati menghadapi tangan besi lawan, dan pemuda yang dia tahu amat sakti itu telah meminjamkan sebuah sarung tangan kepadanya. Sarung tangan itu dia simpan di dalam saku bajunya, karena dia tidak mau memakainya, akan tetapi setelah sekarang memperoleh kenyataan betapa lihainya Ketua Tiat-ciang-pang, teringatlah dia akan pesan pemuda itu dan segera dia melompat mundur sambil tertawa. Dikeluarkannya sarung tangan berwarna hitam itu dan dipakainya di tangan kanan. Tercium bau yang wangi-wangi aneh memabokkan. Tong Hoat tidak mengenal sarung tangan itu. Dia dapat menduga bahwa tentu sarung tangan itu merupakan senjata yang ampuh, akan tetapi karena bukan merupakan senjata tajam, dia me-mandang rendah.

   "Hemm, apakah lenganmu telah terasa nyeri maka engkau menggunakan sarung tangan itu?"

   Dia mengejek.
Lauw Sek tersenyum.

   "Tanganmu memang keras seperti besi, akan tetapi jangan mengira aku takut. Tangan besimu akan mencair kalau bertemu dengan sarung tangan ini!"

   Tek Hoat tentu saja tidak percaya dan dia sudah menerjang lagi. Dia tadi sudah hampir memperoleh kemenangan karena pihak lawan sudah terus didesaknya. Dengan pengerahan tenaga pada kedua lengannya, dia menyerang tanpa mempedulikan sarung tangan hitam yang melindungi tangan kanan dan sebagian dari lengan kanan Lauw Sek.

   "Plak-plak! Dukkk....!"

   Tong Hoat meloncat ke belakang dengan kaget sekali, lalu menggosok-gosok lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan bersarung tangan dari lawannya. Lengan kirinya terasa gatal-gatal dan panas sekali! Wajahnya berubah. Tahulah dia bahwa sarung tangan itu ternyata ampuh sekali dan tentu mengandung racun yang amat jahat!

   "Kau curang....!"

   Serunya.

   "Ha-ha-ha, Pangcu. Kau takut....?"

   Lauw Sek tertawa mengejek dan siap menyerangnya kembali.

   "Pangcu harap mempergunakan obat dari Lihiap ini, dilumurkan pada kedua tangan!"

   Tiba-tiba terdengar seruan ini dan seorang anggauta Tiat-ciang-pang melemparkan sebuah bungkusan ke arah ketuanya. Mendengar ini Tong Hoat menerima dengan girang dan tahulah dia bahwa nona Lu Ceng diam-diam telah membantunya. Mengingat betapa nona itu dapat menghabiskan beberapa cawan arak bercampur racun tanpa akibat apa-apa, dia maklum bahwa pendekar wanita itu adalah seorang ahli racun, maka dia cepat membuka bungkusan itu. Di dalamnya terdapat cairan kental seperti lumpur, berwarna kuning. Cepat dia membalurkan semua obat itu pada tangan dan lengannya. Rasa gatal dan panas pada tangan kanannya lenyap seketika, dan kedua lengannya terasa dingin.

   "Majulah, siapa takut sarung tangan beracunmu?"

   Dia membentak dan menyerang lagi. Terjadilah pertandingan yang mati-matian. Lauw Sek selalu menggunakan tangan kanannya yang memakai sarung tangan, akan tetapi kini lawannya menangkis dan menerima tanpa ragu-ragu lagi dan setiap kali mereka bertemu lengan dan tangan, karena memang dia kalah kuat tenaganya, dia yang merasa kedua lengannya sakit-sakit. Seratus jurus telah lewat dan pertandingan itu makin seru. Akan tetapi kini Lauw Sek main mundur dan selalu menghindarkan pertemuan kedua lengan karena kedua lengannya sudah bengkak-bengkak dan nyeri bukan main.

   Kesempatan baik dipergunakan oleh Tong Hoat ketika Lauw Sek yang sudah tidak berani menangkis itu berusaha mengelak dari pukulan lawan. Tong Hoat menggerakkan kedua kakinya, mainkan ilmu tendangan berantai dan akhirnya Lauw Sek terkena sebuah tendangan kaki kiri yang membuat tubuhnya terlempar ke bawah panggung! Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kemenangan Tong Hoat, tidak saja dari para anggauta Tiat-ciang-pang, akan tetapi juga dari mereka yang tadi dikalahkan oleh dua orang saudara Ma. Akan tetapi di bawah sorak-sorai yang diselingi oleh teriakan-teriakan yang menyatakan mengangkat Tong Hoat sebagai beng-cu itu, tampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan Ketua Tiat-ciang-pang itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang bertubuh sedang saja dan kelihatannya tidak seperti seorang yang lihai.

   Pakaian pemuda ini sederhana saja, dengan jubah atau baju luar yang berwarna biru tua, celana kuning dan baju dalam putih. Biarpun pakaiannya terbuat dari kain yang mahal dan baru, akan tetapi potongannya biasa dan sederhana saja sehingga dia kelihatan hanya seperti seorang pemuda pekerja yang sederhana dari kota. Akan tetapi rambutnya yang hitam panjang itu merupakan kuncir yang besar mengkilap, ber-gantung di punggungnya, kulit mukanya putih dan ketampanan wajahnya makin mencolok dan sinar matanya yang tajam berapi dan bibirnya yang tersenyum simpul mengejek. Melihat pemuda ini, Ceng Ceng cepat mendekati panggung dan memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan karena dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

   "Tiat-ciang-pangcu, apakah syaratnya bagi seorang beng-cu yang dipilih dalam pertemuan ini?"

   Ang Tek Hoat bertanya, suaranya lantang namun halus dan tenang.

   "Bukankah syaratnya adalah orang yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita semua?"

   Tong Hoat memandang pemuda itu penuh selidik, akan tetapi dia merasa belum pernah melihat pemuda ini. Kalau pemuda ini merupakan seorang tokoh kaum sesat di sekitar kota raja, tentu dia mengenalnya. Maka tentu pemuda inl seorang anggauta biasa saja, atau kalau dia seorang pandai, tentu datang dari daerah lain.

   "Benar demikian, orang muda. Engkau siapakah dan datang dari mana?"

   Tek Hoat tersenyum.

   "Aku she Ang dan aku ingin memasuki pemilihan beng-cu ini. Jika aku dapat mengalahkan engkau, apakah aku dipilih menjadi beng-cu dan semua golongan hitam di daerah ini lalu tunduk kepada semua perintahku?"

   Tong Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal pemuda ini dan siapa tahu pemuda ini adalah kaki tangan pemberontak. Akan tetapi tentu saja dia tidak berhak melarang, dan teringat kepada Nona Lu yang sanggup untuk menentang kaki tangan pemberontak kalau mereka hendak menguasai golongan hitam untuk bersekutu.

   "Orang muda she Ang, tentu saja siapa pun boleh mencoba kepandaian untuk menjadi beng-cu. Akan tetapi, sekarang keadaan negara sedang kacau, dikacau oleh usaha orang-orang yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah. Oleh karena itu, seorang beng-cu harus pula dapat melindungi semua anggautanya agar jangan sampai terseret ke dalam pemberontakan, karena pekerjaan itu adalah amat hina. Biarpun kita disebut golongan hitam atau kaum sesat, namun kita masih mempunyai kehormatan untuk tidak menjadi pengkhlanat bangsa dan negara!"

   Tek Hoat tersenyum lebar.

   "Pangcu, saya kira urusan itu terserah kepada beng-cu yang telah dipilih, bukan? Dialah yang akan memutuskan tentang segala persoalan dan peraturan, dan hal itu merupakan urusan belakang. Sekali lagi, kalau saya mampu mengalahkan pangcu, berarti saya menjadi beng-cu?"

   Tong Hoat menggeleng kepalanya.

   "Belum tentu, selama maslh ada calon lain engkau harus dapat mengalahkan semua calon."

   "Itu adalah hal yang mudah. Bagaimana kalau lawan saya sampai tewas?"

   Tong Hoat mengerutkan alisnya dan timbullah kemarahannya. Sikap pemuda ini sama sekali tidak memandang mata kepadanya, seolah-olah sudah yakin akan kemenangannya biarpun sikap pemuda itu tenang saja, namun kata-katanya amat memandang rendah dan membayangkan kesombongan hebat!

   "Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan silat!"

   "Bagus, kalau begitu biarlah aku merobohkan Pangcu dulu, baru merobohkan lain orang yang berani naik ke sini."

   Tentu saja ucapan ini membuat Tong Hoat marah sekali, akan tetapi di antara para angauta Tiat-ciang-pang ada yang tertawa geli dan menganggap pemuda itu seorang yang sudah miring otaknya karena bicara sedemikian mudahnya hendak merobohkan pangcu mereka dan merampas kedudukan beng-cu. Akan tetapi Ceng Ceng memandang dengan penuh kekhawatiran.

   Dia maklum bahwa nyawa Ketua Tiat-ciang-pang itu terancam bahaya hebat, akan tetapi tentu saja dia tidak hendak mencampurinya. Yang membuat dia khawatir adalah melihat betapa Tek Hoat kini sudah turun tangan sendiri dan kalau sampai pemuda ini yang menjadi beng-cu, tentu saja semua kaum sesat di daerah itu akan diseretnya menjadi kaki tangan pemberontak! Dan dia harus menghalangi usaha pemuda ini! Dia harus biarpun sedikit memperlihatkan kesetiaannya kepada kerajaan sebagai keturunan kakeknya, seorang bekas pengawal yang setia! Dia harus menentang para pemberontak! Sementara itu, Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat sudah menerjang pemuda yang membakar hatinya itu. Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya bergantian melakukan pukulan dengan disertai pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya, mengerahkan Ilmu Tiat-ciang yang paling kuat.

   Karena marahnya, ketua ini ingin sekali pukul merobohkan pemuda sombong ini. Pemuda ini jelas bukan anggauta golongan daerah situ, maka membunuhnya pun bukan merupakan hal yang terlalu besar. Terhadap rekan sedaerah, dia masih sungkan membunuh, akan tetapi pemuda yang sombong itu boleh jadi adalah kaki tangan pemberontak, maka membunuhnya bahkan amat baik, tentu akan membikin jerih calon lain. Dengan pikiran demikian, maka begitu menerjang maju, Tong Hoat sudah mengeluarkan jurus yang paling hebat, bagaikan halilintar, kedua tangannya menyambar susul-menyusul, yang kanan memukul ke arah lambung lawan, yang kiri dengan jari terbuka mendorong ke arah dada disertai tenaga Tiat-ciang yang dahsyat.

   "Bukk! Desss!"

   Dua pukulan itu dengan tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergoyang. Bahkan Tong Hoat seketika menjadi pucat mukanya ketika merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan tubuh yang kerasnya melebihi baja, yang membuat kedua pukulannya membalik dan lengan tangannya seperti dibakar. Pada saat itu, Tek Hoat menggerakkan tangan kirinya dan ujung jari-jari tangannya menyentuh dada Ketua Tiat-ciang-pang itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun Tong Hoat terjengkang, kedua tangannya dikembangkan, matanya melotot dan dia roboh seperti sebatang balok, roboh di atas papan panggung dan tidak dapat bergerak lagi!

   Sejenak semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi. Semua mata melotot terbelalak penuh kekagetan dan keheranan melihat kepada pemuda itu. Sukar bagi mereka untuk dapat percaya betapa seorang lihai seperti Ketua Tiat-ciang-pang itu roboh oleh seorang pemuda tak terkenal dalam hanya satu gebrakan saja. Lebih aneh lagi karena mereka melihat betapa pukulan kedua tangan Tiat-ciang-pangcu itu, yang terkenal memiliki Ilmu Tangan Besi, dengan tepat mengenai dada dan lambung pemuda itu, namun bukan pemuda itu yang roboh, melainkan Si Ketua yang lihai itu! Hanya Ceng Ceng yang sudah mengenal kelihaian Tek Hoat, tidak menjadi heran sungguhpun dia menjadi makin kagum dan yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Tek Hoat.

   "Ilmu setan!"

   "Bunuh siluman itu!"

   Teriakan-teriakan ini terdengar dari mulut para anggauta Tiat-ciang-pang dan enam orang tokoh Tiat-ciang-pang yang merupakan pembantu-pembantu utama dari pangcu, sudah naik ke atas panggung. Akan tetapi, orang-orang yang berdiri di sekitar panggung itu hanya melihat pemuda itu tersenyum dan menggerakkan kedua tangannya bergantian dan.... berturut-turut enam orang itu roboh pula terjengkang di atas papan panggung tanpa dapat bergerak lagi! Keadaan menjadi geger. Dua orang penjudi yang tadi dikalahkan dua orang saudara Ma, menjadi penasaran dan marah. Mereka bersama belasan orang anggauta Tiat-ciang-pang dan sahabat-sahabat baik Tong Hoat, sudah meloncat naik ke atas panggung dengan senjata-senjata tajam di tangan, langsung menerjang dan mengeroyok pemuda itu.

   Ceng Ceng melihat sambil tersenyum simpul. Dia tahu bahwa semua orang itu mengantar nyawa secara percuma saja. Dan apa yang terjadi di atas panggung memang amat mengerikan dan mengherankan semua orang yang menonton di bawah. Pemuda itu dengan sikap tenang-tenang saja menghadapi semua serangan orang yang menyerbu dengan senjata tajam seperti hujan menyambar ke arah tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan para pengeroyok itu terkejut dan bingung karena tubuh pemuda itu telah lenyap dari tengah mereka. Tiba-tiba, seperti halilintar cepatnya Tek Hoat membagi-bagi tamparan dengan jari-jari tangannya dan dalam waktu singkat saja lebih dari lima belas orang sudah roboh. Tubuh mereka bergelimpangan malang-melintang memenuhi papan panggung.

   "Apakah masih ada lagi orang yang tidak mau menerima aku sebagai beng-cu?"

   Pemuda itu berseru, suaranya lantang sekali, terdengar sampai jauh di bawah panggung.

   "Kalau ada yang masih penasaran dan ingin menguji kepandaian, silakan naik."

   Tentu saja semua orang kini telah yakin akan kesaktian pemuda itu dan tidak ada yang begitu bodoh untuk mengantarkan nyawa, bahkan suasana menjadi sunyi sekali sampai beberapa lamanya. Pemuda itu lalu menggunakan kaki tangannya, menendangi dan melempar-lemparkan tubuh para korbannya ke bawah panggung. Melihat orang-orang yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu terlempar ke atas tanah dan tidak bergerak lagi, para anggauta Tiat-ciang-pang cepat mengadakan pemeriksaan dan terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ketika mereka melihat bahwa semua tubuh itu telah tidak bernyawa lagi dan di dahi semua mayat itu tampak bekas jari ta-ngan yang menghitam!

   "Si Jari Maut....!"

   Terkejutlah semua orang yang berada di situ. Bahkan dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat sendiri juga terkejut, tidak mengira bahwa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu adalah Si Jari Maut yang namanya sudah dikenal lama dan ditakuti semua orang sungguhpun jarang yang pernah melihat mukanya. Kiranya inilah orangnya! Rasa kagum dan girang bahwa mereka kini akan dipimpin oleh seorang penjahat yang terkenal amat lihai, membuat semua orang, bahkan termasuk anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, berseru keras,

   "Hidup beng-cu kita yang baru!"

   "Hidup Si Jari Maut....!"

   Tek Hoat tersenyum dan mengangkat kedua lengannya ke atas. Suasana menjadi hening dan tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara. Setelah memandang ke empat penjuru, Tek Hoat lalu berkata dengan suara nyaring,

   "Kalian telah melihat sendiri bahwa aku adalah satu-satunya orang yang menang dalam semua pertandingan di atas panggung ini. Oleh karena itu, apakah kalian setuju mengangkat aku sebagai beng-cu?"

   "Setuju....!"

   Semua orang berteriak. Akan tetapi di antara gemuruh suara yang menyatakan setuju ini, terdengar suara melengking yang mengatasi semua suara itu,

   "Tidak setuju....!"

   Tentu saja suara melengking ini mengejutkan sekali membuat semua orang terdiam dan menoleh ke kanan kiri untuk mencari suara wanita melengking itu. Tek Hoat juga berdiri di tengah panggung dan matanya bergerak liar ketika dia melihat sesosok bayangan orang melayang naik ke atas panggung.

   Dia sudah marah sekali dan sudah siap menghadapi orang yang hendak menentangnya itu. Akan tetapi ketika secara tiba-tiba itu dia melihat bahwa yang meloncat naik dan kini berdiri di depannya adalah seorang gadis cantik dan yang bukan lain adalah Ceng Ceng, wajahnya berubah dan dia cepat-cepat memutar tubuhnya, membalik dan tidak mau berhadapan muka dengan Ceng Ceng! Hal ini adalah karena secara otomatis dia teringat akan janji dan sumpahnya, dan tanpa disadarinya sendiri tahu-tahu dia sudah memutar tubuh dengan jantung berdebar tegang. Gerakan Tek Hoat ini tentu saja melegakan dan menyenangkan hati Ceng Ceng dan dia cepat mengeluarkan sehelai saputangan yang memang sudah dipersiapkan, lalu berkata.

   "Hemm, saputanganmu telah berada di tanganku, jangan sekali-kali kau berani memandangku!"

   "Aku.... tidak akan memandangmu...."

   Berkata Tek Hoat yang masih dipengaruhi oleh kekagetan dan masih gugup. Ceng Ceng adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa sekarang setelah menjadi beng-cu, tentu saja Tek Hoat akan menjagat namanya sebagai seorang gagah, bukan orang yang suka melanggar sumpah dan janji! Akan tetapi, dia tidak boleh percaya kepada seorang seperti pemuda ini yang tidak segan-segan merendahkan diri menjadi kaki tangan pemberontak. Maka dia lalu berkata dengan lantang, ditujukan kepada semua orang yang berada di bawah,

   "Haiii, Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Laki-laki ini yang bernama Ang Tek Hoat, dia telah bersumpah bahwa setiap kali bertemu dengan aku, dia akan memejamkan mata atau tidak akan memandangku. Saputangannya ini yang menjadi saksi mati! Tidakkah benar kata-kataku, hai.... Ang Tek Hoat?"

   Tek Hoat tak dapat menyangkal dan terpaksa dia menganggukkan kepalanya.

   "Benar dan aku sudah memenuhi janji. Nah, pergilah!"

   Ceng Ceng tertawa akan tetapi menutupi mulutnya. Dia gembira sekali karena dia memperoleh pikiran yang amat baik, yang dianggapnya akan membuat dia mampu mencari musuh besarnya. Dia ingin menjadi beng-cu!

   "Nanti dulu, Tek Hoat! Engkau harus menyerahkan kedudukan beng-cu kepadaku, dan kau tidak boleh membangkang!"

   "Apa....? Ah, untuk apa kedudukan beng-cu bagimu?"

   "Tidak perlu kau tahu. Pendeknya, kedudukan beng-cu harus diserahkan kepadaku. Bagaimana? Apakah kau berani tidak taat kepadaku dan melanggar sumpahmu sebagai seorang pengecut yang menjilat ludah sendiri?"

   Diam-diam hati Tek Hoat mendongkol sekali. Hemmm, kau tunggu saja, pikirnya. Bocah nakal. Akan tiba saatnya aku membalas semua ini! Kalau saja saputangan itu dapat dirampasnya. Kalau saja dia bisa melupakan janji dan sumpah itu. Dia sendiri merasa heran dan tidak mengerti mengapa dia begitu lemah kalau menghadapi gadis ini!

   "Baiklah, sesukamulah,"

   Jawabnya.

   "Harus kau umumkan kepada mereka bahwa aku adalah beng-cu, dan engkau adalah pembantuku!"

   Kata pula Ceng Ceng.

   Dia sengaja hendak menggunakan pengaruhnya untuk dua tujuan. Pertama, dia mencegah kaum sesat dipengaruhi pemberontak, dan ke dua, dia hendak menggunakan kedudukan sebagai beng-cu itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari pemuda laknat, musuh besarnya! Tek Hoat menghela napas panjang. Sementara ini, dia terpaksa harus tunduk kepada gadis ini. Memang, kalau dia menghendaki tentu saja dia dapat menyerang dan merobohkan gadis ini, tidak mentaati perintahnya. Akan tetapi, kalau hal itu dia lakukan, dan dia sangsi apakah dia bisa melakukannya karena dia selalu merasa lemah terhadap gadis ini, dia tentu akan dianggap sebagai seorang laki-laki pengecut yang melanggar sumpahnya sendiri terhadap seorang gadis. Dan dalam kedudukannya sebagai seorang ketua, hal itu tentu akan mencemarkan namanya!

   "Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Aku yang telah mengalahkan semua calon dan yang telah kalian angkat menjadi beng-cu, mulai saat ini menyerahkan kedudukan beng-cu kepada Nona...."

   Tiba-tiba dia menoleh kepada Ceng Ceng dan bertanya,

   "Ehh....!"

   Akan tetapi teringat bahwa dia tidak boleh memandang, dia cepat membuang muka lagi sambil bersungut-sungut dan bertanya,

   "Aku lupa lagi.... siapakah namamu?"

   "Bodoh! Namaku Lu Ceng."

   Tek Hoat kembali berseru nyaring,

   "Kedudukan beng-cu kuserahkan kepada Nona Lu Ceng dan mulai saat ini dialah yang menjadi beng-cu, sedangkan aku menjadi wakilnya...."

   "Bukan wakil melainkan hanya pembantu!"

   Ceng Ceng menghardik.

   "Bukan wakilnya, hanya pembantunya....!"

   Tentu saja semua orang terheran-heran menyaksikan semua ini.

   Seorang yang memiliki kesaktian seperti itu, yang memiliki jari maut yang demikian mengerikan dan kepandaian yang demikian tinggi, mengapa berubah menjadi seekor domba saja berhadapan dengan gadis ini? Akan tetapi ada beberapa orang yang tidak hanya terheran saja, melainkan juga penasaran sekali. Tentu ada rahasia yang mereka tidak mengerti, yang memaksa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu menjadi takut dan taat ke-pada gadis muda dan cantik itu. Tidak mungkin karena kalah pandai, dan tentu karena sumpah dan janji yang tidak berani dilanggar-nya. Mereka itu adalah dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malai-kat. Mereka berunding sebentar, kemudian mereka mengambil keputusan untuk membantu Tek Hoat dan menyerang gadis yang mengacaukan semua rencana itu.

   "Perempuan setan, jangan banyak lagak engkau di sini!"

   Teriak Si Tangan Malaikat dan bersama dua orang saudara Ma, dia meloncat ke atas panggung, langsung menghadapi Ceng Ceng yang menyambut kedatangan tiga orang ini dengan senyum mengejek dan diam-diam gadis murid Ban-tok Mo-li mengerahkan ilmunya.

   "Kalian sudah bosan hidup? Mampuslah!"

   Bentaknya dan tiga orang itu tentu saja menjadi marah, masing-masing telah mencabut senjatanya dan hendak menyerbu.

   Melihat ini, Tek Hoat hanya melirik akan tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh amat mengejutkan hatinya, dan tentu saja juga amat mengejutkan semua orang yang melihatnya. Ketika tiga orang itu menyerbu, tiba-tiba Ceng Ceng meludah tiga kali ke arah mereka. Serangan aneh ini cepat dan tidak tersangka-sangka sama sekali, tiga orang kasar itu tentu saja tidak takut menghadapi serangan ludah seorang gadis cantik seperti Ceng Ceng, maka mereka pun tidak me-nunda serangan mereka dan terus maju. Akan tetapi, tiba-tiba tiga orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan ketiganya melepaskan senjata roboh ke atas papan dan bergulingan lalu berkelojotan dan tak lama kemudian tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi! Mereka telah menjadi korban ludah beracun dari Ceng Ceng, satu di antara ilmu-ilmu luar biasa yang diperolehnya dari Ban-tok Mo-li!

   Melihat ini, tahulah Tek Hoat bahwa gadis ini benar-benar seorang yang amat ahli dalam soal racun. Dahulu ketika Ceng Ceng muncul, gadis ini pun telah memperlihatkan kelihaiannya dengan me-nyebar racun untuk menghalangi pengejaran, dan sekarang kembali telah membuktikan kelihaiannya dalam hal racun. Lumayan juga mempunyai teman selihai ini, pikirnya. Pula, selain dia tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu Ceng Ceng, hal yang amat aneh baginya, juga dia mengharapkan untuk kelak dapat menguasai hati Syanti Dewi melalui gadis ini.

   "Engkau hebat....!"

   Katanya memuji tanpa memandang.

   "Dan aku perkenankan engkau memandangku sekarang,"

   Kata Ceng Ceng.

   "Tidak enak kalau mempunyai pembantu yang selalu membelakangiku! Akan tetapi engkau harus taat dalam segala hal!"

   Tek Hoat tersenyum geli. Lu Ceng ini benar-benar seorang bocah, akan tetapi telah memiliki kepandaian beracun yang demikian mengerikan, pikirnya. Dia mengangkat muka memandang dan memperoleh kenyataan bahwa biarpun gadis ini sekarang makin manis, kecantikannya makin matang, akan tetapi terbayang sesuatu yang amat mengerikan, sesuatu yang dingin dan penuh kebencian!

   Akan tetapi anehnya, begitu memandang, timbul pula rasa iba dan sayang di dalam hatinya terhadap gadis ini, hal yang sama sekali tidak dimengertinya mengapa demikian! Melihat kehebatan gadis itu, yang meludah saja sudah dapat membunuh orang-orang pandai seperti Tangan Malaikat, semua orang dengan suara bulat menyetujui mengangkatnya menjadi beng-cu. Bahkan mereka menjadi girang dan bangga bukan main karena maklum bahwa mereka dipimpin oleh dua orang yang lihai, dan otomatis kedudukan mereka menjadi kuat. Tentu saja golongan-golongan yang mempunyal ambisi, yang pro dan anti pemberontak, yang masih sangsi dan bingung karena mereka belum tahu benar orang macam apa adanya gadis ini. Orang yang suka bersekutu dengan pemberontak ataukah yang membencinya? Sementara itu Ceng Ceng meme-rintahkan para anak buah Tiat-ciang-pang untuk menyingkirkan semua jenazah.

   Setelah Ketua Tiat-ciang-pang tewas, otomatis dia sebagai beng-cu pun dianggap sebagai Ketua Tiat-ciang-pang pula, maka dia lalu mengajak Tek Hoat untuk pergi memeriksa markas Tiat-ciang-pang untuk dijadikan pusat di mana beng-cu dan pembantunya tinggal. Malam hari itu, biarpun dalam keadaan berkabung karena kematian Tong Hoat, namun para pimpinan Tiat-ciang-pang yang masih hidup segera mengatur hidangan untuk merayakan dan menyambut beng-cu yang berkenan tinggal di tempat mereka. Juga para tokoh golongan lain yang termasuk kaum sesat di sekitar daerah kota raja hadir untuk memberi hormat kepada beng-cu mereka. Ceng Ceng duduk semeja dengan Tek Hoat, dan mereka berdua makan bersama tanpa banyak cakap, hanya kadang-kadang saja Ceng Ceng tersenyum mengejek kalau memandang Tek Hoat.

   "Engkau sekarang lihai sekali,"

   Tek Hoat berkata lirih agar jangan terdengar oleh orang lain yang duduk mengelilingi meja-meja agak jauh dari mereka berdua.

   "Masih tidak selihai engkau!"

   Jawab Ceng Ceng jujur.

   "Aku heran sekali, mengapa engkau menginginkan kedudukan beng-cu?"

   Tek Hoat bertanya lagi.

   "Karena aku ingin mengerahkan tenaga semua kaum sesat ini, termasuk engkau, untuk menyelidiki dan mencarikan musuh besarku."

   Tek Hoat mengangkat mukanya, memandang tajam. Akan tetapi Ceng Ceng juga membalas pandang mata itu, sama tajamnya. Tek Hoat lalu menundukkan mukanya, merasa aneh mengapa dia tidak sanggup menentang pandang mata gadis itu terlalu lama.

   "Siapa....?"

   Tanyanya lirih.

   "Seorang pemuda tinggi besar, ilmu kepandaiannya tinggi sekali, aku tidak tahu dia berada di mana, juga tidak tahu siapa namanya."

   "Hemm...., sungguh aneh. Pemuda tinggi besar dan lihai.... ahh....! Di dunia ini banyak sekali orang tinggi besar, dan banyak sekali yang lihai."

   "Akan tetapi engkau pun sudah tahu siapa dia, dia yang menyelamatkan Jenderal Kao dari tanganmu."

   "Aih, dia....!"

   Hampir saja Tek Hoat meloncat dari bangkunya.

   "Dia itu musuh besarmu?"

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar."

   "Kalau dia, aku senang sekali membantumu. Aku sendiri kalau bertemu dengan dia, ingin mematahkan batang lehernya!"

   "Tidak, aku hanya menghendaki engkau dan para anggauta mencarinya dan paling banyak menang-kapnya. Aku sendiri yang harus membunuhnya!"

   Kata Ceng Ceng dan suaranya mengandung kemarahan dan kebencian hebat. Tek Hoat mengangkat mukanya memandang dengan penuh perhatian, lalu bertanya,

   "Kenapa? Kenapa engkau mendendam kepadanya dan begitu benci kepadanya?"

   "Kau tidak perlu tahu!"

   Ceng Ceng menjawab dengan kasar dan membentak marah. Melihat gadis itu marah-marah, Tek Hoat mengalihkan percakapan.

   "Lu Ceng, aku melihat bahwa engkau telah memiliki kepandaian hebat, jauh bedanya dengan dahulu ketika kita saling bertemu untuk pertama kalinya. Terutama sekali engkau hebat dalam ilmu beracun. Tentu engkau telah bertemu dengan seorang guru yang pandai."

   Ceng Ceng mengangguk.

   "Aku telah mewarisi ilmu tentang racun yang tidak ada keduanya di dunia ini. Karena itu, di samping sumpah dan janjimu, kau pun harus tunduk kepadaku karena betapa mudahnya bagiku untuk membunuhmu, sekarang juga. Lihat!"

   Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya di atas cawan arak Tek Hoat sambil merngerahkan ilmunya. Segumpal hawa seperti asap hitam keluar dari telapak tangannya dan ketika hawa itu menghilang, Tek Hoat melihat betapa arak di dalam cawannya menjadi kehijauan, mengandung racun!

   "Sedikit saja kau minum arakmu, kau akan mati,"

   Kata Ceng Ceng. Tek Hoat mengangquk-angguk dan membuang isi cawan itu ke atas lantai, lalu menggantikannya dengan arak baru dari guci.

   "Hemm, engkau telah membuat dirimu, sampai ludahmu pun dapat membunuh. Sungguh luar biasa!"

   Tek Hoat berkata memuji akan tetapi, tentu saja dia tidak merasa jerih dan dia merasa yakin bahwa kalau terpaksa bertanding, dia akan dapat mengalahkan gadis aneh ini. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar, dan tak lama kemudian beberapa orang bekas pimpinan Tiat-ciang-pang menghampiri meja Ceng Ceng dan melapor.

   "Celaka, di luar terdapat seorang pengacau yang amat lihai, banyak kawan kita telah dirobohkan olehnya."

   Tek Hoat merasa tidak senang karena dia diganggu.

   "Siapa dia dan mengapa dia mengacau?"

   "Dia tidak me-ngaku namanya dan tidak mengaku mengapa dia datang mengacau. Harap Ji-wi suka menundukkan sebelum dia merobohkan lebih banyak kawan dan menimbulkan kerusakan."

   "Kurang ajar!"

   Tek Hoat bangkit berdiri dan bersama Ceng Ceng lalu berlari keluar. Setelah mereka tiba di luar mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar sedang mengamuk, dikeroyok oleh banyak orang. Lebih dari tiga puluh orang anggauta Tiat-ciang-pang mengeroyok orang itu dan dari jauh Tek Hoat dan Ceng Ceng melihat betapa orang itu melempar-lemparkan para pengeroyoknya dengan amat mudahnya. Para pengeroyok itu seperti sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkrik yang kuat. Berkali-kali mereka dilempar ke kanan kiri akan tetapi mereka bangkit lagi dan menerjang lagi.

   "Hemm, orang itu kuat sekali,"

   Tek Hoat berkata dan mempercepat larinya menghampiri.

   "Tek Hoat, aku ingin dia itu ditawan saja, jangan sampai terbunuh!"

   Tiba-tiba Ceng Ceng berkata kepada Tek Hoat sehingga pemuda ini menjadi heran.

   "Eh, kenapa? Dia pengacau...."

   "Dia lihai, aku ingin mengambilnya sebagai pembantuku, di samping-mu...."

   "Hemmm...."

   Tek Hoat tidak berkata apa-apa lagi melainkan melompat dekat dan berteriak,

   "Semua orang mundur! Biarkan aku menghadapi pengacau ini!"

   Ceng Ceng hanya menonton ketika Tek Hoat sudah meloncat maju. Tentu saja jantungnya berdebar dan dia memesan kepada Tek Hoat agar pembantunya itu jangan membunuh si pengacau karena dia mengenal si pengacau itu sebagai laki-laki tinggi besar yang pernah menolongnya!

   Laki-laki bermuka buruk se-perti setan yang telah menolongnya ketika dia dikeroyok oleh para kaki tangan pemberontak di waktu dia hendak menolong Pangeran Yung Hwa. Seperti diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng kagum melihat kepandaian orang ini, bahkan telah diujinya dan dia berpendapat bahwa penolongnya itu merupakan seorang sakti yang akan dapat membimbingnya agar kelak dia dapat membalas dendamnya terhadap musuhnya yang amat lihai. Akan tetapi laki-laki bermuka buruk, dengan kulit muka kasar seperti punggung buaya dan hitam kemerahan, mulutnya lebar hidungnya besar, mata besar sebelah dan rambutnya riap-riapan, laki-laki bermuka seperti setan itu telah menolak permintaannya menjadi murid.

   Dan sekarang, secara tidak terduga-duga orang ini datang dan muncul sebagai seorang pengacau. Maka dia memperoleh pikiran yang cerdik. Dia tidak berhasil membujuk orang lihai ini agar suka menjadi gurunya, maka dia akan mempergunakan akal! Tek Hoat sudah meloncat ke depan dan menyerang orang itu dengan totokan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah pelipis orang itu. Serangan yang amat hebat dan dahsyat ini membuat laki-laki tinggi besar bermuka setan itu mengeluarkan suara gerengan dahsyat, tubuhnya bergerak ke kanan, tangan kanannya menangkis totokan dan tangan kirinya menyampok cengkeraman ke pelipisnya dengan keras. Tek Hoat juga mengerahkan tenaga pada kedua lengannya karena dia bermaksud membuat orang itu terpental dan roboh ketika kedua lengan mereka beradu.

   "Plakk! Duukkk!"

   Keduanya terkejut dan terpental, akan tetapi dengan cekatan keduanya telah dapat mengatur keseimbangan tubuh dengan loncatan tinggi ke belakang. Sejenak mereka saling pandang dan Tek Hoat membentak marah.

   "Siapa kau?"

   Akan tetapi, orang tinggi besar itu tidak menjawab, melainkan menoleh ke arah Ceng Ceng yang sudah mendekati pula. Pada saat itu, Tek Hoat telah mencabut pedangnya, yaitu pedang Cui-beng-kiam yang mengeluarkan sinar dan hawa yang menyeramkan.

   "Keparat, mampuslah kau!"

   Bentaknya sambil menyerang. Menghadapi serangan pedang ini, orang tinggi besar itu terkejut, apalagi ketika dia melihat pedang Cui-beng-kiam. Agaknya dia tahu akan pedang yang amat ampuh ini, yang memiliki pengaruh dan hawa mujijat, maka dia mengeluh dan cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran pedang. Tek Hoat merasa girang melihat kejerihan lawan. Dia terpaksa mencabut pedang karena maklum bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan. Akan tetapi ketika dia hendak maju menerjang lagi, Ceng Ceng berteriak,

   "Tek Hoat mundurlah! Aku akan menangkapnya!"

   Teriakan ini dikeluarkan oleh Ceng Ceng karena dia khawatir melihat serangan Tek Hoat yang mengeluarkan pedang. Dia pun mengenal pedang yang luar biasa ampuhnya, bahkan mengandung hawa mujijat yang lebih hebat lagi. Memang dia maklum akan kelihaian penolongnya ini, yang menyambut Ban-tok-kiam dengan tangan kosong, mencengkeram dan merampas pedangnya dengan mudah!

   Akan tetapi pedang seampuh itu di tangan Tek Hoat adalah lain lagi karena dia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat dan tenaga sin-kang, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Tek Hoat. Pula, dia sengaja berteriak mengatakan hendak menangkap orang itu untuk memberi tahu bahwa dia tidak berniat membunuhnya. Mendengar teriakan ini, biarpun hatinya mendongkol, terpaksa Tek Hoat meloncat mundur. Diam-diam dia mentertawakan Ceng Ceng yang berkata hendak menangkap orang ini. Biarpun baru bergebrak beberapa jurus saja, dia maklum bahwa orang ini memiliki kepandaian hebat, lebih tinggi jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Ceng Ceng. Jangankan menangkapnya hidup-hidup, untuk mencari kemenangan pun tentu sukar. Entah kalau nona itu mempergunakan racunnya yang memang hebat.

   "Engkau telah mengacau tempat ini. Aku yang menjadi beng-cu harus menawanmu!"

   Ceng Ceng berseru sambil menerjang orang tinggi besar itu dengan kedua tangannya, menotok jalan-jalan darah dengan kecepatan dua ekor ular mematuk. Orang itu mengeluarkan seruan aneh dan meloncat mundur, terdengar berkata tidak jelas setengah berbisik akan tetapi dapat dimengerti oleh Ceng Ceng.

   "Kau.... kau gadis aneh....!"

   Sudah dua kali orang itu mengatakan sebagai gadis aneh! Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah bertekad untuk menangkap bekas penolongnya ini, tidak menjawab melainkan menyerang terus bertubi-tubi dengan totokan jari-jari tangannya. Tek Hoat menonton sambil tersenyum simpul. Rasakan kau sekarang, pikirnya. Bocah sombong kau, kalau tidak kubantu mana bisa kau menang menghadapinya?

   "Ehh....!"

   Tiba-tiba Tek Hoat menahan seruannya karena terkejut ketika melihat betapa orang tinggi besar itu terguling dan roboh tak dapat bergerak lagi karena telah menjadi lemas dan lumpuh tertotok oleh jari-jari tangan Ceng Ceng! Hampir dia tidak dapat mempercaya ini, akan tetapi laki-laki tinggi besar itu benar-benar telah roboh tak berdaya dan beberapa orang anggauta Tiat-ciang-pang cepat menghampiri dan membelenggu kedua tangannya ke belakang dengan erat atas perintah Ceng Ceng.

   "Masukkan dia ke tempat tahanan di belakang dan jaga dengan ketat. Awas, jangan sampai dia lolos dan jangan ada yang berani mengganggunya. Besok aku akan memeriksanya!"

   Demikian perintah Ceng Ceng kepada anak buahnya yang segera menggotong tawanan itu dan membawanya ke sebuah gudang di belakang rumah di mana orang tinggi besar itu dilempar ke dalam gudang itu dan dijaga dengan ketat oleh tidak kurang dari dua puluh orang. Sementara itu, Ceng Ceng dan Tek Hoat kembali ke ruangan pesta perayaan, diikuti oleh bekas pimpinan Tiat-ciang-pang dan para tamu golongan kaum sesat lainnya yang tadi ikut pula menyaksikan peristiwa pengacauan itu.

   Semua orang memuji kelihaian beng-cu mereka yang dengan mudah dapat merobohkan orang yang sedemikian lihainya.

   "Heran sekali, bagaimana engkau dapat menotoknya roboh sedemiklan mudahnya?"

   Tek Hoat tidak dapat menahan keheranan hatinya, bertanya kepada Ceng Ceng ketika mereka telah duduk pula menghadapi meja. Ceng Ceng sendiri tadi juga agak heran karena tidak disangkanya bahwa dia akan berhasil begitu mudahnya. Jelas bahwa laki-laki tinggi besar itu tidak melawan dengan sungguh-sungguh sehingga mudah saja ia merobohkan dengan pukulan hawa beracun yang lebih dulu dia pergunakan sehingga lawannya itu terpengaruh oleh hawa beracun dan tidak sempat menghindarkan diri lagi ketika dia menotoknya bertubi-tubi, membuatnya roboh tak berdaya. Mendengar pertanyaan ini, dia menjawab sederhana,

   "Biarpun dia lihai, akan tetapi dia tidak dapat melawan hawa beracun dari pukulanku yang membuat dia kurobohkan dengan totokan. Hanya engkau yang agaknya masih buta, belum melihat kelihaianku!"

   Tek Hoat tidak mempedulikan ucapan itu.

   "Aku masih merasa heran dan menduga-duga, dia itu siapakah dan apa perlunya mengacau di sini? Mukanya seperti setan dan kepandaiannya pun hebat betul. Belum pernah aku mendengar ada orang seperti dia di dunia kang-ouw."

   "Biar aku besok yang akan memeriksanya. Kau jangan sekali-kali mengganggunya, tunggu sampai aku besok memeriksanya. Kalau dia mau menjadi pembantuku, bekerja sama dengan kita, syukurlah. Kalau tidak...."

   "Kalau tidak, bagaimana? Kita bunuh dia?"

   "Hemm.... bagaimana besok sajalah,"

   Ceng Ceng sendiri bingung. Ketika dia berlutut dan memohon kepada orang itu menjadi gurunya, orang itu menolak dan pergi begitu saja. Sekarang, setelah berhasil menawannya, apakah dia akan berhasil pula memaksa orang itu menjadi pembantunya untuk menangkap musuh besarnya? Malam itu Ceng Ceng tidur dengan gelisah sekali, diganggu mimpi buruk berkali-kali.

   Dia melihat di dalam mimpinya itu pemuda laknat musuh besarnya yang menyerangnya dan hendak memperkosanya lagi, akan tetapi wajah itu kadang-kadang berubah menjadi wajah Tek Hoat, dan kadang-kadang berubah menjadi wajah laki-laki tawanan bermuka setan itu! Dia terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Maklumlah Ceng Ceng bahwa dia telah bermain-main dengan api. Dia berada di antara orang-orang jahat, dan terutama sekali Tek Hoat adalah seorang yang amat berbahaya. Juga laki-laki bermuka setan itu biarpun pernah menolongnya namun sikapnya begitu menakutkan dan menyeramkan, penuh rahasia pula. Dia seolah-olah dikelilingi oleh orang-orang yang aneh dan berbahaya. Pemuda laknat musuhnya itu, Tek Hoat dan laki-laki tinggi besar ini. Teringatlah dia kepada Pangeran Yung Hwa dan dia menjadi termenung.

   Betapa bedanya pangeran itu dengan tiga orang laki-laki! Pangeran itu begitu tampan, begitu halus, penuh hormat, lemah-lembut dan penuh kemesraan. Cinta kasih seorang seperti Pangeran Yung Hwa itu agaknya tidak perlu disangsikan lagi! Sebaliknya, Tek Hoat memang tampan dan gagah, biarpun tidak setampan Pangeran Yung Hwa namun Tek Hoat juga memiliki kepribadian yang menarik, ketampanan dan kegagahan yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi pemuda ini adalah seorang yang rendah, yang telah menghambakan diri kepada pemberontak! Pemuda laknat yang memperkosanya itupun tampan dan gagah sekali, lebih gagah daripada Tek Hoat, dengan sikap yang pendiam dan agung, membayangkan kekerasan seperti seekor singa, kokoh kuat seperti batu karang.

   Akan tetapi pemuda itu telah menjadi musuh besarnya, yang amat dibencinya, dan dia tahu bahwa membunuh pemuda itupun belum berarti terbalas dendamnya karena pemuda itu telah merusak hidupnya, merusak segala-galanya! Dan laki-laki yang bermuka setan ini, sudah tua dan menakutkan, biarpun pernah menolongnya dan berilmu tinggi, akan tetapi sikapnya begitu aneh dan penuh rahasia sehingga sukar baginya untuk mengambil kesimpulan orang macam apakah adanya laki-laki bermuka setan ini. Pada keesokan harinya dia telah pergi ke belakang, ke gudang di mana tawanan itu berada. Di luar gudang masih terjaga oleh dua puluh orang lebih anggauta Tiat-ciang-pang, akan tetapi dia mendengar suara orang bicara di sebelah dalam gudang atau lebih tepat lagi, suara Tek Hoat yang agaknya marah-marah. Cepat dia memasuki gudang itu dan dia masih mendengar Tek Hoat berkata marah,

   "Kau kira aku tidak mampu memaksamu bicara? Engkau bersembunyi di balik topeng itu!"

   Mendengar ucapan ini, orang bertopeng itu terkejut.

   "Ehh.... jangan....! Jangan buka topengku. Kalau dipaksa.... aku akan mengamuk dan akan hebat akibat-nya!"

   Tek Hoat tertawa.

   "Silakan mengamuk, aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!"

   Tek Hoat sudah melangkah dekat, menghampiri tawanan yang masih terbelenggu kedua tangannya ke belakang punggung dan sedang bersandar pada dinding gudang itu. Agaknya Tek Hoat hendak melakukan sesuatu karena tangannya sudah mendekati muka orang.

   "Tek Hoat, jangan....!"

   Ceng Ceng membentak dan Tek Hoat terkejut. Pemuda ini bersungut-sungut dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Mengapa dia menjadi begini lemah dan penurut? Agaknya, di dunia ini tidak akan ada orang yang mampu memerintahnya seperti ini! Dan dia, yang memiliki kepandaian tinggi, yang dapat melakukan apa pun, tanpa Ceng Ceng dapat menghalanginya, dia tidak berdaya dan tidak sampai hati menolak perintah Ceng Ceng! Itulah soalnya, bukan sekali-kali hanya karena sumpahnya. Memang dia merasa terlampau gagah untuk melanggar sumpah, akan tetapi kalau sumpahnya itu dipergunakan Ceng Ceng untuk mempermainkannya tentu saja tidak bisa dia terus menurut.

   "Hemmm....!"

   Dia mendengus dan membalikkan mukanya. Ceng Ceng memandang wajah orang tawanan itu dan jantungnya berdebar tegang. Benar juga kata-kata Tek Hoat. Kiranya orang ini memakai topeng! Memakai semacam kedok yang amat tipis dan memang sukar dibedakan dari wajah aseli kalau saja dia tadi tidak melihat orang itu bicara dan bibir itu hampir tidak bergerak, tanda bahwa yang bergerak tentulah bibir aselinya yang berada di balik topeng! Seketika timbul akalnya untuk memaksa bekas penolongnya ini!

   "Tek Hoat, keluarkan saputanganmu!"

   Katanya memerintah.

   "Untuk apa....?"

   Tek Hoat bertanya dengan marah karena saputangan mengingatkan dia akan sumpah dan janjinya.

   "Kau tutup matamu dengan saputangan itu!"

   "Hemm....!"

   Tek Hoat makin marah. Akan tetapi tetap saja permintaan itu dia penuhi juga. Dia menutupkan saputangannya ke depan mata dan mengikatkan kedua ujung saputangan di belakang kepala. Diam-diam dia tertarik juga karena ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis aneh ini. Setelah melihat Tek Hoat menutupi mukanya dengan saputangan, Ceng Ceng lalu menghampiri tawanan yang masih bersandar dinding itu.

   "Nah, In-kong sekarang kita boleh bicara berdua. Pembantuku ini sudah menutup matanya dengan saputangan sehingga tidak dapat melihat kita.... maksudku, tidak dapat melihat wajahmu."

   Suara yang halus itu terdengar kini.

   "Nona, engkau benar-benar seorang gadis aneh. Apa maksudmu dengan menawan aku? Aku tidak bersalah, hanya melihat ramai-ramai di sini, menonton dan dikeroyok oleh orang-orang itu. Biarkan aku pergi."

   "Tidak, sebelum engkau memperlihatkan siapa adanya engkau. Aku hendak membuka topeng yang menutupi mukamu, In-kong."

   Tentu saja Tek Hoat menjadi kaget dan heran bukan main mendengar ucapan Ceng Ceng yang menunjukkan bahwa gadis ini telah mengenal Si Topeng Setan itu, bahkan menyebutnya In-kong (Tuan Penolong)! Biarpun kedua matanya tertutup, Tek Hoat memusatkan seluruh perhatiannya kepada pendengarannya sehingga dia dapat mengikuti seluruh gerak-gerik Ceng Ceng dan tawanan itu, bahkan tidak kalah jelasnya dari orang biasa yang memandang dengan kedua matanya.

   "Jangan....! Jangan, Nona....! Ini adalah rahasiaku, kalau terbuka berarti aku mati! Harap kau jangan membukanya...."

   Orang itu berkata, suaranya penuh permohonan dan kekhawatiran sehingga Tek Hoat menjadi makin tertarik, makin curiga.

   "Engkau pernah menolongku, tentu aku tidak akan memaksa. Akan tetapi aku tidak akan membuka topengmu asal engkau suka menjadi pembantu dan pelindungku, dan suka mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi kepadaku. Bagaimana?"

   "Hemm...., baiklah. Aku berjanji."

   "Dan seorang laki-laki gagah tidak akan melanggar janjinya."

   "Lebih baik mati daripada melanggar janji."

   Tiba-tiba Tek Hoat tertawa.

   "Ha-ha-ha, Lu Ceng! Engkau membuat kami berdua laki-laki yang memiliki kepandaian menjadi seperti lalat terjebak dalam janji-janjinya sendiri!"

   "Tek Hoat, engkau dan dia ini berjanji sendiri, aku sama sekali tidak memaksanya. Nah, kau boleh membuka saputanganmu dan boleh memandang aku sekarang, dan kau bebaskan dia dari belenggu itu."

   Tek Hoat menyambar saputangannya, lalu memandang kepada laki-laki bertopeng itu dengan tertawa mengejek.

   "Engkau telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kesukaran, Sobat!"

   Dan dengan kedua tangannya Tek Hoat merenggut, mengerahkan sin-kangnya dan belenggu yang terbuat dari baja itu patah-patah! Bukan main hebatnya tenaga kedua tangan Tek Hoat dan agaknya dia sengaja mendemonstrasikannya di depan orang bertopeng itu yang memandang dengan sikap tenang saja. Setelah belenggunya dilepaskan dia bangkit berdiri, tinggi dan tegap.

   "Sekarang kau setelah menjadi pembantuku harus memberitahukan namamu,"

   Ceng Ceng berkata. Orang itu menghela napas panjang.

   "Setelah Ji-wi (Anda Berdua) tahu bahwa aku bertopeng, maka biarlah aku dinamakan Topeng Setan."

   Ceng Ceng bertepuk tangan gembira.

   "Bagus! Dua orang pembantuku hebat julukannya, yang seorang Si Jari Maut, dan seorang lagi Si Topeng Setan! Sekarang mari kita keluar untuk meng-umumkan pengangkatan Topeng Setan sebagai pembantuku ke dua, dan kita mulai mengatur anak buah kita agar tidak lagi terjadi bentrok diantara rekan segolongan."

   Tek Hoat dan Topeng Setan mengangguk. Ceng Ceng bergegas keluar gudang itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Hoat untuk berbisik kepada laki-laki tinggi besar itu,

   "Awas, engkau mencurigakan. Sekali waktu akan kupatahkan batang lehermu seperti aku mematahkan belenggu tadi."

   Topeng Setan menoleh kepada pemuda tampan itu dan tidak menjawab apa-apa kecuali memungut bekas belenggu dari atas lantai, kemudian dengan amat mudahnya jari tangannya mematah-matahkan rantai itu semudah yang dilakukan oleh Tek Hoat tadi!

   "Tak perlu curiga, aku hanya ingin melindunginya, Sobat!"

   Si Topeng Setan berkata pula, berbisik. Tek Hoat terkejut dan mengertilah dia bahwa Topeng Setan tadi agaknya memang sengaja membiarkan dirinya tertawan. Buktinya, kalau dia menghendaki, tentu dia sudah dapat membebaskan dirinya dari belenggu itu dengan amat mudah!

   Makin tertariklah dia dan diam-diam dia mengharapkan untuk dapat menarik tenaga yang amat kuat ini untuk membantu gerakan Pangeran Liong Bin Ong. Yang merasa amat bergembira adalah Ceng Ceng. Dia sampai lupa akan kesengsaraan hatinya melihat betapa dia kini telah menjadi seorang "beng-cu", mengepalai ratusan orang-orang lihai, bahkan mempunyai dua orang pembantu dan pelindung yang amat tinggi kepandaiannya. Kini dia merasa yakin bahwa tentu dia akan berhasil mencari musuh besarnya, pemuda laknat yang telah memperkosanya! Di samping itu, dia akan menuntun para kaum sesat itu agar tidak membantu para pemberontak, sebaliknya malah menentang pemberontak. Sedangkan Tek Hoat, yang dia tahu adalah anak buah pangeran pemberontak, setelah menjadi pembantunya akan dibujuknya agar dapat insyaf dan kembali ke jalan benar.

   Betapapun juga, pemuda inilah sebetulnya yang menjadi orang pertama, laki-laki pertama yang pernah menggerakkan perasaan mesra, kagum dan cinta di dalam hatinya, yang kemudian berubah menjadi benci karena pemuda yang dikagumi ini ternyata adalah kaki tangan pemberontak. Pula, setelah mendengar pengakuan Tek Hoat akan cinta kasihnya kepada Syanti Dewi, lenyaplah perasaan mesra di hatinya terhadap Tek Hoat. Namun andaikata pemuda ini dapat insyaf dan kembali ke jalan benar, dia akan senang sekali melihat kakak angkatnya itu berjodoh dengan Ang Tek Hoat. Jauh lebih baik daripada menjadi isteri seorang pangeran tua di kota raja! Kita tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan pengalamannya yang baru sebagai seorang beng-cu atau ketua dari kaum sesat itu, dan mari kita mengikuti perjalanan kakak beradik dari Pulau Es, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu merencanakan hendak mengawal Jenderal Kao Liang kembali ke utara ketika pada malam hari itu muncul putera jenderal itu yang telah hilang dan disangka mati belasan tahun yang lalu, yaitu Kok Cu, yang kemudian pada malam hari itu juga pergi lagi meninggalkan rumah orang tuanya dengan alasan bahwa dia harus menunaikan dulu tugas yang diperintahkan gurunya. Peristiwa hebat perjumpaan-nya dengan Ceng Ceng yang dianggap telah mati dan bayangan gadis itu dianggap rohnya, kemudian disusul dengan munculnya Kok Cu yang disangka sudah mati, mengguncangkan hati Jenderal Kao dan keluarganya. Akan tetapi demi tugasnya, jenderal yang perkasa ini sudah bersiap-siap untuk berang-kat bersama Kian Lee dan Kian Bu, dengan diam-diam akan kembali ke utara. Akan tetapi, baru saja mereka bersiap untuk berangkat naik kuda bertiga, tiba-tiba terdengar suara halus,

   "Kao-goanswe, berhenti dulu...."

   Dan berkelebatlah bayangan orang. Ternyata yang datang adalah Puteri Milana sendiri! Tentu saja Jenderal Kao, Kian Lee dan Kian Bu terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tanpa banyak cakap Jenderal Kao mengajak Puteri Milana dan dua orang adiknya itu masuk ruangan dan tidak mengijinkan anak isterinya ikut masuk, karena dia menduga bahwa kedatangan Puteri Milana tentulah membawa hal yang amat penting. Dan me-mang benarlah demikian! Begitu dipersilakan duduk, puteri yang wajahnya agak tegang biarpun sikapnya masih tenang itu berkata lirih,

   "Jenderal, saatnya telah tiba bagi kita untuk mengambil tindakan secara terang-terangan."

   Jenderal Kao Liang mengerutkan alisnya.

   "Paduka maksudkan....?"

   "Baru saja seorang penyelidikku datang malam-malam melaporkan bahwa Panglima Kim Bouw Sin yang kau tawan itu telah dibebaskan kaki tangannya, bahkan telah menyusun kekuatan dari para pasukannya dan kini berpusat di Teng-bun, sudah siap untuk menyerbu ke selatan!"

   "Si keparat!"

   Jenderal itu mengepal tinjunya dengan marah sekali.

   "Semua ini diatur dari sini, dan kita harus menumpas biang keladinya!"

   "Sabarlah, Goanswe. Tugas kita ha-nyalah menumpas para pemberon-tak yang sudah terang-terangan memberontak seperti Panglima Kim Bouw Sin. Adapun para penggerak atau penganutnya sekarang masih bermain di belakang layar, amat sukar bagiku untuk bertindak tanpa adanya bukti-bukti yang kuat. Kedudukan mereka kuat. Sekarang, paling perlu kita harus bergerak ke utara. Biarlah kedua orang adikku ini lebih dulu menyelidiki ke sana dan sedapat mungkin menyelamatkan Syanti Dewi yang berada di bentengmu. Mudah-mudahan saja dia tidak terjatuh ke tangan pemberontak! Sedangkan engkau dan aku sendiri mengatur pasukan dari sini setelah kita besok menghadap Kaisar untuk melaporkan gerakan pemberontak Kim Bouw Sin itu. Akan tetapi hati-hatilah, jangan keliru bicara menyebut nama dua orang pangeran tua. Hal itu akan membikin marah Kaisar yang masih percaya kepada mereka sebagai adik-adiknya."

   Jenderal Kao mengangguk-angguk. Memang kemarahannya disebabkan oleh dua hal. Pertama-tama tentu saja karena dia ditipu, orang menggunakan Kaisar untuk memanggilnya keluar dari benteng dan biarpun pihak pemberontak gagal membunuhnya di tengah jalan, mereka telah berhasil membebaskan Kim Bouw Sin yang tentu saja akan menarik sebanyak mungkin pasukan dibawah pimpinannya!
(Lanjut ke Jilid 28)

   Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 11 Sepasang Pedang Iblis Eps 29 Sepasang Pedang Iblis Eps 50

Cari Blog Ini